Anda di halaman 1dari 146

PEMILU 2004:

Transisi Demokrasi
dan Kekerasan

editor:
M. Faried Cahyono
Lambang Trijono

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id

CSPS Books
2004
Pemilu 2004: Transisi Demokrasi dan Kekerasan
Copyright © 2004 by CSPS BOOKS.
All rights reserved
Cetakan Pertama April 2004
Editor: M. Faried Cahyono
Lambang Trijono
Ilustrasi: Agus Supriyanto
Layout dan Cover: Syarafuddin
„ Arial (© 1990-92 by Monotype), Century Gothic (© 1990-91 by
Monotype), Georgia (© 1996 by Microsoft), Impact (© 1991-96
by Monotype), Wingdings (© 1992-95 by Microsoft).
„ Teks pada sampul belakang: M. Faried Cahyono

Diterbitkan atas kerjasama, oleh

CSPS – UGM
CSPS BOOKS
Center for Security and Peace Studies
(Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian)
Universitas Gadjah Mada
Sekip K-9 Yogyakarta 55281
Telp./Faks. (62-274) 520733
www.csps-ugm.or.id
ISBN 979-98203-2-4
dan

Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia


Jl. Kemang Selatan IX No 1A dan 1 B
Jakarta 12730
Telp. (021) 71792636, 7191227
Faks. (021) 7183714
www.fes.or.id
DAFTAR ISI

1 . Prolog 1
2. Pemilu 2004:
Taksanomi Tema dan Isu Relevan
Daniel Sparringa 9
3. Peta Kekuatan Politik dan
Konflik Lokal di Indonesia 1999 – 2004
I Ketut Putra Erawan 33
4. Memetakan Potensi
Kekerasan Politik Pemilu 2004
Lambang Trijono 55
5 . Proses, Tahapan, dan
Distorsi Politik dalam Pemilu 2004
Pratikno 73
6. Gelagat Kekerasan,
Pencegahan Konflik, dan Pemilihan Umum
Samsu Rizal Panggabean 101
7 . Epilog 131
This ebook downloaded
from www.csps.ugm.ac.id
Prolog 1

Pemilu 2004:
Transisi Demokrasi dan Kekerasan

PROLOG
2 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Prolog 3

PROLOG

Transisi politik dari pemerintahan rejim Orde


Baru ke pemerintahan transisi pasca-Soeharto,
hingga kini belum menghasilkan konsolidasi
demokrasi yang mampu mengatasi krisis multi-
dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Banyak
kendala, baik bersifat struktural maupun kultural
dihadapi rakyat Indonesia. Alih-alih akan segera
beranjak ke sistem politik yang demokratis,
pengikut Orde Baru masih cukup kuat bercokol
dalam struktur politik dan mereka masih
memimpikan kembali ke masa lalu. Birokrasi sebagai
salah satu pihak yang penting dalam sebuah sistem
politik demokratis masih lembam untuk perubahan.
Di kepartaian para pengikut Orde Baru mulai
lebih berani terang-terangan menampakkan diri.
Salah satu tokoh partai pendukung Suharto, bahkan
dalam masa kampanye Pemilu 2004 tanpa ragu
mengajak rakyat untuk tidak malu-malu menjadi
“antek Suharto”. Menurutnya, menjadi antek
Suharto baik, karena di jaman presiden Suharto lah
kehidupan sejahtera, dimana Indonesia mampu
melakukan swasembada beras. Tokoh ini, tentu
lupa atau melupakan bahwa stabilitas keamanan di
jaman Orde Baru, tak sebanding dengan
pengorbanan rakyat yang begitu besar. Hak-hak
rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan
4 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

kultural sempat lenyap dicabut negara di jaman


Orde Baru. Untuk sekedar contoh, begitu banyak
kearifan lokal hilang dicabut pemerintah Orde Baru,
dan sulit dikembalikan ketika rakyat memasuki
jaman keterbukaan.
Namun, bisa dimengerti bagaimana tawaran
kembali ke masa Orde Baru mendapatkan angin
karena pemerintahan transisi pasca Suharto, belum
mampu melakukan konsolidasi yang memadai
hingga mampu menjawab krisis nasional. Khusus-
nya menyangkut kebutuhan rakyat untuk kehidup-
an yang lebih baik dengan cara segera. Nyatanya
pemerintahan transisi belum mampu memberikan
kesejahteraan buat rakyat, khususnya kemudahan
mencari makan dan pekerjaan. Menurut data, paling
tidak ada 40 juta jiwa penganggur dan akan terus
meningkat dengan tidak membaiknya kondisi
ekonomi Indonesia. Selain itu, masalah kesenjangan
sosial dan ekonomi juga makin melebar. Praktek
korupsi semakin merajalela di masyarakat.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa konflik
dengan kekerasan di beberapa daerah di Indonesia
masih berlanjut. Daerah pasca konflik belum
mendapatkan penanganan yang berarti. Recovery
dan rehabilitasi atas bekas konflik tidak dilakukan
secara maksimal. Pada pemilu 2004 ini, kita juga
menyaksikan daerah-daerah yang tampaknya
relatif aman tetap mengandung potensi konflik
terpendam, dan cenderung meningkat jika tidak
Prolog 5

mendapatkan penanganan yang baik. Pada


kenyataannya ada atau tidak pemilu, konflik dengan
kekerasan rentan terjadi di Indonesia. Dan sejarah
Pemilu Indonesia di masa Orba adalah cerita
tentang tradisi kekerasan.
Di arena kebijakan publik, baik di tingkat pusat
maupun daerah, banyak masalah pokok belum
terpecahkan akibat terjadinya distorsi-distorsi
dalam pengambilan kebijakan politik. Partisipasi
dan artikulasi kepentingan warga masyarakat
belum cukup terakomodasi dalam sistem demokrasi
yang sedang dibangun. Karena itu menjadi penting
memperhatikan Pemilu tahun 2004.
Pemilu kali ini diselengarakan di dalam konteks
belum pulihnya Indonesia dari berbagai krisis. Juga
karena adanya tantangan pelembagaan demokrasi,
sementara ancaman terjadinya konflik dengan
kekerasan tetap terbuka. Pengalaman berbagai
negara menun-jukkan bahwa transisi demokrasi
yang terlalu cepat yang tidak disertai dengan
pelembagaan politik demokrasi yang memadai,
justru bisa menghasilkan gejolak sosial-politik yang
bisa menganggu jalannya proses demokratisasi.
Ledakan partisipasi politik yang mencuat ke
permukaan akibat terlalu lama hidup tertekan
dibawah rejim otoritarian, disertai kekecewaan
massa yang meluas akibat belum adanya perbaikan-
perbaikan kebijakan publik, bisa berubah menjadi
kekerasan politik.
6 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Potensi kekerasan politik pada pemilu 2004


demikian besar. Berbeda dengan pemilu tahun
1999, pemilu 2004 secara khusus ditandai oleh
tahapan-tahapan pemilu yang memberi peluang
besar bagi terjadinya ledakan partisipasi politik
masyarakat. Masa kampanye pemilu di Indonesia,
merupakan masalah klasik yang sering menjadi
ajang bagi munculnya ledakan mobilisasi dan
partisipasi politik massa yang luas.
Dalam Pemilu 2004 masyarakat akan memilih
anggota parlemen, juga akan melakukan pemilihan
presiden secara langsung. Karena itu perlu dipeta-
kan secara cermat potensi kekerasan politik pemilu
2004. Dari situ akan ditentukan langkah-langkah
pencegahannya, sehingga pemantapan kelembaga-
an demokrasi bisa dicapai. Pemetaan harus
dilakukan atas potensi-potensi dan sumber-sumber
konflik secara cermat di berbagai daerah dan sektor
kehidupan di masyarakat. Langkah-langkah
peringatan dini, pencegahan dan tranformasi
konflik, diperlukan tidak hanya untuk kepentingan
lancar dan amannya pemilu 2004, tapi juga untuk
kepentingan pemilu-pemilu di Indonesia pada masa
yang akan datang. Pada akhirnya diharapkan pemilu
benar-benar menjadi solusi damai masalah
berbangsa.
Buku ini disusun berdasar hasil lokakarya
dengan tema, “Peringatan Dini dan Pencegahan
Kekerasan Politik Pemilu 2004,” yang diseleng-
Prolog 7

garakan oleh Center for Security and Peace Studies


(CSPS)/ Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
(PSKP) Universtias Gadjah Mada (UGM), bekeja-
sama dengan Freidrich Ebert Stiftung (FES)-
Indonesia di Yogyakata, 9-10 Maret 2004. Loka-
karya diikuti oleh 30 peserta dari kalangan sipil,
LSM, akademisi, tokoh masyarakat, partai politik,
dan pemerintah/penyelenggara pemilu. Peserta
berasal dari empat kategori daerah di Jawa, Bali,
dan NTB, yang memiliki karakteristik sebagai
berikut: (1) daerah yang memiliki kebiasaan (ritual)
konflik kekerasan dalam pemilu; (2) daerah yang
memiliki potensi konflik (latent conflict); dan (3)
daerah yang relatif “stabil”.
Selama dua hari peserta diarahkan dalam dis-
kusi dengan upaya capaian, (1) Mengidentifikasi
potensi konflik dan kecenderungan munculnya
kekerasan pilitik dalam pemilu 2004; (2) Mening-
katkan kesadaran kalangan masyarakat sipil, partai
politik, dan pemerintah/KPU akan potensi terja-
dinya kekerasan politik dalam pemilu 2004 yang
bisa menganggu terselenggaranya pemilu yang
damai dan demokratis; (3) Merancang rencana aksi
dan kerjasama antar berbagai pihak dari kalangan
sipil, partai politik, dan pemerintah/penyelenggara
pemilu (KPU), untuk mencegah dan transformasi
kekerasan politik Pemilu 2004 menuju demokrasi.
Kepada para narasumber dimana bahan pre-
sentasi mereka digunakan dalam buku ini, serta
8 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

segenap peserta dari berbagai daerah yang telah


mencurahkan segenap pikiran dan membagi
pengalamannya dalam dua hari lokakarya,
diucapkan banyak terima kasih. Ucapan teri-ma
kasih juga disampaikan kepada saudara Kristina
Sintia Dewi, Liza Laela Mardiana dan Suparman
atas kerjasama yang diberikan selama lokakarya
berlangsung, juga selama waktu penulisan buku.
Terimakasih juga diperuntukkan kepada Ni Komang
Widiyani, Nurul Aini, dan Vita Dian Putri yang telah
mengerjakan notulensi selama lokakarya, sehingga
memudahkan penulisan buku ini. Terima kasih
diucapkan kepada saudara Frans Vicky de Jalong
atas beberapa komentarnya sebelum naskah naik
cetak. Kepada FES-Indonesia disampaikan
apresiasi sebesar-besarnya atas dukungan yang
diberikan hingga buku ini bisa diterbitkan.
Khususnya kepada Sdri Sherly dan Riska Yuli
Hendriani disampaikan terima kasih atas
dukungannya hingga buku ini terbit.
Mudah-mudahan buku sederhana ini
bermanfaat, dan pikiran-pikiran yang disampaikan
memberi sumbangan berarti untuk perbaikan
penyelenggaraan pemilu yang damai di Indonesia.

Yogyakarta, Maret 2004


M. Faried Cahyono dan Lambang Trijono
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 9

Pemilu 2004:
Taksonomi Tema
dan Isu Relevan
Daniel Sparringa
Kepala Laboratorium “Masalah-masalah
Pembangunan” FISIP Universitas Airlangga
10 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 11

Amandemen UUD 1945 dan Tata


Negara RI
Empat amandemen UUD 1945 memberikan
beberapa hasil penting yaitu pengadopsian sistem
“Bikameral”, pengakhiran MPR sebagai “super
body”, dan dilakukannya pemilihan presiden secara
langsung. Terhadap lembaga negara, empat
amandemen ini menghapus Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dan kursi bagi TNI di DPR. Selain
penghapusan, juga dibentuk tiga lembaga baru yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Judisial (KJ)
dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terhadap ketatanegaraan Republik Indonesia,
amandemen tersebut memberikan implikasi
adanya adaptasi terhadap Trias Politica. Yaitu MK,
KJ, dan KPU sebagai auxiliary institution. Parlemen
terdiri dari dua kamar dengan DPR sebagai wakil
rakyat melalui partai politik dan DPD mewakili
daerah melalui calon perorangan. Sementara MPR
adalah lembaga “joint session”.
Posisi presiden menjadi lebih kuat karena
dipilih langsung oleh rakyat, sehingga parlemen
tidak bisa menjatuhkannya hanya karena kebijakan
yang berseberangan dari parlemen. Keabsahan
impeachment terhadap presiden yang diajukan
DPR ditentukan oleh MK.
MA mengurusi lembaga peradilan
konvensional. Sementara MK mengurusi sengketa
12 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

konstitusional antar-lembaga negara dan diantara


lembaga negara dan publik. KJ mengawasi para
hakim dan mengoperasikan lembaga peradilan
konvensional.

Implikasi Amandemen dan


Perubahan Ketatanegaraan
Terhadap Pemilu 2004
Pemilu 2004 dengan adanya amandemen UUD
1945 yang mengakibatkan perubahan ketata-
negaraan RI menjadi berbeda. Implikasi ini ter-
hadap pemilu 2004 adalah adanya KPU yang ber-
sifat tetap mandiri dan nasional sebagai menye-
lenggara
1 . Pemilihan anggota DPR untuk tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota;
2. Pemilihan anggota DPD untuk tingkat nasional
(empat untuk setiap provinsi);
3. Pemilihan presiden dan wakil presiden setelah
pemilihan DPR/DPD, dan dilakukan dalam dua
putaran apabila dalam putaran pertama tak
terdapat pasangan calon yang berhasil
mengumpulkan 50% suara plus 1
Salain itu KPU juga memiliki tugas dan
wewenang:
1 . melakukan verifikasi partai politik peserta
pemilu;
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 13

2. melakukan verifikasi calon anggota DPR(D)


dan DPD;
3. membentuk Panwaslu untuk mengawasi
pelanggaran pemilu dan pemilihan presiden;
4. menetapkan daerah pemilihan;
5 . menetapkan jumlah kursi anggota DPR(D);
6. melakukan penghitungan suara dan pensahan
hasil pemilu dan pemilihan presiden.
Namun jika terjadi sengketa mengenai hasil pemilu
dan pemilihan presiden, maka MK yang
memutuskannya. MK juga memiliki kewenangan
dalam pembubaran suatu partai politik.
Sementara Panwaslu yang dibentuk oleh KPU
bertugas
1 . Menerima dan memeriksa dan menangani
laporan pelanggaran pemilu yang bersifat
bukan pidana;
2. Menyelesaikan sengketa di antara partai
politik;
3. Pelanggaran yang bersifat pidana diteruskan
kepada penyidik;
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan meng-
gunakan sisitem proporsional semi terbuka.
Dimana partai politik peserta pemilu menyusun
daftar calon anggota DPR (D) dengan preferensi
urutan “nomor jadi”. Namun pemilih diharuskan
memilih tanda gambar partai politik atau tanda
gambar dan nama calon. Jika pilihan pada nama
14 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

calon tanpa disertai tanda gambar maka suara


dinyatakan tak sah. Tetapi pilihan pada tanda
gambar tanpa nama calon adalah sah. Calon yang
memperoleh dukungan suara ekuivalen dengan
“harga kursi” (BPP) atau lebih otomatis menjadi
anggota dewan. Kelebihan dukungan suara pada
calon anggota menjadi milik partai politik. Partai
Politik menentukan sendiri calon yang dikehendaki
untuk menjadi calon anggota dewan berdasarkan
dukungan suara yang dihimpun dari tanda gambar
dan kelebihan suara pada “calon jadi” menurut
nomor urut.

Tingkat Kekritisan Pemilu 2004


Beberapa faktor krusial yang dapat
menyebabkan kekritisan Pemilu 2004, dari sedang
hingga tinggi:
1 . Jadual yang ketat dalam setiap pentahapan
Pemilu;
2. Keterlambatan/penundaan atas beberapa
pentahapan pemilu;
3. Perangkat perundang-undangan (UU Pemilu,
UU Susduk, UU Pemilihan Presiden) sangat
diwarnai oleh perdebatan kepentingan politik
partai;
4. Lembaga penyelenggara Pemilu KPU dan
Panwaslu, utamanya di tingkat daerah, sedang
secara serius terancam oleh proses
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 15

demoralisasi karena tiadanya waktu, uang, dan


pengalaman yang cukup untuk menjalankan
fungsinya;
5. Pemilu 2004 tidak memiliki tanda yang jelas
bagi terjadinya sirkulasi elite;
6. Masyarakat pemilih mengalami apatisme,
pesimisme dan skeptisisme (APES) terhadap
partai politik dan cenderung mengambil jarak;
7. Dugaan akan tingginya pelanggaran pemilu
akan mendorong penumpukan berkas yang
menyulitkan Panwaslu, Polisi, dan MK untuk
berfungsi secara efektif;
8. Keterlambatan/penundaan pemilu membuka
jalan bagi munculnya konspirasi politik tinggi
untuk menggagalkan atau membatalkan
pemilu;

Skeptisisme Terhadap Pemilu 2004


dan Transisi Demokrasi
Pemilu 2004 juga ditandai dengan adanya
skeptisisme masyarakat pemilih terhadap Pemilu
2004 ini dan pada proses transisi demokrasi. Karena
hasil Pemilu 1999 dilihat masyarakat tidak
membawa pengaruh berarti bagi perbaikan
keadaan umum di negeri ini.
Pada level parlemen, muncul perceived reality
masyarakat tentang anggota dewan hasil pemilu
1999 bahwa dewan “berumah di atas angin”,
16 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

melakukan praktik Oligarki, melakukan praktik


anarki, merupakan “perek” (politisi erek-erek),
sebagai “moral broker”, dan merupakan “alien”.
Pada level pemerintahan, terjadi kekecewaan
yang meluas terhadap pemerintah hasil pemilu
1999. Bahwa pemerintah tidak memiliki agenda
yang jelas untuk keluar dari krisis, leadership yang
lemah dan mengakibatkan berkembangnya
apatisme politik publik, praktik korupsi di kalangan
birokrasi meluas, penegakan hukum yang lemah,
Implementasi otonomi daerah yang tak produktif
bagi kemerataan kemakmuran dan keadilan, Wajah
Kabinet “Gotong-royong” yang “gotong-potong”.
Akhirnya memunculkan pertanyaan-
pertanyaan rakyat tentang transisi demokrasi di
Indonesia:
1 . Demokrasi untuk apa dan siapa?;
2. Dari mana memulainya, kapan berakhir, dan
bagaimana mengakhirinya?;
3. Berapa lama transisi ini akan berlangsung?;
4. Dengan ongkos apa dan berapa besar?;
5 . Siapa yang harus menanggung?;
6. Apa saja yang sedang dikerjakan para
pemimpin di negeri ini?
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 17

Beberapa Fakta dan Interpretasi


Pemilu 2004
Dalam Pemilu 2004 jumlah pemilih terdaftar
sekitar 146 juta dengan pemilih pemula sekitar 20-
30 juta. Mayoritas calon pemilih menyatakan tidak
mengetahui atau bahkan tidak berminat untuk
mengetahui perbedaan pemilu-1999 dan 2004,
jadual pemilu dan pemilihan presiden 2004.
Proses pembentukan KPU dan Panwaslu di
daerah pada umumnya diwarnai oleh pergulatan
kepentingan partai politik. KPU dan Panwaslu di
tingkat daerah memiliki pengalaman yang sedikit
tentang penyelenggaraan pemilu dan menghadapi
masalah koordinasi
Sampai saat ini, belum diketahui format kartu
suara pemilihan anggota DPR(D), DPD, dan Pilpres.
Tata cara penggantian calon presiden/wakil
presiden yang berhalangan tetap, meninggal, atau
mengundurkan diri dalam putaran pemilihan
kedua. Dan mekanisme konstitusional apabila
terjadi kekosongan kekuasaan yang diakibatkan
oleh penundaan pemilihan presiden/wakil
presiden.

Potensi Konflik dalam Pemilu-2004


Konflik dalam pemilu 2004 dapat dipicu oleh
aturan dan atau interpretasi atas aturan pemilu
yang tidak jelas, penegakan atas pelanggaran aturan
18 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

pemilu yang tidak konsisten, lemahnya


infrastruktur dan kapasitas organisasi
penyelenggara pemilu, penetapan daerah
pemilihan yang dianggap tidak adil, pengaturan
jadual kampanye yang dianggap tidak adil, dan
proses penghitungan suara yang tidak transparan/
tidak akurat. Selain itu benturan fisik antar-massa
partai dan perusakan atribut partai oleh massa dari
partai lain, juga merupakan potensi konflik yang
juga harus dicermati.

Analisis Atas Tema dan Isu konflik


dalam Pemilu-2004
Secara umum tema konflik akan bercampur
aduk antara tema ideologis (ideological
battlefield), kekuasaan (power struggle) dan politik
kantor (office politics). Konflik berlatar ideologis
akan muncul dari agak samar-samar hingga cukup
jelas, utamanya dalam pemilu legislatif. Konflik
bertajuk perjuangan kekuasaan (siapa mendapat
apa, berapa banyak, dan kapan) utamanya akan
mewarnai pemilu presiden. Dan tema politik kantor
terjadi secara internal pada partai-partai gemuk.
Sementara koalisi antar-partai cenderung
dibangun atas dasar pertimbangan kepentingan
kekuasaan yang bersifat tematis, tentatif, dan
politis. Daripada atas dasar kesesuaian ideologis.
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 19

Ketegangan politik semasa kampanye terutama


terjadi di antara partai-partai yang memperebutkan
dukungan dari kalangan massa kelas bawah dengan
afiliasi kultural yang sama.
Eksploitasi atas tema yang berhubungan
dengan “warisan Orde Baru” dan kegagalan “rejim
transisi” akan menjadi isu penting yang membelah
tiga kelompok tema kampanye:
1 . Partai (-partai) yang tengah berkuasa akan
lebih banyak menunjuk masa lalu sebagai
sumber masalah
2. Partai (-partai) peserta pemilu 1999 akan
menunjuk “rejim transisi” yang sedang
berkuasa sebagai sumber masalah
3. Partai (-partai) baru akan memakai kedua-
duanya untuk membangun dukungan politik
Tema-tema strategis dalam kampanye adalah
masalah korupsi, penegakan hukum,
desentralisasi/otonomi, privatisasi BUMN,
leadership, NKRI, ketidakmerataan, gender,
Nasionalisme Indonesia, Syariah Islam,
Globalisasi, dan Terorisme.
Kabar buruk bagi Pemilu 2004 adalah
antusiasme rakyat pada pemilu legislatif relatif
rendah, ikatan emosi antara rakyat dan (hasil)
pemilu 2004 relatif rendah komitmen rakyat untuk
mensukseskan pemilu relatif rendah, Pemilu 2004
lebih dilihat sebagai pesta pemimpin daripada pesta
20 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

demokrasi, kampanye akan lebih dilihat sebagai


kesempatan cuma-cuma meluapkan kepenatan
hidup daripada partisipasi politik rakyat, dan secara
relatif tidak terjadi pendidikan politik tentang
demokrasi.
Namun kabar baiknya adalah adanya harapan
terhadap munculnya pasangan calon presiden-
wakil presiden yang membesarkan hati cukup
berkembang walaupun tidak besar, antusiasme
rakyat yang rendah cenderung membuat mereka
mengambil jarak psikologis pada semua partai
(termasuk pada partai pilihan mereka sekalipun),
jarak psikologis membuat rakyat tidak berminat
untuk mengumbar permusuhan pada partai politik
lain yang memicu konflik fisik secara terbuka dan
luas, manipulasi atas tema kesenjangan kelas yang
didasari oleh sentimen ras dan agama tidak populer
(lagi), dan desentralisasi membuat elite politik lokal
memiliki kepentingan yang sama untuk mencegah
terjadinya anarki yang meluas.

Beberapa Saran Pencegahan Konflik


Pemilu 2004
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
semestinya secepatnya membentuk sebuah
jaringan komunikasi dan informasi yang
terintegrasi untuk mengembangkan early warning
system untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 21

yang tak terkendali.


Pemerintah harus memfasilitasi terbentuknya
forum bersama multistake-holders yang berunsur
elemen masyarakat, pasar, dan pemerintah sebagai
sebuah lembaga mediasi non-formal. Secara aktif
menjalankan peran sebagai lembaga peace-broker.
Dan memberi jaminan keamanan bagi jalur
produksi dan distribusi ekonomi dengan
mengintegrasikan community policing
Juga harus dilakukan desakralisasi pemilu dan
dekonstruksi skenario kiamat.

Lampiran:
Peta Ideologis Partai-partai Politik
(official-unofficial, declared-undeclared)
Ideologi Islam
a. Islam Orthodoks: Partai Bulan Bintang
b. Islam Progresif: Partai Keadilan Sejahtera
c . Islam Tradisional: Partai Persatuan Nahdatul
Ulama, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Bintang Reformasi
d. Modernis: Partai Amanat Nasional

Ideologi Sosial Demokrat


a. Progresif Kiri: Partai Merdeka dan Partai Buruh
Sosial Demokrat
22 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

b. Progresif Kanan: Partai Perhimpunan


Indonesia Baru
c . Konservatif Tengah: Partai Sarikat Indonesia

Ideologi Nasionalis
a. Nasionalis Populis (Marhaenisme: Sosialisme
Indonesia): PNI Marhaenisme, Partai Nasional
Banteng Kemerdekaan, Partai Penegak
Demokrasi Indonesia, Partai Pelopor
b. Nasionalis Negara (State Developmentalism):
Partai GOLKAR, PDI Perjuangan, Partai Patriot
Pancasila, Partai Keadilan dan Persatuan.
c . Nasionalis Religi (Islam Kebangsaan): Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera,
Partai Karya Peduli Bangsa
d. Nasionalis Demokrat (Nation State): Partai
Demokrat
e. Nasionalis Progresif (National Pluralis): Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan dan Partai
Persatuan Daerah
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 23

Rangkuman Forum

Presentasi:
Demokrasi Kita, Demokrasi Zombi
Pemilu macam apakah yang kita temui pada
2004 ini? Pemilu yang kritis. Demikian menurut
Daniel Sparringa, pengamat politik dari Fisip
Universitas Airlangga. Pemilu 2004 ini dipersep-
sikan publik “kritis” justru ketika transisi sedang
terjadi. Paling tidak ada 3 indikator untuk melihat
apakah pemilu sesuatu ang penting atau tidak. (1)
Pemilu sebagai usaha perubahan secara damai. (2)
Pemilu terdapat prinsip kontestansi, rivalitas, bah-
kan konflik politik idelogi difasilitasi untuk solusi
dan resolusi (3) Dengan pemilu maka ada upaya
membuat jarak antara lembaga dengan rakyat
menjadi dekat. Masyarakat bisa berkomunikasi
dengan lembaga.
Namun, pemilu 2004 ini sedang kritis karena
rakyat tidak merasa cukup mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi siapa yang hendak duduk
menjadi wakilnya. Disebut kritis kalau disatu pihak
pemilu seharusnya sesuatu yang penting, namun
di lain pihak rakyat menganggap pemilu 2004 tidak
penting. Seharusnyalah, lewat Pemilu rakyat
menggugat kontrak dasar yang baru.
Titik kritis berikutnya,menyangkut perta-
nyaan yang muncul dari rakyat soal, siapa yang
24 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

akan menang dalam pemilu. Kelompok agamis atau


nasionalis yang menang. Kalau kelompok agamis
yang menang, anggapan simplistisnya adalah,
penerapan syariat Islam akan dilakukan. Kalau
kelompok agamis kalah, anggapannya adalah orang
yang tidak suka syariat Islam diterapkan senang.
Namun pembagian dalam kelompok agamis atau
nasional ini tidak akan membantu dan hanya
menyeder-hanakan masalah saja. Karena, apa
gunanya jika ke-lompok nasionalis atau agama
menang, tapi ternya-ta tidak demokratis, tidak
aspiratis, dan tidak memi-liki komitmen pupulis.
Soal penting ini tidak jadi wacana saat ini sehingga
pemilu kritis.Pemilu tidak memperkuat transisi
demokrasi sesuai harapan.
Pemilu 2004 juga sedang kritis karena perta-
nyaan rakyat mengenai kapan transisi demokrasi
di Indonesia selesai. Pertanyaan pertama menyang-
kut transisi, muncul ketika Soeharto jatuh. Pada
masa ini orang percaya bahwa transisi menjadi
sangat monumental. Ada narasi yang menunjukkan
sinis merakyat pada masa transisi. Ada kekacauan.
Orang merasa apa gunanya kebebasan kalau hal
yang fundamental, seperti rasa aman dan kecukupan
pangan, tidak terpenuhi.
Kedua, orang akan bertanya kapan transisi ini
akan selesai. Orang merasa tidak sabar menunggu
transisi. Pertanyaan soal kapan selesai transisi
Indonesia, sempat muncul di kongres di Amerika.
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 25

USAID yang memfasilitasi transisi di seluruh dunia


–termasuk Indonesia– lewat program OTI ditanya
salah seorang senator mengenai kapan transisi di
Indonesia selesai. Mereka menganggap masa 5
tahun transisi Indonesia yang harus dibiayai hasil
pajak warga Amerika, terlalu lama. Konggres Am-
erika hanya bisa menenggang memberi bantuan
transisi Indonesia, untuk masa 2-3 tahun saja. Kare-
na itu, program bantuan lantas dipotong, dan tidak
ada lagi dana untuk program transisi demokrasi di
Indonesia, meskipun dana Konggres muncul dengan
nama yang lain. Tapi, sebetulnya, berapa ongkos
konkrit transisi di Indonesia? Mengutip The
Economist adalah Rp 600 triliun (senilai BLBI -ed).
Laporan penelitian dari Swedia yang dikutip
Daniel, menghasilkan 14 kesimpulan. Salah satu
yang penting, disebut transisi di Indonesia sudah
selesai. Para auditor/reviewer dari Indonesia
sangat keberatan dengan istilah “transisi sudah
selesai”. Jika transisi sudah selesai, apa lagi yang
bisa dikerjakan. Ini yang menyebabkan terjadi
perdebatan, tidak mengenai substansi tapi
bagaimana data digunakan. Karena itu, lantas diru-
muskan istilahnya menjadi “Banyak momentum
transisi menuju demokrasi yang lebih substansial
hilang karena dibajak, dibelokkan oleh elit yang
manipulatif dan korup”. Yang pasti, kata Daniel,
betapa sulitnya orang menerima kenyataan bahwa
transisi di negeri ini telah selesai. Mereka umumnya
26 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

melihat transisi bahwa kelembagaan politik sudah


ditanam. Jika yang jadi ukuran adalah masyarakat
Internasional, maka seharusnya orang disini
menerima juga.
Selain itu, ada soal penting yang menjadikan
Pemilu kali ini kritis, ketika rakyat bertanya tentang:
“Pemimpin ada dimana?”. Pertanyaan ini muncul
selama 6 tahun terakhir. Rakyat tidak melihat kaitan
Pemilu dengan produksi pemimpin. Yang ada ada-
lah pemilu memproduksi para penguasa, dan bukan
pemimpin. Pemilu tidak dianggap sebagai usaha
untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
Masyarakat berusaha membangun mekanisme
melindungi diri sendiri dari rasa disakiti karena
keinginan mereka tidak terartikulasikan. Mereka
yang tealienasi oleh struktur dan proses demokrasi
ini sudah terlihat dari setahun yang lalu. Pemilu
memang penting, tapi lebih penting dan menjadi
sangat strategis untuk memikirkan beyond Pemilu
dan civil liberties. Memang menjadi masalah besar
sekarang ketika Parlemen, partai politik, tidak
mengurus tapi malah menggerus rakyat yang ada
dibawahnya. Tidak ada rasa saling mempercayai
antara rakyat dan wakilnya. Karena itu ada paradoks
dan kontradiksi yang menyebabkan transisi menuju
demokrasi belum selesai. Demokrasi kita baru
demokrasi prosedural tapi tidak memiliki roh,
seperti zombi.
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 27

Tanya Jawab
Moderator Ari Sujito dari IRE, mencatat
beberapa hal penting menyangkut cara pandang
Daniel Sparringa bahwa transisi diisi oleh
pelembagaan demokrasi. Kata kuncinya adalah
konsolidasi dan pelembagaan politik. Catatan
terakhir, pilar demokrasi yang disebut
parlementarisme dan civil liberties ternyata saling
menegasikan. Protes sosial ekstra parlemen
menjadi kontra produktif.
Lukas Ispandriarno, dari Fisip Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, merasa heran bagaimana
Senat di Amerika Serikat tidak melihat masyarakat
dunia ketiga mengalami problem yang rumit dalam
transisi demokrasi. Apakah paradoks dan dilema
antara parlementarisme dan civil liberties (CL) ini
tidak bisa dipertemukan?
Zuli Qadir, dari Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM) merespon Daniel yang
membagi partai dalam kelompok nasionalis dan
agamis. Agamis dan Nasionalis akan bertemu,
bahkan antara Agamis, bisa tidak saling bertemu.
Misalnya, Gus Dur akan susah berkompromi dengan
Amien Rais, Hamzah Haz dan Hidayat Nur Wahid.
Jika nanti yang maju dalam putaran pertama adalah
Megawati yang dihadapkan pada orang-orang
santri, maka kalangan agamis, menurut Zuli Qadir,
akan mengambil jalan pragmatis. Sentimen
28 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

ideologis keagamaan dalam konteks Indonesia


masih sangat relevan. Bagaimana menjelaskan
sentimen ideologis ini bisa berkompromi dengan
partai yang memakai idelogi non sektarian? Lewat
jalan mana kompromi itu. Zuly juga menanyakan
berapa lama kita harus menjalani transisi ini?
Kenapa masa transisi ini tidak dijawab dengan cara
memakai tahapan tertentu. Misalnya, tahun
pertama akan melakukan tahapan ini dan
seturusnya?
Menanggapi forum, Daniel Sparringa
mengatakan, istilah transisi sebenarnya diambil
dari pengalaman Amerika Latin, bukan dari dunia
Barat. Karena itu ketika mereka melihat problem
demokrasi di dunia berkembang dianggap sama
dengan dunia Barat. Pertanyaan mengenai apakah
kita harus menggunakan pengalaman dunia Barat
dalam tahap transisi kita? Menurut Daniel,
pengalaman Barat tidak bisa diambil sebagai
protokol untuk mengawal transisi Indonesia.
Negara-negara Barat punya pengalaman 600 tahun
lebih, sementara negara seperti Indonesia tidak.
Lebih lanjut, Daniel menjelaskan, transisi
demokrasi berkenaan dengan mengatur kembali
hubungan state dan civil society. Bagaimana state
harus diubah ini berkaitan dengan reformasi.
Namun, Indonesia mempunyai kebutuhan
yang lebih besar dibanding sekedar mengatur
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 29

hubungan state dan civil society. Elemen civil


society (CS) tidak ada pengalamannya. Karena itu
perlu social kapital. Tapi, bagaimana harus
disiapkan untuk mengatur hubungan state dan CS
ini tidak ada pengalamannya. Mengelola CS menuju
transformasi inilah yang kita tidak punya skill. CS
kita punya masalah yang tidak kalah besarnya
dibanding state dan kita harus jujur mengakui. CS
kita tidak punya waktu yang cukup untuk
mengembangkan diri, bahkan pada masyarakat
kolonial sekalipun. Orde Baru mengembangkan
argumentasi sipil lemah untuk melemahkan
demokrasi. Misalnya dengan mengatakan ada SARA
di masyarakat.
Jika harus dilakukan pemberdayaan
masyarakat sebagai usaha, pertanyaannya adalah
siapa yang mau memberdayakan? Yang disebut
agency untuk mengembangkan diri biasanya
adalah LSM. Mereka merasa lebih tinggi dari yang
lain tapi, ini terjadi karena kondisi masyarakat sipil
kita lemah. Kita juga punya masalah dengan wakil
rakyat yang berperspektif kacau. Ini juga kesalahan
orang yang memilih juga. Misalnya ada istilah
majority rule. Mereka menganggap majority rule
ini adalah soal kuantitas. Padahal bukan ini.
Ditingkat CL, mereka menyerahkan pengambilan
keputusan oleh parlemen dan mereka juga tidak
melibatkan diri. Ini bukan persoalan sistem lagi
30 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

karena sistem kita tidak sangat buruk. Ini krisis


moral.
Lebih lanjut, Daniel melakukan pemetaan
kelompok Islam (lihat lampiran makalah)
Menurut Daniel, Islam Ortodok merujuk pada
sistem pemerintahan masa lalu. Islam progresif
mengusung syariat Islam sebagai kepercayaan
yang tidak lekang oleh jaman, mereka akan
menyerahkan kepemimpinan pada yang terdidik,
menyuarakan perubahan lewat jalan damai dan
parlementarisme. Lalu, ada Islam Tradisional.
Sedangkan Islam Modernis (PAN) sendirian, karena
mereka juga tidak jelas mengatakan mereka
memihak agama, hanya karena kedekatannya
dengan Muhammadiyah yang menyebabkan ia
dicap partai Islam.
Bagaimana mempersatukan ini? Nasionalisme
yang diusung PDIP juga tidak cukup mencerahkan.
Platform yang dibutuhkan adalah demokrasi.
Demokrasi memberi kesempatan orang
mendapatkan ruang publik yang sama. Namun,
demokrasi juga kadang tidak produktif. Demokrasi
juga memberi peluang munculnya ideologi syariat
Islam. Kelompok Islam boleh saja menggunakan
itu tapi untuk tujuan demokrasi juga. Syariat Islam
tidak relevan dengan demokrasi. Alternatif ini
adalah alternatif ideologi, namun bukan sesuatu
yang produktif.
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 31

Kapan, kira-kira transisi ini akan berakhir?


Kalau pemerintahan dan parlemen hasil pemilu
2004 ini kualitasnya sama dengan pemilu 1999,
maka pada tahun 2007 adalah titik kritis. Ada
demokrasi tapi belum tentu ada rohnya. Kalau itu
yang terjadi, untuk mempercepat transisi, satu-
satunya jalan adalah kembali turun ke jalan dan kita
mulai lagi dari nol.
32 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 33

Peta Kekuatan Politik


Dan Konflik Lokal Di
Indonesia 1999-2004
Dr. I Ketut Putra Erawan, M.A.
Ketua Pengelola Program Ilmu Politik
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
34 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 35

Pengantar
Kajian tentang hubungan antara peta kekuatan
politik dan konflik lokal di Indonesia masih bukan
hanya jarang dilakukan tetapi juga tidak serius
dikerjakan. Yang sering dilakukan adalah kajian
secara terpisah. Litbang Kompas misalnya
menyajikan ulasan yang sangat informatif tentang
peta kekuatan politik. International Crisis Groups
misalnya rajin menyajikan laporan fenomena
konflik di Indonesia. Banyak pula telah dilakukan
kajian historis tentang peta kekuatan politik
maupun kajian konflik lokal (Kahin, Klinken).
Kajian-kajian terakhir ini secara umum juga melihat
implikasi peta kekuatan politik dan konflik lokal
berdasarkan studi kasus tertentu. Dengan demikian
kajian yang mendalam tersebut masih menyisakan
problem seberapa jauh kesimpulan dari daerah
tersebut dapat dipakai untuk mengerti daerah lain
di Indonesia. Secara keilmuan, fenomena ini juga
menimbulkan keresahan karena tidak adanya cukup
akumulasi ilmu dan temuan yang membuat ilmu
politik berkembang dengan lebih baik.
Paper ini tidak berpretensi untuk menjawab
persoalan-persoalan yang sangat mendasar itu saat
ini. Paper ini adalah upaya awal untuk melakukan
pemetaan terhadap konflik lokal di 71 daerah tingkat
II di Indonesia untuk periode 1999-2004 dan
kaitannya terhadap peta kekuatan politik di daerah
36 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

itu.1 Tulisan ini mengkaji kaitan antara konstelasi


kekuatan politik di daerah-daerah tingkat II di
Indonesia dengan munculnya bermacam variasi
konflik lokal. Apabila kajian serupa dapat
dikembangkan maka diharapkan ada akumulasi
temuan dan pengetahuan.
Untuk melihat keterkaitan antara peta kekuatan
politik dan konflik politik pada level lokal (kabu-
paten atau kotamadya), maka paper ini akan
membicarakan 3 hal. Pertama, adalah telaah
teoritis, tentang apa yang dimaksud dengan peta
kekuatan politik, siapa mereka, apa yang dimaksud
dengan konflik lokal dan bagaimana mengkategori-
sasikan manifestasi konflik ini. Kedua, adalah kajian
empirik antara konstelasi kekuatan politik dengan
konflik politik di Indonesia 1999. Dan terakhir
adalah pembahasan implikasi dari temuan-temuan
paper ini bagi studi konflik politik di Indonesia.

Kekuatan Politik dan Konflik:


Kajian Teoritis
Kekuatan Politik
Kekuatan politik yang dibahas dalam paper ini
adalah kekuatan politik formal, yakni partai politik.
Partai politik adalah institusi terpenting yang
menentukan dan mengisi jabatan-jabatan publik.
Oleh banyak ahli ilmu politik penganut paham
prosedural demokrasi, interaksi dan persaingan
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 37

antar partai akan menjadi indikator utama sehatnya


praktek demokrasi.2 Bahkan penganut deliberatif
demokrasipun masih menilai peran partai dalam
mengagregasikan partisipasi publik.3
Persoalan pertama adalah masalah aktor dan
interaksinya (perimbangan kekuatan). Dengan kata
lain, siapa, seberapa dan bagaimana bentuk
interaksi tersebut yang menyebabkan sehatnya
demokrasi. Dalam hubungannya dengan konflik,
seberapa dan bagaimana bentuk interaksi tersebut
yang menimbulkan atau mencegah konflik.
Kalau kita mengikuti pemikiran Peter Mair,
maka konflik akan muncul di daerah yang didominasi
oleh kekuatan politik yang memiliki ideologi yang
berbeda. Tetapi, pakar seperti Anthonny Downs
akan mengatakan bahwa konflik bisa terjadi bila di
suatu daerah itu didominasi oleh kekuatan-
kekuatan sejenis (se-ideologi) atau antara kekuatan
yang jarak ideologisnya tidak terlalu jauh.
Alasannya adalah, karena kekuatan kekuatan
tersebut sedang memperebutkan pasar pemilih
yang sama. Dahl, dengan konsep polyarchy-nya
menunjukkan bahwa persoalan ini perlu diletakkan
pada konstelasi politik yang lebih luas. Keterlibatan
dari kekuatan-kekuatan politik lainnya akan juga
menentukan apakah perimbangan kekuatan
tersebut berbuah konflik atau tidak. Dalam hal ini
perlu dilihat tipe kepartaiannya.
38 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Kekuatan politik yang dianalisa implikasinya


dalam paper ini adalah PDIP, GOLKAR, PPP dan
kekuatan lainnya. Diasumsikan bahwa PDIP adalah
partai nasionalis yang jarak ideologisnya cukup
jauh dari partai berbasis agama seperti PPP. Sedang-
kan contoh dari catch-all partai adalah Golkar.
Paper ini akan menguji hubungan antara perim-
bangan kekuatan-kekuatan politik itu di suatu dae-
rah dengan kemunculan suatu jenis konflik. Apabila
konflik yang kompleksitasnya tinggi terjadi pada
daerah yang didominasai oleh kekuatan yang
berbeda ideologis (PDIP dan PPP) maka argumen
tentang pentingnya ideologi menjadi lebih relevan
(Mair). Sebaliknya kalau konflik terjadi pada partai
yang jarak ideologinya tidak terlalu jauh (PDIP dan
Golkar), maka teori rasionalitasnya Downs yang
lebih mampu menjelaskan. Atau teori pragmatisnya
Kirchheimmer yang bisa menjelaskan fenomena
daerah di Indonesia.
Persoalan kedua yang telah dibahas di depan
adalah pengaruh konstelasi (tipe kepartaian).
Secara umum ada tiga bentuk sistem kepartaian:
Satu Partai Dominan, Dua Partai Dominan, atau
Multi Partai. Pembahasan feasibilitas satu partai
dominan misalnya dibahas oleh Maraval. Dia
menyebutkan bahwa mitos bagi keunggulan partai
tunggal adalah efisiennya proses pengambilan
keputusan dalam mencegah dan mengendalikan
konflik. Tetapi pikiran yang demikian ini banyak
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 39

dikritik karena tipe ini sangat rentan oleh


penyalahgunaan wewenang. Tambahan keterba-
tasan partisipasi menyebabkan alienasi yang
menjadi penyebab tumbuhnya konflik.
Dua partai dominan mengasumsikan akan
terjadinya kontrol yang intensif dari masing-masing
pihak sehingga penyelesaian konflik menjadi
optimal. Logika dibalik dua partai dominan ini
adalah logika plurality, yang mensyaratkan proses
kompetisi antar dua kelompok yang bersaing yang
memungkinkan mentransformasi dan menyeder-
hanakan pembilahan sosial yang ada. Pakar seperti
Donald Horowitz misalnya percaya bahwa logika
plurality seperti ini akan melatih warga-negara
untuk berkompetisi secara rasional yang akan
memungkinkan untuk tidak kembali kepada penge-
lompokan yang rumit. Akibatnya, logika plurality
ini akan membantu mengurangi konflik. Kritik ter-
hadap teori ini adalah terlalu menyederhanakan
proses pembilahan sosial yang sudah puluhan tahun
terbentuk.
Menurut Arend Lijphart, keberadaan
pembilahan sosial tersebut yang perlu diperhatikan.
Kalau memungkinkan, menurut logika propor-
tional representation ini, pembilahan politik yang
ada adalah merupakan manifestasi dari pembilahan
sosial. Semakin kongruen antara pembilahan politik
dengan pembilahan sosial, maka semakin sedikit
40 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

friksi ataupun konflik yang muncul. Kalau toh


muncul konflik, maka adalah tugas dari masing-
masing tokoh dari pembilahan politik/sosial
tersebut yang menyelesaikan masalah mereka
(demokrasi konsesional). Logika berpikir ini dikritik
karena dianggap sebagai menunda/memindahkan
konflik masyarakat ke level negara. Kelemahan
lainnya adalah kecenderungannya yang sangat
elitis.
Secara umum dua faktor dasar itu, aktor dan
konstelasinya, dalam paper ini dianggap sebagai
faktor penting yang menjelaskan konflik pada
tingkat lokal di Indonesia. Alur argumen tersebut
bisa digambarkan sebagai berikut:

Konflik Lokal
Konflik lokal disini menyangkut baik

PETA KEKUATAN POLITIK

AKTOR DAN TIPE


INTERAKSINYA KEPARTAIAN
(Perimbangan Jumlah
Suara)

PENYEBAB UMUM

AKSELERATOR

JENIS KONFLIK

KONFLIK LOKAL
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 41

pertentangan yang terbuka maupun tertutup.


Konflik terbuka disini adalah konflik yang muncul
dan disiarkan oleh media-massa. Sebagai contoh
adalah konflik antara etnis Dayak dan Madura di
Sambas, Kalimantan Barat. Konflik ini juga
menyiratkan adanya pertikaian tertutup antara
elit birokrat yang tersingkir dari jabatannya dengan
elit yang menduduki jabatan tersebut (Gerry Van
Klinken). Berdasarkan arena konfliknya, maka
pertentangan pada tingkat lokal ini juga bisa
meliputi konflik vertikal dan horizontal. Konflik
vertikal tersebut bisa berupa friksi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
pemerintah pusat dengan masyarakat daerah,
perusahaan di pusat dengan pemerintah daerah,
perusahaan di pusat dengan masyarakat daerah,
atau bentuk lainnya. Konflik horizontal tersebut
mencakup pertikaian antar pemerintah daerah satu
dengan lainnya, pertikaian antara kekuatan politik
di daerah, konflik antara masyarakat daerah
berdasarkan suku, agama, atau ras, ataupun bentuk
lainnya. Terjadinya konflik lokal biasanya juga
dikondisikan oleh berperannya dua faktor umum
seperti akselerator dan penyebab umum. Faktor
yang merupakan akselerator dari konflik lokal bisa
berasal dari internal (lokal), eksternal (propinsi,
pusat, ataupun luar negeri), ataupun kombinasi.
Adapun beberapa penyebab umum dari konflik
politik adalah faktor kebijaksanaan, kultural,
42 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

politik, ekonomi, dan kombinasi.

Kekuatan Politik dan Konflik:


Kajian Empirik
a. PDIP – GOLKAR dan Lokal Konflik
Dari analisa tabulasi silang antara perimbangan
jumlah suara Golkar dan PDIP dalam pemilu 1999
(Variabel Independent 1a) dan tipe kepartaian
(Variabel Independent 2) dengan konflik vertikal
yang tertutup (Variabel Dependent 3), kita melihat
beberapa temuan.4 Pertama, ketika suara PDIP dan
Golkar berimbang maka tidak banyak terjadi konflik
vertikal tertutup (hanya 7 dari 41 kasus). Konflik
banyak terjadi pada daerah yang suara Golkarnya
dominan dan sistem kepartaiannya multi partai
(hampir 50 % dari semua kasus).
Kedua, konflik politik yang bersifat vertikal
terbuka juga banyak terjadi di daerah yang suara
Golkarnya lebih dominan dari PDI (hampir 50%
dari 44 kasus). Di daerah yang suara PDIPnya imbang
dari Golkar justru jumlah kasus terkecil (18% dari
kasus). Kedua temuan ini mengindikasikan
imbangnya suara dengan lebih kecilnya kasus
konflik vertikal (baik yang terbuka maupun
tertutup). Hal ini memberi implikasi dukungan
kepada logika plurality yang dikembangkan oleh
Horowitz. Atau sebaliknya karena konflik banyak
terjadi di daerah yang baik Golkar maupun PDIP
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 43

dominan terutama di daerah yang tipe


kepartaiannya multi-partai, mengindikasikan
semakin dipertanyakannya asumsi logika
proportional representation dari Lijphart.
Ketiga, kesimpulan yang sama juga dapat
dilihat kalau kita menganalisa konflik horizontal
baik yang terbuka maupun tertutup. Konflik
horizontal tertutup banyak terjadi di daerah yang
suara salah satu partainya dominan. Dari 62 kasus,
kasus konflik horizontal tertutup terdapat di daerah
yang suara Golkarnya dominan (27 kasus) dan
PDIPnya dominan (25 kasus).
Keempat, sebagian besar munculnya konflik
akselerator bisa dideteksi dari daerah yang jumlah
suara satu partai lebih dominan dari yang lain (54
dari 63 kasus). Suara yang relatif seimbang sedikit
menghasilkan konflik akselerator. Karena dua partai
adalah Golkar dan PDIP yang memiliki jarak ideo-
logis tidak terlalu jauh maka teori ideologi menjadi
penting. Dengan kata lain partai yang ideologinya
tidak terlalu bertentangan tidak akan cendrung
berkonflik (Peter Mair). Logika Downsian bisa diper-
tanyakan paling tidak sampai menjelang pemilu.
Kelima, penyebab konflik pada tingkat lokal
adalah beragam tergantung dari siapa yang
mendominasi suara. Kalau jumlah suara PDIP dan
Golkar berimbang atau jumlah suara Golkar
dominan maka penyebab konflik adalah kombinasi
44 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

dari faktor kebijakan, ekonomi, kultur, dan politik.


Kalau suara PDIP dominan maka penyebab konflik
sebagian terbesar berasal dari hal-hal politik (42.3%
dari 26 kasus).

b. PDIP – PPP dan Lokal Konflik


Dari analisa tabulasi silang antara perimbangan
jumlah suara PDIP dan PPP dalam pemilu 1999
(Variabel Independent 1b) dan tipe kepartaian
(Variabel Independent 2) dengan konflik vertikal
yang tertutup (Variabel Dependent 3), kita melihat
beberapa temuan. Pertama, ketika suara PDIP dan
PPP berimbang maka banyaknya terjadi konflik
vertikal tertutup sama dengan ketika suara PPP
dominan (masing-masing 7 dari 41 kasus). Konflik
banyak terjadi pada daerah yang suara PDIPnya
dominan dan sistem kepartaiannya multi partai
(hampir 60 % dari semua kasus). Hal ini juga
memberi implikasi dukungan kepada logika
plurality yang dikembangkan oleh Horowitz. Atau
sebaliknya karena konflik banyak terjadi di daerah
yang baik PDIP maupun PPP dominan terutama di
daerah yang tipe kepartaiannya multi-partai,
mengindikasikan semakin dipertanyakannya
asumsi logika proportional representation dari
Lijphart.
Ketiga, kesimpulan yang sama juga dapat
dilihat kalau kita menganalisa konflik horizontal
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 45

baik yang terbuka maupun tertutup. Konflik


horizontal tertutup banyak terjadi di daerah yang
suara PDIPnya dominan atau suaranya berimbang.
Keempat, sebagian besar munculnya konflik
akselerator bisa dideteksi dari daerah yang jumlah
suara satu partai lebih dominan daripada yang lain
(52 dari 65 kasus). Suara yang relatif seimbang
menghasilkan juga relatif banyak konflik
akselerator. Karena dua partai ini adalah PDIP dan
PPP yang memiliki jarak ideologis sangat jauh maka
teori ideologi menjadi relevan. Dengan kata lain
partai yang ideologinya bertentangan akan
cendrung berkonflik (Peter Mair). Logika Downsian
juga bisa tidak diterima dalam kajian ini. Atau paling
tidak sampai menjelang pemilu 2004 ini.
Kelima, penyebab konflik pada tingkat lokal
adalah lebih seragam tidak tergantung dari siapa
yang mendominasi suara. Kalau jumlah suara PDIP
dan PPP berimbang atau jumlah suara PPP ataupun
PDIP dominan maka penyebab utamanya adalah
politik.

Catatan Akhir
1
Data konflik lokal dari 71 daerah tingkat II ini
dikumpulkan dari isian survey yang dilakukan pada
63 informan pada tanggal 10 hingga 4 Maret 2004
di Universitas Gadjah Mada. Mereka tersebut adalah
mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Politik Lokal
dan Otonomi Daerah yang berasal dari 48 daerah
46 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

tingkat II yang tersebar di Indonesia. Data peta


kekuatan politik daerah tingkat II ini diproses dengan
adaptasi dari data base milik Dr. Dwight King dari
Northern Illinois University, USA.
2
Lihat Joseph Schumpeter
3
Lihat Fishkin
4
Perimbangan jumlah suara didapat dengan
membagi jumlah suara dari satu kekuatan politik A
dengan lainnya B. Setelah itu kita lakukan recode
untuk mengkategorisasi perimbangan tersebut
(0.75 – 1.25 = imbang; 0 – 0.74 = Suara Partai B
lebih dominan; dan 1.25 – selanjutnya = Suara
Partai A lebih dominan). Sedangkan tipe kepartaian
itu didapat dengat melakukan kategorisasi (recode)
dari nilai index party effective dari rumus Douglas
dan Rae dan juga Lakso dan Taagerpera (0-1.4 = One
Dominant Party; 1.5 -2.4 = Two Party System; dan 2.5
– selanjutnya = Multi Party System).
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 47

Rangkuman Forum

Presentasi: “Penyebab konflik pada tingkat


lokal adalah kombinasi faktor kebijakan
kultur sosial dan politik
Ketut mengolah data yang masih sangat baru.
Pertanyaan yang ingin diajukannya sangat
sederhana. Adakah hubungan antara peta kekuatan
politik dengan konflik di daerah? Jika PDI gabung
dengan PPP yang ideologisnya beda apakah akan
timbul konflik di daerah. Dll. Kenapa membaca ini
penting? Karena ini tidak serius dikaji. Belum ada
yang mengerjakannya. Kompas misalnya, mem-
baca fakta ini berangkat dari referensi masa lalu.
Paper yang disampaikan Ketut tidak membaca se-
cara detail tapi awal mengenai hubungan antara
peta kekuatan politik dengan konflik lokal. Dari
data yang dikumpulkan di 71 daerah melalui 63
mahasiswa yang membantunya, Ketut ingin men-
jawab apakah memang ada hubungan peta politik
dengan konflik. Jika secara teoritik ada kemungkin-
an itu, bagaimana data empiriknya dan analisisnya?
Ada dua faktor (1) Perimbangan kekuatan/
spektrum ideologi (2) Peta Kepartaian. Seberapa
dominannya partai tertentu. Di level kabupaten
bisa jadi two party system, bukan one party
system. Apakah perimbangan jumlah partai dan
perimbangan ideologis apakah menimbulkan
48 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

konflik. Ataukah sebagai akselerator konflik.


Konflik vertikal menyangkut konflik pusat
daerah. Memang pilar ini tidak terlalu dikotomis.
Fondasi konteks, seberapa kompleks variasi antar
daerah. Konflik horisontal, bisa terjadi antara
pemerintah daerah, misalnya soal rebutan pulau.
Seperti Kutai Timur yang berebut dengan sebuah
kabupaten di Sulawesi Tengah. Disana ada tambang
timah dan minyak. Kekuatan politik daerah dengan
daerah, tapi lantas melibatkan pemerintah Pusat.
Konflik juga bisa terjadi, misalnya antara
gubernur di Sulawesi Tenggara dan Selatan tidak
cocok. Bupati juga bisa memicu konflik dengan
menggunakan masing-masing masyarakatnya. Di
kabupaten muncul pula konflik bernuansa ras, etnis
dan agama. Antara etnis Cina dengan orang asli bisa
juga terjadi benturan. Kalau persoalan ini dihubung-
kan dengan peta kekuatan politik, pertanyaannya
apakah partai punya jarak ideologi yang dekat atau
jauh. Golkar yang di tengah dengan PDIP yang
kekiri misalnya. PDIP banyak yang menjadi kuning.
Jarak ideologi kedua partai ini bisa jadi sangat
dekat.
Konflik politik terbuka dan tertutup. Terbuka
artinya kalau sampai direview media. Kalau
tertutup artinya, jika itu dikenal di daerah tapi
tidak direview oleh media. Tapi hasilnya pun sama.
Yang implisit maupun eksplisit. Konflik akan terjadi
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 49

kalau Golkar lebih dominan dari PDIP. Kalau


suaranya berimbang, konflik menjadi kecil.
Mungkin karena sama-sama kuat. Jadi mereka tidak
akan berani berkonflik. Ini memberi implikasi pada
logika sistem distrik. Karena konflik terjadi di
wilayah multi partai, semakin mengimplikasikan
digunakannya logika multi party system.
Kesimpulan bahwa konflik horisontal terbuka
dan tertutup adalah daerah dimana Golkar atau
PDIPnya dominan, tapi menggunakan multi party
system. Penyebab konflik pada tingkat lokal adalah
kombinasi faktor kebijakan kultur sosial dan politik.
Kalau PDIP dominan konflik akan bernuansa politik.
Untuk PDIP dan PPP, karena jarak ideologis yang
jauh, ketika suara keduanya berimbang terjadi
konflik vertikal tertutup. Konflik horisontal
tertutup banyak terjadi di daerah yang PDIP
dominan dan PPP cukup berimbang. Penyebab
konflik pada tingkat lokal, ketika PDIP berkuasa
apakah penyebab konfliknya satu atau banyak.
Penyebab konflik utamanya adalah politik.

Tanya Jawab
Moderator Arie Sujito dari IRE, mengatakan
yang disampaikan Ketut mengenai koalisi dan
potensi konflik, dan belum diulas mengenai potensi
koalisi. Juga bagaimana kaitan antara elit partai
dan masa partai.
50 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Abdur Rojaki, menanggapi tentang asumsi


dasar yang dibangun Ketut. Menurut Rojaki,
penjelasan mengenai wilayah tidak dijelaskan Ketut.
Pendekatan sebagaimana dilakukan Hans Dieter
Evers mungkin bisa digunakan untuk mem-bahas
mengenai persoalan ini. Kalau kita melihat konteks
konflik, kelompok epistemik memiliki pengaruh.
Konflik ideologis mungkin bisa dianggap masa lalu
saja. Tapi, kelompok kepentingan penting untuk
melihat asumsi ini. Contohnya, waktu konflik
pemilihan bupati Sampang 1998-1999. PKB
menjadi kelompok dominan, tapi waktu pemilihan
bupati figur dari PPP yang menang. Apa yang terjadi,
ternyata, jika menggunakan pendekat-an kelompok
kepentingan, ternyata aktor Golkar yang bermain.
PKB dan PPP yang warna ideologinya sama,
ternyata bisa juga berkonflik. Menurut Rojaki,
analisis mengenai konflik sering meleset karena
masih diwarnai teori besar dan konflik di tingkat
nasional.
Ngurah Karyadi, dari KIPP Bali mengatakan
bahwa jika bicara soal politik dan konflik, maka hal
yang tidak rasional harus dijelajahi. Disitu mungkin
tidak ada ideologi, yang ada duit. Ketika masyarakat
sedang apatis politik, dalam konteks masyarakat
minoritas, apatisme ini mereka tunjukkan dengan
cara yang jor-joran. Seperti di Bali, apatisme dengan
Golkar malah ditunjukkan dengan pendukungan
besar-besaran terhadap Golkar. Ini tidak rasional,
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 51

tapi digunakan untuk membendung konflik diantara


mereka sendiri. Fenomena menggunakan artis juga
bisa dibaca sebagai bentuk non rasional ini.
Ustad Dian Nafi dari Al Muayyad, menga-
takan pemilu 2004 ini mencatat melemahnya ke-
kuatan masyarakat dengan modal agama, dan di-
gantikan dengan modalitas hukum dan politik.
Semua berawal pada 1994-1995 ketika Soeharto
menandatangani persetujuan perdagangan bebas.
Ini yang menyebabkan modalitas hukum politik
diganti modalitas ekonomi. Yang terjadi melemah-
nya negara dibanding modalitas pasar. Artis dan
agamawan juga merefleksikan kekuatan modalitas
ekonomi ini. Partai politik ini nantinya akan luar
biasa mengerahkan dananya. Di desa-desa ini agen-
agen parpol dapat uang. Sekarang praktek ini sudah
masuk. Sebenarnya bila dikaitkan dengan partai
politik yang berada dalam ranah negara, yang riil
bekerja di situ adalah modal. Pertanyaan pada Ketut
apakah kooptasi parpol terhadap konflik lokal ini
sedemikian kuat karena masih berlakunya
komunalisme, dan apakah peran negara masih
cukup berarti? Konflik dalam tatanan psikologis
dan rasional. Bagaimana mengubah itu? Bukankah
masyarakat sudah punya kearifannya sendiri?
Moderator, Arie Sujito, mengingatkan
bagaimana perspektif lokal dan interest grup?
Benarkan koalisi mengabaikan kecenderungan
konflik?
52 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Tanggapan Ketut, 71 daerah ini sebagian besar


di luar Jawa. Apakah hasilnya ini akan berubah di
Jawa nanti akan dilihat lagi. Ketut setuju untuk
melihat infrapolitik. Apa fungsi partai? Rekruit,
educate, orang yang ada di dalamnya. Kalau ini
tidak terjadi mereka akan mengambil orang yang
punya kultural kapital yang tinggi seperti artis,
juga tentara. Ada buku yang bilang, dalam kasus
Brasilia, setelah transisi, militer yang berkuasa,
setelah sepuluh tahun muncul partai lapar. Kalau
mau mengkaji kelompok kepentingan, dalam
menyumbang ruwetnya kasus di Indonesia, kita
harus melihat peran pembisik-pembisik. Pembisik,
atau kelompok epistemis ini bisa merusak.
Bagaimana move-move politik yang mereka laku-
kan perlu penelitian lebih lanjut. Memang saat ini
keterlibatan penguasa lama dan militer masih ter-
jadi. Tapi, jika itu terus saja terjadi, maka transisi
akan gagal, karena yang terjadi pergantian elit saja.
Soal irrasionalnya masyarakat sebagaimana
disebut Ngurah Karyadi, menurut Ketut, irrasional
akan hilang kalau ada keadilan. Karena itu fondasi
struktural juga harus dilihat.
Ada beberapa daerah yang sangat peka dengan
konflik. Banyak daerah yang menjadi terminal dari
proses kekerasan. Dinamika di balik partai, soal
uang. Darimana mereka dapat uang Ketut mengaku
tak tahu. Namun, kalau dihitung, di tempat yang
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 53

sekecil Yogya, seorang caleg butuh modal Rp 50


juta untuk jadi anggota dewan. Ini berimplikasi ke
kejahatan politik berdasar timingnya. Menurut
kebiasaan, tahun pertama dan kedua biasanya
paling jahat, untuk menutup modal. Tahun terakhir
lantas memperbaiki diri. Tapi di sini sebaliknya.
Tahun terakhir malah membuat kejahatan politik
dengan minta pesangon dan macam-macam
lainnya. Mereka tidak mengaggap Pemilu sebagai
media untuk mempertanggungjawabkan tindakan.
54 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 55

Memetakan Potensi
Kekerasan Politik
Pemilu 2004
Lambang Trijono
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
Universitas Gadjah Mada
56 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 57

Pengantar
Pemilu 2004 merupakan sarana paling baik
untuk mengganti atau memperbaiki pemerintahan
menjadi lebih baik dan efektif untuk mengatasi
krisis nasional. Karenanya, segala faktor yang bisa
menggagalkan pemilu, atau mengurangi kualitas
pemilu perlu dicegah, agar pemilu berjalan
demokratis, bisa menghasilkan pemerintah yang
baik sesuai kehendak rakyat. Bila ini tidak tercapai
ongkos sosial-politiknya terlalu mahal, kita akan
semakin terpuruk dan butuh waktu lebih lama un-
tuk bangkit dari krisis nasional.
Salah satu kendala penting penghalang
terwujudnya pemilu demokratis adalah
kemungkinan munculnya kekerasan politik.
Kekerasan politik yang muncul perlu dicegah,
karena hal itu akan merusak demokrasi dan
menjadikan hasil pemilu tidak mendapatkan
legitimasi yang kuat dari rakyat.
Pemilu 2004 masih berlangsung dalam konteks
transisi politik nasional. Transisi politik dari rejim
Oder Baru ke peme-rintahan demokrasi pasca-
Seharto hingga kini belum menghasilkan
konsolidasi demokrasi yang kuat. Pengikut rejim
Orde Baru masih kuat bercokol dalam struktur
politik. Sementara, pemerintahan demokratis
belum terkonsolidasi, sangat lemah, belum mampu
mengatasi krisis ekonomi dan gejolak politik
58 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

nasional. Di sisi lain, bangsa ini masih menghadapi


berbagai masalah sosial yang akut, seperti
kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, dan
praktek korupsi yang semakin merajalela di
masyarakat.
Pemilu tahun 2004 yang akan datang dise-
lenggarakan dalam konteks Indonesia yang masih
belum pulih dari berbagai krisis dan rawan konflik.
Konflik internal dan perpecahan elit politik di
berbagai daerah semakin marak. Di sisi lain, di
daerah-daerah yang tampaknya relatif aman, di
dalamnya mengandung potensi konflik terpendam,
seperti api dalam sekam. Sementara di arena kebi-
jakan publik, terutama di tingkat lokal seiring
dengan desentralisasi yang berlangsung, masalah-
masalah sosial-ekonomi mendasar belum ter-
pecahkan akibat terjadinya distorsi-distorsi kebi-
jakan politik karena kebijakan yang ada belum
mampu mengakomodasi ledakan partisipasi dan
artikulasi kepentingan warga masyarakat. Bahkan,
kita menemukan banyak kasus artikulasi kepen-
tingan politik warga masyarakat seringkali manifes
dalam politik identitas etnis, agama, dan kedae-
rahan, yang sulit diakomodasi dan dipecahkan
melalui mekanisme kelembagaan politik yang ada.
Pengalaman di berbagai negara yang sedang
mengalami transisi politik menunjukkan bahwa
transisi demokrasi yang terlalu cepat bila tidak
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 59

disertai dengan pelembagaan politik demokrasi


yang mantap bisa menghasilkan gejolak sosial-
politik yang bisa menganggu jalannya proses
demokratisasi. Ledakan partisipasi masyarakat
yang mencuat ke permukaan akibat terlalu lama
hidup tertekan di bawah rejim otoriter sebelum-
nya, disertai dengan kekecewaan massa yang meluas
akibat belum adanya perbaikan-perbaikan dalam
kebijakan publik, bisa menciptakan timbunan ke-
kecewaan politik yang bisa manifes menjadi keke-
rasan politik. Sebenarnya, sistem politik demokrasi
bila dijalankan dengan baik bisa mengatasi berbagai
gejolak konflik kekerasan di masyarakat. Namun,
di negara-negara yang sedang mengalami transisi
politik seperti Indonesia sekarang mekanisme
demokrasi itu belum terlembaga dengan baik.
Sehingga ledakan partisipasi yang ada bisa menifest
menjadi kekecewaan dan kekerasan politik massa.
Demikian itu terjadi karena pemilu akan mem-
buka struktur peluang politik (political opportu-
nity structure) yang terbuka bagi partisipasi politik
warga, yang dalam konteks Indonesia seringkali
bukan partisipasi sesungguhnya tetapi lebih
merupakan mobilisasi massa. Sehingga, pemilu bisa
menjadi sarana untuk meluapkan kekecewaan
politik yang bisa berubah menjadi partisipasi dalam
bentuk kekerasan politik. Potensi kekerasan politik
demikian sangat besar kemungkinan terjadi dalam
penyelenggaraan pemilu 2004 yang akan datang.
60 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Berbeda dengan pemilu tahun 1999, pemilu


2004 secara khusus ditandai oleh tahapan-tahapan
pemilu yang memberi peluang besar bagi terjadinya
ledakan partisipasi politik masyarakat. Selain
masalah klasik pemilu di Indonesia bahwa massa
masa kampanye sering menjadi ajang bagi mun-
culnya ledakan mobilisasi dan partisipasi politik
massa yang luas, pemilu 2004 merupakan pemilu
pertama di Indonesia dimana pemilihan presiden
dilakukan secara langsung, selain memilih lang-
sung anggota parlemen.
Dengan demikian, warga negara Indonesia
sedikit-nya akan melakukan pemilihan langsung
dalam dua kali putaran, memilih anggota parlemen
dan memilih presiden. Dan, berkaitan dengan soal
ter-akhir, bila putaran kedua belum menghasilkan
presiden terpilih, maka pemilihan presiden akan
diulang lagi, sehingga pemilu 2004 bisa memiliki
tiga kali putaran pemilihan langsung. Demikian itu,
menyebabkan pemilu 2004 akan menciptakan
peluang bagi terjadinya ledakan partisipasi politik
yang meningkat.
Di sisi lain, pemilihan presiden langsung akan
mendorong kompetisi antar partai politik dan massa
menjadi semakin meningkat. Belum mantapnya
konsolidasi politik kepartaian di Indonesia,
ditambah dengan kecenderungan politik patronase
dan simbol personal yang masih kuat mengakar di
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 61

Indonesia, dan fragmentasi elit politik antara


kekuatan lama pengikut Orde Baru dan kekuatan
reformasi, penyelenggaraan pemilu 2004 akan
sangat membuka peluang bagi munculnya ledakan
kekerasan politik di masyarakat. Ledakan konflik
demikian bisa menghasilkan kekerasan politik yang
bermacam-macam karena, seperti disebutkan di
muka, potensi konflik yang terpendam di
masyarakat didasari persoalan yang bermacam-
macam. Dalam pemilu 2004 yang akan datang, hal
itu bisa manifes dalam bentuk tidak hanya benturan
kepentingan politik, tetapi bisa berupa konflik antar
idiologi politik, kelas ekonomi, golongan etnis dan
agama.

Tiga Skenario
Membaca realitas fakta yang ada, sesung-
guhnya kemungkinan yang terjadi barangkali tidak
seseram yang digambarkan banyak kalangan selama
ini bahwa pemilu 2004 akan “berdarah-darah” atau
akan menimbulkan “gejolak revolusi sosial”, seperti
dikemukakan Lemhanas beberapa waktu lalu. Pe-
nulis tidak sependapat dengan skenario ini. Me-
mang dalam pemilu nanti bisa saja terjadi kekerasan
politik di berbagai daerah. Atau, terjadi distorsi,
cacat, karena ketidaksiapan KPU dalam men-
jalankan target tiap tahapan yang ada, seperti dalam
kasus kepanikan KPU dalam penyediaan logistik
yang terjadi sekarang.
62 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Tetapi, hal itu tidak otomatis mengagalkan


pemilu. Pemilu bisa saja tetap berlangsung, meski
dengan kualitas masih rendah, karena disertai
distorsi dan tidak menutup kemungkinan menyulut
kekerasan politik di berbagai tempat.
Dalam kaitan dengan konflik kekerasan,
sejatinya banyak kemungkinan bisa terjadi dalam
pemilu 2004 nanti. Masing-masing daerah akan
berbeda-beda, tergantung potensi konflik yang ada
dan kelancaran penyelenggaraan pemilu yang
dijalankan. Karenanya, kita perlu menyusun
berbagai skenario kemungkinan itu untuk langkah-
langkah pencegahan. Tiga macam skenario bisa
diajukan di sini apakah pemilu yang akan datang
menimbulkan gejolak politik atau tidak.
Skenario Pertama: Pemilu sebagai Pemicu
Konflik Kekerasan. Artinya, sebenarnya ada tidak
ada pemilu potensi konflik sudah ada di masyarakat
yang sewaktu-waktu bisa menjadi konflik terbuka.
Potensi konflik itu kemudian mencuat menjadi
kekerasan politik menumpang pada pemilu.
Skenario ini sejalan dengan teori konjungtur bahwa
pemilu menciptakan terbukanya struktur peluang
politik (political opportunity structure) dan
mendorong kekecewaan yang ada selama ini
mencuat ke permukaan manifes menjadi kekerasan
politik (Kurth and Schock, 1999). Termasuk dalam
kategori ini adalah daerah-daerah rawan konflik
atau mengandung potensi konflik yang tinggi. Hal
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 63

itu bisa dilihat dari indikator politik, ekonomi,


sosial-budaya, dan keamanan yang ada, seperti
fragmentasi elit, polarisasi idiologi, kesenjangan
sosial-ekonomi, ketegangan hubungan antar etnis-
agama, tingkat kriminalitas, dsb. Daerah-daerah
seperti Jakarta, Solo, Mataram, termasuk dalam
kategori ini.
Skenario Kedua: Pemilu Menciptakan Gejolak
Politik. Disini, kekerasan politik muncul semata-
mata bersumber dari distorsi-distorsi politik dalam
penyelenggaraan pemilu. Argumen ini didasarkan
pada teori deprivasi relatif bahwa kekerasan politik
muncul karena berkembangnya kekecewaan
(discontent) dalam masyarakat karena realitas yang
ada tidak sesuai dengan yang diharapkan (lihat
Why Men Rebel?, R. Ted Gurr, 1977). Masyarakat
sebenarnya damai-damai saja, tetapi karena pemilu
diselenggarakan kurang baik, tidak sesuai yang
diharapkan masyarakat, maka timbul kekecewaan
yang kemudian manifes menjadi kekerasan politik.
Kemungkinan ini bisa terjadi di daerah “damai”
seperti Yogyakarta dan Bali. Dengan kata lain,
penyelenggaraan pemilu yang tidak beres di daerah
ini bisa mengubah daerah-daerah “normal” ini
menjadi daerah konflik kekerasan dalam pemilu
2004.
Skenario Ketiga: Pemilu Sebagai Solusi Konflik.
Hal ini seperti dikemukakan skenario transisi
demokrasi masyarakat pasca-konflik. Di sini,
64 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

kekerasan politik justru akan minimal dalam pemilu


karena berbagai alasan seperti sudah “capek”
dengan konflik, elit politik ingin menyelamatkan
muka melalui pemilu, kekecewaan elit politik
terobati oleh adanya harapan baru dari pemilu,
atau dominasi politik berlangsung di daerah
bersangkutan karena golongan mayoritas telah
memenangkan pertarungan dalam konflik.
Termasuk dalam skenario ini adalah daerah-daerah
pasca-konflik di beberapa daerah di luar Jawa
seperti Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah. Meski daerah-daerah ini sebagian masih
dalam kategori daerah konflik, tetapi situasinya
bisa jadi akan semakin membaik setelah melampaui
pemilu nanti.

Pencegahan Kekerasan
Skenario ini lebih realistis dan bisa digunakan
sebagai acuan langkah pencegahan dan
transformasi konflik pemilu menuju yang
demokratis. Pemetaan atas potensi kekerasan
politik itu memang masih perlu dipertajam dengan
kalkulasi yang cermat atas potensi konflik di tiap-
tiap daerah dan distorsi politik serta akumulasi
kekecewaan politik dalam tiap tahapan pemilu,
mulai pendaftaran pemilih, pencalonan anggota
legislatif, masa kampanye, hingga pemilihan
langsung anggota parlemen dan presiden. Namun,
langkah awal pencegahan kekerasan bisa dilakukan
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 65

mulai dari sekarang, dengan mempertimbangkan


variasi daerah masing-masing.
Daerah dalam kategori skenario pertama
merupakan daerah yang paling perlu untuk
diwaspadai karena bergabungnya dua faktor
sekaligus; potensi konflik dan terbukanya struktur
peluang politik. Ledakan partisipasi politik ditengah
potensi konflik yang terpendam disertai
kekecewaan politik yang terpendam selama ini bisa
meledak menjadi kekerasan politik. Karenanya,
pemilu di daerah ini perlu dilakukan secara hati-
hati jangan sampai dijadikan tunggangan
pelampiasan kekecewaan yang ada selama ini.
Untuk daerah-daerah dalam kategori skenario
kedua, aturan main pemilu yang baik bisa menjamin
pemilu damai daerah ini. Bagaimana mekanisme
pemilu dijalankan agar tidak menimbulkan
kekecewaan politik massa dan menyumbat harapan
elit politik merupakan kunci tidak terjadinya gejolak
politik di daerah ini.
Sementara, di daerah dalam kategori skenario
ketiga, pemilu justru bisa dimanfaatkan sebagai
sarana resolusi konflik. Upaya mendorong
partisipasi politik dalam pemilu secara luas disertai
dengan pelembagaan politik yang baik dalam
penyelenggaraan pemilu bisa menjadi sarana bagi
daerah ini untuk keluar dari kemelut krisis dan
konflik yang berlangsung selama ini.
66 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Melihat skenario ini, secara nasional


sebenarnya kita menghadapi tantangan cukup
berat. Di satu sisi, kondisi obyektif masyarakat
secara umum masih rentan terhadap konflik
kekerasan. Di sisi lain, kita masih belum memiliki
sistem kelembagaan pemilu yang mapan. Selain
masalah klasik kerawanan kampanye karena selalu
disertai mobilisasi massa, masalah pemilihan
presiden langsung, yang baru pertama kali ini
diselenggarakan di Indonesia, merupakan tahapan
pemilu yang sangat sarat dan rawan konflik. Meski
banyak orang optimis pemilu 2004 akan berjalan
lancar, bayang-bayang kekerasan politik ini tetap
menghantui kita. Karenanya, skenario dan langkah-
langkah pencegahan kekerasan politik di berbagai
daerah perlu segera digulirkan mulai dari sekarang,
agar pemilu kita nanti betul-betul bisa menghasilkan
pemerintahan yang baik untuk keluar dari krisis
ekonomi dan politik yang berlarut-larut ini.
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 67

Rangkuman Forum

Presentasi: Konflik Bisa Muncul Jika


Masyarakat Kecewa Terhadap Hasil Pemilu
Lambang Trijono mengatakan potensi
konflik masing-masing daerah itu berbeda-beda,
tidak bisa diseragamkan. Potensi konflik di
Indonesia sebenarnya sangat tinggi, terlepas ada
atau tidak ada pemilu. Potensi konflik itu bisa
dipotret dengan beberapa tolak ukur. Data-data
yang ada yaitu: Data sensus tahun 2000 dan Data
dari litbang Kompas, bisa cukup membantu.
Indikator yang ada:
1 . Indikator politik; fragmentasi atau pergeseran
politik yang ada. Daerah-daerah seperti
Sumatra Utara banyak memungkinkan
terjadinya pergeseran politik. Jumlah anggota
PDIP banyak menurun.
2. Indikator sosial-ekonomi; persoalan-
persoalan yang menimbulkan konflik, terlepas
ada atau tidaknya pemilu seperti kemiskinan,
kesenjangan ekonomi, pengangguran ekonomi
yang cukup tinggi. Di Jakarta, banyak sekali
kasus-kasus kemiskinan dan kesenjangan
ekonomi.
3. Indikator sosial-kultural; hububungan-
hubungan ketegangan antar etnis. Fragmentasi
tidak hanya antar agama atau etnis, tapi
68 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

pergeseran yanmg terjadi dalam tubuh suatu


agama atau etnis. Perpecahan di kalangan partai
Islam, salah satu contoh indikator social-
kultural.
4. Indikator keamanan; tingkat kriminilitas dan
kekacauan yang terjadi dalam masyarakat,
karena tidak jelasnya order yang ada dalam
masyarakat. Contoh konkrit adalah banyaknya
kelompok-kelompok milisia yang terjadi yang
tidak bisa dipecahkan oleh aparat. Daerah
Yogyakarta, misalnya, masih kondusif dalam
konteks politik, sosial, dan keamanan.
Fragmentasi antar kelompok nasionalis dan
kelompok agama masih belum begitu kentara.
Apakah potensi-potensi diatas membahaya-
kan pemilu? Belum tentu potensi itu bisa mencuat,
meskipun kita telah menemukan munculnya
potensi-potensi konflik.
Ada tiga skenario yang bisa terjadi setelah kita
melihat potensi-potensi yang ada:
1 . Pemilu sebagai pemicu konflik kekerasan,
artinya sebenarnya ada atau tidak ada pemilu
potensi konflik sudah ada di masyarakat yanmg
sewaktu-waktu bisa menkjadi konflik tertbukja.
Misalnya, Jakarta
2. Pemilu sebagai pencetak konflik; Disini
kekerasan politik muncul semakta-mata
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 69

bersumber dari distorsi-distorsi politik dalam


penyelenggaraan pemilu. Argumen itu
berdasarkan teori deprivasi relatif bahwa
kekerasan politik muncul karena
berkembangnya kekecewaan (discontent)
dalam masyarakat karena realitas yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan.
3. Skenarion ketiga: Pemilu sebagai solusi konflik.
Kekerasan politik justru akan minimal dan
pemilu menyelamatkan muka melalui pemilu,
kekecewaan elit politik terobati karena adanya
harapan baru dari pemilu, dominasi politik
berlangsung di daerah yang bersangkutan
karena kelompok mayoritas telah memenang-
kan pertarungan. Kasus Jawa, Bali, Mataram,
masih sulit diprediksi untuk skenario ketiga
ini.
Daerah yang potensial konflik terjadi apabila
skenario pertama dan kedua berlangsung. Skenario
pertama mungkin perlu dilihat secara cermat.

Tanya Jawab
Fadmi Sustiwi, dari KR mempertanyakan
image Yogyakarta yang selalu dianggap sebagai
tempat aman. Semua tak lepas dari suatu usaha,
diantaranya sosialisasi kelompok-kelompok antar
iman. Tapi, apakah nantinya tidak akan muncul
konflik dan Yogyakarta tetap aman dalam pemilu?
70 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Lambang: Konflik bisa saja timbul, karena


munculnya kekecewaan masyarakat terhadap
mekanisme atau hasil dari pemilu. Pergeseran-
pergeseran yang terjadi dalam proses pencalonan
caleg akan menyebabkan munculnya konflik.
Seringkali kejadian-kejadian dalam pemilu karena
lemahnya mekanisme untuk mencegah atau
mengatasi konflik yang ada. Yang perlu kita lihat
adalah bagaimana mekanisme yang ada bisa
merekrut elit-elit yang representative sehingga
bisa diterima oleh masyarakat.
Lukas Ispandriarno dari Fisip Atmajaya:
kampanye Pemilu 2004 ini tetap saja berlangsung
dengan iring-iringan kendaraan bermotor yang
membuat orang enggan ikut kampanye. Apa yang
harus dilakukan untuk memperbaiki kampanye?
Apakah sistemnya harus dibenahi ataukah ini
menyangkut mental orang?
Lambang: Ada yang mengatakan, produksi
parang selama pemilu di Yogya meningkat.
Seandainya benar, ini meningkatkan kecende-
rungan masyarakat untuk tidak berpartisipasi
dalam pemilu. Jika kekerasan terus terjadi, maka
akan ada gejala masyarakat tidak mau
terikat(withdraw) dalam sistem politik yang ada.
Image bahwa pemilu akan gagal, rusuh juga
mengurangi minat pemilih untuk menyoblos. Yang
bisa dilakukan adalah bagaimana kita bisa
meyakinkan kepada publik bahwa pemilu itu akan
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 71

membawa suatu pembaharuan terhadap pem-


bangunan. Mendatangkan artis ke daerah-daerah
adalah salah satu solusi untuk menumbuhkan minat
masyarakat terhadap suatu partai.
Dalam pemilu 2004 ini, banyak tokoh partai
datang ke Kiai-kiai. Di Madura, dimana peran ula-
ma masih sangat penting massa menjadi rebutan
lewat kiai-kiai. Rebutan massa lewat kiai di Madura
ini terutama dilakukan oleh parpol berbasis massa
Islam.
Seorang peserta menanyakan apakah agama
akan tetap jadi alat legitimasi dalam perebutan
suara kali ini, dan dari situ akan menjadi pemicu
konflik? Namun ditanggapi oleh peserta lain, bahwa
kecenderungan itu akan berkurang di pemilu 2004.
Saat ini, beberapa tokoh agama sudah membuat
komitmen untuk tidak ada “Perang Ayat” atau
“jualan Kitab Suci” di pemilu. Tapi, apakah kharisma
kiai akan tetap penting di pemilu?.
Lambang: Politik karismatik tetap akan
sangat penting dalam kondisi sekarang ini. Pola
pikir itu kadang masih ada di Indonesia, tak hanya
di kelompok agamis, tapi juga nasionalis. Image
bahwa Megawati masih mewarisi karisma dan
wibawa dari Sukarno dan bisa menumbuhkan
nasionalisme bangsa, juga tetap kuat di masyarakat.
Kalau kemudian ada pergesesan dari Golkar ke
PDIP itu adalah suara-suara pragmatis.
72 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Ngurah Karyadi, KIPP Bali: Negara ini sudah


tidak mampu menepati komitmen untuk
menjalankan pemilu secara desentralisasi.
Lambang: Sentralisasi terjadi juga di tingkat
partai. Karena itu desentralisasi sangat penting.
Selama ini partai-partai yang ada di daerah masih
disetir oleh pusat. Sejauh mana otoritas partai yang
ada daerah menjelaskan masalah-masalah partai
yang ada. Mekanisme untuk menjembatani
kepentingan partai yang ada di daerah sangat
diperlukan.
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 73

Proses, Tahapan, Dan


Distorsi Politik Dalam
Pemilu 2004
Dr. Pratikno
Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Pasca Sarjana Unviersitas Gadjah Mada.
74 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 75

Pengantar
Dalam tataran yang paling minimal, pemilu
merupakan mekanisme politik untuk mengkonversi
suara rakyat (votes) menjadi wakil rakyat (seats).
Pemilu diharapkan mampu menghasilkan seats
yang mereepresentasikan suara rakyat. Pemerintah
yang dihasilkan juga harus menjadi pemerintah
yang terpercaya dan mampu menjalankan peme-
rintahan secara akuntabel. Oleh karena itu, dalam
standar normal, isu keterwakilan, kepercayaan dan
kepercayaan dan kepertanggungjawaban meru-
pakan parameter utama dalam melihat keber-
hasilan pemilu. Pemilu yang distortif adalah pemilu
yang keluar dari parameter ini.
Namun, dalam konteks perkembangan politik
di Indonesia sekarang ini, pemilu tidak bisa dilihat
dari parameter standar di atas. Pemilu bukan hanya
harus dilihat sebagai mekanisme politik yang
memungkinkan membangun pemerintahan yang
reperesentatif, terpercaya dan akuntabel. Tetapi,
pemilu 2004 sekarang ini (pemilu jurdil kedua
pasca Orba) juga harus dilihat sebagai parameter
penting proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Dengan kata lain, sejauh mana pemilu
2004 mampu menjamin dan mengindikasikan
kesepakatan semua pihak untuk menjadikan
“democracy as the only game in town”.
76 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Makalah singkat ini berusaha untuk melihat


distorsi pemilu 2004 dalam proses dan tahapannya
dalam parameter di atas. Oleh karena itu, uraian
akan dimulai dengan jabaran singkat tentang
parameter distorsi tersebut, proses dan tahapan
pemilu 2004, serta peluang dan kemungkinan
distorsi dalam setiap tahapan pemilu.

Distorsi Pemilu
Distorsi terhadap apa? Sebagai telah saya
sampaikan secara sepintas, pemilu 2004 tidak
cukup hanya dilihat sebagai mekanisme politik
untuk mengkonversi suara rakyat menjadi
pemerintah yang representatif, terpercaya dan
akuntabel. Namun, pemilu 2004 harus pula dilihat
dalam konteks transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Artinya, proses dan praktek politik
dalam pemilu 2004 yang mengindikasikan
konsolidasi demokrasi menjadi parameter yang
mendasar pula.
Pemilu 2004 dijalankan setelah hampir lima
tahun jatuhnya Presiden Suharto, pemimpin dan
simbol otoritarianisme Orde Baru. Walaupun
kebanyakan kita sepakat bahwa kejatuhan Suharto
tidak identik dengan kejatuhan otoritarianisme,
namun saya kira kita sepakat kejatuhan Suharto
bisa diartikan dengan mulai terbukanya ruang bagi
proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 77

Kalau konsolidasi demokrasi kita artikan sebagai


terbangunnya kesepakatan bahwa demokrasi
merupakan satu-satunya cara untuk menjalankan
interaksi sosial dan politik, maka pertanyaannya
sejauhmana dalam proses pemilu telah
terindikasikan proses sosial dan politik yang
demokratis.
Saya kira kita tidak perlu untuk berdebat
panjang tentang apa itu demokrasi. Mengutip
Robert Dahl, demokrasi diindikasikan oleh :
§ Ada jaminan bahwa kebijakan publik dibuat
sesuai dengan kepentingan masyarakat.
§ Pemilihan umum yang diselenggarakan
berkala, bebas dan adil.
§ Hak untuk memilih
§ Hak untuk menduduki jabatan publik
§ Masyarakat punya kebebasan untuk
memperoleh hak-haknya : berekspresi,
berpendapat
§ Masyarakat punya akses terhadap sumber
informasi alternatif
§ Masyarakat bebas membentuk/bergabung
dengan organisasi manapun.
Atau , dengan parameter yang lebih cair, tiga
ilmuwan politik ternama, Diamond, Linz, dan Lipset
menegaskan perlunya 3 syarat utama pemerintahan
demokratis:
78 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

§ adanya kompetisi untuk memperebutkan


jabatan dalam pemerintahan
§ partisipasi politik yang melibatkan sebanyak
mungkin warga
§ kebebasan sipil dan politik.
Apabila parameter ini kita terapkan pada
proses pelaksanaan pemilu, maka proses pemilu
2004 akan kita lihat dari sejauh mana
pelaksanaannya menjamin kompetisi dalam
rekrutmen politik, sejauhmana partisipasi politik
warga negara terjamin dalam proses ini, dan
sejauhmana kebebasan sipil dan politik terjamin
dalam proses pelaksanaan pemilu. Sebagai contoh,
konflik yang bernuansa kekerasan mrrupakan salah
satu contoh sebuah fenomena sosial yang tidak
memungkinkan terjadinya kebebasan untuk
mengekspresikan suaranya secara bebas dan
terbuka.
Dalam literatur standar ilmu politik yang
membahas tentang pemilu, ada beberapa
persyaratan agar sebuah pemilu bisa dikatakan
sebagau pemilu yang baik (Reynold., et all., 1997).
Pertama, pemilu harus bisa menjamin terciptanya
lembaga perwakilan rakyat yang representatif.
Representasi ini bisa berupa representasi geografis
maupun representasi fungsional. Dalam repre-
sentasi geografis, setiap kesatuan wilayah yang
berpenduduk, baik kota, kabupaten, provinsi,
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 79

maupun daerah pemilihan (elektoral distric)


memiliki perwakilan di parlemen, sehingga para
wakil rakyat ini sepenuhnya bertanggungjawab
terhadap wilayah yang diwakilinya. Sementara itu,
represtasi fungsional berupa perwakilan rakyat
yang tercermin dalam parpol-parpol di parlemen
yang biasanya mencerminkan variasi idiologi
dalam bangsa yang bersangkutan. Apaun bentuk
representasi yang dipilih, setiap kursi (seats)
dikonversi dari suara (votes). Oleh karena itu,
prinsip OPOVOV (one person, one vote, one value)
sebagai satu prinsip dasar representasi dalam
pemilu.
Kedua, pemilu yang baik haruslah pemilu
bermakna (meaningful) serta membangun
pemerintahan yang bertanggungjawab (accoun-
table). Regulasi dan sistem politik yang ada harus
menjamin kekuasaan (power) yang dimilki loleh
parlemen hasil pemilu ini akan menjadi penentu
bagi bermakna tidaknya sebuah pemilu. Pemilu
dianggap berhasil bila mampu melahirkan parlemen
yang berpengaruh pada formasi dan pengambilan
kebijakan pemerintah. Selain itu, pemilu harus
mampu melahirkan pengendali pemerintah yang
bertanggungjawab kepada rakyat. Kehadiran
oposisi dalam parlemen seringkali menjadi penting
untuk membantu efektivitas kinerja anggota par-
lemen. Kekuatan oposisi memang tergantung pada
80 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

banyak faktor selain sistem pemilu, namun ketika


sistem pemilu mendorong terciptanya oposisi yang
lemah, pemerintahan demokratis juga menjadi
lemah.
Ketiga, pemilu diharapkan bisa memfasilitasi
terbentuknya pemerintahan yang efektif dan stabil
serta memberikan insentif bagi konsiliasi yang bisa
memediasi antar kepentingan yang bertarung.
Kriteria ini dipandang perlu karena sistem politik
tidak hanya ditempatkan sebagai cara membentuk
pemerintahan, namun juga sebagai alat menejemen
konflik dalam masyarakat. Selain ini terkait dengan
apakah masyarakat mampu menerima hasil pemilu
sebagai proses jujur dan adil serta terpercaya,
pemilu seharusnya mendorong bagi terbentuknya
parpol yang “cross-cutting” politik. Pemilu perlu
mendorong lahirnya parpol yang didasarkan pada
nilai-nilai dan ideologi politik terbuka, dan bukan
didasarkan pada batasan-batasan askriptif seperti
etnik, rasial, dan regional. Rentang ideologi antar
parpol seharusnya juga semakin menyempit.
Terakhir, keempat, pemilu yang baik adalah
yang bisa diakses oleh siapapun (accessible) dan
diselenggarakan secara mudah dan murah
(feasible). Kriteria ini menekankan pada pentingnya
kemudahan akses bagi masyarakat pemilih,
termasuk kemudahan-kemudahan dalam
pendaftaran pemilih, kemudahan dalam
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 81

memperoleh dan memahami kartu suara,


kemudahan menjangkau lokasi tempat pemilihan.
Kemudahan-kemudahan ini akan menjadi insentif
bagi masyarakat untuk mendukung proses pemilu.
Pada saat yang sama, desain pemilu menghitung
fasibilitas teknis, antara lain kapasitas administratif
dan anggaran. Tanpa adanya kapasitas pelaksanaan
bagi berlangsungnya pemilu, semua impian dalam
membangun pemilu yang baik akan runtuh. Oleh
karena itu, desin pemilu yang efisien menjadi sangat
penting untuk dipertimbangkan.

Distorsi Regulasi (1): Sistem


Proporsional Terbuka
Terdapat kesadaran yang sangat kuat
menjelang perumusan UU Pemilu 2004 bahwa
dominasi parpol dalam pencalonan dan penetapan
anggota legislatit harus dikurangi , bahkan
dipangkas. Biarlah rakyat yang menentukan orang,
bukan hanya menentukan parpol kemudian
penentuan orangnya diserahkan kepada parpol.
Oleh karena itu, alternatifnya adalah, mengubah
menjadi pemilu sistem distrik, atau minimal sistem
proporsional stelse daftar terbuka.
Alternatif penggunaan sistem distrik
tampaknya hampir tidak digarap secara serius oleh
berbagai pihak, termasuk oleh komponen civil
society. Kemungkinan hal ini didasarkan pada
82 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

beberapa kesulitan, seperti kesulitan dalam


pendistrikan yang harus menghitung jumlah
penduduk (padahal distribusi penduduk di
Indonesia sangat timpang), dan kesatuan sosio-
ideologis masyarakat (seperti etnis, agama dll)
untuk menjamin representasi variasi ideologis ini.
Oleh karena itu fokus perubahan diarahkan pada
upaya untuk menggolkan Sistem Proporsional
dengan stelse Terbuka. Artinya, dalam pemilu
rakyat diberi kesempatan untuk menentukan orang
wakil rakyat, bukan parpol saja.
Tuntutan ini “diakomodasi” oleh perumus UU
dengan munculnya pasal 6 ayat 1 UU No 12/2003
yang menyatakan bahwa “Pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional dengan daftar calon terbuka”.
Namun, pasal ini hampir bisa dipastikan menjadi
tidak bermakna ketika muncul dua ketentuan lain
yang mengamputasinya yaitu :
1 . Tidak ada kewajiban bagi pemilih untuk
memilih nama orang dalam daftar Caleg.
Walaupun dalam kartu suara hanya
mrnunjukkan pemilihan parpol, bukan calon,
tetap saja kartu suara ini dianggap sah
sebagaimana pada pasal 93 ayat 1 :
Suara untuk pemilihan anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 83

dinyatakan sah apabila :


1 . surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
2. tanda coblos pada tanda gambar partai
politik dan calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berada
pada kolom yang disediakan; atau
3. tanda coblos pada tanda gambar partai
politik berada pada kolom yang disediakan;
2. Suara yang diperoleh oleh masing-masing
calon baru akan bermakna apabila mampu
melampaui Bilangan Pembagi Suara. Ini
terdapat dalam pasal 107 ayat 2, yang
menyatakan bahwa :
“ Penetapan calon terpiluih anggota DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dari Partai
Politik Peserta Pemilu didasarkan pada
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu
di suatu Daerah pemilihan, dengan ketentuan:
1) nama calon yang mencapai angka BPP
ditetapkan sebagai calon terpilih;
2) nama calon yang tidassk mencapai angka
BPP, penetapan calon terpilih berdasarkan
nomor urut pada daftar calon daerah yang
bersangkutan;
Celah regulasi inilah yang mengakibatkan
beberapa parpol mendorong masyarakat, calon
pemilih, atyau para pendukungnya untuk memilih
84 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

nama parpol saja, dan tidak perlu repot-repot


memilih nama calon. Kemasan untuk mendorong
cara ini bervariasi, seperti:
a) “menuruti perintah UU yang tidak mewajibkan
pemilih untuk memilih nama calon”;
b) “memudahkan masyarakat dalam mengikuti
proses pemberian suara”;
c) “memudahkan bagi masyarakat yang buta
huruf dalam memberikan suara”;
Apapun alasannya, hasilnya cukup jelas, yaitu
membuat praktek Pemilu 2004 menjadi sistem
proporsional list daftar tertutup yang
mengokohkan peran pengurus teras parpol dalam
penentuan anggota legislatif.

Distorsi Regulasi (2): Threshold dan


Penyederhanaan Parpol
Berangkat dari realitas politik yang
menunjukkan gejala penambahan parpol baru dari
waktu ke waktu, dan rentang ideologis yang
cenderung melebar, upaya penyederhanaan parpol
menjadi satu upaya penting yang perlu dilakukan.
Namun, pertanyaannya adalah bagaimana cara
melakukannya. Sebab, melarang pembentukan
parpol baru merupakan suatu yang tidak mungkin
dilakukan, karena kebebasan berserikat dijamin
oleh UUD. Satu jalan keluar yang ditempuh oleh UU
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 85

kita selama ini adalah di satu sisi membebaskan


pembentukan parpol, namun di sisi lain mem-
berikan persyaratan yang ketat bagi parpol yang
ingin menjadi peserta pemilu.
Ketentuan dalam Undang-Undang 12 tahun
2003 memberikan syarat yang cukup berat kepada
partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Hal ini
dilakukan untuk membatasi jumlah partai politik
peserta Pemilu. Keadaan dilematis akan dihadapi
manakala jumlah partai politik yang menjadi
peserta pemilu terlalu banyak akan sangat
menyulitkan proses teknis pelaksanaan pemilu.
Disamping itu, pemilu juga membawa kewajiban
moral untuk memberikan kesempatan kepada
setiap orang untuk berkompetisi melalui Partai.
Jalan tenagah yang ditempuh adalah dengan
memberikan kemudahan bagi terbentuknya partai
politik dengan mengetatkan syarat-syarat untuk
ikut dalam pemilu. Pasat 7 ayat (1) UU 22/2004
menyebutkan:
Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu
apabila memenuhi syarat:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik;
b. memiliki pengurus lengkap sekurang-
kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh
jumlah provinsi;
86 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

c . memiliki pengurus lengkap sekurang-


kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi sebagaimana
dimaksud huruf b;
d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000
(seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/
1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada
setiap kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud huruf c yang dibuktikan
dengan kartu tanda anggota partai politik;
e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf
b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap;
f. mengajukan nama dan tanda gambar partai
politik kepada KPU.
Syarat keterwakilan nasional partai politik ini
ditambah dengan syarat mengenai threshold atau
batas minimal partai poltik dapat menjadi peserta
pemilu dalam pemilu selanjutnya. Pasal 9 ayat (1)
UU 12 tahun 2003 memberikan syarat:
“Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya,
Partai Politk peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga
persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4%
(empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi
yang tersebar sekurang-kurangnya 1/2
(setengah) jumlah provinsi seluruh
Indonesia; atau
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 87

c . memperoleh sekurang-kurangnya 4%
(empat persen) jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2
(setengah) jumlah jumlah kabupaten/kota
seluruh Indonesia.
Sekali lagi, selain persebaram partai politik,
persebaran dukungan juga menjadi perhatian dalam
UU 12 tahun 2003. Beratnya persyaratan ini
ditambah dengan persyaratan threshold.
Threshold disini dibatasi pada “electoral therhold”,
yaitu presentasi perolehan suara tertentu yang
dijadikan prasyarat untuk bisa ikut pada pemilu
yang akan datang. Akibatnya, pengurangan seleksi
parpol peserta pemilu dilakukan oleh KPU, bukan
oleh pemilih (voters). Kemungkinan terjadinya
distorsi dalam proses seleksi menjadi sangat tinggi.
Atas dasar pemikiran ini, saya cenderung untuk
menggunakan “parliamentary threshold”, yaitu
prosentase perolehan suara tertentu yang
digunakan untuk bisa meperoleh kursi di parlemen
pada pemilu yang bersangkutan. Dengan kata lain,
setiap parpol berhal untuk ikut pemilu, tetapi
dengan resiko kan kehilangan semua suara yang
diperolehnya jika tidak melampaui threshold ini,
dan otomatis tidak memperoleh kursi di parlemen.
88 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Tahapan dan Potensi Distorsi


Dalam Implementasi
Beberapa tahapan penting dalam pelaksanaan
pemilu dan kemungkinan distorsi dalam implemen-
tasinya, dapt dikemukakan di sini sebagai berikut.
1. Pendaftaran Pemiljh
Untuk dapat berpartisipasi dalam tahap
pemberian suara, warga negara harus terdaftar
sebagai pemilih. UU No 12 tahun 2003
menyebutkan beberapa persyaratan untuk dapat
dicatat sebagai pemilih, seperti nyata-nyata tidak
sedang terganggu jiwa/ingatannya; tidak sedang
dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan lain-lain.
Karena harus memenuhi persyaratan tertentu,
pola-pola penyimpangan terhadap pelaksanaan
pendaftaran pemilih bisa berupa:
1 . Yang memenuhi persyaratkan sebagai pemilih,
namun tidak terdaftar.
2. Yang tidak memenuhi persyaratan sebagai
pemilih, namun terdaftar.
Proses semacam ini lazim terjadi pada pemilu-
pemilu yang tidak fair, tatkala parpol tertentu
cenderung menghambat proses pendaftaran pada
kelompok yang tidak mendukungnya, atau
mendorong terjadinya manipulasi pendaftaran
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 89

pemilih pada kelompok masyarakat tertentu yang


tidak memenuhi persyaratan (seperti syarat umur)
karena dianggap akan mendukungnya.

2. Pencalonan: Peran Parpol dan


Keterwakilan Perempuan
UU 12/03 memberikan kesempatan kepada
parpol peserta pemilu untuk mengajukan kandidat
sampai 120% dari jumlah kursi yang ditetapkan
pada setiap daerah pemilihan. Kandidat yang
dicalonkan menjadi anggota legilatif ini merupakan
hasil dari seleksi internal yang dilakukan partai
politik. Seleksi internal partai poltik terjadi mulai
dari proses masuknya calon dalam daftar, terlebih
dalam proses penyusunan nomor urut.
Berikut bunyi Pasal 65 ayat (2) UU 12/03:
“Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat
mengajukan colan sebanyak-banyaknya 120%
(sertus dua puluh persen) jumlah kursi yang
ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.”
Berikut bunyi Pasal 67 ayat (3) UU 12/03:
“Urutan nama calon dalam daftar calon anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/
Kota untuk setiap daerah pemilihan disusun
oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/
Kota berdasarkan nomor urut yang ditetapkan
oleh Partai Politik peserta Pemilu sesuai dengan
tingkatannya.”
Walaupun dinyatakan menganut sistem
90 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

proporsional daftar terbuka, urutaan caleg oleh


parpol ini tetap penting, karena sistem proporsional
dengan daftar terbuk ini baru bekerja apabila caleg
yang bersangkutan memperoleh suara yang
melampaui jumlah Bilangan Pembagi Suara. Selai
itu, dalam hal penggantian antar waktu, urutan
pencalonan tetap akan diperhitungkan.
Selain itu, salah satu hal baru yang diatur dalam
UU Pemilu adalah bahwa pencalonan anggota
legislatif yang dilakukan partai poltik harus
memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% pada setiap daerah
pemilihan (Pasal 65 ayat (1). Walaupun tidak
disertai dengan mekanisme sangsi bagi parpol yang
tidak memenuhi ketentuan tersebut,
dicantumkannya ketentuan ini paling tidak akan
memberikan pelajaran kepada parti politik untuk
serius memperhatikan keterwakilan perempuan,
mengingat lebih dari separuh jumlah pemilih adalah
perempuan.
Karena ketidaktegasan mekanisme yang
ditetapkan oleh UU, jaminan 30% dalam parlemen
juga sulit terjadi. Hal ini bisa diakibatkan oleh posisi
calon perempuan yang berada di ranking bawah,
atau jumlah suara yang diperoleh nanti melalui
mekanisme sistem list daftar terbuka tidak
menjadikan caleg perempuan memperoleh suara
melampaui BPP.
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 91

3. Kampanye: Oleh Parpol dan Individu


Pada pemilu sebelumnya yang menggunakan
sistem proporsional daftar calon tertutup, setiap
calon anggota legislatif hanya berkampanye untuk
partainya. Penentuan calon yang mewakili partai
politik ditentukan dalam mekanisme internal parpol
melalui nomor urut. Dalam kampanye yang
menggunakan sistem daftar calon terbuka, selain
berkampanye untuk partainya, calon juga
berkampanye untuk dirinya sendiri agar dikenal
luas dan memperoleh dukungan. Dalam sistem
daftar terbuka murni, pemilih menentukan calon
yang akan menduduki kursi legislatif berdasarkan
prosentase suara yang didapatkan kandidat.
UU pemilu memberikan mekanisme menjaga
fairness dalam kampanye dilakukan dengan
memberikan sanksi yang keras terhadap peserta
pemilu yang melanggar aturan main.
Ketentuan dalam pasal 78 dan 79 UU 12/03
1) Dana kampanye Pemilu dapat diperoleh
peserta Pemilu dari:
a. anggota Partai Politik peserta Pemilu yang
bersangkutan termasuk calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/
Kota;
b. pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang
meliputi badan hukum swasta, atau
92 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

perseorangan, baik yang disampaikan


kepada Partai Politik peserta Pemilu
maupun kepda calon anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
2) Sumbangan dana kampanye Pemilu
sebagaimana dimaksud ayat (1) dari
perseorangan tidak boleh melebihi Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi
Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimasud
ayat (1) dalam bentuk utang dari perseorangan
atau badan hukum tidak boleh melebihi jumlah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
4) Jumlah sumbnagan lebih dari Rp.
5.000.000,00 (lima juta rupiah) kepada
peserta Pemilu wajib dilaporkan kepad KPU/
KPU Provinsi/KPU Kabupatan/Kota mengenai
bentuk, jumlah sumbangan, dan identitas
lengkap pemberi sumbangan.
5) KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota
mengumumkan laporan sumbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada
masyarakt melalui media massa.
Sedangkan pasal 79 menyatakan:
1) Seluruh laporam dana kampanye peserta
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 93

Pemilu, baik penerimaan maupun


pengeluaran, wajib diserahkan kepada akuntan
publik terdaftar selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari sesudah hari pemungutan suara.
2) Akuntan publik terdaftar wajib menyelesaikan
audit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak diterimanya laporan sebagaimana
dimaksud ayat (1)
3) Hasil audit sebagaimana dimasud pada ayat
(2) wajib dilaporkan kepada KPU dan peserta
Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sesudah selesai audit.
Terlepas dari masalah terdapatnya beberapa
keterbatasan dalam regulasi tersebut,
pertanyaannya adalah, sejauh mana ketentuan
tersebut bisa dijalan dalam praktek. Pengerahan
massa yang tidak terkendali, pelanggaran yang
melibatkan semua parpol, dan kredibilitas aparat
negara yang disangsikan, sebagaimana terjadi
dalam pemilu 1999, layak menimbulkan keraguan
penegak hukum dalam pelaksanaan kampanye
pemilu 2004.

4. Pemungutan Suara
UU 12/03 menentukan bahwa pemilih
memberikan suaranya dengan cara mencoblos
salah satu tanda gambar Partai Poltik peserta Pemilu
dan mencoblos satu calon di bawah tanda gambar
94 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Partai Politik peserta Pemilu dalam surat suara.


Pada tahap berikutnya, penentuan tentang
keabsahan surat suara menjadi hal yang sangat
krusial dalam memberikan klarifikasi terhadap
pilihan sistem pemilu yang menjadi pilihan dalam
sistem proporsional, baik terbuka maupun
tertutup. Pasil 91 ayat (1) mengatur ketentuan
sebagai berikut:
Suara untuk pemilihan anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan
sah apabila:
a. suarat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
b. tanda coblos pada tanda gambar partai politik
dan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota berada dalam kolom
yang disediakan; atau
c . tanda coblos pada tanda gambar partai politik
berada pada kolom yang disediakan;
Proses yang cukup rumit ini bisa jadi
membingungkan para petugas pelaksana di
lapangan.

5. Penghitungan Suara
Dalam ketentuan UU 12/03, mekanisme
penghitungan suara didasarkan kepada daerah
pemilihan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Penghitungan fisik surat suara hanya berlangsung
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 95

di TPS dan pada tingkatan selanjutnya hanya


dilakukan rekapitulasi terhadap suara yang
diperoleh di TPS. Setiap tahapan penghitungan
suara yang dilalui memegang peranan yang
signifikan. KPU Kabupaten/Kota melakukan
rekapitulasi dengan memberikan tembusan kepada
KPU Provinsi dan KPU yang diselengarakan dalam
sebuah rapat pleno KPU Kabupaten/Kota.
Ada hal penting yang perlu disampaikan di
sini. Dalam hal terjadi keberatan yang diajukan
oleh atau melalui saksi peserta Pemilu terhadap
proses rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak
menghalangi proses pelaksanaan Pemilu. Pasal 102
UU 12/03: “Keberatan yang diajukan oleh atau
mealaui saksi peserta Pemilu terhadap proses
rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak
menghalangi proses pelaksanaan Pemilu.” Hal ini
merupakan dilema dalam pelaksanaan pemilu.
Pada satu sisi, harus terdapat jaminan terhadap
berlangsungnya pemilu yang demokratis dengan
adanya jaminan bagi terselesaikannya pelanggaran
yang dilakukan selama pemilu berlangsung.
Tampaknya, proses ini harus ditangani pada tahap
yang sangat tinggi, yaitu oleh Mahkamah Konstitusi
yang berhak menyelesaikan perselisihan antar
parpol.
96 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Rangkuman Forum
Presentasi: Kita Mengalami Kesulitan
Mengubah Sebuah Sistem Ke Sistem yang
Lebih Baik
Pemilu adalah cara standar untuk menakar
sebuah proses proses konversi votes menjadi seats
yang 1. representative, 2. terpercaya dan 3.
Akuntabel
Tapi, menurut Pratikno, rakyat Indonesia
mengalami kesulitan untuk segera mengubah
sebuah sistem ke sistem yang lebih baik. Kesulitan
perubahan sistem pada pemilu kali ini karena elit
parpol yang sudah berdiri dengan sistem yang lama,
menolak adanya sistem atau pilar yang baru. Elit
parpol berpikir, sekali proporsional akan baik jika
selamanya proporsional. Sekali dengan sistem
pemilu proporsional, selamanya elit parpol akan
berjuang untuk proporsional. Kapasitas civil
society yang lemah juga membuat sulitnya terjadi
perubahan.
Pemilu 2004 ini maunya sudah proporsional
daftar calon terbuka, tapi, nyatanya tertutup.
Karena:
1 . Pemilih diberi kesempatan untuk memilih
nama caleg, tapi itu baru efektif atau bemakna
apabila total suara yang diperoleh melampaui
BPP
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 97

2. Kekecewaan pendukung caleg yang hampir


memenuhi BPP
3. Distorsi kepercayaan, keterwakilan dan
akuntabiulitas.
Contoh distorsi yaitu: penyederhaan parpol:
1 . Ada semangat menyederhanakan parpol
2. Tidak mungkin mencegah melalui pelarangan
pembentukan parpol
3. Yang dilakukan adalah mempersulit
keikutsertaan parpol dalam pemilu melalui
KPU, dan electoral threshold.
Pendaftaran pemilih yang bisa menimbulkan
konflik: Yang penuhi syarat tak terdaftar yang tidak
penuhi syarat terdaftar. Pendaftaran masyarakat
yang marginal seperti cacat, lansia ada masalah.
Pencalonan dan penetapan calon yang
menimbulkan konflik seperti: Keterlambatan
logistik, regulasi pemilu yang tidak damai, saling
berlomba untuk melanggar, pelaksanaan yang satu
terhadap yang lain dengan mengatasnamakan
Peraturan.
Pasca pemungutan suara akan rumit karena
penghitungan suara yang tidak akurat.

Tanya jawab
Ifdal Kasim, dari ELSAM mengatakan, bahwa
memang ada masalah dengan regulasi dalam
pemilu. Adanya distorsi angka yang besar dan
98 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

masuk dalam proses dalam penghitungan suara,


akan menjadi masalah besar juga. Bisa saja kalau
ada kesalahan dalam proses penghitungan suara
akan dibawa ke Makamah Konsitutusi, tapi apakah
itu akan menyelesaikan masalah juga? Bagaimana
mengamandemen pasal-pasal dalam sudah
digulirkan. Contoh kasus di Poso, kursi yang akan
didapat nanti melebihi quota yang seharusnya.
Hal-hal ini bisa menimbulkan konflik. Potensi-
potensi konflik sudah banyak, ditambah lagi dengan
distorsi-distorsi dalam pemilu, akan membuat
konflik semakin tinggi. Apakah Makamah Konstitusi
bisa menyelesaikan soal ini?
Pratikno: Memang ada permasalahan yang
serius dalam regulasi. Memang ada keinginan untuk
merevisi Undang-undang Pemilu 1999 dengan
sistem suara. Ada “kursi” pemulung (Stembus
Accord) yang ingin dihilangkan saja. Jika stembus
accord dihilangkan, maka jumlah anggota di DPR
akan berkisar antara angka sekian ke sekian, dan
tidak fix. Tapi, stembus accord akhirnya tak jadi
dihilangkan. Argumentasi yang ada waktu itu, soal
teknis saja. Seperti soal kesulitan membentuk
komisi, kalau stambus accord dihilngkan, dan alasan
yang lain.
Ada perdebatan dalam memilih daerah
pemilihan. Perdebatan ini menjadi sangat alot.
Pemilu kita sangat dekat dengan pemerintahan.
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 99

Polisi kita ada di Kab/provinsi, maka ketika ada


daerah pemilihan di luar daerah kab/provinsi, akan
menyebabkan kerja pemilihan menjadi terkatung-
katung.
Panwas dan parpol berdebat mengenai rujukan
draft pengawas. Ada yang merujuk ke KPU, ada juga
yang merujuk ke undang-undang.
Abdul Haris, Ketua KPU Sleman: Distorsi-
distorsi terjadi dalam proses pendataan
pendaftaran. Misalnya saja kasus di Kota Yogya-
karta, masih ada sekitar 8000 orang/pemilih yang
belum didaftar ( ini berarti akan ada kehilangan
sekitar 5 kursi). Bagaimana menyelesaikan ini.
Pelaksanaan pemilu juga harus diperbaiki dari
segi pemantauan. Pemantau pemilu , juga pada
pemilu 2004 ini, baru datang pada akhir-akhir
menjelang pemilu dilaksanakan. Padahal pemantau
harusnya mulai mengawasi pada saat perundangan
tentang pemilu dibuat.
Lukas Ispandriarno, Fisip Atmajaya:
Tujuan pemilu belum dibahas dalam perundangan,
apa saja yang menjadi tujuan pemilu, dll.
Penguatan-penguatan pemantau belum ada dalam
masyarakat sipil kita.
Nahiyah Faradj, KPPI-Yogyakarta: Pasal 65
ayat 2 mengenai keterwakilan perempuan masih
sangat rendah. Apakah dapat diambil kesimpulan
100 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

bahwa keterwakilan pemilih sudah meningkat?


Pratikno menjawab: Keterwakilan
perempuan tidak menjadi kewajiban. Sangat sulit
untuk menjamin keterwakilan perempuan. Ada
beberapa negara yang membuat konstitusi baru
yang membuat undang-undang untuk menjamin
keterwakilan perempuan. Misalnya caleg parpol
dibuat selang-seling. Kampanye pemilihan
presiden sangat berbeda dengan kampanye pemilu
legislatif. Kampanye presiden akan menarik karena
kita bisa melihat bagaimana peran parpol-parpol
dalam mendukung kampanye tersebut. Mungkin
akan dibuat tim tersendiri dalam kampanye
presiden/wapres.
Moderator, Usman Hamid, menyimpulkan:
Untuk memetakan kekerasan/untuk menghitung
bayang-bayang kekerasan bisa dilihat dari faktor-
faktor yang ada. Kredibilitas pemerintah sekarang,
tidak menjamin kenyamanan dalam pemilihan
umum. Faktor yang lain juga perlu dilihat seperti
faktor wilayah yang berbeda antara daerah satu
dengan yang lain. Faktor yang menjadi pemicu
konflik juga adalah regulasi, tahapan-tahapan
pemilu, sampai adanya benturan fisik antara sesama
partisan partai.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 101

Gelagat Kekerasan,
Pencegahan Konflik, dan
Pemilihan Umum
Samsu Rizal Panggabean
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP)
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
102 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 103

Pemilihan umum dan kampanye dapat


dipahami sebagai proses yang mencakup hal-hal
berikut:
1 . Aturan atau sistem pemilu
2. Penerapan aturan pemilu
3. Konteks politik, sosial, dan ekonomi
masyarakat.
Aturan atau sistem pemilu, yang juga dikenal
dengan electoral law, mengatur berbagai hal
seperti sistem pemilihan yang digunakan, cakupan
atau scope pemilihan, siapa yang berhak memilih,
bagaimana memilih kandidat, bagaimana
menghitung suara pemilih, dan lain-lain.
Penerapan aturan atau sistem pemilu, yang
juga dikenal dengan electoral process, menyangkut
implementasi mekanisme dan proses
penyelenggaraan sistem pemilu yang digunakan.
Istilah seperti “luber” (langsung, umum, bebas,
dan rahasia) dan “jurdil” (jujur dan adil) pada
dasarnya merujuk kepada penerapan aturan
pemilu, bukan sistem pemilu itu sendiri.
Konteks politik, sosial, dan ekonomi
masyarakat mencakup latar belakang sejarah dan
perkembangan sosial-ekonomi masyarakat yang
turut menentukan dampak atau efek penggunaan
sistem pemilihan terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa
dampak yang ditimbulkan suatu sistem pemilihan,
104 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

atau keunggulan dan kelemahannya, tidak dapat


dipahami terlepas dari kondisi aktual masyarakat.
Paper ini akan membahas gelagat konflik dan
kekerasan yang terkait dengan pemilihan umum
(pemilu). Gelagat tersebut dibedakan kepada tiga
jenis: (1) Gelagat umum yang menyangkut konteks
politik, sosial, dan ekonomi masyarakat, (2) gelagat
sistem pemilihan, dan (3) gelagat proses pemilihan.
Diharapkan, uraian mengenai gelagat konflik dan
kekerasan pemilu ini berguna bagi pencegahan
konflik dan kekerasan pada saat pemilu 2004.
Mengidentifikasi gelagat atau gejala dini yang
menunjukkan bahwa konflik yang mengandung
kekerasan dapat terjadi di suatu masyarakat adalah
salah satu tugas penting dalam setiap usaha
pencegahan konflik. Anggapan yang mendasarinya
adalah: Bila sejak dini kita memiliki informasi dan
pengetahuan mengenai gelagat konflik, berarti ada
waktu merumuskan dan menerapkan tanggapan
atau tindakan yang dapat dilakukan terhadap
gelagat tersebut. Informasi mengenai gelagat
konflik juga perlu disosialisasikan supaya
masyarakat memiliki kesadaran tentang persoalan
yang mereka hadapi. Kesadaran masyarakat luas
ini diperlukan supaya tercipta kehendak politik
(political will) yang akan mengambil tindakan-
tindakan preventif.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 105

pencegahan konflik atau conflict prevention adalah


tindakan menghimpun dan menganalisis informasi
yang terkait dengan pemilihan umum dan
kampanye dengan tujuan
1) mengantisipasi peningkatan atau eskalasi
konflik yang keras,
2) mengembangkan respon yang tepat terhadap
krisis tersebut, dan
3) mengajukan pilihan-pilihan tindakan kepada
pihak-pihak yang berwenang dan
berkepentingan (baik di tingkat daerah,
nasional, maupun internasional) dengan
tujuan pengambilan keputusan dan tindakan
pencegahan.

Gelagat Umum
Pemilu adalah salah satu mekanisme
mengadakan perubahan politik dan pemerintahan
secara damai dan tanpa kekerasan. Sayang sekali,
pemilu di Indonesia masih sering menjadi sumber
dan penyebab ketidakstabilan yang amat serius.
Suasana politik, sosial, dan ekonomi menjelang
dan pada saat pemilu sering kali menjadi sangat
tegang. Kekerasan yang terkait dengan pemilu dan
kampanye, yang tidak jarang menimbulkan korban
jiwa dan kerusakan harta benda, juga menjadi
sumber keprihatinan masyarakat.
106 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Oleh sebab itu, berbagai hal yang menyangkut


kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi
konteks pelaksanaan pemilu perlu diperhatikan.
Keadaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
yang merosot (misalnya pengangguran yang tinggi)
dapat menjadikan pemilu sebagai kesempatan yang
memicu berbagai konflik sosial. Tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dapat merintangi
efektivitas manajemen pemilu. Begitu pula, sektor
keamanan yang bermasalah (misalnya aparat
kepolisian yang tidak netral dan tidak efektif dalam
menjalankan tugas) juga dapat mengganggu
pelaksanaan pemilu.
Masa-masa penyelenggaraan kampanye dan
pemilu biasanya digunakan untuk membicarakan
masalah dan keprihatinan mendasar di masyarakat.
Partai politik, calon wakil rakyat, dan calon presiden
akan membicarakan masalah dan keprihatinan
mendasar tersebut dalam rangka mewakili dan
menyuarakan preferensi masyarakat pemilih
maupun dalam rangka membentuk preferensi
masyarakat pemilih. Karenanya, selalu ada
kemungkinan bahwa masa kampanye dan pemilu
akan menjadi ajang penumpahan aneka masalah
sosial, ekonomi, dan politik yang ada di masyarakat.
Selaras dengan anggapan efek spillover ini, perlulah
diperhatikan gelagat konflik yang bersifat politis,
ekonomi, sosial budaya secara umum.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 107

§ Contoh gelagat konflik yang sifatnya politis


adalah: persepsi mengenai underrepresen-
tation dan overrepresentation, pelanggaran
hak asasi manusia (seperti penangkapan
semena-mena, penculikan, pembunuhan poli-
tik); peledakan bom, pengungsian, dan campur
tangan militer dalam masalah-masalah politik.
§ Contoh gelagat konflik yang sifatnya ekonomi
adalah: pengangguran, kemiskinan, kesen-
jangan pendapatan, masalah tanah/lahan yang
ada di masyarakat, kemerosotan lingkungan
hidup, dll.
§ Contoh gelagat konflik yang sifatnya sosial-
budaya adalah: diskriminasi (berdasarkan
ras, etnis, agama, dan gender), kurangnya akses
ke media massa, ketiadaan pengakuan terhadap
identitas budaya suatu kelompok, dll.
Selain itu, petunjuk atau gelagat konflik juga
dapat dibedakan kepada indikator struktural,
indikator pemicu, dan indikator akselarator.
§ Gelagat yang bersifat struktural dan melem-
baga di dalam masyarakat bermacam-macam
bentuknya. Seringkali, gelagat struktural ini
dianggap sebagai latarbelakang atau kondisi
konflik. Contohnya adalah pengucilan politik
secara sistematis terhadap kelompok atau
golongan tertentu, ketidakselarasan pribumi-
nonpribumi, ketidakselarasan antar kelom-
108 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

pok/golongan agama, ketimpangan ekonomi


yang parah, kemerosotan lembaga-lembaga
publik, ketiadaan rasa percaya masyarakat
terhadap lembaga-lembaga politik, pergeseran
demografis yang mendasar, kemerosotan
lingkungan dan lahan, dan perubahan sosial
yang mendasar.
§ Gelagat pemicu adalah persitiwa tertentu yang
menjadi katalis meletusnya kekerasan.
Peristiwa yang dapat memicu kekerasan amat
bervariasi dan kadang-kadang berupa insiden
yang “sepele”, seperti senggolan di konser
dangdut dan pelecehan ringan terhadap lawan
jenis. Pemicu kekerasan yang lain adalah
perkelahian pemuda, pembunuhan, penipuan
dalam pemilihan, kecelakaan lalu lintas,
perjudian (togel) dan lain-lain.
§ Indikator atau gelagat akselerator, yaitu
peristiwa atau perkembangan tertentu yang
dapat meningkatkan suasana tegang dan
menonjolkan sisi yang paling rawan di dalam
masyarakat. Bentuknya pun bisa beraneka
ragam, seperti masuknya pendatang atau
migran baru, peralihan fungsi lahan (dari
pertanian ke industri), munculnya ketentuan
atau peraturan baru dari pemegang otoritas,
kenaikan harga-harga sembako, dan lain-lain.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 109

Gelagat Sistem Pemilihan dan


Tantangan Moderasi
Jenis gelagat kekerasan pemilu jenis kedua
ialah yang terkait dengan sistem pemilihan atau
electoral law. Sistem pemilu adalah bagian dari
mekanisme penyelesaian masalah atau konflik
politik di suatu negara. Masalah atau sumber konflik
terpenting dan yang terkait dengan sistem pemilu
sebagai mekanisme menangani dan mengelola
konflik adalah:
1 . Perwakilan politik dan proporsionalitas
perwakilan politik
2. Efektivitas pemerintahan dan governability
3. Akuntabilitas pemerintahan
4. Ketanggapan atau responsiveness yang dipilih
terhadap pemilih
5 . Moderasi dalam interaksi antar kelompok di
masyarakat
6. Pemilahan-pemilahan sosial yang
berhubungan.
Secara tradisional, sistem pemilu di Indonesia
banyak bertumpu pada sistem perwakilan
berimbang atau proportional representation –
disingkat PR. (Tentang sistem-sistem pemilihan,
lihat Lampiran “Keluarga Sistem Pemilihan).
Sistem PR dinilai memiliki beberapa ciri
tertentu. Salah satu di antaranya adalah kemam-
puannya memaksimalkan representasi partai dan
110 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

kekuatan politik di masyarakat. “PR is valued


because it allows for the faithful translation of
social cleavages into political cleavages through
political parties, ensuring that every salient
societal group is represented according to its size”
Selaras dengan ini adalah Diktum Arthur Lewis
(Politics in West Africa, 1965): “the surest way to
kill the idea of democracy in a plural society is to
adopt the Anglo-American electoral system of
first-past-the-post.” Tidak mengherankan, banyak
negara pasca-konflik menggunakan PR atau salah
satu di antara variasinya.
Akan tetapi, seperti tampak dari pengalaman
Indonesia di masa lalu, sistem PR sering dihadapkan
kepada masalah akuntabilitas dan responsiveness:
Keluhan dan kekecewaan mengenai lemahnya
kaitan geografis wakil-pemilih sering dikemukakan.
Sehubungan dengan ini, sistem anggota campuran
berimbang atau mixed member proportional
(MMP), salah satu varian PR, dinilai dapat memo-
difikasi kelemahan PR di bidang akuntabilitas.
Selain itu, PR juga dihadapkan kepada masalah
kurangnya dorongan terhadap moderasi dan cross-
cutting cleavages. Ini adalah masalah penting bagi
Indonesia mengingat penekanan yang berlebihan
pada kompetisi antar partai, partisipasi, dan
mobilisasi politik dapat menyebabkan kita
melupakan pentingnya moderasi dalam kehidupan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 111

politik. Di dalam keluarga sistem pemilu, alternative


vote (AV) dan single transferable vote (STV) dinilai
dapat mendorong moderasi dan cross-cutting
cleavages di masyarakat. Sebagai contoh, AV
mendorong partai memperluas kelompok sasaran
kampanye supaya mendapat suara pilihan II, III.
Dengan demikian, beberapa gelagat dalam
sistem pemilu kita yang perlu diperhatikan dan
diantisipasi adalah:
§ Polarisasi yang lebih tegas di masyarakat
karena penerapan sistem PR, khususnya dalam
pemilu anggota DPR dan DPRD.
§ Peningkatan ekstremisme politik dan ideologi,
dan, selaras dengan ini, melemahnya moderasi
dan toleransi.
§ Kurangnya insentif bagi politisi, pemimpin,
dan caleg supaya berusaha meraih dukungan
dari berbagai kalangan di luar basis pendukung
tradisional mereka. Selaras dengan ini, insentif
bagi partai-partai untuk berunding dan
bekerjasama dalam konteks pemilu juga lemah.
Gelagat ini tampaknya tidak berlaku untuk
pemilihan presiden nanti, karena dalam
pemilihan presiden ada insentif merangkul
calon dari partai lain dan konstituen di luar
konstituen tradisional si calon presiden.
112 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Tabel Sistem Pemilihan dan Manajemen Konflik Politik


Sistem Blok Partai/ Geografis
Distrik PR AV STV
Masalah Komunal “1+3” *)
Perwakilan/
x x
Proporsionalitas
Effectiveness/ Governability x
Akuntabilitas x
Responsiveness x
Moderation x x x
Cross-cutting cleavages x x x
*) Dalam sistem pemilu di negara tertentu seperti Uganda, calon wakil rakyat di parlemen pusat mengikuti
pemilu di empat distrik pemilihan yang berbeda pada saat yang sama – yaitu di distrik asalnya sendiri
ditambah di tiga distrik nasional. Ali A. Mazrui menamakan ini “poligami pemilu” yaitu gagasan
mengawinkan seorang wakil rakyat di tingkat pusat dengan empat konstituensi – konstituensinya
sendiri ditambah tiga konstituensi lain sehingga menjadi 1+3, sehingga, sebagai implikasinya, seorang
wakil rakyat merasa loyal dan bertanggungjawab kepada lebih banyak konstituensi

Gelagat Proses Pemilihan


§ Apakah ada tekanan penguasa (nasional,
provinsi, kabupaten, kecamatan, atau desa)
terhadap petugas-petugas di bawah supaya
memenangkan partai atau calon tertentu.
§ Apakah aparat di desa atau dusun melakukan
tindakan-tindakan yang tidak fair seperti
memasukkan orang-orang (yang dianggap)
dari partai tertentu ke dalam panitia pemilu di
daerahnya sampai pada memilih saksi-saksi
yang akan mengawasi penghitungan suara
§ Apakah aparat (kades, kadus, RW, RT, Keplink,
Keplor) menghambat dukungan masyarakat
terhadap partai lain dengan ancaman
mempersulit pengurusan surat-surat penting
seperrti KTP, SKKB
§ Apakah ada perasaan curiga dan tidak percaya
yang meluas di masyarakat dan simpatisan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 113

OPP terhadap panitia pemilu (misalnya karena


dianggap pasti memihak partai tertentu).
§ Apakah permusuhan terhadap Partai Golkar
masih kuat di suatu masyarakat karena
peristiwa dan pengalaman masa lalu yang
traumatis.1
§ Apakah ada pengamanan yang memadai
terhadap kartu atau surat suara dan kotak
suara.
§ Apakah banyak pelanggaran terhadap aturan
kampanye yang menyangkut arak-arakan
sepeda moter berknalpot memekakkan telinga,
satgas yang overacting, membawa pemukul
atau senjata tajam ketika kampanye, dan
ledekan/sindiran terbuka terhadap partai lain.
§ Partai-partai besar di suatu daerah pemilihan
harus mendapat perhatian lebih karena,
berdasarkan pengalaman, cenderung menjadi
pelaku atau korban kekerasan kampanye. Yang
dimaksud dengan partai-partai besar ialah
partai-partai yang jumlah massanya besar dan
diperkirakan akan meraih suara yang jauh
melampaui ambang batas yang ditetapkan.
§ Papasan pendukung partai-partai berbeda
harus mendapat pananganan tersendiri.
Pengalaman menunjukkan benturan besar
terjadi ketika massa suatu partai berpapasan
dengan massa partai lain atau, lebih sering
114 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

lagi, ketika massa suatu partai melewati tempat


yang menjadi basis partai lain.
§ Atribut dan simbol partai, seperti bendera,
umbul-umbul, dan posko, perlu mendapat
perhatian masyarakat luas karena di masa lalu
(pemilu 1999, 1997, 1992) paling sering
menjadi sasaran kekerasan.
§ Apakah banyak pihak di masyarakat dan
pemerintah yang giat di bidang pemantauan
pemilu dan kampanye.

Penutup
Gelagat dan gejala dini kekerasan kampanye
dan pemilu tentu saja tidak terbatas kepada yang
diterakan di atas. Pengalaman menunjukkan bahwa
gelagat kekerasan, khususnya jenis gelagat proses
pemilihan, cukup bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain. Karenanya, perlu diidentifikasi gelagat
kekerasan yang lebih khas daerah tertentu.
Selain itu, dalam rangka pencegahan kekerasan,
perlu dirumuskan rencana aksi dan
menerapkannya dalam rangka mencegah dan
menanggulangi konflik. Perlu juga diperhatikan
siapa atau pihak mana di suatu masyarakat yang
mendukung, menentang, atau netral sehubungan
dengan kegiatan pencegahan kekerasan kampanye
dan pemilu.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 115

Catatan Akhir
1
Secara umum, Golkar menjadi pihak yang paling
sering menjadi korban kekerasan kampanye dalam
kampanye pemilu 1999. Kekerasan terhadap Golkar
terwujud dalam berbagai bentuk, dari mulai ribuan
bendera dan umbul-umbul yang hilang, pemba-
karan bendera dan atribut-atribut Golkar, dan
pelemparan terhadap massa Golkar yang sedang
berkampanye. Kekerasan terhadap Golkar tidak
hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Yogyakarta, tetapi juga
terjadi di daerah-daerah seperti Kretek, Magetan,
Madiun, Purwekerto, Cianjur, Kendal, Sidoarjo,
Banyuwangi selatan, dan Grobogan. Kalau dilihat
dari pelaku kekerasan terhadap Golkar, ada partai
yang dominan melakukan perusakan, seperti PDI-P
(menduduki posko Golkar dan mencabut
benderanya di Bandung, merusak kantor Golkar di
Kulon Progo, dan membakar atribut Golkar di
Gunung Kidul), dan ada yang jarang seperti PPP (di
Cianjur melempari) serta Partai Republik di
Grobogan. Kadang-kadang, massa Golkar yang
sedang berkampanye juga dilempar oleh massa atau
masyarakat kampung yang kesal dengan isu janji
pembagian uang dan makanan gratis, misalnya di
Jakarta dan Kendal.
116 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Lampiran:
Keluarga Sistem Pemilihan
Keluarga Pluralitas-Mayoritas

1.Sistem Distrik.
Sistem Distrik atau First Past The Post (FPTP)
adalah salah satu anggota keluarga Sistem
Pluralitas-Mayoritas. Calon yang menang dalam
sistem ini ialah yang memperoleh lebih banyak
suara dari calon lainnya. “Lebih banyak” bisa berarti
mayoritas (lebih dari 50%) atau sekedar pluralitas
(lebih banyak dari saingan-saingan lain walaupun
jauh di bawah 50%). Pemilu sistem distrik lebih
menekankan wakil daripada partai, menggunakan
kertas suara yang kategoris (pemilih hanya memilih
satu nama partai atau wakil), dan setiap distrik
memilih satu wakil. Sistem pemilihan ini digunakan
di 68 negara termasuk Inggris, India, dan Amerika
Serikat.

2. Suara Blok.
Suara Blok (Block Vote) adalah salah satu
anggota keluarga sistem pemilihan Pluralitas-
Mayoritas. Sistem pemilihan ini menggunakan
distrik multimember atau distrik yang memilih
beberapa wakil. Pemilih memiliki suara sejumlah
calon yang akan dipilih di distrik itu. Yang dipilih
bisa jadi nama calon dan bisa pula nama partai.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 117

Calon yang meraih jumlah suara yang lebih banyak


dari pesaing-pesaingnya memenangkan kursi.
Suara Blok digunakan di tiga belas negara, termasuk
Filipina, Palestina, Laos, Thailand, dan Kuwait.

3. Suara Alternatif.
Sistem pemilihan Suara Alternatif (Alternative
Vote, AV) adalah anggota keluarga sistem
pemilihan Distrik atau Pluralitas-Mayoritas. Tiap
distrik memilih satu wakil. Pemilih menggunakan
angka untuk menentukan siapa pilihan pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan
preferensinya. Karenanya, kertas suaranya disebut
juga “ordinal.” Calon yang meraih lebih dari 50%
suara pilihan pertama dinyatakan terpilih. Kalau
tidak ada calon yang meraih suara mayoritas, maka
calon-calon yang perolehan “pilihan pertama”-nya
paling sedikit dihapuskan dari pencalonan, dan
kertas suara mereka dialokasikan kepada calon-
calon lain. Bila perlu, proses ini diulang sampai
diperoleh calon yang meraih suara mayoritas
absolut. Sistem pemilihan ini hanya digunakan di
dua negara saja: Australia dan Nauru.

4. Sistem Dua Putaran.


Sistem Dua Putaran atau Two-Round System
(TRS) adalah salah satu anggota keluarga sistem
pemilihan Pluralitas-Mayoritas. Dalam sistem ini,
pemilu kedua akan diadakan apabila tidak ada calon
118 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

yang meraih suara mayoritas absolut dalam pemilu


pertama. Di Ukraina, yang ikut dalam pemilu kedua
hanyalah dua peraih suara terbesar dalam pemilu
pertama. Di Perancis, yang ikut dalam pemilu kedua
hanyalah para calon yang dalam pemilu pertama
berhasil meraih minimal 12.5% suara. Selain di
Perancis dan Ukraina, Sistem Dua Putaran juga
digunakan di 29 negara lain.

Keluarga Perwakilan Berimbang

1. Sistem Daftar Perwakilan Berimbang


Sistem Daftar Perwakilan Berimbang (List
Proportional Representation), seperti tampak dari
namanya, ingin menyeimbangkan perolehan suara
partai dengan perolehan jumlah kursi parlemen.
Misalnya, partai yang meraih 40% suara akan
meraih 40% kursi parlemen. Sistem pemilihan ini
digunakan di 66 negara di Afrika, Eropa Barat,
Amerika Latin, dan Eropa Timur.
2. Sistem Anggota Campuran Berimbang
Sistem Anggota Campuran Berimbang atau
Mixed Member Proportional (MMP) adalah salah
satu anggota keluarga sistem pemilihan Perwakilan
Berimbang (Proportional Representation). Dalam
sistem MMP, sebagian anggota parlemen dipilih
lewat sistem distrik, dan sebagian lain dengan
menggunakan sistem daftar partai atau Perwakilan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 119

Berimbang. Pemilih memiliki dua suara, yang satu


untuk partai, yang satu lagi untuk calon dari distrik
pemilihan. Sistem pemilihan ini digunakan di tujuh
negara, termasuk Jerman, Selandia Baru, dan
Meksiko.

3. Single Transferable Vote


Single Transferable Vote (STV). Sistem STV
menggunakan distrik yang multimember. Pemilih
memberi suara dengan memberikan peringkat
kepada pilihan mereka seperti dalam Suara
Alternatif. Supaya terpilih, seorang calon harus
berhasil melampaui jumlah kuota suara pilihan-
pertama yang ditetapkan lewat aturan tertentu.
Apabila ada calon yang sudah gagal meraih kuota,
atau ada calon yang memiliki kelebihan suara, maka
kertas suara mereka akan dialokasikan kembali
kepada calon-calon lain yang masih mungkin
meraih kemenangan. Sistem suara ini disebut yang
tercanggih dan paling menarik. Tetapi, sistem
pemilihan ini hanya digunakan di dua negara saja,
yaitu Irlandia dan Malta.

Keluarga Semi-Perwakilan Berimbang

1. Sistem Paralel
Sistem Paralel adalah salah satu anggota
keluarga sistem pemilihan Semi-Perwakilan
Berimbang. Dalam sistem ini, pemilu perwakilan
120 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

berimbang diselenggarakan bersamaan dengan


sistem pluralitas-mayoritas. Sebagai contoh, di
Jepang 40% kursi diperebutkan melalui perwakilan
berimbang dan sisanya melalui sistem distrik.
Selain di Jepang, Sistem Paralel juga digunakan di
enam negara lainnya.

2. Single Non-Transverable Vote


Single Non-Transverable Vote (SNTV)
menggabungkan distrik-distrik yang multimember
dengan cara penghitungan suara Sistem Distrik
FPTP. Selain itu, pemilih hanya memiliki satu suara.
Sistem ini digunakan di dua negara Yordania dan
Vanuatu.

Sumber: International Idea (Swedia)


Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 121

Rangkuman Forum

Presentasi: Persoalan Indonesia Akan


Lebih Mudah Diselesaikan Jika Kita
Mendekat Pada Parpol

Samsu Rizal Panggabean mengatakan,


dalam sejarah Pemilu di Indonesia selalu
menegangkan. Pemilu selalu siap diamankan kapan
saja. Semua kelompok siap mengamankan Pemilu
seolah-oleh Pemilu selalu akan disabotase. Ini
karena kondisi umum di masyarakat kita yang mesti
diperhatikan. Pemilu sering menjadi alat bagi
persoalan lain yang kadang tidak ada hubungannya
dengan pemilu ikut tumpah (effect spillover). Ini
sangat tergantung pada konteks dan kondisi daerah
masing-masing, persoalan pemilihan kepala desa
bisa tumpah saat Pemilu. Apa yang bisa tumpah di
satu daerah berbeda dengan daerah yang lain.
Pemilu atau kampanye seringkali menjadi trigger
bagi konflik yang lain. Kita tidak tahu ini konflik
internal yang terjadi saat kampanye atau apa. Kita
dihadapkan pada banyaknya kemungkinan dan
variasi yang sangat luas di tiap daerah. Kadang ini
tidak terduga. Gelagat umum misalnya soal politik
(under representation atau over representation).
Kalau yang kurang terwakili agama atau suku
tertentu ini yang harus diperhatikan. Ini sarana
untuk membicarakan keterwakilan politik.
122 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Pelanggaran HAM, penculikan, campur tangan


militer dan polisi adalah contoh gelagat politik
yang bisa diidentifikasi. Persoalan ekonomi seperti
kemiskinan, bisa menjadi gelagat yang
mempengaruhi. Gelagat sosial budaya seperti
diskriminasi etnis, ras, kelompok umur bisa menjadi
masalah yang muncul saat pemilu.
Ada cara lain untuk melihat gelagat umum
ini, yakni gelagat struktural dan gelagat
akselerator. Struktural seperti misalnya
pengucilan kelompok tertentu, pri non pri, agama
tertentu. Parpol bisa membelah kelompok tertentu,
seperti kelompok agama, yang mempertegas
polarisasi kelompok. Di Indonesia, lembaga politik
merosot. MA di Indonesia tidak dipercayai. MA
didemo. Orang juga tidak percaya pada Polisi.
Pergeseran demografis yang mendasar juga bisa
menjadi sumber, seperti di Ambon, Aceh, Maluku
Utara karena konflik yang terjadi.Pergeseran
demografis yang mendasar juga bisa menjadi
sumber, seperti di Ambon, Aceh, Maluku Utara
karena konflik yang terjadi. Perpindahan penduduk
bisa menjadi gelagat.
Gelagat pemicu, seringkali hal sepele. Misalnya
dangdutan, pelecehan seksual, perkelahian
pemuda—seperti di Sulsel, pembunuhan, penipuan
antar parpol, perjudian dll, bisa memimbulkan
trigger, pemicu. Ini bisa berkembang menjadi
konflik.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 123

Gelagat akselerator ini meningkatkan sisi


rawan, seperti masuknya imigran tak dikenal. Isu-
isu tertentu yang mempercepat ketegangan, seperti
isu manusia bersarung di Madura. Peralihan fungsi
lahan, peraturan baru, kenaikan sembako, bisa
menjadi gelagat akselerator. Pada tingkat tertentu
kita harus waspada karena tidak ada rumus yang
pasti.
Tentang gelagat sistem pemilihan.
Sekarang kita menggunakan sistem yang berbeda
untuk memilih dewan dan DPD. Sistem pemilihan
adalah mekanisme menyelesaikan konflik
manajemen. Konflik apa yang ada dalam
masyarakat. Pertama, menyangkut keterwakilan
politik. Kedua, efektifitas pemerintahan. Ketiga,
akuntabilitas. Keempat, responsiveness. Kelima,
efek moderasi—sistem pemilihan yang pas tidak
memperparah polarisasi tapi memberi clap pada
masyarakat. “Jangan melihat dimensi politik
parpol saja, tapi lihat juga efek moderasinya,”
papar Rizal.
Bersamaan dengan itu kekerasan dipertegas
dengan pemilahan yang ada di masyarakat. Itu
yang disebut tidak adanya efek moderasinya. Di
sistem pemilihan 2004 ini membuka klep-klep ini
atau bukan. Sistem perwakilan berimbang yang
diterapkan di Indonesia dan yang sekarang. Sistem
berimbang bisa menyebabkan semua orang
124 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

terwakili. Dilihat dari proporsionalitas suara dan


proses, threshold-nya rendah, seperti di Israel.
Efek moderasi bukan sistem pemilihan yang bagus.
Kita mesti mengantisipasi sistem diluar sistem
berimbang. Termasuk soal efektivitas pemerin-
tahan. Efektivitas seringkali terhambat karena
tujuan masing-masing orang di tingkatan itu
sendiri-sendiri. Akuntabilitas pemerintahan—
orang masuk pemerintahan adalah aset partai,
bagus untuk partai, dan ada uang dari mereka untuk
partai. Responsiveness—dilihat dari sudut ini masih
ada persoalan.
Masih ada efek moderasi yang memperlunak,
ini belum diberikan dalam undang-undang yang
baru. Ada proses pengentalan organisasi massa.
Ada beberapa sistem Pemilu yang memperhatikan
efek moderasi, tapi Indonesia tidak menggunakan-
nya. Contohnya alternatif quotes. Ini menyangkut
ketegasan polarisasi juga. Beberapa sektor masya-
rakat terpolarisasi karena sistem pemilihan kita
mendorong itu. moderasi dan toleransi juga perlu.
Insentif bagi dewan untuk untuk meraih dukungan
(lihat makalah)
Gelagat proses pemilihan. Apakah ada
tekanan penguasa nasional terhadap penguasa di
tingkat bawah. Ada tekanan untuk orang. Bentuk
lain dari tekanan orang atas terhadap orang di
bawah masih ada. Polarisasi bisa melibatkan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 125

pemerintahan di tingkat desa. Apakah


pemerintahan di tingkat desa melakukan tindakan
yang tidak fair misalnya? Apakah aparat desa
menghambat dukungan masyarakat terhadap
parpol lain. Apakah ada persoalan kecurigaan
diantara pendukung partai terhadap petugas
pemilu di tingkatan masyarakat? Apakah
permusuhan terhadap partai golkar masih kuat?
Apakah ada pengamanan yang memadai terhadap
kartu dan kotak suara?—kasus terdahulu di banyak
tempat banyak kotak suara yang sudah dicoblosi.
Apakah ada pelanggaran terhadap aturan
kampanye yang menyangkut arak-arakan sepeda
motor? Partai besar si satu daerah pemilihan harus
mendapat perhatian yang lebih besar karena
mereka potensial untuk menjadi pelaku dan korban
kekerasan. Karena gaya kampanye kita yang sering
mengerahkan masa. Papasan pendukung partai
yang berbeda harus mendapatkan penanganan
tersendiri. Atribut dan simbol partai sering
mendapat sasaran kekerasan. Apakah banyak pihak
di masyarakat dan pemerintah untuk pemantauan
pemilu dan kampanye?

Tanya Jawab
Zuli Qadir, dari JIMM mengatakan, dengan
banyaknya masalah yang bisa tumpah di pemilu,
maka pemilu bisa gagal. Kekerasan bisa terjadi,
juga di kampus. UGM, Undip, UNY misalnya
126 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

menerima kampanye di kampus, tapi apa ada


jaminan aman dari kekerasan, sementara tidak ada
kampanye, demo mahasiswa bisa berlanjut dengan
bentrok. Dengan banyaknya masalah, maka
menjadi penting peran lembaga donor. Tapi, aneh
memang ketika tidak ada lembaga memberi
dukungan pada pemantauan. Sepengetahuan Zuly,
baru Forum Rektor yang mendapat dana peman-
tauan. Zuly Qadir juga menyorot bagaimana pelang-
garan dalam pemilu tidak pernah selesai diusut dan
diadili.
Zuly Qadir dan Fadmi Sustiwi dari KR,
mempertanyakan soal keadilan gender. Dalam
perundangan ditulis 30 persen perempuan, tapi
nyatanya, tidak akan mencapai angka itu. Apakah
memang negara memelihara ketidakterwakilan
perempuan, dan apakah ini akan memicu konflik?
Ustad Dian Nafi’ dari Al Muayyad, Solo,
menyinggung soal media massa yang memiliki
realitasnya sendiri dalam mengangkat fakta,
fenomena, dan konstruksi sosial. Sekarang content
media massa kecenderungannya ke soal
irrasionalitas masyarakat. Dari pengalaman yang
sudah-sudah, peliputan pemilu di media massa,
juga mengikuti logikanya sendiri, dan kurang pada
fakta lapangan yang sebenarnya, diinginkan
masyarakat untuk diketahui.
Kiai Abdul Muhaimin, dari Pondok
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 127

Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, menilai


biasanya konflik bisa terjadi karena sebelumnya
sudah ada bibitnya. Namun, apakah ada konflik
yang muncul dengan tiba-tiba, dan kemungkinan
menyangkut apa saja?
Istianah dari UMY. Jika semua parpol jelek,
apa solusinya? Ada sistem dan proses, dan pasca
berkaitan dengan Pemilu. Soal sistem tidak cukup
signifikan karena besok sudah kampanye. Soal kuota
juga masuk kategori abu-abu, mungkin baru bisa
dilaksanakan pada Pemilu 2009. Istianah menilai,
gerakan anti pemilu saat ini sangat banyak.
Mahasiswa yang kecewa terhadap Akbar Tanjung
tidak menawarkan solusi dalam Pemilu, tapi
memilih Golput. Kenapa tidak menawarkan calon
yang lain? Sebagai Aktifis PAN, Istianah mengatakan
ada parpol di lapangan, bagi-bagi uang, juga
sembako di gras sroot.Serangan fajar dengan bagi-
bagi uang ini menimbulkan kekhawatiran, karena
itu perlu diantisipasi. Penyalahgunaan jabatan
sangat mencolok di masa kampanye. Modelnya,
misalnya, dengan cara meresmikan jalan dari
bantuan bupati. Berkaitan dengan proses, ada
fenomena yang bisa memicu kekerasan, seperti
tidak seimbangnya bilik suara dan surat suara, dan
itu sama sekali tidak tertutup. Bilik suara yang
sangat sempit memungkinkan orang lain untuk
melihat pilihannya.
128 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Abdur Rozaki, dari IRE mengatakan hal yang


belum terungkap adalah bagaimana menangani
kekerasan berbasis kearifan yang dimiliki
masyarakat lokal. Mengenai hasil pemilu, Rozaki
menilai ada resistensi dalam masyarakat mengenai
sikap yang tidak fair. Mundurnya Sultan HB X dari
konvensi Golkar menyebabkan masyarakat merasa
aman dan netral. Parpol juga kadang tidak bisa
mendidik anggotanya. Rozaki tak sepakat dengan
Istianah soal golput. Menurut rozaki, golput tak
perlu ditakutkan karena golput adalah bagian dari
solusi.
Rizal menanggapi. Yang harus ditegaskan
adalah persoalan kekerasannya. Bagaimana supaya
parpol bisa melakukan tujuannya tanpa harus
merusak hanya karena persoalan kampanye dan
pemilu. Kita perlu sistem untuk mengurangi
kekerasan. Persoalan Indonesia akan lebih mudah
diselesaikan kalau kita mendekat dari sistem politik
dan pemilu. Tidak ada cara lain untuk mengganti
yang jelek dari pemilu kecuali mendekat ke parpol.
Alangkah baiknya kalau yang baik-baik dalam
masyarakat kita ini berkumpul dalam pemilu.
Karena itulah memberi suara adalah memberi
peluang bagi munculnya demokrasi. Golput adalah
contoh orang yang melarikan diri dari proses
memberikan suara. Ini tidak bertanggung jawab
terhadap persoalan publik. Persoalan kita akan
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 129

lebih mudah jika kita mendekati partai politik. harus


ada gerakan yang lebih besar untuk mengikis
sentimen anti partai yang dikembangkan Orba. Anak
muda mantan aktivis yang masuk parpol tidak
berarti menggadaikan idealisme mereka. Ini bagus
sebagai cara untuk mendekati parpol. Donor tidak
tertarik pada proses pemantauan karena kesulitan.
Mungkin lebih strategis bagi donor untuk
menggunakan uangnya di tempat yang lain.
Persoalan perempuan secara spesifik adalah
persoalan under representation. Apa yang dila-
kukan perempuan di Indonesia. apa yang dilakukan
KPU dan pemerintah pusat untuk menyelelsaikan
pengabaian. Banyak negara di dunia mengidealkan
kuota 30 % perempuan di parlemen.
Mengenai negara dan manajemen konflik. Dulu
negara ini tidak bisa mengelola konflik karena
negara juga menjadi aktor yang terlibat dalam
konflik. Konflik di Pemilu yang dulu-dulu sulit
dikelola karena mereka ikut bertikai. Perbedaan
pemilu dulu dan sekarang, sekarang lebih enak.
Ada beberapa kemajuan dalam Pemilu 99—negara
sudah berada di luar kepartaian dan menjadi
manajer konflik. mungkin sekarang situasi ideal
tahun 1999 ini tidak terpenuhi. Ada kemunduran
dilihat dari sudut pemerintah daerah dalam
memelihara konflik. Kita berharap polisi, militer,
birokrasi pemerintah bisa netral. Ini ada kemung-
130 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

kinan bahwa negara masih bisa mengelola keke-


rasan. Soal irrasionalitas, mungkin ini cerminan
masyarakat kita.
Epilog 131

Pemilu 2004:
Transisi Demokrasi dan Kekerasan

EPILOG
132 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

This ebook downloaded


from www.csps.ugm.ac.id
Epilog 133

EPILOG

Menjadikan pemilu sebagai solusi masalah


berbangsa (tanpa kekerasan) bukanlah hal mudah.
Tradisi pemilu di Indonesia adalah kekerasan.
Pemilu 2004 pun tetap dalam bayang-bayang
konflik kekerasan. Tapi, upaya memutus tradisi
kekerasan dalam pemilu dan menjadikan pemilu
sebagai pesta demokrasi sebenarnya, dimana
rakyat memilih para wakil dan calon pemimpinnya,
bukannya hal yang tidak mungkin. Tahapan ke arah
pemilu damai bisa ditempuh. Ketakutan akan
terjadinya kegagalan pemilu karena kekerasan,
harus dilawan. Masyarakat pada dasarnya mampu
belajar dengan cepat untuk melembagakan
demokrasi. Sesuatu yang dulu di masa Orde Baru
ditabukan. Dengan stabilnya lembaga demokrasi,
maka selain rantai tradisi kekerasan pemilu bisa
diputus, rakyat juga bisa lebih jernih memilih wakil-
wakil di legislatif dan para calon pemimpinnya.
Langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang
harus dilakukan untuk stabilnya pemilu damai.
Pendeteksian secara dini atas potensi-potensi
konflik harus dilakukan secara jeli. Dari situ bisa
diupayakan langkah-langkah pencegahan dan
pemecahan masalah untuk jangka pendek dan
jangka panjang. Demikian disampaikan kalangan
peserta pada akhir lokakarya.
134 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Jika diidentifikasi, kekerasan selama masa


kampanye dan pemilu dapat berupa teror,
intimidasi dan bentuk lainnya. Mereka yang menjadi
penyelenggara pemilu 2004 tetap rentan dari ke-
kerasan. Menurut sejumlah peserta, selama masa
kampanye dan pemilu, para pelaku bisnis, dianta-
ranya kalangan etnis Cina di beberapa daerah,
ditengarai masih terjadi.
Kekerasan juga bisa terjadi secara tak langsung,
lewat tulisan di media massa. Pemberitaan yang
tidak mengikuti kaidah jurnalistik baku (berimbang,
fair, mendalam) dapat merupakan kekerasan
simbolik. Kalangan peserta menilai, pemberitaan
bisa dinilai sebagai kekerasan jika ada pendeskritkan
atas peristiwa, tokoh, partai, juga ras tertentu. Pe-
serta menuntut agar kalangan intelektual tetap
independen dalam mensikapi pemilu. Pendapat
kalangan intelektual yang tidak independen,
diantaranya berupa produksi wacana memihak dan
menyesatkan, misalnya ketika intelektual tersebut
bertindak sebagai PR parpol atau tokoh, dapat
dinilai sebagai kekerasan simbolik.
Kekerasan fisik, menurut peserta lokakarya,
dapat berawal dari money politics. Premanisme
terjadi di jalan-jalan dimana masyarakat dipaksa
memilih parpol dan atau orang tertentu. Politik
uang juga dikhawatirkan akan terjadi dan berimbas
terjadinya kekerasan pasca pemilihan legislatif,
Epilog 135

sebelum pemilihan presiden. Peran milisia di partai-


partai dan preman yang tidak secara formal terikat
partai ditengarai besar. Karena itu, para peserta
mendesak agar partai-partai membubarkan satuan-
satuan milisianya (satgas-satgas).
Para peserta lokakarya menilai, langkah-
langkah pencegahan dalam jangka pendek, se-
perti pemasangan spanduk, poster, iklan layanan,
news ticker di televisi dan koran yang mengarah ke
kedamaian kampanye dan pemilu, masih sangat
efektif. Namun, langkah itu harus ikuti dengan
upaya seperti melakukan mediasi ke kalangan
parpol untuk membuat komitmen internal partai
untuk pemilu damai. Dalam jangka pendek maupun
panjang, tekanan pada parpol harus dilakukan agar
parpol melakukan pendidikan politik sebenarnya,
Parpol juga harus mampu mengendalikan mas-
sanya. Jaringan edukasi (diantaranya dari kalangan
NGO) harus diperkuat untuk peran mediasi ini.
Jaringan juga harus didukung dengan data-data
yang terus diperbarui tentang potensi kekerasan di
tingkat lokal.
Kalangan peserta juga mengungkapkan, agar
peran kelapa desa dan kaum agamawan terus diop-
timalkan. Independensi kampus amat penting un-
tuk menjaga pemilu yang damai dan berkualitas.
Peserta mendesak kalangan kampus yang meng-
ijinkan kampanye di lingkungannya, agar membuat
136 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

aturan mengenai kampanye dan pemilu damai di


kampus. Aturan harus terbuka dan dipublikasi
agar bisa dikritisi. Peran kampus ke luar adalah
penting, tapi selama masa kampanye dan pemilu
kampus harus menjaga warganya untuk tetap
independen. Misalnya untuk mahasiswa KKN, kam-
pus harus dibuat aturan agar mahasiswa tetap
menjaga independensinya, dan tidak memihak
pada salah satu partai atau capres.
Dalam jangka panjang, para peserta loka-
karya menyimpulkan beberapa hal pokok. Pera-
turan pemilihan (electral law) harus diubah dan
diperbaiki. Electoral law yang ada sekarang tidak
mengandung efek moderasi yang memadai. Dengan
eletoral law yang tidak mengandung efek moderasi,
sebagaimana dalam pemilu 2004 ini, justru me-
ngentalkan pemilahan sosial dalam masyarakat.
Dalam jangka panjang , electoral process juga harus
diperbaiki dengan penguatan KPU dan Panwaslu.
KPU saat ini dibebani pekerjaan melaksanakan
pemilu, tetapi tidak didukung dengan prasarana
dan sarana, khususnya dukungan birokrasi yang
memadai yang efisien.
Dalam jangka panjang, suksesnya pemilu tanpa
kekerasan juga ditentukan oleh berhasil tidaknya
reduksi terhadap masalah-masalah sosial, seperti
kemiskinan dan pengangguran. Jika kesulitan hidup
masyarakat mampu dijawab oleh para wakil rakyat
Epilog 137

terpilih dan para pemimpin pasca pemilu, maka


bisa diharapkan, tradisi kekerasan pemilu akan
terhenti. Pemilu tidak akan pernah lagi menjadi
tumpahan berbagai masalah (efek spillover) yang
berasal justru dari luar pemilu.
Para peserta juga menekankan pentingnya
pendidikan politik parpol untuk untuk basis massa-
nya. Pendidikan oleh parpol kepada massanya,
seharusnya dilakukan terus menerus, tidak hanya
menjelang dan selama pemilu, ketika suara mereka
dibutuhkan para elit parpol. Sejumlah peserta meng-
usulkan perlunya dipikirkan agar masa kampanye
parpol boleh dilaksanakan sepanjang tahun. De-
ngan kampanye sepanjang tahun, selain parpol
punya kesempatan melakukan pendidikan politik
terus menerus, kualitas parpol juga akan meningkat.
Masyarakat akan terus berkomunikasi dengan par-
pol. Jika kampanye boleh sepanjang tahun, dan
tidak terkonsentrasi hanya dalam masa sekitar satu
bulan menjelang pemilu, kemungkinan ledakan
kekerasan kampanye dan pemilu, bisa dihindari.
Tapi, tentu saja sebelum kampanye boleh dilakukan
sepanjang tahun, harus dibuat dulu sejumlah
aturan, diantaranya menyangkut etika berkampa-
nye yang baik yang disepakati semua parpol. Serta,
dibubarkannya satuan milisia di parpol (satgas).
Para peserta menyepakati langkah-langkah
prioritas yang akan dilakukan segera, menyangkut
138 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

koordinasi dan pembagian peran. Kontrol pada


pers agar tetap independen diperlukan. Insitusi
Pers akan diminta menjaga para wartawannya
tetap teguh bekerja berdasar kaidah jurnalistik
baku, dengan pemberitaan yang berimbang,
fairness, melakukan penulisan yang mendalam dan
jernih atas fenomena kampanye dan pemilu. Di
tingkat grassroot, dukungan pada peran kepala
desa dan agamawan, untuk sosialisasi kampanye
dan pemilu damai, akan terus dilakukan. Beberapa
peserta mengusulkan, agar lembaga-lembaga
pendidikan diarahkan untuk meningkatkan
kesadaran politik para siswanya. Peran NGO amat
penting di sini.
Di luar peran pemerintah yang dituntut efektif
untuk deteksi dini maupun pencegahan kekerasan
pemilu, aspirasi politik masyarakat -konteksnya
untuk transformasi pemilu damai dalam jangka
panjang- harus lebih dimuliakan. Selama ini di
berbagai tempat, peran masyarakaat dengan
kearifan lokalnya masing-masing, untuk
pencegahan kekerasan (juga selama kampanye dan
pemilu) kurang diapresiasi. Akibatnya ketika terjadi
konflik dengan kekerasan, masyarakat sendiri tak
mampu menyelesaikannya, dan harus mengundang
bantuan pemerintah yang kemampuannya terbukti
amat terbatas. Situasi itu harus segera diubah.
Epilog 139

Tentang CSPS BOOKS


CSPS BOOKS adalah lembaga nirlaba dibawah Center
for Security and Peace Studies (CSPS) Universitas Gadjah
Mada (UGM). CSPS BOOKS menerbitkan buku-buku dan
publikasi lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
yang menjadi perhatian CSPS, berkaitan dengan studi
keamanan dan studi perdamaian

CSPS BOOKS memiliki tim redaksi yang terdiri dari :


Ketua : Lambang Trijono, MA
Anggota : Samsu Rizal Panggabean, MA
M. Faried Cahyono
Tri Susdinarjanti
M. Najib Azca, MA.

Tentang Editor buku “Pemilu 2004:


Transisi Demokrasi dan Kekerasan”

M. Faried Cahyono
Adalah staf CSPS UGM yang juga seorang jurnalis. Faried
mengawali kerja jurnalistik di media elektronik radio dan
kemudian ke media cetak. Ia pernah menjadi wartawan
MBM TEMPO (1991-1994), wartawan MBM Forum Keadilan
(1994-2002) dan kontributor The Jakarta Post untuk
peliputan Pemilu 1997. Faried masih menulis background
stories berbasis riset atas permintaan beberapa media
asing. Sebagai editor sudah beberapa buku
dihasilkannya.

Lambang Trijono
Adalah Kepala CSPS UGM. Ia pengajar Jurusan Sosiologi,
Fisipol UGM. Beberapa buku sudah ditulis diantaranya
adalah “Keluar dari Kemelut Maluku” diterbitkan Pustaka
Pelajar tahun 2001, dan kumpulan tulisan berjudul “The
Making of Ethnic and Religious conflicts in Southeast
Asian, Cases and Resolutions”, yang diterbitkan CSPS
BOOKS tahun 2004.
140 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan

Anda mungkin juga menyukai