Anda di halaman 1dari 56

Nur Sayyid Santoso Kristeva ®

2008, © Sistem Kapitalisme Global (SKG)


Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Sosiologi FISIPOL
Gadjah Mada University

Sistem Kapitalisme Global


(SKG): Globalisasi & Pengaruhnya Terhadap
Perubahan Ekonomi Indonesia
Contents
1. Globalisasi & Sejarah Ekonomi Internasional
2. Teori Sistem Dunia
3. Faktor Pendorong Globalisasi
4. Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
5. Globalisasi & Pengaruhnya Terhadap Perubahan
Ekonomi Indonesia
Globalisasi &
Sejarah Ekonomi
Internasional
Globalisasi ekonomi dunia
yang terintegrasi dan saling tergantung,
Teori sistem dunia,
Faktor-faktor pendorong globalisasi
Globalisasi & Sejarah Ekonomi
Internasional
 Globalisasi kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya
sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II,
khususnya pada tahun 1960-an.
 Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya
perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya
perdagangan internasional.
 Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton
Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam
bentuk surat-surat berharga internasional dan pemberian kredit
oleh bank mulai berkembang dengan cepat.
 Seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang
menambah rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka
jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang terintegrasi dan saling
tergantung.
 James Petras mengatakan bahwa globalisasi telah dimulai pada abad
15, yaitu sejak mulai berkembangnya kapitalisme yang ditandai dengan
ekspansi, penaklukan dan penghisapan Negara-negara di Asia, Afrika,
Amerika Latin dan bahkan Amerika Utara dan Australia oleh kekaisaran
global pada waktu itu, Spanyol dan Portugis. Karena itulah globalisasi
selalu diasosiasikan dengan imperialisme, yaitu hubungan global yang
didasarkan pada akumulasi untuk Eropa, penghisapan dunia ketiga
untuk akumulasi dunia pertama.
 Menurut Pieterse, globalisasi dimulai sejak 1950-an. Menurut Marx
dimulai 1500-an dengan tema kapitalisme modern. Wallerstein
mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia baru. Robertson
menilai globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema multidimensional,
Giddens tahun 1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson tahun
1960-an dengan tema planetarisasi budaya. Sementara Scholte,
menyatakan bahwa globalisasi berlangsung sejak tahun 1960-an
 Pada abad ke-14, para pedagang petualang memperdagangkan
wol dan tekstil yang dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia,
Luxemburg, dan Negara-negara lain. Selain itu, di Italia,
perusahaan-perusahaan dagang dan bank-bank memainkan
peran penting dalam kegiatan perdagangan ke seluruh dunia
pada masa-masa awal Renaissance.
 Pada akhir abad ke-14, di Italia, ada sekitar 150 bank yang sudah
melakukan kegiatan di berbagai Negara (Duning, 1993, hlm. 97-
98).
 Dalam abad ke-17 dan ke-18 dukungan oleh Negara meluas
dengan berdirinya perusahaan-perusahaan dagang besar
kolonial, seperti Dutch East India Company, British East India
Company, Muscovy Company, Royal Africa Company dan
Hudson Bay Company.
 Semua perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar
di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang penting.
 Baru pada tahun 1960-an muncul, bersamaan dengan
munculnya istilah MNC (multinational corporation). Meski tidak
ada klasifikasi data yang konsisten, pada umumnya disepakati,
MNC sudah ada dalam ekonomi dunia setelah pertengahan abad
ke-19 dan berdiri kokoh tidak lama sebelum Perang Dunia I.
 Kegiatan bisnis internasional tumbuh pesat pada tahun 1920-an
ketika perusahaan multinasional yang benar-benar
terdiversifikasi dan terintegrasi kokoh, tetapi kemudian menurun
selama masa depresi tahun 1930-an, hancur lebur karena
perang pada tahun 1940-an, dan bangkit kembali setelah tahun
1950.
 Perwujudan dari kerakusan sistem kapitalisme-kolonialisme
dalam akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya adalah
Negara-negara terjajah bangkit rasa nasionalismenya melawan
penjajah dan melahirkan Negara-negara merdeka, yang lazim
disebut Negara Sedang Berkembang (NSB).
 Kapitalisme sebagai suatu sistem dunia bermula pada akhir abad
15 dan awal abad 16 ketika orang-orang Eropa yang menguasai
pengetahuan pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari
sudut kecil dunia mereka dan mengarungi tujuh lautan, untuk
melanklukan, merampas dan berniaga.
 Pada awal abad ke-16 di Inggris terjadi revolusi industri yang
memacu laju perkembangan kapitalisme awal.
 Proses ini didorong lagi oleh munculnya revolusi Prancis pada
tahun 1789, yaitu revolusi yang mengakhiri hegemoni kaum
feodal di Eropa Barat dan mendorong matangnya kekuasan
kaum borjuis.
 Di Eropa Barat terjadi over-produksi akibat maraknya
industrialisasi, maka yang kemudian harus dilakukan oleh
Negara-negara Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah
terbelakang seperti Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika.
 Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan kemudian
Perang Dunia Kedua pada tahun 1940-1945 adalah sejarah
nyata di mana kapitalisme Vs kapitalisme berperang untuk
menanamkan pengaruhnya terhadap wilayah-wilayah
jajahannya.
 Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan Blok Fasis
adalah perang antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap
eksploitasinya terhadap Negara-negara dunia ketiga.
Globalisasi Ekonomi telah memperluas jangkauan dalam tiga
komodifikasi dalam tiga wilayah.
 Pertama, konsumerisme yang terhubungkan dengan produk-
produk global yang diperluas oleh kapitalisme industri.
 Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang beroperasi dalam
lingkup global (supra territorial) seperti global banking dan global
securities sehingga memperluas jangkauan modal uang.
 Ketiga, globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi
dalam wilayah baru yang melibatkan informasi dan komunikasi
sebagai akibatnya, item-item software komputer dan telepon
panggil telah menjadi objek akumulasi.
Teori Sistem Dunia
 Teori yang dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein, merupakan
reaksi atas teori ketergantungan yang dianggap tidak bisa
menjelaskan gejala pembangunan di dunia ketiga.
 Dalam perspektif sistem dunia, setiap Negara atau kawasan
dilihat sebagai entitas yang tak terpisahkan dari sistem dunia
seperti sistem ekonomi global.
 Berdasarkan pandangan ini, fenomena mobilitas antar Negara
merupakan dampak dari proses perkembangan ekonomi
kapitalis di berbagai Negara.
 Semenjak kapitalisme tumbuh dan berkembang ke luar dari
Negara intinya di Eropa, Amerika Utara, Oceania dan Jepang,
belahan bumi ini seolah-olah terus membesar tanpa batas yang
jelas dan akhirnya melahirkan suatu masyarakat yang global.
 Immanuel Wallerstein mendefinisikan sistem dunia sebagai “A
Unit With A Single Division of Labour And Multiple Cultural
System”. Ini merupakan sistem yang lahir dari proses
transformasi struktural yang pernah ada dalam sejarah.
 Dalam bahasa Wallerstein, sistem ini merupakan sistem yang
menyejarah (Historical System): suatu sistem yang dengan
isinya lahir, berkembang dan mati serta timbul kembali sebagai
akibat adanya semacam proses pembagian kerja terus-menerus
dan lebih canggih.
 Dalam perkembangan itulah Wallerstein menyebut adanya 3
sistem yang menyejarah: Sistem Mini (The Mini System), Sistem
Kekaisaran Dunia (The World Empires) dan Sistem Ekonomi
Dunia (The World Economic System).
Farchan Bulkin menyebutkan empat hal mengapa pendekatan sistem dunia
penting dalam memahami dunia ketiga.
 Pertama, sebagai usaha untuk meletakkan perkembangan politik dan ekonomi
dunia ketiga ke dalam pergolakan ekonomi dan politik, serta dinamika dan
potensi untuk perubahan dan transformasinya. Hal ini menjadi penting
mengingat hampir sebagian besar Negara dunia ketiga telah terintegrasi ke
dalam pergolakan dan ekonomi dunia.
 Kedua, watak dan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh Negara dunia ketiga juga bisa
diuraikan logikanya dan diurut pertumbuhannya dalam kaitannya dengan
interaksinya dengan perekonomian dunia.
 Ketiga, pendekatan sistem dunia telah menawarkan suatu logika atas
perbedaan-perbedaan substansial antara kekuatan-kekuatan politik yang
tumbuh di wilayah kapitalisme pusat dan pinggiran (peripheri), sehingga
hubungan-hubungan antara kekuatan-kekuatan di kedua wilayah menjadi jelas,
sekalipun tidak langsung dan masing-masing memainkan perannya dalam
jaringan sistem ekonomi dunia.
 Keempat, dengan pendekatan ini kita dapat menempatkan kekuatan-kekuatan
politik di dunia ketiga dalam suatu dinamika perubahan yang menyeluruh dan
global sifatnya.
Faktor Pendorong Globalisasi

1. Kekuatan Kaum Kapitalis Internasional


2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi
3. Dukungan Pemerintah Negara-negara
Sedang Berkembang
Kekuatan Kaum Kapitalis
Internasional
 Menurut logika neo-liberal, ekonomi Negara akan berkembang
bila ada kebebasan pasar.
 Liberalisasi ini juga berarti penghapusan beban-beban yang
harus ditanggung oleh swasta.
 Liberalisasi berarti kebebasan yang seluas-luasnya bagi kapitalis
untuk mengeruk keuntungan.
 Aspek-aspek terpenting yang tercakup dalam proses globalisasi
ekonomi adalah: runtuhnya hambatan-hambatan ekonomi
nasional, meluasnya aktivitas-aktivitas produksi, keuangan dan
perdagangan secara internasional serta semakin
berkembangnya kekuasaan perusahaan-perusahaan
transnasional dan institusi-institusi Moneter Internasional.
 Keprihatinan-keprihatinan terhadap kemungkinan krisis moneter global
diperkuat oleh krisis keuangan di Asia Timur, yang dimulai pada paruh
kedua tahun 1997 dan menjalar hingga Rusia, Brasil dan Negara-
negara lain, menyebabkan kekacauan moneter dan resesi ekonomi
terburuk dalam periode pasca Perang Dunia II.
 Liberalisasi perdagangan juga meningkat secara gradual, namun tidak
seperti yang terjadi pada liberalisasi moneter. Peran perdagangan yang
meningkat dibarengi dengan pengurangan tarif secara umum, baik di
Negara-negara maju maupun di NSB (Negara sedang berkembang),
sebagian sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan otonom dan sebagian
lagi sebagai akibat dari babak-babak putaran perdagangan multilateral
di bawah GTT (General Agreement on Tariff and Trade).
 Namun demikian, tarif-tarif yang tinggi tetap masih muncul di Negara-
negara maju, dalam sektor-sektor seperti pertanian, tekstil dan produk-
produk manufaktur tertentu, yang merupakan sektor dimana (NSB)
memiliki keunggulan komparatif. Lebih jauh lagi, terdapat peningkatan
penggunaan hambatan non tarif yang mempengaruhi akses dari NSB
ke pasar Negara-negara maju.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Tekhnologi

 Pada permulaan abad 21 ini, trend global semakin variatif.


Barang, uang, manusia, tekhnologi, dan informasi dalam era
globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas Negara
(nation state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin
saling terhubungnya setiap dinamika perubahan global saat ini,
dan mengikat semakin kuat membentuk suatu komunitas tunggal
yang terintegrasi dan dalam hal ekonomi telah menjadi semacam
pasar tunggal. Hal ini telah menjadikan dunia sebuah global
village.
 Kehadiran tekhnologi komputer yang merupakan terobosan baru
sebagai infrastruktur global, bahkan sampai saat ini komputer
telah menyandang sebagai simbol kedua dari globalisasi. Tidak
ada satu arenapun (ekonomi, politik, sosial dan budaya) di dunia
ini yang kebal dari tekhnologi komputer.
 Hal ini akhirnya menuju pada sebuah Global Brain yang
memungkinkan akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi di dunia. Dunia penelitian, bisnis, industri
dimungkinkan untuk menggunakan suberdaya manusia maupun
fasilitas lainnya tanpa terikat pada dimensi-dimensi ruang dan
batas-batas Negara
 Meskipun globalisasi berhasil mengembangkan berbagai
tekhnologi dan komunikasi yang memudahkan atau dapat
memecahkan persoalan-persoalan, tak urung pula secara faktual
keberhasilan tersebut makin mempertajam kemiskinan, baik
ditingkat nasional maupun hubungan antar Negara.
Dukungan Pemerintah Negara-
negara Sedang Berkembang

 Pelaku utama dari globalisasi adalah Negara imperialis yang berkuasa


artinya Negara yang mempunyai prinsip ekonomi world competitive dan
mereka tidak mempunyai kerugian apa-apa karena semua biaya yang
dikeluarkan berasal dari pembukaan pasar (open market).
 Kelompok ini hendak memperjuangkan globalisasi yang bebas
(unrestricted globalization), mereka cenderung untuk membuka
perekonomian mereka dan sebagai gantinya mereka juga menuntut
Negara lain agar membuka perekonomiannya.
 Kelompok kedua yang pro globalisasi adalah Negara-negara pelayan
(clients) dari kelompok pertama. Kelompok kedua (NSB) ini
mengkhususkan dirinya pada ekspor barang-barang agromineral,
kelautan, dan kehutanan yang semua itu mendukung produk dan
memberi keuntungan bagi kelompok pertama.
 Dari Negara-negara imperialis inilah muncul korporasi-korporasi global
yang menjadi pelaku utama juga pada saat ini, dan agen utama
eksploitasi berbagai sumberdaya di berbagai belahan dunia ketiga, yang
pada akhirnya hasilnya dibawa kembali ke Negara-negara metropolis
 Negara imperialis juga memainkan peran penting dalam membuka pintu
perekonomian dunia dengan menciptakan lembaga keuangan
internasional seperti Bank Dunia, IMF dan GATT/ WTO.
 Sementara itu di Dunia Ketiga, peran Negara tidak bisa dihilangkan.
Ada relasi yang dialektis antara peran Negara di pasar domestik dan
proses globalisasi.
 Dengan kebijakan upah rendah, pengurangan subsidi, dan pemupukan
modal swasta, Negara Dunia Ketiga mengonsentrasikan
pendapatannya untuk ekspansi ke luar (globalisasi ataupun capital
relocation).
 Proses ini sudah terlihat jelas dalam program yang dikenal dengan
istilah Struktural Adjustment Programs (SAPs) atau program pengetatan
ekonomi.
 Program ini dirancang oleh Bank Dunia dan IMF yang bekerja sama
dengan elite Negara Dunia Ketiga, tujuannya adalah meningkatkan arus
keluar modal dan kesediaan pasar nasional untuk melakukan
swastanisasi bagi kepentingan MNC
Structural Adjustment Programs (SAPs)

1. Penghapusan tarif-tarif yang membantu industri-industri kecil lokal agar tetap


mampu bertahan hidup berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar
global.
2. Penghapusan berbagai peraturan dalam negeri yang mungkin dapat
menghambat atau terlalu banyak mengatur masuknya investasi luar negeri.
3. Penghapusan kontrol harga (bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok
seperti pengadaan air sekalipun) dan secara tidak adil mewajibkan
pemberlakuan terhadap kontrol atas upah.
4. Pengurangan secara drastis berbagai pelayanan sosial dan badan-badan
yang menjalankannya, seperti pelayanan kesehatan, perawatan medis,
pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air dll.
5. Penghancuran secara agresif atas program-program rakyat, yang menjadi
sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa mencapai kemandirian dalam hal
kebutuhan pokok.
6. Perubahan yang dilaksanakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri
untuk menekankan produksi ekspor, yang biasanya dikelola tanpa
ketatalaksanaan langsung dari investor asing dan korporasi global.
Globalisasi dan
Krisis Masyarakat
Kapitalisme
Krisis Masyarakat Kapitalisme,
Pokok-pokok Pendirian Neo-liberalisme,
Global Poll Finds Diverse Economic Perceptions
Globalisasi dan Krisis
Masyarakat Kapitalisme
 Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National
Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang
dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi
Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu
ideologi yang dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”.
 Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The
Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para
pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-
perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi
internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi
informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok Pendirian
NEO-LIBERALISME
1. Bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah,
misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang
perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur
diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan
pertumbuhan.
2. Hentikan subsidi Negara kepada rakyat karena bertentangan
dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus
melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena
perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara
pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan bebas.
3. Hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal
seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional”
karena menghalangi pertumbuhan.
4. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan
kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif)
yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan
efektif.
Global Poll Finds
Diverse Economic
Perceptions
Mexicans, Germans, Russians Become More
Upbeat-Indonesians, Britons, French, Americans More Negative
World Bank Viewed Most Positively Among
Global Economic Actors Global Companies Least Positive
http--www_globescan_com-news_archives-images-BBC06_PR_map_web_version_png.mht
• As the World Economic Forum meets in Davos this week to talk about the international economy, a new BBC World
Service poll of 32 nations finds highly divergent economic perceptions in countries around the world. In 15 countries
majorities or pluralities see conditions in their country getting better, while in 17 they see conditions getting worse.
Perceptions of the world economy are also divided with 14 countries seeing it getting better and 15 seeing it getting worse
(with 3 divided). Among the 19 countries that were polled a year ago as well as in the current poll, there are also divergent
trends with some growing more optimistic and some less.
• The poll also asked citizens to rate various global economic players. The World Bank was viewed most positively, being
seen as a positive influence by a majority of 55 percent.
• The poll of 37,572 people was conducted for the BBC World Service by the international polling firm GlobeScan together
with the Program on International Policy Attitudes (PIPA) at the University of Maryland. The 32-nation fieldwork was
coordinated by GlobeScan and completed between October 2005 and January 2006.
• Steven Kull, director of the Program on International Policy Attitudes comments, ÒWhile it is true that we live in a more
globalized economy, it is also true that people around the world have highly different perceptions of the state of their own
economies and even of the world economy."
Europe
Germans' feelings about their economy appears
to be turning a corner. While in late 2004 52
percent saw their economy worsening, this
dropped to 37 percent in late 2005, while the
perception that it is improving moved up to 50
percent from 41 percent. Perceptions of their
personal situation followed a similar pattern.

The French seem to be going from bad to worse:


perceptions that their economy is getting worse
has gone from an already large 74 percent in
2004 to 83 percent. For themselves individually
they do not seem to have such dire perceptions,
but here too things have gotten worse. The
percentage saying things are getting worse for
them and their family increased from 45 percent
to 52 percent.

In Great Britain the bloom is coming off the rose.


While in 2004 57 percent were optimistic about
their country’s economy, this has slipped to 52
percent, while pessimistic perceptions have
drifted upward from 35 percent to 41 percent.
Perceptions of personal conditions, while on a
higher tier, have shifted similarly. Positive
perceptions slipped from 64 percent to 60
percent, while negative perceptions rose from 22
percent to 28 percent.
Asia
Indonesians’ optimism about their economy
has been all but washed away by the
tsunami. While in 2004—just before the
tsunami--52 percent saw their country’s
economy as getting better (37% worse), this
has plunged to 17 percent, with 81 percent
saying that it is getting worse. But for
Indonesians personally this drop has been
much more modest.

Indians’ perception that their own lot is


improving has come down from the heights of
2004—dropping from 77 percent to 59
percent. But Indians’ perceptions of their
country’s economy has actually firmed up a
bit, with the perception that it is getting worse
dropping from 40 percent to 23 percent.

South Koreans’ pessimism about their


economy has abated a bit, but is still quite
extreme. While 88 percent saw their economy
getting worse in 2004, now 76 percent see it
that way. The percentage seeing their
personal position slipping has also moderated
a bit—going from 71 percent to 54 percent.
Latin America
Globally, the biggest positive
movement was among the
Mexicans. While in 2004, 66 percent
saw their economy getting worse,
this dropped 28 points to 38 percent.
Mexican perceptions that their own
economic conditions are worsening
also dropped from 69 percent to 32
percent.

While Brazilians were divided about


their perceptions of their economy in
2004, perceptions that it is getting
worse has jumped 24 points to 67
percent. However, there has only
been a 5-point increase in
Brazilians’ perception that their
individual conditions are getting
worse, rising from 34 percent to 39
percent.
United States
Americans' view of their economy
has slipped, with the percentage
saying that they see it getting
worse increasing from 51 percent
to 58 percent. Perceptions of
their personal situation, though,
continue to be majority positive,
slipping only 2 points from 58
percent to 56 percent.
Rating of Global Players
The poll also asked respondents to
evaluate a number of economic global
players and found surprisingly high levels
of approval for the World Bank given the
level of criticism it has received. On
average 55 percent rated it as having a
positive influence in the world, while just
18 percent rated it as having a negative
influence. Among the 32 countries polled,
in 30 a majority (17 countries) or a
plurality (13) rated the World Bank as
positive. In only one country—Argentina
—did a plurality (47%) say it is having a
negative influence.

Global companies received the lowest


positive ratings (average of 41%)
compared to all other global players, and
the highest negative ratings (26%). In
only 6 countries did a majority rate global
companies as having a positive influence,
though in another 16 a plurality did. Eight
countries rated them negatively—7 by
pluralities and one by a majority. Two
countries were divided.
• The International Monetary Fund is not as well regarded as the World Bank, but still, on average a plurality of 47
percent see it as having a positive influence and just 21 percent see it has having a negative influence. In 29
countries a majority (13 countries) or a plurality (16) views it positively. The only two countries in which a
majority views it negatively are Argentina (60%) and Brazil (57%), which have recently paid off their loans from
the Fund so as to free themselves from its influence. A plurality of 49 percent is negative in Turkey as well.
• Of all the global players examined in the poll, NGOs (“Non-governmental organizations such as environmental
and social advocacy groups”) got the highest grades with an average of 60 percent rating them as having a
positive influence on the world, just 12 percent negative. NGOs were rated positively across all 32 countries
polled, in 25 by a majority.
• The United Nations was close behind with 59 percent rating it positively—however, this is down from last year’s
BBC World Service Poll in which 66 percent rated it positively. Just 16 percent rated it negatively this year. In 30
countries a majority (23 countries) or a plurality (7) sees it as having a positive influence.
Commenting on these citizen assessments of various global actors, GlobeScan President Doug Miller says,
“The very positive views of non-governmental organizations and the United Nations, and the negative views of
global companies are consistent with other research we have conducted. The surprises are the positive
assessment of the World Bank’s role and the fact that more citizens are negative about the news media than of
the much-maligned International Monetary Fund.”
• Steven Kull, director of PIPA, comments: “The widespread belief that the World Bank and even the IMF are
having a positive influence in the world does not necessarily contradict the criticism they have received. The
global public clearly sees it as positive that there are international institutions that seek to address the problems
of poverty and economic instability, and on balance see them as doing more good than harm. At the same time,
many see them as falling short of these goals and disproportionately serving the needs of the wealthy states—
enough to drive many out on the street to demand that these institutions better fulfill their purpose and potential.”
• A growing factor in world affairs is world public opinion. The influence of world public opinion was rated positively
in every single country--a distinction only shared by NGOs--in 15 countries by a majority, and 17 by a plurality.
On average, 51 percent saw public opinion as positive and only 17 percent as negative. An unusually large 32
percent did not provide an assessment.
• The news media received muted approval, receiving positive ratings from a 48 percent plurality and negative
ratings from 24 percent. Twenty-six rated it positively (16 a majority, 10 a plurality). Six countries rated it
negatively (4 a plurality, 2 a majority).
Globalisasi &
Pengaruhnya Terhadap
Perubahan Ekonomi
Indonesia
Analisis Pertumbuhan Ekonomi 2005-2008,
World Oil Reseves, Analisis Pertumbuhan Ekonomi
dan Kemiskinan Indonesia, Perbandingan Indikator Ekonomi
Indonesia
Pertumbuhan Ekonomi 2005

Perekonomian Indonesia pada tahun 2005 mengalami pertumbuhan sebesar 5,60 % dibanding tahun 2004.
Nilai PDB atas dasar harga konstan pada tahun 2005 mencapai Rp. 1.749,5 triliun, sedangkan pada tahun
2004 sebesar Rp 1.656,8 triliun. Bila dilihat berdasar harga yang berlaku, PDB tahun 2005 naik sebesar Rp
468,0 triliun, dari Rp 2.261,7 triliun pada tahun 2004 menjadi sebesar Rp 2.729,7 triliun pada tahun 2005.
(Sumber: Berita Resmi Statistik No 09 / IX / 15 Februari 2006)
Selama tahun 2005, hampir semua sektor ekonomi yang membentuk PDB mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 12,97%,
diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran 8,59%, sektor bangunan 7,34%, sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan 7,12%, sektor lisrtrik, gas dan air bersih 6,49%, sektor jasa-jasa
5,16%, sektor industri pengolahan 4,63%, sektor pertanian 2,49%, serta sektor pertambangan dan
penggalian 1,59%. Selanjutnya jika dilihat secara total, pertumbuhan PDB tanpa migas tumbuh lebih
cepat yaitu sebesar 6,48% pada tahun 2005 dibandingkan tahun 2004.
(Sumber: Berita Resmi Statistik No 09 / IX / 15 Februari 2006)
Dibandingkan dengan peranan pada tahun 2004, pada tahun 2005 terjadi perubahan peranan pada beberapa
sektor ekonomi yaitu penurunan pada sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air
bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor
jasa-jasa. Penurunan yang cukup besar terjadi pada sektor pertanian dari 14,66 persen pada tahun 2004 menjadi
13,41 persen di tahun 2005. Peranan sektor industri pengolahan menurun dari 28,28 persen menjadi 28,05
persen, sektor listrik, gas, dan air bersih menurun dari 0,98 persen menjadi 0,92 persen, sektor perdagangan,
hotel dan restoran menurun dari 15,83 persen menjadi 15,74 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan menurun dari 8,60 persen menjadi 8,36 persen dan sektor jasa-jasa menurun dari 10,38 menjadi
10,10 persen. Sementara sektor pertambangan naik peranannya dari 8,67 persen di tahun 2004 menjadi 10,44
persen di tahun 2005, sektor bangunan naik dari 6,32 persen menjadi 6,35 persen dan sektor pengangkutan dan
komunikasi naik dari 6,28 persen menjadi 6,63 persen pada tahun 2005. Selanjutnya jika dilihat secara total,
peranan PDB tanpa migas naik sedikit dari 0,96 persen pada tahun 2004 menjadi 0,97 persen pada tahun 2005.
(Sumber: Berita Resmi Statistik No 09 / IX / 15 Februari 2006)
Data PDB menurut sektor atas dasar harga berlaku juga menunjukkan
peranan sektor dan perubahan struktur ekonomi dari tahun ke tahun.
Tiga sektor utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan, dan
perdagangan mempunyai peranan sebesar 57,20 % tahun 2005. Sektor
industri pengolahan memberi kontribusi sebesar 28,05 %, sektor
perdagangan, hotel dan restoran 15,74 %, dan sektor pertanian 13,41%.
(Sumber: Berita Resmi Statistik No 09 / IX / 15 Februari 2006)
Analisis Ekonomi 2007
 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi
kuartal ketiga (Q-3) 2007 yang tumbuh 6,5%. Ini mengingat, situasi ekonomi
di dalam negeri sedang dihantui oleh berbagai kondisi eksternal seperti
krisis subprime mortagage di Amerika Serikat (AS) dan kenaikan harga
minyak mentah dunia yang nyaris tembus US$100 per barel.
 Publikasi BPS menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Q-3 2007
sebesar 6,5% disumbang oleh pertumbuhan ekspor 7,8%, impor 8,1%,
konsumsi pemerintah 6,5%, konsumsi rumah tangga (RT) 5,3%, dan
investasi 8,8%. Ini maknanya, telah terjadi perubahan komposisi pada
variabel pembentuk pertumbuhan ekonomi. Dimana, tingkat konsumsi RT
mencapai 5% lebih, sedangkan investasi berada pada level di bawah 10%.
 Realisasi lifting minyak mentah yang digunakan dalam APBN 2007
diperkirakan hanya 0,91 juta barel per hari (bph) lebih rendah dibandingkan
target APBN 2007 sebesar 0,95 juta bph.
 Dari sisi belanja negara, sejumlah langkah efisiensi belanja di tingkat pusat
juga dilakukan pemerintah. Diperkirakan bahwa selama tahun 2007, belanja
pusat akan dapat dihemat sebesar Rp19,6 triliun. Dengan kombinasi antara
sisi penerimaan dan sisi belanja, posisi APBN 2007 akan tetap dalam posisi
aman. Dalam arti target defisit sebesar 1,5% dari PDB dapat dipertahankan.
[Sumber: Sunarsip, (2007), Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun 2008, Ekonom Kepala,
The Indonesia Economic Intelligence & Dosen di STAN Depkeu RI.]
World Oil
Reserves
http--swaramuslim_net-images-uploads-xfiles-Oil-07_jpg.mht
Analisis Ekonomi 2008
 Dalam RAPBN 2008, dinyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar
6,8%. Pertumbuhan 6,8% terutama terutama
diharapkan didukung oleh meningkatnya
pertumbuhan investasi dan ekspor.
 Investasi diharapkan tumbuh 15,53%, konsumsi
RT diatas 5%, konsumsi pemerintah 6,24%,
ekspor 12,65% dan impor 17,81%.
[Sumber: Sunarsip, (2007), Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun 2008, Ekonom Kepala,
The Indonesia Economic Intelligence & Dosen di STAN Depkeu RI.]
Sumber:Sunarsip, (2007), Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun
2008,Ekonom Kepala, The Indonesia Economic Intelligence & Dosen di STAN Depkeu
RI.
Pertumbuhan Ekonomi dan
Kemiskinan di Indonesia
 Pasca krisis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2000
sebesar 4.92 %, ternyata kondisi ini belum mampu menciptakan
lapangan kerja dan menyerap tambahan angkatan kerja yang
muncul sekitar 2.5 juta setiap, akibatnya jumlah pengangguran
meningkat, sebesar 9.76 juta orang tahun 2001–2004.
 Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah
pengangguran mengakibatkan jumlah penduduk miskin belum
dapat diturunkan setelah pasca krisis, tercatat bahwa tahun 2002
penduduk miskin sebesar 38.4 juta jiwa dimana angka ini lebih
besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 34.5 juta
jiwa pada tahun 1996 (BPS, 2002).
Sumber: Rasidin K. Sitepu & Bonar M. Sinaga, (t.t), The Impact Of Human Capital Investment on
Economic Growth and Poverty in Indonesia: Computable general Equlibrium Model Approach),
Sekolah Pascasarjana IPB.
Syarat Pertumbuhan Ekonomi

Teori Harrold-Domart tentang syarat yang harus dipenuhi


negara dalam rangka mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang stabil (steady growth) dalam jangka waktu
yang panjang:
1. Keadaan barang dan modal yang sudah mencapai
kapasitas penuh.
2. Keadaan saving yang sebanding atau proporsional
dengan pendapatan nasional.
3. Keadaan rasio modal produksi (capital out-put ratio) yang
stabil.
Sumber: Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000. p. 225-226
Tabel 2.1
Inflasi, Jumlah Uang Beredar, M2, Suku Bunga
Kredit
Dan Produk Domestik Bruto
Tahun 1998-2007
(%)
Produk
Suku bunga
Inflasi Jumlah Uang Beredar M2 domestik
kredit
Tahun (Y) (X1) (X2) bruto
(X3)
(X4)
1998 77,60 56,36 62,35 22,72 2,24
1999 2,00 13,60 11,92 22,62 2,03
2000 9,35 17,95 15,60 16,86 4,02
2001 12,55 12,38 12,99 17,11 3,71
2002 10,03 5,29 4,72 18,09 5,04
2003 5,06 9,63 8,12 17,05 4,58
2004 6,40 9,14 8,14 14,59 5,04
2005 17,11 15,36 16,42 14,20 5,70
2006 6,60 17,37 12,03 15,71 5,51
2007 6,56 20,70 18,85 13,92 6,32

Sumber: Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik Indonesia yang diolah kembali
Perbandingan Indikator Ekonomi Indonesia
NPL: Nonperfoming loan/ Kredit bermasalah
LANGKAH-LANGKAH YANG SUDAH
PUAB: Pasar uang antar bank
DIAMBIL UNTUK MEREDAM KRISIS: GWM: Giro wajib minimum
1. Antisipasi krisis dengan mengajukan
Perpu tentang Jaring Pengaman Sektor KRISIS 1997 GEJOLAK 2008
Keuangan, Lembaga Penjamin 100 % Depresi Rupiah 5%
Simpanan, dan UU BI.
2. Melonggarkan likuiditas perbankan 20 % Inflasi 11,14 %
dengan penyederhanaan giro wajib 60 % NPL Perbankan 1%
minimum, fasilitas repo, dan percepatan
50 % Suku Bunga SBI 9,29 %
penyerapan anggaran pemerintah pusat.
Likuiditas terkucur lebih dari Rp. 50 200 % Suku Bunga PUAB 12 %
Triliun dari kebijakan ini. Minus Giro Bank Surplus
3. Antisipasi kerugian bank, korporasi, dan Rp. 2,26 Triliun terhadap GWM Rp. 3 Triliun
institusi keuangan lainnya akibat
penurunan nilai surat berharga dengan 22,1 Milliar Cadangan Devisa 57 Milliar
diperbolehkan tidak menggunakan harga Dollar AS Dollar AS
pasar dalam penuruan neraca.
4. Meredam kejatuhan indeks saham USULAN LANGKAH YANG HARUS
dengan pelarangan “short selling” DIAMBIL PEMERINTAH
merelaksasi aturan “buyback”, pembelian 1. Memperkuat impor barang jadi dan
saham oleh Pusat Investasi Pemerintah, mencegah barang impor ilegal
dan Penegakkan hukum di Bursa. 2. Memacu pembangunan infrastruktur
5. Menjaga daya beli masyarakat dengan 3. Insentif pajak untuk perusahaan yang
penurunan Pajak Penjualan atas Barang berorietasi ekspor seperti tekstil, industri
Mewah (PPnBM) hilir dan industri padat karya
Sumber: The Economic Business Week, dan diolah 4. Pengurangan harga BBM untuk
dari berbagai sumber/ Kompas, 13 Oktober 2008 menggerakan sektor riil.
Referensi Primer
1. Adelman dan C. Morris, Economics Growth and Social Equaity in Developing Countries, Standford,
Standford University Press, 1973.
2. Anthony Giddens, Runway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003.
3. Adam Smith, The Wealth of Nations, New York: The Modern Library, 1973.
4. Daniel Bell,The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
5. Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992.
6. Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990.
7. Heru Nugroho, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.
8. Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, Magelang, Indonesiatera, 2004.
9. Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, Pendekatan Baru dalam Melihat HAM, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2003.
10. Jerry Mander, Debi Barker & David Korten, Globalisasi Membantu Kaum Miskin, dalam Globalisasi
Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003.
11. Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, Tahun 1990.
12. Martin Khoor, Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,
Yogyakarta, 2000.
13. Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar & Pustaka Averroes, 2000.
14. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan Mesin-mesin Kekarasan dalam Jagat Raya Chaos,
Mizan, Bandung, 2001.
15. Kompas, 13 Oktober 2008
16. The Economic Business Week, 2008
17. Berita Resmi Statistik No 09 / IX / 15 Februari 2006
18. Sunarsip, (2007), Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun 2008, Ekonom Kepala, The
Indonesia Economic Intelligence & Dosen di STAN Depkeu RI.
19. Rasidin K. Sitepu & Bonar M. Sinaga, (t.t), The Impact Of Human Capital Investment on Economic
Growth and Poverty in Indonesia: Computable general Equlibrium Model Approach), Sekolah
Pascasarjana IPB.
Have been presented by:
NUR SAYYID SANTOSO KRISTEVA
NIM. 08/275928/PSP/3433
Mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi Fisipol UGM
E-mail: nuriel.ugm@gmail.com/ skristeva@gmail.com
Website pribadi: www.nursayyidsantoso.blogspot.com
Website lembaga: www.sosiologidialektis.wordpress.com
Cp. (0282) 540 437/ Hp. 085 647 634 312

go on to the next slide

Anda mungkin juga menyukai