Anda di halaman 1dari 16

Ajaran pertanggungjawaban pidana

korporasi
Esti Aryani, SH, MH
Doctrine of Strict Liability

• Menurut doktrin/ajaran ini pertanggungjawaban pidana


dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
pada pelakunya. Karena menurut doktrin strict liability ini
pertanggung jawaban pidana bagi pelakunya tidak
dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan
dengan terdapat pada pelakunya unsur
pertanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan (mens
rea), maka strict liability disebut juga absolute liability
atau dalam bahasa Indonesia pertanggungjawaban mutlak.
• Menurut Sutan Remi Sjahdeini, ajaran strict liability ini hanya
diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja, yaitu tindak pidana
atau perbuatan pidana berupa tindak pidana pelanggaran, atau tindak
pidana kejahatan yang telah mengakibatkan kerugian terhadap
keuangan atau perekonomian negara; telah menimbulkan gangguan
ketertiban umum (ketenteraman publik); telah menimbulkan kematian
massal, atau telah menimbulkan derita jasmaniah secara massal yang
bukan berupa kematian; telah menimbulkan kerugian keuangan secara
massal, atau telah menimbulkan kerusakan atau pencemaran
lingkungan; atau tindak pidana yang berkaitan dengan kewajiban
pembayaran pajak.
• Muladi menyatakan bahwa perumusan
pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan
berdasarkan atas kepentingan masyarakat dan tidak atas
dasar tingkat kesalahan subjektif. Dalam hal ini, strict
(absolute) liability yang meninggalkan asas mens rea
merupakan refleksi kecenderungan untuk menjaga
keseimbangan kepentingan sosial.
Doctrine of vicarious liability.

• Teori atau ajaran atau doktrin ini diambil dari hukum perdata dalam
konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortious
liability) yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability
biasanya berlaku dalam hukum pidana tentang perbuatan melawan
hukum (the law torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior.
Dalam perbuatan-perbuatan perdata seorang majikan bertanggung
jawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya
sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaan. Hal ini memberikan
kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-
perbuatan melawan hukum dari mereka itu untuk menggugat
majikannya agar membayar ganti rugi apabila dapat dibuktikan
pertanggungjawabannya.
• Ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius)
merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana, karena
ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem
hukum comman law bahwa seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan tanpa
sepengetahuanya atau tanpa otorisasi. Maka, berdasarkan ajaran
vicarious liability ini pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana atas perbuatan pihak lain. Dalam common law seorang majikan
(empoloyer) bertanggung jawab secara vikarius (liable vi cariously)
atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan
gangguan publik (public nuisance) atau dalam hal membuat
pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain.'
•  Berkaitan dengan korporasi, maka suatu korporasi dimung kinkan
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilaku kan oleh
pegawainya, kuasanya, atau mandatarasinya atau siapa pun yang
bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Penerap an doktrin ini hanya
dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan
subordinasi antara majikan (employer) dan orang yang melakukan tindak
pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau
kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang
sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam
rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung
jawab atas perbuatannya.
Doctrine of delegation.

• Doktrin ini merupakan salah satu alasan untuk dapat


membebankan pertanggungjawaban pidana secara
vikarius, karena adanya pendelegasian wewenang dari
seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan
kewenangan yang dimilikinya. Pendelegasian wewenang
oleh majikan kepada bawahanya ini merupakan alasan
pembenar bagi dapat dibebankanya pertanggungjawaban
pidana kepada majikanya atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh bawahannya yang memperoleh
pendelegasian wewenang itu."
Doctrine of identification.

• Teori atau doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat


mempertanggungjawabkan pidana kepada suatu korporasi harus mampu
diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. Dan apabila tindak
pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan directing mind dari
korporasi tersebut, maka baru pertanggungjawabkan dari tindak pidana itu
dapat dibebankan kepada korporasi. Teori atau doktrin ini memberikan alasan
pembenar bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
yang notabene tidak dapat berbuat dan tidak mungkin memiliki mens rea
karena tidak memiliki kalbu. Perbuatan yang tidak dianggap sebagai tindak
pidana yang dilakukan oleh personel korporasi adalah hanya apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh personel korporasi yang memiliki kewenangan
untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebu
• Secara formal yuridis, directing mind dari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar
korporasi tersebut. Selain daripada itu dapat pula diketahui dari surat-surat keputusan
pengurus pengangkatan pejabat-pejabat atau manajer untuk mengisi jabatan-jabatan
tertentu (misalnya, untuk menjadi kepala kantor cabang atau kepala divisi dari korporasi
yang bersagkutan) dan pemberian wewenang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
terkait dengan jabatan tersebut. Namun sering juga terjadi bahwa pengurus formal
korporasi (dalam hal korporasi adalah suatu perseroan terbatas, pengurus yang dimaksud
adalah direksi perseroan) berada di bawah pengaruh kendali formal yang sangat kuat dari
orang-orang yang secara yuridis formal bukan pengurus. Orang-orang tertentu yang
sekalipun menurut anggaran dasar korporasi tidak mempunyai kewenangan untuk
melakukan tindakan kepengu-rusan dari sutu perseroan, tetapi kenyataan orang itulah
yang me-ngendalikan orang-orang secara formal yuridis adalah pengurus perseroan
(seperti, pemegang saham). Oleh karena itu, penentuan pidana bukan saja dapat
dilakukan terhadap direksi, tetapi juga terhadap pemegang saham pengendali suatu
korporasi.
Doctrin of aggregation.

• Doktrin atau ajaran aggregasi ini mengajarkan bahwa


seseoran dianggap mengagregasikan (mengkombinasikan)
semua perbuatan dan semua unsur mental (sikap kalbu)
dari berbagai oran yang terkait secara relewan dalam
lingkungan perusahaan untuk dapat memastikan bahwa
semua perbuatan dan unsur mental tersebut adalah suatu
tindak pidana seperti seakan-akan semua perbuatan dan
unsur mental itu telah dilakukan oleh satu orang saja.
•Dalam korporasi dapat saja seorang melaksanakan perintal
atasannya tanpa tahu latar belakang yang melakukan perbutan pidana
yang dilakukannya. Karena pelaku actus reus (unsur perbu atan) ini
tidak memiliki mens rea (unsur kesalahan), maka pelaki sesungguhnya
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatar tersebut. Namun
demikian, korporasi harus tetap bertanggungjawaban atas perbuatan
pidana yang dilakukan karena terpenuhi syarat adanya actus reus dan
adanya mens rea sebagai hasil agregasi (gabungan) dari beberapa
orang."
 
Doctrin reactive corporate fault.

• Doktrin atau ajaran ini mengajarkan bahwa, korporasi yang menjadi terdakwa
diberi kesempatan oleh pengadilan untuk melakukan sendiri permeriksaan, siapa
yang dianggap paling bersalah dan tindakan apa yang telah diberikan kepada
orang yang dianggap bersalah tersebut. Apabila laporan perusahaan atau korporasi
ini dianggap cukup memadai, maka korporasi dibebaskan dari
pertanggungjawaban tersebut. Namun apabila laporan korporasi tersebut dianggap
tidak memadai oleh pengadilan, maka baik korporasi maupun para pemimpin
akan dibebani pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah
pengadilan itu. Hukum yang dapat diberikan pengadilan kepada korporasi dapal
berupa publisitas yang tidak menguntungkan bagi korporasi (court ordered
adverse publicity), korporasi harus melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan
tertentu kepada masyarakat (community service), dan hukuman berupa tindakan
disiplin terhadap korporasi yang bersangkutan (punitive injunctive sentence)."
• Selain doktrin dapat dihukumnya korporasi, tentu perlu pula diketahui sepintas tentang
doktrin peniadaan pembebanan pertanggungjawaban korporasi. Dalam sistem hukum
pidana berlaku alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana yaitu
adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Apakah alasan pembenar dan alasan
pemaaf ini dapat diterapkan pada sebuah korporasi ? Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
alasan penghapusan pemidanaan tersebut yang terdapat pada orang yang merupakan
directing mind korporasi ketika perbuatan itu dilakukan oleh orang itu bukan saja akan
meniadakanpertanggungjawaban pidana orang itu, tetapi juga meniadakan
pertanggungjawaban korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind korporasi
diatribusikan kepada korporasi (dianggap sebagai perbuatan korporasi itu sendiri),
maka logikanya adalah bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban yang dirniliki
oleh orang tersebut harus juga diatribusikan kepada korporasi. Artinya, bila orang itu
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana maka dengan sendirinya korporasi juga
harus dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
The corporate culture model

• Model budaya kerja perusahaan merupakan pendekatan yang


telah diterima di Australia. Pendekatan ini memfokuskan pada
kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat yang
mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
• Pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada korporasi
apabila berhasil ditemukan bahwa seseorang yang telah
melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang
rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi yang
memiliki kewenangan telah memberikan wewenang atau
mengijinkan dilakukannya tindak pidan tersebut.
• Berkenaan dengan itu menurut the corporate culture
model, tidak perlu menemukan orang yang bertanggung
jawab atas perbuatan yang melanggar hukum itu untuk
dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu pada
korporasi. Sebaliknya pendekatan tersebut menentukan
bahwa korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak
yang harus bertanggung jawab karena telah dilakukannya
perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang
telah melakukan perbuatan itu saja yang harus
bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai