Abstrak:
Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara Kekuasaan
yang artinya hukum diposisikan Sebagai panglima tertinggi dalam
suatu negara bukan ditempatkan sebagai pak turut bagi kepentingan
politik-politik tertentu, hal ini dapat dilihat pada penegasan dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara yang
berdasarkan pada hukum “. Konsep Restorative Justice meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan
hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban
dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian
yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan lainnya, hal ini searah dengan salah satu tujuan dari
pemidanaan itu sendiri tujuan hukum yang mau di capai adalah aspek
kemanfaatan, yang dalam hal ini kemanfaatan yang menarik status
pidana masuk ke wilayah perdata sehingga antara pihak pelaku dan
pihak korban sama-sama berada pada posisi yang di untungkan,
karenanya penerapan restorasi justice merupakan hal yang Urgensi
dalam hukum pidana dalam rangka untuk menjaga dan merawat
keakraban berwarga negara dan mempermudah proses perjalanan
hukum pidana, mengingat kultural primordial kita yang selalu punya
kecenderungan untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan pada
jalur kekeluargaan.
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara hukum, penegasan akan hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Di era kekinian ini banyak terjadi suatu
kejahatan di kalangan masyarakat Indonesia yang berujung pada jalur
usaha penyelesaiannya di lakukan melalui jalur Pengadilan (ligitasi),
dimana masyarakat cenderung menggunakan jalur yang namanya
Pengadilan sebagai upaya dalam menyelesaikan suatu perkara yang
menurut mereka secara konseptual dan teoritis akan menciptakan
keadilan, namun dalam kenyataan atau tataran law in action nya hal
tersebut malah justru tidak mudah untuk dicapai karena sifatnya yang
cenderung bersifat win lose solution ( solusi menang kalau ), hal ini
berarti pengadilan seolah terlihat sangat fakir atau langka untuk
mendapatkan keadilan, karena itu mencari keadilan di lembaga
pengadilan bagaikan mencari perawan dalam lokasi pelacur, realitas
seperti inilah yang berbicara dalam skala dunia penegakan hukum.
penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan yang sifatnya hanya
win lose solution pada umumnya kerap menimbulkan rasa “tidak enak
atau kecewa menyimpan dendam, merasa tidak puas, merasa tidak adil
bahkan lebih parah yaitu berniat ingin membalas dendam.Rasa tidak
enak atau kecewa tersebut yang tertanam kuat dibenak pihak yang kalah
akan berupaya untuk mencari “keadilan” Ke tingkat peradilan lebih
lanjut seperti Pengadilan Tinggi (PT), Bahkan sampai ke tingkat
Mahkamah Agung (MA) . Hal tersebut sudah barang Tentu
menimbulkan dua soal yaitu soal yang memungkinkan masyarakat
untuk terus berkonflik secara horizontal dan pada aspek admistrasinya
menyebabkan terjadi penumpukan perkara yang mengalir melalui
Pengadilan yang dapat menghambat sistem peradilan khususnya yang
ada di Indonesia, sehingga kehadiran dari konsep restorasi justice
memungkinkan terbangunnya dua hal pertama meminimalisirkan
konflik setelah penyelesaian perkara yang dilakukan melalui jalur
kekeluargaan dan meminimalisirkan penumpukan berkas pada lembaga
aparat penegak hukum yang dimulai dari pengadilan negeri hingga pada
tingkat mahkamah agung. Begawan hukum progresif ayahanda prof
Satjipto Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui
sistem peradilan yang berujung pada vonis Pengadilan merupakan suatu
penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini dikarenakan penegakan
hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai
tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang pada
akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak
sedikit di Pengadilan. Untuk itu perlu dilanjutkan langkah-langkah
untuk menyusun perundang-undangan yang menyangkut hak dan
kewajiban asasi warga negara dalam rangka mengamalkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945. Diharapkan seluruh warga negara Indonesia harus selalu sadar
dan taat kepada hukum, sebaliknya kewajiban negara untuk
menegakkan dan menjamin kepastian hukum, dengan kata lain
kehadiran dari konsep restorasi justice berupaya untuk memudahkan
masyarakat dalam rangka untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
hukumnya dan tidak di buat menunggu terlalu lama. Ada satu hal yang
perlu kita pahami secara bersama Bahwa kehadiran dari Restoratif
justice pada umumnya dapat Dikategorikan sebagai salah satu
Kelemahan bagi suatu lembaga litigasi Yang tidak dapat dihindari
walaupun sudah Menjadi suatu ketentuan. Bambang Sutiyoso dalam
bukunya Yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan
Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan
Mendatang” Menyatakan bahwa: Dewasa ini Penyelesaian sengketa
melalui pengadilan Mendapat kritik yang sangat tajam, baik Dari
kalangan praktisi maupun teoritisi Hukum karena Peran dan fungsi
peradilan Saat ini dianggap mengalami beban yang Terlampau padat,
lamban dan Buang waktu, biaya mahal dan kurang tanggap Terhadap
kepentingan umum, serta dianggap Terlampau formalitik dan
Terlampau teknis , terlebih lagi Adanya “mafia peradilan” yang seakan-
Akan mengindikasikan keputusan hakim Dapat dibeli. Mafia peradilan
sudah bukan lagi rahasia umum yang berlangsung dalam dunia
pengadilan, hal ini seolah menampilkan bahwa wajah pengadilan yang
mirip seperti wajah bisnis yang tempat untuk menghasilkan uang yang
banyak tanpa mempedulikan aturan main yang di tetapkan secara baik
oleh hukum, suasana semacam ini mengingatkan saya pada apa yang
pernah di kemukakan oleh salah seorang mantan advokat serta ahli
hukum terkenal dari Amerika serikat yang bernama Richard A posner
melalui bukunya yang berjudul analisis economy of law ( analisis
ekonomi terhadap hukum ) yang mana beliau menyatakan bahwa
keputusan untuk tunduk atau tidak pada hukum tidak bergantung pada
kesadaran moral seseorang tetapi akan dilihat berdasarkan pada aspek
yang memungkinkan nya memberikan keuntungan, dengan kata lain
para mafia hukum ini ketundukan mereka bukan pada hukum tetapi
pada kepentingan yang membawa kemanfaatan ekonomi bagi diri
mereka sendiri meskipun keuntungan ekonomi tersebut tidak sesuai
dengan hukum atau merugikan orang lain. Berbagai persoalan diatas,
dalam Perkembangannya muncul sebuah pilihan-Pilihan dalam
menyelesaikan kasus-kasus Yang berujung pada jalur litigasi yang
Dianggap tidak relevan untuk di terapkan Saat ini. Untuk itu perlu
adanya terobosan Baru yang ditawarkan guna mencapai rasa Keadilan
dalam memutuskan perkara yakni Dengan melaksanakan konsep
keadilan Restoratif (restorative justice). Itu sebabnya penulis tertarik
untuk berusaha mencoba mengkaji dan mendalami persoalan tersebut
dengan tema “ PENTINGNYA RESTORASI JUSTICE DALAM
HUKUM PIDANA “. Pentingnya penerapan Konsep keadilan restoratif
(restorative Justice) adalah alternatif yang populer di Berbagai belahan
dunia untuk penanganan Dan pencegahan perbuatan melawan Hukum
dalam arti formal karena Menawarkan berbagai solusi yang
Komprehensif dan efektif, Dengan kata lain Keadilan Restoratif
(restorative justice) sebagai keadilan pemulihan bertujuan Untuk
memberdayakan para korban, Pelaku, keluarga dan masyarakat untuk
Memperbaiki suatu perbuatan yang Melawan hukum dengan
menggunakan Kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan Untuk
memperbaiki kehidupan Bermasyarakat, serta untuk menghasilkan
keadilan sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan keinginan
masyarakat yang lebih khusus nya keadilan yang di rasakan oleh para
korban dan keadilan yang di terima oleh pelaku. Karena keadilan bukan
hanya terletak pada soal penegakannya tetapi juga bagaimana keadilan
yang terbangun tersebut dapat benar-benar dirasakan secara langsung
oleh masyarakat.
PEMBAHASAN
a. Pengertian keadilan restorasi atau restorative justice
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA