Transisi Demokrasi
dan Kekerasan
editor:
M. Faried Cahyono
Lambang Trijono
CSPS Books
2004
Pemilu 2004: Transisi Demokrasi dan Kekerasan
Copyright © 2004 by CSPS BOOKS.
All rights reserved
Cetakan Pertama April 2004
Editor: M. Faried Cahyono
Lambang Trijono
Ilustrasi: Agus Supriyanto
Layout dan Cover: Syarafuddin
Arial (© 1990-92 by Monotype), Century Gothic (© 1990-91 by
Monotype), Georgia (© 1996 by Microsoft), Impact (© 1991-96
by Monotype), Wingdings (© 1992-95 by Microsoft).
Teks pada sampul belakang: M. Faried Cahyono
CSPS – UGM
CSPS BOOKS
Center for Security and Peace Studies
(Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian)
Universitas Gadjah Mada
Sekip K-9 Yogyakarta 55281
Telp./Faks. (62-274) 520733
www.csps-ugm.or.id
ISBN 979-98203-2-4
dan
1 . Prolog 1
2. Pemilu 2004:
Taksanomi Tema dan Isu Relevan
Daniel Sparringa 9
3. Peta Kekuatan Politik dan
Konflik Lokal di Indonesia 1999 – 2004
I Ketut Putra Erawan 33
4. Memetakan Potensi
Kekerasan Politik Pemilu 2004
Lambang Trijono 55
5 . Proses, Tahapan, dan
Distorsi Politik dalam Pemilu 2004
Pratikno 73
6. Gelagat Kekerasan,
Pencegahan Konflik, dan Pemilihan Umum
Samsu Rizal Panggabean 101
7 . Epilog 131
This ebook downloaded
from www.csps.ugm.ac.id
Prolog 1
Pemilu 2004:
Transisi Demokrasi dan Kekerasan
PROLOG
2 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Prolog 3
PROLOG
Pemilu 2004:
Taksonomi Tema
dan Isu Relevan
Daniel Sparringa
Kepala Laboratorium “Masalah-masalah
Pembangunan” FISIP Universitas Airlangga
10 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Lampiran:
Peta Ideologis Partai-partai Politik
(official-unofficial, declared-undeclared)
Ideologi Islam
a. Islam Orthodoks: Partai Bulan Bintang
b. Islam Progresif: Partai Keadilan Sejahtera
c . Islam Tradisional: Partai Persatuan Nahdatul
Ulama, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Bintang Reformasi
d. Modernis: Partai Amanat Nasional
Ideologi Nasionalis
a. Nasionalis Populis (Marhaenisme: Sosialisme
Indonesia): PNI Marhaenisme, Partai Nasional
Banteng Kemerdekaan, Partai Penegak
Demokrasi Indonesia, Partai Pelopor
b. Nasionalis Negara (State Developmentalism):
Partai GOLKAR, PDI Perjuangan, Partai Patriot
Pancasila, Partai Keadilan dan Persatuan.
c . Nasionalis Religi (Islam Kebangsaan): Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera,
Partai Karya Peduli Bangsa
d. Nasionalis Demokrat (Nation State): Partai
Demokrat
e. Nasionalis Progresif (National Pluralis): Partai
Persatuan Demokrasi Kebangsaan dan Partai
Persatuan Daerah
Taksonomi Tema dan Isu Relevan 23
Rangkuman Forum
Presentasi:
Demokrasi Kita, Demokrasi Zombi
Pemilu macam apakah yang kita temui pada
2004 ini? Pemilu yang kritis. Demikian menurut
Daniel Sparringa, pengamat politik dari Fisip
Universitas Airlangga. Pemilu 2004 ini dipersep-
sikan publik “kritis” justru ketika transisi sedang
terjadi. Paling tidak ada 3 indikator untuk melihat
apakah pemilu sesuatu ang penting atau tidak. (1)
Pemilu sebagai usaha perubahan secara damai. (2)
Pemilu terdapat prinsip kontestansi, rivalitas, bah-
kan konflik politik idelogi difasilitasi untuk solusi
dan resolusi (3) Dengan pemilu maka ada upaya
membuat jarak antara lembaga dengan rakyat
menjadi dekat. Masyarakat bisa berkomunikasi
dengan lembaga.
Namun, pemilu 2004 ini sedang kritis karena
rakyat tidak merasa cukup mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi siapa yang hendak duduk
menjadi wakilnya. Disebut kritis kalau disatu pihak
pemilu seharusnya sesuatu yang penting, namun
di lain pihak rakyat menganggap pemilu 2004 tidak
penting. Seharusnyalah, lewat Pemilu rakyat
menggugat kontrak dasar yang baru.
Titik kritis berikutnya,menyangkut perta-
nyaan yang muncul dari rakyat soal, siapa yang
24 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Tanya Jawab
Moderator Ari Sujito dari IRE, mencatat
beberapa hal penting menyangkut cara pandang
Daniel Sparringa bahwa transisi diisi oleh
pelembagaan demokrasi. Kata kuncinya adalah
konsolidasi dan pelembagaan politik. Catatan
terakhir, pilar demokrasi yang disebut
parlementarisme dan civil liberties ternyata saling
menegasikan. Protes sosial ekstra parlemen
menjadi kontra produktif.
Lukas Ispandriarno, dari Fisip Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, merasa heran bagaimana
Senat di Amerika Serikat tidak melihat masyarakat
dunia ketiga mengalami problem yang rumit dalam
transisi demokrasi. Apakah paradoks dan dilema
antara parlementarisme dan civil liberties (CL) ini
tidak bisa dipertemukan?
Zuli Qadir, dari Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM) merespon Daniel yang
membagi partai dalam kelompok nasionalis dan
agamis. Agamis dan Nasionalis akan bertemu,
bahkan antara Agamis, bisa tidak saling bertemu.
Misalnya, Gus Dur akan susah berkompromi dengan
Amien Rais, Hamzah Haz dan Hidayat Nur Wahid.
Jika nanti yang maju dalam putaran pertama adalah
Megawati yang dihadapkan pada orang-orang
santri, maka kalangan agamis, menurut Zuli Qadir,
akan mengambil jalan pragmatis. Sentimen
28 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Pengantar
Kajian tentang hubungan antara peta kekuatan
politik dan konflik lokal di Indonesia masih bukan
hanya jarang dilakukan tetapi juga tidak serius
dikerjakan. Yang sering dilakukan adalah kajian
secara terpisah. Litbang Kompas misalnya
menyajikan ulasan yang sangat informatif tentang
peta kekuatan politik. International Crisis Groups
misalnya rajin menyajikan laporan fenomena
konflik di Indonesia. Banyak pula telah dilakukan
kajian historis tentang peta kekuatan politik
maupun kajian konflik lokal (Kahin, Klinken).
Kajian-kajian terakhir ini secara umum juga melihat
implikasi peta kekuatan politik dan konflik lokal
berdasarkan studi kasus tertentu. Dengan demikian
kajian yang mendalam tersebut masih menyisakan
problem seberapa jauh kesimpulan dari daerah
tersebut dapat dipakai untuk mengerti daerah lain
di Indonesia. Secara keilmuan, fenomena ini juga
menimbulkan keresahan karena tidak adanya cukup
akumulasi ilmu dan temuan yang membuat ilmu
politik berkembang dengan lebih baik.
Paper ini tidak berpretensi untuk menjawab
persoalan-persoalan yang sangat mendasar itu saat
ini. Paper ini adalah upaya awal untuk melakukan
pemetaan terhadap konflik lokal di 71 daerah tingkat
II di Indonesia untuk periode 1999-2004 dan
kaitannya terhadap peta kekuatan politik di daerah
36 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Konflik Lokal
Konflik lokal disini menyangkut baik
PENYEBAB UMUM
AKSELERATOR
JENIS KONFLIK
KONFLIK LOKAL
Peta Kekuatan Politik Dan Konflik Lokal 41
Catatan Akhir
1
Data konflik lokal dari 71 daerah tingkat II ini
dikumpulkan dari isian survey yang dilakukan pada
63 informan pada tanggal 10 hingga 4 Maret 2004
di Universitas Gadjah Mada. Mereka tersebut adalah
mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Politik Lokal
dan Otonomi Daerah yang berasal dari 48 daerah
46 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Rangkuman Forum
Tanya Jawab
Moderator Arie Sujito dari IRE, mengatakan
yang disampaikan Ketut mengenai koalisi dan
potensi konflik, dan belum diulas mengenai potensi
koalisi. Juga bagaimana kaitan antara elit partai
dan masa partai.
50 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Memetakan Potensi
Kekerasan Politik
Pemilu 2004
Lambang Trijono
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
Universitas Gadjah Mada
56 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Pengantar
Pemilu 2004 merupakan sarana paling baik
untuk mengganti atau memperbaiki pemerintahan
menjadi lebih baik dan efektif untuk mengatasi
krisis nasional. Karenanya, segala faktor yang bisa
menggagalkan pemilu, atau mengurangi kualitas
pemilu perlu dicegah, agar pemilu berjalan
demokratis, bisa menghasilkan pemerintah yang
baik sesuai kehendak rakyat. Bila ini tidak tercapai
ongkos sosial-politiknya terlalu mahal, kita akan
semakin terpuruk dan butuh waktu lebih lama un-
tuk bangkit dari krisis nasional.
Salah satu kendala penting penghalang
terwujudnya pemilu demokratis adalah
kemungkinan munculnya kekerasan politik.
Kekerasan politik yang muncul perlu dicegah,
karena hal itu akan merusak demokrasi dan
menjadikan hasil pemilu tidak mendapatkan
legitimasi yang kuat dari rakyat.
Pemilu 2004 masih berlangsung dalam konteks
transisi politik nasional. Transisi politik dari rejim
Oder Baru ke peme-rintahan demokrasi pasca-
Seharto hingga kini belum menghasilkan
konsolidasi demokrasi yang kuat. Pengikut rejim
Orde Baru masih kuat bercokol dalam struktur
politik. Sementara, pemerintahan demokratis
belum terkonsolidasi, sangat lemah, belum mampu
mengatasi krisis ekonomi dan gejolak politik
58 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Tiga Skenario
Membaca realitas fakta yang ada, sesung-
guhnya kemungkinan yang terjadi barangkali tidak
seseram yang digambarkan banyak kalangan selama
ini bahwa pemilu 2004 akan “berdarah-darah” atau
akan menimbulkan “gejolak revolusi sosial”, seperti
dikemukakan Lemhanas beberapa waktu lalu. Pe-
nulis tidak sependapat dengan skenario ini. Me-
mang dalam pemilu nanti bisa saja terjadi kekerasan
politik di berbagai daerah. Atau, terjadi distorsi,
cacat, karena ketidaksiapan KPU dalam men-
jalankan target tiap tahapan yang ada, seperti dalam
kasus kepanikan KPU dalam penyediaan logistik
yang terjadi sekarang.
62 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Pencegahan Kekerasan
Skenario ini lebih realistis dan bisa digunakan
sebagai acuan langkah pencegahan dan
transformasi konflik pemilu menuju yang
demokratis. Pemetaan atas potensi kekerasan
politik itu memang masih perlu dipertajam dengan
kalkulasi yang cermat atas potensi konflik di tiap-
tiap daerah dan distorsi politik serta akumulasi
kekecewaan politik dalam tiap tahapan pemilu,
mulai pendaftaran pemilih, pencalonan anggota
legislatif, masa kampanye, hingga pemilihan
langsung anggota parlemen dan presiden. Namun,
langkah awal pencegahan kekerasan bisa dilakukan
Memetakan Potensi Kekerasan Politik 65
Rangkuman Forum
Tanya Jawab
Fadmi Sustiwi, dari KR mempertanyakan
image Yogyakarta yang selalu dianggap sebagai
tempat aman. Semua tak lepas dari suatu usaha,
diantaranya sosialisasi kelompok-kelompok antar
iman. Tapi, apakah nantinya tidak akan muncul
konflik dan Yogyakarta tetap aman dalam pemilu?
70 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Pengantar
Dalam tataran yang paling minimal, pemilu
merupakan mekanisme politik untuk mengkonversi
suara rakyat (votes) menjadi wakil rakyat (seats).
Pemilu diharapkan mampu menghasilkan seats
yang mereepresentasikan suara rakyat. Pemerintah
yang dihasilkan juga harus menjadi pemerintah
yang terpercaya dan mampu menjalankan peme-
rintahan secara akuntabel. Oleh karena itu, dalam
standar normal, isu keterwakilan, kepercayaan dan
kepercayaan dan kepertanggungjawaban meru-
pakan parameter utama dalam melihat keber-
hasilan pemilu. Pemilu yang distortif adalah pemilu
yang keluar dari parameter ini.
Namun, dalam konteks perkembangan politik
di Indonesia sekarang ini, pemilu tidak bisa dilihat
dari parameter standar di atas. Pemilu bukan hanya
harus dilihat sebagai mekanisme politik yang
memungkinkan membangun pemerintahan yang
reperesentatif, terpercaya dan akuntabel. Tetapi,
pemilu 2004 sekarang ini (pemilu jurdil kedua
pasca Orba) juga harus dilihat sebagai parameter
penting proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Dengan kata lain, sejauh mana pemilu
2004 mampu menjamin dan mengindikasikan
kesepakatan semua pihak untuk menjadikan
“democracy as the only game in town”.
76 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Distorsi Pemilu
Distorsi terhadap apa? Sebagai telah saya
sampaikan secara sepintas, pemilu 2004 tidak
cukup hanya dilihat sebagai mekanisme politik
untuk mengkonversi suara rakyat menjadi
pemerintah yang representatif, terpercaya dan
akuntabel. Namun, pemilu 2004 harus pula dilihat
dalam konteks transisi menuju konsolidasi
demokrasi. Artinya, proses dan praktek politik
dalam pemilu 2004 yang mengindikasikan
konsolidasi demokrasi menjadi parameter yang
mendasar pula.
Pemilu 2004 dijalankan setelah hampir lima
tahun jatuhnya Presiden Suharto, pemimpin dan
simbol otoritarianisme Orde Baru. Walaupun
kebanyakan kita sepakat bahwa kejatuhan Suharto
tidak identik dengan kejatuhan otoritarianisme,
namun saya kira kita sepakat kejatuhan Suharto
bisa diartikan dengan mulai terbukanya ruang bagi
proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 77
c . memperoleh sekurang-kurangnya 4%
(empat persen) jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2
(setengah) jumlah jumlah kabupaten/kota
seluruh Indonesia.
Sekali lagi, selain persebaram partai politik,
persebaran dukungan juga menjadi perhatian dalam
UU 12 tahun 2003. Beratnya persyaratan ini
ditambah dengan persyaratan threshold.
Threshold disini dibatasi pada “electoral therhold”,
yaitu presentasi perolehan suara tertentu yang
dijadikan prasyarat untuk bisa ikut pada pemilu
yang akan datang. Akibatnya, pengurangan seleksi
parpol peserta pemilu dilakukan oleh KPU, bukan
oleh pemilih (voters). Kemungkinan terjadinya
distorsi dalam proses seleksi menjadi sangat tinggi.
Atas dasar pemikiran ini, saya cenderung untuk
menggunakan “parliamentary threshold”, yaitu
prosentase perolehan suara tertentu yang
digunakan untuk bisa meperoleh kursi di parlemen
pada pemilu yang bersangkutan. Dengan kata lain,
setiap parpol berhal untuk ikut pemilu, tetapi
dengan resiko kan kehilangan semua suara yang
diperolehnya jika tidak melampaui threshold ini,
dan otomatis tidak memperoleh kursi di parlemen.
88 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
4. Pemungutan Suara
UU 12/03 menentukan bahwa pemilih
memberikan suaranya dengan cara mencoblos
salah satu tanda gambar Partai Poltik peserta Pemilu
dan mencoblos satu calon di bawah tanda gambar
94 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
5. Penghitungan Suara
Dalam ketentuan UU 12/03, mekanisme
penghitungan suara didasarkan kepada daerah
pemilihan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Penghitungan fisik surat suara hanya berlangsung
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 95
Rangkuman Forum
Presentasi: Kita Mengalami Kesulitan
Mengubah Sebuah Sistem Ke Sistem yang
Lebih Baik
Pemilu adalah cara standar untuk menakar
sebuah proses proses konversi votes menjadi seats
yang 1. representative, 2. terpercaya dan 3.
Akuntabel
Tapi, menurut Pratikno, rakyat Indonesia
mengalami kesulitan untuk segera mengubah
sebuah sistem ke sistem yang lebih baik. Kesulitan
perubahan sistem pada pemilu kali ini karena elit
parpol yang sudah berdiri dengan sistem yang lama,
menolak adanya sistem atau pilar yang baru. Elit
parpol berpikir, sekali proporsional akan baik jika
selamanya proporsional. Sekali dengan sistem
pemilu proporsional, selamanya elit parpol akan
berjuang untuk proporsional. Kapasitas civil
society yang lemah juga membuat sulitnya terjadi
perubahan.
Pemilu 2004 ini maunya sudah proporsional
daftar calon terbuka, tapi, nyatanya tertutup.
Karena:
1 . Pemilih diberi kesempatan untuk memilih
nama caleg, tapi itu baru efektif atau bemakna
apabila total suara yang diperoleh melampaui
BPP
Proses, Tahapan, Dan Distorsi Politik 97
Tanya jawab
Ifdal Kasim, dari ELSAM mengatakan, bahwa
memang ada masalah dengan regulasi dalam
pemilu. Adanya distorsi angka yang besar dan
98 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Gelagat Kekerasan,
Pencegahan Konflik, dan
Pemilihan Umum
Samsu Rizal Panggabean
Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP)
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
102 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Gelagat Umum
Pemilu adalah salah satu mekanisme
mengadakan perubahan politik dan pemerintahan
secara damai dan tanpa kekerasan. Sayang sekali,
pemilu di Indonesia masih sering menjadi sumber
dan penyebab ketidakstabilan yang amat serius.
Suasana politik, sosial, dan ekonomi menjelang
dan pada saat pemilu sering kali menjadi sangat
tegang. Kekerasan yang terkait dengan pemilu dan
kampanye, yang tidak jarang menimbulkan korban
jiwa dan kerusakan harta benda, juga menjadi
sumber keprihatinan masyarakat.
106 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Penutup
Gelagat dan gejala dini kekerasan kampanye
dan pemilu tentu saja tidak terbatas kepada yang
diterakan di atas. Pengalaman menunjukkan bahwa
gelagat kekerasan, khususnya jenis gelagat proses
pemilihan, cukup bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain. Karenanya, perlu diidentifikasi gelagat
kekerasan yang lebih khas daerah tertentu.
Selain itu, dalam rangka pencegahan kekerasan,
perlu dirumuskan rencana aksi dan
menerapkannya dalam rangka mencegah dan
menanggulangi konflik. Perlu juga diperhatikan
siapa atau pihak mana di suatu masyarakat yang
mendukung, menentang, atau netral sehubungan
dengan kegiatan pencegahan kekerasan kampanye
dan pemilu.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 115
Catatan Akhir
1
Secara umum, Golkar menjadi pihak yang paling
sering menjadi korban kekerasan kampanye dalam
kampanye pemilu 1999. Kekerasan terhadap Golkar
terwujud dalam berbagai bentuk, dari mulai ribuan
bendera dan umbul-umbul yang hilang, pemba-
karan bendera dan atribut-atribut Golkar, dan
pelemparan terhadap massa Golkar yang sedang
berkampanye. Kekerasan terhadap Golkar tidak
hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Yogyakarta, tetapi juga
terjadi di daerah-daerah seperti Kretek, Magetan,
Madiun, Purwekerto, Cianjur, Kendal, Sidoarjo,
Banyuwangi selatan, dan Grobogan. Kalau dilihat
dari pelaku kekerasan terhadap Golkar, ada partai
yang dominan melakukan perusakan, seperti PDI-P
(menduduki posko Golkar dan mencabut
benderanya di Bandung, merusak kantor Golkar di
Kulon Progo, dan membakar atribut Golkar di
Gunung Kidul), dan ada yang jarang seperti PPP (di
Cianjur melempari) serta Partai Republik di
Grobogan. Kadang-kadang, massa Golkar yang
sedang berkampanye juga dilempar oleh massa atau
masyarakat kampung yang kesal dengan isu janji
pembagian uang dan makanan gratis, misalnya di
Jakarta dan Kendal.
116 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Lampiran:
Keluarga Sistem Pemilihan
Keluarga Pluralitas-Mayoritas
1.Sistem Distrik.
Sistem Distrik atau First Past The Post (FPTP)
adalah salah satu anggota keluarga Sistem
Pluralitas-Mayoritas. Calon yang menang dalam
sistem ini ialah yang memperoleh lebih banyak
suara dari calon lainnya. “Lebih banyak” bisa berarti
mayoritas (lebih dari 50%) atau sekedar pluralitas
(lebih banyak dari saingan-saingan lain walaupun
jauh di bawah 50%). Pemilu sistem distrik lebih
menekankan wakil daripada partai, menggunakan
kertas suara yang kategoris (pemilih hanya memilih
satu nama partai atau wakil), dan setiap distrik
memilih satu wakil. Sistem pemilihan ini digunakan
di 68 negara termasuk Inggris, India, dan Amerika
Serikat.
2. Suara Blok.
Suara Blok (Block Vote) adalah salah satu
anggota keluarga sistem pemilihan Pluralitas-
Mayoritas. Sistem pemilihan ini menggunakan
distrik multimember atau distrik yang memilih
beberapa wakil. Pemilih memiliki suara sejumlah
calon yang akan dipilih di distrik itu. Yang dipilih
bisa jadi nama calon dan bisa pula nama partai.
Gelagat Kekerasan dan Pencegahan Konflik 117
3. Suara Alternatif.
Sistem pemilihan Suara Alternatif (Alternative
Vote, AV) adalah anggota keluarga sistem
pemilihan Distrik atau Pluralitas-Mayoritas. Tiap
distrik memilih satu wakil. Pemilih menggunakan
angka untuk menentukan siapa pilihan pertama,
kedua, ketiga, dan seterusnya berdasarkan
preferensinya. Karenanya, kertas suaranya disebut
juga “ordinal.” Calon yang meraih lebih dari 50%
suara pilihan pertama dinyatakan terpilih. Kalau
tidak ada calon yang meraih suara mayoritas, maka
calon-calon yang perolehan “pilihan pertama”-nya
paling sedikit dihapuskan dari pencalonan, dan
kertas suara mereka dialokasikan kepada calon-
calon lain. Bila perlu, proses ini diulang sampai
diperoleh calon yang meraih suara mayoritas
absolut. Sistem pemilihan ini hanya digunakan di
dua negara saja: Australia dan Nauru.
1. Sistem Paralel
Sistem Paralel adalah salah satu anggota
keluarga sistem pemilihan Semi-Perwakilan
Berimbang. Dalam sistem ini, pemilu perwakilan
120 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Rangkuman Forum
Tanya Jawab
Zuli Qadir, dari JIMM mengatakan, dengan
banyaknya masalah yang bisa tumpah di pemilu,
maka pemilu bisa gagal. Kekerasan bisa terjadi,
juga di kampus. UGM, Undip, UNY misalnya
126 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
Pemilu 2004:
Transisi Demokrasi dan Kekerasan
EPILOG
132 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan
EPILOG
M. Faried Cahyono
Adalah staf CSPS UGM yang juga seorang jurnalis. Faried
mengawali kerja jurnalistik di media elektronik radio dan
kemudian ke media cetak. Ia pernah menjadi wartawan
MBM TEMPO (1991-1994), wartawan MBM Forum Keadilan
(1994-2002) dan kontributor The Jakarta Post untuk
peliputan Pemilu 1997. Faried masih menulis background
stories berbasis riset atas permintaan beberapa media
asing. Sebagai editor sudah beberapa buku
dihasilkannya.
Lambang Trijono
Adalah Kepala CSPS UGM. Ia pengajar Jurusan Sosiologi,
Fisipol UGM. Beberapa buku sudah ditulis diantaranya
adalah “Keluar dari Kemelut Maluku” diterbitkan Pustaka
Pelajar tahun 2001, dan kumpulan tulisan berjudul “The
Making of Ethnic and Religious conflicts in Southeast
Asian, Cases and Resolutions”, yang diterbitkan CSPS
BOOKS tahun 2004.
140 Pemilu 2004: Transisi Demokrasi & Kekerasan