ROCKY GERUNG MERAWAT REPUBLIK MENGAKTIFKAN AKAL SEHAT
Indonesia hari ini...
Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi. Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali kali. Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri. Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of
Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan kemancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan didalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyatלtetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini. Politik tidak diselenggarakan diruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan. Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan “uang tunai". Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa “human development index” kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan. Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu. Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.
DEFISIT AKAL DI PARLEMEN ADALAH SEBAB DARI
DEFISIT ETIKA
Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi
defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan “titik dan koma” suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang. Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum “kewarganegaraan” dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai “tanggung jawab merawat hidup bersama”, tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep “etika publik” tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan “bermasyarakat”. Memang,amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan “akhlak” ketimbang “akal”. Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita “melihat dunia" melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika “nasionalisme”, dan karena itu kedudukan primer konsep “warganegara” tidak cukup dipahami. Kewarganegaraan” adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamentalfundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa “kedaulatan rakyat” tidak pernah diberikan pada “wakil rakyat”. Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada “si wakil”, dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak dengan“mayoritarianisme”. Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan sama politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu. Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika “kesantunan”menyisihkan“kritisisme”. Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah. Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai “raja”, “tuan”, “pembesar” dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat. Didalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran didalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan “aturan politik feodal”, aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal. Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat “toleran”, sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.
TETAPI REPUBLIK HARUS TETAP BERDIRI
Republik adalah ide minimal untuk
menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep “publik” pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang “ragu-ragu” inilah sesungguhnya yang dapat “membiarkan” demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan “ragu-ragu” ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu “keuntungan moral” di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas. Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan. Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama dinegeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama. Didalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap. Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Disini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Didalam Republik, “suasana” percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Didalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”, merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis. Kemajemukan dan “suasana Republik”, sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis” (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis” tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada “sumpah keempat”: beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema “kebangsaan” yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan”keberagamaan” (dan karena itu perayaannya Cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil”, jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik” melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna “agamis” pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" . Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya "di sini dan sekarang”, bukan “nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.warganegara. Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan. Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal. Di dalam republik, “kebenaran” disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya “kebenaran” dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa “kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran” itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih. Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama. Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik, Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada! Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin “negara integralistik”, suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita. Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: “itu rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh. Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan “crypto politics”. Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika “mayoritarianisme” itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik. Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat? Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia. Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan didunia, dan bukan apa yang akan diperoleh diakhirat. Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.
DAN KITA ADALAH WARGANEGARA DUNIA
Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan
mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi.Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala” setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, “in-the-making”, tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik. Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan “national brand”, dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial. Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya dibuku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib” terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen. Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi.Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara. Obsesi kita tentang “ke-Indonesia-an” hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi “kemajemukan baru”, yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai didalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata. Perkembangan “ruang politik digital” itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis. secara Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif fundamentalis. Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah. Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi “manusia” hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu. Mengucapkan kemanusiaan sebagai “solidaritas etis” harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai “ruang antagonisme”, berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh “pahala akhirat”, melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat. Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah keluar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Didunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya diakhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan! So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang “politics of recognition”. Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari “politik pengakuan” ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang “minoritas” dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak “affirmative action” bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer”, karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas. Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas. Di Republic of Hope Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat. urusan Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak Cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia. Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat. Pepatah Itali mengingatkan: "Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah monsterlah yang menguasai malam". Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope. Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.
JALAN IDEOLOGI DALAM NEGARA DEMOKRASI
Fantasi berbeda dengan imajinasi. Pada imajinasi,
obyek imajinasi digambarkan tanpa referensi masa lalu. Sementara fantasi adalah pengulangan suatu “kenikmatan” yang pernah ada, dan karena itu hendak dipelihara sepanjang waktu. Ideologi bekerja dalam fantasi. Tetapi bukan karena masa lalu itu "pernah ada”, melainkan karena hanya itu alasan untuk membayangkan suatu masa depan yang fantastik. Ideologi mengkonsumsi hasrat yang ia produksi secara berlebihan. Karena itu, “rasa” haus adalah kondisi ideologi yang permanen. Psikologi inilah yang mengaktifkan obsesi pada kekuasaan. Membawa masa lalu kembali ke masa depan, berarti menghentikan sejarah. Ia melihat masa depan dalam psikologi kecemasan, tetapi sekaligus dalam harapan bahwa ia akan “tiba di sana”. Politics of Hope memang bekerja dalam metafisika “the-not-yet”: kemungkinan selalu menunggu. Tetapi untuk memberi kepastian kepada "yang belum ada”, fantasi harus dibuat: Bahwa “yang akan tiba” itu sesungguhnya “sudah pernah ada”. Karena itu, sejarah harus ditulis. Maka penulisan sejarah menjadi jalan ideologis untuk mengefisienkan operasi kekuasaan kelak. Dari sudut pandang ideologi, sejarah adalah politik yang sedang dipersiapkan. Di sinilah politik mulai -not-berkerja. Yaitu “mengamankan” jalan bagi “the yet”, untuk tiba secara “agung”. Sejarah adalah jalan yang dibuat bagi “Sang Agung". Maka rumus harus ditetapkan: ada banyak “ada”, tetapi hanya boleh ada satu Ada. Jalan lurus itulah yang melahirkan absolutisme, karena pada praktek kekuasaan, metafisika itu berubah menjadi suatu imperatif politik: “ada yang lain, tidak boleh ada”. Bahkan dengan tanda perintah (!), dibelakangnya. Di situ, ideologi membeku menjadi ontologi. Tak ada pluralitas, tak ada jalan alternatif. Ideologi menutup fantasi tentang posibilitas dengan cara menolak antropologi falibilisme. Demokrasi, karena sifat antropologisnya, dengan sendirinya harus dihentikan. Pancasila pernah ada di jalan itu. Yaitu sebagai peralatan psikis untuk menyingkirkan “kemungkinan yang lain”. Ia pernah ada sebagai “satu Ada”, di Orde Lama, juga di Orde Baru. Trauma itulah yang hendak dihilangkan hari-hari ini, yaitu ketika kita tak memiliki fantasi alternatif untuk "menemui masa depan”. Globalisasi adalah kecemasan. Ia membuat kita gagap dan gagu. Tetapi Pancasila juga belum pulih dari trauma, untuk mampu secara utuh, menawarkan “kerangka pikir” masa depan. Dalam kondisi hegemonik finance capitalism, kemarahan pada peradaban global” akan terasa sebagai frustrasi psikosomatik, karena kapitalisme tidak lagi identik dengan produksi dan akumulasi, melainkan lebih sebagai persoalan semiotika konsumsi. Bahkan pada tindakan revolusioner semacam “Duduki Wallstreet”, ideologi bukan sponsor. Utamanya, karena fantasi tentang keadilan tidak hendak dikembalikan pada ordodoksi Marxisme. Teori determinasi ekonomi telah beralih pada semiotika translasi: bahwa kapitalisme telah menyatu dalam konsumsi "pop-culture”, sehingga revolusi tidak lagi bermakna tranformasi total. Akibatnya, harapan pada keadilan sosial dalam Pancasila, tak terumuskan dalam konstruksi hegemonik itu. Inilah soal utamanya: memaksakan norma yang traumatik kepada kondisi “politics of hope”, justeru mengundang balik konfrontasi politik. Tetapi sebaliknya, tanpa acuan sosial yang komprehensif, bangsa seperti susah melangkah. Pancasila hari ini ada dalam obsesi menjadi acuan sosial komprehensif, sesuatu yang terlalu berat bagi mereka yang memelihara politics of memory yang buruk, juga bagi mereka yang memandang dunia dari politics of hope yang berbeda. Memastikan dan memaksakan Pancasila secara normatif, tak mungkin dengan mengaktifkan politik stigmatik seperti pernah dilakukan di waktu lalu. Kesulitan ini harus diperhatikan mendahului semua keinginan politik yang sarat retorik hari-hari ini. Pertanyaan tentang isi filosofi Pancasila tak mungkin sekedar dijawab dengan retorika : “bukan ini bukan itu”, atau “anti ini, anti itu”. Terlebih bila diskursus tentang Pancasila dikendalikan oleh klaim genealogis yang posesif, bahwa “hanya kami yang paham keaslian Pancasila”. Pertengkaran berbasis "hak sejarah” adalah pertanda bahwa ideologi memang tak komprehensif. Ideologi harus diterangkan melalui kerangka materialnya, yaitu sebagai manifestasi dari suatu pembentukan sosial yang radikal. Kita bisa bandingkan proses itu dengan pembentukan satu sila Revolusi Perancis: “Kesetaraan, Persaudaraan, Kebebasan”. Sosiologi dibelakang sila itulah yang menjadikannya menetap sebagai “prinsip solidaritas” rakyat Perancis. Versi Albert Camus, bahkan membekaskan radikalitas itu ke tingkat filosofi: “Perlawanan, Pemberontakan dan Kematian". Sakralisasi Pancasila belum sedalam itu.Lepas dari kondisi psiko-politiko-historis itu, Pancasila itu sendiri masih memerlukan “penguatan metodologi”, bila ia hendak diterangkan sebagai sebuah diskursus ideologi. Artinya bukan saja tafsir “bijaksana” terhadap sila- silanya yang perlu diusahakan, melainkan juga konstruksi koheren dari kaitan antar silanya. Sebab, sebuah ideologi adalah jalan pikiran yang disusun logis, tak boleh mengandung kontradiksi.Ideologi "terbuka" sekalipun, harus diperlihatkan dalam susunan yang “tertutup”, yaitu dalam metodologi yang teguh. Artinya, Pancasila harus siap diuji secara akademik bila hendak diajukan sebagai suatu “jalan pikiran”. Saya berpendapat bahwa Pancasila, sebagai diskursus ideologi, tak cukup kuat untuk diuji dalam debat akademik yang ketat. Terutama karena kecenderungannya untuk menyerap “semua golongan”, maka Pancasila lebih tepat disebut sebagai “kerangka kebudayaan”, ketimbang “dasar negara”. Ini tentu lain soal dengan ketetapan politik yang menyatakan Pancasila sebagai dasar negara. Justeru pembelaan yang meledak-ledaklah yang memperlihatkan kelemahan metodologis dari Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila yang tidak diterangkan dengan argumentasi yang lurus dan tuntas, justeru akan mengalami defisit filosofis bila ia hanya dibela berdasarkan sentimen nasionalisme yang tinggi. Menghadapkan Pancasila pada globalisasi, terorisme, dan politik identitas, sekedar sebagai "benteng moral” kebangsaan dan kejayaan masa lalu, tentu bukan cara cerdas untuk meyakinkan keunggulan alam pikiran yang dikandung Pancasila. Bijak tak sama dengan logis. Pendekatan yang terlalu fungsional terhadap Pancasila, justeru mengurangi fungsi sistem demokrasi sebagai mekanisme terbuka dalam menyelesaikan konflik politik. Demokrasi bekerja mengolah ruang politik agar tak dihuni secara permanen oleh doktrin. Demokrasi menyediakan ruang kompetisi, tetapi bukan untuk diisi oleh obsesi-obsesi metafisik. Di sinilah ujian pertama bagi Pancasila: kompatibelkah ia dengan sistem demokrasi yang justeru menolak finalitas? Pancasila yang digambarkan sebagai “pandangan hidup” bangsa, terasa terlalu ontologis dalam ruang lentur demokrasi. Republik adalah cara hidup bersama, tetapi tujuan hidup individu hanya dapat diselenggarakan dalam kultur demokrasi, yaitu kultur yang mempertahankan kondisi falibilis masa depan. Pancasila tidak dapat dibela secara reaksioner, karena demokrasi memungkinkan pikiran berayun dalam kemungkinan. Seorang Badui pasti tak ingin tidur di ranjang Procrutes. Suatu gambaran akademis tentang "susunan pikiran” Pancasila, memper- lihatkan bahwa “ideologi” itu adalah ramuan yang berisi berbagai “alam pikiran dunia”. Tidak khas negeri ini. Pada semua sila-nya, unsur-unsur “asing” terlihat jelas: “monoteisme”, “humanisme”, “nasionalisme”, “demokrasi”, sosialisme”. Interpretasi Sukarno tentang "masa depan di masa lalu”, mengarahkan asal-usul Pancasila kepada kebijaksanaan hidup nenek moyang negeri ini. Dalam pencarian nasionalisme itu, Pancasila harus dibayangkan dalam metafor atavistik: "digali dari dalam bumi Indonesia”. Tetapi mudah diterangkan bahwa Sukarno pada zaman itu, justeru banyak membaca “alam pikiran barat”, sumber yang lebih dekat dengan alam pikiran modern, dalam keperluan untuk mengevaluasi kondisi kolonial. Pada kondisi struktural kolonial, ide keadilan sosial adalah lebih dekat pada Marxisme, ketimbang kebijaksanaan "gotong-royong” yang berkonteks terlalu kultural. Juga dapat dipikirkan bahwa gagasan nasionalisme pada sila ketiga, tak mungkin lepas dari lalulintas pikiran Eropa yang menumbuhkan ide otonomi teritori sejak abad 18. Demikian juga ide demokrasi dan humanisme yang terus tumbuh setelah dunia barat menyelesaikan revolusi nasional di Amerika dan revolusi sosial di Perancis, tentu dikenal baik oleh Sukarno. Bahkan konsep monoteisme pada sila pertama, jelas bukan khas tanah air. Monoteisme sudah berkembang matang di dunia barat, pada saat animisme dan panteisme menjadi pegangan kepercayaan nenek moyang kita. Sukarno membaca dunia, dan Pancasila tak sepenuhnya "digali dari bumi Indonesia”. Tak ada yang perlu disesali dalam dunia ide. Lalulintas pikiran adalah sejarah bersama manusia. Justeru karena itu ada solidaritas global menghadapi penindaasan dan ketidakadilan kolonial. Tetapi justeru juga di situ, kultus nasionalisme bertumbuh. Yaitu pemujaan berlebih terhadap "identitas nasional”, dengan akibat tumbuhnya benih fasisme dalam kultur politik kita. Demokrasi berkali-kali dihentikan oleh kultur sejenis itu. Ketakcukupan metodologis pada “Ideologi Pancasila” harus diterangkan pada kerangka “context of discovery” susunan pikiran itu. Artinya, sejarah pembentukan nasionalisme kita tidak berbasis pada semacam "perjuangan kelas”, juga tidak pada “pembentukan modernitas”, sebagaimana terjadi pada sejarah bangsa lain. Suatu kondisi poskolonial hari-hari ini bahkan seperti kehilangan metodologi, sebagai suatu “alat penjelas”, karena kultur kolonial itu tak menjejak dalam historitas kita hari ini. Sebaliknya, feodalisme telah kembali menyusup dalam kultur politik, pada lapis birokrasi, partai dan komunikasi warganegara. Bahkan di Perguruan Tinggi, reproduksi kultur itu telah melahirkan “tubuh-tubuh yang membungkuk”, yang ditundukkan oleh hirarki jabatan, dan bukan oleh kapasitas kecerdasan. Tubuh otentik, tubuh yang tumbuh karena pikiran bebas, sering takluk pada tubuh metafisik, tubuh yang dikuasai doktrin kesolehan. Dalam sejarah pembentukan nasionalisme Jerman, misalnya, kebudayaan (kultur) telah dijadikan unsur ideologis untuk mengikat solidaritas yang obsesif demi menghidupkan kembali keagungan masa lalu bangsa itu, setelah dikalahkan dalam perang, dan demi membentengi identitas bangsa dari peradaban (civilization) yang dipandang oleh bangsa Jerman sebagai “kekuatan asing”. Ideologi memerlukan fantasi, bukan sekedar dalam dimensi nostalgia, tetapi juga dalam obsesi identitas. Politik identitas inilah yang kelak mensponsori kampanye ultranasionalis fasis dalam upaya memanipulasi kecemasan dan keputusasaan bangsa. Teorisasi mutakhir dan filsafat romantik diajukan untuk semacam menyelesaikan kecemasan antropologis itu. Tetapi ketika kekuasaan telah diperoleh, filsafat dengan cepat berubah menjadi aturan rezim. Regimentasi menghasilkan regulasi. Regulasi menghasilkan politik eugenik. Katastrofi inilah yang selalu menandai hasil akhir politik ideologi di abad lalu. Kesimpulan Pancasila hari ini menjadi “kebutuhan” atas sebuah “filsafat politik” yang dibayangkan dapat menghasilkan “etika politik” untuk mengatur kesehatan republik. Persoalannya adalah: kesehatan sebuah republik tidak ditentukan oleh diet ideologi. Apalagi sekedar membebankan infeksi moral kepada individualisme, liberalisme, pluralisme dan sekulerisme. Pancasila bukan ideologi reaksioner. Ia justeru kekurangan perspektif bila sekedar diaktifkan sebagai “ideologi penangkal”. Juga bila ia diadministrasikan lagi ke dalam “kurikulum penataran”. Kita memerlukan lebih banyak demokrasi untuk menghidupkan individualisme. Bukan untuk memuliakan “kepentingan diri”, melainkan untuk menghidupkan kebebasan menjadi diri sendiri. Solidaritas yang rasional hanya tumbuh diantara manusia merdeka. “Kebebasan itu ibarat buah bergizi. Baik untuk tubuh. Tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya”juga dalam obsesi identitas. Politik identitas inilah yang kelak mensponsori kampanye ultranasionalis fasis dalam upaya memanipulasi kecemasan dan keputusasaan bangsa. Teorisasi mutakhir dan filsafat romantik diajukan untuk menyelesaikan kecemasan antropologis itu. Tetapi ketika kekuasaan telah diperoleh, filsafat dengan cepat berubah menjadi aturan rezim. Regimentasi menghasilkan regulasi. Regulasi menghasilkan politik eugenik. Katastrofi inilah yang selalu menandai hasil akhir politik ideologi di abad lalu. Kesimpulan Pancasila hari ini menjadi semacam “kebutuhan” atas sebuah "filsafat politik” yang dibayangkan dapat menghasilkan “etika politik” untuk mengatur kesehatan republik. Persoalannya adalah: kesehatan sebuah republik tidak ditentukan oleh diet ideologi. Apalagi sekedar membebankan infeksiinfeksi moral kepada individualisme, liberalisme, pluralisme dan sekulerisme. Pancasila bukan ideologi reaksioner. Ia justeru kekurangan perspektif bila sekedar diaktifkan sebagai “ideologi penangkal”. Juga bila ia diadministrasikan lagi ke dalam “kurikulum penataran”. Kita memerlukan lebih banyak demokrasi untuk menghidupkan individualisme. Bukan untuk memuliakan “kepentingan diri”, melainkan untuk menghidupkan kebebasan menjadi diri sendiri. Solidaritas yang rasional hanya tumbuh diantara manusia merdeka. “Kebebasan itu ibarat buah bergizi. Baik untuk tubuh. Tapi hanya lambung yangsehat yang mampu mencernanya”.- J.J. Rousseau -. HOAX DAN DEMOKRASI
Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka
memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, "Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan dst...” Itu inti cuitan saya beberapa hari lalu. Dan, dari satu kalimat itu, kontroversi masih berlanjut sampai hari ini. Apakah saya pro berita bohong? Bukan itu soalnya. Yang saya persoalkan adalah sikap reaktif pemerintah terhadap “maraknya” adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tak memiliki sistem evaluasi opini publik. Periksalah Secara serampangan pemerintah memblokir sumber informasi tanpa ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi info bohong, misinformasi, atau disinformasi? Demarkasi yang diajukan Cuma satu: sumber informasi yang "bukan mainstream” harus dicurigai sebagai hoax, Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik diarahkan untuk hanya percaya kepada "media mainstream”. Padahal, justru melalui media mainstream itulah kekuasaan menyelundupkan kepentingan hegemoninya. Media adalah bagian dari kurikulum legitimasi kekuasaan. Dalam negara demokratis sekalipun, dalil itu bekerja sempurna: kekuasaan selalu berkehendak absolut. Mengendalikan informasi adalah cara “dingin” untuk melemahkan oposisi. Masalah muncul bila pengetahuan dan akal politik pemerintah tak lagi mampu mengendalikan informasi. Publik segera mengenalinya sebagai “krisis legitimasi”. Dalam kondisi itu, hoax mengambil alih diskursus politik publik. Begitulah sistem demokrasi bekerja demi mengukur legitimasi kekuasaan: surplus atau defisit? Sekadar contoh hari-hari ini: apakah soal kegagalan tax amnesty adalah hoax atau bukan? Mengapa pemerintah tak satu pandangan dalam memberi penjelasan? Apakah soal “buruh Cina” itu bohong atau setengah bohong? Mengapa “bahasa tubuh” pemerintah penuh nuansa? Apakah kenaikan tarif surat kendaraan bermotor berasal dari usulan polisi atau menteri keuangan? Mengapa keduanya terkesan mengelak? Jadi, bila informasi kehilangan daya persuasi, itu pertanda ada koordinasi yang kacau dalam pengendalian opini publik. Dalam soal berita Bloomberg yang disadur Antara (dan dikutip “media mainstream”) demi memaksakan tafsir yang positif bagi prestasi pemerintah, bukankah kita menyaksikan semacam penghinaan akal publik”? Informasi adalah mata uang demokrasi. Pers mengedarkannya sebagai opini publik. Dalam peredaran itulah informasi dapat menjadi disinformasi: informasi tiba dengan pesan yang keliru. Tentu karena diselewengkan atau karena ketakcukupan nalar publik untuk mengolahnya. Namun yang paling menjengkelkan adalah bila penyelewengan itu dilakukan karena mengira akal publik dapat dibohongi (pakai) media mainstream. Pertanyaannya adalah siapa yang berkepentingan dengan penyelewengan itu? Dalam etika politik, berlaku dalil niat baik tak perlu dibuktikan. Apakah pemerintah berniat baik memberantas hoax? Tak perlu dibuktikan. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa perlu suatu “operasi khusus" dengan institusi khusus untuk memburu hoax? Tentu ada saja jawaban normatif pemerintah adalah demi keutuhan, kesantunan, etika, dan seterusnya. Atau dengan alasan yang masih harus dicari relevansinya: Amerika Serikat dan Eropa juga sudah mendeklarasikan perang terhadap hoax. Boleh saja asal konsekuen dengan fakta yang ada: pelaku hoax di Amerika Serikat justru media mainstream. Saya tak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi politik sehat. Tapi bila pemerintah tak punya sistem evaluasi opini publik dan justru mengambil keuntungan hegemonik dari "media mainstream" yang dikondisikan untuk mendukung pemerintah, hoax harus dibaca sebagai simbol krisis legitimasi. Hoax adalah sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang tumbuh. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah harus membaca politik dari posisi orang ketiga: kekuasaan yang tak lagi memiliki oposisi akan kehilangan alat ukur legitimasi. Memang terlihat upaya konsolidasi pemerintah untuk menambah aset politiknya dengan “membeli” lahan oposisi. Secara etik, itu melemahkan demokrasi. Demokrasi memiliki mekanisme koreksi. Terlalu banyak kebenaran dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan. Dilihat dari perspektif itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk merusak demokrasi, tapi justru untuk menunda konglomerasi kebenaran. Politik adalah konfrontasi etik demi menghasilkan suatu “peristiwa”. Hoax adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran. Saya meninjau soal hoax ini dari perspektif dekonstruksi demi rekonsolidasi demokrasi yang kini merosot menjadi sekadar adu cacian dan olah dendam. Kelak, sejarah akan menilai apakah kita berhasil mengkonsolidasikan kembali demokrasi melalui strategi berlapis atau gagal karena hanya mampu menikmati tukar tambah kepentingan sesaat hari ini. DUA BELAS MENIT SETELAH PRABOWO DILANTIK, SAYA KASIH KRITIK
Pertama Rocky Gerung gemar mempolarisasi.
Jejaknya penuh kontroversi. Banyak yang menyangka dia sebagai pendukung Prabowo Subianto. Kepada DW dia mengaku siap beroposisi jika bekas menantu Soeharto itu berkuasa. Di sebuah kedai kopi di seberang Taman Menteng, Jakarta, Rocky Gerung mengucap ramalan muram tentang Pemilu Kepresidenan 2019. Dia berpendapat, nihilnya keberanian untuk rekonsiliasi dari kedua kubu akan berujung pada konflik horisontal baru. Untuk mendamaikan keduanya dibutuhkan poros ketiga yang kadung tergerus oleh dua kekuatan politik yang sedang bersaing di Senayan. Apakah Partai Demokrat yang dia maksud? Soal ini Rocky bergeming. Dalam perbincangan dengan reporter DW Rizki Nugraha, Rocky mengaku tidak frustasi jika ucapannya sering disalahpahami. Dia menghayati peran antagonis tersebut, selama bisa memicu diskursus publik yang sehat. Namun tidak sedikit yang menudingnya ikut merawat pola komunikasi dehumanis, lantaran acap melontarkan hinaan kasar yang melukai harkat dan merendahkan martabat. “Saya menikmati kedunguan mereka," kata dia. Simak wawancara lengkapnya berikut ini:
DW: Bung Rocky, Anda lebih merasa sebagai
pendukung Prabowo Subianto atau oposan Joko Widodo? Rocky Gerung: Saya itu mendukung kepentingan masyarakat bebas. Karena Jokowi menutup ruang kebebasan makanya saya tidak memilih dia. Sering disebut saya mendukung Prabowo, saya tidak pernah mendukung Prabowo. Atau Rocky Gerung sedang menggelar karpet merah buat Prabowo, saya katakan nggak, saya nggak menggelar karpet merah, dia punya kapet sendiri silakan bawa ke istana warnanya macam-macam. Tapi supaya karpet baru di istana bisa digelar karpet merah di istana mesti digulung, saya mau gulung itu. Kenapa 2019 butuh presiden baru? Karena problem kita itu adalah membersihkan jalan dari 2019 ke 2024 untuk periode sekarang, yang tidak sempat kita lakukan pemerintahan sekarang karena ditahan oleh threshold 20 persen yang saya ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Ini mengapa kita terjebak oleh fanatisme sekarang karena tidak ada alternatif, tidak ada jalan ketiga, tidak ada capres alternatif karena ditutup oleh pemerintah dengan strategi threshold itu. Makanya itu kita bawa ke Mahkamah Konstitusi, tapi MK menolak, bahkan diputuskan setelah kampanye sudah mulai. Itu kemungkinan akal demokrasi Mahkamah Konstitusi menjadi mahkamah konstipasi. Tidak bisa mengolah buah demokrasi karena dia sembelit melulu. Menurut Anda masih ada tempat untuk poros ketiga? Kalau sekarang sudah terlambat, karena fanatisme itu sudah mengeras, sudah mengkristal, itu akibatnya. Jadi salah pemerintah kenapa tidak membuka ruang itu sejak awal. Kenapa harus pasang threshold padahal sistem kita presidensial. Threshold itu sistem parlementer, kita presidensial jadi tidak pakai threshold. “Kan dari awal memang ada kecurangan secara kelembagaan dan secara hukum, dengan memasang threshold itu sudah kecurangan pertama. Jadi poros ketiga tidak memiliki tempat karena belum ada kesadaran politik? Karena poros ketiga mesti ada outlet-nya, outlet-nya ditutup. Karena itu saya ingin 2019 mendatang buka outlet baru untuk generasi baru, sekarang sudah terlambat nggak ada peluang untuk membikin forum ketiga itu. Mungkin kita mesti bayangkan bahwa satu hari setelah quick count akan ada ketegangan baru dan itu mesti ada tokoh-tokoh alternatif yang berupaya untuk menjadi semacam juru bicara akal sehat. Saya membayangkan ada rektor di situ, ada ulama. Saya tidak di situ saya hanya mensponsori ruangan itu, jadi keterangan akademis untuk perlunya poros ketiga atau forum ketiga itu justru karena kita mendeteksi pengkubuan itu sudah sampai pada tingkat kristal. Mana rektor yang rada ada otak dan rada punya passion terhadap demokrasi, mana ulama yang dengan kualitas yang sama, mana LSM yang punya semangat untuk menahan konflik horizontal, tidak ada karena semuanya ada di istana. Supaya gumpalan energi itu tidak berubah jadi perang jalanan, kita salurkan energi yang menggumpal itu melalui akal sehat LSM, akal sehat ulama, akal sehat kampus, dan itu yang tidak ada. Saya menikmati kedunguan mereka, karena mereka menjebakkan diri sehingga akhirnya susah untuk mengucapkan hal lain selain dua periode. Apa dalilnya dua periode? Itu yang saya bongkar. Dari segi demokrasi? Justru indeks demokrasi kita di mata internasional turun karena Perppu dikeluarkan, pengerahan ASN (Aparatur Sipil Negara) segala macam, Perppu ormas terutama itu “kan fundamental dalam hak asasi manusia. Mau dia punya mimpi punya fantasi negara di akhirat entahlah suka-suka dia tapi jangan diatur mencegah orang berpikir alternatif. Menurut Anda untuk mencegah tumbuhnya gagasan transnasional Islam, pemerintah merenggut hak fundamental? Iya, itu hak paling fundamental orang Mana yang lebih berbahaya, ancaman kelompok konservatif Islam atau sikap pemerintah yang cenderung mempersempit ruang demokrasi? Poinnya begini, pemerintah itu tidak boleh menuntut orang untuk menyamakan pikiran di dalam fantasi masa depan. Yang boleh dilarang adalah bila terjadi perencanaan awal misalnya untuk mengganti dasar negara, itu dilarang, itu karena ada konstitusi. Ini fantasi orang, yang harusnya diselesaikan lewat percakapan demokratis bukan dilarang atau dihentikan melalui Perppu. Semua Perppu itu dengan sendirinya tidak melalui rapat publik, itu adalah hasil keputusan intelijen, itu yang saya tentang. Nilai demokrasi bukan begitu. Apakah menurut Anda mereka yangyang mendukung kekhalifahan Islam bisa hidup di bawah Pancasila? Apa hak mereka untuk menolak yang sebaliknya, “Kan dia punya bayangan, dia bisa isi Pancasila dengan imajinasinya terserah dia. Justru karena Pancasila ideologi terbuka maka semua orang bisa bebas berfantasi. Mau bikin negara islam, mau bikin negara kerajaaan, mau bikin negara kesultanan, ya boleh aja sejauh itu fantasi politiknya. Itu yang mesti dijamin UU, lain kalau ada ketetapan bahwa Pancasila ideologi tertutup yang ini boleh yang ini tidak boleh, bukan ideologi tertutup bahkan Pancasila bukan ideologi negara. Itu orientasi publik yang tidak boleh diinterpretasikan secara tunggal oleh negara. Sebab kalau jadi ideologi negara, orang akan tanya ketuhanan yang maha esa agama apa yang hanya boleh di Indonesia, “kan tidak dibilang agama apa yang hanya boleh. Ini ini ini dan lain-lain, begitu yang disebutkan dalam peraturan perundangan. Lima negara dan lain lain,sudah. Menurut Anda hal itu tidak mengancam demokrasi? Tidak mengancam selama diajukan di forum publik jadi dialirkan gagasan itu supaya didebatkan oleh pers oleh LSM dan terutama oleh kampus. Kampus saja sekarang dilarang ngomongin itu. Pandangan politik saya sekuler, karena itu saya ingin seluruh fasilitas publik disediakan untuk mengolah pikiran apapun itu prinsip sekuler. Bukan ateis. Cuma itu yang bisa mencairkan ketegangan-ketegangan ideologis di kita, hanya ruang itu. Kalau ruang itu dikendalikan oleh negara, orang akan anggap negara akan berpihak, berpihak pada siapa? Ya berpihak pada orang yang proideologi negara. Ideologi pemerintah bukan ideologi negara. “Kan tidak ada tanda-tanda akan ada penumpukan senjata ditaruh di depan Monas terus menghalau pemerintah yang sekarang, “kan ga ada. Jadi kenapa dilarang, bikin HTI misalnya, saya bukan pro-HTI, saya proorang untuk tahu apa itu HTI. Saya pro-212, nggak saya nggak pro-212, saya propublik yang ingin tahu apa itu 212, ‘kan ga dikasih tahu apa itu 212. Semua pers dilarang memberitakan peristiwa di Monas. Kenapa kita masih gagal memahami konsep kebebasan individu? Ya gagal karena arogansi kekuasaan, ya sebetulnya karena kedunguan presiden, bukan dianya bukan personalnya. Tapi kedunguan mengolah public issues, kemampuan dia untuk membaca semua variable politics, kemampuan dia untuk membaca asal-usul perdebatan ini perdebatan ideologi sejak zaman awal kemerdekaan, soal piagam jakarta, 65, dia tidak punya pengertian itu. Jadi kalau dia dinasihati oleh berbagai macam orang, dan menerima semua briefing itu, dia tidak punya filter dan itu yang berbahaya.
“BUZZER MUNCUL KARENA ELITE POLITIK
MENGANGGAP PUBLIK ITU BODOH"
Media sosial di negeri ini selalu gaduh tiap kali
masuk musim pemilu. Masalahnya bukan cuma karena sanak saudara yang saling berdebat dan berujung unfriend. Namun juga karena keberadaan buzzer dan cyber army.Buzzer adalah orang berpengaruh di media sosial (influencer) yang dipekerjakan untuk mempromosikan tokoh tertentu. Sementara cyber army adalah laskar kecil-kecilnya: sekelompok orang dengan puluhan akun bodong. Mereka juga mempromosikan tokoh: dengan menggenjot trending topic Twitter, memenuhi kolom komentar website berita, dan meramaikan grup Facebook. Mereka sering diledek lantaran dianggap bayaran. YP: Bagaimana sih posisi buzzer dalam kerangka demokrasi? Kita harus tahu dulu, fakta bahwa demokrasi dikendalikan oleh opini publik. Opini publik itu perlu supaya ada force of the better argument. Jadi dalam demokrasi, kebijakan publik harus dihasilkan dari rasionalitas opini. Opini disebut rasional bila bisa diperdebatkan, dipertengkarkan secara publik. Kalau dia tak bisa dipertengkarkan, dia menjadi doktrin. Nah sekarang kita lihat. Sekarang berlaku yang saya sebut buzzerocracy. Demokrasi yang dikuasai buzzer. Kalau kita break down, buzzer itu penting. Buat apa? Buat menyusur opini publik. Tapi saya bedakan buzzer ada dua. Ada buzzer yang isinya orang, ada yang isinya mesin. Buzzer yang isinya mesin, dia Cuma mengulang-ulang sesuatu yang belum pernah diverifikasi. Kalau orang, kita bisa debat dengan dia. Tapi kalo buzzer-nya adalah mesin kita Cuma dengar sesuatu yang sifatnya demagogi (eksploitasi emosi untuk fanatisme politik, red.). Jadi dia membual aja. Padahal politik harus diasuh secara pedagogis (sesuatu yang sifatnya pembelajaran, red.). Itu bedanya. Mesti ada percakapan argumentatif dalam politik. Buzzer tidak menginginkan itu. Jadi kita bedakan dulu antara buzzer yang isinya mesin dan isinya orang. YP: Bagaimana dengan orang tapi memegang akun-akun palsu sekaligus banyak? Biasanya yang ini disebut cyber army. Cyber army, ya itu sama saja dengan mesin ‘kan sebetulnya. Orang pegang akun palsu. Artinya dia tidak ingin mempertanggung jawabkan argumennya. Ketidakmampuan mempertanggung jawabkan argumennya itu sama dengan perilaku mesin. Akun palsu ataupun mesin itu ontologinya sama, hakekatnya sama. Yaitu menolak percakapan. YP: Kalau buzzer isinya orang tak apa-apa? Enggak apa-apa. Orang artinya dia punya opini. Itu buzzer yang perlu dalam demokrasi. Begini, ada akun bodoh, ada akun pintar. Akun bodoh enggak mau percakapan, enggak mau debat. Akun bodoh itu yang begini, kalau dia debat, dia akan bilang sesuatu. Lalu seribu akun lain ikut mengulang hal yang sama. Jadi akun yang merepetisi sesuatu pasti dia tidak berpikir. Itu problemnya dari akun-akun bodoh. Mereka repetitif aja. Dia tidak berpikir. Dia bertelur saja terus-menerus. YP: Berarti dalam kerangka demokrasi, buzzer bisa diterima? Bisa diterima, asal buzzer itu dikendalikan oleh orang yang punya opini. Bukan mesin. Dia beritahu, “nama saya ini,” jadi kalau dia diminta pertanggungjawaban, “ini alamat saya.” Kalau dia enggak punya alamat artinya enggak bertanggung jawab ‘kan. Buzzer itu sangat penting bila dia otentik. Otentik artinya jelas identitasnya, jelas argumennya. Kalau bersembunyi, itu bukan buzzer, itu maling ‘kan? YP: Sebenarnya kondisi apa sih yang melahirkan fenomena buzzer? Fenomena buzzer muncul karena elite politik menganggap publik itu bodoh. Jadi dia cari fasilitas yang paling gampang, untuk segera menemui orang bodoh ya lewat buzzer itu, Dia lupa kalau di Jakarta orang enggak bodoh. Rakyat enggak bodoh. Rakyat bisa dengan mudah membandingkan yang ada di alam maya-di media sosial tempat buzzer beroperasi dengan yang ada di dunia nyata. Jadi, justru itu backfire terhadap persaingan politik yang terjadi sekarang. Buzzer itu justru merendahkan integritas dari seorang calon. Dengan adanya buzzer yang anonim dan buzzer yang statusnya mesin. Jadi kenapa buzzer ada? Karena ada potensi konsumen yang mau menerima. Tapi menurut saya politikus salah baca. YP: Salah membaca maksudnya bagaimana? Salah membaca. gini nih. Kalau saya jadi seorang demagog, saya harus menganggap di depan saya itu adalah orang bodoh. Sehingga saya bisa bualin aja. Kalau saya jadi seorang pedagog, saya mesti anggap di depan saya adalah lawan bicara yang rasional. Buzzer mengambil sikap pertama. Dia anggap yang sana demagog, maka dia siram itu dengan informasi satu arah itu. Tapi seharusnya kalau itu asumsinya, efeknya ada pada elektabilitas. Sekarang kita lihat polling dari pollster. Lho, Ahok misalnya, justru enggak bertambah. Padahal buzzer nya menyebar ke mana-mana. Berarti ada yang salah 'kan, Secara ilmiah saja bisa terlihat bahwa ada kesalahan penguasaan opini publik. Jadi itu pertanda pertama. Terlepas dari kita suka apa tidak suka dari keadaan hari ini, kalau kita bandingkan kelihatan ada inkonsistensi. Buzzer nya bertambah, elektabilitasnya menurun. Pasti ada sesuatu yang salah di metode buzzer itu. Buzzer itu justru dampaknya negatif. YP: Tapi sempat ada kejadian ketika orang lebih percaya buzzer daripada media massa. Misalnya waktu kemarin TEMPO membongkar kasus korupsi reklamasi, buzzer menyebut TEMPO berbohong... ‘Kan tetap ada perdebatan di situ. Jadi enggak ada soal. Buzzer bilang, “TEMPO bohong, jadi ini fakta untuk membuktikan.” Dan TEMPO merasa, "enggak, kita punya cara untuk investigasi.” Itu menimbulkan percakapan politik. Kalau buzzer mesin kan enggak menimbulkan percakapan politik. Pada awalnya orang memang enggak ngeh ini ada permainan. Tapi kemudian orang lihat ada polanya. Publik Jakarta yang mengerti tentang ekonomi politik dari pilkada ini, mencium bahwa ada yang tidak benar di sini. Begitu diriset, pendapat itu ditampilkan dalam statistik, naiknya buzzer mesin berbanding terbalik dengan elektabilitas. Itu point saya. YP: Riset apa yang dimaksud, pak? Gatra bikin riset tentang intervensi dari buzzer. Dia kasih makro datanya. Bagus itu. Jadi polanya itu, misalnya Cuma ada tiga tokoh yang mengendalikan opini buzzer. Dia akan fokus di tiga tokoh itu. Tiga buzzer orang ini lalu diamplifikasi oleh 39 ribu buzzer yang isinya adalah mesin atau cyber army. Waktu dibikin cross-tabulation, terlihat itu. Bahwa tak ada dampak buzzer terhadap elektabilitas. YP: Berarti warga negara sudah cukup dewasa untuk melihat kampanye digital? Saya belum sampai di situ. Yang baru mau saya sampaikan adalah, buzzer tidak efektif. Kalau warga negara sudah peka apa belum, ya ada saja warga negara yang enggak peka. Tapi yang jelas buzzer tidak efektif. Dari situ implikasinya mungkin warga negara sudah peka, tapi itu butuh suatu riset yang lain. Jadi faktanya dia tidak berimplikasi pada elektabilitas. Itu point-nya. Kalau begitu warga negara sudah rasional? Ya mungkin saja. Mungkin juga ada soal lain. Saya enggak mau ambil kesimpulan itu sebelum ada keterangan akademis yang lebih tajam.
TURUNNYA IQ DEMOKRASI
Apa yang terjadi jika panggung politik dipenuhi oleh
bintang iklan, artis sinetron hingga pelawak? Politik Indonesia mutakhir ditandai dengan sebuah gejala yang disebut “politik outsourcing”. Bukan kontestasi antara PKS, PDI Perjuangan dan Demokrat. Tapi ini adalah persaingan antara Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka dan Dede Yusuf. Itulah kesimpulan yang muncul dari hasil pemilihan Gubernur Jawa Barat. Popularitas tokoh menjadi faktor penentu ketimbang partai politik. Apalagi, partai-partai besar baru dihajar skandal: Presiden PKS terpental dari jabatan dan dipenjara karena dugaan korupsi impor daging sapi. Sementara Ketua Umum Partai Demokrat, baru diganjar status tersangka oleh KPK. Kredibilitas partai yang anjlok karena korupsi, semakin membuat “faktor ketokohan“ menjadi paling dominan untuk menentukan siapa yang akan menang. Sebelum Pilkada Jawa Barat, belasan artis terkenal sudah duluan masuk Senayan: Venna Melinda, Angelina Sondakh, Eko Patria hingga Qomar. Beberapa yang lain seperti Rano Karno, sukses terpilih dalam Pilkada. Inilah politik outsourcing," kata pengajar filsafat politik Universitas Indonesia Rocky Gerung kepada Deutsche Welle. Jika di Amerika para artis atau orang beken dipakai untuk mendukung kandidat, maka di Indonesia, para selebritas yang justru ikut pemilihan. Ini semua, menurut Rocky, terjadi karena partai politik tidak punya agenda untuk menyelenggarakan politik bermutu. DW: Apa yang terjadi, kenapa politik Indonesia tiba-tiba dipenuhi bintang sinetron, bintang iklan hingga pelawak? Rocky Gerung: Karena tidak ada rekrutmen yang dilakukan secara sistematis oleh partai politik, maka yang terjadi adalah outsourcing. Ini membuktikan bahwa partai-partai yang ada tidak melakukan kaderisasi. DW: Apa akibat dari model politik outsourcing semacam ini? Rocky Gerung: Ini akan berdampak pada kemampuan kita untuk mengkomunikasikan kembali masalah politik kepada publik. Akibatnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa populer yang sebetulnya dangkal, padahal kita butuh ucapan politisi yang bermutu. Tapi itu tidak mungkin kita peroleh dengan sistem yang outsourcing seperti ini, yang mengambil tokoh populer dengan pikiran yang terbatas dalam soal gagasan, dalam soal pengetahuan tentang konsitusi. DW: Anda menyebut bahwa ini membuat politik kita menjadi dangkal, bisa anda elaborasi? Rocky Gerung: Artinya kita tidak akan saksikan suatu debat politik dengan kekuatan gagasan luar biasa dengan kemampuan untuk menghubungkan suatu isu dengan konstitusi. Ini tokoh-tokoh yang nggak mungkin melakukan itu, karena sejak awal kapasitasnya tidak dimaksudkan utk melayani soal-soal politik yang benar-benar bisa menghasilkan pencerdasan kehidupan kewarganegaraan. Ini bukan lapisan yang betul-betul dipersiapkan secara sadar untuk merawat Republik. Ini sekedar merawat partai, hanya semacam snapshot saja supaya kelihatan bagus. Mereka dipetik sebagai kembang, padahal kembang plastik sebetulnya. Saya tidak bicara ini dalam rangka untuk melecehkan pilihan publik. Tentu hak orang buat mengumpankan diri di dalam popularitas, tapi buat saya ini bukan popularitas dalam pengertian berpolitik yang normal. DW: Apa yang menjadi penyebab diatas ini semua? Rocky Gerung: Ini pragmatisme yang tiba-tiba harus diselenggarakan karena struktur partai kita bukan partai yang menghendaki kader. Semuanya kan di partai itu ekslusif, eksklusif dalam feodalisme, ekslusif di dalam dinasti, ekslusif di dalam banyak hal. Jadi kalau kita uji lebih mendasar, cara kita menyelenggarakan partai politik tidak diwarnai oleh semangat citizenship, tapi semangat primordial. Partai tidak merasa harus melayani warga negara. Kalau dia melayani warga maka dia harus mengucapkan gagasan dalam tata bahasa warga negara. Itu kan minimum requirement untuk menyebut diri sebagai partai. Tapi yang terjadi adalah bahasa yang paling murah itu yang dipasarkan. Dan itu paling gampang melalui public figure. Politisi seleb bukan alat untuk memasarkan kewarganegaraan, bukan alat untuk memasarkan konstitusi, bukan alat untuk memasarkan akal sehat. Padahal politik membutuhkan rasionalitas, cara berpikir konsitusional. DW: Apa dampak politik yang banal ini? Rocky Gerung: IQ demokrasi kita pasti turun dalam pemilu mendatang. Padahal kita butuh standar IQ demokrasi. Peradaban politik kita turun. Kita bisa lihat dari cara metafor diucapkan, cara argumentasi disusun dalam kampanye. Kita tidak melihat sensasi pikiran, yang ada hanya sensasi dalam bahasa tubuh. Padahal yang kita butuhkan adalah sensasi gagasan, yang terjadi adalah konstipasi, orang ngeden saja nggak bisa buang angin. Orang-orang hari ini betul-betul beternak politisi, dan peternakan itu dikendalikan dua tiga orang yang kita sebut oligarki. DW: Tahun 50-an, kita bisa membaca perdebatan perdebatan yang bermutu di konstituante. Kenapa sekarang, setelah lebih setengah abad kemudian, kita tidak melihat kualitas seperti itu di parlemen? Rocky Gerung: Dulu airnya bersih sehingga yang muncul adalah ikan salmon yang berani berenang melawan arus. Sekarang yang ada adalah ikan buntel yang adanya di selokan. SOAL KEMATIAN
Bung Rocky, ada masanya berbunga, ada masanya
harum semerbak, tapi kemudian ada masanya layu dan kemudian mati. Bagaimana orang filsafat melihat kematian?” Rocky Gerung yang memang dikenal sebagai dosen filsafat, menjawab bahwa orang filsafat tidak bisa lihat kematian. Karena orang filsafat menganggap, kematian itu adalah sama misterinya dengan kehidupan. “Ada namanya filsafat epikorus, bikin poin waktu kita hidup kita tidak mati, waktu kita mati tidak hidup. Jadi itu dua kualitas yang tidak perlu diperbandingkan. Agama punya point of view yang lain bahwa kematian itu adalah penundaan dari harapan. Harapan itu hanya bisa kita peroleh dengan melewati fase kematian, jadi ada politics of hope di dalam kematian," kata Rocky, Menurut Rocky, kehidupan adalah politics of memory, Memori itu kita hentikan supaya kita punya hope. Namun, sebetulnya menurut Rocky, kalau di dalam ilmu pengetahuan yang lebih positivistik menanyanakan kematian itu tidak layak ditanyakan kepada orang hidup. Dia mencontohkan, sama sepertinya orang bertanya tentang biodata Rocky Gerung untuk sebuah seminar. Ketika ditanya itu, Rocky menjawab bawha biodata itu baru lengkap kalau orangnya meninggal, kalau masih hidup biodatanya masih bertumbuh. “Begitu saya tulis, biodata berubah, karena saya diundang ngomong dengan Ustadz Somad, bahwa saya bicara dengan ustdaz, saya gak bisa tambahin di situ (di biodata) karena saya masih hidup,” kata Rocky. Contoh lainnya, menurut Rocky, dulu ada seorang sosiolog yang ditanya oleh wartawan, jika sosiolog itu meninggal, ingin dikuburkan di mana dan dengan cara apa. Di jawab oleh sosiolog itu, sebaiknya para wartawan menanyakan kepada jenazahnya kelak. “Jadi pertanyaan tentang kehidupan nanti itu adalah pertanyaan untuk orang mati. Kalau orang hidup itu hanya menggambar kenikmatan hidup nanti, ada kebahagiaan, kata Rocky.Dan, menurut Rocky teologi dan filosofi bersahabat baik. Karena teologi menggambarkan kehidupan pascakematian dalam format dalam keadaanya yang indah. Sementara filsafat, merasionalisasi dan mengkritik jalan pikiran itu. "Jadi kematian itu tema bersama teologi dan filosofi," kata Rocky. KONSEP MEMBANGUN ARGUMEN
Kamis, 7 Desember 2017, bertempat di kantor
Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan keempat Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) ke-9 yang mengangkat tema “Berpikir Kritis” diselenggarakan. Topik pembahasan pada pertemuan keempat iniialah “Mendeteksi Logical Fallacy". Rocky Gerung sebagai pembicara membuka kelas dengan menyatakan bahwa dalam berargumen konsep selalu menjadi mata uang yang sah dalam bertransaksi. “Dengan adanya konsep memungkinkan kita efisien dalam berargumentasi”, tutur Rocky. Dalam kuliah ini Rocky memberikan tiga contoh proposisi untuk membantu para peserta mengenal kedudukan konsep secara lebih dalam. Proposisi yang pertama berbunyi "segitiga selalu memiliki tiga sisi”, yang kedua berbunyi “Tuhan itu ateis” dan yang ketiga berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP”. Proposisi pertama yang berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” merupakan konsep yang logis karena bersifat tautologis. Konsep seperti ini bisa dikatakan sebagai konsep yang bisa mengefisienkan argumen seseorang karena segitiga selalu memiliki tiga sisi, maka tidak perlu menambah penjelasan pendukung. Proposisi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” sebagai konsep adalah logis, namun konsep tersebut dianggap selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi. Kemudian, proposisi kedua yang berbunyi “Tuhan itu ateis” merupakan proposisi yang terdiri dari beberapa konsep antara lain, konsep Tuhan itu sendiri apakah sebagai yang eksis maupun tidak, konsep Tuhan yang esa, dan masih banyak lagi. Rocky menjelaskan bahwa untuk menghadirkan konsep Tuhan di kepala kita, pastinya ada fantasi yang bermain. Salah satunya adalah fantasi tentang Tuhan sebagai yang mutlak. Dengan fantasi yang demikian, maka kita dapat membawa konsep tersebut tertanam dalam pikiran bahwa tuhan sebagai penyelamat atau yang lainnya. Cara menguraikan konsep seperti ini yang disebut Rocky sebagai latihan dalam berpikir. Tentunya Rocky tidak berurusan dengan kepercayaan seseorang mengenai Tuhan. Tetapi, dalam memperdebatkan proposisi “Tuhan adalah ateis” Rocky menyatakan bahwa agar konsep Tuhan sebagai yang mutlak itu logis, maka Tuhan haruslah ateis. Proposisi kedua ini dianggap sebagai konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual. Proposisi terakhir yang berbunyi “gunung agung meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah kelahiran JP” merupakan satu-satunya dari ketiga proposisi di atas yang membutuhkan verifikasi faktual. Oleh karena itu, dalam menjelaskan kedudukan konsep Rocky membawa ketiga proposisi berbeda untuk memperlihatkan teorema dalam menjelaskan kedudukan konsep. Dengan memahami ketiga jenis konsep yang dijelaskan pada Kaffe 9 yaitu konsep yang selesai dalam dirinya sendiri sebagai definisi, konsep yang dapat diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual dan yang terakhir adalah konsep yang membutuhkan verifikasi faktual kita diharapkan dapat berargumen secara efisien, tepat guna dan terhindar dari kesalahan berpikir atau yang disebut Logical
FANATISME DAN DEFISIT AKAL.
Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa
kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah politik kita. Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai "kaum intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebarat-baratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan "kaum intelektual" sekadar “teknokrat" untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis. Keangkuhan Negara Reformasi adalah pulihnya kritisisme. Kekacauan ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto. Teknokrat mundur karena melihat perintah politik Cendana makin mengacaukan rasionalitas kebijakan kabinet. Nepotisme menjadi beban ekonomi. Tentara memutuskan mengambil jarak dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswa menempati ruang oposisi yang lebih frontal. Tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya hak asasi manusia, reformasi TNI, dan pemberantasan korupsi. Semua itu adalah modal etik yang kuat untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu. Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitam berbaris diam di depan Istana Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi berharap jabatan komisaris BUMN, melainkan Cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia dari negara yang seharusnya beradab. Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu kalah pamor dengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk gunting pita dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presiden dan para keluarga korban penghilangan paksa; ada ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada apa dengan negara? Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit. Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya. Reformasi tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga. Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan. Tetapi ajaib. Justru demagogi semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum "intelektual pro status quo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal sehat dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami Pancasila!" Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya? Siapa yang bukan-Pancasila? Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memelihara arogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dan dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu seminar keseminar yang lain untuk didiskusikan. Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib! Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan mulai menghitung giliran berkuasa. Mereka gagal melihat hutan karena sibuk menghitung pohon. Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bila pikiran kaum intelektual menjadi konservatif? Bagaimana hak asasi manusia hendak diselenggarakan bila tabiat kaum liberal menjadi oportunis. Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi politik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah membelah masyarakat politik, tetapi juga mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di forum forum media sosial, menumpuk sentimen, lalu terengah engah memusuhi oposisi. Hanya demi ketakutan kehilangan afiliasi dengan kekuasaan, para aktivis masyarakat sipil meninggalkan fungsi kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipil bergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM. Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran. Inilah era ketika elektabilitas mengepung intelektualitas, era ketika para pengajar menjadi pemuja status quo. Kekurangan pikiran itulah sinopsis reformasi hari ini. “The middle ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu setelah ia mempelajari sejarah pikiran Eropa yang membawa banyak penderitaan manusia pada abad lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik, kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita hari-hari ini. Kita hidup dalam situasi saling intai, dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh. Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru menguatkan stigma ini melalui public relation yang insinuatif: “Tidak ada tempat bagi kaum intoleran”. Negara telah membuat definisi yang justru patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di masa lalu. Keakraban berwarganegara dihilangkan oleh keangkuhan negara. Kaum intelektual, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah para medioker yang patuh karena tak paham, dan takluk karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu diucapkan oleh seorang medioker. Politik yang absolutis juga dapat berlangsung dalam era transisi demokrasi ketika kaum medioker berbondong-bondong menuju Istana, bukan untuk memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri kepada kekuasaan. Sekadar dipakai untuk “public relation”, tokoh-tokoh masyarakat sipil dari sektor agama dan kebudayaan juga memperkuat barisan “the middle ground” ini. Pluralisme adalah umpan politik yang dengan mudah dilahap barisan ini, karena kekuasaan memiliki seluruh perangkat untuk memaksimalkan kecemasan “kaum minoritas". Setiap kali terjadi konflik sosial, pemerintah datang dengan solusi moral: kumpulkan pemuka agama. Toleransi menjadi proyek ideologis negara, kendati dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu sekadar toleransi di antara umat beragama. Bahwa sumber ketegangan sosial itu adalah disparitas dan kesalahan kebijakan pemerintah, tak ingin diakui.
ESENSI KRITIK
Kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu
mengurai inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi dalam kebijakan pertama-tama harus dimulai dengan memeriksa inkoherensi dalam ide. Karena itu fungsi kritik adalah mengurai, bukan membangun. Itulah tugas utama akademisi. Jadi, tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun” adalah tuntutan dari mereka yang tak ingin dikritik. Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan, bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritik untuk memperbaiki konsepnya.Dalam urusan publik, tugas si pejabat publik untuk memperbaiki kebijakan, karena ia digaji rakyat untuk itu. Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi sudah dimulai sejak presiden dilantik. Karena itu, ide mengganti presiden memang melekat pada tugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapi memang logis: sungguh dungu bila oposisi berniat tidak mengganti presiden. Karena itu, mengaktifkan oposisi, justru menjamin kekuasaan tidak menempuh tradisi primitifnya: pongah. Lalu, apakah kita pesimistis dengan keadaan? Tak perlu dijawab, karena politik bukan klinik psikologi. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi psikologi dari kaum terdidik yang justru menjadi pemuja kekuasaan. Dalam isu mutakhir hari ini, yaitu tentang usulan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang undangan soal terorisme, pendukung utama usulan ini adalah justru kalangan terdidik dan aktivis masyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak sendiri, aturan yang potensial membatalkan demokrasi. Di depan kekuasaan, para tokoh masyarakat sipil patuh karena fanatisme. Kalangan terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dan merekalah yang kini menyelenggarakan public relations pemerintah. Ajaib, tapi itulah sinopsis politik kita setelah 20 tahun reformasi: surplus fanatisme, defisit akal.
INTELEKTUAL MANUSIA ADALAH KRITIK, BEDA
DENGAN ROBOT
Kegiatan intelektual manusia adalah
menyampaikan kritik. Sebab otak manusia didesain untuk berdialektika. Kemampuan manusia itu yang dikatakannya berbeda dengan robot. “Itu bedanya dengan robot. Robot diinstall algoritma lalu dia biasa lakukan kalkulasi sendiri. Tapi dalam kritik, ada kualitas, "Kalau robot mengkritik, kata dia, sifatnya kuantitatif. Sedangkan mansuia, mengkritik sebagai upaya untuk menegur pikiran kekuasaan. “Terutama kepada siapa yang surplus kekuasaan,".ada sebagian orang yang tidak ingin dikritik karena bersikap feodalisme. Misalnya, seorang profesir dikritik, padahal apa yang telah dibacanya sudah usang “Yang disebut mendidik sebenarnya menegur pikiran orang antar mahasiswa atau antar mahasiswa dengan dosen. Kebanyakan kita tidak ingin dikritik karena feodealisme. Profesor enggak mau dikritik padahal bacaan udah sampah tapi dia masih anggap karena dia profesor maka dia tidak mau dikritik," tutur Rocky. Padahal, kata dia, dunia ilmu pengetahuan justru harus memancing kritisisme. “Bagian ini yang saya kira perlahan-lahan kita install ke dalam pikiran publik, terutama pembuat kebijakan publik bahwa pikiran bermutu itu, itulah yang memelihara keakraban warga negra,” katanya. Apakah kemerdekaan Indonesia diraih dengan bambu runcing di medan perang atau keruncingan pikiran di meja diplkatanya Pertanyaan itu dilontarkan Rocky Gerung kepada para peserta, ketika ia menjadi pemateri dalam diskusi bertajuk 'Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa”. Kelas diskusi itu diadakan oleh Megawati Institute. Tentu pertanyaan itu tidak menuntut jawaban tunggal karena faktanya dalam sejarah, Indonesia memang menggunakan kedua cara tersebut. Perlawanan secara fisik (dengan senjata) dan perlawanan secara pikiran (dengan perundingan diplomasi). Rocky hanya bermaksud menekankan bahwa diplomasi yang dilakukan oleh para founding father Indonesia dahulu kala begitu memukau. Diplomasi itu lahir dari kecerdasan intelektual yang matang dipadukan dengan keterampilan retorika yang tajam. Sudah sejak lama negeri ini dihuni oleh pikiran-pikiran yang kokoh. Filsafat dan ideologi sudah lama menetap dalam pikiran pendiri negeri ini. Rasionalitas dan teosofi juga sudah sejak lama mewarnai kemerdekaan Indonesia. Tradisi berpikir yang kuat sudah lama tumbuh dalam bangsa ini. Seperti kata pepatah: “Sambil menyelam, minum air”, sambil berkata-kata, pikiran dikonsolidasikan. Salah satu diplomat ulung yang Rocky maksudkan adalah Sutan Syahrir. Sudah banyak diplomasi internasional yang dihadapinya dan bagaimana itu mengubah kebijakan dunia terhadap Indonesia. Salah satu contohnya adalah Pidato Syahrir di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1947, ketika ia mempertahankan kemerdekaan Indonesia di forum dunia. Pidato Syahrir pada saat itu disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: “Siapa yang saudara percaya? Mereka atau orang-orang beradab seperti kami?”Pertanyaan itu ditanggapi langsung dengan metafora yang berkelas dari Syahrir: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, daripada membantah argumen saya”. Terlihat bagaimana cara Syahrir membekuk argumen lawan debatnya. Kemampuan Syahrir dalam berdiplomasi tentu tidak lahir secara instan. Rocky menerangkan bahwa Syahrir merupakan seorang yang memiliki kecemasan dalam melihat perubahan politik pertengahan abad ke-20, dimana pada masa itu terjadi kontradiksi antara kapitalisme dan sosialisme, dan juga ketegangan antara liberalisme dan fasisme di Republik Indonesia ini. Sehingga berdampak kepada kebebasan pers yang terkungkung, hal itu membuatnya dilema untuk pergi kepada politik massa atau memilih politik kader. Di tengah kebingungannya itu, Syahrir memutuskan untuk memilih politik kader. Alasan yang paling mendasar yaitu menghadapi pertarungan di kancah internasional akan lebih prestisius dengan cara memobilisasi pikiran secara sistematis. Bukan dengan memobilisasi massa untuk berdemonstrasi. Pilihan ini yang membuatnya menjadi seorang pedagog bukan demagog dalam politik. Secara etimologi, pedagogi berasal dari bahasa Yunani 'paedagogeo', dimana terdiri dari ‘paidos' yang berarti anak dan ‘agogo’ berarti pemimpin, sehingga secara harfiah pedagog, berarti pemimpin anak. Secara istilah pedagogi merupakan ilmu dan juga seni yang dilakukan seorang guru dalam mendidik dan menerapkan pola pembelajaran yang baik dan benar. Sedangkan demagog dari dari bahasa Yunani “demos' yang bermakna rakyat dan ‘agogos' yang bermakna pimpinan dalam arti negatif ataupun penghasut. Secara istilah demagogi merupakan penghasut rakyat yang pandai membakar naluri massa dengan kata bohong untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Rocky gerung sendiri, pedagogi lebih kepada mengedukasi dan mendidik melalui kekuatan kata-kata. Sedangkan, demagogi yaitu mencari sensasi dalam psikologi massa dengan berkata-kata untuk kepentingan pribadi. Disini terlihat posisi Syahrir lebih menjadi politikus pendidik demokrasi bukan politikus pengiring massa. Sebab demokrasi di negeri ini perlu dirawat dengan siklus politik pedagogi; yaitu mengajar rakyat untuk merdeka dalam berfikir agar merdeka dalam memutuskan pilihan. Politik pedagogi Syahrir bermotif kemanusiaan yang universal yaitu membantu rakyat keluar dari lingkaran kolonialisme, fasisme dan feodalisme. Dengan merdekanya Indonesia bagi Syahrir merupakan langkah awal untuk memerdekakan manusia di dalamnya. Pemikiran Sutan Syahrir juga cenderung kepada ideologi sosialisme demokratis yang terbentuk sepanjang ia menempuh pendidikan di Belanda sebagai mahasiswa Hukum Universitas Amsterdam. Bagi Sjahrir, sosialisme adalah salah satu jalan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia. Bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Hal ini tergantung juga pada kesanggupan rakyat dan bangsa Indonesia dalam mewujudkan sosialisme tersebut. Melihat Indonesia sudah memiliki kedaulatan negara dan pemerintahan secara independen. Ideologi ini pun membangun perspektif yang mendasar, bagaimana Syahrir melihat politik. Baginya politik itu harus memiliki konsep kolektivitas bukan komunalitas, sebab jika politik berjalan dengan komunalitas, politik akan menutup diri dari percakapan argumentatif. Selain itu juga mematikan kemerdekaan sekaligus memperbudak individu. Sebaliknya di dalam kolektivitas, politik dipahami sebagai urusan publik yang harus dipercakapkan dengan perhitungan pikiran, dan bukan dengan pemaksaan doktrinal. Jelas halnya bahwa konsep kolektivitas menjunjung tinggi kemerdekaan individu, tetapi diluar konteks kepentingan individu. Perbedaannya terletak pada kemerdekaan individu memungkinkan politik berjalan secara argumentatif, sedangkan kepentingan individu akan melanggengkan transaksi-transaksi bercorak oportunis. Politik yang berdasarkan kebebasan individu menggarisbawahi bahwa kebenaran tidak boleh berubah menjadi doktrin tunggal, kebenaran itu harus terus memiliki pembanding sehingga terjadi regulasi pemikiran melalui argumentasi.
CINTA POLITIK MENGHASILKAN KEADILAN.
Bertepatan dengan hari Perempuan Internasional
yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) didukung oleh Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste dan Ford Foundation mengadakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta pada Kamis, 8 Maret 2018. Pada acara yang bertempat di Gedung Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta ini panitia menghadirkan Rocky Gerung, Pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan sebagai pembicara dalam kuliah umum berjudul “Cinta dan Politik”. Sementara itu, dalam sesi diskusi dengan tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 panitia menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri Nurherwati, S.H. Rocky Gerung membuka kuliah umum tentang “Cinta dan Politik” dengan menyampaikan bahwa cinta dan politik tumbuh dari energi yang sama, yaitu menghasilkan keadilan. Namun, dua hal tersebut hari-hari ini dirasa kurang bergairah dalam dunia kampus. Akhir-akhir ini ekspresi cinta dan politik seperti terpenjara, padahal dua-duanya adalah narasi utama dalam kampus yakni keadilan dalam cinta dan keadilan dalam politik. Mengapa cinta dan politik kekurangan gairah dalam kehidupan kampus belakangan ini? Hal ini dikarenakan ada suatu moral besar yang mengatur cara kita menyampaikan rasa sayang. Moral besar itu menurut Rocky Gerung merupakan moral yang dibuat di langit, bukan hasil kesetaraan kampus. Demikian juga dalam politik, terdapat moral besar yang mengatur kita hingga kita harus memiliki sopan santun dalam berpolitik. Suasana bangsa kita saat ini kebanyakan jalan tol namun kekurangan jalan pikiran, hal ini sangat berbahaya bagi sebuah bangsa yang ingin mempercepat demokrasi. Menurut Rocky, terlalu banyak kecemasan dalam kehidupan kita baik dalam bercinta maupun berpolitik, banyak kekhawatiran yang dialami karena kontrol logika laki-laki yang telah ada sejak lama. Logos spermatikos menempatkan perempuan ada pada posisi pasif yang tidak perlu melakukan apa-apa, hanya menunggu untuk diisi saja. Peradaban ini dikendalikan oleh logos spermatikos, hanya ada satu ovum yang dapat dibuahi oleh karena itu harus banyak sperma yang disebarkan. Penyebaran tersebut yang menurut Rocky menghasilkan penindasan dan diskriminasi. Lebih lanjut Rocky menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan bekerja dengan logos spermatikos, dan ini luput dari perhatian universitas. Hal ini disebabkan oleh lambannya perkembangan feminisme dalam dunia kampus. Terdapat anggapan bahwa kampus tidak boleh mengajarkan hal-hal yang membahayakan moral. Akan tetapi kondisi tersebut tidak lagi berlaku karena feminisme saat ini berada di puncak ilmu pengetahuan. Feminisme yang dulu dianggap berbahaya justru sekarang dianggap sebagai pengetahuan baru yang memungkinkan untuk mengatur kembali konsep keadilan. “Feminisme yang dulunya unspeakable kini menjadi unstoppable," ujar Rocky. Mengenai politik, Rocky menyoroti Pemilu 2019 yang akan datang. Ia mengemukakan pendapat yang berkembang bahwa alternatif yang ditawarkan terlalu ekstrem yakni hanya ada dua pasangan calon di republik ini. Masyarakat merasa bahwa dalam keadaan seperti itu, sulit untuk menciptakan kreativitas dan ide-ide baru. Sementara itu, di media lain terdapat diskursus tentang calon tunggal. Ada upaya untuk menyodorkan konsep baru yakni dengan dalil efisiensi sebaiknya pemilu ke depan ditumpukan pada teori calon tunggal. Jadi, jika di awal ada dua blok, maka dua blok tersebut akan dijadikan satu, itu diskursus yang ada di publik saat ini. Namun, hingga saat ini kita belum mendengar universitas membicarakan hal tersebut. Menurut Rocky, universitas harus melakukan filter terhadap arogansi kekuasaan, jangan sampai arogansi kekuasaan menutup semua kemungkinan untuk menambahkan IQ nasional, jangan sampai politik menutup peluang untuk menambah kecerdasan universitas. Dalam tema tersebutlah Rocky mengaitkan antara cinta dan politik, cinta dan politik memiliki kesamaan yakni mengarah pada kesetaraan dan keadilan. Cinta dan politik tumbuh juga dalam kompetisi, orang tidak akan menikmati cinta dan politik tanpa ada kompetisi, dua-duanya tumbuh dalam kecemburuan yang masuk akal. Menurut Rocky, baik dalam bercinta dan berpolitik kita harus menumbuhkan kecemburuan dalam porsi yang masuk akal. Rocky menganjurkan untuk memperbanyak cinta dan memperbanyak politik, menurutnya pecinta yang baik akan menjadi politisi yang beretika demikian pula sebaliknya. Lebih lanjut Rocky mengatakan bahwa kita dapat tersesat dalam perjalanan cinta dan politik, tapi yang penting adalah keinginan kita untuk menempuh cinta dan politik dengan satu tujuan bersama yaitu menyempurnakan kebebasan dan menghasilkan keadilan. "Jadi teman-teman selagi masih muda perbanyak energi kita, perbanyak energi politik, hanya dengan itu kita bisa menambahkan akal sehat dan memungkinkan kita untuk tumbuh dalam kebebasan," FILSAFAT DAN AROGANSI
Filsafat tidak mungkin arogan. Sejak awal filsafat
merupakan pertengkaran pikiran dengan alat dialektika dan logika. Eksploitasi dari arogansi di dalam wilayah filsafat akan menyebabkan pikiran terhenti. Filsafat yang dibicarakan di sini bukan filsafat sebagai bidang studi. Filsafat adalah intervensi manusia terhadap establishment. Musuh bebuyutan filsafat adalah finalitas. Proposisi utama filsafat adalah menghubungkan kontrafinalitas sebagai upaya membuka percakapan rasional dan sosial. Misalnya dalam hal local wisdom yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menikmati rasionalitas karena watak perempuan adalah emosionalitas. Pikiran seperti itu kemudian dibakukan melalui code of conduct di dalam masyarakat tradisional. Arogansi yang dipelihara seolah-olah dipelihara oleh kode-kode kebudayaan yang di dalamnya tersimpan relasi kuasa. Di situlah filsafat berfungsi untuk menginterupsi. Arogansi yang dibicarakan bukan tentang watak, namun adalah kekurangan pikiran yang diasuransikan pada kekuasaan. Lebih lanjut Rocky mengatakan salah satu hal yang menyuburkan arogansi adalah conspiracy of silence. Hal itu juga ditemukan di universitas. Ukuran bagi universitas adalah memproduksi gelar sebanyak-banyaknya, bukan memproduksi pikiran. Di situlah kesalahan desain akademis kita dan filsafat menyediakan diri sebagai melting pot. Filsafat merupakan upaya sadar untuk menginterupsi arogansi ilmu pengetahuan. Pada akhirnya, selama kultur arogansi bekerja sama dengan kultur diam, maka pikiran tidak mungkin berkembang. Gadis Arivia melanjutkan pembicaraan dengan memunculkan Hannah Arendt yang pada tahun 1973 membunyikan teori serupa. Alasan terjadinya pembunuhan oleh Nazi secara besar besaran adalah karena lack of thinking. Adanya aktivitas berpikir yang macet. Menghubungkan arogansi dan filsafat masuk kepada hal yang penting sekali, yaitu arrogance of judgment. Persoalan arogansi kemudian masuk ke wilayah etis. Kultur diam membuat kita jadi malas berpikir dan malas mengkritik. Menjadi irresponsible.
MENGAKTIFKAN POLITIK.
Di sini kita bertemu lagi dengan rasionalitas
demokrasi: Kebenaran politik adalah apa yang dapat disepakati dalam Batas-batas bahasa manusia. Artinya, semua “proposal Kebenaran” hanya boleh diedarkan dalam terminologi Sosial, dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang, Demokrasi akan terus dieksploitasi oleh kegandrungan Pada “yang metafisik”, oleh kerinduan pada "yang belum Ada”, oleh pemujaan pada “yang absolut”, tetapi kondisi Sosiologis manusialah yang menjadi batas operasi demokRasi Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif Setiap orang yang tddak mungkin dikontestasikan dalam Sistem demokrasi. Karena itu, ia berada di luar batas bahasa Manusia, berada di luar wilayah konsensus demokrasi. Bagi kita di sini, sekarang, keperluan untuk meradi Kalisasi demokrasi sungguh diperlukan karena pelem Bagaan politik kita belum menghasilkan etika toleransi. Demokrasi juga belum berhasil mendistribusikan keadilan Ekonomi karena electoral politics telah mengungguli citi Zenship politics. Ada surplus kekuasaan di parlemen, tetapi Etika parlementarian terus mengalami defisit. Kita memang Menikmati political rights (hasil reformasi), tetapi civil Liberties kita justru terancam oleh pandangan pandangan Kebudayaan yang absolutis. Dalam bahasa filsafat politik hari ini kita perlu menyelenggarakan demokrasi dengan mempertahankan kesementaraan abadi” dari kebenaran, sambil terus men Dorong percakapan publik untuk mempersoalkan ketidak-Adilan dan kekerasan sosial berdasarkan ukuran-ukuran Sejarah dan hak asasi manusia.Inilah program minimal untuk menjaga ruang percakapan demokratis berlangsung dalam semangat falibilis, dan menghalau semua retorika dogmatis yang dikemas dalam jargon-jargon demokrasi. Dengan cara itu toleransi dan kemajemukan dapat dipertahankan, dan perjuangan untuk keadilan sosial dapat terus dikerjakan.Pada akhirnya, demokrasi memang perlu bertumbuh mengikuti keperluan sejarah. Dengan memahami kritikpos-modernis (dan postrukturalis Lacanian), demokrasi akan selalu berada dalam kondisi-istilah Guillermo O'Donnell the perpetual absence of something more. Antisipasi inilah yang perlu kita manfaatkan secara strategis, sambil mempertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit disensus politik kiri untuk mengutip Alain Badiou: politics is the art of attacking the impossible. Mengaktifkan politik de- ngan cara ini, dapat menghindarkan kita dari pesimisme dan disilusi.
ANALISIS WACANA KRITIS FEMINISME
diskursus tidak pernah netral, selalu ada
kepentingan di baliknya, hal inilah yang dijadikan alasan para analis wacana kritis untuk mengajukan kecurigaan pada diskursus yang selama ini telah terjadi. Rocky menerangkan bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara Diskursus dengan AWK, yakni tentang pemaknaan bahasa dalam kehidupan. “Diskursus” sepakat dengan ahli linguistik yang menganggap bahwa bahasa adalah hal yang mengatur segala bentuk kegiatan manusia, sehingga bahasa adalah hal paling utama yang mendeterminasi kehidupan kita. Dalam diskursus, bahasa dianggap mendahului manusia dan karenanya kita terikat secara struktur dengan bahasa. Rocky memberikan analogi teka-teki silang (TTS) untuk menggambarkan bagaimana diskursus bekerja. Apabila ada sebuah TTS dengan petunjuk: Jurnal feminis terbaik di Asia Tenggara misalnya, dengan huruf akhir “N”, maka sudah pasti jawabannya adalah “Jurnal Perempuan”, tidak mungkin diisi dengan jawaban lain semisal “Zakir Naik" karena strukturnya memang sudah demikian, Zakir Naik berakhiran huruf "K" bukan huruf "N". Hal ini sebenarnya menggambarkan bagaimana bahasa secara struktur dan grammar sangat membatasi ide-ide pembaruan yang mungkin ada namun tidak terlihat. Di sisi lain, AWK berusaha membongkar itu semua. Apabila mengaitkan kembali dengan analogi TTS di atas, maka cara kerja AWK adalah dengan mempertanyakan siapa yang membuat TTS tersebut dan apa tujuannya sehingga saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut? AWK bertujuan untuk mengungkap power atau kekuasaan yang ada di balik diskursus selama ini. AWK juga berfungsi sebagai alat untuk membongkar relasi kuasa yang mendukung sebuah diskursus sehingga tercipta sebuah ketidakadilan. Cara kerja AWK, apabila disederhanakan adalah dengan selalu mencurigai sistem bahasa dan skeptis terhadapnya. Sehingga,Sehingga, Rocky menyimpulkan setidaknya ada dua hal mengapa diskursus dapat menciptakan ketidakadilan apabila kita tidak menggunakan AWK sebagai pisau analisisnya. Pertama, diskursus selalu bergantung pada struktur bahasa dan grammar yang mengikat. Kedua, karena bahasa adalah sesuatu yang mengikat dan membatasi, maka membuat proses peradaban menjadi tidak adil dan inhuman. Diskursus sejatinya harus memasukkan autentisitas dari sebuah keadaaan, namun karena bahasa yang begitu mengikat, maka yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan. Rocky berpendapat bahwa ketidakadilan ini paling terasa dialami oleh perempuan. Feminisme adalah pisau analisis yang paling tajam untuk menganalisis ketidakadilan yang terjadi pada perempuan dari aspek manapun, entah politik, ekonomi, pendidikan, sistem kelas, dan lain sebagainya. Titik tolak keberatan feminisme terhadap diskursus menurut Rocky adalah dikarenakan beban kultur yang sudah terlanjur patriarkis sehingga menyebabkan perempuan mengalami standar ganda dalam kehidupan. Titik tolak kritik selanjutnya dari feminisme terhadap diskursus adalah mengenai struktur bahasa yang sangat maskulin sehingga selalu menguntungkan laki-laki. Oleh karena itu tidak heran bila ada upaya akademis dari para pemikir feminis untuk mengubah sistem bahasa yang patriarkis, seperti yang dilakukan Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray, atau pemberontakan seperti yang dilakukan bell hooks yang menolak untuk menuliskan namanya dengan huruf kapital karena ia anggap bahwa huruf kapital adalah simbol superioritas maskulin dan patriarki. Rocky mencontohkan diskursus yang mendiskriminasi perempuan pada aspek kehidupan dunia kejiwaan. Seorang perempuan yang gagap, cemas dan bingung di ruang publik, akan dianggap mengalami penyakit kejiwaan delirium oleh masyarakat, Sebetulnya, bisa jadi perempuan ini selama hidupnya terjebak dalam diskursus yang menwajibkan ia menjadi seorang yang pasif di ruang publik. Dengan demikian, AWK dalam kacamata feminis adalah sebuah upaya untuk mencapai emansipasi dan reegalitarisasi. Lebih lanjut Rocky menjelaskan bahwa diskursus sifatnya selalu melanggengkan kekuasaan, ada sistem hierarki, dan menjadikan bahasa sebagai institusi yang secara ketat membatasi ide-ide baru. Diskursus selalu kaku dan baku sehingga tidak memberikan ruang untuk analisis lain pada suatu ide. Ia mencontohkan diskursus tentang ginjal di dunia kedokteran yang didefinisikan sebagai organ tubuh semata yang berfungsi untuk mengatur salah satu sistem ekskresi manusia. Dunia kedokteran tidak akan melihat ginjal sebagai sesuatu yang menunjukkan sisi manusiawi seorang manusia seperti apakah ginjal tersebut milik seorang laki-laki atau perempuan dengan keadaan tertentu. Rocky juga mencontohkan diskursus politik yang dibuat oleh pemerintah suatu negara dalam mengampanyekan suatu program, seperti program ajakan pemerintah Singapura kepada warga negaranya untuk mempunyai anak, dengan sebuah infografis yang menunjukkan berbagai keuntungan yang akan didapatkan oleh warga negara Singapura apabila memiliki anak (lihat di sini). Dari infografis tersebut dapat terlihat animasi seorang ayah yang menggendong bayinya, hal ini mungkin untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa masalah maternitas adalah persoalan laki-laki juga sehingga ada peran fatherhood di situ, ia sekaligus ingin mengatakan bahwa kesetaraan gender sudah tercipta dalam masyarakat Singapura. Rocky memberikan analisisnya terhadap kampanye pemerintah Singapura ini. Menurutnya, dengan AWK kita bisa melihat sisi lain yang diinginkan pemerintah Singapura dari program ini. Pertama, Rocky berpendapat bahwa negara sebetulnya takut untuk memberikan asuransi kepada kelompok lansia karena dianggap tidak produktif, sehingga memilih untuk menyubsidi anak yang baru lahir agar bisa produktif nantinya dan menghasilkan pajak bagi negara. Kedua, sebetulnya program ajakan untuk memiliki anak dari pemerintah Singapura ini ada nuansa rasisme di dalamnya. Secara logis, apabila ingin menambah penduduk dari suatu negara, cara yang paling efektif adalah dengan mendatangkan imigran ke negara tersebut, tetapi pemerintah Singapura memilih untuk mengampanyekan untuk tidak takut memiliki anak di Singapura. Analisis yang ketiga dari Rocky adalah mengenai permasalahan kelas. Menurut Rocky, program pemerintah Singapura ini sejujurnya ditujukan kepada kaum kelas menengah ke atas dikarenakan kaum kelas bawah akan sulit mendapatkan akses kesehatan yang layak dan terjangkau di Singapura. Analisis terakhir yang dikemukakan Rocky terhadap kampanye ini adalah betapa sebenarnya diskursus mengenai ajakan memiliki anak dari pemerintah Singapura ini diskriminatif terhadap kelompok LGBT, karena pemerintah Singapura tidak memberikan akses kepada kelompok LGBT untuk mempunyai anak dalam kampanyenya (Heteronormatif). Rocky mengatakan bahwa AWK dapat digunakan sebagai pisau analisis diskursus apapun termasuk sastra ataupun mitos yang memberikan ketidakadilan pada struktur peradaban kita. Ia kembali mencontohkan bahwa selama ini kita terkurung dalam pemahaman bahwa dalam kasus Pandawa vs Kurawa, kita akan selalu menganggap bahwa Pandawa adalah pihak yang baik dan suci tanpa kita pernah menganalisisnya lebih jauh terhadap cerita tersebut. Contoh lain adalah mengenai mitos Medusa yang dianggap sebagai perempuan yang dikutuk dan dianggap monster oleh masyarakat Athena pada waktu itu karena bercinta dengan Poseidon sang dewa lautan. Analisisnya kemudian menunjukkan bahwa sebenarnya Medusa diperkosa oleh Poseidon, lalu dijatuhi hukuman dengan dikutuk karena sistem masyarakat yang patriarkis dan selalu menyalahkan perempuan. Tetapi, dari kisah Medusa pula kita bisa mengambil kesimpulan bahwa harapan akan selalu ada ketika sebuah kepedihan melanda. Hal ini terlihat dari mitos Medusa yang menceritakan bahwa setelah Medusa mati dan kepalanya dipenggal oleh Perseus, dari tetesan darahnya muncul makhluk mitologi lain bernama Pegasus.Dari berbagai contoh analisis di atas dengan menggunakan AWK terhadap berbagai jenis diskursus, sesungguhnya tujuan utama AWK adalah untuk membongkar rezim politik yang selalu diuntungkan oleh diskursus karena didukung sistem bahasa yang kaku sekaligus patriarkis. AWK adalah sebuah pisau analisis yang sangat dekat dengan penelitinya karena ia terlibat langsung dengan output yang dihasilkan dari kritiknya sekaligus melibatkan subjek peneliti untuk menyuarakan Audacity of Hopes. AWK juga membatasi subjek peneliti untuk tidak jatuh sebagai seorang fatalis ataupun nihilis, serta AWK berfungsi untuk membatasi bahasa agar tidak menjadi institusi tunggal yang menjadikan sistem peradaban menjadi kaku dan terbatas pada ide-ide baru sekaligus menciptakan hierarki. AWK dan feminisme selalu tune in untuk membahas ketidakadilan dan menyuarakan emansipasi. AWK dalam perspektif feminis digunakan untuk membongkar dan menghancurkan sistem bahasa yang maskulin dan patriarkis—atau sering disebut sebagai atau Phallogosentrisme Logos Spermatikos sehingga menimbulkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan seperti membanalkan dan membenarkanmembenarkan pemerkosaan terhadap perempuan. Rocky menutup kelas malam itu dengan sebuah kesimpulan bahwa AWK/CDA adalah wake up call untuk melihat permasalahan ketidakadilan, meningkatkan kewaspadaan kita pada potensi krisis dan pembalikan keadaan politik yang mungkin terjadi, sekaligus menimbulkan reaksi positif akan adanya Politics of Hope.
KAJIAN FILSAFAT FEMINISME
Apa argumen final anda tentang hukuman mati?
Bila pembelaan hendak anda ucapkan, cukupkah dengan mengalaskannya pada prinsip “hukum positif”? Bagaimana bila penalaran postivistik itu bercampur dengan alasan moralistik’, semacam “efek jera”? Itulah yang terjadi di negeri ini: ketakmampuan para akademisi menjernihkan duduk perkara, dengan akibat bercampurnya argumen positivistik dengan argumen moral. Persoalannya adalah: bagaimana menguji konsekuensi dari “teori efek jera”, semata-mata berdasar keinginan memberi "pesan moral”. Negara mencabut nyawa seorang manusia hari ini, agar manusia yang lain menjadi bermoral besok? Yang berbahaya adalah ketika hukuman mati itu dipahami sebagai “hadiah” negara untuk menegakkan moralitas. Jumat lalu (3/6/16), dalam sebuah diskusi di YLBHI, Jakarta, Robertus Robet, sosiolog, menerangkan suatu ilusi berbahaya yang sedang diedarkan pemerintah: bahwa kegagalan pemerintah menyelenggarakan “keadilan sosial”, dimanipulasi dengan “menyediakan hukuman mati” sebagai pengganti rasa keadilan publik. Dan publik seperti terpuaskan oleh kebijakan itu. Atas nama nasionalisme, atas nama hukum positif, atas nama histeria massa, negara memuaskan moral publik dengan cara manipulatif. Itulah kebengisan yang dipamerkan negara demi menguasai episteme kekerasan. Filsuf Michel Foucault pernah menyebutnya sebagai “festival of torture”. Tapi apakah itu menimbulkan efek jera? Statistik justru membantahnya: korelasi antara kejahatan narkotik tak berhubungan dengan jumlah pidana mati yang dijatuhkan. Pun dalam kasus kejahatan perkosaan, kengerian hukuman tak menimbulkan efek jera. Bila anda memahami penalaran “economic analysis of law”, dan berpikir sebagai “rational-maximizer”, maka mudah dipahami bahwa seorang pemerkosa akan memilih memperkosa sekaligus membunuh korbannya, karena itulah cara paling “efisien” memperkecil risiko: korban tak mungkin lagi bersaksi. Absurditas hukuman mati demi efek jera, juga terletak pada asumsi bahwa semua orang adalah potensial menjadi pemerkosa. Logikanya, yang harus jera adalah “calon pemerkosa”. Siapa dia? Tak ada yang ingin konyol mau mengaku. Maka harus dianggap bahwa efek jera ditujukan pada semua orang. Bila demikian, mengapa hukuman yang seharusnya diterima nanti oleh semua orang, telah dibebankan secara akumulatif pada pelaku hari ini? Tentu, teori penghukuman telah banyak berubah, terutama karena pemahaman terhadap “hak asasi manusia”. Bukankah hak hidup itu tak boleh sekalipun, dalam kondisi apapun, dibatalkan oleh negara? Dan prinsip itu ada dalam konstitusi kita! Kita kini ada dalam antropologi kebengisan: balas dendam! Dan kampus kurang berusaha memperlihatkan sikap akademis yang utuh tentang soal ini. Kampus tidak mengolah argumen untuk menghadapi para pendukung hukuman mati. Kampus yang gagap karena tak mampu berpikir konsekuensional. Kampus yang tak paham filosofi konstitusi. Kampus yang miskin pikiran. Watak intelektual Apa pikiran anda tentang kondisi kaum intelektual kini? Apakah semangat mempertahankan kebebasan masih menandai mereka? Apakah akademisi adalah kaum intelektual? ini. Terutama dalam menerangkan kegagapan Berpikir dalam “konsep” adalah ciri intelektual. Yaitu aktivitas mengolah problem dengan mengambil jarak dari konsekuensi praktisnya. Tetapi sejak Gramsci, pandangan tradisional itu tak lagi dominan. Medan politik memerlukan pikiran yang terlibat. Kaum intelektual menjadi bagian dari perubahan sosial. Terutama pada feminisme, aktivitas berpikir adalah aktivitas mengubah kondisi ketidakadilan, pada seluruh institusi sosial. Seringkali, kondisi poskolonial menjadi latar dari mental kaum intelektual hari menghadapi globalisasi. Obsesi pada otentisitas menyebabkan kegagapan itu berubah menjadi kebencian pada “yang asing”. Sindrom poskolonial inilah yang kini menguasai alam pikiran kampus. Apakah anda memperhatikan gejala ini? Bukankah aneh bahwa sikap feodal di antara akademisi justru tumbuh di kampus? Bagaimana menerangkan hilangnya tradisi kritisisme di Universitas? Misalnya bahwa kepangkatan birokratis menentukan kualitas riset atau jabatan formal dalam birokrasi kampus sekaligus berarti keunggulan intelektual? Dalam debat tentang pengaruh kolonialisme pada sejarah Afrika, Valentin Mudimbe, filsuf Congo, menerangkan bahwa yang lebih menentukan adalah kedalaman ideologis yang ditinggalkan kolonial, ketimbang lamanya masa kolonial itu. Saya membaca tesis itu di kita, di sini. Artinya, pada masyarakat poskolonial, dekolonisasi belum terjadi pada tahap ideologis dan kampus bahkan menjadi institusi yang mereproduksi hierarki feodal dalam dunia pikiran. Hierarki adalah ideologi patriarkis. Akademisi yang memanfaatkan hierarki birokratik untuk menghalangi kompetisi pikiran adalah agen kolonial masa kini. Ia mereproduksi struktur dominasi dengan cara yang sangat bodoh: takut pada kebebasan. Maka kita menyaksikan paradoks itu: penampilan publik seorang akademisi terlihat palsu, karena di dalam kampus ia sesungguhnya seorang yang anti keadilan. Ia mengeksploitasi hierarki karena takut pada kesetaraan. Di dalam hirarki, ia menjadi penguasa, menjadi patriarkis. Menjadi kolonialis. Selalu relevan membicarakan “kaum intelektual” setiap kali kita merasa kehilangan orientasi dalam membaca “tanda-tanda zaman”. Tetapi bagaimana anda mampu mengintip peluang perubahan menuju kemajuan, bila anda bagian dari mentalitas "takut bebas"? Filsafat adalah undangan untuk berpikir. Tetapi kampus hari ini telah berubah menjadi lokasi birokrasi. Isinya adalah tumpukan formulir. Berpikir mengikuti format formulir? Itu bukan watak filsafat dan bukan watak intelektual. HERMENEUTIKA KARTINI APAKAH ANDA MEMBACA SURAT-SURAT KARTINI?
Apa yang membekas dalam sejarah sehingga
Kartini harus terus diingat ingatkan? Dalam sejarah, “membekas” tak sekadar berarti "berkesan", melainkan "berpesan". Meninggalkan pesan, itulah pelajaran sejarah. Surat-surat Kartini adalah pesan sejarah tentang kegelisahan dan harapan, yang berasal dari keyakinan: bahwa kegelapan tak akan menetap. Bahwa pikiran dan kecerdasan akan membawa terang kesetaraan. Pesan tak berasal dari peristiwa. Peristiwa dapat berkesan, tetapi pesan harus dibuat agar peristiwa itu menetap sebagai pelajaran. Kebaya adalah kesan. Tetapi Emansipasi adalah pesan: bahwa feodalisme adalah sarang patriarki. Ia ada di dalam institusi-institusi kita hari ini: partai, birokrasi, LSM, media, bahkan universitas. Patriarkisme adalah struktur kekuasaan. Dipelihara oleh partai melalui sistem oligarki. Dipatuhi pers karena pertimbangan bisnis. Meluas di kampus melalui doktrinasi moral. Bahkan dalam berbagai mitos lokal, struktur patriarki itu dirawat sebagai kearifan. Ketika Zeus mengirim Pandora ke dunia, raja para dewa itu membekali si perempuan pintar ini kotak rahasia, dengan perintah, “Jangan sekali-kali kau buka kotak itu, Pandora!” Pandora diciptakan oleh semua dewa. Ia memperoleh seluruh keunggulan semua penciptanya: Apollo memberinya suara merdu. Aphrodite mewariskan kecantikannya dan menyediakan perhiasan mewah. Hermes membekali kecerdasan terbaik. Pada Pandora, seluruh kesempurnaan perempuan telah selesai. Tetapi Pandora menolak patuh pada perintah Zeus. Ia membuka kotak itu, demi kuriositas, “Jangan-jangan isinya kamera pengintai.” “Aku tak ingin dikendalikan!", dengan keputusan itu, Pandora membuka kotak rahasia itu. Tapi nasib telah ditentukan: seluruh kejahatan keluar dari dalam kotak, menyebar ke seluruh dunia. Maka hukuman jatuh: perempuan adalah sumber segala kejahatan, “the root of all evil”, “femme fatale”, "sundel bolong". Kutuk itu bahkan ada dalam doa seorang laki laki di pagi hari, “Terima kasih Tuhan, karena aku tidak dilahirkan sebagai seorang budak, dan tidak lahir sebagai perempuan." 99 Tetapi dalam hermeneutika feminisme, Pandora bukan akar segala kejahatan. Ia adalah pembawa terang kesetaraan: bahwa pengendalian perempuan adalah kejahatan peradaban. Hari ini, seorang perempuan diingat karena keberaniannya menuntut terang. Dari ruang gelap feodalisme, yang kini justru dihuni kaum cendekia.
PAYUNG HITAM
Apa evaluasi anda tentang kondisi HAM hari-hari ini?
Bagaimana anda melihat arah demokrasi, dari sudut pandang hak asasi manusia? Akhir-akhir ini, kita menyaksikan kembalinya politik negara, memonopoli isu-isu HAM. Negara tetap bersikukuh pada hukum positif tentang perlunya “hukuman mati". Negara masih represif pada kebebasan berpendapat. Negara bahkan permisif terhadap aksi pembubaran forum diskusi oleh Ormas. Kemarin adalah Kamis ke-445 bagi Aksi Kamisan, yaitu aksi tiap Kamis di depan Istana Negara untuk meminta perhatian negara terhadap pelanggaran HAM. “Payung Hitam” menjadi semiotika politik dari aksi yang yang bertahun-tahun berlangsung damai, hanya untuk menuntut hak: “mereka yang hilang karena keyakinan politik”, “mereka yang tertindas karena status agama”, “mereka yang tersingkir karena membela lingkungan”, dst. Tak ada massa yang mengamuk pada setiap Kamis itu. Sekadar berkumpul dan berbagi semangat hidup, berorasi liris, atau cukup berdiri diam, dengan satu pesan: “hak kami belum kembali”. Itulah politik Kamisan, menunggu karena percaya ada harapan. Kemarin, Safina, mahasiswa Filsafat UI, pada Kamisan ke-445 itu, meringkas “semiotika payung hitam”, dalam satu kalimat liris: “kamisan adalah aksi diam, yang didiamkan”. Ia mengalami Kamisan sebagai suatu peristiwa keadilan. Kemerdekaan adalah ruang hidup demokrasi. Kemanusiaan hanya bermakna dalam kemerdekaan. Bahkan pada kesetaraan makhluk, kita memahami makna “ethics of care” itu: kepedulian adalah kepekaan pada ketidakadilan. Ibu Sumarsih, seorang yang tak pernah letih berdiri setiap Kamis di depan istana, tak hanya ingin mengenang putranya, Wawan, yang berkorban nyawa memperjuangkan demokrasi pada 1998. Ia hanya ingin agar “diamnya tak didiamkan”. “Ethics of care” adalah sinopsis dari filsafat feminisme. Ia menjadi 'lonceng nilai' hari-hari ini, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap makhluk. Bahwa keadilan adalah aturan alam semesta. Bahwa persaudaraan adalah hakikat kemanusiaan. Ingatan tak hilang, bila pkiran tak lumpuh. Ibu Sumarsih mengajarkan itu, lebih dari semua teori keadilan yang pernah kita pelajari dalam kelas filsafat. Seorang mahasiswa menemukan itu dengan mengalami Kamisan sebagai peristiwa diam yang politis. Generasi bertumbuh dalam ingatan. dalam ingatan. Politik memburuk dalam kekuasaan. Tetapi harapan memberi keyakinan bahwa “yang diam”, tak berarti "tak ada. ETIKA FEMINISME
Setujukah anda bila “kekerasan seksual” diatur
tersendiri sebagai undang-undang khusus (lex specialis) di luar pengaturan KUHPidana? Artinya, delik “kejahatan seksual” akan dirumuskan berlainan dengan definisi kejahatan dalam KUHPidana. Kemarin saya memberi kuliah umum soal itu di FHUI, dengan pendekatan feminist legal theory. Beberapa dosen Fakultas Hukum UI agaknya berupaya menjadikan matakuliah ini “wajib” dalam kurikulumnya. Terlihat urgensi untuk merevisi kurikulum dalam upaya merelevankannya dengan tuntutan asas keadilan terhadap perempuan. Mata kuliah ini tumbuh dari upaya filsafat feminis untuk menghasilkan perspektif kritis dalam membaca "peristiwa hukum”. Anda tahu bahwa di negeri ini setiap 2 jam terjadi 3 kekerasan seksual pada perempuan, dan hukum tak mampu memprosesnya. Artinya, ada masalah mendasar dalam sistem hukum, sehingga perlu terobosan paradigma. Terutama dalam segi pembuktian, persyaratan-persyaratan hukum acara tak mampu memahami konstruksi peristiwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap integritas tubuh dan seluruh psikologi perempuan. Rumusan konvensional tentang kekerasan seksual, selalu sekadar dilekatkan pada segi “kesusilaan”. Konstruksi patriarkis sebagai latar kekerasan seksual tak diperhatikan. Kritik teori hukum feminis adalah bahwa cara membaca hukum telah mengabaikan hal paling mendasar, yaitu relasi kuasa dari kejahatan. Begini: bila seorang laki-laki menyerang seorang laki-laki, maka si penyerang akan menghitung korbannya sebagai "mampu menyerang balik”. Tetapi bila korbannya adalah perempuan, maka si laki-laki penyerang akan menganggap bahwa korbannya “tak mampu menyerang balik”. Jadi, dari awal telah terjadi ketimpangan kekuasaan. Ada surplus arogansi pada laki-laki, dan defisit moril pada perempuan, karena ia mengadopsi pikiran umum bahwa ia memang tak berdaya. Artinya, dalam serangan seksual, selalu ada “pretext” kekuasaan. Mengusulkan sebuah “lex specialis” untuk menangani kasus kasus kekerasan seksual adalah upaya untuk mengubah paradigma hukum yang bias gender itu. Itu seharusnya menjadi urusan akademis yang serius dan konsisten. Kampus diminta untuk menghasilkan argumen filosofis yang kuat. Tetapi hambatan terbesar dalam upaya pembaruan hukum adalah sikap palsu di kalangan akademisi. Mereka bicara tentang keadilan bagi korban, tetapi pada saat yang sama menampilkan sikap patriarkis menindas koleganya. Patriarkisme dapat dipraktikkan siapa saja! Feminisme memang bukan sekadar soal kecerdasan akademis. Feminisme pertama-tama adalah soal kecerdasan etis. Tentang pikiran generasi Selamat pagi. Apakah pikiran generasi muda tentang “Keindonesiaan”? Pernahkah anda memikirkannya sebagai masalah dengan kedalaman filosofis? Generasi yang menolak digurui karena yakin pada kemampuannya sendiri. Generasi yang memandang dunia sebagai “sphere of possibilities”. Minggu lalu saya berceramah tentang “kondisi globalisasi” di Tempo Institute. Dalam diskusi, seorang peserta menerangkan bahwa tak mungkin menyeragamkan cara berpikir masyarakat Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Dia menganggap bahwa “teori-teori besar cenderung menggurui” masyarakat lokal, dan itu menimbulkan reaksi antipati. Apa sebetulnya isi pikiran yang hendak ia sampaikan? Saya tertarik pada kalimat “menggurui” itu. Jadi, bukan ide dan pikiran global itu yang jadi soal tetapi cara menyampaikannya yang “menggurui”. Ini soal pedagogi. Kita tidak meloloskan argumen dengan nalar semata. Keinginan untuk menghadirkan pertukaran pendapat membutuhkan suasana egaliter terlebih dahulu. Reaksi antipati adalah “defence mechanism” yang disediakan evolusi untuk menghadapi "yang asing". Semacam reaksi alergi terhadap zat asing yang memasuki tubuh. Menggurui adalah sikap otoriter. Ia tidak berasal dari niat menghasilkan pengetahuan. Fungsi pedagogi adalah mengaktifkan perdebatan metodik. Anda tidak menegakkan wibawa akademisi dengan jabatan. Kewibawaan hanya tumbuh dari penghormatan kolegial terhadap sikap pedagogis anda. Menggurui menghalangi kehendak bebas individu untuk mencapai pengetahuan dalam suasana egaliter. Terlebih dalam era keberlimpahan informasi dan sumber pengetahuan, sikap menggurui terasa sebagai sinyal kekurangan pengetahuan. Generasi tak dapat didikte. Guru-guru mereka ada di dunia maya. Dan kebebasan mereka untuk menyusun alam pikirannya sendiri harus dihormati. Universitas seharusnya menjadi pelopor kultur egaliter. Generasi baru berhak tumbuh dalam semangat itu. Itulah pentingnya sebuah generasi memiliki “free will”. Ketika filsafat mempromosikan “free will” sebagai dasar kehidupan kampus, itu bukan dimaksudkan sebagai tema kuliah metafisika semata. Anda tidak membicarakan “free will” sambil membungkuk-bungkuk pada otoritas. Sikap palsu inilah yang merongrong kesetaraan kolegial. Free will adalah suatu etika politik. Dasarnya bukan metafisik, tetapi etik. Artinya, kehendak anda hanya disebut kehendak bebas bila ia tidak berada di bawah kehendak orang lain.
HUKUM MASIH DIPALSUKAN OLEH KEPENTINGAN
Rocky membuka pembicaraannya dengan
menganalisis gramatikal hukum yang jika kita amati ternyata setiap pasal dalam diktat hukum dimulai dengan kata “barangsiapa” yang diperuntukkan sebagai subjek hukum. Namun kata “barangsiapa” sebenarnya adalah sebuah gramatikal laki-laki yang menunjukkan bahwa subjek hukum adalah kaum laki-laki. Rocky Gerung Dosen filsafat FIB Universitas Indonesia melanjutkan, “Dibalik subjek hukum itu ada sebuah sejarah panjang tentang penyingkiran perempuan dalam hukum”. Rocky mengibaratkan bahwa hukum itu seperti lorong dalam rumah yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, dimana jika batas dari lorong dilalui maka perlu hukum untuk mengaturnya, sehingga sebenarnya hukum berawal dari ruang privat, dari kamar tidur, dari lorong rumah, dari ruang domestik. Seluruh aktivitas hukum menjadi aktivitas publik, hukum mengatur perselisihan di ruang publik dimana ruang publik telah dikuasai oleh laki-laki. Lebih lanjut Rocky mengungkapkan bahwa Undang-undang Kekerasan Dalam Tumah Tangga (KDRT) adalah upaya bring justice back into the home yang selama ini dirampas oleh peradaban laki-laki. Tubuh perempuan adalah sumber diskriminasi ekonomi, sosial, budaya. Ketidakadilan ekonomi mungkin masih bisa diatasi oleh perbaikan regulasi, namun ada hukum kultural dimana setiap orang dikendalikan oleh peraturan moral dan perempuan lagi-lagi tidak mendapatkan keadilannya. Keseimbangan alam mengatakan bahwa semua orang berhak mendapat keadilan di meja hukum, dari wacana itulah lahir teori hukum feminis yang digunakan untuk mereduksi hukum dimana kaum feminis memperjuangkan agar pengalaman perempuan bisa dijadikan sumber hukum baru, bukan hanya ethics of rights namun ethics of care juga dilibatkan. Selama cara berpikir hukum tidak direvisi maka diskriminasi hukum terhadap perempuan akan terus berlangsung. Hukum masih dipalsukan oleh kepentingan patriarki. Melli Darsa adalah contoh perempuan ekstrem yang berusaha menerobos langit-langit kekuasaan laki-laki di bidang hukum.
FILSAFAT POLITIK SEBAGAI ALAT EVALUASI ADA
KEBUTUHAN AKADEMIS UNTUK MENGEVALUASI POLITIK”,
Melanjutkan pernyataan di atas, Rocky menjelaskan
bahwa politik tidak hanya dapat dievaluasi oleh tim sukses sebagai elit politik, tetapi juga warga negara yang memiliki kepentingan dengan masa depan politik bangsa. Tidak hanya berdasarkan pada kepentingan semata, namun menurutnya masyarakat perlu untuk mengevaluasi politik karena adanya kebutuhan untuk membaca seluruh permasalahan politik. Rocky mengatakan bahwa pemilu merupakan alat untuk menyelesaikan permasalahan politik tetapi pemilu juga dapat menimbulkan permasalahan politik apabila tidak ada evaluasi kritis dari masyarakat. Rocky menjelaskan bahwa politik sendiri sesungguhnya merupakan suatu persoalan etis karena pada awalnya politik adalah upaya untuk mendistribusikan keadilan. Filsafat politik sendiri muncul setelah adanya gejala-gejala patologis dalam politik. Rocky menyampaikan bahwa pertanyaan yang muncul dari gejala patologis tersebut adalah; mengapa politik yang tadinya adalah ideal berubah jadi buruk sehingga dibutuhkan evaluasi terus menerus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Rocky diperlukan filsafat politik. Peran utama dari filsafat politik adalah mengevaluasi kondisi politik serta mengevaluasi antara "election” dan"decision”. Rocky menjelaskan bahwa maksud dari kesenjangan dua hal tersebut ialah kekecewaan publik atas hasil pilihannya yang justru terpilih larut dalam kekuasaaan. Lebih lanjut Rocky membahas mengenai dasar dari filsafat politik. Ketika berbicara mengenai filsafat politik maka terdapat tiga hal yang akan terus dibahas yaitu, keadilan (justice), kebebasan (freedom),dan kedaulatan (sovereignity)..Rocky menjelaskan tiga hal tersebut dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana mendistribusikan keadilan hingga tidak ada disparitas? Bagaimana kebebasan seorang individu bisa dimaksimalkan tanpa menghalangi kebebasan individu lain? Bagaimana agar ketertiban kehidupan politik dijamin oleh kekuasaan yang sah? Rocky menjelaskan bahwa politik sejak awal merupakan pertanyaan pertanyaan tentang apa itu masyarakat yang adil, apa itu masyarakat yang memelihara kebebasan, dan apa itu masyarakat yang pemerintahnya berdaulat berdasarkan legitimasi dari rakyat. Namun, menurut Rocky hal tersebut merupakan konsep awal filsafat politik yang saat ini sudah tidak lagi dibahas lebih lanjut. Pada masa kini, filsafat politik mengalami pergeseran konsep karena munculnya persoalan etis baru dalam masyarakat, yaitu lingkungan (enviroment)..Jauh sebelum adanya pergeseran etis masalah lingkungan, gerakan perempuan telah lebih dahulu melakukan interupsi dalam filsafat politik yaitu dengan ethics of care. Hal tersebut terjadi karena tiga konsep dasar filsafat politik seluruhnya memihak laki-laki, Rocky menjelaskan bahwa para feminis menyatakan apabila relasi gender belum diselesaikan maka keadilan, kebebasan, dan kedaulatan hanya akan dinikmati oleh laki-laki. Adanya pergeseran nilai etis dalam masyarakat memberikan suatu corak tersendiri bagi filsafat politik. Pada masa sekarang ini, masyarakat melihat pergerakan politik tidak hanya dalam konteks hak politik dan demokrasi tapi juga bagaimana lingkungan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat yang akhirnya pun berpengaruh pada kontestasi politik. Meski adanya perubahan nilai etis dalam masyarakat, nilai-nilai dasar filsafat politik sesungguhnya tetap dan tidak pernah berubah. Konsep keadilan, kebebasan, dan kedaulatan merupakan tiga hal dasar yang terus dan tetap menjadi indikator evaluasi dalam politik. Pada akhirnya filsafat politik merupakan alat evaluasi dari kekuasaan yang berkuasa untuk memeriksa kembali apakah apakah keadilan, kebebasan, dan kedaulatan berpihak pada masyarakat.
MENCARI KEADILAN EKOLOGIS
Antroposentrisme, yaitu perspektif bahwa manusia
merupakan pusat atau ukuran sentral dari segala-galanya telah mereduksi lingkungan sebagai yang liyan. Alam hanya dianggap sebagai benda untuk dieksploitasi, dikonsumsi dan dimodifikasi demi terpenuhinya kebutuhan manusia. Logika antroposentrisme memberikan jalan bagi eksploitasi alam yang pada hari ini didukung oleh intervensi teknologi. Akibatnya tidak dapat dihindari, yaitu krisis lingkungan dengan berbagai bentuk yang mengorbankan manusia itu sendiri. Kalkulasi eksploitasi lingkungan pada akhirnya hanya terbatas pada profit korporasi, tidak pernah pada korban. Mereka yang Membela Alam ikan yang Wayan Perak, seorang nelayan dari desa Kedonganan, selama berbulan-bulan tidak lagi melihat dulu berkelimpahan di perairan Benoa. Reklamasi yang dilakukan oleh korporasi dengan mengeruk perairan Benoa telah merusak ekosistem dan lingkungan hidup di sekitarnya. Ikan ikan mati dan para nelayan kecil seperti Wayan kehilangan pekerjaan. Wayan mengaku sebelum ada reklamasi, ia bisa mendapat ratusan ikan setiap harinya. Eksploitasi itu juga berdampak bagi kegiatan spiritual masyarakat Bali karena luapan air akibat pengerukan membanjiri Pura di sekitarnya. Pengerukan di perairan Benoa juga akan mengakibatkan air pasang yang bisa merusak desa-desa di sekitarnya. Jika terjadi, dampaknya akan sangat ekstrem karena sungai-sungai di desa sekitar bergantung pada Benoa. Perlawanan Bali Menolak Reklamasi yang selama ini dilakukan Wayan direspons oleh aparat dengan merobek baliho-baliho yang terpasang agar para pejabat yang datang tidak melihat permasalahan itu. Hal itu tidak menghentikan perjuangan Wayan dan masyarakat Bali untuk menolak reklamasi. Pada akhir kesaksiannya, Wayan Perak mengepalkan tangan dan berkata, “Tolak reklamasi!”.Perlawanan dari perempuan memiliki warna yang berbeda. Di Rembang, terutama di Gunung Kendeng, dilakukan karst untuk bahan baku dan pertambangan semen pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia. Eksploitasi itu mendapat perlawanan dari para petani Rembang yang terdiri dari ibu-ibu petani. Sukinah, salah satu petani memberikan kesaksian tentang perjuangan mereka mempertahankan lingkungan. Sukinah bercerita, para ibu-ibu petani melakukan perlawanan dengan lesung, alat dalam pertanian yang digunakan untuk menumbuk padi. Mereka bermain musik dengan Lesung sambil menyanyikan lagu berbahasa Jawa tentang kesedihan dan kepedihan Ibu Pertiwi karena buminya dirusak. Bagi Sukinah, lesung adalah simbol dari petani, bahwa kehidupan petani sangat dekat dengan alam. Sebelum Sukinah bersaksi, diputar video yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh brimob kepada ibu-ibu petani di Rembang. Mereka dipukuli, dilempar ke semak-semak dan bahkan dicekik oleh aparat. Murtini, ibu yang dipukuli oleh brimob karena mempertahankan lesung juga hadir dan menceritakan kejadian itu. Di antara ibu-ibu yang melakukan aksi penolakan, beberapa ada juga yang sedang hamil. Mereka sangat tidak menginginkan alamnya dirusak demi kepentingan profit karena mereka memiliki kedekatan langsung dengan alam. Mereka begitu mencintai alam sehingga ketika pihak korporasi menawarkan sejumlah uang kompensasi, mereka menolaknya. Ibu-ibu petani Rembang lebih memilih hidup sederhana dengan alam. Bagi mereka, uang tidak bisa menggantikan kesederhanaan hidup dekat dengan alam. Kesaksian terakhir datang dari Sardi, seorang warga dari Desa Cibideo, Baduy. Sardi menceritakan kegiatan masyarakat Baduy yang banyak diisi dengan bertani dan membuat kerajinan tangan. Masyarakat Baduy menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Mereka membagikan hasil panen padi kepada warga untuk dikonsumsi bersama. Padi bukan komoditas yang diperjualbelikan di sana. Untuk wisatawan, mereka menjual buah-buahan seperti duku, petai dan duren serta hasil kerajinan tangan seperti tas, selendang dan kain.Transaksi dengan uang memang dilakukan, terutama dengan wisatawan, meskipun sistem barter masih ada. Uang yang mereka miliki sebagian besar digunakan untuk keperluan kemasyarakatan. Masyarakat Baduy memiliki ritual kawalu yang dilakukan selama tiga bulan dalam satu tahun. Saat kawalu mereka berpuasa dan dan tidak tidak memperbolehkan wisatawan datang. “Manusia memiliki sifat rakus,” ucap Sardi, ללsehingga ritual itu perlu dilakukan. Mereka bersikap resisten terhadap teknologi non-alamiah. Mereka tidak menggunakan sabun, shampoo maupun odol untuk membersihkan badan. Cukup dengan air. Resistensi itu juga dibuktikan dengan penolakannya terhadap bantuan listrik dari pemerintah. “Tidak boleh, jadi kami tolak,” papar Sardi. Soal pakaian, hanya warna hitam dan putih yang diizinkan. Warna bagi mereka mencerminkan ego untuk mengeskpresikan diri. Mereka lebih memilih hidup sederhana dan dekat dengan alam tanpa ada intervensi teknologi modern. Masyarakat Baduy sangat memahami bahwa mereka hidup dari alam sehingga kultur mereka akrab dengan nilai-nilai konservasi.
HADIRKAH NEGARA?
Berbagai kesaksian tadi hanyalah segelintir dari
jutaan masyarakat Indonesia yang memiliki persoalan serius dengan lingkungan. Persoalan lingkungan terakhir adalah asap di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sekarang di Papua. Bagi Abetnego, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), hal yang mendasari praktik ini adalah terbatasnya daya dukung lingkungan untuk memenuhi hasrat manusia yang tidak terbatas. Pada kasus Rembang, argumentasi dari keputusan pemerintah selalu soal infrastruktur, tetapi tidak pernah mengeluarkan data berapa banyak semen yang kita butuhkan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa “kita”? Siapa korbannya? Apa alasan yang membenarkan masyarakat Rembang bisa menjadi korban? “Ujung-ujungnya untuk diimpor," papar Abetnego. Alhasil nasib 600 ribu manusia yang bergantung dengan kawasan itu harus dikorbankan. Apakah semua petani harus menjadi buruh pabrik? Sama dengan Teluk Jakarta yang diidekan akan dibangun Giant Sea Wall. Mau diapakan masyarakat sekitarnya? Eskploitasi lingkungan berlebihan menciptakan bencana ekologis yang non-alamiah. Bencana yang diakibatkan oleh praktik manusia itu memberikan efek terhadap pranata sosial. Bencana ini bukan hanya bersifat temporer, namun permanen. Dibanding tahun 2012, bencana ekologis naik 300%. Terdapat 6700 desa dan kelurahan yang rusak karena eksploitasi ekonomi. Terkait dengan ini, bagaimana respons negara? Menurut Abetnego, “Yang pertama, komplain-komplain cenderung ditolak, yang kedua tidak ditindaklanjuti, yang ketiga presentasi investigasi sangat kecil dan yang keempat justru negara mengkriminalisasi komunitas tertentu." 22 Pada Bulan Maret lalu WALHI menggelar rapat akbar dengan tema “Menghadirkan Kembali Negara”. Secara politik negara ini mengalami perubahan situasi. Hari ini penguasa ekonomi adalah penguasa politik. Siapa yang menguasai SDA di berbagai daerah, itu yang menguasai politik. Penguasa ekonomi bertarung mengikuti kontestasi dan duduk di lembaga-lembaga negara. Pemerintahan Indonesia 60% diisi oleh para pengusaha besar yang banyak bergerak di bidang SDA yang memiliki risiko ekologis cukup besar. Di samping itu Abetnego juga menjelaskan adanya tiga faktor dalam penyelenggaraan negara, yaitu negara absen dalam lemahnya penegakan hukum, rendahnya respons terhadap komplain warga karena tidak ada mekanisme dan kebijakan yang tumpang tindih sehingga tidak ada yang bertanggung jawab. Di samping itu presiden-presiden yang lalu seringkali mengeluarkan kebijakan pro-investasi di menit-menit terakhir kekuasaannya seperti Perpres mengenai Teluk Benoa. WALHI mencari siapa dalangnya, namun dibalik itu negara yang membuat kebijakan. Di situlah kelemahannya. Isu ekologis akan menghadapi tantangan serius selama belum ada perubahan mendasar mengenai paradigma pembangunan. Jokowi secara umum masih menggunakan pendekatan yang sama, hanya mengurangi konsumsi batubara. Yang dibutuhkan hari ini adalah bagaimana kita dapat mendorong aspek keadilan dan keberlanjutan di dalam pembangunan Dari Natural Rights menjadi Right of The Nature “Bila manusia menghancurkan buatan manusia, dibilang vandal. Bila manusia menghancurkan buatan tuhan, disebut membangun. Di situlah problemnya,” papar Rocky Gerung. Teologi telah menginstruksi manusia untuk menguasai alam;.Kuberikan alam ini dan kuasailah. Cara manusia memandang alam adalah bentuk praktik teologi naturalisme. Alam adalah objek, manusia adalah subjek. Premis itu merupakan racun pertama yang merusak lingkungan dan itulah yang harus kita kritisi dan persoalkan. Kita harus mengubah itu untuk memberikan alam jenis justice baru. Setelah mengalkulasi alam, manusia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia memiliki keterbatasan akses terhadap ontologi alam. Sekarang kita mencoba melihat jenis baru dari keadilan, yaitu keadilan ekologis. Untuk itu harus ada pergantian epistemologi dari natural rights menjadi rights of the nature. Sejak dulu, manusia sudah biasa menguasai alam, namun sekarang kita harus menghormati alam dan memahami bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat dikomputasikan. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak juga tidak memiliki hak, namun pemahaman akan hak kemudian berevolusi. Manusia memiliki kemampuan untuk bertumbuh di dalam hak, karena itu kita mengenali keadilan. Hak demikian berkembang sampai pada pengertian yang dianggap absurd..Hanya bila kita mampu menyusun teori etika baru mengenai hak, kita bisa pindah kepada rights of the nature. Upaya itu merupakan hasil telaah filosofis yang ketat dan pergumulan politik yang keras, sampai sekarang kita memahami bahwa alam memiliki hak. Pada tahun 1960-an di kampus Ohio, tidak ada lagi terdengar kicau burung di musim semi seperti biasanya. Seorang profesor bernama Rachel Carsen mulai curiga dan meneliti hal tersebut. Rupanya burung-burung mati karena memakan buah-buahan yang mengandung pestisida. Seharusnya burung-burung itu bisa melakukan protes karena hidupnya diintervensi oleh bahan-bahan kimia. Apel-apel berpestisida hasil dari pabrik itu disediakan untuk diimpor demi kebutuhan konsumen. Artinya burung-burung itu dapat mengatakan bahwa ia dibunuh oleh para konsumen apel impor. Di dalam buku The Silent Spring, begitulah cara logika ekologi bekerja. Ekologi memiliki nilai intrinsik dan menulis hukumnya sendiri sehingga kita memiliki dua entitas, ekologi dan antropologi. Suatu hari di Amerika ada upaya perataan perbukitan di bagian barat.
KETAHANAN INTELEKTUAL
“Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.”
Pernyataan itu dilontarkan lantaran ia berusaha membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di belakang post-truth bukan sekadar mempersoalkan post-truth itu sendiri. Hal ini ditekankan karena menurut Rocky selama ini banyak kesalahpahaman makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama ini banyak orang mengira post-truth sebagai bentuk baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran. Rocky menjelaskan bahwa post-truth adalah persoalan politik. Maksudnya. Politik kini tidak lagi diiringi dengan etika politik dan hal ini menjadikan munculnya upaya kotor dalam berpolitik. Salah satu munculnya ketiadaan etika politik adalah ketika kita temukan tidak hidupnya suara oposisi. Rocky juga menjelaskan bahwa problem pada post-truth diawali ketika seseorang tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah seseorang tidak lagi memercayai kebijakan merupakan barang yang dihasilkan dari aktor politik sebagai agen rasional. Post-truth sebagai paradigma baru memunculkan masalah pada politik. Masalah ini tentunya tidak serta-merta dihasilkan oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi masalah muncul ketika ada lack of knowledge dari warga negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi yang kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta, tetapi ketika kita berbicara fakta maka ada pembelaan melalui data-data yang seolah-olah identik dengan kebenaran. "Selama ini orang tertipu oleh data, karena data, karena data dianggap merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang mereka butuhkan untuk memercayai bahwa hal itu benar, tetapi itulah post-truth, benar karena yakin,” tutur Rocky. Dalam memilah informasi, kita hanya membutuhkan ketahanan intelektual dan hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi Rocky pembicaraan orang Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada ruang rasional sehingga mereka menggunakan media sosial untuk menyalurkan kemarahannya. Sementara di media sosial terdapat banyak produk post-truth seperti hoax, yang dihasilkan dari kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika politik..Rocky memaparkan bahwa stasiun televisi di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang. Informasi yang beredar di televisi tergantung dari permintaan pemilik, hal ini membuat hilangnya etika jurnalisme. Rocky menjelaskan bahwa hoax bukan hanya diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga diproduksi oleh pemerintah dalam upaya mempertahankan kekuasaan..Bagi Rocky di tahun politik seperti sekarang, post-truth akan semakin mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan intelektual. Media akan menggunakan post-truth sebagai alat untuk promosi politik baik secara sehat maupun tidak..Kegelisahan akan menurunnya kualitas pengetahuan melalui media menakutkan banyak orang, terutama ketakutan akan masuk pada lingkar post-truth. Oleh karena itu Rocky mengungkapkan ketahanan intelektual yang didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk menghindari post-truth. Sementara politik yang sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada virtue dan truthfulness PENGETAHUAN MEMBEBASKAN KITA DARI OPINI YANG KELIRU
Pengetahuan adalah sesuatu yang koheren,
permanen dan stabil konsep atau dalam bahasa Inggris disebut secara unchangeable. Sedangkan opini dapat berubah-ubah setiap waktu dan bersifat temporer. Rocky merujuk pada kisah Plato untuk melihat asal muasal dari pembedaan pengetahuan dan opini. Menurut filsafat Plato, segala sesuatu yang kita lihat secara indrawi bukanlah sesuatu yang nyata karena bisa dirasakan secara berbeda-beda oleh setiap orang. Plato lebih menekankan pada hal-hal yang ideal untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Berangkat dari sejarah filsafat ini, pengetahuan menurut Rocky dimaksudkan sebagai obsesi manusia untuk tidak terjebak pada opini yang seringkali menyesatkan. Rocky kemudian menjelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan antara pengetahuan dan opini berdasarkan filsafat Plato yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern saat ini. Menurut Rocky, pengetahuan selalu berkaitan dengan abstraksi sedangkan opini melekat dengan persepsi. Rocky kemudian mencontohkan bagaimana kita selalu menyebutkan berbagai jenis kursi seperti kursi hitam, kursi taman, kursi yang berkaki empat, kursi yang terbuat dari kayu dan lain sebagainya, hal ini adalah cara kita mengopinikan sesuatu. Sedangkan “kursi” adalah hasil abstraksi yang sebenarnya dari berbagai jenis kursi yang kita sebutkan tadi dan itulah yang disebut sebagai pengetahuan. Dari pembedaan antara opini dan pengetahuan, kita sudah bisa menebak bahwa pengetahuan menjadi salah satu hal yang fundamental untuk melatih diri agar berpikir kritis. Kita sering berpikir tidak kritis karena kita dipimpin oleh believe (rasa percaya) dan bukan reasoning (cara berpikir logis). Rocky menjelaskan ada beberapa metode yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan yaitu, verifikasi, falsifikasi, dan dialektika. Metode verifikasi menghasilkan pengetahuan karena dapat dibuktikan kebenarannya oleh panca indra serta menghendaki adanya bukti empiris terhadap suatu hal atau hipotesis sebelum ia dijustifikasi sebagai pengetahuan. Verifikasi menggunakan metode induktif untuk mendapatkan pengetahuan sehingga pengetahuan yang dihasilkan adalah hasil generalisasi dari fakta yang ditemukan dalam beberapa sampel. Berbeda dengan verifikasi, metode falsifikasi berangkat dari asumsi bahwa sesuatu dianggap sebagai pengetahuan yang stabil jika ia bisa dipersalahkan atau disanggah. Falsifikasi diperkenalkan oleh Popper dengan maksud untuk menjauhkan pengetahuan dari doktrin yang sifatnya memang tidak bisa disanggah. Pengetahuan haruslah bisa diperbarui seiring dengan ditemukannya fakta terbaru atas pengetahuan yang telah kita percayai sehingga ia tidak menjadi doktrin. Metode Dialektika dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuannya dari proses Tesis-> Antitesis-> Sintesis. Antitesis sebenarnya sudah terkandung dalam tesis yang kemudian menguji dirinya sendiri melalui kontranya..Dialektika bertujuan untuk mengembangkan proses bernalar yang dinamis untuk memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen-argumen yang kontradiktif di dalam dirinya sendiri sehingga dicapai pengetahuan yang rasional..Rocky mengemukakan ketiga metode ini sangat penting digunakan agar kita bisa mendapatkan bekal pengetahuan untuk dapat berpikir kritis dengan jernih. Ketika kita dapat membedakan antara opini dan pengetahuan, maka kita memiliki tambahan alat tempur untuk menjadi lebih kritis. Berpikir kritis menurut Rocky juga berfungsi untuk membawa kita pada lokus persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita. Berpikir kritis dengan berdasarkan fakta dan pengetahuan bahkan sangat berpengaruh dalam upaya pembuatan kebijakan publik yang adil bagi semua warga negara.
KONSEP ADALAH MATA UANG YANG SAH
BERARGUMENTASI
Nagaimana menyatakan sebuah argumentasi yang
logis ketika sedang melakukan diskursus publik. Secara sederhana Rocky menjelaskan bahwa hal utama dan pertama yang harus dilakukan seseorang sebelum berargumentasi adalah menjernihkan konsep atau kerangka berpikir terlebih dahulu. Rocky kemudian menyatakan bahwa konsep adalah mata uang yang sah di dalam berargumentasi maka, konsep harus bersih dari segala prasangka, konvensi dan yang paling penting adalah terbebas dari logical fallacies (kesesatan berpikir). Selain menjernihkan konsep, hal lain yang menurut Rocky perlu diperhatikan ketika kita sedang berargumentasi adalah dengan memvalidasi argumen tersebut. Rocky menjelaskan terdapat tiga teori kebenaran untuk menguji validitas sebuah argumen. Teori kebenaran pertama adalah korespondensi, dalam teori kebenaran korespondensi, sebuah pernyataan atau argumen dinyatakan valid atau benar jika argumen atau pernyataan itu memiliki fakta empiris yang bisa kita saksikan dengan panca indra kita. Teori kedua adalah teori koherensi, dalam teori kebenaran koherensi, untuk mengatakan sebuah argumen valid atau tidak adalah dengan melihat pernyataan atau argumen itu memiliki kesesuaian antara satu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui dan diterima secara inheren di dalam cara berpikir logis. Teori kebenaran yang ketiga adalah teori kebenaran pragmatik. Di dalam teori kebenaran pragmatik, sebuah pernyataan atau argumen dianggap valid apabila argumen atau pernyataan tersebut diukur dengan kriteria apakah pernyataan atau argumen tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan dan argumen adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ketiga teori kebenaran ini harus dijadikan landasan berpikir ketika kita berargumen. Perihal lain yang tidak boleh dilupakan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan narasi deskripsi dan eksplanasi. Menurut Rocky, ketika kita mendeskripsikan sesuatu, kita tidak bisa memberikan pernyataan tesis dari sebuah narasi yang kita ucapkan, sedangkan ketika melakukan eksplanasi terhadap sebuah hal berarti kita melihat keterkaitan antara variabel dengan lingkungan pendukungnya sekaligus menguji variabel tersebut sehingga menjadikannya sebuah eksplanasi. Rocky mencontohkan bagaimana cara kita mendeskripsikan dan menjelaskan sebuah spidol. Mendeskripsikan spidol berarti hanya mengutarakan warna spidolnya, bentuk fisik spidolnya, posisi spidolnya di mana, dan lain sebagainya. Tetapi, ketika kita memberikan eksplanasi tentang spidol, kita melihat apa kegunaan spidol tersebut, siapa yang menggunakan spidol tersebut, bagaimana rantai produksi spidol tersebut, siapa yang membuatnya dan lain sebagainya.NPembedaan antara deskripsi dan eksplanasi ini menjadi penting dalam berargumentasi agar kita tidak salah sasaran dalam menjelaskan persoalan yang terkait di dalam perdebatan argumen tersebut. Persoalan terakhir yang tak kalah penting untuk diperhatikan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan term abstraksi dan universal. Abstraksi menurut Rocky berarti melucuti segala identitas dan atribut yang melekat pada suatu hal hingga ia menjadi konsep yang paling fundamental. Sedang yang disebut dengan universal, adalah menambahkan segala bentuk atribut dan kategori pada suatu hal. Rocky mencontohkan abstraksi dari seorang yang bernama Hasan misalnya adalah being. Sedangkan Hasan menjadi universal apabila dilekatkan dengan segala identitas, kategori dan atribut seperti Hasan yang seorang dokter menjadi Hasan yang seorang dokter ahli bedah dan seterusnya sebebas kita menambahkan variabel pada hal yang kita argumentasikan. Pembedaan ini menjadi penting agar kita tak lagi awam dalam beragumentasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan validitasnya secara logis.
BERPIKIR KRITIS SEBAGAI UPAYA MEMULIHKAN
AKAL SEHAT PUBLIK
Kelangkaan akal sehat publik dapat dengan mudah
ditemukan pada media sosial. Media sosial idealnya menjadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan, namun kenyataan yang kita jumpai justru kebalikannya. Hari-hari ini media sosial malah menjadi tempat berkembangnya kebencian, provokasi dan segala bentuk ketidakadilan. Realitas ini mau tidak mau mengantarkan kita pada pertanyaan tentang keberlangsungan demokrasi. Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan akademis, tetapi ia beririsan langsung dengan kehidupan politik, kehidupan bernegara. Absennya kritisisme berkontribusi pada fenomena pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan akademis. Menurut Rocky, masyarakat saat ini cenderung abai pada substansi dan berfokus pada sensasi. Saat ini momen berpikir kritis adalah sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya mempertanyakan apa yang terjadi. Menurut Rocky bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis. Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika, namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat terjadi karena gangguan kognisi pada mental seseorang. Rocky mengungkapkan bahwa gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan. Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan bias kognisi telah mendominasi. Rocky menyatakan bahwa logika dan kontrol terhadap bias kognisi adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi di mana seseorang malas untuk mengambil risiko dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya, seseorang tidak lagi mengandalkan penalaran tetapi memilih untuk melandaskan argumennya pada fundamen-fundamen tertentu seperti metafisik, teologis dan kultural. Menurut Rocky, setidaknya ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai dalam memastikan Aktivitas berpikir kritis yaitu: bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme terhadap nilai. Kritik adalah hal yang esensial dalam menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis. “Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis berbagai macam problem, menganalisis artinya melakukan kritik,” ungkap Rocky. Kritik adalah hal yang penting dalam upaya melakukan analisis, namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai kesia-siaan. Padahal menurut Rocky solusi bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya kita sedang menjalankan fungsi primer sebagai manusia. Berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan. Rocky mengungkapkan bahwa makna demokrasi adalah menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat. Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap mandat demokrasi itu sendiri. Kritik melekat dalam demokrasi. Rocky mengungkapkan bahwa demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik artinya menolak demokrasi. Saat ini kita dihadapkan pada sebuah kondisi di mana terjadi ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas sebuah persoalan. Sebuah kondisi di mana masyarakat cenderung cepat beraksi daripada terlebih dahulu melakukan refleksi. Rocky menyatakan bahwa kritik haruslah tiba pada lapisan terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan, karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar dari wilayah doktrinasi.