korporasi
Esti Aryani, SH, MH
Doctrine of Strict Liability
• Teori atau ajaran atau doktrin ini diambil dari hukum perdata dalam
konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortious
liability) yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious liability
biasanya berlaku dalam hukum pidana tentang perbuatan melawan
hukum (the law torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior.
Dalam perbuatan-perbuatan perdata seorang majikan bertanggung
jawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya
sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaan. Hal ini memberikan
kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-
perbuatan melawan hukum dari mereka itu untuk menggugat
majikannya agar membayar ganti rugi apabila dapat dibuktikan
pertanggungjawabannya.
• Ajaran vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius)
merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana, karena
ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem
hukum comman law bahwa seseorang tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan tanpa
sepengetahuanya atau tanpa otorisasi. Maka, berdasarkan ajaran
vicarious liability ini pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana atas perbuatan pihak lain. Dalam common law seorang majikan
(empoloyer) bertanggung jawab secara vikarius (liable vi cariously)
atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan
gangguan publik (public nuisance) atau dalam hal membuat
pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain.'
• Berkaitan dengan korporasi, maka suatu korporasi dimung kinkan
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilaku kan oleh
pegawainya, kuasanya, atau mandatarasinya atau siapa pun yang
bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Penerap an doktrin ini hanya
dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan
subordinasi antara majikan (employer) dan orang yang melakukan tindak
pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau
kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pegawai dalam arti yang
sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam
rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggung
jawab atas perbuatannya.
Doctrine of delegation.
• Doktrin atau ajaran ini mengajarkan bahwa, korporasi yang menjadi terdakwa
diberi kesempatan oleh pengadilan untuk melakukan sendiri permeriksaan, siapa
yang dianggap paling bersalah dan tindakan apa yang telah diberikan kepada
orang yang dianggap bersalah tersebut. Apabila laporan perusahaan atau korporasi
ini dianggap cukup memadai, maka korporasi dibebaskan dari
pertanggungjawaban tersebut. Namun apabila laporan korporasi tersebut dianggap
tidak memadai oleh pengadilan, maka baik korporasi maupun para pemimpin
akan dibebani pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah
pengadilan itu. Hukum yang dapat diberikan pengadilan kepada korporasi dapal
berupa publisitas yang tidak menguntungkan bagi korporasi (court ordered
adverse publicity), korporasi harus melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan
tertentu kepada masyarakat (community service), dan hukuman berupa tindakan
disiplin terhadap korporasi yang bersangkutan (punitive injunctive sentence)."
• Selain doktrin dapat dihukumnya korporasi, tentu perlu pula diketahui sepintas tentang
doktrin peniadaan pembebanan pertanggungjawaban korporasi. Dalam sistem hukum
pidana berlaku alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana yaitu
adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Apakah alasan pembenar dan alasan
pemaaf ini dapat diterapkan pada sebuah korporasi ? Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
alasan penghapusan pemidanaan tersebut yang terdapat pada orang yang merupakan
directing mind korporasi ketika perbuatan itu dilakukan oleh orang itu bukan saja akan
meniadakanpertanggungjawaban pidana orang itu, tetapi juga meniadakan
pertanggungjawaban korporasi perbuatan orang yang menjadi directing mind korporasi
diatribusikan kepada korporasi (dianggap sebagai perbuatan korporasi itu sendiri),
maka logikanya adalah bahwa alasan peniadaan pertanggungjawaban yang dirniliki
oleh orang tersebut harus juga diatribusikan kepada korporasi. Artinya, bila orang itu
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana maka dengan sendirinya korporasi juga
harus dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
The corporate culture model