Ada dua gagasan besar di dalam sejarah sosialisme yang menjadi titik tolak
berkembangnya gerakan sosialisme di dunia dan telah di formulasikan oleh Karl Marx yaitu,
pertama menumbuhkan perjuangan kelas dengan tujuan menjatuhkan kapitalisme secara
perlahan-lahan. kedua, menghidupkan kembali sosialisme secara perlahan yakni
mentranformasikan sosialis pada masyarakat dengan cara menjalankan peran negara yang
berazaskan demokrasi.
Ternyata dua gagasan di atas telah membawa dampak yang besar pada gerakan sosialis
yang ada di dunia, baik dalam kaitan sebagai praktik perpolitikan dan juga pada tataran wacana.
Penyimpangan dari dua gagasan tersebut telah melahirkan dua konsep yaitu sosial-demokrasi
dan Komunisme. Implikasi dari sosial-demokrasi lewat tataran penganutnya telah membawa
masyarakat dalam konteks masyarakat yang sosialis dan berlandaskan atas pluralisme, dimana
demokrasi dipandang sebagai suatu nilai yang menjadi dasar dan tujuan dari sosialisme.
Sementara penganut ajaran komunisme melihat bahwa sosialisme adalah suatu keniscayaan
sejarah yang dapat menegasikan kehendak mayoritas rakyat dalam konteks perkembangan
masyarakat menuju masyarakat sosialis.
Eduard Bernstein dalam hal ini menganggap bahwa perjuangan demokratik melalui
mekanisme parlementer untuk merebut negara, merupakan suatu cara yang diperlukan untuk
mentransformasikan kapitalisme menuju sosialisme. Pandangan Bernstein inilah yang membuat
Adam Przeworski (1988) melihat gerakan sosial-demokrasi sebagai jalan parlementer menuju
sosialisme. Penekanannya adalah pada revisionisme demokratik dan sosialisme yang lebih
evolusioner ketimbang revolusioner1.
1
AE Priyono, paper yang disampaikan pada diskusi di Reform Institute, Jakarta, 9/9/09.
Pada awal sosial-demokrasi secara resmi dikeluarkan dari gerakan kiri internasional
pasca Perang Dunia Kedua, telah terjadi pembentukan suatu negara kesejahteraan, dengan
contoh utamanya di negara-negara Skandinavia. Elemen-elemen doktrinal ajaran revisionisme
demokratik Bernstein – yakni the primacy of politics, class alliance, dan relative autonomy of
state – tetap masih dipertahankan dengan berbagai variasi, baik yang dikerjakan oleh partai-
partai politik sosial-demokrasi maupun berbagai organisasi gerakan sosialnya. Kini kita mewarisi
sebuah pandangan umum mengenai sosial-demokrasi sebagai “jalan ketiga,” di luar sosialisme
dan kapitalisme. Jika sosialisme dianggap sebagai kritik terhadap kapitalisme, maka sosial
demokrasi merupakan kritik terhadap sosialisme sekaligus kapitalisme.
Akhirnya sosial-demokrasi harus diarahkan pada penggarapan secara cermat dan tekun
mengenai perlunya sebuah teori politik mengenai sosial-demokrasi yang bukan sekadar
menyajikan gambaran tentang model-model negara kesejahteraan sosial. Intinya adalah
bagaimana melakukan perincian ulang mengenai kontribusi yang bisa diberikan oleh prinsip-
prinsip sosial-demokrasi berupa jaminan sosial, keadilan ekonomi, dan partisipasi politik dapat
menjadikan kualitas demokrasi yang berlaku secara aktual di suatu tatanan politik tertentu. Maka
dalam hal ini gerakan sosial-demokrasi harus lebih didasarkan pada perspektif mengenai
demokrasi sosial, dalam kompetisi abadinya dengan demokrasi liberal dan demokrasi libertarian.