Anda di halaman 1dari 168

PIKIRAN KEBANGSAAN

ROCKY GERUNG
MERAWAT REPUBLIK MENGAKTIFKAN AKAL
SEHAT

Indonesia hari ini...


Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota
menebar moral. Ada anak muda memetik dawai
mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci
tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di
pentas dunia berkali kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan
pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit
menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada
relawan bergegas ke medan bencana tanpa
menyewa wartawan.

Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of


Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu
menghendaki perwujudan Republic of Hope itu,
secara saksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa
politik lebih memilih memelihara Republic of Fear,
karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan.
Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato,
selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang
diatur para broker. Hak Asasi Manusia
dipromosikan kemancanegara, tetapi kejahatan
kemanusiaan didalam negeri, diputihkan untuk
modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh
rakyat‫ל‬tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan.
Mengapung diatas bara sosial itu, sambil
membayangkan siasat politik suksesi, adalah
agenda harian elit politik hari-hari ini. Politik tidak
diselenggarakan diruang publik, tetapi
ditransaksikan secara personal. Tukar tambah
kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi
ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme
individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam
bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat!
Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk
sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan
politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor
menatap kamera, karena yakin bahwa putusan
hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila
menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga
jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah
keputusan yang transaksional. Kepentingan
bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan
sebagai urusan “uang tunai". Seorang calon kepala
daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD
kepada para pemodal, bahkan sebelum ia
mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD
daerah umumnya condong membengkak pada sisi
pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang
pada sisi pengeluaran pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah
memahami bahwa “human development index” kita
tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi
bupati lebih didahulukan ketimbang membangun
puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap
kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan
sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan.
Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah
bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke
partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik
gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi
subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan
bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan
warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan
agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik.
Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka
saudara berhak memperoleh sistem politik yang
memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya
patuh pada hukum, maka saya berhak menerima
rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang
kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak
hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang
pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan
sistem politik, kita berhadapan dengan
persekongkolan politik kartel yang memonopoli
distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan
oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya
melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling
menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai.
Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit
yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci,
karena masing-masing terlibat dalam persekutuan
pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang
menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini
tidak ada hubungannya dengan politik ideologi,
karena relasi personal telah menyelesaikan
persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena
pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya,
sistem kepartaian modern dan sistem parlemen
kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk
membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena
kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang
dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai
politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik
parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan
mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya
mempertahankan kursi politik individual, dan bukan
karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik
pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat,
tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular.
Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen
terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi
tanpa peduli, minim etika, parlemen terus
menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan
arogansi.

DEFISIT AKAL DI PARLEMEN ADALAH SEBAB DARI


DEFISIT ETIKA

Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi


defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini:
sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis
suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan
diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang
menggonggongi tuannya, politisi memutus
hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai
berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada
rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor
inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak
dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar
tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif
bahkan berlangsung sampai urusan “titik dan koma”
suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu
sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal
ideologis, karena memang motif koruptiflah yang
bekerja di bawah meja-meja sidang. Asal-usul
politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya
kurikulum “kewarganegaraan” dalam semua jenjang
pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak
mengorientasikan murid pada kehidupan publik.
Konsep "masyarakat di dalam kurikulum sekolah
tidak diajarkan sebagai “tanggung jawab merawat
hidup bersama”, tetapi lebih sebagai kumpulan
ajaran moral komunal yang
pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat.
Konsep “etika publik” tidak diajarkan sebagai
keutamaan kehidupan “bermasyarakat”.
Memang,amandemen konstitusi tentang tujuan
pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan
pendidikan “akhlak” ketimbang “akal”.
Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik
sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak
dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka
berargumen. Sangatlah bertentangan misi
pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang
mewajibkan kita “melihat dunia" melalui
“kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya
filsafat publik kita semakin merosot menjadi
pandangan sempit dan picik, karena pertarungan
kecerdasan di parlemen di dalam membela ide
masyarakat bebas tidak dapat berlangsung.
Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang
ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika
“nasionalisme”, dan karena itu kedudukan primer
konsep “warganegara” tidak cukup dipahami.
Kewarganegaraan” adalah ide tentang tanggung
jawab warganegara lintas politik, lintas komunal.
Realisasinya memerlukan pemahaman
fundamentalfundamental tentang etika
parlementarian, yaitu bahwa “kedaulatan rakyat”
tidak pernah diberikan pada “wakil rakyat”. Yang
diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu
isu yang secara spesifik didelegasikan pada “si
wakil”, dan karena itu dapat ditarik kembali setiap
lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa
"kedaulatan rakyat" tidak dengan“mayoritarianisme”.
Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk
mencegah demokrasi menjadi permainan sama
politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya
kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam
statistik atau dalam hasil Pemilu. Defisit politik
warganegara juga adalah akibat dari surplus politik
feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal
itu masuk dalam politik publik melalui langgam
perpolitikan istana, ketika
“kesantunan”menyisihkan“kritisisme”. Dan kultur itu
terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden.
Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh
membuat kuping Presiden menjadi merah.
Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu
tidak menemukannya lagi dalam masyarakat
modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus
mengimajinasikan dirinya sebagai “raja”, “tuan”,
“pembesar” dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan
itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru
merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari hari
ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam
idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik,
bahkan dalam politik angka keramat. Didalam kultur
feodalistik, percakapan politik tidak mungkin
berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada
hirarki kebenaran didalam diskursus, tetapi bahkan
diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri
dengan “aturan politik feodal”, aturan yang tak
terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila
kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi
yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik
yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih
mental feodal. Konsolidasi demokrasi memang
sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi
yang pernah kita himpun untuk menghentikan
otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk
menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan
oleh sifat politik reformasi yang amat “toleran”,
sehingga memungkinkan seorang jenderal
pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan
seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi
demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang
tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber
sebuah talkshow yang membahas arah
pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran
itu telah meloloskan juga obsesi obsesi politik
komunalistik yang hendak mengatur ruang politik
publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam
keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini
menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi
berdiri di atas politik uang dan politik ayat,
kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan
keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur,
atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak
kelelahan untuk bertahan.

TETAPI REPUBLIK HARUS TETAP BERDIRI

Republik adalah ide minimal untuk


menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan
kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan
politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi
intelektual untuk merawat konsep “publik” pada
kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik
terhadap teokratisasi institusi-institusi publik.
Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di
dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan,
yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan
politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis.
Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan
kaum absolutis, melainkan untuk membantu
mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat
kalkulasi logis. Mereka yang “ragu-ragu” inilah
sesungguhnya yang dapat “membiarkan” demokrasi
dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis.
Golongan “ragu-ragu” ini bukan saja mengalami
kecemasan di dalam membayangkan suatu
masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda
membayangkan suatu “keuntungan moral” di dalam
suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat
semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan
oleh politik fundamentalisme untuk menebar
hegemoni moral mayoritas. Menerangkan politik
sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti
mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di
dalam Republik, status primer seseorang adalah
sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki
sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi
status privat tidak mungkin diajukan untuk
mendukung argumentasi publik. Republik hanya
berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan
agama warganegara misalnya, bukanlah urusan
negara. Negara tidak dapat diperalat untuk
menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin
hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara.
Dan sebagai hak, setiap orang bebas
mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus
bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan
moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila
kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka
negara menghukum atas dasar hukum publik, dan
bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus
dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan
politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan
sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami
oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum
pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi
mendengar pejabat publik mengucapkan
kebodohan karena memaksakan pandangan moral
pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus
perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah
pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.
Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan
konsekwensi politik dari ide Republik, terutama
disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan
terhadap kondisi antropologis bangsa ini.
Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak
mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global,
modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik
identitas telah menjadi reaksi logis dari
kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan
politiknyalah yang menjadi isu utama dinegeri ini.
Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat
berbasis pada paham-paham komunal, juteru
dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan
di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika
kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan
sistem politik, pada saat yang sama kita sudah
berencana memenangkan pemilu dengan
peralatan-peralatan primordial, terutama agama.
Didalam Republik, kita menyelenggarakan
pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui
perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga
dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme,
kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif",
melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka
kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita
bisa bercakap-cakap. Kewarganegaraan adalah
percakapan diantara mereka yang tidak fanatik.
Republik adalah lokasi politik yang menampung
semua proposal sekuler. Disini kita harus pahami
ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi
politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan
etis. Didalam Republik, “suasana” percakapan
publiklah yang lebih utama ketimbang
fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan,
birokrasi). Didalam Republik-lah manusia
menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”,
merundingkan kepentingan bersama, memutuskan
keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar.
Proses ini mengandaikan kebebasan dan
kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan
kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam
ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal,
pandangan moral komunal, harus dikonversi ke
dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan
sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan
kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan
diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu
adalah falibilis, bukan absolutis. Kemajemukan dan
“suasana Republik”, sesungguhnya telah kita miliki
jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah
Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang
sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu
menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini,
kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan
karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk
tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air.
Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal soal
akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi,
manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk
sesuatu "yang sosiologis” (tanah, bangsa dan
bahasa), karena paham bahwa "yang teologis” tidak
mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928,
tidak terobsesi pada “sumpah keempat”: beragama
satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang
dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah
Pemuda kini hanya diingat dalam tema
“kebangsaan” yang bahkan disempitkan menjadi
"keberagaman dan keberagamaan”keberagamaan”
(dan karena itu perayaannya Cuma diisi oleh petuah
dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan
filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan
pertikaian politik agama dalam penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945. Argumen ini harus kita
ajukan untuk memastikan bahwa sumber
kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah
disediakan 17 tahun sebelum republik
diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah
dipelihara oleh "masyarakat sipil”, jauh sebelum
diformalkan oleh "masyarakat politik” melalui
konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi
warna “agamis” pada penyelenggaraan negara
(melalui debat panjang di Konstituante), juga
dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern,
yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang
berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang
Dasar 1945 menegaskan itu:
"Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" . Ide
Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang
tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik
adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran
rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik
adalah bahasa yang dapat diperlihatkan
konsekwensinya "di sini dan sekarang”, bukan
“nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral
harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan
historis, bukan dari doktrin doktrin metafisis. Bahwa
warga negara hanya terikat pada ayat-ayat
konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa
fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama
misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu
untuk keperluan administrasi kependudukan dan
bukan untuk keunggulan kedudukan suatu
kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi,
identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan),
hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan
alasan pembedaan warganegara.warganegara.
Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan
sebagai minoritas dalam agama atau preferensi
seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi
warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang
harus kita perangi, karena ia menyebabkan
permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional.
Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama,
maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau
bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama
adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak.
Negara tidak berhak memaksakan kewajiban
beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati
nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian
keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang
hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya.
Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari
kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam
demokrasi kita tidak mungkin menghakimi
seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain.
Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak
diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka
negara harus bertindak imparsial didalam melayani
hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah
negara berkewajiban mengedarkan etika publik,
yaitu pendidikan kewarganegaraan yang
membiasakan warganegara hidup dalam politik
kemajemukan. Kedaulatan Rakyat berarti bahwa
keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan
keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan
bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan
kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat
adalah bahwa semua orang setara dalam
kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu
keputusan politik harus diambil dalam ruang
antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang
kebenaran doktrinal. Di dalam republik, “kebenaran”
disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan
keyakinan. Itulah sebabnya “kebenaran” dapat
dibatalkan dengan argumen, dan bukan
dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi
epistemologis bahwa “kebenaran" itu harus satu,
dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah
membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme.
Dan bila sekarang "kebenaran” itu hendak
dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis,
maka kita sungguh-sungguh sedang
mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis.
Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin
meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini,
suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang
kita pilih. Cara pandang politik semacam itu
sesungguhnya berakar di dalam antropologi
komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam
kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam
pikiran konservatif yang memandang individu
sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya
tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme
hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak
ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari
alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan
komunitas memerlukan pengaturan doktrinal.
Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran
bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang
kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik
rakyat oleh partai partai berbasis agama, yang
mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti
parameter-parameter komunal. Secara kongkrit,
pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.
Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu
dalam berbagai aturan publik dengan
memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan
parlemen membuat undang undang. Politik adalah
upaya menguasai ruang publik, Demokrasi memang
toleran terhadap kontestasi pikiran.
Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang
publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis:
hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang
lain tidak boleh ada!
Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme
ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan
konstitusi kita, yaitu melalui doktrin “negara
integralistik”, suatu pandangan feodalistik yang
dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde
Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital.
Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung
karena akar akar budaya feodal itu memang ada di
dalam masyarakat kita. Tetapi bentuk komunalisme
hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme
religius yang memanfaatkan keterbukaan
demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol simbol
agama yang memang kuat tertanam dalam
antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin
terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan
jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: “itu
rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini,
kita tahu ada problem serius tentang
kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran
terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di
sekolah sekolah, di dalam kurikulum dan
organisasi-organisasi masyarakat. Acuan
konsep-konsep publik yang seharusnya
menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan
justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada
generasi yang baru tumbuh. Politik kita hari-hari ini
sedang menjalankan “crypto politics”. Elit
menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal,
untuk untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan.
Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi
bagian dari suatu komunitas religius merupakan
kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status
publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan.
Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus
demokrasi menjadi tempat nyaman untuk
mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan
peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai
kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte
paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah
Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika
“mayoritarianisme” itu, dengan menerima
argumen-argumen privat dalam memutuskan
urusan publik. Benar bahwa sistem demokrasi
membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi.
Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis,
intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama
dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan
kebebasan berpendapat?
Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas
sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu
memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa
manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi
yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di
akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang
harus disimulasikan terus menerus, untuk
menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki
pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang
sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi
satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara.
Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan,
didalam upaya memelihara kehidupan bersama
berdasarkan apa yang bisa didistribusikan didunia,
dan bukan apa yang akan diperoleh diakhirat.
Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan
harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena
melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan.
Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara
untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara
mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.

DAN KITA ADALAH WARGANEGARA DUNIA

Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan


mental politik kita hari-hari ini adalah masalah
globalisasi.Ketakutan untuk masuk dalam
percakapan politik global telah menghasilkan reaksi
atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan
kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut
api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat
menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik
koruptif dan mental feodal bangsa ini.
Nasionalisme menjadi semacam "mantra
penangkal bala” setiap kali kita membaca
laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita
yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang
sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak
asasi manusia dan kebebasan pers oleh
masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi
nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis,
“in-the-making”, tetapi kita menyimpannya sebagai
benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat
politik. Nasionalisme adalah identitas publik yang
seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan
sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi.
Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan
“national brand”, dan bukan ditampilkan sebagai
psikosis pasca-kolonial. Dan khusus menyangkut
isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik.
Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk
memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah
berwujud di belahan bumi manapun. Kita
mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi
sesuatu yang adanya hanya dibuku-buku filsafat.
Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus
diberikan, kita justeru menolak mengajukan
marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan
malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra
moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua
ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus.
Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak
pernah paham logika sesungguhnya dari
susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika
dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib” terasa lebih
sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang
dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang
dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi
stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap
mengedarkan kebebasan individu atau
mengucapkan dalil dalil ekonomi pasar. Kita tidak
merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena
kita lebih mengandalkan emosi yang panas
ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi
semacam ini tidak mendidik rakyat untuk
mengucapkan argumen, karena memang hanya
dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen. Di
sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu
memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat
palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat
kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan
rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem
abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan
di dalam politik distribusi.Pemerintah yang korup, di
dalam sistem ideologi apapun, pasti
menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang
efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme
di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai
perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa
korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara
dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat
menyusun kombinasi paling rasional antara peran
pasar dan negara dalam melayani warganegara.
Obsesi kita tentang “ke-Indonesia-an” hari-hari ini,
tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen
historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi,
dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada
kebutuhan politik masakini untuk mewadahi
“kemajemukan baru”, yaitu kemajemukan yang
timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi
global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering
berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya
demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai didalam
kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan
sosial nyata. Perkembangan “ruang politik digital”
itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru.
Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari
sensor institusi-institusi formal negara, dan karena
itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah
memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin
juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital,
bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan
batu kaum fundamentalis, tapi untuk
sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa
surga juga dapat dibayangkan teknologis, dan
diselenggarakan secara ekonomis. secara Tetapi
politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam
ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh
berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang
digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi
subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata
dari hegemoni politik konservatif fundamentalis.
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi,
ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik
fundamentalis untuk menimbun dan menyebar
kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas
bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik,
sementara markasnya tetap berada di dalam ruang
sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas
sekolah, di rumah-rumah ibadah. Dalam konteks
solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak
mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi
primordial. Kita tidak menjadi “manusia” hanya
karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan.
Kita menjadi manusia karena kita terikat pada
problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan
krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman
pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa
hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan
peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru
dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh
kewajiban global untuk mengatasi bencana alam
dan memberi perlindungan pada para pencari suaka.
Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap
masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis
di jalan buntu. Mengucapkan kemanusiaan sebagai
“solidaritas etis” harus memungkinkan setiap orang
keluar dari koordinat mentalitas komunalnya.
Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan
untuk mempercakapkan kemungkinan
kemungkinan sosiologis, dan bukan
kepastian-kepastian teologis. Menerima politik
sebagai “ruang antagonisme”, berarti memahami
peluang untuk suatu konfrontasi etis demi
alasan-alasan keadilan. Karena itu politik
mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu
berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan
bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda
tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh
“pahala akhirat”, melainkan untuk menjamin
keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus
dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia
hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai
tibanya hari kiamat. Tentu saja kita masih masih
perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin
identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal
kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman
primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan
perlu menggosok cermin itu agar kilaunya
menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok.
Tetapi sekali kita melangkah keluar rumah,
narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Didunia
nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah
sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan
doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat
ditunggu penyelesaiannya diakhirat. Demikian juga
kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh
komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender,
bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!
So, do you speak Pluralism? Do you speak
Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang
berbicara tentang “politics of recognition”. Dan itu
berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh
kekuatan kekuatan kekuasaan, kapital dan
kebudayaan. Dasar etis dari “politik pengakuan” ini
adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya
karena kedudukannya yang “minoritas” dalam
masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan
istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi
pengakuan atas hak “affirmative action” bagi politik
perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita
membela hak-hak "queer”, karena orientasi seksual
adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak
dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Didalam diktum yang paling keras, negara justeru
diadakan untuk melindungi kelompok minoritas.
Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih
menuntut pengakuan, adalah kelompok yang
sebetulnya bermental minoritas.
Di Republic of Hope Kita menyelenggarakan
Republik bukan karena keunggulan teoretis dari
konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga
bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita
memilih Republik karena hanya sistem itu yang
mampu memelihara kemajemukan kita. Kita
menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat
tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari
persaudaraan warganegara. Indonesia hanya
bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak
ingin bersatu dalam agama, tatakrama dan busana.
Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa
berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan
bertengkar untuk soal-soal akhirat. urusan
Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam
situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan
proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus
memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia
modern yang dinamis. Dalam pergaulan global
itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak
Cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah
ke segala arah. Reaksi reaksi primitif itu hanya akan
menguras enersi mental kita, untuk akhirnya
menyerah pada kecepatan pikiran dunia. Di situlah
suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik
visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu
membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada
kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang
pemimpin.
Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan
imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang
pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan
kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat
dibayangkan dalam suatu psikologi harapan.
Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu
kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan
serba tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba
agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi
tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan
itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.
Pepatah Itali mengingatkan:
"Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah
monsterlah yang menguasai malam".
Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat,
bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of
Fear.
Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan
pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan
keadilan sosial menghendaki pemihakan negara.
Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh
melampaui Republic of Hope. Kita memelihara
Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah
pikiran individu memperoleh kesempatan untuk
diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat
diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang
membahayakan Republik. Kita memelihara Republik
karena kita ingin hidup dalam kesetaraan,
kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat
Republik dengan akal sehat, agar para monster
tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak
sepanjang malam. Karena besok, ada tugas
menanti di Republic of Hope.

JALAN IDEOLOGI DALAM NEGARA DEMOKRASI

Fantasi berbeda dengan imajinasi. Pada imajinasi,


obyek imajinasi digambarkan tanpa referensi masa
lalu. Sementara fantasi adalah pengulangan suatu
“kenikmatan” yang pernah ada, dan karena itu
hendak dipelihara sepanjang waktu. Ideologi
bekerja dalam fantasi. Tetapi bukan karena masa
lalu itu "pernah ada”, melainkan karena hanya itu
alasan untuk membayangkan suatu masa depan
yang fantastik. Ideologi mengkonsumsi hasrat yang
ia produksi secara berlebihan. Karena itu, “rasa”
haus adalah kondisi ideologi yang permanen.
Psikologi inilah yang mengaktifkan obsesi pada
kekuasaan. Membawa masa lalu kembali ke masa
depan, berarti menghentikan sejarah. Ia melihat
masa depan dalam psikologi kecemasan, tetapi
sekaligus dalam harapan bahwa ia akan “tiba di
sana”. Politics of Hope memang bekerja dalam
metafisika “the-not-yet”: kemungkinan selalu
menunggu. Tetapi untuk memberi kepastian kepada
"yang belum ada”, fantasi harus dibuat:
Bahwa “yang akan tiba” itu sesungguhnya “sudah
pernah ada”. Karena itu, sejarah harus ditulis. Maka
penulisan sejarah menjadi jalan ideologis untuk
mengefisienkan operasi kekuasaan kelak. Dari
sudut pandang ideologi, sejarah adalah politik yang
sedang dipersiapkan. Di sinilah politik mulai
-not-berkerja. Yaitu “mengamankan” jalan bagi “the
yet”, untuk tiba secara “agung”. Sejarah adalah jalan
yang dibuat bagi “Sang Agung". Maka rumus harus
ditetapkan: ada banyak “ada”, tetapi hanya boleh
ada satu Ada. Jalan lurus itulah yang melahirkan
absolutisme, karena pada praktek kekuasaan,
metafisika itu berubah menjadi suatu imperatif
politik: “ada yang lain, tidak boleh ada”. Bahkan
dengan tanda perintah (!), dibelakangnya. Di situ,
ideologi membeku menjadi ontologi. Tak ada
pluralitas, tak ada jalan alternatif. Ideologi menutup
fantasi tentang posibilitas dengan cara menolak
antropologi falibilisme. Demokrasi, karena sifat
antropologisnya, dengan sendirinya harus
dihentikan. Pancasila pernah ada di jalan itu. Yaitu
sebagai peralatan psikis untuk menyingkirkan
“kemungkinan yang lain”. Ia pernah ada sebagai
“satu Ada”, di Orde Lama, juga di Orde Baru. Trauma
itulah yang hendak dihilangkan hari-hari ini, yaitu
ketika kita tak memiliki fantasi alternatif untuk
"menemui masa depan”. Globalisasi adalah
kecemasan. Ia membuat kita gagap dan gagu.
Tetapi Pancasila juga belum pulih dari trauma,
untuk mampu secara utuh, menawarkan “kerangka
pikir” masa depan. Dalam kondisi hegemonik
finance capitalism, kemarahan pada peradaban
global” akan terasa sebagai frustrasi psikosomatik,
karena kapitalisme tidak lagi identik dengan
produksi dan akumulasi, melainkan lebih sebagai
persoalan semiotika konsumsi. Bahkan pada
tindakan revolusioner semacam “Duduki Wallstreet”,
ideologi bukan sponsor. Utamanya, karena fantasi
tentang keadilan tidak hendak dikembalikan pada
ordodoksi Marxisme. Teori determinasi ekonomi
telah beralih pada semiotika translasi: bahwa
kapitalisme telah menyatu dalam konsumsi
"pop-culture”, sehingga revolusi tidak lagi bermakna
tranformasi total. Akibatnya, harapan pada keadilan
sosial dalam Pancasila, tak terumuskan dalam
konstruksi hegemonik itu. Inilah soal utamanya:
memaksakan norma yang traumatik kepada kondisi
“politics of hope”, justeru mengundang balik
konfrontasi politik. Tetapi sebaliknya, tanpa acuan
sosial yang komprehensif, bangsa seperti susah
melangkah. Pancasila hari ini ada dalam obsesi
menjadi acuan sosial komprehensif, sesuatu yang
terlalu berat bagi mereka yang memelihara politics
of memory yang buruk, juga bagi mereka yang
memandang dunia dari politics of hope yang
berbeda. Memastikan dan memaksakan Pancasila
secara normatif, tak mungkin dengan mengaktifkan
politik stigmatik seperti pernah dilakukan di waktu
lalu. Kesulitan ini harus diperhatikan mendahului
semua keinginan politik yang sarat retorik hari-hari
ini. Pertanyaan tentang isi filosofi Pancasila tak
mungkin sekedar dijawab dengan retorika : “bukan
ini bukan itu”, atau “anti ini, anti itu”. Terlebih bila
diskursus tentang Pancasila dikendalikan oleh
klaim genealogis yang posesif, bahwa “hanya kami
yang paham keaslian Pancasila”. Pertengkaran
berbasis "hak sejarah” adalah pertanda bahwa
ideologi memang tak komprehensif. Ideologi harus
diterangkan melalui kerangka materialnya, yaitu
sebagai manifestasi dari suatu pembentukan sosial
yang radikal. Kita bisa bandingkan proses itu
dengan pembentukan satu sila Revolusi Perancis:
“Kesetaraan, Persaudaraan, Kebebasan”. Sosiologi
dibelakang sila itulah yang menjadikannya menetap
sebagai “prinsip solidaritas” rakyat Perancis. Versi
Albert Camus, bahkan membekaskan radikalitas itu
ke tingkat filosofi: “Perlawanan, Pemberontakan
dan Kematian". Sakralisasi Pancasila belum
sedalam itu.Lepas dari kondisi
psiko-politiko-historis itu, Pancasila itu sendiri
masih memerlukan “penguatan metodologi”, bila ia
hendak diterangkan sebagai sebuah diskursus
ideologi. Artinya bukan saja tafsir “bijaksana”
terhadap sila- silanya yang perlu diusahakan,
melainkan juga konstruksi koheren dari kaitan antar
silanya. Sebab, sebuah ideologi adalah jalan pikiran
yang disusun logis, tak boleh mengandung
kontradiksi.Ideologi "terbuka" sekalipun, harus
diperlihatkan dalam susunan yang “tertutup”, yaitu
dalam metodologi yang teguh. Artinya, Pancasila
harus siap diuji secara akademik bila hendak
diajukan sebagai suatu “jalan pikiran”. Saya
berpendapat bahwa Pancasila, sebagai diskursus
ideologi, tak cukup kuat untuk diuji dalam debat
akademik yang ketat. Terutama karena
kecenderungannya untuk menyerap “semua
golongan”, maka Pancasila lebih tepat disebut
sebagai “kerangka kebudayaan”, ketimbang “dasar
negara”. Ini tentu lain soal dengan ketetapan politik
yang menyatakan Pancasila sebagai dasar negara.
Justeru pembelaan yang meledak-ledaklah yang
memperlihatkan kelemahan metodologis dari
Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila yang tidak
diterangkan dengan argumentasi yang lurus dan
tuntas, justeru akan mengalami defisit filosofis bila
ia hanya dibela berdasarkan sentimen nasionalisme
yang tinggi. Menghadapkan Pancasila pada
globalisasi, terorisme, dan politik identitas, sekedar
sebagai "benteng moral” kebangsaan dan kejayaan
masa lalu, tentu bukan cara cerdas untuk
meyakinkan keunggulan alam pikiran yang
dikandung Pancasila. Bijak tak sama dengan logis.
Pendekatan yang terlalu fungsional terhadap
Pancasila, justeru mengurangi fungsi sistem
demokrasi sebagai mekanisme terbuka dalam
menyelesaikan konflik politik.
Demokrasi bekerja mengolah ruang politik agar tak
dihuni secara permanen oleh doktrin. Demokrasi
menyediakan ruang kompetisi, tetapi bukan untuk
diisi oleh obsesi-obsesi metafisik. Di sinilah ujian
pertama bagi Pancasila: kompatibelkah ia dengan
sistem demokrasi yang justeru menolak finalitas?
Pancasila yang digambarkan sebagai “pandangan
hidup” bangsa, terasa terlalu ontologis dalam ruang
lentur demokrasi. Republik adalah cara hidup
bersama, tetapi tujuan hidup individu hanya dapat
diselenggarakan dalam kultur demokrasi, yaitu
kultur yang mempertahankan kondisi falibilis masa
depan. Pancasila tidak dapat dibela secara
reaksioner, karena demokrasi memungkinkan
pikiran berayun dalam kemungkinan. Seorang Badui
pasti tak ingin tidur di ranjang Procrutes. Suatu
gambaran akademis tentang "susunan pikiran”
Pancasila, memper- lihatkan bahwa “ideologi” itu
adalah ramuan yang berisi berbagai “alam pikiran
dunia”. Tidak khas negeri ini. Pada semua sila-nya,
unsur-unsur “asing” terlihat jelas: “monoteisme”,
“humanisme”, “nasionalisme”, “demokrasi”,
sosialisme”. Interpretasi Sukarno tentang "masa
depan di masa lalu”, mengarahkan asal-usul
Pancasila kepada kebijaksanaan hidup nenek
moyang negeri ini. Dalam pencarian nasionalisme
itu, Pancasila harus dibayangkan dalam metafor
atavistik: "digali dari dalam bumi Indonesia”. Tetapi
mudah diterangkan bahwa Sukarno pada zaman itu,
justeru banyak membaca “alam pikiran barat”,
sumber yang lebih dekat dengan alam pikiran
modern, dalam keperluan untuk mengevaluasi
kondisi kolonial. Pada kondisi struktural kolonial,
ide keadilan sosial adalah lebih dekat pada
Marxisme, ketimbang kebijaksanaan
"gotong-royong” yang berkonteks terlalu kultural.
Juga dapat dipikirkan bahwa gagasan nasionalisme
pada sila ketiga, tak mungkin lepas dari lalulintas
pikiran Eropa yang menumbuhkan ide otonomi
teritori sejak abad 18. Demikian juga ide demokrasi
dan humanisme yang terus tumbuh setelah dunia
barat menyelesaikan revolusi nasional di Amerika
dan revolusi sosial di Perancis, tentu dikenal baik
oleh Sukarno. Bahkan konsep monoteisme pada
sila pertama, jelas bukan khas tanah air.
Monoteisme sudah berkembang matang di dunia
barat, pada saat animisme dan panteisme menjadi
pegangan kepercayaan nenek moyang kita. Sukarno
membaca dunia, dan Pancasila tak sepenuhnya
"digali dari bumi Indonesia”. Tak ada yang perlu
disesali dalam dunia ide. Lalulintas pikiran adalah
sejarah bersama manusia. Justeru karena itu ada
solidaritas global menghadapi penindaasan dan
ketidakadilan kolonial. Tetapi justeru juga di situ,
kultus nasionalisme bertumbuh. Yaitu pemujaan
berlebih terhadap "identitas nasional”, dengan
akibat tumbuhnya benih fasisme dalam kultur
politik kita. Demokrasi berkali-kali dihentikan oleh
kultur sejenis itu. Ketakcukupan metodologis pada
“Ideologi Pancasila” harus diterangkan pada
kerangka “context of discovery” susunan pikiran itu.
Artinya, sejarah pembentukan nasionalisme kita
tidak berbasis pada semacam "perjuangan kelas”,
juga tidak pada “pembentukan modernitas”,
sebagaimana terjadi pada sejarah bangsa lain.
Suatu kondisi poskolonial hari-hari ini bahkan
seperti kehilangan metodologi, sebagai suatu “alat
penjelas”, karena kultur kolonial itu tak menjejak
dalam historitas kita hari ini. Sebaliknya, feodalisme
telah kembali menyusup dalam kultur politik, pada
lapis birokrasi, partai dan komunikasi warganegara.
Bahkan di Perguruan Tinggi, reproduksi kultur itu
telah melahirkan “tubuh-tubuh yang membungkuk”,
yang ditundukkan oleh hirarki jabatan, dan bukan
oleh kapasitas kecerdasan. Tubuh otentik, tubuh
yang tumbuh karena pikiran bebas, sering takluk
pada tubuh metafisik, tubuh yang dikuasai doktrin
kesolehan. Dalam sejarah pembentukan
nasionalisme Jerman, misalnya, kebudayaan (kultur)
telah dijadikan unsur ideologis untuk mengikat
solidaritas yang obsesif demi menghidupkan
kembali keagungan masa lalu bangsa itu, setelah
dikalahkan dalam perang, dan demi membentengi
identitas bangsa dari peradaban (civilization) yang
dipandang oleh bangsa Jerman sebagai “kekuatan
asing”. Ideologi memerlukan fantasi, bukan sekedar
dalam dimensi nostalgia, tetapi juga dalam obsesi
identitas. Politik identitas inilah yang kelak
mensponsori kampanye ultranasionalis fasis dalam
upaya memanipulasi kecemasan dan keputusasaan
bangsa. Teorisasi mutakhir dan filsafat romantik
diajukan untuk semacam menyelesaikan
kecemasan antropologis itu. Tetapi ketika
kekuasaan telah diperoleh, filsafat dengan cepat
berubah menjadi aturan rezim. Regimentasi
menghasilkan regulasi.
Regulasi menghasilkan politik eugenik. Katastrofi
inilah yang selalu menandai hasil akhir politik
ideologi di abad lalu. Kesimpulan Pancasila hari ini
menjadi “kebutuhan” atas sebuah “filsafat politik”
yang dibayangkan dapat menghasilkan “etika politik”
untuk mengatur kesehatan republik. Persoalannya
adalah: kesehatan sebuah republik tidak ditentukan
oleh diet ideologi. Apalagi sekedar membebankan
infeksi moral kepada individualisme, liberalisme,
pluralisme dan sekulerisme. Pancasila bukan
ideologi reaksioner. Ia justeru kekurangan
perspektif bila sekedar diaktifkan sebagai “ideologi
penangkal”. Juga bila ia diadministrasikan lagi ke
dalam “kurikulum penataran”. Kita memerlukan
lebih banyak demokrasi untuk menghidupkan
individualisme. Bukan untuk memuliakan
“kepentingan diri”, melainkan untuk menghidupkan
kebebasan menjadi diri sendiri. Solidaritas yang
rasional hanya tumbuh diantara manusia merdeka.
“Kebebasan itu ibarat buah bergizi. Baik untuk
tubuh. Tapi hanya lambung yang sehat yang
mampu mencernanya”juga dalam obsesi identitas.
Politik identitas inilah yang kelak mensponsori
kampanye ultranasionalis fasis dalam upaya
memanipulasi kecemasan dan keputusasaan
bangsa. Teorisasi mutakhir dan filsafat romantik
diajukan untuk menyelesaikan kecemasan
antropologis itu. Tetapi ketika kekuasaan telah
diperoleh, filsafat dengan cepat berubah menjadi
aturan rezim.
Regimentasi menghasilkan regulasi. Regulasi
menghasilkan politik eugenik. Katastrofi inilah yang
selalu menandai hasil akhir politik ideologi di abad
lalu. Kesimpulan Pancasila hari ini menjadi
semacam “kebutuhan” atas sebuah "filsafat politik”
yang dibayangkan dapat menghasilkan “etika politik”
untuk mengatur kesehatan republik. Persoalannya
adalah: kesehatan sebuah republik tidak ditentukan
oleh diet ideologi. Apalagi sekedar membebankan
infeksiinfeksi moral kepada individualisme,
liberalisme, pluralisme dan sekulerisme. Pancasila
bukan ideologi reaksioner. Ia justeru kekurangan
perspektif bila sekedar diaktifkan sebagai “ideologi
penangkal”. Juga bila ia diadministrasikan lagi ke
dalam “kurikulum penataran”. Kita memerlukan
lebih banyak demokrasi untuk menghidupkan
individualisme. Bukan untuk memuliakan
“kepentingan diri”, melainkan untuk menghidupkan
kebebasan menjadi diri sendiri. Solidaritas yang
rasional hanya tumbuh diantara manusia merdeka.
“Kebebasan itu ibarat buah bergizi. Baik untuk
tubuh. Tapi hanya lambung yangsehat yang mampu
mencernanya”.- J.J. Rousseau -.
HOAX DAN DEMOKRASI

Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka


memiliki peralatan lengkap: statistik, intelijen, editor,
panggung, media, "Hoax terbaik adalah versi
penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan
lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media,
dan dst...” Itu inti cuitan saya beberapa hari lalu.
Dan, dari satu kalimat itu, kontroversi masih
berlanjut sampai hari ini. Apakah saya pro berita
bohong? Bukan itu soalnya. Yang saya persoalkan
adalah sikap reaktif pemerintah terhadap
“maraknya” adu bohong di media massa. Padahal
pemerintah sendiri tak memiliki sistem evaluasi
opini publik. Periksalah Secara serampangan
pemerintah memblokir sumber informasi tanpa
ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi info
bohong, misinformasi, atau disinformasi?
Demarkasi yang diajukan Cuma satu: sumber
informasi yang "bukan mainstream” harus dicurigai
sebagai hoax, Sikap inilah yang justru
membahayakan demokrasi karena publik diarahkan
untuk hanya percaya kepada "media mainstream”.
Padahal, justru melalui media mainstream itulah
kekuasaan menyelundupkan kepentingan
hegemoninya. Media adalah bagian dari kurikulum
legitimasi kekuasaan. Dalam negara demokratis
sekalipun, dalil itu bekerja sempurna: kekuasaan
selalu berkehendak absolut. Mengendalikan
informasi adalah cara “dingin” untuk melemahkan
oposisi.
Masalah muncul bila pengetahuan dan akal politik
pemerintah tak lagi mampu mengendalikan
informasi. Publik segera mengenalinya sebagai
“krisis legitimasi”. Dalam kondisi itu, hoax
mengambil alih diskursus politik publik. Begitulah
sistem demokrasi bekerja demi mengukur
legitimasi kekuasaan: surplus atau defisit? Sekadar
contoh hari-hari ini: apakah soal kegagalan tax
amnesty adalah hoax atau bukan? Mengapa
pemerintah tak satu pandangan dalam memberi
penjelasan? Apakah soal “buruh Cina” itu bohong
atau setengah bohong? Mengapa “bahasa tubuh”
pemerintah penuh nuansa? Apakah kenaikan tarif
surat kendaraan bermotor berasal dari usulan polisi
atau menteri keuangan?
Mengapa keduanya terkesan mengelak?
Jadi, bila informasi kehilangan daya persuasi, itu
pertanda ada koordinasi yang kacau dalam
pengendalian opini publik. Dalam soal berita
Bloomberg yang disadur Antara (dan dikutip “media
mainstream”) demi memaksakan tafsir yang positif
bagi prestasi pemerintah, bukankah kita
menyaksikan semacam penghinaan akal publik”?
Informasi adalah mata uang demokrasi. Pers
mengedarkannya sebagai opini publik. Dalam
peredaran itulah informasi dapat menjadi
disinformasi: informasi tiba dengan pesan yang
keliru. Tentu karena diselewengkan atau karena
ketakcukupan nalar publik untuk mengolahnya.
Namun yang paling menjengkelkan adalah bila
penyelewengan itu dilakukan karena mengira akal
publik dapat dibohongi (pakai) media mainstream.
Pertanyaannya adalah siapa yang berkepentingan
dengan penyelewengan itu? Dalam etika politik,
berlaku dalil niat baik tak perlu dibuktikan. Apakah
pemerintah berniat baik memberantas hoax? Tak
perlu dibuktikan. Yang perlu dipertanyakan adalah
mengapa perlu suatu “operasi khusus" dengan
institusi khusus untuk memburu hoax? Tentu ada
saja jawaban normatif pemerintah adalah demi
keutuhan, kesantunan, etika, dan seterusnya. Atau
dengan alasan yang masih harus dicari relevansinya:
Amerika Serikat dan Eropa juga sudah
mendeklarasikan perang terhadap hoax. Boleh saja
asal konsekuen dengan fakta yang ada: pelaku hoax
di Amerika Serikat justru media mainstream. Saya
tak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi politik sehat.
Tapi bila pemerintah tak punya sistem evaluasi
opini publik dan justru mengambil keuntungan
hegemonik dari "media mainstream" yang
dikondisikan untuk mendukung pemerintah, hoax
harus dibaca sebagai simbol krisis legitimasi. Hoax
adalah sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang
tumbuh. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah
harus membaca politik dari posisi orang ketiga:
kekuasaan yang tak lagi memiliki oposisi akan
kehilangan alat ukur legitimasi. Memang terlihat
upaya konsolidasi pemerintah untuk menambah
aset politiknya dengan “membeli” lahan oposisi.
Secara etik, itu melemahkan demokrasi. Demokrasi
memiliki mekanisme koreksi. Terlalu banyak
kebenaran dipromosikan berarti ada kebohongan
yang sedang disembunyikan. Dilihat dari perspektif
itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk
merusak demokrasi, tapi justru untuk menunda
konglomerasi kebenaran. Politik adalah konfrontasi
etik demi menghasilkan suatu “peristiwa”. Hoax
adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran.
Saya meninjau soal hoax ini dari perspektif
dekonstruksi demi rekonsolidasi demokrasi yang
kini merosot menjadi sekadar adu cacian dan olah
dendam. Kelak, sejarah akan menilai apakah kita
berhasil mengkonsolidasikan kembali demokrasi
melalui strategi berlapis atau gagal karena hanya
mampu menikmati tukar tambah kepentingan
sesaat hari ini.
DUA BELAS MENIT SETELAH PRABOWO DILANTIK,
SAYA KASIH KRITIK

Pertama Rocky Gerung gemar mempolarisasi.


Jejaknya penuh kontroversi. Banyak yang
menyangka dia sebagai pendukung Prabowo
Subianto. Kepada DW dia mengaku siap beroposisi
jika bekas menantu Soeharto itu berkuasa.
Di sebuah kedai kopi di seberang Taman Menteng,
Jakarta, Rocky Gerung mengucap ramalan muram
tentang Pemilu Kepresidenan 2019. Dia
berpendapat, nihilnya keberanian untuk rekonsiliasi
dari kedua kubu akan berujung pada konflik
horisontal baru. Untuk mendamaikan keduanya
dibutuhkan poros ketiga yang kadung tergerus oleh
dua kekuatan politik yang sedang bersaing di
Senayan. Apakah Partai Demokrat yang dia maksud?
Soal ini Rocky bergeming. Dalam perbincangan
dengan reporter DW Rizki Nugraha, Rocky mengaku
tidak frustasi jika ucapannya sering disalahpahami.
Dia menghayati peran antagonis tersebut, selama
bisa memicu diskursus publik yang sehat. Namun
tidak sedikit yang menudingnya ikut merawat pola
komunikasi dehumanis, lantaran acap melontarkan
hinaan kasar yang melukai harkat dan merendahkan
martabat. “Saya menikmati kedunguan mereka,"
kata dia. Simak wawancara lengkapnya berikut ini:

DW: Bung Rocky, Anda lebih merasa sebagai


pendukung Prabowo Subianto atau oposan Joko
Widodo?
Rocky Gerung: Saya itu mendukung kepentingan
masyarakat bebas. Karena Jokowi menutup ruang
kebebasan makanya saya tidak memilih dia. Sering
disebut saya mendukung Prabowo, saya tidak
pernah mendukung Prabowo. Atau Rocky Gerung
sedang menggelar karpet merah buat Prabowo,
saya katakan nggak, saya nggak menggelar karpet
merah, dia punya kapet sendiri silakan bawa ke
istana warnanya macam-macam. Tapi supaya
karpet baru di istana bisa digelar karpet merah di
istana mesti digulung, saya mau gulung itu.
Kenapa 2019 butuh presiden baru?
Karena problem kita itu adalah membersihkan jalan
dari 2019 ke 2024 untuk periode sekarang, yang
tidak sempat kita lakukan pemerintahan sekarang
karena ditahan oleh threshold 20 persen yang saya
ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Ini mengapa kita
terjebak oleh fanatisme sekarang karena tidak ada
alternatif, tidak ada jalan ketiga, tidak ada capres
alternatif karena ditutup oleh pemerintah dengan
strategi threshold itu. Makanya itu kita bawa ke
Mahkamah Konstitusi, tapi MK menolak, bahkan
diputuskan setelah kampanye sudah mulai. Itu
kemungkinan akal demokrasi Mahkamah Konstitusi
menjadi mahkamah konstipasi. Tidak bisa
mengolah buah demokrasi karena dia sembelit
melulu.
Menurut Anda masih ada tempat untuk poros ketiga?
Kalau sekarang sudah terlambat, karena fanatisme
itu sudah mengeras, sudah mengkristal, itu
akibatnya. Jadi salah pemerintah kenapa tidak
membuka ruang itu sejak awal.
Kenapa harus pasang threshold padahal sistem kita
presidensial. Threshold itu sistem parlementer, kita
presidensial jadi tidak pakai threshold. “Kan dari
awal memang ada kecurangan secara kelembagaan
dan secara hukum, dengan memasang threshold itu
sudah kecurangan pertama.
Jadi poros ketiga tidak memiliki tempat karena
belum ada kesadaran politik?
Karena poros ketiga mesti ada outlet-nya, outlet-nya
ditutup.
Karena itu saya ingin 2019 mendatang buka outlet
baru untuk generasi baru, sekarang sudah
terlambat nggak ada peluang untuk membikin
forum ketiga itu. Mungkin kita mesti bayangkan
bahwa satu hari setelah quick count akan ada
ketegangan baru dan itu mesti ada tokoh-tokoh
alternatif yang berupaya untuk menjadi semacam
juru bicara akal sehat. Saya membayangkan ada
rektor di situ, ada ulama.
Saya tidak di situ saya hanya mensponsori ruangan
itu, jadi keterangan akademis untuk perlunya poros
ketiga atau forum ketiga itu justru karena kita
mendeteksi pengkubuan itu sudah sampai pada
tingkat kristal. Mana rektor yang rada ada otak dan
rada punya passion terhadap demokrasi, mana
ulama yang dengan kualitas yang sama, mana LSM
yang punya semangat untuk menahan konflik
horizontal, tidak ada karena semuanya ada di istana.
Supaya gumpalan energi itu tidak berubah jadi
perang jalanan, kita salurkan energi yang
menggumpal itu melalui akal sehat LSM, akal sehat
ulama, akal sehat kampus, dan itu yang tidak ada.
Saya menikmati kedunguan mereka, karena mereka
menjebakkan diri sehingga akhirnya susah untuk
mengucapkan hal lain selain dua periode. Apa
dalilnya dua periode? Itu yang saya bongkar. Dari
segi demokrasi? Justru indeks demokrasi kita di
mata internasional turun karena Perppu dikeluarkan,
pengerahan ASN (Aparatur Sipil Negara) segala
macam, Perppu ormas terutama itu “kan
fundamental dalam hak asasi manusia. Mau dia
punya mimpi punya fantasi negara di akhirat
entahlah suka-suka dia tapi jangan diatur mencegah
orang berpikir alternatif.
Menurut Anda untuk mencegah tumbuhnya
gagasan transnasional Islam, pemerintah
merenggut hak fundamental?
Iya, itu hak paling fundamental orang Mana yang
lebih berbahaya, ancaman kelompok konservatif
Islam atau sikap pemerintah yang cenderung
mempersempit ruang demokrasi?
Poinnya begini, pemerintah itu tidak boleh menuntut
orang untuk menyamakan pikiran di dalam fantasi
masa depan.
Yang boleh dilarang adalah bila terjadi perencanaan
awal misalnya untuk mengganti dasar negara, itu
dilarang, itu karena ada konstitusi. Ini fantasi orang,
yang harusnya diselesaikan lewat percakapan
demokratis bukan dilarang atau dihentikan melalui
Perppu. Semua Perppu itu dengan sendirinya tidak
melalui rapat publik, itu adalah hasil keputusan
intelijen, itu yang saya tentang. Nilai demokrasi
bukan begitu.
Apakah menurut Anda mereka yangyang
mendukung kekhalifahan Islam bisa hidup di bawah
Pancasila?
Apa hak mereka untuk menolak yang sebaliknya,
“Kan dia punya bayangan, dia bisa isi Pancasila
dengan imajinasinya terserah dia. Justru karena
Pancasila ideologi terbuka maka semua orang bisa
bebas berfantasi. Mau bikin negara islam, mau bikin
negara kerajaaan, mau bikin negara kesultanan, ya
boleh aja sejauh itu fantasi politiknya. Itu yang
mesti dijamin UU, lain kalau ada ketetapan bahwa
Pancasila ideologi tertutup yang ini boleh yang ini
tidak boleh, bukan ideologi tertutup bahkan
Pancasila bukan ideologi negara. Itu orientasi publik
yang tidak boleh diinterpretasikan secara tunggal
oleh negara. Sebab kalau jadi ideologi negara, orang
akan tanya ketuhanan yang maha esa agama apa
yang hanya boleh di Indonesia, “kan tidak dibilang
agama apa yang hanya boleh. Ini ini ini dan lain-lain,
begitu yang disebutkan dalam peraturan
perundangan. Lima negara dan lain lain,sudah.
Menurut Anda hal itu tidak mengancam demokrasi?
Tidak mengancam selama diajukan di forum publik
jadi dialirkan gagasan itu supaya didebatkan oleh
pers oleh LSM dan terutama oleh kampus. Kampus
saja sekarang dilarang ngomongin itu. Pandangan
politik saya sekuler, karena itu saya ingin seluruh
fasilitas publik disediakan untuk mengolah pikiran
apapun itu prinsip sekuler. Bukan ateis. Cuma itu
yang bisa mencairkan ketegangan-ketegangan
ideologis di kita, hanya ruang itu. Kalau ruang itu
dikendalikan oleh negara, orang akan anggap
negara akan berpihak, berpihak pada siapa? Ya
berpihak pada orang yang proideologi negara.
Ideologi pemerintah bukan ideologi negara. “Kan
tidak ada tanda-tanda akan ada penumpukan
senjata ditaruh di depan Monas terus menghalau
pemerintah yang sekarang, “kan ga ada. Jadi
kenapa dilarang, bikin HTI misalnya, saya bukan
pro-HTI, saya proorang untuk tahu apa itu HTI. Saya
pro-212, nggak saya nggak pro-212, saya propublik
yang ingin tahu apa itu 212, ‘kan ga dikasih tahu apa
itu 212. Semua pers dilarang memberitakan
peristiwa di Monas.
Kenapa kita masih gagal memahami konsep
kebebasan individu?
Ya gagal karena arogansi kekuasaan, ya sebetulnya
karena kedunguan presiden, bukan dianya bukan
personalnya. Tapi kedunguan mengolah public
issues, kemampuan dia untuk membaca semua
variable politics, kemampuan dia untuk membaca
asal-usul perdebatan ini perdebatan ideologi sejak
zaman awal kemerdekaan, soal piagam jakarta, 65,
dia tidak punya pengertian itu. Jadi kalau dia
dinasihati oleh berbagai macam orang, dan
menerima semua briefing itu, dia tidak punya filter
dan itu yang berbahaya.

“BUZZER MUNCUL KARENA ELITE POLITIK


MENGANGGAP PUBLIK ITU BODOH"

Media sosial di negeri ini selalu gaduh tiap kali


masuk musim pemilu. Masalahnya bukan cuma
karena sanak saudara yang saling berdebat dan
berujung unfriend. Namun juga karena keberadaan
buzzer dan cyber army.Buzzer adalah orang
berpengaruh di media sosial (influencer) yang
dipekerjakan untuk mempromosikan tokoh tertentu.
Sementara cyber army adalah laskar kecil-kecilnya:
sekelompok orang dengan puluhan akun bodong.
Mereka juga mempromosikan tokoh: dengan
menggenjot trending topic Twitter, memenuhi
kolom komentar website berita, dan meramaikan
grup Facebook. Mereka sering diledek lantaran
dianggap bayaran.
YP: Bagaimana sih posisi buzzer dalam kerangka
demokrasi?
Kita harus tahu dulu, fakta bahwa demokrasi
dikendalikan oleh opini publik. Opini publik itu perlu
supaya ada force of the better argument. Jadi
dalam demokrasi, kebijakan publik harus dihasilkan
dari rasionalitas opini. Opini disebut rasional bila
bisa diperdebatkan, dipertengkarkan secara publik.
Kalau dia tak bisa dipertengkarkan, dia menjadi
doktrin.
Nah sekarang kita lihat. Sekarang berlaku yang saya
sebut buzzerocracy. Demokrasi yang dikuasai
buzzer.
Kalau kita break down, buzzer itu penting. Buat apa?
Buat menyusur opini publik. Tapi saya bedakan
buzzer ada dua.
Ada buzzer yang isinya orang, ada yang isinya
mesin. Buzzer yang isinya mesin, dia Cuma
mengulang-ulang sesuatu yang belum pernah
diverifikasi. Kalau orang, kita bisa debat dengan dia.
Tapi kalo buzzer-nya adalah mesin kita Cuma
dengar sesuatu yang sifatnya demagogi
(eksploitasi emosi untuk fanatisme politik, red.).
Jadi dia membual aja. Padahal politik harus diasuh
secara pedagogis (sesuatu yang sifatnya
pembelajaran, red.). Itu bedanya. Mesti ada
percakapan argumentatif dalam politik. Buzzer
tidak menginginkan itu. Jadi kita bedakan dulu
antara buzzer yang isinya mesin dan isinya orang.
YP: Bagaimana dengan orang tapi memegang
akun-akun palsu sekaligus banyak? Biasanya yang
ini disebut cyber army.
Cyber army, ya itu sama saja dengan mesin ‘kan
sebetulnya. Orang pegang akun palsu. Artinya dia
tidak ingin mempertanggung jawabkan argumennya.
Ketidakmampuan mempertanggung jawabkan
argumennya itu sama dengan perilaku mesin. Akun
palsu ataupun mesin itu ontologinya sama,
hakekatnya sama. Yaitu menolak percakapan.
YP: Kalau buzzer isinya orang tak apa-apa?
Enggak apa-apa. Orang artinya dia punya opini. Itu
buzzer yang perlu dalam demokrasi. Begini, ada
akun bodoh, ada akun pintar. Akun bodoh enggak
mau percakapan, enggak mau debat. Akun bodoh
itu yang begini, kalau dia debat, dia akan bilang
sesuatu. Lalu seribu akun lain ikut mengulang hal
yang sama. Jadi akun yang merepetisi sesuatu
pasti dia tidak berpikir. Itu problemnya dari
akun-akun bodoh. Mereka repetitif aja. Dia tidak
berpikir. Dia bertelur saja terus-menerus.
YP: Berarti dalam kerangka demokrasi, buzzer bisa
diterima?
Bisa diterima, asal buzzer itu dikendalikan oleh
orang yang punya opini. Bukan mesin. Dia beritahu,
“nama saya ini,” jadi kalau dia diminta
pertanggungjawaban, “ini alamat saya.” Kalau dia
enggak punya alamat artinya enggak bertanggung
jawab ‘kan. Buzzer itu sangat penting bila dia
otentik. Otentik artinya jelas identitasnya, jelas
argumennya. Kalau bersembunyi, itu bukan buzzer,
itu maling ‘kan?
YP: Sebenarnya kondisi apa sih yang melahirkan
fenomena buzzer?
Fenomena buzzer muncul karena elite politik
menganggap publik itu bodoh. Jadi dia cari fasilitas
yang paling gampang, untuk segera menemui orang
bodoh ya lewat buzzer itu, Dia lupa kalau di Jakarta
orang enggak bodoh. Rakyat enggak bodoh. Rakyat
bisa dengan mudah membandingkan yang ada di
alam maya-di media sosial tempat buzzer
beroperasi dengan yang ada di dunia nyata. Jadi,
justru itu backfire terhadap persaingan politik yang
terjadi sekarang. Buzzer itu justru merendahkan
integritas dari seorang calon. Dengan adanya
buzzer yang anonim dan buzzer yang statusnya
mesin. Jadi kenapa buzzer ada? Karena ada potensi
konsumen yang mau menerima. Tapi menurut saya
politikus salah baca.
YP: Salah membaca maksudnya bagaimana?
Salah membaca. gini nih. Kalau saya jadi seorang
demagog, saya harus menganggap di depan saya
itu adalah orang bodoh. Sehingga saya bisa bualin
aja. Kalau saya jadi seorang pedagog, saya mesti
anggap di depan saya adalah lawan bicara yang
rasional. Buzzer mengambil sikap pertama. Dia
anggap yang sana demagog, maka dia siram itu
dengan informasi satu arah itu. Tapi seharusnya
kalau itu asumsinya, efeknya ada pada elektabilitas.
Sekarang kita lihat polling dari pollster. Lho, Ahok
misalnya, justru enggak bertambah. Padahal buzzer
nya menyebar ke mana-mana. Berarti ada yang
salah 'kan, Secara ilmiah saja bisa terlihat bahwa
ada kesalahan penguasaan opini publik. Jadi itu
pertanda pertama. Terlepas dari kita suka apa tidak
suka dari keadaan hari ini, kalau kita bandingkan
kelihatan ada inkonsistensi. Buzzer nya bertambah,
elektabilitasnya menurun. Pasti ada sesuatu yang
salah di metode buzzer itu. Buzzer itu justru
dampaknya negatif.
YP: Tapi sempat ada kejadian ketika orang lebih
percaya buzzer daripada media massa. Misalnya
waktu kemarin TEMPO membongkar kasus korupsi
reklamasi, buzzer menyebut TEMPO berbohong...
‘Kan tetap ada perdebatan di situ. Jadi enggak ada
soal.
Buzzer bilang, “TEMPO bohong, jadi ini fakta untuk
membuktikan.” Dan TEMPO merasa, "enggak, kita
punya cara untuk investigasi.” Itu menimbulkan
percakapan politik. Kalau buzzer mesin kan enggak
menimbulkan percakapan politik. Pada awalnya
orang memang enggak ngeh ini ada permainan.
Tapi kemudian orang lihat ada polanya. Publik
Jakarta yang mengerti tentang ekonomi politik dari
pilkada ini, mencium bahwa ada yang tidak benar di
sini. Begitu diriset, pendapat itu ditampilkan dalam
statistik, naiknya buzzer mesin berbanding terbalik
dengan elektabilitas. Itu point saya.
YP: Riset apa yang dimaksud, pak?
Gatra bikin riset tentang intervensi dari buzzer. Dia
kasih makro datanya. Bagus itu. Jadi polanya itu,
misalnya Cuma ada tiga tokoh yang mengendalikan
opini buzzer. Dia akan fokus di tiga tokoh itu. Tiga
buzzer orang ini lalu diamplifikasi oleh 39 ribu
buzzer yang isinya adalah mesin atau cyber army.
Waktu dibikin cross-tabulation, terlihat itu.
Bahwa tak ada dampak buzzer terhadap
elektabilitas.
YP: Berarti warga negara sudah cukup dewasa
untuk melihat kampanye digital?
Saya belum sampai di situ. Yang baru mau saya
sampaikan adalah, buzzer tidak efektif. Kalau warga
negara sudah peka apa belum, ya ada saja warga
negara yang enggak peka. Tapi yang jelas buzzer
tidak efektif. Dari situ implikasinya mungkin warga
negara sudah peka, tapi itu butuh suatu riset yang
lain. Jadi faktanya dia tidak berimplikasi pada
elektabilitas. Itu point-nya. Kalau begitu warga
negara sudah rasional? Ya mungkin saja. Mungkin
juga ada soal lain. Saya enggak mau ambil
kesimpulan itu sebelum ada keterangan akademis
yang lebih tajam.

TURUNNYA IQ DEMOKRASI

Apa yang terjadi jika panggung politik dipenuhi oleh


bintang iklan, artis sinetron hingga pelawak? Politik
Indonesia mutakhir ditandai dengan sebuah gejala
yang disebut “politik outsourcing”. Bukan kontestasi
antara PKS, PDI Perjuangan dan Demokrat. Tapi ini
adalah persaingan antara Deddy Mizwar, Rieke Diah
Pitaloka dan Dede Yusuf. Itulah kesimpulan yang
muncul dari hasil pemilihan Gubernur Jawa Barat.
Popularitas tokoh menjadi faktor penentu
ketimbang partai politik. Apalagi, partai-partai besar
baru dihajar skandal: Presiden PKS terpental dari
jabatan dan dipenjara karena dugaan korupsi impor
daging sapi. Sementara Ketua Umum Partai
Demokrat, baru diganjar status tersangka oleh KPK.
Kredibilitas partai yang anjlok karena korupsi,
semakin membuat “faktor ketokohan“ menjadi
paling dominan untuk menentukan siapa yang akan
menang. Sebelum Pilkada Jawa Barat, belasan artis
terkenal sudah duluan masuk Senayan: Venna
Melinda, Angelina Sondakh, Eko Patria hingga
Qomar. Beberapa yang lain seperti Rano Karno,
sukses terpilih dalam Pilkada. Inilah politik
outsourcing," kata pengajar filsafat politik
Universitas Indonesia Rocky Gerung kepada
Deutsche Welle. Jika di Amerika para artis atau
orang beken dipakai untuk mendukung kandidat,
maka di Indonesia, para selebritas yang justru ikut
pemilihan. Ini semua, menurut Rocky, terjadi karena
partai politik tidak punya agenda untuk
menyelenggarakan politik bermutu.
DW: Apa yang terjadi, kenapa politik Indonesia
tiba-tiba dipenuhi bintang sinetron, bintang iklan
hingga pelawak?
Rocky Gerung: Karena tidak ada rekrutmen yang
dilakukan secara sistematis oleh partai politik,
maka yang terjadi adalah outsourcing. Ini
membuktikan bahwa partai-partai yang ada tidak
melakukan kaderisasi.
DW: Apa akibat dari model politik outsourcing
semacam ini?
Rocky Gerung: Ini akan berdampak pada
kemampuan kita untuk mengkomunikasikan
kembali masalah politik kepada publik. Akibatnya,
bahasa yang dipakai adalah bahasa populer yang
sebetulnya dangkal, padahal kita butuh ucapan
politisi yang bermutu. Tapi itu tidak mungkin kita
peroleh dengan sistem yang outsourcing seperti ini,
yang mengambil tokoh populer dengan pikiran yang
terbatas dalam soal gagasan, dalam soal
pengetahuan tentang konsitusi.
DW: Anda menyebut bahwa ini membuat politik kita
menjadi dangkal, bisa anda elaborasi?
Rocky Gerung: Artinya kita tidak akan saksikan
suatu debat politik dengan kekuatan gagasan luar
biasa dengan kemampuan untuk menghubungkan
suatu isu dengan konstitusi. Ini tokoh-tokoh yang
nggak mungkin melakukan itu, karena sejak awal
kapasitasnya tidak dimaksudkan utk melayani
soal-soal politik yang benar-benar bisa
menghasilkan pencerdasan kehidupan
kewarganegaraan. Ini bukan lapisan yang
betul-betul dipersiapkan secara sadar untuk
merawat Republik. Ini sekedar merawat partai,
hanya semacam snapshot saja supaya kelihatan
bagus. Mereka dipetik sebagai kembang, padahal
kembang plastik sebetulnya. Saya tidak bicara ini
dalam rangka untuk melecehkan pilihan publik.
Tentu hak orang buat mengumpankan diri di dalam
popularitas, tapi buat saya ini bukan popularitas
dalam pengertian berpolitik yang normal.
DW: Apa yang menjadi penyebab diatas ini semua?
Rocky Gerung: Ini pragmatisme yang tiba-tiba harus
diselenggarakan karena struktur partai kita bukan
partai yang menghendaki kader. Semuanya kan di
partai itu ekslusif, eksklusif dalam feodalisme,
ekslusif di dalam dinasti, ekslusif di dalam banyak
hal. Jadi kalau kita uji lebih mendasar, cara kita
menyelenggarakan partai politik tidak diwarnai oleh
semangat citizenship, tapi semangat primordial.
Partai tidak merasa harus melayani warga negara.
Kalau dia melayani warga maka dia harus
mengucapkan gagasan dalam tata bahasa warga
negara. Itu kan minimum requirement untuk
menyebut diri sebagai partai. Tapi yang terjadi
adalah bahasa yang paling murah itu yang
dipasarkan. Dan itu paling gampang melalui public
figure. Politisi seleb bukan alat untuk memasarkan
kewarganegaraan, bukan alat untuk memasarkan
konstitusi, bukan alat untuk memasarkan akal sehat.
Padahal politik membutuhkan rasionalitas, cara
berpikir konsitusional.
DW: Apa dampak politik yang banal ini?
Rocky Gerung: IQ demokrasi kita pasti turun dalam
pemilu mendatang. Padahal kita butuh standar IQ
demokrasi.
Peradaban politik kita turun. Kita bisa lihat dari cara
metafor diucapkan, cara argumentasi disusun
dalam kampanye. Kita tidak melihat sensasi pikiran,
yang ada hanya sensasi dalam bahasa tubuh.
Padahal yang kita butuhkan adalah sensasi
gagasan, yang terjadi adalah konstipasi, orang
ngeden saja nggak bisa buang angin. Orang-orang
hari ini betul-betul beternak politisi, dan peternakan
itu dikendalikan dua tiga orang yang kita sebut
oligarki.
DW: Tahun 50-an, kita bisa membaca perdebatan
perdebatan yang bermutu di konstituante. Kenapa
sekarang, setelah lebih setengah abad kemudian,
kita tidak melihat kualitas seperti itu di parlemen?
Rocky Gerung: Dulu airnya bersih sehingga yang
muncul adalah ikan salmon yang berani berenang
melawan arus.
Sekarang yang ada adalah ikan buntel yang adanya
di selokan.
SOAL KEMATIAN

Bung Rocky, ada masanya berbunga, ada masanya


harum semerbak, tapi kemudian ada masanya layu
dan kemudian mati. Bagaimana orang filsafat
melihat kematian?”
Rocky Gerung yang memang dikenal sebagai dosen
filsafat, menjawab bahwa orang filsafat tidak bisa
lihat kematian. Karena orang filsafat menganggap,
kematian itu adalah sama misterinya dengan
kehidupan. “Ada namanya filsafat epikorus, bikin
poin waktu kita hidup kita tidak mati, waktu kita
mati tidak hidup. Jadi itu dua kualitas yang tidak
perlu diperbandingkan. Agama punya point of view
yang lain bahwa kematian itu adalah penundaan
dari harapan. Harapan itu hanya bisa kita peroleh
dengan melewati fase kematian, jadi ada politics of
hope di dalam kematian," kata Rocky, Menurut
Rocky, kehidupan adalah politics of memory,
Memori itu kita hentikan supaya kita punya hope.
Namun, sebetulnya menurut Rocky, kalau di dalam
ilmu pengetahuan yang lebih positivistik
menanyanakan kematian itu tidak layak ditanyakan
kepada orang hidup. Dia mencontohkan, sama
sepertinya orang bertanya tentang biodata Rocky
Gerung untuk sebuah seminar. Ketika ditanya itu,
Rocky menjawab bawha biodata itu baru lengkap
kalau orangnya meninggal, kalau masih hidup
biodatanya masih bertumbuh. “Begitu saya tulis,
biodata berubah, karena saya diundang ngomong
dengan Ustadz Somad, bahwa saya bicara dengan
ustdaz, saya gak bisa tambahin di situ (di biodata)
karena saya masih hidup,” kata Rocky. Contoh
lainnya, menurut Rocky, dulu ada seorang sosiolog
yang ditanya oleh wartawan, jika sosiolog itu
meninggal, ingin dikuburkan di mana dan dengan
cara apa. Di jawab oleh sosiolog itu, sebaiknya para
wartawan menanyakan kepada jenazahnya kelak.
“Jadi pertanyaan tentang kehidupan nanti itu adalah
pertanyaan untuk orang mati. Kalau orang hidup itu
hanya menggambar kenikmatan hidup nanti, ada
kebahagiaan, kata Rocky.Dan, menurut Rocky
teologi dan filosofi bersahabat baik. Karena teologi
menggambarkan kehidupan pascakematian dalam
format dalam keadaanya yang indah. Sementara
filsafat, merasionalisasi dan mengkritik jalan pikiran
itu. "Jadi kematian itu tema bersama teologi dan
filosofi," kata Rocky.
KONSEP MEMBANGUN ARGUMEN

Kamis, 7 Desember 2017, bertempat di kantor


Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan keempat
Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) ke-9 yang
mengangkat tema “Berpikir Kritis” diselenggarakan.
Topik pembahasan pada pertemuan keempat
iniialah “Mendeteksi Logical Fallacy". Rocky Gerung
sebagai pembicara membuka kelas dengan
menyatakan bahwa dalam berargumen konsep
selalu menjadi mata uang yang sah dalam
bertransaksi. “Dengan adanya konsep
memungkinkan kita efisien dalam berargumentasi”,
tutur Rocky. Dalam kuliah ini Rocky memberikan
tiga contoh proposisi untuk membantu para peserta
mengenal kedudukan konsep secara lebih dalam.
Proposisi yang pertama berbunyi "segitiga selalu
memiliki tiga sisi”, yang kedua berbunyi “Tuhan itu
ateis” dan yang ketiga berbunyi “gunung agung
meletus pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun
setelah kelahiran JP”. Proposisi pertama yang
berbunyi “segitiga selalu memiliki tiga sisi”
merupakan konsep yang logis karena bersifat
tautologis. Konsep seperti ini bisa dikatakan
sebagai konsep yang bisa mengefisienkan argumen
seseorang karena segitiga selalu memiliki tiga sisi,
maka tidak perlu menambah penjelasan pendukung.
Proposisi “segitiga selalu memiliki tiga sisi” sebagai
konsep adalah logis, namun konsep tersebut
dianggap selesai dalam dirinya sendiri sebagai
definisi. Kemudian, proposisi kedua yang berbunyi
“Tuhan itu ateis” merupakan proposisi yang terdiri
dari beberapa konsep antara lain, konsep Tuhan itu
sendiri apakah sebagai yang eksis maupun tidak,
konsep Tuhan yang esa, dan masih banyak lagi.
Rocky menjelaskan bahwa untuk menghadirkan
konsep Tuhan di kepala kita, pastinya ada fantasi
yang bermain. Salah satunya adalah fantasi tentang
Tuhan sebagai yang mutlak. Dengan fantasi yang
demikian, maka kita dapat membawa konsep
tersebut tertanam dalam pikiran bahwa tuhan
sebagai penyelamat atau yang lainnya. Cara
menguraikan konsep seperti ini yang disebut Rocky
sebagai latihan dalam berpikir. Tentunya Rocky
tidak berurusan dengan kepercayaan seseorang
mengenai Tuhan. Tetapi, dalam memperdebatkan
proposisi “Tuhan adalah ateis” Rocky menyatakan
bahwa agar konsep Tuhan sebagai yang mutlak itu
logis, maka Tuhan haruslah ateis. Proposisi kedua
ini dianggap sebagai konsep yang dapat diuraikan
secara logis tanpa konfirmasi faktual. Proposisi
terakhir yang berbunyi “gunung agung meletus
pertama kali pada 1964 yaitu dua tahun setelah
kelahiran JP” merupakan satu-satunya dari ketiga
proposisi di atas yang membutuhkan verifikasi
faktual. Oleh karena itu, dalam menjelaskan
kedudukan konsep Rocky membawa ketiga
proposisi berbeda untuk memperlihatkan teorema
dalam menjelaskan kedudukan konsep. Dengan
memahami ketiga jenis konsep yang dijelaskan
pada Kaffe 9 yaitu konsep yang selesai dalam
dirinya sendiri sebagai definisi, konsep yang dapat
diuraikan secara logis tanpa konfirmasi faktual dan
yang terakhir adalah konsep yang membutuhkan
verifikasi faktual kita diharapkan dapat berargumen
secara efisien, tepat guna dan terhindar dari
kesalahan berpikir atau yang disebut Logical

FANATISME DAN DEFISIT AKAL.

Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa


kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya
penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus
cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah tugas utama pemerintah Demokrasi
adalah fasilitas untuk menyelenggarakan
kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan
untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru
kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah
politik kita. Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya
memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai "kaum
intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook
thinking” kebarat-baratan. Soeharto membungkam
kebebasan berpendapat, dan menjadikan "kaum
intelektual" sekadar “teknokrat" untuk menjalankan
pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat
dari takluknya pikiran kritis. Keangkuhan Negara
Reformasi adalah pulihnya kritisisme. Kekacauan
ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto.
Teknokrat mundur karena melihat perintah politik
Cendana makin mengacaukan rasionalitas
kebijakan kabinet. Nepotisme menjadi beban
ekonomi. Tentara memutuskan mengambil jarak
dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswa
menempati ruang oposisi yang lebih frontal.
Tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya hak
asasi manusia, reformasi TNI, dan pemberantasan
korupsi. Semua itu adalah modal etik yang kuat
untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh
tahun lalu. Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan
payung hitam berbaris diam di depan Istana
Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi
berharap jabatan komisaris BUMN, melainkan
Cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia
dari negara yang seharusnya beradab. Tapi rutinitas
Aksi Kamisan itu kalah pamor dengan aktivitas
hilir-mudik presiden untuk gunting pita dan
bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan
Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presiden
dan para keluarga korban penghilangan paksa; ada
ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada
apa dengan negara?
Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit.
Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan
HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar
penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan,
tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal
Orwellian yang berbahaya. Reformasi tidak
dimaksudkan untuk menyelundupkan mental
otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan
untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga. Tugas
pemerintah adalah memberi rasa aman warga,
bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang
juga menakutkan. Tetapi ajaib. Justru demagogi
semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum
"intelektual pro status quo”. Sekadar demi
melanjutkan dendam politik, akal sehat
dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami
Pancasila!" Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya?
Siapa yang bukan-Pancasila?
Gugup dan gagap, kaum “liberal” juga memelihara
arogansi yang sama: “Pancasila sudah final!”. Dan
dengan arogansi itu Pancasila diedarkan dari satu
seminar keseminar yang lain untuk didiskusikan.
Mendiskusikan sesuatu yang sudah final? Ajaib!
Inilah kaum “liberal paranoid” yang mendadak
konyol karena berangsur jadi pemuja kuasa, dan
mulai menghitung giliran berkuasa. Mereka gagal
melihat hutan karena sibuk menghitung pohon.
Bagaimana demokrasi hendak dimajukan bila
pikiran kaum intelektual menjadi konservatif?
Bagaimana hak asasi manusia hendak
diselenggarakan bila tabiat kaum liberal menjadi
oportunis.
Ada pikiran yang berhenti di era ini. Konfrontasi
politik sejak Pemilu 2014, yang berlanjut pada
Pilkada DKI Jakarta 2017, bukan saja telah
membelah masyarakat politik, tetapi juga
mendangkalkan kaum terpelajar: bergerombol di
forum forum media sosial, menumpuk sentimen,
lalu terengah engah memusuhi oposisi. Hanya demi
ketakutan kehilangan afiliasi dengan kekuasaan,
para aktivis masyarakat sipil meninggalkan fungsi
kritik sosialnya, lalu berbaris mencari suaka di
Istana. Tak masuk akal, aktivis masyarakat sipil
bergerombol di sekitar kekuasaan yang anti-HAM.
Mental feodal telah mengubah akademisi menjadi
pelayan birokrasi, menanggalkan ide dan pikiran.
Inilah era ketika elektabilitas mengepung
intelektualitas, era ketika para pengajar menjadi
pemuja status quo. Kekurangan pikiran itulah
sinopsis reformasi hari ini. “The middle
ground”—Isaiah Berlin (1909-97) memilih istilah itu
setelah ia mempelajari sejarah pikiran Eropa yang
membawa banyak penderitaan manusia pada abad
lalu. Bahwa ketakcukupan perspektif telah
menjerumuskan orang ke dalam fanatisme politik,
kepicikan dan pemujaan. Suatu “pathological
suspicion”, dalam istilah Berlin, juga ada pada kita
hari-hari ini. Kita hidup dalam situasi saling intai,
dan bereaksi sebelum duduk perkara dipahami utuh.
Perbedaan justru dieksploitasi dengan memojokkan
suatu golongan sebagai kaum fundamental, dan
yang lain sebagai penjaga NKRI. Negara justru
menguatkan stigma ini melalui public relation yang
insinuatif: “Tidak ada tempat bagi kaum intoleran”.
Negara telah membuat definisi yang justru
patologis, membangkitkan luka-luka ideologis di
masa lalu. Keakraban berwarganegara dihilangkan
oleh keangkuhan negara. Kaum intelektual,
akademisi, dan aktivis masyarakat sipil yang
berhenti mempersoalkan kekuasaan adalah para
medioker yang patuh karena tak paham, dan takluk
karena tak cukup berakal. Kritik tak mampu
diucapkan oleh seorang medioker. Politik yang
absolutis juga dapat berlangsung dalam era transisi
demokrasi ketika kaum medioker
berbondong-bondong menuju Istana, bukan untuk
memberi kritik, tetapi untuk mematuhkan diri
kepada kekuasaan. Sekadar dipakai untuk “public
relation”, tokoh-tokoh masyarakat sipil dari sektor
agama dan kebudayaan juga memperkuat barisan
“the middle ground” ini. Pluralisme adalah umpan
politik yang dengan mudah dilahap barisan ini,
karena kekuasaan memiliki seluruh perangkat untuk
memaksimalkan kecemasan “kaum minoritas".
Setiap kali terjadi konflik sosial, pemerintah datang
dengan solusi moral: kumpulkan pemuka agama.
Toleransi menjadi proyek ideologis negara, kendati
dalam pengertian yang sangat sempit, yaitu
sekadar toleransi di antara umat beragama. Bahwa
sumber ketegangan sosial itu adalah disparitas dan
kesalahan kebijakan pemerintah, tak ingin diakui.

ESENSI KRITIK

Kritik adalah evaluasi pikiran terhadap realitas, yaitu


mengurai inkonsistensi kebijakan. Inkonsistensi
dalam kebijakan pertama-tama harus dimulai
dengan memeriksa inkoherensi dalam ide. Karena
itu fungsi kritik adalah mengurai, bukan
membangun. Itulah tugas utama akademisi. Jadi,
tuntutan agar kritik itu harus “yang membangun”
adalah tuntutan dari mereka yang tak ingin dikritik.
Hakikat kritik adalah menunjukkan kesalahan,
bukan memperbaikinya. Adalah tugas yang dikritik
untuk memperbaiki konsepnya.Dalam urusan publik,
tugas si pejabat publik untuk memperbaiki
kebijakan, karena ia digaji rakyat untuk itu.
Demokrasi hidup dengan kritik. Tugas oposisi
sudah dimulai sejak presiden dilantik. Karena itu,
ide mengganti presiden memang melekat pada
tugas oposisi. Itu bukan saja konstitusional, tapi
memang logis:
sungguh dungu bila oposisi berniat tidak mengganti
presiden. Karena itu, mengaktifkan oposisi, justru
menjamin kekuasaan tidak menempuh tradisi
primitifnya: pongah. Lalu, apakah kita pesimistis
dengan keadaan? Tak perlu dijawab, karena politik
bukan klinik psikologi. Yang perlu diperhatikan
adalah kondisi psikologi dari kaum terdidik yang
justru menjadi pemuja kekuasaan. Dalam isu
mutakhir hari ini, yaitu tentang usulan agar
pemerintah segera mengeluarkan peraturan
perundang undangan soal terorisme, pendukung
utama usulan ini adalah justru kalangan terdidik dan
aktivis masyarakat sipil pro pemerintah. Sungguh
absurd bahwa kebijakan yang akan melemahkan
demokrasi, justru dibela oleh kalangan yang
mengerti hakikat demokrasi: bahwa tak sekali-kali
mengizinkan penguasa memutuskan atas kehendak
sendiri, aturan yang potensial membatalkan
demokrasi. Di depan kekuasaan, para tokoh
masyarakat sipil patuh karena fanatisme. Kalangan
terpelajar patuh karena kekurangan pikiran. Dan
merekalah yang kini menyelenggarakan public
relations pemerintah. Ajaib, tapi itulah sinopsis
politik kita setelah 20 tahun reformasi: surplus
fanatisme, defisit akal.

INTELEKTUAL MANUSIA ADALAH KRITIK, BEDA


DENGAN ROBOT

Kegiatan intelektual manusia adalah


menyampaikan kritik. Sebab otak manusia didesain
untuk berdialektika. Kemampuan manusia itu yang
dikatakannya berbeda dengan robot. “Itu bedanya
dengan robot. Robot diinstall algoritma lalu dia
biasa lakukan kalkulasi sendiri. Tapi dalam kritik,
ada kualitas, "Kalau robot mengkritik, kata dia,
sifatnya kuantitatif. Sedangkan mansuia, mengkritik
sebagai upaya untuk menegur pikiran kekuasaan.
“Terutama kepada siapa yang surplus
kekuasaan,".ada sebagian orang yang tidak ingin
dikritik karena bersikap feodalisme. Misalnya,
seorang profesir dikritik, padahal apa yang telah
dibacanya sudah usang “Yang disebut mendidik
sebenarnya menegur pikiran orang antar
mahasiswa atau antar mahasiswa dengan dosen.
Kebanyakan kita tidak ingin dikritik karena
feodealisme. Profesor enggak mau dikritik padahal
bacaan udah sampah tapi dia masih anggap karena
dia profesor maka dia tidak mau dikritik," tutur
Rocky. Padahal, kata dia, dunia ilmu pengetahuan
justru harus memancing kritisisme. “Bagian ini yang
saya kira perlahan-lahan kita install ke dalam pikiran
publik, terutama pembuat kebijakan publik bahwa
pikiran bermutu itu, itulah yang memelihara
keakraban warga negra,” katanya. Apakah
kemerdekaan Indonesia diraih dengan bambu
runcing di medan perang atau keruncingan pikiran
di meja diplkatanya Pertanyaan itu dilontarkan
Rocky Gerung kepada para peserta, ketika ia
menjadi pemateri dalam diskusi bertajuk 'Sekolah
Pemikiran Pendiri Bangsa”. Kelas diskusi itu
diadakan oleh Megawati Institute. Tentu pertanyaan
itu tidak menuntut jawaban tunggal karena faktanya
dalam sejarah, Indonesia memang menggunakan
kedua cara tersebut. Perlawanan secara fisik
(dengan senjata) dan perlawanan secara pikiran
(dengan perundingan diplomasi). Rocky hanya
bermaksud menekankan bahwa diplomasi yang
dilakukan oleh para founding father Indonesia
dahulu kala begitu memukau. Diplomasi itu lahir
dari kecerdasan intelektual yang matang dipadukan
dengan keterampilan retorika yang tajam. Sudah
sejak lama negeri ini dihuni oleh pikiran-pikiran yang
kokoh. Filsafat dan ideologi sudah lama menetap
dalam pikiran pendiri negeri ini. Rasionalitas dan
teosofi juga sudah sejak lama mewarnai
kemerdekaan Indonesia. Tradisi berpikir yang kuat
sudah lama tumbuh dalam bangsa ini. Seperti kata
pepatah: “Sambil menyelam, minum air”, sambil
berkata-kata, pikiran dikonsolidasikan. Salah satu
diplomat ulung yang Rocky maksudkan adalah
Sutan Syahrir. Sudah banyak diplomasi
internasional yang dihadapinya dan bagaimana itu
mengubah kebijakan dunia terhadap Indonesia.
Salah satu contohnya adalah Pidato Syahrir di
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun
1947, ketika ia mempertahankan kemerdekaan
Indonesia di forum dunia. Pidato Syahrir pada saat
itu disebut oleh New York Herald Tribune sebagai
salah satu pidato yang menggetarkan. Jebakan
diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB
untuk memilih: “Siapa yang saudara percaya?
Mereka atau orang-orang beradab seperti
kami?”Pertanyaan itu ditanggapi langsung dengan
metafora yang berkelas dari Syahrir: “Mereka
mengajukan tuduhan tanpa bukti, daripada
membantah argumen saya”. Terlihat bagaimana
cara Syahrir membekuk argumen lawan debatnya.
Kemampuan Syahrir dalam berdiplomasi tentu tidak
lahir secara instan. Rocky menerangkan bahwa
Syahrir merupakan seorang yang memiliki
kecemasan dalam melihat perubahan politik
pertengahan abad ke-20, dimana pada masa itu
terjadi kontradiksi antara kapitalisme dan
sosialisme, dan juga ketegangan antara liberalisme
dan fasisme di Republik Indonesia ini. Sehingga
berdampak kepada kebebasan pers yang
terkungkung, hal itu membuatnya dilema untuk
pergi kepada politik massa atau memilih politik
kader. Di tengah kebingungannya itu, Syahrir
memutuskan untuk memilih politik kader. Alasan
yang paling mendasar yaitu menghadapi
pertarungan di kancah internasional akan lebih
prestisius dengan cara memobilisasi pikiran secara
sistematis. Bukan dengan memobilisasi massa
untuk berdemonstrasi. Pilihan ini yang membuatnya
menjadi seorang pedagog bukan demagog dalam
politik. Secara etimologi, pedagogi berasal dari
bahasa Yunani 'paedagogeo', dimana terdiri dari
‘paidos' yang berarti anak dan ‘agogo’ berarti
pemimpin, sehingga secara harfiah pedagog, berarti
pemimpin anak. Secara istilah pedagogi merupakan
ilmu dan juga seni yang dilakukan seorang guru
dalam mendidik dan menerapkan pola
pembelajaran yang baik dan benar. Sedangkan
demagog dari dari bahasa Yunani “demos' yang
bermakna rakyat dan ‘agogos' yang bermakna
pimpinan dalam arti negatif ataupun penghasut.
Secara istilah demagogi merupakan penghasut
rakyat yang pandai membakar naluri massa dengan
kata bohong untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Rocky gerung sendiri, pedagogi lebih
kepada mengedukasi dan mendidik melalui
kekuatan kata-kata. Sedangkan, demagogi yaitu
mencari sensasi dalam psikologi massa dengan
berkata-kata untuk kepentingan pribadi. Disini
terlihat posisi Syahrir lebih menjadi politikus
pendidik demokrasi bukan politikus pengiring
massa. Sebab demokrasi di negeri ini perlu dirawat
dengan siklus politik pedagogi; yaitu mengajar
rakyat untuk merdeka dalam berfikir agar merdeka
dalam memutuskan pilihan. Politik pedagogi Syahrir
bermotif kemanusiaan yang universal yaitu
membantu rakyat keluar dari lingkaran kolonialisme,
fasisme dan feodalisme. Dengan merdekanya
Indonesia bagi Syahrir merupakan langkah awal
untuk memerdekakan manusia di dalamnya.
Pemikiran Sutan Syahrir juga cenderung kepada
ideologi sosialisme demokratis yang terbentuk
sepanjang ia menempuh pendidikan di Belanda
sebagai mahasiswa Hukum Universitas Amsterdam.
Bagi Sjahrir, sosialisme adalah salah satu jalan
memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan
manusia. Bebas dari penindasan serta penghinaan
oleh manusia terhadap manusia lainnya. Hal ini
tergantung juga pada kesanggupan rakyat dan
bangsa Indonesia dalam mewujudkan sosialisme
tersebut. Melihat Indonesia sudah memiliki
kedaulatan negara dan pemerintahan secara
independen. Ideologi ini pun membangun perspektif
yang mendasar, bagaimana Syahrir melihat politik.
Baginya politik itu harus memiliki konsep
kolektivitas bukan komunalitas, sebab jika politik
berjalan dengan komunalitas, politik akan menutup
diri dari percakapan argumentatif. Selain itu juga
mematikan kemerdekaan sekaligus memperbudak
individu. Sebaliknya di dalam kolektivitas, politik
dipahami sebagai urusan publik yang harus
dipercakapkan dengan perhitungan pikiran, dan
bukan dengan pemaksaan doktrinal. Jelas halnya
bahwa konsep kolektivitas menjunjung tinggi
kemerdekaan individu, tetapi diluar konteks
kepentingan individu. Perbedaannya terletak pada
kemerdekaan individu memungkinkan politik
berjalan secara argumentatif, sedangkan
kepentingan individu akan melanggengkan
transaksi-transaksi bercorak oportunis. Politik yang
berdasarkan kebebasan individu menggarisbawahi
bahwa kebenaran tidak boleh berubah menjadi
doktrin tunggal, kebenaran itu harus terus memiliki
pembanding sehingga terjadi regulasi pemikiran
melalui argumentasi.

CINTA POLITIK MENGHASILKAN KEADILAN.

Bertepatan dengan hari Perempuan Internasional


yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Jurnal Perempuan
bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) didukung oleh
Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste
dan Ford Foundation mengadakan Pendidikan
Publik JP 96 Feminisme dan Cinta pada Kamis, 8
Maret 2018. Pada acara yang bertempat di Gedung
Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta ini panitia
menghadirkan Rocky Gerung, Pengajar Kajian
Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan sebagai
pembicara dalam kuliah umum berjudul “Cinta dan
Politik”. Sementara itu, dalam sesi diskusi dengan
tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka
Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 panitia
menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri
Nurherwati, S.H.
Rocky Gerung membuka kuliah umum tentang
“Cinta dan Politik” dengan menyampaikan bahwa
cinta dan politik tumbuh dari energi yang sama,
yaitu menghasilkan keadilan. Namun, dua hal
tersebut hari-hari ini dirasa kurang bergairah dalam
dunia kampus. Akhir-akhir ini ekspresi cinta dan
politik seperti terpenjara, padahal dua-duanya
adalah narasi utama dalam kampus yakni keadilan
dalam cinta dan keadilan dalam politik. Mengapa
cinta dan politik kekurangan gairah dalam
kehidupan kampus belakangan ini? Hal ini
dikarenakan ada suatu moral besar yang mengatur
cara kita menyampaikan rasa sayang. Moral besar
itu menurut Rocky Gerung merupakan moral yang
dibuat di langit, bukan hasil kesetaraan kampus.
Demikian juga dalam politik, terdapat moral besar
yang mengatur kita hingga kita harus memiliki
sopan santun dalam berpolitik. Suasana bangsa
kita saat ini kebanyakan jalan tol namun
kekurangan jalan pikiran, hal ini sangat berbahaya
bagi sebuah bangsa yang ingin mempercepat
demokrasi. Menurut Rocky, terlalu banyak
kecemasan dalam kehidupan kita baik dalam
bercinta maupun berpolitik, banyak kekhawatiran
yang dialami karena kontrol logika laki-laki yang
telah ada sejak lama. Logos spermatikos
menempatkan perempuan ada pada posisi pasif
yang tidak perlu melakukan apa-apa, hanya
menunggu untuk diisi saja. Peradaban ini
dikendalikan oleh logos spermatikos, hanya ada
satu ovum yang dapat dibuahi oleh karena itu harus
banyak sperma yang disebarkan. Penyebaran
tersebut yang menurut Rocky menghasilkan
penindasan dan diskriminasi. Lebih lanjut Rocky
menyampaikan bahwa kekerasan terhadap
perempuan bekerja dengan logos spermatikos, dan
ini luput dari perhatian universitas. Hal ini
disebabkan oleh lambannya perkembangan
feminisme dalam dunia kampus. Terdapat
anggapan bahwa kampus tidak boleh mengajarkan
hal-hal yang membahayakan moral. Akan tetapi
kondisi tersebut tidak lagi berlaku karena
feminisme saat ini berada di puncak ilmu
pengetahuan. Feminisme yang dulu dianggap
berbahaya justru sekarang dianggap sebagai
pengetahuan baru yang memungkinkan untuk
mengatur kembali konsep keadilan. “Feminisme
yang dulunya unspeakable kini menjadi
unstoppable," ujar Rocky. Mengenai politik, Rocky
menyoroti Pemilu 2019 yang akan datang. Ia
mengemukakan pendapat yang berkembang bahwa
alternatif yang ditawarkan terlalu ekstrem yakni
hanya ada dua pasangan calon di republik ini.
Masyarakat merasa bahwa dalam keadaan seperti
itu, sulit untuk menciptakan kreativitas dan ide-ide
baru. Sementara itu, di media lain terdapat
diskursus tentang calon tunggal. Ada upaya untuk
menyodorkan konsep baru yakni dengan dalil
efisiensi sebaiknya pemilu ke depan ditumpukan
pada teori calon tunggal. Jadi, jika di awal ada dua
blok, maka dua blok tersebut akan dijadikan satu,
itu diskursus yang ada di publik saat ini. Namun,
hingga saat ini kita belum mendengar universitas
membicarakan hal tersebut. Menurut Rocky,
universitas harus melakukan filter terhadap
arogansi kekuasaan, jangan sampai arogansi
kekuasaan menutup semua kemungkinan untuk
menambahkan IQ nasional, jangan sampai politik
menutup peluang untuk menambah kecerdasan
universitas. Dalam tema tersebutlah Rocky
mengaitkan antara cinta dan politik, cinta dan politik
memiliki kesamaan yakni mengarah pada
kesetaraan dan keadilan. Cinta dan politik tumbuh
juga dalam kompetisi, orang tidak akan menikmati
cinta dan politik tanpa ada kompetisi, dua-duanya
tumbuh dalam kecemburuan yang masuk akal.
Menurut Rocky, baik dalam bercinta dan berpolitik
kita harus menumbuhkan kecemburuan dalam porsi
yang masuk akal. Rocky menganjurkan untuk
memperbanyak cinta dan memperbanyak politik,
menurutnya pecinta yang baik akan menjadi politisi
yang beretika demikian pula sebaliknya. Lebih lanjut
Rocky mengatakan bahwa kita dapat tersesat
dalam perjalanan cinta dan politik, tapi yang penting
adalah keinginan kita untuk menempuh cinta dan
politik dengan satu tujuan bersama yaitu
menyempurnakan kebebasan dan menghasilkan
keadilan. "Jadi teman-teman selagi masih muda
perbanyak energi kita, perbanyak energi politik,
hanya dengan itu kita bisa menambahkan akal
sehat dan memungkinkan kita untuk tumbuh dalam
kebebasan,"
FILSAFAT DAN AROGANSI

Filsafat tidak mungkin arogan. Sejak awal filsafat


merupakan pertengkaran pikiran dengan alat
dialektika dan logika. Eksploitasi dari arogansi di
dalam wilayah filsafat akan menyebabkan pikiran
terhenti. Filsafat yang dibicarakan di sini bukan
filsafat sebagai bidang studi. Filsafat adalah
intervensi manusia terhadap establishment. Musuh
bebuyutan filsafat adalah finalitas. Proposisi utama
filsafat adalah menghubungkan kontrafinalitas
sebagai upaya membuka percakapan rasional dan
sosial.
Misalnya dalam hal local wisdom yang menyatakan
bahwa perempuan tidak boleh menikmati
rasionalitas karena watak perempuan adalah
emosionalitas. Pikiran seperti itu kemudian
dibakukan melalui code of conduct di dalam
masyarakat tradisional. Arogansi yang dipelihara
seolah-olah dipelihara oleh kode-kode kebudayaan
yang di dalamnya tersimpan relasi kuasa. Di situlah
filsafat berfungsi untuk menginterupsi. Arogansi
yang dibicarakan bukan tentang watak, namun
adalah kekurangan pikiran yang diasuransikan pada
kekuasaan. Lebih lanjut Rocky mengatakan salah
satu hal yang menyuburkan arogansi adalah
conspiracy of silence. Hal itu juga ditemukan di
universitas. Ukuran bagi universitas adalah
memproduksi gelar sebanyak-banyaknya, bukan
memproduksi pikiran. Di situlah kesalahan desain
akademis kita dan filsafat menyediakan diri sebagai
melting pot. Filsafat merupakan upaya sadar untuk
menginterupsi arogansi ilmu pengetahuan. Pada
akhirnya, selama kultur arogansi bekerja sama
dengan kultur diam, maka pikiran tidak mungkin
berkembang. Gadis Arivia melanjutkan
pembicaraan dengan memunculkan Hannah Arendt
yang pada tahun 1973 membunyikan teori serupa.
Alasan terjadinya pembunuhan oleh Nazi secara
besar besaran adalah karena lack of thinking.
Adanya aktivitas berpikir yang macet.
Menghubungkan arogansi dan filsafat masuk
kepada hal yang penting sekali, yaitu arrogance of
judgment. Persoalan arogansi kemudian masuk ke
wilayah etis. Kultur diam membuat kita jadi malas
berpikir dan malas mengkritik. Menjadi
irresponsible.

MENGAKTIFKAN POLITIK.

Di sini kita bertemu lagi dengan rasionalitas


demokrasi: Kebenaran politik adalah apa yang
dapat disepakati dalam Batas-batas bahasa
manusia. Artinya, semua “proposal Kebenaran”
hanya boleh diedarkan dalam terminologi Sosial,
dan bukan dalam terminologi akhirat. Memang,
Demokrasi akan terus dieksploitasi oleh
kegandrungan Pada “yang metafisik”, oleh
kerinduan pada "yang belum Ada”, oleh pemujaan
pada “yang absolut”, tetapi kondisi Sosiologis
manusialah yang menjadi batas operasi demokRasi
Kondisi teologis manusia adalah orientasi eksklusif
Setiap orang yang tddak mungkin dikontestasikan
dalam Sistem demokrasi. Karena itu, ia berada di
luar batas bahasa Manusia, berada di luar wilayah
konsensus demokrasi. Bagi kita di sini, sekarang,
keperluan untuk meradi Kalisasi demokrasi
sungguh diperlukan karena pelem Bagaan politik
kita belum menghasilkan etika toleransi. Demokrasi
juga belum berhasil mendistribusikan keadilan
Ekonomi karena electoral politics telah
mengungguli citi Zenship politics. Ada surplus
kekuasaan di parlemen, tetapi Etika parlementarian
terus mengalami defisit. Kita memang Menikmati
political rights (hasil reformasi), tetapi civil Liberties
kita justru terancam oleh pandangan pandangan
Kebudayaan yang absolutis. Dalam bahasa filsafat
politik hari ini kita perlu menyelenggarakan
demokrasi dengan mempertahankan
kesementaraan abadi” dari kebenaran, sambil terus
men Dorong percakapan publik untuk
mempersoalkan ketidak-Adilan dan kekerasan
sosial berdasarkan ukuran-ukuran Sejarah dan hak
asasi manusia.Inilah program minimal untuk
menjaga ruang percakapan demokratis
berlangsung dalam semangat falibilis, dan
menghalau semua retorika dogmatis yang dikemas
dalam jargon-jargon demokrasi. Dengan cara itu
toleransi dan kemajemukan dapat dipertahankan,
dan perjuangan untuk keadilan sosial dapat terus
dikerjakan.Pada akhirnya, demokrasi memang perlu
bertumbuh mengikuti keperluan sejarah. Dengan
memahami kritikpos-modernis (dan postrukturalis
Lacanian), demokrasi akan selalu berada dalam
kondisi-istilah Guillermo O'Donnell the perpetual
absence of something more. Antisipasi inilah yang
perlu kita manfaatkan secara strategis, sambil
mempertimbangkan untuk mengisinya dengan spirit
disensus politik kiri untuk mengutip Alain Badiou:
politics is the art of attacking the impossible.
Mengaktifkan politik de- ngan cara ini, dapat
menghindarkan kita dari pesimisme dan disilusi.

ANALISIS WACANA KRITIS FEMINISME

diskursus tidak pernah netral, selalu ada


kepentingan di baliknya, hal inilah yang dijadikan
alasan para analis wacana kritis untuk mengajukan
kecurigaan pada diskursus yang selama ini telah
terjadi. Rocky menerangkan bahwa ada perbedaan
yang cukup mendasar antara Diskursus dengan
AWK, yakni tentang pemaknaan bahasa dalam
kehidupan. “Diskursus” sepakat dengan ahli
linguistik yang menganggap bahwa bahasa adalah
hal yang mengatur segala bentuk kegiatan manusia,
sehingga bahasa adalah hal paling utama yang
mendeterminasi kehidupan kita. Dalam diskursus,
bahasa dianggap mendahului manusia dan
karenanya kita terikat secara struktur dengan
bahasa. Rocky memberikan analogi teka-teki silang
(TTS) untuk menggambarkan bagaimana diskursus
bekerja. Apabila ada sebuah TTS dengan petunjuk:
Jurnal feminis terbaik di Asia Tenggara misalnya,
dengan huruf akhir “N”, maka sudah pasti
jawabannya adalah “Jurnal Perempuan”, tidak
mungkin diisi dengan jawaban lain semisal “Zakir
Naik" karena strukturnya memang sudah demikian,
Zakir Naik berakhiran huruf "K" bukan huruf "N". Hal
ini sebenarnya menggambarkan bagaimana bahasa
secara struktur dan grammar sangat membatasi
ide-ide pembaruan yang mungkin ada namun tidak
terlihat. Di sisi lain, AWK berusaha membongkar itu
semua. Apabila mengaitkan kembali dengan
analogi TTS di atas, maka cara kerja AWK adalah
dengan mempertanyakan siapa yang membuat TTS
tersebut dan apa tujuannya sehingga saya tidak
bisa menjawab pertanyaan tersebut? AWK
bertujuan untuk mengungkap power atau
kekuasaan yang ada di balik diskursus selama ini.
AWK juga berfungsi sebagai alat untuk
membongkar relasi kuasa yang mendukung sebuah
diskursus sehingga tercipta sebuah ketidakadilan.
Cara kerja AWK, apabila disederhanakan adalah
dengan selalu mencurigai sistem bahasa dan
skeptis terhadapnya. Sehingga,Sehingga, Rocky
menyimpulkan setidaknya ada dua hal mengapa
diskursus dapat menciptakan ketidakadilan apabila
kita tidak menggunakan AWK sebagai pisau
analisisnya. Pertama, diskursus selalu bergantung
pada struktur bahasa dan grammar yang mengikat.
Kedua, karena bahasa adalah sesuatu yang
mengikat dan membatasi, maka membuat proses
peradaban menjadi tidak adil dan inhuman.
Diskursus sejatinya harus memasukkan
autentisitas dari sebuah keadaaan, namun karena
bahasa yang begitu mengikat, maka yang terjadi
adalah sebuah ketidakadilan. Rocky berpendapat
bahwa ketidakadilan ini paling terasa dialami oleh
perempuan. Feminisme adalah pisau analisis yang
paling tajam untuk menganalisis ketidakadilan yang
terjadi pada perempuan dari aspek manapun, entah
politik, ekonomi, pendidikan, sistem kelas, dan lain
sebagainya. Titik tolak keberatan feminisme
terhadap diskursus menurut Rocky adalah
dikarenakan beban kultur yang sudah terlanjur
patriarkis sehingga menyebabkan perempuan
mengalami standar ganda dalam kehidupan. Titik
tolak kritik selanjutnya dari feminisme terhadap
diskursus adalah mengenai struktur bahasa yang
sangat maskulin sehingga selalu menguntungkan
laki-laki. Oleh karena itu tidak heran bila ada upaya
akademis dari para pemikir feminis untuk
mengubah sistem bahasa yang patriarkis, seperti
yang dilakukan Helene Cixous, Julia Kristeva dan
Luce Irigaray, atau pemberontakan seperti yang
dilakukan bell hooks yang menolak untuk
menuliskan namanya dengan huruf kapital karena ia
anggap bahwa huruf kapital adalah simbol
superioritas maskulin dan patriarki. Rocky
mencontohkan diskursus yang mendiskriminasi
perempuan pada aspek kehidupan dunia kejiwaan.
Seorang perempuan yang gagap, cemas dan
bingung di ruang publik, akan dianggap mengalami
penyakit kejiwaan delirium oleh masyarakat,
Sebetulnya, bisa jadi perempuan ini selama
hidupnya terjebak dalam diskursus yang
menwajibkan ia menjadi seorang yang pasif di
ruang publik. Dengan demikian, AWK dalam
kacamata feminis adalah sebuah upaya untuk
mencapai emansipasi dan reegalitarisasi. Lebih
lanjut Rocky menjelaskan bahwa diskursus sifatnya
selalu melanggengkan kekuasaan, ada sistem
hierarki, dan menjadikan bahasa sebagai institusi
yang secara ketat membatasi ide-ide baru.
Diskursus selalu kaku dan baku sehingga tidak
memberikan ruang untuk analisis lain pada suatu
ide. Ia mencontohkan diskursus tentang ginjal di
dunia kedokteran yang didefinisikan sebagai organ
tubuh semata yang berfungsi untuk mengatur salah
satu sistem ekskresi manusia. Dunia kedokteran
tidak akan melihat ginjal sebagai sesuatu yang
menunjukkan sisi manusiawi seorang manusia
seperti apakah ginjal tersebut milik seorang laki-laki
atau perempuan dengan keadaan tertentu. Rocky
juga mencontohkan diskursus politik yang dibuat
oleh pemerintah suatu negara dalam
mengampanyekan suatu program, seperti program
ajakan pemerintah Singapura kepada warga
negaranya untuk mempunyai anak, dengan sebuah
infografis yang menunjukkan berbagai keuntungan
yang akan didapatkan oleh warga negara Singapura
apabila memiliki anak (lihat di sini). Dari infografis
tersebut dapat terlihat animasi seorang ayah yang
menggendong bayinya, hal ini mungkin untuk
menunjukkan pada masyarakat bahwa masalah
maternitas adalah persoalan laki-laki juga sehingga
ada peran fatherhood di situ, ia sekaligus ingin
mengatakan bahwa kesetaraan gender sudah
tercipta dalam masyarakat Singapura. Rocky
memberikan analisisnya terhadap kampanye
pemerintah Singapura ini. Menurutnya, dengan AWK
kita bisa melihat sisi lain yang diinginkan
pemerintah Singapura dari program ini. Pertama,
Rocky berpendapat bahwa negara sebetulnya takut
untuk memberikan asuransi kepada kelompok
lansia karena dianggap tidak produktif, sehingga
memilih untuk menyubsidi anak yang baru lahir agar
bisa produktif nantinya dan menghasilkan pajak
bagi negara. Kedua, sebetulnya program ajakan
untuk memiliki anak dari pemerintah Singapura ini
ada nuansa rasisme di dalamnya. Secara logis,
apabila ingin menambah penduduk dari suatu
negara, cara yang paling efektif adalah dengan
mendatangkan imigran ke negara tersebut, tetapi
pemerintah Singapura memilih untuk
mengampanyekan untuk tidak takut memiliki anak
di Singapura. Analisis yang ketiga dari Rocky adalah
mengenai permasalahan kelas. Menurut Rocky,
program pemerintah Singapura ini sejujurnya
ditujukan kepada kaum kelas menengah ke atas
dikarenakan kaum kelas bawah akan sulit
mendapatkan akses kesehatan yang layak dan
terjangkau di Singapura. Analisis terakhir yang
dikemukakan Rocky terhadap kampanye ini adalah
betapa sebenarnya diskursus mengenai ajakan
memiliki anak dari pemerintah Singapura ini
diskriminatif terhadap kelompok LGBT, karena
pemerintah Singapura tidak memberikan akses
kepada kelompok LGBT untuk mempunyai anak
dalam kampanyenya (Heteronormatif). Rocky
mengatakan bahwa AWK dapat digunakan sebagai
pisau analisis diskursus apapun termasuk sastra
ataupun mitos yang memberikan ketidakadilan
pada struktur peradaban kita. Ia kembali
mencontohkan bahwa selama ini kita terkurung
dalam pemahaman bahwa dalam kasus Pandawa
vs Kurawa, kita akan selalu menganggap bahwa
Pandawa adalah pihak yang baik dan suci tanpa kita
pernah menganalisisnya lebih jauh terhadap cerita
tersebut. Contoh lain adalah mengenai mitos
Medusa yang dianggap sebagai perempuan yang
dikutuk dan dianggap monster oleh masyarakat
Athena pada waktu itu karena bercinta dengan
Poseidon sang dewa lautan. Analisisnya kemudian
menunjukkan bahwa sebenarnya Medusa diperkosa
oleh Poseidon, lalu dijatuhi hukuman dengan
dikutuk karena sistem masyarakat yang patriarkis
dan selalu menyalahkan perempuan. Tetapi, dari
kisah Medusa pula kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa harapan akan selalu ada ketika sebuah
kepedihan melanda. Hal ini terlihat dari mitos
Medusa yang menceritakan bahwa setelah Medusa
mati dan kepalanya dipenggal oleh Perseus, dari
tetesan darahnya muncul makhluk mitologi lain
bernama Pegasus.Dari berbagai contoh analisis di
atas dengan menggunakan AWK terhadap berbagai
jenis diskursus, sesungguhnya tujuan utama AWK
adalah untuk membongkar rezim politik yang selalu
diuntungkan oleh diskursus karena didukung sistem
bahasa yang kaku sekaligus patriarkis. AWK adalah
sebuah pisau analisis yang sangat dekat dengan
penelitinya karena ia terlibat langsung dengan
output yang dihasilkan dari kritiknya sekaligus
melibatkan subjek peneliti untuk menyuarakan
Audacity of Hopes. AWK juga membatasi subjek
peneliti untuk tidak jatuh sebagai seorang fatalis
ataupun nihilis, serta AWK berfungsi untuk
membatasi bahasa agar tidak menjadi institusi
tunggal yang menjadikan sistem peradaban
menjadi kaku dan terbatas pada ide-ide baru
sekaligus menciptakan hierarki. AWK dan
feminisme selalu tune in untuk membahas
ketidakadilan dan menyuarakan emansipasi. AWK
dalam perspektif feminis digunakan untuk
membongkar dan menghancurkan sistem bahasa
yang maskulin dan patriarkis—atau sering disebut
sebagai atau Phallogosentrisme Logos
Spermatikos sehingga menimbulkan banyak
ketidakadilan terhadap perempuan seperti
membanalkan dan membenarkanmembenarkan
pemerkosaan terhadap perempuan. Rocky menutup
kelas malam itu dengan sebuah kesimpulan bahwa
AWK/CDA adalah wake up call untuk melihat
permasalahan ketidakadilan, meningkatkan
kewaspadaan kita pada potensi krisis dan
pembalikan keadaan politik yang mungkin terjadi,
sekaligus menimbulkan reaksi positif akan adanya
Politics of Hope.

KAJIAN FILSAFAT FEMINISME

Apa argumen final anda tentang hukuman mati?


Bila pembelaan hendak anda ucapkan, cukupkah
dengan mengalaskannya pada prinsip “hukum
positif”? Bagaimana bila penalaran postivistik itu
bercampur dengan alasan moralistik’, semacam
“efek jera”?
Itulah yang terjadi di negeri ini: ketakmampuan para
akademisi menjernihkan duduk perkara, dengan
akibat bercampurnya argumen positivistik dengan
argumen moral. Persoalannya adalah: bagaimana
menguji konsekuensi dari “teori efek jera”,
semata-mata berdasar keinginan memberi "pesan
moral”.
Negara mencabut nyawa seorang manusia hari ini,
agar manusia yang lain menjadi bermoral besok?
Yang berbahaya adalah ketika hukuman mati itu
dipahami sebagai “hadiah” negara untuk
menegakkan moralitas. Jumat lalu (3/6/16), dalam
sebuah diskusi di YLBHI, Jakarta, Robertus Robet,
sosiolog, menerangkan suatu ilusi berbahaya yang
sedang diedarkan pemerintah: bahwa kegagalan
pemerintah menyelenggarakan “keadilan sosial”,
dimanipulasi dengan “menyediakan hukuman mati”
sebagai pengganti rasa keadilan publik. Dan publik
seperti terpuaskan oleh kebijakan itu. Atas nama
nasionalisme, atas nama hukum positif, atas nama
histeria massa, negara memuaskan moral publik
dengan cara manipulatif. Itulah kebengisan yang
dipamerkan negara demi menguasai episteme
kekerasan. Filsuf Michel Foucault pernah
menyebutnya sebagai “festival of torture”. Tapi
apakah itu menimbulkan efek jera? Statistik justru
membantahnya: korelasi antara kejahatan narkotik
tak berhubungan dengan jumlah pidana mati yang
dijatuhkan. Pun dalam kasus kejahatan perkosaan,
kengerian hukuman tak menimbulkan efek jera. Bila
anda memahami penalaran “economic analysis of
law”, dan berpikir sebagai “rational-maximizer”,
maka mudah dipahami bahwa seorang pemerkosa
akan memilih memperkosa sekaligus membunuh
korbannya, karena itulah cara paling “efisien”
memperkecil risiko: korban tak mungkin lagi
bersaksi. Absurditas hukuman mati demi efek jera,
juga terletak pada asumsi bahwa semua orang
adalah potensial menjadi pemerkosa. Logikanya,
yang harus jera adalah “calon pemerkosa”. Siapa
dia? Tak ada yang ingin konyol mau mengaku.
Maka harus dianggap bahwa efek jera ditujukan
pada semua orang. Bila demikian, mengapa
hukuman yang seharusnya diterima nanti oleh
semua orang, telah dibebankan secara akumulatif
pada pelaku hari ini? Tentu, teori penghukuman
telah banyak berubah, terutama karena pemahaman
terhadap “hak asasi manusia”. Bukankah hak hidup
itu tak boleh sekalipun, dalam kondisi apapun,
dibatalkan oleh negara? Dan prinsip itu ada dalam
konstitusi kita! Kita kini ada dalam antropologi
kebengisan: balas dendam! Dan kampus kurang
berusaha memperlihatkan sikap akademis yang
utuh tentang soal ini. Kampus tidak mengolah
argumen untuk menghadapi para pendukung
hukuman mati. Kampus yang gagap karena tak
mampu berpikir konsekuensional. Kampus yang tak
paham filosofi konstitusi. Kampus yang miskin
pikiran. Watak intelektual Apa pikiran anda tentang
kondisi kaum intelektual kini?
Apakah semangat mempertahankan kebebasan
masih menandai mereka?
Apakah akademisi adalah kaum intelektual?
ini. Terutama dalam menerangkan kegagapan
Berpikir dalam “konsep” adalah ciri intelektual. Yaitu
aktivitas mengolah problem dengan mengambil
jarak dari konsekuensi praktisnya. Tetapi sejak
Gramsci, pandangan tradisional itu tak lagi dominan.
Medan politik memerlukan pikiran yang terlibat.
Kaum intelektual menjadi bagian dari perubahan
sosial. Terutama pada feminisme, aktivitas berpikir
adalah aktivitas mengubah kondisi ketidakadilan,
pada seluruh institusi sosial. Seringkali, kondisi
poskolonial menjadi latar dari mental kaum
intelektual hari menghadapi globalisasi. Obsesi
pada otentisitas menyebabkan kegagapan itu
berubah menjadi kebencian pada “yang asing”.
Sindrom poskolonial inilah yang kini menguasai
alam pikiran kampus. Apakah anda memperhatikan
gejala ini?
Bukankah aneh bahwa sikap feodal di antara
akademisi justru tumbuh di kampus? Bagaimana
menerangkan hilangnya tradisi kritisisme di
Universitas? Misalnya bahwa kepangkatan
birokratis menentukan kualitas riset atau jabatan
formal dalam birokrasi kampus sekaligus berarti
keunggulan intelektual?
Dalam debat tentang pengaruh kolonialisme pada
sejarah Afrika, Valentin Mudimbe, filsuf Congo,
menerangkan bahwa yang lebih menentukan adalah
kedalaman ideologis yang ditinggalkan kolonial,
ketimbang lamanya masa kolonial itu. Saya
membaca tesis itu di kita, di sini. Artinya, pada
masyarakat poskolonial, dekolonisasi belum terjadi
pada tahap ideologis dan kampus bahkan menjadi
institusi yang mereproduksi hierarki feodal dalam
dunia pikiran. Hierarki adalah ideologi patriarkis.
Akademisi yang memanfaatkan hierarki birokratik
untuk menghalangi kompetisi pikiran adalah agen
kolonial masa kini. Ia mereproduksi struktur
dominasi dengan cara yang sangat bodoh: takut
pada kebebasan. Maka kita menyaksikan paradoks
itu: penampilan publik seorang akademisi terlihat
palsu, karena di dalam kampus ia sesungguhnya
seorang yang anti keadilan. Ia mengeksploitasi
hierarki karena takut pada kesetaraan. Di dalam
hirarki, ia menjadi penguasa, menjadi patriarkis.
Menjadi kolonialis. Selalu relevan membicarakan
“kaum intelektual” setiap kali kita merasa
kehilangan orientasi dalam membaca “tanda-tanda
zaman”. Tetapi bagaimana anda mampu mengintip
peluang perubahan menuju kemajuan, bila anda
bagian dari mentalitas "takut bebas"? Filsafat
adalah undangan untuk berpikir. Tetapi kampus hari
ini telah berubah menjadi lokasi birokrasi. Isinya
adalah tumpukan formulir. Berpikir mengikuti
format formulir? Itu bukan watak filsafat dan bukan
watak intelektual.
HERMENEUTIKA KARTINI APAKAH ANDA
MEMBACA SURAT-SURAT KARTINI?

Apa yang membekas dalam sejarah sehingga


Kartini harus terus diingat ingatkan? Dalam sejarah,
“membekas” tak sekadar berarti "berkesan",
melainkan "berpesan". Meninggalkan pesan, itulah
pelajaran sejarah. Surat-surat Kartini adalah pesan
sejarah tentang kegelisahan dan harapan, yang
berasal dari keyakinan: bahwa kegelapan tak akan
menetap. Bahwa pikiran dan kecerdasan akan
membawa terang kesetaraan. Pesan tak berasal
dari peristiwa. Peristiwa dapat berkesan, tetapi
pesan harus dibuat agar peristiwa itu menetap
sebagai pelajaran. Kebaya adalah kesan. Tetapi
Emansipasi adalah pesan: bahwa feodalisme
adalah sarang patriarki. Ia ada di dalam
institusi-institusi kita hari ini: partai, birokrasi, LSM,
media, bahkan universitas. Patriarkisme adalah
struktur kekuasaan. Dipelihara oleh partai melalui
sistem oligarki. Dipatuhi pers karena pertimbangan
bisnis. Meluas di kampus melalui doktrinasi moral.
Bahkan dalam berbagai mitos lokal, struktur
patriarki itu dirawat sebagai kearifan. Ketika Zeus
mengirim Pandora ke dunia, raja para dewa itu
membekali si perempuan pintar ini kotak rahasia,
dengan perintah, “Jangan sekali-kali kau buka kotak
itu, Pandora!” Pandora diciptakan oleh semua dewa.
Ia memperoleh seluruh keunggulan semua
penciptanya: Apollo memberinya suara merdu.
Aphrodite mewariskan kecantikannya dan
menyediakan perhiasan mewah. Hermes
membekali kecerdasan terbaik. Pada Pandora,
seluruh kesempurnaan perempuan telah selesai.
Tetapi Pandora menolak patuh pada perintah Zeus.
Ia membuka kotak itu, demi kuriositas,
“Jangan-jangan isinya kamera pengintai.”
“Aku tak ingin dikendalikan!", dengan keputusan itu,
Pandora membuka kotak rahasia itu. Tapi nasib
telah ditentukan: seluruh kejahatan keluar dari
dalam kotak, menyebar ke seluruh dunia. Maka
hukuman jatuh: perempuan adalah sumber segala
kejahatan, “the root of all evil”, “femme fatale”,
"sundel bolong". Kutuk itu bahkan ada dalam doa
seorang laki laki di pagi hari, “Terima kasih Tuhan,
karena aku tidak dilahirkan sebagai seorang budak,
dan tidak lahir sebagai perempuan." 99 Tetapi
dalam hermeneutika feminisme, Pandora bukan
akar segala kejahatan. Ia adalah pembawa terang
kesetaraan: bahwa pengendalian perempuan adalah
kejahatan peradaban. Hari ini, seorang perempuan
diingat karena keberaniannya menuntut terang. Dari
ruang gelap feodalisme, yang kini justru dihuni
kaum cendekia.

PAYUNG HITAM

Apa evaluasi anda tentang kondisi HAM hari-hari ini?


Bagaimana anda melihat arah demokrasi, dari sudut
pandang hak asasi manusia? Akhir-akhir ini, kita
menyaksikan kembalinya politik negara,
memonopoli isu-isu HAM. Negara tetap bersikukuh
pada hukum positif tentang perlunya “hukuman
mati". Negara masih represif pada kebebasan
berpendapat. Negara bahkan permisif terhadap aksi
pembubaran forum diskusi oleh Ormas. Kemarin
adalah Kamis ke-445 bagi Aksi Kamisan, yaitu aksi
tiap Kamis di depan Istana Negara untuk meminta
perhatian negara terhadap pelanggaran HAM.
“Payung Hitam” menjadi semiotika politik dari aksi
yang yang bertahun-tahun berlangsung damai,
hanya untuk menuntut hak: “mereka yang hilang
karena keyakinan politik”, “mereka yang tertindas
karena status agama”, “mereka yang tersingkir
karena membela lingkungan”, dst. Tak ada massa
yang mengamuk pada setiap Kamis itu. Sekadar
berkumpul dan berbagi semangat hidup, berorasi
liris, atau cukup berdiri diam, dengan satu pesan:
“hak kami belum kembali”. Itulah politik Kamisan,
menunggu karena percaya ada harapan. Kemarin,
Safina, mahasiswa Filsafat UI, pada Kamisan
ke-445 itu, meringkas “semiotika payung hitam”,
dalam satu kalimat liris: “kamisan adalah aksi diam,
yang didiamkan”. Ia mengalami Kamisan sebagai
suatu peristiwa keadilan. Kemerdekaan adalah
ruang hidup demokrasi. Kemanusiaan hanya
bermakna dalam kemerdekaan. Bahkan pada
kesetaraan makhluk, kita memahami makna “ethics
of care” itu: kepedulian adalah kepekaan pada
ketidakadilan. Ibu Sumarsih, seorang yang tak
pernah letih berdiri setiap Kamis di depan istana,
tak hanya ingin mengenang putranya, Wawan, yang
berkorban nyawa memperjuangkan demokrasi pada
1998. Ia hanya ingin agar “diamnya tak didiamkan”.
“Ethics of care” adalah sinopsis dari filsafat
feminisme. Ia menjadi 'lonceng nilai' hari-hari ini,
bahwa kemerdekaan adalah hak setiap makhluk.
Bahwa keadilan adalah aturan alam semesta.
Bahwa persaudaraan adalah hakikat kemanusiaan.
Ingatan tak hilang, bila pkiran tak lumpuh. Ibu
Sumarsih mengajarkan itu, lebih dari semua teori
keadilan yang pernah kita pelajari dalam kelas
filsafat. Seorang mahasiswa menemukan itu
dengan mengalami Kamisan sebagai peristiwa
diam yang politis. Generasi bertumbuh dalam
ingatan. dalam ingatan. Politik memburuk dalam
kekuasaan. Tetapi harapan memberi keyakinan
bahwa “yang diam”, tak berarti "tak ada.
ETIKA FEMINISME

Setujukah anda bila “kekerasan seksual” diatur


tersendiri sebagai undang-undang khusus (lex
specialis) di luar pengaturan KUHPidana? Artinya,
delik “kejahatan seksual” akan dirumuskan
berlainan dengan definisi kejahatan dalam
KUHPidana. Kemarin saya memberi kuliah umum
soal itu di FHUI, dengan pendekatan feminist legal
theory. Beberapa dosen Fakultas Hukum UI
agaknya berupaya menjadikan matakuliah ini “wajib”
dalam kurikulumnya. Terlihat urgensi untuk
merevisi kurikulum dalam upaya merelevankannya
dengan tuntutan asas keadilan terhadap
perempuan. Mata kuliah ini tumbuh dari upaya
filsafat feminis untuk menghasilkan perspektif kritis
dalam membaca "peristiwa hukum”. Anda tahu
bahwa di negeri ini setiap 2 jam terjadi 3 kekerasan
seksual pada perempuan, dan hukum tak mampu
memprosesnya. Artinya, ada masalah mendasar
dalam sistem hukum, sehingga perlu terobosan
paradigma. Terutama dalam segi pembuktian,
persyaratan-persyaratan hukum acara tak mampu
memahami konstruksi peristiwa kejahatan seksual
sebagai kejahatan terhadap integritas tubuh dan
seluruh psikologi perempuan. Rumusan
konvensional tentang kekerasan seksual, selalu
sekadar dilekatkan pada segi “kesusilaan”.
Konstruksi patriarkis sebagai latar kekerasan
seksual tak diperhatikan. Kritik teori hukum feminis
adalah bahwa cara membaca hukum telah
mengabaikan hal paling mendasar, yaitu relasi
kuasa dari kejahatan. Begini: bila seorang laki-laki
menyerang seorang laki-laki, maka si penyerang
akan menghitung korbannya sebagai "mampu
menyerang balik”. Tetapi bila korbannya adalah
perempuan, maka si laki-laki penyerang akan
menganggap bahwa korbannya “tak mampu
menyerang balik”. Jadi, dari awal telah terjadi
ketimpangan kekuasaan. Ada surplus arogansi
pada laki-laki, dan defisit moril pada perempuan,
karena ia mengadopsi pikiran umum bahwa ia
memang tak berdaya. Artinya, dalam serangan
seksual, selalu ada “pretext” kekuasaan.
Mengusulkan sebuah “lex specialis” untuk
menangani kasus kasus kekerasan seksual adalah
upaya untuk mengubah paradigma hukum yang
bias gender itu. Itu seharusnya menjadi urusan
akademis yang serius dan konsisten. Kampus
diminta untuk menghasilkan argumen filosofis yang
kuat. Tetapi hambatan terbesar dalam upaya
pembaruan hukum adalah sikap palsu di kalangan
akademisi. Mereka bicara tentang keadilan bagi
korban, tetapi pada saat yang sama menampilkan
sikap patriarkis menindas koleganya. Patriarkisme
dapat dipraktikkan siapa saja! Feminisme memang
bukan sekadar soal kecerdasan akademis.
Feminisme pertama-tama adalah soal kecerdasan
etis. Tentang pikiran generasi Selamat pagi. Apakah
pikiran generasi muda tentang “Keindonesiaan”?
Pernahkah anda memikirkannya sebagai masalah
dengan kedalaman filosofis? Generasi yang
menolak digurui karena yakin pada kemampuannya
sendiri.
Generasi yang memandang dunia sebagai “sphere
of possibilities”. Minggu lalu saya berceramah
tentang “kondisi globalisasi” di Tempo Institute.
Dalam diskusi, seorang peserta menerangkan
bahwa tak mungkin menyeragamkan cara berpikir
masyarakat Indonesia dalam menghadapi
globalisasi. Dia menganggap bahwa “teori-teori
besar cenderung menggurui” masyarakat lokal, dan
itu menimbulkan reaksi antipati. Apa sebetulnya isi
pikiran yang hendak ia sampaikan? Saya tertarik
pada kalimat “menggurui” itu. Jadi, bukan ide dan
pikiran global itu yang jadi soal tetapi cara
menyampaikannya yang “menggurui”. Ini soal
pedagogi. Kita tidak meloloskan argumen dengan
nalar semata. Keinginan untuk menghadirkan
pertukaran pendapat membutuhkan suasana
egaliter terlebih dahulu. Reaksi antipati adalah
“defence mechanism” yang disediakan evolusi
untuk menghadapi "yang asing". Semacam reaksi
alergi terhadap zat asing yang memasuki tubuh.
Menggurui adalah sikap otoriter. Ia tidak berasal
dari niat menghasilkan pengetahuan. Fungsi
pedagogi adalah mengaktifkan perdebatan metodik.
Anda tidak menegakkan wibawa akademisi dengan
jabatan. Kewibawaan hanya tumbuh dari
penghormatan kolegial terhadap sikap pedagogis
anda. Menggurui menghalangi kehendak bebas
individu untuk mencapai pengetahuan dalam
suasana egaliter. Terlebih dalam era keberlimpahan
informasi dan sumber pengetahuan, sikap
menggurui terasa sebagai sinyal kekurangan
pengetahuan. Generasi tak dapat didikte. Guru-guru
mereka ada di dunia maya. Dan kebebasan mereka
untuk menyusun alam pikirannya sendiri harus
dihormati. Universitas seharusnya menjadi pelopor
kultur egaliter. Generasi baru berhak tumbuh dalam
semangat itu. Itulah pentingnya sebuah generasi
memiliki “free will”. Ketika filsafat mempromosikan
“free will” sebagai dasar kehidupan kampus, itu
bukan dimaksudkan sebagai tema kuliah metafisika
semata. Anda tidak membicarakan “free will”
sambil membungkuk-bungkuk pada otoritas. Sikap
palsu inilah yang merongrong kesetaraan kolegial.
Free will adalah suatu etika politik. Dasarnya bukan
metafisik, tetapi etik. Artinya, kehendak anda hanya
disebut kehendak bebas bila ia tidak berada di
bawah kehendak orang lain.

HUKUM MASIH DIPALSUKAN OLEH KEPENTINGAN

Rocky membuka pembicaraannya dengan


menganalisis gramatikal hukum yang jika kita amati
ternyata setiap pasal dalam diktat hukum dimulai
dengan kata “barangsiapa” yang diperuntukkan
sebagai subjek hukum. Namun kata “barangsiapa”
sebenarnya adalah sebuah gramatikal laki-laki yang
menunjukkan bahwa subjek hukum adalah kaum
laki-laki. Rocky Gerung Dosen filsafat FIB
Universitas Indonesia melanjutkan, “Dibalik subjek
hukum itu ada sebuah sejarah panjang tentang
penyingkiran perempuan dalam hukum”.
Rocky mengibaratkan bahwa hukum itu seperti
lorong dalam rumah yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan, dimana jika batas dari lorong dilalui
maka perlu hukum untuk mengaturnya, sehingga
sebenarnya hukum berawal dari ruang privat, dari
kamar tidur, dari lorong rumah, dari ruang domestik.
Seluruh aktivitas hukum menjadi aktivitas publik,
hukum mengatur perselisihan di ruang publik
dimana ruang publik telah dikuasai oleh laki-laki.
Lebih lanjut Rocky mengungkapkan bahwa
Undang-undang Kekerasan Dalam Tumah Tangga
(KDRT) adalah upaya bring justice back into the
home yang selama ini dirampas oleh peradaban
laki-laki. Tubuh perempuan adalah sumber
diskriminasi ekonomi, sosial, budaya. Ketidakadilan
ekonomi mungkin masih bisa diatasi oleh perbaikan
regulasi, namun ada hukum kultural dimana setiap
orang dikendalikan oleh peraturan moral dan
perempuan lagi-lagi tidak mendapatkan keadilannya.
Keseimbangan alam mengatakan bahwa semua
orang berhak mendapat keadilan di meja hukum,
dari wacana itulah lahir teori hukum feminis yang
digunakan untuk mereduksi hukum dimana kaum
feminis memperjuangkan agar pengalaman
perempuan bisa dijadikan sumber hukum baru,
bukan hanya ethics of rights namun ethics of care
juga dilibatkan. Selama cara berpikir hukum tidak
direvisi maka diskriminasi hukum terhadap
perempuan akan terus berlangsung. Hukum masih
dipalsukan oleh kepentingan patriarki. Melli Darsa
adalah contoh perempuan ekstrem yang berusaha
menerobos langit-langit kekuasaan laki-laki di
bidang hukum.

FILSAFAT POLITIK SEBAGAI ALAT EVALUASI ADA


KEBUTUHAN AKADEMIS UNTUK MENGEVALUASI
POLITIK”,

Melanjutkan pernyataan di atas, Rocky menjelaskan


bahwa politik tidak hanya dapat dievaluasi oleh tim
sukses sebagai elit politik, tetapi juga warga negara
yang memiliki kepentingan dengan masa depan
politik bangsa. Tidak hanya berdasarkan pada
kepentingan semata, namun menurutnya
masyarakat perlu untuk mengevaluasi politik karena
adanya kebutuhan untuk membaca seluruh
permasalahan politik. Rocky mengatakan bahwa
pemilu merupakan alat untuk menyelesaikan
permasalahan politik tetapi pemilu juga dapat
menimbulkan permasalahan politik apabila tidak
ada evaluasi kritis dari masyarakat. Rocky
menjelaskan bahwa politik sendiri sesungguhnya
merupakan suatu persoalan etis karena pada
awalnya politik adalah upaya untuk
mendistribusikan keadilan. Filsafat politik sendiri
muncul setelah adanya gejala-gejala patologis
dalam politik. Rocky menyampaikan bahwa
pertanyaan yang muncul dari gejala patologis
tersebut adalah; mengapa politik yang tadinya
adalah ideal berubah jadi buruk sehingga
dibutuhkan evaluasi terus menerus? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, menurut Rocky
diperlukan filsafat politik. Peran utama dari filsafat
politik adalah mengevaluasi kondisi politik serta
mengevaluasi antara "election” dan"decision”.
Rocky menjelaskan bahwa maksud dari
kesenjangan dua hal tersebut ialah kekecewaan
publik atas hasil pilihannya yang justru terpilih larut
dalam kekuasaaan. Lebih lanjut Rocky membahas
mengenai dasar dari filsafat politik. Ketika berbicara
mengenai filsafat politik maka terdapat tiga hal
yang akan terus dibahas yaitu, keadilan (justice),
kebebasan (freedom),dan kedaulatan
(sovereignity)..Rocky menjelaskan tiga hal tersebut
dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti;
bagaimana mendistribusikan keadilan hingga tidak
ada disparitas? Bagaimana kebebasan seorang
individu bisa dimaksimalkan tanpa menghalangi
kebebasan individu lain? Bagaimana agar ketertiban
kehidupan politik dijamin oleh kekuasaan yang sah?
Rocky menjelaskan bahwa politik sejak awal
merupakan pertanyaan pertanyaan tentang apa itu
masyarakat yang adil, apa itu masyarakat yang
memelihara kebebasan, dan apa itu masyarakat
yang pemerintahnya berdaulat berdasarkan
legitimasi dari rakyat. Namun, menurut Rocky hal
tersebut merupakan konsep awal filsafat politik
yang saat ini sudah tidak lagi dibahas lebih lanjut.
Pada masa kini, filsafat politik mengalami
pergeseran konsep karena munculnya persoalan
etis baru dalam masyarakat, yaitu lingkungan
(enviroment)..Jauh sebelum adanya pergeseran etis
masalah lingkungan, gerakan perempuan telah lebih
dahulu melakukan interupsi dalam filsafat politik
yaitu dengan ethics of care. Hal tersebut terjadi
karena tiga konsep dasar filsafat politik seluruhnya
memihak laki-laki, Rocky menjelaskan bahwa para
feminis menyatakan apabila relasi gender belum
diselesaikan maka keadilan, kebebasan, dan
kedaulatan hanya akan dinikmati oleh laki-laki.
Adanya pergeseran nilai etis dalam masyarakat
memberikan suatu corak tersendiri bagi filsafat
politik. Pada masa sekarang ini, masyarakat melihat
pergerakan politik tidak hanya dalam konteks hak
politik dan demokrasi tapi juga bagaimana
lingkungan memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat yang akhirnya pun
berpengaruh pada kontestasi politik. Meski adanya
perubahan nilai etis dalam masyarakat, nilai-nilai
dasar filsafat politik sesungguhnya tetap dan tidak
pernah berubah. Konsep keadilan, kebebasan, dan
kedaulatan merupakan tiga hal dasar yang terus
dan tetap menjadi indikator evaluasi dalam politik.
Pada akhirnya filsafat politik merupakan alat
evaluasi dari kekuasaan yang berkuasa untuk
memeriksa kembali apakah apakah keadilan,
kebebasan, dan kedaulatan berpihak pada
masyarakat.

MENCARI KEADILAN EKOLOGIS

Antroposentrisme, yaitu perspektif bahwa manusia


merupakan pusat atau ukuran sentral dari
segala-galanya telah mereduksi lingkungan sebagai
yang liyan. Alam hanya dianggap sebagai benda
untuk dieksploitasi, dikonsumsi dan dimodifikasi
demi terpenuhinya kebutuhan manusia. Logika
antroposentrisme memberikan jalan bagi
eksploitasi alam yang pada hari ini didukung oleh
intervensi teknologi. Akibatnya tidak dapat dihindari,
yaitu krisis lingkungan dengan berbagai bentuk
yang mengorbankan manusia itu sendiri. Kalkulasi
eksploitasi lingkungan pada akhirnya hanya
terbatas pada profit korporasi, tidak pernah pada
korban. Mereka yang Membela Alam ikan yang
Wayan Perak, seorang nelayan dari desa
Kedonganan, selama berbulan-bulan tidak lagi
melihat dulu berkelimpahan di perairan Benoa.
Reklamasi yang dilakukan oleh korporasi dengan
mengeruk perairan Benoa telah merusak ekosistem
dan lingkungan hidup di sekitarnya. Ikan ikan mati
dan para nelayan kecil seperti Wayan kehilangan
pekerjaan. Wayan mengaku sebelum ada reklamasi,
ia bisa mendapat ratusan ikan setiap harinya.
Eksploitasi itu juga berdampak bagi kegiatan
spiritual masyarakat Bali karena luapan air akibat
pengerukan membanjiri Pura di sekitarnya.
Pengerukan di perairan Benoa juga akan
mengakibatkan air pasang yang bisa merusak
desa-desa di sekitarnya. Jika terjadi, dampaknya
akan sangat ekstrem karena sungai-sungai di desa
sekitar bergantung pada Benoa. Perlawanan Bali
Menolak Reklamasi yang selama ini dilakukan
Wayan direspons oleh aparat dengan merobek
baliho-baliho yang terpasang agar para pejabat
yang datang tidak melihat permasalahan itu. Hal itu
tidak menghentikan perjuangan Wayan dan
masyarakat Bali untuk menolak reklamasi. Pada
akhir kesaksiannya, Wayan Perak mengepalkan
tangan dan berkata, “Tolak reklamasi!”.Perlawanan
dari perempuan memiliki warna yang berbeda. Di
Rembang, terutama di Gunung Kendeng, dilakukan
karst untuk bahan baku dan pertambangan semen
pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia.
Eksploitasi itu mendapat perlawanan dari para
petani Rembang yang terdiri dari ibu-ibu petani.
Sukinah, salah satu petani memberikan kesaksian
tentang perjuangan mereka mempertahankan
lingkungan. Sukinah bercerita, para ibu-ibu petani
melakukan perlawanan dengan lesung, alat dalam
pertanian yang digunakan untuk menumbuk padi.
Mereka bermain musik dengan Lesung sambil
menyanyikan lagu berbahasa Jawa tentang
kesedihan dan kepedihan Ibu Pertiwi karena
buminya dirusak. Bagi Sukinah, lesung adalah
simbol dari petani, bahwa kehidupan petani sangat
dekat dengan alam. Sebelum Sukinah bersaksi,
diputar video yang memperlihatkan kekerasan yang
dilakukan oleh brimob kepada ibu-ibu petani di
Rembang. Mereka dipukuli, dilempar ke
semak-semak dan bahkan dicekik oleh aparat.
Murtini, ibu yang dipukuli oleh brimob karena
mempertahankan lesung juga hadir dan
menceritakan kejadian itu. Di antara ibu-ibu yang
melakukan aksi penolakan, beberapa ada juga yang
sedang hamil. Mereka sangat tidak menginginkan
alamnya dirusak demi kepentingan profit karena
mereka memiliki kedekatan langsung dengan alam.
Mereka begitu mencintai alam sehingga ketika
pihak korporasi menawarkan sejumlah uang
kompensasi, mereka menolaknya. Ibu-ibu petani
Rembang lebih memilih hidup sederhana dengan
alam. Bagi mereka, uang tidak bisa menggantikan
kesederhanaan hidup dekat dengan alam.
Kesaksian terakhir datang dari Sardi, seorang warga
dari Desa Cibideo, Baduy. Sardi menceritakan
kegiatan masyarakat Baduy yang banyak diisi
dengan bertani dan membuat kerajinan tangan.
Masyarakat Baduy menjunjung tinggi nilai
kebersamaan. Mereka membagikan hasil panen
padi kepada warga untuk dikonsumsi bersama.
Padi bukan komoditas yang diperjualbelikan di sana.
Untuk wisatawan, mereka menjual buah-buahan
seperti duku, petai dan duren serta hasil kerajinan
tangan seperti tas, selendang dan kain.Transaksi
dengan uang memang dilakukan, terutama dengan
wisatawan, meskipun sistem barter masih ada.
Uang yang mereka miliki sebagian besar digunakan
untuk keperluan kemasyarakatan. Masyarakat
Baduy memiliki ritual kawalu yang dilakukan selama
tiga bulan dalam satu tahun. Saat kawalu mereka
berpuasa dan dan tidak tidak memperbolehkan
wisatawan datang. “Manusia memiliki sifat rakus,”
ucap Sardi, ‫ לל‬sehingga ritual itu perlu dilakukan.
Mereka bersikap resisten terhadap teknologi
non-alamiah. Mereka tidak menggunakan sabun,
shampoo maupun odol untuk membersihkan badan.
Cukup dengan air. Resistensi itu juga dibuktikan
dengan penolakannya terhadap bantuan listrik dari
pemerintah. “Tidak boleh, jadi kami tolak,” papar
Sardi. Soal pakaian, hanya warna hitam dan putih
yang diizinkan. Warna bagi mereka mencerminkan
ego untuk mengeskpresikan diri. Mereka lebih
memilih hidup sederhana dan dekat dengan alam
tanpa ada intervensi teknologi modern. Masyarakat
Baduy sangat memahami bahwa mereka hidup dari
alam sehingga kultur mereka akrab dengan
nilai-nilai konservasi.

HADIRKAH NEGARA?

Berbagai kesaksian tadi hanyalah segelintir dari


jutaan masyarakat Indonesia yang memiliki
persoalan serius dengan lingkungan. Persoalan
lingkungan terakhir adalah asap di Sumatera dan
Kalimantan, bahkan sekarang di Papua. Bagi
Abetnego, Direktur Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI), hal yang mendasari praktik ini
adalah terbatasnya daya dukung lingkungan untuk
memenuhi hasrat manusia yang tidak terbatas.
Pada kasus Rembang, argumentasi dari keputusan
pemerintah selalu soal infrastruktur, tetapi tidak
pernah mengeluarkan data berapa banyak semen
yang kita butuhkan. Kemudian pertanyaannya
adalah siapa “kita”? Siapa korbannya? Apa alasan
yang membenarkan masyarakat Rembang bisa
menjadi korban? “Ujung-ujungnya untuk diimpor,"
papar Abetnego. Alhasil nasib 600 ribu manusia
yang bergantung dengan kawasan itu harus
dikorbankan. Apakah semua petani harus menjadi
buruh pabrik? Sama dengan Teluk Jakarta yang
diidekan akan dibangun Giant Sea Wall. Mau
diapakan masyarakat sekitarnya? Eskploitasi
lingkungan berlebihan menciptakan bencana
ekologis yang non-alamiah. Bencana yang
diakibatkan oleh praktik manusia itu memberikan
efek terhadap pranata sosial. Bencana ini bukan
hanya bersifat temporer, namun permanen.
Dibanding tahun 2012, bencana ekologis naik 300%.
Terdapat 6700 desa dan kelurahan yang rusak
karena eksploitasi ekonomi. Terkait dengan ini,
bagaimana respons negara? Menurut Abetnego,
“Yang pertama, komplain-komplain cenderung
ditolak, yang kedua tidak ditindaklanjuti, yang ketiga
presentasi investigasi sangat kecil dan yang
keempat justru negara mengkriminalisasi
komunitas tertentu." 22 Pada Bulan Maret lalu
WALHI menggelar rapat akbar dengan tema
“Menghadirkan Kembali Negara”. Secara politik
negara ini mengalami perubahan situasi. Hari ini
penguasa ekonomi adalah penguasa politik. Siapa
yang menguasai SDA di berbagai daerah, itu yang
menguasai politik. Penguasa ekonomi bertarung
mengikuti kontestasi dan duduk di
lembaga-lembaga negara. Pemerintahan Indonesia
60% diisi oleh para pengusaha besar yang banyak
bergerak di bidang SDA yang memiliki risiko
ekologis cukup besar. Di samping itu Abetnego juga
menjelaskan adanya tiga faktor dalam
penyelenggaraan negara, yaitu negara absen dalam
lemahnya penegakan hukum, rendahnya respons
terhadap komplain warga karena tidak ada
mekanisme dan kebijakan yang tumpang tindih
sehingga tidak ada yang bertanggung jawab. Di
samping itu presiden-presiden yang lalu seringkali
mengeluarkan kebijakan pro-investasi di
menit-menit terakhir kekuasaannya seperti Perpres
mengenai Teluk Benoa. WALHI mencari siapa
dalangnya, namun dibalik itu negara yang membuat
kebijakan. Di situlah kelemahannya. Isu ekologis
akan menghadapi tantangan serius selama belum
ada perubahan mendasar mengenai paradigma
pembangunan. Jokowi secara umum masih
menggunakan pendekatan yang sama, hanya
mengurangi konsumsi batubara. Yang dibutuhkan
hari ini adalah bagaimana kita dapat mendorong
aspek keadilan dan keberlanjutan di dalam
pembangunan Dari Natural Rights menjadi Right of
The Nature “Bila manusia menghancurkan buatan
manusia, dibilang vandal. Bila manusia
menghancurkan buatan tuhan, disebut membangun.
Di situlah problemnya,” papar Rocky Gerung.
Teologi telah menginstruksi manusia untuk
menguasai alam;.Kuberikan alam ini dan kuasailah.
Cara manusia memandang alam adalah bentuk
praktik teologi naturalisme. Alam adalah objek,
manusia adalah subjek. Premis itu merupakan
racun pertama yang merusak lingkungan dan itulah
yang harus kita kritisi dan persoalkan. Kita harus
mengubah itu untuk memberikan alam jenis justice
baru. Setelah mengalkulasi alam, manusia tidak
tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia memiliki
keterbatasan akses terhadap ontologi alam.
Sekarang kita mencoba melihat jenis baru dari
keadilan, yaitu keadilan ekologis. Untuk itu harus
ada pergantian epistemologi dari natural rights
menjadi rights of the nature. Sejak dulu, manusia
sudah biasa menguasai alam, namun sekarang kita
harus menghormati alam dan memahami bahwa
alam memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat
dikomputasikan. Sebelumnya, perempuan dan
anak-anak juga tidak memiliki hak, namun
pemahaman akan hak kemudian berevolusi.
Manusia memiliki kemampuan untuk bertumbuh di
dalam hak, karena itu kita mengenali keadilan. Hak
demikian berkembang sampai pada pengertian
yang dianggap absurd..Hanya bila kita mampu
menyusun teori etika baru mengenai hak, kita bisa
pindah kepada rights of the nature. Upaya itu
merupakan hasil telaah filosofis yang ketat dan
pergumulan politik yang keras, sampai sekarang
kita memahami bahwa alam memiliki hak. Pada
tahun 1960-an di kampus Ohio, tidak ada lagi
terdengar kicau burung di musim semi seperti
biasanya. Seorang profesor bernama Rachel Carsen
mulai curiga dan meneliti hal tersebut. Rupanya
burung-burung mati karena memakan buah-buahan
yang mengandung pestisida. Seharusnya
burung-burung itu bisa melakukan protes karena
hidupnya diintervensi oleh bahan-bahan kimia.
Apel-apel berpestisida hasil dari pabrik itu
disediakan untuk diimpor demi kebutuhan
konsumen. Artinya burung-burung itu dapat
mengatakan bahwa ia dibunuh oleh para konsumen
apel impor. Di dalam buku The Silent Spring,
begitulah cara logika ekologi bekerja. Ekologi
memiliki nilai intrinsik dan menulis hukumnya
sendiri sehingga kita memiliki dua entitas, ekologi
dan antropologi. Suatu hari di Amerika ada upaya
perataan perbukitan di bagian barat.

KETAHANAN INTELEKTUAL

“Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.”


Pernyataan itu dilontarkan lantaran ia berusaha
membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di
belakang post-truth bukan sekadar mempersoalkan
post-truth itu sendiri. Hal ini ditekankan karena
menurut Rocky selama ini banyak kesalahpahaman
makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama
ini banyak orang mengira post-truth sebagai bentuk
baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth
tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari
kebenaran. Rocky menjelaskan bahwa post-truth
adalah persoalan politik. Maksudnya. Politik kini
tidak lagi diiringi dengan etika politik dan hal ini
menjadikan munculnya upaya kotor dalam
berpolitik. Salah satu munculnya ketiadaan etika
politik adalah ketika kita temukan tidak hidupnya
suara oposisi. Rocky juga menjelaskan bahwa
problem pada post-truth diawali ketika seseorang
tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah
seseorang tidak lagi memercayai kebijakan
merupakan barang yang dihasilkan dari aktor politik
sebagai agen rasional. Post-truth sebagai
paradigma baru memunculkan masalah pada politik.
Masalah ini tentunya tidak serta-merta dihasilkan
oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi masalah
muncul ketika ada lack of knowledge dari warga
negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa
banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi
yang kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta,
tetapi ketika kita berbicara fakta maka ada
pembelaan melalui data-data yang seolah-olah
identik dengan kebenaran. "Selama ini orang tertipu
oleh data, karena data, karena data dianggap
merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang
mereka butuhkan untuk memercayai bahwa hal itu
benar, tetapi itulah post-truth, benar karena yakin,”
tutur Rocky. Dalam memilah informasi, kita hanya
membutuhkan ketahanan intelektual dan hal ini
tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Bagi Rocky pembicaraan orang
Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada
ruang rasional sehingga mereka menggunakan
media sosial untuk menyalurkan kemarahannya.
Sementara di media sosial terdapat banyak produk
post-truth seperti hoax, yang dihasilkan dari
kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika
politik..Rocky memaparkan bahwa stasiun televisi
di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang.
Informasi yang beredar di televisi tergantung dari
permintaan pemilik, hal ini membuat hilangnya etika
jurnalisme. Rocky menjelaskan bahwa hoax bukan
hanya diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga
diproduksi oleh pemerintah dalam upaya
mempertahankan kekuasaan..Bagi Rocky di tahun
politik seperti sekarang, post-truth akan semakin
mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan
intelektual. Media akan menggunakan post-truth
sebagai alat untuk promosi politik baik secara sehat
maupun tidak..Kegelisahan akan menurunnya
kualitas pengetahuan melalui media menakutkan
banyak orang, terutama ketakutan akan masuk
pada lingkar post-truth. Oleh karena itu Rocky
mengungkapkan ketahanan intelektual yang
didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk
menghindari post-truth. Sementara politik yang
sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada
virtue dan truthfulness
PENGETAHUAN MEMBEBASKAN KITA DARI OPINI
YANG KELIRU

Pengetahuan adalah sesuatu yang koheren,


permanen dan stabil konsep atau dalam bahasa
Inggris disebut secara unchangeable. Sedangkan
opini dapat berubah-ubah setiap waktu dan bersifat
temporer. Rocky merujuk pada kisah Plato untuk
melihat asal muasal dari pembedaan pengetahuan
dan opini. Menurut filsafat Plato, segala sesuatu
yang kita lihat secara indrawi bukanlah sesuatu
yang nyata karena bisa dirasakan secara
berbeda-beda oleh setiap orang. Plato lebih
menekankan pada hal-hal yang ideal untuk
mencapai kebenaran pengetahuan. Berangkat dari
sejarah filsafat ini, pengetahuan menurut Rocky
dimaksudkan sebagai obsesi manusia untuk tidak
terjebak pada opini yang seringkali menyesatkan.
Rocky kemudian menjelaskan lebih mendalam
mengenai perbedaan antara pengetahuan dan opini
berdasarkan filsafat Plato yang menjadi cikal bakal
ilmu pengetahuan modern saat ini. Menurut Rocky,
pengetahuan selalu berkaitan dengan abstraksi
sedangkan opini melekat dengan persepsi. Rocky
kemudian mencontohkan bagaimana kita selalu
menyebutkan berbagai jenis kursi seperti kursi
hitam, kursi taman, kursi yang berkaki empat, kursi
yang terbuat dari kayu dan lain sebagainya, hal ini
adalah cara kita mengopinikan sesuatu. Sedangkan
“kursi” adalah hasil abstraksi yang sebenarnya dari
berbagai jenis kursi yang kita sebutkan tadi dan
itulah yang disebut sebagai pengetahuan. Dari
pembedaan antara opini dan pengetahuan, kita
sudah bisa menebak bahwa pengetahuan menjadi
salah satu hal yang fundamental untuk melatih diri
agar berpikir kritis. Kita sering berpikir tidak kritis
karena kita dipimpin oleh believe (rasa percaya) dan
bukan reasoning (cara berpikir logis). Rocky
menjelaskan ada beberapa metode yang bisa kita
gunakan untuk mendapatkan pengetahuan yaitu,
verifikasi, falsifikasi, dan dialektika. Metode
verifikasi menghasilkan pengetahuan karena dapat
dibuktikan kebenarannya oleh panca indra serta
menghendaki adanya bukti empiris terhadap suatu
hal atau hipotesis sebelum ia dijustifikasi sebagai
pengetahuan. Verifikasi menggunakan metode
induktif untuk mendapatkan pengetahuan sehingga
pengetahuan yang dihasilkan adalah hasil
generalisasi dari fakta yang ditemukan dalam
beberapa sampel. Berbeda dengan verifikasi,
metode falsifikasi berangkat dari asumsi bahwa
sesuatu dianggap sebagai pengetahuan yang stabil
jika ia bisa dipersalahkan atau disanggah.
Falsifikasi diperkenalkan oleh Popper dengan
maksud untuk menjauhkan pengetahuan dari
doktrin yang sifatnya memang tidak bisa disanggah.
Pengetahuan haruslah bisa diperbarui seiring
dengan ditemukannya fakta terbaru atas
pengetahuan yang telah kita percayai sehingga ia
tidak menjadi doktrin. Metode Dialektika
dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuannya
dari proses Tesis-> Antitesis-> Sintesis. Antitesis
sebenarnya sudah terkandung dalam tesis yang
kemudian menguji dirinya sendiri melalui
kontranya..Dialektika bertujuan untuk
mengembangkan proses bernalar yang dinamis
untuk memecahkan persoalan yang muncul karena
adanya argumen-argumen yang kontradiktif di
dalam dirinya sendiri sehingga dicapai pengetahuan
yang rasional..Rocky mengemukakan ketiga
metode ini sangat penting digunakan agar kita bisa
mendapatkan bekal pengetahuan untuk dapat
berpikir kritis dengan jernih. Ketika kita dapat
membedakan antara opini dan pengetahuan, maka
kita memiliki tambahan alat tempur untuk menjadi
lebih kritis. Berpikir kritis menurut Rocky juga
berfungsi untuk membawa kita pada lokus
persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita.
Berpikir kritis dengan berdasarkan fakta dan
pengetahuan bahkan sangat berpengaruh dalam
upaya pembuatan kebijakan publik yang adil bagi
semua warga negara.

KONSEP ADALAH MATA UANG YANG SAH


BERARGUMENTASI

Nagaimana menyatakan sebuah argumentasi yang


logis ketika sedang melakukan diskursus publik.
Secara sederhana Rocky menjelaskan bahwa hal
utama dan pertama yang harus dilakukan
seseorang sebelum berargumentasi adalah
menjernihkan konsep atau kerangka berpikir
terlebih dahulu. Rocky kemudian menyatakan
bahwa konsep adalah mata uang yang sah di dalam
berargumentasi maka, konsep harus bersih dari
segala prasangka, konvensi dan yang paling penting
adalah terbebas dari logical fallacies (kesesatan
berpikir). Selain menjernihkan konsep, hal lain yang
menurut Rocky perlu diperhatikan ketika kita
sedang berargumentasi adalah dengan
memvalidasi argumen tersebut. Rocky menjelaskan
terdapat tiga teori kebenaran untuk menguji
validitas sebuah argumen. Teori kebenaran pertama
adalah korespondensi, dalam teori kebenaran
korespondensi, sebuah pernyataan atau argumen
dinyatakan valid atau benar jika argumen atau
pernyataan itu memiliki fakta empiris yang bisa kita
saksikan dengan panca indra kita. Teori kedua
adalah teori koherensi, dalam teori kebenaran
koherensi, untuk mengatakan sebuah argumen valid
atau tidak adalah dengan melihat pernyataan atau
argumen itu memiliki kesesuaian antara satu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang sudah lebih dahulu diketahui dan diterima
secara inheren di dalam cara berpikir logis. Teori
kebenaran yang ketiga adalah teori kebenaran
pragmatik. Di dalam teori kebenaran pragmatik,
sebuah pernyataan atau argumen dianggap valid
apabila argumen atau pernyataan tersebut diukur
dengan kriteria apakah pernyataan atau argumen
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan dan argumen
adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ketiga
teori kebenaran ini harus dijadikan landasan berpikir
ketika kita berargumen. Perihal lain yang tidak boleh
dilupakan ketika kita berargumen adalah dengan
membedakan narasi deskripsi dan eksplanasi.
Menurut Rocky, ketika kita mendeskripsikan
sesuatu, kita tidak bisa memberikan pernyataan
tesis dari sebuah narasi yang kita ucapkan,
sedangkan ketika melakukan eksplanasi terhadap
sebuah hal berarti kita melihat keterkaitan antara
variabel dengan lingkungan pendukungnya
sekaligus menguji variabel tersebut sehingga
menjadikannya sebuah eksplanasi. Rocky
mencontohkan bagaimana cara kita
mendeskripsikan dan menjelaskan sebuah spidol.
Mendeskripsikan spidol berarti hanya
mengutarakan warna spidolnya, bentuk fisik
spidolnya, posisi spidolnya di mana, dan lain
sebagainya. Tetapi, ketika kita memberikan
eksplanasi tentang spidol, kita melihat apa
kegunaan spidol tersebut, siapa yang menggunakan
spidol tersebut, bagaimana rantai produksi spidol
tersebut, siapa yang membuatnya dan lain
sebagainya.NPembedaan antara deskripsi dan
eksplanasi ini menjadi penting dalam
berargumentasi agar kita tidak salah sasaran dalam
menjelaskan persoalan yang terkait di dalam
perdebatan argumen tersebut. Persoalan terakhir
yang tak kalah penting untuk diperhatikan ketika
kita berargumen adalah dengan membedakan term
abstraksi dan universal. Abstraksi menurut Rocky
berarti melucuti segala identitas dan atribut yang
melekat pada suatu hal hingga ia menjadi konsep
yang paling fundamental. Sedang yang disebut
dengan universal, adalah menambahkan segala
bentuk atribut dan kategori pada suatu hal. Rocky
mencontohkan abstraksi dari seorang yang
bernama Hasan misalnya adalah being. Sedangkan
Hasan menjadi universal apabila dilekatkan dengan
segala identitas, kategori dan atribut seperti Hasan
yang seorang dokter menjadi Hasan yang seorang
dokter ahli bedah dan seterusnya sebebas kita
menambahkan variabel pada hal yang kita
argumentasikan. Pembedaan ini menjadi penting
agar kita tak lagi awam dalam beragumentasi yang
benar dan bisa dipertanggungjawabkan validitasnya
secara logis.

BERPIKIR KRITIS SEBAGAI UPAYA MEMULIHKAN


AKAL SEHAT PUBLIK

Kelangkaan akal sehat publik dapat dengan mudah


ditemukan pada media sosial. Media sosial idealnya
menjadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan,
namun kenyataan yang kita jumpai justru
kebalikannya. Hari-hari ini media sosial malah
menjadi tempat berkembangnya kebencian,
provokasi dan segala bentuk ketidakadilan. Realitas
ini mau tidak mau mengantarkan kita pada
pertanyaan tentang keberlangsungan demokrasi.
Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan
akademis, tetapi ia beririsan langsung dengan
kehidupan politik, kehidupan bernegara. Absennya
kritisisme berkontribusi pada fenomena
pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias
kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah
endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat
secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan
akademis. Menurut Rocky, masyarakat saat ini
cenderung abai pada substansi dan berfokus pada
sensasi. Saat ini momen berpikir kritis adalah
sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan
upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis
manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya
mempertanyakan apa yang terjadi. Menurut Rocky
bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang
perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis.
Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena
alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika,
namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat
terjadi karena gangguan kognisi pada mental
seseorang. Rocky mengungkapkan bahwa
gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi
dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan.
Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan
bias kognisi telah mendominasi. Rocky menyatakan
bahwa logika dan kontrol terhadap bias kognisi
adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi
di mana seseorang malas untuk mengambil risiko
dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya,
seseorang tidak lagi mengandalkan penalaran
tetapi memilih untuk melandaskan argumennya
pada fundamen-fundamen tertentu seperti
metafisik, teologis dan kultural. Menurut Rocky,
setidaknya ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai
dalam memastikan Aktivitas berpikir kritis yaitu:
bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme
terhadap nilai. Kritik adalah hal yang esensial dalam
menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis.
“Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis
berbagai macam problem, menganalisis artinya
melakukan kritik,” ungkap Rocky. Kritik adalah hal
yang penting dalam upaya melakukan analisis,
namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik
yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai
kesia-siaan. Padahal menurut Rocky solusi
bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya
kita sedang menjalankan fungsi primer sebagai
manusia. Berpikir kritis artinya bercakap dalam
ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya,
hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap
kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik
tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif
melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya
pembangunan. Rocky mengungkapkan bahwa
makna demokrasi adalah menjalankan kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat dan
mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat.
Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami
sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap
mandat demokrasi itu sendiri. Kritik melekat dalam
demokrasi. Rocky mengungkapkan bahwa
demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan
melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam
upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk
inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik
artinya menolak demokrasi. Saat ini kita
dihadapkan pada sebuah kondisi di mana terjadi
ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas
sebuah persoalan. Sebuah kondisi di mana
masyarakat cenderung cepat beraksi daripada
terlebih dahulu melakukan refleksi. Rocky
menyatakan bahwa kritik haruslah tiba pada lapisan
terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang
tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan,
karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar
dari wilayah doktrinasi.

Anda mungkin juga menyukai