Anda di halaman 1dari 161

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323253487

Buku SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN SOSIAL

Book · December 2017

CITATIONS READS

0 4,710

1 author:

Joni Rusmanto
Universitas Palangka Raya
8 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

cultural framing on social movement View project

All content following this page was uploaded by Joni Rusmanto on 18 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN SOSIAL
& Pengaruhnya Terhadap Studi
Perlawanan
Edisi 2

Penulis: Dr. Joni Rusmanto, M.Si


Editor : Ester Sonya Ulfaritha, M.Si

Pengantar
Prof.Drs. Kumpiady Widen, MA,.Ph.D

i
SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN SOSIAL
& Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan
Edisi 2

Penulis: Dr. Joni Rusmanto, M.Si


Editor : Ester Sonya Ulfaritha, M.Si

Pengantar
Prof.Drs. Kumpiady Widen, MA,.Ph.D

ISBN 978-602-6851-94-9

Desain Sampul
Gandring AS
Tata Letak
Gandring AS

Cetakan I, Desember 2017

PENERBIT PUSTAKA SAGA


Jl. Gubeng Kertajaya VE No 12
Email: saga.penerbit@gmail.com
Phone: +6285655396657

ii
PENGANTAR PENERBIT

Ilmu sosial adalah ilmu yang sangat dinamis. Seperti halnya


manusia yang juga sangat dinamis. Teori-teori serta pandangan baru
terus bermunculan untuk menjawab tantangan zaman yang kian
berubah. Buku ini pun hadir untuk menjawab kebutuhan referensi ilmu
sosial di dunia akademik lebih khus us pada dinamika studi gerakan
sosial yang terjadi.
Buku Sosiologi Politik Gerakan Sosial & Pengaruhnya Terhadap
Studi Perlawanan Edisi 2 ini merupakan sumbangan intelektual, semoga
mampu menambah khazanah pengetahuan dalam ilmu sosial yang
sangat dinamis.
Besar harapan kami semoga buku ini dapat memberikan
sumbangsih pada khazanah literasi dalam dunia pendidikan khususnya,
serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Selamat membaca.

iii
PENGANTAR DEKAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

Manuel Castells (1998) dalam bukunya berjudul The Power of


Identity, memperkenalkan tiga contoh konstruksi sosial dari identitas
yaitu pertama, Legitimizing Identity atau Identitas Pembenaran.
Identitas ini biasanya diperkenalkan oleh institusi dominan dari
masyarakat untuk memperluas serta merasionalisasi dominasi mereka
atas aktor sosial. Setiap tipe menuju proses pembangunan identitas
memiliki dampak yang berbeda dalam masyarakat.
Kedua, resistance identity atau Identitas Perlawanan. Identitas ini
biasanya dimunculkan oleh aktor yang ada dalam posisi atau kondisi
yang tertindas atau dicap rendah oleh logika dominasi, karena itu
membangun kekuatan penolakan dan survival atas dasar prinsip yang
berbeda atau bertentangan dengan yang dipaksakan oleh masyarakat.
Lagipula bahwa identitas ini di bangun atas dasar suatu bentuk
perlawanan kolektif terhadap suatu bentuk kebijaksanaan yang
memberikan sebuah tekanan yang tidak dapat ditoleransi
Ketiga, project identity atau identitas proyek. Identitas ini
biasanya dihasilkan ketika para pelaku sosial (pada basis apapun
material kultural yang tersedia bagi mereka) membangun identitas baru
yang mendefinisikan kembali identitas atau posisi mereka dalam
masyarakat, serta mencari transformasi struktur sosial secara
keseluruhan.
Dari pikiran dan penjelasannya itu, maka kemudian Castells secara
garis besar membuat sketsa tentang apa itu sebenarnya identitas yang
menurutnya yaitu sebagai berikut; identitas merupakan sumber makna
dan pengalaman orang, identitas juga dapat berupa proses konstruksi
makna yang berdasar pada sebuah atribut kultural atau seperangkat

iv
atribut kultural, yang diprioritaskan diatas sumber-sumber pemaknaan
lain dan yang terakhir bahwa identitas bersifat jamak dan juga plural.
Akan tetapi selain itu, bahwa pada hakikatnya identitas dapat
dibedakan menjadi identitas individu dan identitas kolektif, iIdentitas
tidak sama dengan peran atau seperangkat peran, identitas merupakan
sumber makna bagi dan oleh aktor sosial sendiri yang dikonstruksikan
lewat proses individualisasi dan hubungannya dalam masyarakat dan
identitas juga erat kaitannya dengan proses internalisasi nilai-nilai,
norma-norma, tujuan-tujuan dan idealisme.
Buku yang berjudul SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN SOSIAL &
Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan, yang ditulis oleh Dr. Joni
Rusmanto, M.Si, sangat erat hubungannya dengan teori konstruksi
identitas yang di tulis oleh Manuel Castells (1998) di atas, khususnya
Resistance Identity atau Identitas Perlawanan. Beberapa istilah yang
dikemukakan oleh Joni Rusmanto dalam bukunya ini seperti Gerakan
Sosial (Social Movement), Perlawanan Sosial (Social Resistance)
sebenarnya memiliki makna yang sama dengan teori yang dibuat oleh
Manuel Castells berjudul Resistance Identity (Identitas Perlawanan).
Berbicara masalah perlawanan (resistance), tentu memiliki
berbagai bentuk dan tujuannya masing-masing. Seperti halnya Identitas
Perlawanan yang dikemukakan oleh Manuel Castells lebih banyak
perlawanan dalam bentuk simbolik yang dilakukan oleh para aktornya.
Ambil saja satu contoh bentuk perlawanan simbolik kelompok
masyarakat di perkotaan. Munculnya berbagai paguyuban kelompok
etnik di kota-kota besar, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan
sumbolik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap berbagai
ancaman yang muncul, dimana berbagai ancaman tersebut dianggap
membahayakan eksistensi kelompok etnik yang didalamnya terdapat
nilai-nilai budaya dan agama.
Bentuk perlawanan lainnya, seperti dikemukan oleh Joni
Rusmanto dalam bukunya ini seperti Hinting Pali, salah satu bentuk
perlawanan masyarakat Dayak terhadap dominasi dan ketidakadilan

v
yang dilakukan oleh pemerintah atau penguasa lainnya. Hinting Pali,
bentuk perlawanan sosial di kalangan masyarakat Dayak Kalimantan
Tengah ini merupakan contoh nyata bagaimana kelompok masyarakat
di berbagai belahan dunia mencoba membela diri, membela harkat dan
martabat mereka, serta keberlangsungan identitas etnik, budaya dan
agama mereka.
Identitas, sebagaimana yang telah diuraikan Manuel Castells di
atas sesungguhnya memiliki makna yang sangat mendalam bagi para
aktornya. Untuk memahami makna penting dan mendalam dari Identitas
itu, maka sidang pembaca disarankan untuk menggunakan buku ini
sebagai referensi untuk memahami konsep dan makna identitas itu.
Lagipula bahwa munculnya Perlawanan Sosial atau Gerakan
Sosial, tidak bisa kita lepaskan dari adanya konsep pemertahanan
Identitas dan Identitas Perlawanan dari para aktornya. Teori tentang
Identitas Perlawanan atau istilah lainnya pergerakan Sosial atau
Perlawanan Sosial merupakan salah satu materi penting dalam ilmu
politik dewasa ini sebagai bahan bagi kita untuk memahami dinamika
sosial, khususnya yang berhubungan dengan Identitas Perlawanan
(Resistance Identity) yang semakin kompleks baik pada tingkat lokal,
nasional maupun tingkat internasional.

Dekan,

Prof.Drs. Kumpiady Widen, MA,.Ph.D

vi
PENGANTAR EDITOR

Untuk kalangan teoritisi maupun analis gerakan sosial Indonesia


khususnya, tidak sedikit yang kurang tahu tentang betapa dominanya
pengaruh paradigma besar studi gerakan sosial (Grand Paradigm) dalam
studi perlawanan sosial. Persoalan keilmuan dimaksud misalnya banyak
ditemukan dalam berbagai contoh karya ilmiah yang sudah dihasilkan
sebelumnya seperti dapat dijumpai dalam artikel, jurnal, maupun hasil
penelitian ilmiah lainnya dalam bentuk buku-buku referensi mengenai
kajian gerakan sosial dengan tema perlawanan sosial di masyarakat.
Secara epistemologi perlawanan sosial pada dasarnya sungguh
jauh berbeda bila dibandingkan dengan tema gerakan sosial besar.
Studi perlawanan sosial menggunakan dimensi teoritik mikro, fokus
studi gerakan perlawanan hanya dalam konteks perlawanan sosial skala
mikro. Sebaliknya, paradigma studi gerakan sosial besar lebih fokus
pada gerakan sosial makro, di mana gerakan kolektivitas yang luas
dilihat dalam dimensi organisasi massa formal yang canggih dan
terstruktur.
Dalam karya penulis yang diberi judul SOSIOLOGI POLITIK
GERAKAN SOSIAL & Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan,
patut disambut baik sebagai sebuah karya ilmiah yang mampu
menyuguhkan sekaligus mengurai kekusutan teoritik studi perlawanan
sosial dimaksud. Tujuan dari tulisan ini juga pada dasarnya bertujuan
hanya memetakan kembali sistematika teoritik studi perlawanan sosial
yang telah mendapatkan pengaruh yang luar biasa dalam sejarah dan
perkembangan studi perlawanan hingga masa kini.
Untuk diketahui saja bahwa dalam karya ini, studi perlawanan
secara teoritik adakalanya dipengaruhi paradigma structural strain
(perspektif ketegangan structural) dalam artian unit analisanya lebih
kepada ketegangan struktur para aktor-aktor politik yang memobilisasi
massa secara luas karena faktor derivasi. Namun juga pada sisi yang
lainnya, studi gerakan perlawanan lebih menekankan pada gerakan

vii
kolektivitas dalam sebuah bentuk organisasi massa yang formal dan
cenderung melihat utilitas gerakan hanya mengejar target pencapaian
cost and benefit secara lebih rasionalitas. Pola gerakan lebih melihat para
anggota gerakan yang terlibat atau dilibatkan dalam sebuah gerakan
dipandang bahkan direduksi sebagai konstituen yang sadar secara
politik ekonomi.
Oleh karenanya maka studi perlawanan yang dipengaruhi oleh
beberapa perspektif besar tersebut di atas, sadar~menerima atau
menolak, namun tetap dipengaruhi oleh bayang-bayang struktur besar
yang ada (The Big Structure). Pengaruh kuat terhadap studi perlawanan
ini seperti misalnya selalu dapat kita lihat dan jumpai dari penulisan
tema-tema perlawanan millenearisme klasik sebelumnya misalnya
Perang Jihad, Gerakan Ratu Adil, Gerakan Nyuli, hingga ke gerakan
perlawanan sosial modern yang unit analisisnya pada kelompok sosial
sebagai sebuah organisasi massa yang melakukan perlawanan di
masyarakat.
Maka dari itu, jika Anda ingin melakukan sebuah riset tentang
tema gerakan sosial besar atau juga memperkecil ruang lingkup studi
hanya lebih fokus kepada aksi sosial skala mikro seperti halnya tema
aksi-aksi perlawanan sosial yang gerakannya pada skala kecil-kecilan
pada masyarakat, maka ada baiknya Anda memperkaya diri dulu dengan
perspektif teoritik, sehingga hasil penelitian apapun dengan tema yang
beraneka ragam dalam konteks gerakan sosial yang dinamis akhirnya
diharapkan akan menghasilkan sebuah karya yang dapat dipertanggung
jawabkan secara keilmuan.
Selain itu juga, hasil studi Anda itu pada akhirnya dapat
bermanfaat banyak dalam kerangka memperkaya perspektif baru
terhadap gerakan sosial besar yang masih vakum, statis dan seolah-olah
jalan ditempat. Sedangkan yang lebih khusus lagi bahwa hasil penelitian
tersebut dapat saja memungkinan berpeluang besar akan memperbaiki
perspektif dominan dalam studi gerakan sosial besar yang masa kini

viii
seolah-olah tidak memiliki perkembangan signifikan seperti halnya
dalam lapangan kajian disiplin ilmu-ilmu sosial yang lainnya.

Editor,

ix
PENGANTAR PENULIS

Setiap paradigma selalu memiliki kekuatannya masing-masing,


dan bahkan di dalam sebuah paradigm besar itu belakangan dapat
ditemukan kelemahan tersendiri berdasarkan konstruksi dan perdebatan
teoritik yang cukup panjang dalam sejarah penelitiannya. Tak ayal lagi
maka kekuatan satu paradigma yang lebih adekuat sekalipun disatu sisi
pada masanya juga telah mengalami kekurangan tersendiri dan
sebaliknya menjadi kekuatan baru bagi paradigma baru dalam studi
kemudian. Revolusi dinamika keilmuwan itulah yang kemudian kita
sebut sebagai rangkaian transformasi sains paradigmatik.
Karya ilmiah yang diberi judul SOSIOLOGI POLITIK GERAKAN
SOSIAL & Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan, adalah tulisan
yang menyuguhkan serangkaian iven pergeseran paradigmatik studi
gerakan sosial. Dimulai dengan sejarah awal studi gerakan sosial hingga
ke paradigma baru gerakan sosial (New Social Movement).
Pergeseran atau lebih tempatnya pergantian paradigma dalam
studi gerakan sosial tidaklah melalui proses keilmuwan yang normal
melainkan dilewati dengan serangkaian perdebatan teoritik yang
panjang dan mendalam. Maka dari alur perdebatan paradigmatik
keilmuan tersebut selanjutnya dapat diketahui posisi terakhir dari
sebuah paradigma gerakan sosial (Social Movement) yang lebih adekuat
(State of the Art).
Demikian juga halnya harus diakui, bahwa disepanjang lintasan
sejarah paradigma gerakan sosial besar itu turut pula mempengaruhi
berbagai studi gerakan sosial mikro khususnya dengan tema perlawanan
sosial (Social Resistance) dengan beragam tema kajian di berbagai
tempat, wilayah baik di negara Barat umumnya maupun di Indonesia
khususnya. Buku ini cukup banyak menyuguhkan dinamika perdebatan
dikalangan analis sosial maupun teoretisi gerakan dengan berbagai
contoh karya-karya monumental terakhir peneliti masing-masing
sebelumnya, baik yang diangkat dari hasil riset maupun karya yang

x
berasal dari hasil analisis teoritis para ahli dengan berbagai
kompetensikeilmuwan masing-masing di dalamnya.
Akhir kata, semoga buku ilmiah ini dapat memberikan manfaat
maksimal, sebesar mungkin baik untuk literasi referensi penelitian
terhadap studi gerakan sosial besar maupun perlawanan sosial skala
mikro, maupun digunakan hanya sekedar bahan tambahan menambah
wawasan dan pengetahuan sidang pembaca di rumah yang ingin
mencoba mengkaryakan fikiran hanya sekedar untuk mencoba
memahami fenomena gerakan sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam konteks gerakan perlawanan yang menanggapi berbagai
isu-isu sentral diseputar permasalahan sosial, ekonomi, budaya dan
politik dalam ruang societas sosial yang semakin dinamis dan kompleks
adanya.

Penulis,

xi
PENDAHULUAN

Beragam bentuk dan dinamika studi gerakan sosial (social


movement) sudah barang tentu dipengaruhi oleh beragamnya
perspektif. Sebuah perspektif tidak muncul dengan sendirinya,
melainkan dikonstruksi berdasarkan dinamika politik gerakan sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat yang diamati.
Demikian juga halnya dinamika studi gerakan sosial telah
melahirkan berbagai komunitas sosial intelektual yang saling
mempengaruhi (mencabar) satu sama lain, dalam dimensinya sudah
barang tentu hasil dari berbagai studi terhadap fenomena gerakan yang
terjadi sehingga memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing.
Sebuah paradigma yang lebih adekuat pada masanya, akan tetapi
pada masa kini, ditempat lain telah ditemukan berbagai kelemahan yang
terjadi di dalamnya (Kuhn, 1962). Paradigma yang lebih adekuat tentu
dibangun berdasarkan temuan-temuan baru di lapangan, dikonstruksi
(building theory), dianalisa berdasarkan data penelitian yang diperoleh
peneliti gerakan sosial di lapangan (field research).
Irama pergeseran paradigmatik tersebut, tentu berlaku pula di
dalam cabang sosiologi politik gerakan sosial. Pergeseran itu
sesungguhnya sangatlah rumit, karena setiap sumber perubahan
memiliki arahnya masing-masing yang kurang lebih dapat dikatakan
(tetapi tidak seluruhnya) lepas dari pengaruh garis pemikiran yang lain.
Akan tetapi, tiga tahapan yang khas dapat diperlihatkan. Setiap
tahapan memiliki tema yang khas terkandung di dalam ungkapan-
ungkapan kuncinya, objek risetnya, metodologi risetnya dan orientasi-
orientasi nilainya terhadap gerakan-gerakan kemasyarakatan yang
pernah diteliti.
Dalam buku ilmiah ini yang diberi judul SOSIOLOGI POLITIK
GERAKAN SOSIAL & Pengaruhnya Terhadap Studi Perlawanan,
dapat dikategorisasi sebagai sebuah risalah ilmiah tentang The Serial
Book of Social Resistance Perspective, yang menguraikan beberapa

xii
tahapan sejarah studi gerakan sosial besar mulai dari kajian lama atau
yang sering disebut juga periodesasi klasik dan neo klasik, yang dalam
konteks ini sudah barang tentu~tidak memadai lagi untuk menjawab
dan mengkaji dinamika gerakan dalam kehidupan masyarakat masa kini.
Ada banyak hasil riset yang dikemukakan oleh para peneliti studi
gerakan sosial masa kini untuk menunjukan kekurangan paradigmatik
klasik tersebut, yang apabila digunakan untuk mengkaji fenomena sosial
gerakan, telah memiliki karakteristik berbeda setiap saat.
Oleh karenanya, maka paradigma klasik itu sudah barang tentu
tidak lagi menjadi state of the art, mengingat fokus kajian gerakan sosial
bias pada asumsi irasionalitas tindakan, karena studi ini lebih dominan
mengandalkan teori utama (The Grand Theory) kepada pengaruh
rumusan psikologi sosial klasik masa lampau.
Persoalanya adalah, asumsi yang dibangun dalam perspektif ini
mengabaikan karakteristik dan dinamika aksi (action) gerakan,
sebaliknya peneliti cenderung membangun hipotesa dan asumsi lebih
kepada kolektivitas gerakan sosial berskala makro (macro collectivity
action).
Oleh karena itu, bahwa sesungguhnya untuk menjawab serta
menghindari anomali terhadap studi gerakan sosial di atas, maka
kekurangan paradigmatik klasik tersebut dalam perkembangan
selanjutnya diisi dengan perspektif baru yang dinamakan paradigma
gerakan sosial baru (New Social Movement).
Paradigma gerakan sosial baru yang dimaksud tersebut paling
sedikit memiliki tiga perspektif utama yaitu; structural strain paradigm,
mobilization resources paradigm dan yang terakhir kuat muncul di Eropa
yaitu paradigma berorientasi identitas.
Tiga paradigma besar studi gerakan sosial tersebut sudah pasti
memiliki kekuatan masing-masing di suatu tempat atau wilayah
komunitas studi lainnya. Setiap perspektif kadangkala menjadi ikon
dominan yang membentuk dan mempengaruhi karakteristik pemikiran
pada sebuah studi terhadap gerakan sosial yang terjadi.

xiii
Namun selain kekuatannya, maka sesungguhnya sebagai disiplin
ilmu (sains) ketiga paradigma besar studi gerakan sosial itu juga dalam
tahap perkembangan terakhir secara lambat laun ditemukan banyak
kekurangan yang sudah tidak mungkin lagi untuk tetap dipertahankan
sebagai perspektif untuk mengkaji fenomena sosial gerakan yang setiap
saat, di lain tempat memiliki pola dan karakteristiknya sendiri-sendiri.
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa ketiga paradigma
besar studi gerakan sosial baru di atas pada masanya memiliki kekuatan
(adekuat) baik di Amerika dan sekitarnya seperti misalnya paradigma
ketegangan struktural (structural strains paradigm) dan paradigma
mobilisasi sumber daya (mobilization resources paradigm) sedangkan
khusus paradigma yang berorientasi identitas sempat eksis pada era
tahun 80-an dibelahan Eropa umumnya.
Selain itu pula, bahwa salah satu bagian penting yang nantinya
juga turut didiskusikan dalam buku ini yaitu kerangka anatomi teori
gerakan sosial dan sejauhmana pengaruh paradigma besar studi
gerakan sosial itu turut pula mempengaruhi karakteristik berbagai studi
dengan tema perlawanan sosial (social resistance perspective).
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa studi perlawanan
juga merupakan bagian dari studi gerakan sosial, walaupun demikian
maka yang selalu tidak dapat dihindari adalah bahwa teoretisi maupun
peneliti studi perlawanan terkadang bahkan dapat dikatakan sulit
melepaskan diri dari bayang-bayang cengkraman pengaruh perspektif
besar studi gerakan sosial tersebut (The Grand Paradigma).

xiv
DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit | iii


Pengantar Dekan | iv
Pengantar Editor | vii
Pengantar Penulis | x
Pendahuluan | xii
Daftar Isi | xv

BAB I. STUDI AWAL GERAKAN SOSIAL | 1


1.1. Perspektif Studi Gerakan Sosial Lama | 1
1.2. Konteks Sosial Politik yang Melatarinya | 2
1.3. Konstruksi Pemikiran yang Mempengaruhinya | 4
1.4. Berbagai Tema Kajian Awal Gerakan Sosial | 6

BAB II. KEKUATAN DAN KELEMAHAN


PERSPEKTIF AWAL GERAKAN SOSIAL | 17
2.1. Kekuatan Perspektif | 17
2.2. Kelemahan Perspektif | 18

BAB III. PERIODESASI SOSIOLOGI GERAKAN SOSIAL BARU | 20


3.1. Paradigma Besar Studi Gerakan Sosial Baru | 20
3.2. Latar Belakang Sosial, Politik yang Melatarinya | 21
3.3. Berbagai Tradisi Pemikiran yang Mempengaruhinya | 23
3.4. Beberapa Paradigma Studi Gerakan Sosial Baru | 24
3.4.1. Ketegangan Struktural | 24
3.4.1.1. Kekuatan Peradigma | 29
3.4.1.2. Kelemahan Paradigma | 31
3.4.2. Mobilisasi Sumber Daya | 32
3.4.2.1. Kekuatan Paradigma | 41
3.4.2.2. Kelemahan Paradigma | 42
3.4.3. Paradigma Berorientasi Identitas | 43
3.4.3.1. Kekuatan Paradigma | 52
xv
3.4.3.2. Kelemahan Paradigma | 53
3.5. Kesimpulan | 54

BAB IV. PERSPEKTIF PERLAWANAN SOSIAL | 77


4.1. Studi Perlawanan dalam Konstruksi
Gerakan Sosial Besar | 77
4.2. Berbagai Perspektif Perlawanan Sosial | 99
4.2.1. Perspektif Moral Ekonomi (Moral Economic) | 99
4.2.2. Perspektif Ekonomi Politik (Economy Politic) | 107
4.2.3. Perspektif Sejarah (History Perspective) | 111

BAB V. KESIMPULAN
STATE OF THE ART STUDI GERAKAN SOSIAL | 123

Daftar Pustaka | 135


Tentang Penulis | 141
Tentang Editor | 143

xvi
BAB I
STUDI AWAL GERAKAN SOSIAL

1.1. Perspektif Studi Gerakan Sosial Lama


Munculnya studi gerakan sosial dalam berbagai perspektif dewasa
ini terkait dengan sejarah awal kajian yang dilakukan para teoretisi
sosiologi gerakan sosial sebelumnya. Untuk memahami dinamika dan
perkembangan studi gerakan sosial dimaksud maka selanjutnya
pengenalan terhadap periodisasi awal studi gerakan sosial lama atau
yang biasa disebut juga tradisi klasik maupun neo klasik sangatlah
penting untuk diperhatikan dalam tulisan ini.
Dalam pemetaan studi gerakan sosial periode tersebut di atas,
bahwa studi gerakan sosial lama telah mendapatkan penekanan lebih
utama pada unsur-unsur irasionalitas perilaku kolektif (collective
behavior), maka dengan sendirinya tidaklah mengherankan jika
periodesasi ini oleh sejumlah analis disebut juga sebagai periode klasik
(McAdam, 1987; Mayer, 1991) atau periode tradisional (McCarthy &
Zald, 1979; Jengkins, 1982).
Untuk diketahui bahwa pada era tahun 1930-an dan memasuki
era tahun 1960-an studi gerakan sosial difokuskan lebih pada perspektif
teori psikologi sosial klasik, termasuk juga sebagai reaksi terhadap
popularitas psikonalisis dan pengaruh “dunia nyata” Nazisme, Fasisme,
Stalinisme, tindakan main hakim sendiri misalnya dengan mengeroyok
atau membunuh, termasuk juga berbagai aksi kerusuhan yang berbau
ras atau sara.
Menurut Robert Mirsel (2004:21) pada tahapan periodesasi
pertama, teori gerakan sosial meneliti asal-usul irasional dari setiap
tindakan dalam sebuah gerakan yang muncul di bawah beberapa
pemikiran yang saling berhubungan seperti dalam berbagai unit analisis
kajian misalnya perkumpulan massal (mass society) dan tingkahlaku
kolektif (collective behavior).

1
Pada umumnya studi gerakan sosial lama lebih berorientasi
kepada teori psikologi sosial klasik, yang menurut Rajendra Singh
(2010:111) sebagai ciri khas perspektif gerakan sosial klasik walaupun
kemudian mendapat dimensi baru dalam studi gerakan sosial tradisi neo
klasik.
Pokok persoalan yang dianggap paling krusial dalam tradisi klasik
adalah bahwa sebagian besar studi dalam perilaku kolektif (collective
behavior), lebih diarahkan pada berbagai bentuk perilaku kelompok
kerumunan yang disebut crowd. Crowd di sini merupakan kolektivitas
massa yang liar, haus darah, rasional seperti nampak dalam berbagai
tindakan antara lain; kerusuhan (revolts) huru-hara (mob), keributan dan
kerisauan (riots) hingga kepada pemberontakan (rebels), utamanya oleh
para psikolog sosial Barat dan para sejarawan dari sebelum tahun 1950-
an (Rajendra Singh, 2010:111).

1.2. Konteks Sosial Politik yang Melatarinya


Studi gerakan sosial periode klasik dan neo klasik (gerakan sosial
lama), dapat dikatakan mendapatkan pengaruh oleh ruang lingkup
konteks historis dinamika gerakan masyarakat yang berkembang luas
saat itu terutama situasi sosial dan politik yang sedang terjadi luas pada
masyarakat Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Lebih jelasnya lagi bahwa hal itu terjadi persis pada masa rezim-
rezim pergerakkan anti demokrasi dan represif telah menjadi kekuatan
geopolitik utama di negara-negara Barat. Perkembangan ini berlanjut
memasuki Perang Dunia II, sebagai buah militerisasi persaingan dan
konflik antara tiga negara pergerakan, antar tipe-tipe negara dan antar
masyarakat yang terbentuk melalui pergerakan-pergerakan yang telah
mencapai kekuasaan dalam negara.
Selain hal tersebut di atas, maka yang mengiringi lahirnya
kompetisi di antara negara-negara adidaya pada saat itu adalah
demokrasi pasar, negara pasar dan masyarakat pasar seperti Inggris
Raya, Perancis dan Amerika Serikat. Ketiganya terbentuk bersamaan

2
dengan lahirnya kapitalisme industri, kemenangan liberalisme dalam
artian klasik yakni pemisahan antara negara dengan masyarakat madani
dan keberhasilan yang dicapai oleh gerakan-gerakan nasional.
Negara-negara tersebut di atas biasanya secara longgar
dikelompokan bersama sebagai apa yang lazim disebut Barat (West).
Tipe kedua dari negara yang terlibat dalam konflik itu adalah Uni Sovyet
(Robert Mirsel, 2004:25).
Negara tersebut merupakan sebuah rezim yang juga lahir dari
gerakan yang mau menguji coba sosialisme di dalam sebuah negara.
Kekuatan ketiga, adalah Aliansi Sumbuh, yaitu aliansi yang terdiri-dari
rezim-rezim pergerakan seperti fasisme di Jepang, Italia, dan Nazi
Jerman, bersama dengan para sekutu dan rezim-rezim bonekannya.
Biasanya dalam masyarakat-masyarakat semacam ini, ekonomi kapitalis
dipadukan dengan negara aktivis dan represif.
Negara-negara yang meleburkan diri dan menjadi bagian negara-
negara sekutu yang telah memenangkan perang, yakni demokrasi pasar
Barat dan Uni Sovyet yang dipadukan dengan negara-negara
komunisnya, tidak bisa bertahan hingga berakhirnya konflik. Munculnya
konflik antar pemenang perang melahirkan bentuk Perang Dingin,
perlombaan senjata nuklir sejalan dengan lahirnya konflik-konflik
regional di Dunia Ketiga.
Beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir, maka Negara
Cina dan Eropa Timur terserap ke dalam blok komunis, dan perang pun
meletus di Semenanjung Korea. Lebih spesifik lagi, bahwa di negara-
negara pendukung utama masing-masing blok, orang-orang atau
kelompok maupun organisasi-organisasi yang dituduh sebagai
pendukung pihak lain dibersihkan atau disterilkan (genocide).
Pembersihan ini umumnya lebih kejam dilakukan di negara-
negara komunis, kecuali Perancis dan Italia. Demikian halnya masalah
demokrasi pasar, juga melakukan penyingkiran terhadap partai-partai
politik dan gerakan-gerakan komunis dari arena politik seperti halnya

3
negara-negara komunis melakukan tindakan yang sama terhadap
gerakan dan partai-partai borjuis.
Selain itu, pada pihak lain, tekanan historis lainnya terutama di
Amerika Serikat adalah munculnya berbagai fenomena sosial yang
cenderung membentuk diri dalam sebuah perilaku kerumunan (crowd
behavior).
Fenomena perilaku kolektif yang membentuk diri dalam sebuah
kelompok kerumunan (crowd), seperti halnya kerusuhan rasial dan
tindakan main hakim sendiri dengan sikap mengeroyok hingga saling
membunuh yang dilakukan oleh warga kulit putih terhadap warga kulit
hitam seperti yang terjadi di Chicago tahun 1919, St. Louis Timur 1917,
Detroit 1943, dan terhadap warga keturunan Meksiko di Los Angeles
pada tahun 1943. Kenyataan suram tersebut telah berlangsung lama
dalam sejarah Amerika abad kedua puluh.
Menjelang awal tahun 1930-an, ciri kebencian rasial dari Nazisme
memberi sebuah konteks baru terhadap tindakan-tindakan kekerasan
semacam itu terutama khususnya di Amerika Serikat. Tindakan-tindakan
tersebut dilihat sebagai fenomena serupa yang lebih besar.
Para ilmuwan sosial merasa terdorong untuk memahami sisi
irasional dan intoleran dari perilaku kerumunan (crowd) tersebut di atas,
guna memerangi rasisme dalam segala bentuknya. Upaya-upaya inilah
yang kemudian turut serta mempengaruhi perpektif teoritik studi
gerakan sosial neoklasik yang agak sedikit lebih mengalami kemajuan
dan perubahan yang cukup berarti, namun masih tetap dipengaruhi
oleh bayang-bayang perspektif psikologi sosial terutama pada aliran
crowd tradisi klasik awal.

1.3. Konstruksi Pemikiran yang Mempengaruhinya


Dalam periode ini perspektif psikologi sosial umumnya sangat
berkembang pesat di sekitar benua Eropa Barat dan Amerika Serikat. Di
dalam melakukan studi, teoritisi klasik itu mengawali asumsi yang
negatif mengenai tingkahlaku kerumunan (crowd), yaitu tingkahlaku

4
yang merujuk pada suatu kolektivitas yang liar (collectifities riotous)
dalam berbagai dinamika gerakan (Rajendra Singh, 2010:113). Berbagai
asumsi tersebut dapat dilihat dalam beberapa karya besar yang lebih
dominan dipengaruhi para psikolog sosial klasik seperti, Gustav LeBon,
The Crowd, (1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya
William Mac Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The
Behaviour of Crowd (1929) dan sebagainya.
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, bahwa pendekatan
psikologi sosial klasik terhadap penulisan gerakan sosial, lahir dari
sejumlah sejarah pemikiran besar yang lebih dismisif yaitu muncul dari
gagasan besar Sigmund Freud dalam, Group Psychology and the Analysis
of the Ego, (1921/1959), yang berorientasi teoritis pada psikologi
kelompok yang kemudian bergema kembali khususnya pada awal abad
ke 20 di dalam karya Robert Park dan E. Burgess kemudian.
Dalam kontek itu, maka sesungguhnya Robert Park telah berjasa
penting sebagai pengguna pertama istilah “tingkah laku kolektif”
(collective behavior). Tulisan Park bersama Burges tersebut
memperlihatkan adanya pengaruh Gustave LeBon dalam penggunaan
sejumlah konsep seperti sugestibilitas, ketularan (contagion), dan
kepatuhan kerumunan (crowd) kepada seorang pemimpin yang
dipercayai dan dihormati.
Selain itu, mereka juga memperlihatkan bahwa tingkahlaku
kolektif (collective behavior) merupakan kekuatan besar yang dapat
membawa perubahan Menurut Turner dan Killian (1987) kesimpulan
Park tersebut pada akhirnya mengemukakan bahwa kerumunan (crowd)
dan publik atau kelompok atau perkumpulan massa (mass society)
mengakhiri ikatan-ikatan lama dan membawa individu ke dalam jalinan
hubungan-hubungan sosial yang baru.
Park dan Aliran Chicago lainnya memainkan peran penting dalam
menggeser bidang akademik sosiologi baru yang muncul dari teori-teori
berskala besar (grand theory), yakni teori-teori mengenai struktur dan
perubahan sosial, kepada studi-studi empiris berskala kecil yakni

5
mengenai proses-proses sosial. Dalam konteks pemikirannya itu, maka
menurut Ritzer dan Goodman, karena Park adalah murid Simmel maka
kemudian gagasan Simmel tentang tindakan dan interaksilah yang pada
akhirnya menjadi instrumen penting dalam mengembangkan orientasi
aliran Chicago (George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003:72).
Dengan adanya pergeseran umum tersebut maka selanjutnya
lahir pula batasan pertama tentang cabang sosiologi tingkahlaku
kolektif dan gerakan sosial yang berorientasi bukan hanya kepada
peranan gerakan-gerakan sosial di dalam pembaharuan politik dan
perubahan sejarah, melainkan juga kepada psikologi sosial yang
mempengaruhi faktor-faktor tingkahlaku kerumunan (crowd) di dalam
pembentukan sebuah gerakan sosial yang terjadi belakangan ini.

1.4. Berbagai Tema Kajian Awal Gerakan Sosial


Adapun unit analisis yang pertama diperhatikan para teoritisi awal
dalam studi gerakan sosial lama yaitu menyoroti interkoneksivitas
perspektif psikologi sosial pada berbagai bentuk perilaku individu yang
diamati. Para peneliti perspektif ini telah memusatkan perhatian
mendalam mereka terhadap suatu pertanyaan dan asumsi yakni
mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan diri dalam
sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang membedakan
individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan dari mereka yang
tidak terlibat.
Dalam konteks gagasan itu dikatakan bahwa kekuatan-kekuatan
kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara empiris takkala mereka
dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi, dan kecendrungan
pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan cara yang
bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi di dalam
motivasi, perilaku, keyakinan dan predisposisi individu. Konsistensi ini
kemudian, tetap terus bertahan lintas waktu dan lintas peran-peran
sosial yang terjadi.

6
Demikian juga halnya menyangkut persoalan ideologi serta yang
menjadi keyakinan para peserta terlibat dalam sebuah gerakan yakni
adalah sistem kepercayaan yang dibangun, adalah bersifat sekunder,
dan lebih merupakan sebuah elemen yang terdeterminasi ketimbang
elemen penentu. Dalam konteks ini, maka keyakinan-keyakinan para
individu dibentuk oleh kepribadian, yakni oleh kecendrungan-
kecendrungan psikologis mereka atau juga oleh tekanan-tekanan mikro
informal (informal micro~pressures) di dalam lingkungan hidup pribadi
para individu saat itu.
Dalam menilai pemikiran tersebut maka menurut Robert Mirsel,
dalam teori psikologi sosial (social~psikologycal theory), perilaku-
perilaku yang diperlihatkan oleh para individu sebagai anggota suatu
gerakan semacam itu, adalah kunci pokok bagi studi mengenai
keyakinan dan bukannya ide-ide mengenai sistem kepercayaan sebagai
sebuah sistem pemikiran yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32).
Dalam kajian teoritik pada tema dan unit analisa yang kedua
adalah orientasi terhadap perkumpulan massal (mass society theory).
Kajian pada tema ini mengarahkan perspektif studi gerakan pada suatu
keadaan di dalam masyarakat. Di mana aksi-aksi kolektif disebabkan
oleh karena para individu disingkirkan dari kelompok-kelompok sosial
yang tetap dan membuatnya lebih rentan terhadap aksi-aksi protes atau
pengaduan-pengaduan di dalam sebuah gerakan kemasyarakatan.
Analisis berfokus pada penelitian bagaimana kondisi-kondisi
individu seperti keterasingan (alienasi) dan kondisi-kondisi kultural
seperti ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah
gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakan-gerakan
kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini dipandang sebagai
jawaban terhadap hilangnya jangkar-jangkar tradisional, karena para
individu yang terlepas dari komunitasnya yang mapan kemudian
mencari bentuk-bentuk komitmen bersama yang baru.
Demikian juga mengenai tema dan unit analisis ketiga studi
gerakan sosial yang melihat dari aspek teori tingkahlaku kolektif

7
(collective behaviour theory). Perspektif ini memandang bahwa
fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic groups), kelompok
histeris (hysterias) dan kelompok yang tingkahlakunya dengan cepat
sekali berubah-ubah (fads), dan tingkahlaku kerumunan (crowd
behaviour) berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan
kemungkinan besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah
gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam satu gerakan.
Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil menghasilkan apa
yang dinamakan serta dilakukan oleh perkumpulan massal (mass society)
pada skala yang lebih luas (makro). Kolektivitas yang luas bersifat makro
ini, mencoba memisahkan individu dari keterikatan dengan kelompok-
kelompok primer seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil
seperti pada kelompok persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat
tinggal dan serikat-serikat dagang.
Selain itu, mereka juga memisahkan individu dari hal-hal rutin
biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang konvensional. Dengan ini
para individu tersebut lebih mudah menerima tekanan (pressure) yang
irasional. Kondisi-kondisi perkumpulan massal pada gilirannya itu yang
pada akhirnya membuat individu lebih gampang menerima tekanan-
tekanan guna mengambil bagian dalam tingkahlaku kolektivitas yang
luas tidak sadar (collective behaviour).
Paradigma klasik dan neo klasik pada tindakan kolektif (collective
behaviour), khususnya neo klasik, tetap dominan hingga tahun 1970-an,
sebagaimana tema dan unit analisas di atas, baik yang merujuk pada
studi tentang tingkahlaku kolektif (collective behavior theory), maupun
perkumpulan massal (mass society theory).
Tema-tema pada kajian tersebut, sama-sama masih
memperlihatkan tindakan kolektif yang merujuk pada cetakan
konseptualisasi studi tentang crowd yaitu sebagai kolektivitas yang liar
(collectifities riotous), tindakan kolektivitas yang ckni cenderung
bertindak anarkis, brutal sadis dan juga kelompok yang perilakunya
rentan terhadap hal-hal yang menjadikan para anggota gerakan dapat

8
melakukan apa saja sesuai keinginannya dari berbagai tindakan yang
irasional.
Dalam tradisi klasik, gambaran sosial tentang crowd adalah
berupa kerumunan manusia secara kolektif yang terdiri dari sejumlah
individu-individu dalam ruang yang terbatas yang merespon berbagai
isu dan peristiwa sehari-hari dalam kepentingan umum. Crowd tidak
seperti yang digambarkan C.H. Cooley sebelumnya sebagai grup utama
yang berhadap-hadapan, melainkan lebih menyerupai kelompok massa
atau tingkahlaku kolektif yang saling merapat dan berdesak-desakan.
Kelompok-kelompok yang membentuk diri pada situasi tindakan
berkerumunan (crowd), secara organisasi atau kelembagaan menurut
pendapat Rajendra Singh (2010:113) merupakan sebuah kelompok yang
bersifat sementara, tidak tetap, dan episodik. Dalam konteks itu, maka
manifestasinya adalah dalam bentuk kolektifitas-kolektifitas yang tidak
terlembagakan dan tidak terbudayakan secara teratur dan sistematis.
Kelompok pemikir sentral terhadap entitas crowd (kolektivitas
yang liar) di atas, tidak dapat disamakan dari sekumpulan manusia
seperti misalnya bangsa, komunitas, kasta, kelas kerena kelompok
tersebut relatif stabil dan merupakan sekumpulan manusia yang
terlembagakan. Sebaliknya kolektivitas ini bukan merupakan kumpulan
stabil semacam itu.
Para psikolog sosial sebelumnya biasanya membagi kegaduhan
ke dalam tipe pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok
penonton dipinggir jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena
keingintahuan untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak
biasanya, baik pemandangan atau suaranya. Menurut Rajendra Singh
(2010:114) meskipun crowd pasif tersebut memiliki kecendrungan bisa
berubah menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilaku-
perilakunya kemudian menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan
tindakan kolektif.
Demikian juga halnya, potensi crowd aktif tersebut selanjutnya
terkadang mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah

9
tindakan huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau
kerusuhan rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang
berbentuk kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan atau
sekelompok para perusuh yang memberontak dan agitasi pemogok
serta para pemrotes di jalan-jalan.
Dalam psikologi sosial klasik tema tentang persoalan huru-hara
(mob), kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang
melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas
massa haus darah yang saling bermusuhan biasanya, didefinisikan
sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Maka dari itu tidak salah
jika kemudian Gustave LeBon (1909:133) menjuluki jenis kegaduhan
tersebut sebagai plin plan (fickle) dan menghubungkannya sebagai
sejenis perilaku semborono yang irasional. Selanjutnya menurut Gustave
LeBon (1909:133) sebagai berikut :
sejumlah mahluk hidup tertentu yang berkumpul bersama, baik
hewan maupun manusia, yang dengan insting menempatkan diri
mereka sendiri di bawah otoritas ketua, dan ketua biasannya
direkrut secara khusus dari sekelompok bawahan yang gugup
secara tak wajar, mudah digerakkan, orang-orang yang setengah
tak waras yang berada dalam batas-batas kegilaan.

Dalam konteks yang sama, selanjutnya Edward Martin dalam


karyanya berjudul, The Behaviour of Crowd (1929) menyatakan bahwa
crowd merupakan situasi di mana orang-orang sebagai anggota
kerumunan yang satu sama lain saling menciptakan kebencian.
Dalam situasi sosial semacam itu diasumsi bahwa orang-orang
yang berkelompok telah membentuk suatu kerumunan tertentu, pada
dasarnya telah menciptakan situasi atau suasana emosional yang panas
dan cenderung tidak terkendali terhadap pihak lawan. Menurut hasil
pengamatan Edward Martin (1929:v) intensitas emosional yang meluap
dari setiap anggota kerumunan atas sumber masalah yang dimunculkan,
cenderung dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan
kolektivitas anarkhis yang sadis dan kejam.

10
Dengan demikian, bahwa dalam kebanyakan formulasi seperti
misalnya yang ditemukan dalam studi Gustave LeBon terdahulu,
dikemukakan bahwa siapa pun bisa membuktikan penekanan yang
rentan terhadap crowd. Dalam konteks itu, menurut pendapat James M.
Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of Social Movements
(2007), dalam visi yang lain, orang-orang tertentu secara khusus terbuka
pada gerakan emosi yang kuat terhadap entitas crowd (James M. Jasper,
2007:58, Bab 3).
Demikian selanjutnya dalam pemahaman yang agak sedikit lebih
maju, Eric Hoffer dalam karya anumertanya berjudul The True Believer
(1993) merumuskan versi yang agak sedikit lebih populer pada
masannya, yakni menggambarkan bahwa para anggota gerakan itu
tidak lain adalah sebagai seorang fanatik yang putus asa yang
diperlukannya untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu
yang mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang
pemeluk yang teguh, para pengikut yang fanatik (true believer)
memunculkan gerakan-gerakan yang didorong oleh dorongan batin
bersama untuk melakukan suatu gerakan (Eric Hoffer, 1993:25).
Selain itu, Eric Hoffer juga menilai bahwa orang-orang yang
kurang memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin,
hidup merasa tandus dan tidak aman, situasi ini yang kemudian menjadi
penyebab seseorang itu kehilangan kepercayaan diri mereka sendiri.
Pengorbanan diri pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah
massa yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-orang yang
miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum
remaja muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayang-
bayang obsesi, orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain
sebagainya (Eric Hoffer, 1993:26).
Memang sangat disadari bahwa pengaruh psikologi sosial
terutama inti konseptual mengenai formulasi gagasan tentang crowd
sebagai suatu kolektifitas manusia-manusia dalam kelompok yang liar,

11
berhasil diformulasikan ke dalam cetakan konseptual baru di dalam
meneliti perilaku kolektif (collective behavior).
Oleh karena itu maka upaya inilah tidak serta merta menjadikan
studi tentang crowd, begitu saja menghilang dari pemikiran sosiolog
neo klasik kemudian. Melainkan orientasi terhadap crowd, masih tetap
eksis dan diulang kembali, hal ini misalnya dapat ditemukan dalam karya
Norman Cohn yang begitu berpengaruh pada tahun 1970-an tentang,
The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and Mystical
Anarchists of the Middle Ages (1961), yang membicarakan fantasi dan
gerakan milenarian dalam artian ketidakmampuan menyesuaikan diri
dan paranoia.
Norman Cohn menjelaskan bahwa seolah-olah unit-unit paranoia
yang sampai saat ini menyebar ke seluruh populasi mendadak
bergabung membentuk entitas baru, yaitu sebagai suatu fanatisme
paranoid kolektif (Norman Cohn, 1961:312).
Hal yang sama juga ditemukan dalam studi Michael Adas
sebelumnya tentang, Prophet of Rebellion, Millenarian Protest
Movements against the European Colonial Order, (1943), kajian ini lebih
mengetengahkan pendekatan baru bagi penulisan sejarah komparatif
dan analisa gerakan protes sosial dengan menyajikan lima kajian kasus
(sejarah pemberontakan Pangeran Dipenogoro di Hindia Belanda, 1825-
1830, gerakan Pai Maire atau Hau-Hau di Kalangan Masyarakat Maori,
Selandia Baru 1864-1867, gerakan Birsa pada masyarakat Munda, Chota
Nagpur, India tengah bagian timur 1899-1900, pemberontakan Maji-
Maji di Afrika Timur jajahan Jerman, 1905-1906 dan gerakan Saya San di
Birma, 1930-1932 ).
Dalam penelitiannya itu, M. Adas justru membangun sebuah
konstruksi pemikiran dalam mempelajari hubungan antara harapan
milenarian dengan faktor kepemimpinan yang bersifat propetis dan
protes sosial secara kekerasan, walaupun gerakan itu sifatnya agak
terbuka dan revolusioner secara politik, namun memobilisasi

12
menggunakan kekuatan dan pengaruh simbol-simbol ritual budaya
yang potensial (Michael Adas, 143:79).
Demikian juga halnya menyangkut usaha pengulangan eksistensi
dan entitas crowd dalam cetakan baru ditemukan juga dalam studi
gerakan millenearisme India, misalnya dalam karya Stephen Fuchs
berjudul Rebellious Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam
The Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam The
Nadars of Tamilnad, (1969). Kesimpulan penelitian mereka ini, banyak
menyoroti gerakan Birsite yang bermaksud untuk menghidupkan
kembali ide raja Munda, tapi penekanan utamanya ada pada mobilisasi
kekuatan simbol-simbol ritual dalam agama.
Penemuan-penemuan sosial yang dimaksudkan untuk
membangkitkan penghargaan pada diri sendiri dan status orang Munda
dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok dataran rendah yang
dominan. Birsa menyerang kegiatan keagamaan animisme dari
rakyatnya dan menekankan pada konsep Tuhan tunggal yang terbentuk
sebagai campuran konsep Hindu dan Kristen. Birsa juga
menginstruksikan kepada para pengikutnya agar memakai benang suci
dari kasta-kasta tinggi dan menghentikan makan daging, ikan dan
makan lain yang berhubungan dengan kasta rendah atau kelompok
pariah.
Namun yang lebih menarik di sini, bahwa walaupun simbol
keabsahan cenderung mengajarkan kedilan dan meningkatkan
solidaritas di antara orang-orang yang bergabung dalam gerakan
tertentu, mereka juga dapat membenci pengikut nabi itu di antara
kelompok-kelompok yang dikolonisasi lainnya.
Dengan demikian, perspektif psikologi crowd dalam berbagai
studi yang dilakukan telah mengambil suatu entitas baru dalam
perkembanganya. Evolusi konseptualisasi teoritik psikologis sosial klasik
inilah yang ditanggapi Erward P. Thompson dalam karyanya The Making
of the English Working Class (1981) menyatakan :

13
orang meragukan proses penggabungan semacam itu.
Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam itu persoalan
historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan, inspirasi atau
bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung dalam gerakan
berpengaruh hanya dalam waktu-waktu tertentu dan dalam
bentuk yang khusus.

Pandangan E.P. Thompson di atas, bertujuan menantang para


teoritisi yang melakukan studi gerakan sosial dan sekaligus juga ingin
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Menurutnya
paradigma klasik aliran crowd dari psikologi sosial tradisional mengalami
versi yang agak lebih radikal untuk memberi batasan pada kehancuran
dirinya.
Akan tetapi walau bagaimanapun bahwa yang kita temukan di
dalam berbagai studi belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd
mengulangi diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan
sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan
lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai studi yang dilakukan.
Masalah itu terjadi, bahwa sebagaimana yang dikatakan Rajendra
Singh karena tampilan perspektif crowd selalu mendapatkan kekuatan
dukungan data historis yang dikumpulkan secara lengkap dan telaten,
pada kurun waktu yang merentang mulai abad ke-18 sampai dengan
abad ke-20 dalam sejarah Perancis dan Inggris.
Para sejarawan sosial telah berhasil menerangkan crowd dalam
cetakan konseptual baru bersama-sama, karya-karya belakangan ini
dapat kita temukan misalnya, penelitian Singha Roy dalam The Crown in
the French Revolution, (1959) dan The Study of Popular Disturbances in
the Pre-Industrial Age; Historical Studies, (1963), Lars Rudebeck, dalam
When Democracy Makes Sense, (1992), Charles Tilly, et.al dalam The
Rebelious Century, 1830-1930, (1975), dan E.P Thompson dalam The
Making of the English Working Class, (1981) dan sebagainya.Rajendra
Singh, 2010:117).

14
Dalam perspektif analisa para sejarawan tersebut maka
selanjutnya crowd diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan
suatu alasan untuk ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam sejarah.
Berdasarkan bukti dalam hasil penelitiannya tentang sejarah Perancis
dan Inggris, George Rude menyatakan bahwa crowd bukanlah abstraksi
tidak berwujud, melainkan ia terdiri dari orang-orang.
Dalam konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia
membedakan antara gejolak masyarakat pra industri dengan masyarakat
industrial dalam masyarakat di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra
industri dicirikan oleh kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian,
dan pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak
industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan pertemuan
massa publik berjangkauan ke depan. Singkat kata, dalam menanggapi
keberadaan entitas crowd yang tidak berkewajahan tersebut maka
George Rude (1964:194) kemudian menyatakan sebagai berikut :
peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di Inggris,
kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk
menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di
Inggris,...bagian yang dimainkan kaum perempuan dalam
perjalanan tertentu Revolusi Perancis,.peran petani dan buruh tani
dalam kerusuhan (riot) pedesaan Inggris..dan seterusnya.

Berdasarkan contoh dalam beberapa studi di atas, menunjukkan


bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan komposisi
unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain
sebagainya yang turut mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku
berbeda dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen yang
serupa seperti penggunaan aksi langsung dan penerapan keadilan
alamiah.
Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe aksi
crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan lagi
membuktikan bahwa konstruksi perspektif teori psikologi sosial klasik
mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas wajah yang gampang

15
berubah dan mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai situasi dan
kondisi sosial yang ada. Dengan demikian, maka perspektif seperti itu
sudah tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan,
tendensius dan mungkin agak keliru.
Namun harus diakui, atas kekurangan perpektif psikologi sosial
atas crowd, telah mendorong penemuan berbagai tipe letupan kolektif
non institusional seperti revolt dan riot. Dan peran aksi-aksi individual
dan kolektif itu, yang dalam konteks ini pun masih ditemukan tipe-tipe
individu yang berkerumun, mengelompok bahkan dalam bentuk aksi
individual sekalipun dan sebagainya.
Dalam beragam bentuk, aksi dan tindakan individu dapat terjadi
dalam upaya menentang situasi sosial dalam berbagai isu yang
berkembang misalnya nilai, praktek, tindakan dan perilaku. Termasuk
iven-iven yang dapat memancing kemarahan dan emosi kolektif atau
setidak-tidaknya sebuah perlawanan (resistance) dan protes individual
atau kelompok tertentu dalam menentang situasi dan struktur
kehidupan yang dominatif dan marginalitatif.

16
BAB II
KEKUATAN DAN KELEMAHAN
PERSPEKTIF GERAKAN SOSIAL LAMA

2.1. Kekuatan Perspektif


Pada bagian di atas, telah dikemukakan bahwa paradigma klasik
dan neo klasik memiliki perspektif teoritik yang unik dalam jamannya,
namun diantara kekhasannya setiap paradigma tersebut tentu saja telah
memiliki kekuatan maupun kelemahan tersendiri.
Pada bagian pertama sudang barang tentu kekuatan yang
menjadi ciri khas satu paradigma adalah bahwa perspektif tersebut
mampu melihat persoalan mengapa dan bagaimana individu-individu
menggabungkan diri dalam sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri khas
yang membedakan individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan
dari mereka atau individu lain yang tidak terlibat dalam gerakan itu.
Kekuatan-kekuatan kultural menjadi lebih riil dan dapat diteliti
secara empiris takala mereka dialih bentukan ke dalam motivasi,
predisposisi, dan kecendrungan pribadi sehingga membentuk sebuah
gerakan sosial. Dalam konteks itu, maka paradigma ini juga mampu
menunjukan bahwa sistem kepribadian dan unsur-unsur yang
berhubungan dengannya, merupakan elemen mendasar yang
berkorelasi dengan motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi
individu. Konsistensi ini terus bertahan lintas waktu dan lintas peran-
peran sosial.
Poin mendasar yang menarik dalam paradigma klasik ini, bahwa
para peneliti secara tegas menunjukan watak gejolak dan aktivitas
kelompok kerumunan (crowd) konvensional berupa kumpulan orang-
orang yang dapat berbuat sadis, kejam dan anarkhis terkait erat dengan
komposisi unsur-unsur (sosial, pekerjaan dsbnya) yang turut
mempengaruhi. Disamping itu, evolusi konseptual teoritik tentang
psikologi sosial pada teori crowd sebagai kelompok massa yang liar dan
17
sebagainya ke dalam cetakan baru yang lebih dinamis, di dalam
berbagai tema penelitian gerakan sosial kemudian. Maka dari itu, unsur-
unsur crowd ini kemudian bereflikasi dan selalu erat terkait dengan
komposisi unsur-unsur sosial, pekerjaan dan lain sebagainya.

2.2. Kelemahan Perspektif


Dalam meneliti fenomena gerakan sosial, paradigma studi
gerakan sosial klasik dan neo klasik, mengawali konsepsi pemikiran
mereka pada asumsi irasionalitas tindakan dan perilaku yang diambil
oleh kolektivitas anggota gerakan. Akibatnya maka dalam studi mereka
perilaku para individu dalam kelompok gerakan disoroti secara lebih
negatif.
Ciri khas studi tradisi klasik dan neo klasik (lama) secara teoritik
asumsi penelitian dibangun dalam bingkai pemikiran (frame logic)
psikologi sosial, sehingga dalam tema-tema dan unit analisis kajian
gerakan sosial selalu diarahkan kepada kecendrungan fenomena
perilaku~tingkahlaku kolektif dalam gerakan, yakni sebagai kumpulan
massa yang selalu bertindak anarkhis, massa haus darah, sadis, kejam,
kelompok yang tanpa kenal belas kasihan, suka mengeroyok, suka
membunuh, dan menghancurkan.
Kelemahan perspektif ini secara substansial adalah,
menggeneralisasi setiap perilaku individu yang terlibat dalam sebuah
gerakan sebagai ciri-ciri perilaku yang sama yang hanya disebabkan
oleh emosi dan kemarahan. Emosi dan kemarahan dipahami selalu
berujung pada tindakan yang tidak stabil dan kacau.
Para individu yang turut ambil bagian dalam gerakan, dipandang
sebagai manusia-manusia yang perilakunya sama dengan binatang.
Pilihan yang irasional kepada setiap individu dalam gerakan selalu
dijustifikasi pada motivasi, dan kepribadian yang negatif. Seakan-akan
setiap individu tidak memiliki pilihan yang rasional dan otonom dalam
mengambil keputusan dalam tindakan yang bersifat sukarela
(voluntaristik).

18
Dalam setiap gerakan, para peneliti gerakan sosial ini
menyembunyikan peranan pemimpin gerakan sebagai aktor dan
mempresentasikan pemimpin gerakan tersebut bukan pada aksi
individual terbatas melainkan sebagai semua anggota gerakan yang
terlibat dalam kelompok gerakan. Kelemahan persepktif ini di mana para
peneliti melenyapkan peranan aktor individual dan hanya memusatkan
perhatian pada tindakan kolektif.
Dalam gambaran paradigma ini, tidak ada pemimpin yang jelas
dalam memimpin gerakan. Jika terjadi kekacauan, huru-hara dalam
kelompok besar, maka tanggungjawab politis dan hukum akibat dari
gerakan itu bukan terletak pada satu pihak melainkan orang banyak
(kelompok) dalam gerakan. Sehingga semua orang atau anggota
gerakan adalah para pemimpin gerakan yang bertanggungjawab pada
diri masing-masing.
Kelemahan lain yang juga lebih mendasar dari perspektif ini,
adalah para peneliti gerakan menggambarkan bahwa setiap gerakan
sosial yang terjadi tidak ada arah, tujuan dan motivasi yang jelas untuk
dicapai oleh para anggota gerakan, melainkan biasanya hanya bertujuan
revolusi tatanan politik yang ada. Tujuan dan motivasi yang terlihat
dalam gerakan hanyalah bersifat sesaat yaitu gerakan dipandang
sebagai sarana yang efektif dan produktif untuk meluapkan serta
mengekspresikan segala emosi dan kemarahan negatif yang dirasakan
oleh para individu dalam gerakan.

19
BAB III
PERIODESASI SOSIOLOGI GERAKAN SOSIAL BARU

3.1. Paradigma Besar Studi Gerakan Sosial Baru


Menjelang akhir tahun 1960-an dan memasuki periode tahun
1970-an, munculah suatu upaya baru teoritisi studi gerakan sosial baik
di Eropa maupun di Amerika, untuk memformulasi kembali perspektif
teori gerakan sosial mainstream yang cukup berpengaruh kuat pada
periode pertama yang terutama sangat didominasi oleh psikologi sosial
klasik.
Periode kedua ini lahir dan menandai semangat baru dalam
merumuskan ulang berbagai pendekatan studi gerakan sosial lama, ke
dalam formulasi baru yang disebut Gerakan Sosial Baru (New Social
Movement). Pada masyarakat kontemporer yang banyak berubah, telah
menjadikan GSB memiliki citra baru dalam berbagai tampilan wajah,
tipe-tipe, bentuk serta model gerakan sosial.
Periodesasi kedua ini, semangat GSB lebih menitikberatkan
perspektif studi pada persoalan tindakan rasional di dalam pemaksaan-
pemaksaan yang bersifat struktural. Dalam konteks itu, bahwa sifat dari
gerakan sosial dipengaruhi oleh konteks struktural yang berkembang
saat itu, sehingga bentuk dan model gerakan sosial pun memiliki tipe-
tipe dan rumusan-rumusan bersifat makro ketimbang mikro sosiologis
dalam melihat berbagai persoalan sosial yang terjadi.
Menurut Robert Mirsel (2004:49), terdapat dua paradigma besar
yang saling berbeda muncul dalam kurun waktu tersebut yaitu
paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma),
selanjutnya paradigma ini kemudian digabungkan, lalu sampai pada
batas tertentu diganti oleh paradigma Marxis dan paradigma
pengalangan sumber daya (resource mobilization paradigma).
Sedangkan paradigma GSB kontemporer yakni paradigma berorientasi

20
kepada suatu identitas dengan citra pemikiran sosiolog Eropa yang telah
luput dari pembahasan Mirsel di atas.
Untuk melengkapi kekurangan tersebut maka Rajendra Singh
(teoritisi gerakan sosial India) menggaris bawahi, bahwa dalam periode
GSB paling tidak terdapat dua aliran utama (mainstream) yaitu teori
mobilisasi sumber daya (resources mobization theory) yang muncul di
Amerika Serikat dan dipengaruhi oleh pemikiran Mancur Olson (1965),
Oberschall (1973), McCarthy dan Zald (1977), Gamson (1975), Charles
Tilly (1975) dan Tarrow (1982).
Kemudian paradigma besar yang kedua yaitu teori yang
berorientasi identitas berasal dari Eropa, yang lebih ekspresif
dipengaruhi oleh pemikir besar seperti, Pizzorno (1978, 1985), Jean
Cohen (1985) dan belakangan perspektif pemikiran yang agak sedikit
lebih terbuka berasal dari Alain Touraine (1987;1985;1992) (S.Rajendra,
2010:134,144).
Di sini rupanya paradigma ketegangan struktural (structural strain
paradigma) luput dari perhatian Rajendra, mungkin dalam
pemahamannya bahwa paradigma ketegangan struktural (structural
strain paradigma) merupakan bagian atau kelanjutan bentuk lain dari
paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigma),
sebagai paradigma yang sama-sama berorientasi pada proses politik
(political proces). Namun hal yang terbaru dalam perkembangan
paradigma GSB kontemporer maka ia menambahkan paradigma
berorientasi identitas dari Alain Touraine dan kawan-kawan.

3.2. Latar Belakang Sosial Politik yang Melatarinya


Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki tahun
1970-an, munculah gerakan-gerakan sosial baru di Amerika Serikat dan
kawasan-kawasan lainnya di benua Eropa. Gerakan-gerakan sosial baru
ini lebih ekspresif dan mengambil wajah dan tipe gerakan sosial yang
banyak berubah bila dibandingkan dengan berbagai gerakan yang
terjadi pada periode sebelumnya. Pergerakan sosial tersebut atara lain

21
misalnya gerakan perjuangan hak-hak sipil warga negara (civil rights
movements) terutama di Amerika Serikat, semacam organisasi sipil yang
berorientasi memperjuangkan dan mentransformasi pembaruan struktur
pada lembaga-lembaga yang cenderung menindas secara reperesif.
Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian
yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang hingga
perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan senjata nuklir.
Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok organisasi anti perang pada
waktu itu misalnya secara tegas menentang serta menolak ekspansi
militerisasi antara Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di Amerika
Serikat sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang Vietnam
melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan dukungan
terhadap dekolonisasi.
Sejumlah gerakan tertentu memang membawa pergeseran dalam
fokus analisis dibidang teori gerakan sosial, akan tetapi aliran-aliran
pemikiran di antara para elite politik dan di dalam kebudayaan
umumnya juga menghasilkan pemahaman bahwa pembaharuan itu sah
dan rasional. Aktivisme yang menuntut adanya pelayanan negara
terhadap kepentingan masyarakat (walfare state activism) di Eropa dan
juga gerakan masyarakat raya (great society), serta program memerangi
kemiskinan (war on poverty) yang dicanangkan oleh pemerintahan John
F. Kennedy dan Lindon B. Johnson di Amerika Serikat pada awal dekade
tahun 1960-an turut menciptakan iklim pembaruan.
Menurut Ritzer dan Goodman, program pencanangan
peperangan terhadap kemiskinan di Amerika ini, merupakan cara khas
strategi masyarakat modern yang menyakini bahwa dapat ditemukan
dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu
(Ritrzer dan Goodman, 2003:630).
Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad Goderberg
dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat pada tahun 1960-an
pada gilirannya menandai keinginan kaum sosialis untuk menciptakan
konsensi-konsensi ideologis guna melibatkan diri dalam pembangunan

22
institusi-institusi di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda
pembaharuan mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan
aliran pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting yang
tengah dibaharui.

3.3. Berbagai Tradisi Pemikiran yang Mempengaruhinya


Pada saat agenda-agenda pembaharuan mulai direalisasikan,
makin banyak gerakan radikal dan aliran pemikiran yang
mempertanyakan struktur-struktur penting yang tengah dibaharui,
seperti aliran Marxis atau tidak, termasuk unsur-unsur gerakan
Golongan Kiri Baru (New Left).
Aliran pemikiran ini telah menggunakan istilah-istilah seperti
“kapitalisme” dan “struktur kekuasaan” (power structure), guna membuat
definisi mengenai sumber masalah-masalah sosial. Secara khusus,
bahwa Marxisme Barat bangkit kembali dalam skala besar, khususnya di
Eropa Barat, di mana Marxisme menjadi ideologi utama para intelektual
muda (Anderson, 1976). Selanjutnya, pengaruh ini juga kian terasa di
Amerika Serikat, namun agak lebih terbatas.
Di samping itu bahwa aliran pemikiran kalangan sosialis pada
waktu itu, juga turut serta mempengaruhi perspektif gerakan sosial.
Pemikiran-pemikiran sosialis ini kebanyakan disebarkan dalam suatu
wadah formal melalui media ilmiah jurna-jurnal populer dan lebih
menonjol bertahan lama seperti New Left Review (Media Massa Kiri
Baru) dan Monthly Review (Jurnal Bulanan). Namun, yang pasti bahwa
semua aktivitas intelektual ini, juga menjadi pencetus teori-teori gerakan
sosial, paling tidak mempunyai peran secara tidak langsung dalam
upaya menciptakan atmosfir legitimasi bagi setiap gerakan-gerakan
sosial yang terjadi pada saat itu.
Demikian juga halnya mengenai perubahan yang cukup mendasar
dalam perspektif gerakan sosial baru, pada dasarnya semua perhatian
cabang sosiologi pada masa itu bergeser kepada tema tentang struktur

23
sosial (social structure) dan mulai menjauhkan diri dari individu sebagai
unit analisisnya.
Kajian dan tema-tema tentang struktur sosial dan proses-proses
sosial pada tingkat makro, mulai menyerap teori-teori besar (grand
theory) periode klasik yang pernah berkembang pada masanya seperti
Marx, Weber dan Durkheim.
Pemikiran ketiga teoritisi besar itulah yang selanjutnya
menginspirasikan kembali pengajaran sosiologi gerakan sosial pada
studi dan analisa periode gerakan sosial baru. Fokus perhatian kepada
masalah sturuktur menjadi konsep kunci dalam paradigma gerakan
sosial baru.
Dalam perspektif ini, bahwa struktur yang dimaksud mengacu
pada pemolaan tindakan-tindakan dan hubungan-hubungan,
diabstraksikan dan berada secara independen dari motivasi-motivasi
individual. Struktur dapat dipikirkan sebagai seperangkat kondisi pada
tindakan individu yang sifatnya terbatas.
Dengan demikian, maka bagi gelombang baru para teoritisi
struktural, bahwa struktur dipandang sebagai sebuah fenomena yang
ada secara obyektif dan dapat pula dipelajari secara obyektif.

3.4. Beberapa Paradigma Studi Gerakan Sosial Baru


3.4.1. Ketegangan Struktural (Structural Strain Paradigm)
Paradigma ketegangan struktural ini dalam banyak hal
menjembatani pendekatan-pendekatan terdahulu yang didominasi oleh
kerangka pemikiran psikologi sosial dengan model-model struktural
yang dikembangkan pada awal periode kedua ini.
Paradigma ketegangan struktural sebagaimana konsepnya
merupakan sebuah paradigma yang menempatkan ketegangan struktur
(structural strain), di mana bentuk-bentuk ketegangan pada tingkat lebih
dari hanya sekedar pengalaman individu. Dalam konteks ini, ketegangan
dipahami sebagai sebuah kondisi yang eksis secara obyektif dan juga

24
menggambarkan suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial yang
berkonflik.
Akan tetapi muncul masalah bahwa Jika sudah ada ketegangan
yang eksis secara obyektif, apakah yang dibutuhkan untuk menjelaskan
bagaimana dan kapan aktor-aktor ini menyatu, guna membentuk
sebuah gerakan? Dalam berbagai bentuknya model-model ketegangan
struktural dirancang untuk menjelaskan bagaimana ketegangan-
ketegangan ditanggapi dan dikomunikasikan.
Robert Ted Gurr (1970) adalah salah satu teoritisi yang
memformulasi model analisa gerakan pada tingkat struktural, dalam
karya anumertanya berjudul, Why Men Rebel ?(1970), menjelaskan
bahwa konsep dasar yang melahirkan perlawanan adalah perampasan
(deprivation).
Perampasan memicu munculnya resistensi, yang terjadi jika
orang merasa sesuatu yang dihargainya dan lebih bermanfaat baginya
dirampas. Perasaan terampas itulah yang disebut Gurr, relative
deprivation. Relative deprivation berarti suatu persepsi perihal
kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan
kapabilitas untuk meraih nilai (value capabalities) yang diperlukan.
Lebih lanjut menurut penilaian Gurr, bahwa nilai adalah suatu
kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan oleh manusia untuk
dimiliki. Sementara nilai ekspektasi adalah benda dan kondisi hidup
yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai pemiliknya yang sah.
Sementara nilai kapabilitas adalah benda dan kondisi yang menurut
mereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakati
harta sosial tersedia untuk mereka. (Robert Ted Gurr, 1970:13,25).
Perampasan yang relatif (relative deprivation) bisa dikatakan
menjadi alasan utama menyulut ketidakpuasan (discontent) dalam
masyarakat, yang berwujud kemarahan, kemurkaan, atau kejengkelan,
tergantung pada kedalaman rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan
berkurang bila tersedia sarana untuk menyalurkannya. Saluran ini
disebut value opportunities. Apabila ketidakpuasan itu tidak tersalurkan

25
atau berada dijalan buntu, ia dapat bermetamorfosis menjadi
pemberontakan dengan kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi
atau perang dalam negeri (Robert Ted Gurr, 1970:10-11).
Demikian juga selanjutnya Gurr menambahkan bahwa tingkat dan
kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak emosional yang
disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro. Dengan bertolak
dari asumsi ini, Gurr mulai membangun serta mengembangkan
pengukuran-pengukuran kuantitatif terhadap hal-hal yang berhubungan
dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan (rebel) dalam
sebuah masyarakat (Robert Ted Gurr,1970).
Menurutnya, tingkat dan kualitas kemarahan bahkan frustasi
sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada
level makro adalah ketegangan yang bersumber pada struktur politik
yang tersedia. Struktur peluang politis (political opportunity structure)
atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam
perilaku gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi
gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut.
Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data yang
lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa semua serangan
kolektif dalam sebuah komunitas politik untuk menentang rezim politik
yang ada, baik terhadap para aktornya, termasuk kelompok pesaing
politik maupun yang sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya.
Konsep ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki
sifat umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat
ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata dengan
berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam konsep ini adalah
revolusi yang biasanya didefinisikan sebagai perubahan sosio~politik
yang fundamental dicapai melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya
perang gerilya, penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu
aksi kudeta (Robert Ted Gurr, 1970:3-4). Kemudian, dalam konteks ini,
Gurr juga telah mengklasifikasikan kekerasan politik itu ke dalam tiga
kategori besar yaitu sebagai berikut :

26
a) Huru-hara (turmoil); yaitu kekerasan yang relatif spontan dan
tak terorganisisr yang melibatkan partisipasi umum yang
besar, dan termasuk di dalamnya pemogokan-pemogokan
politik, kerusuhan, benturan politik dan penentangan lokal.
b) Konspirasi; yaitu kekerasan politik yang sangat terorganisir
dengan keikutsertaan yang terbatas, dan termasuk di
dalamnya pembunuhan politik secara terorganisir, terorisme
skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta dan pergolakan
(mutiny).
c) Perang domestik; yaitu kekerasan politik yang sangat
terorganisir yang melibatkan partisipasi massa yang luas dan
dirancang untuk menggulingkan rezim yang berkuasa atau
untuk meruntuhkan negara dengan menggunakan kekerasan
secara ekstensif dan termasuk di dalamnya terorisme
berskala besar, perang gerilya dan revolusi (Robert Ted Gurr,
1970:11).
Selanjutnya dalam versi yang agak lebih berbeda, James Davis
dalam esainya singkatnya berjudul, Toward a Theory of Revolution
(1962), merancang sebuah model lain. Di dalam model ini James Davis
mengemukakan bahwa kereta pendorong menuju pembaharuan adalah
ketegangan itu sendiri; upaya-upaya awal dari para elite (baik politik
maupun ekonomi) untuk menciptakan pembaharuan melahirkan
ekspektasi-ekspektasi yang lebih tinggi, dan ketika ekspektasi-
ekspektasi itu tidak dicapai atau malah sebaliknya, munculah gerakan
sosial. Dalam konteks pemikiran ini, maka soal perampasanlah
(deprivation) yang ditanggapi dan titik perbandingan terletak di masa
depan.
Demikian juga berikutnya salah satu pandangan yang paling
inklusif dan agak lebih jelas dari semua model ketegangan struktural
adalah gagasan Neil Smelser dalam karyanya yang selalu menjadi
sumber rujukan utama para akademisi yang berada dalam garis
pemikiran struktural yakni Theory of Collective Behavior (1963). Dalam

27
tulisanya itu, Smelser mengajukan sebuah teori yang disebut teori nilai
tambah~enam~tahap (six~stage value~added theory), mencakupi
pembahasan tentang ketegangan struktural sebagai sebuah faktor
penjelas.
Selain itu ada pula komponen-komponen lain yang lebih bersifat
psikologis, ideologis, dan prosesual yang diistilahkannya dengan
keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized belief),
kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu
(precipitating incidents). Smelser juga memasukan sebuah faktor
struktural lain, yakni dukungan struktural (structural conduciveness)
sebagai unsur pertama dari model ini. Unsur-unsur ini mengacu kepada
kemungkinan-kemungkinan bagi organisasi gerakan untuk bertahan di
dalam ruang lingkup politik dan sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser,
1963:156).
Gambaran aksi dan analisis ekuilibrium Paretean (pengikut
gagasan utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi nyata dalam teori
Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme, yang menjelaskan bagaimana
batas kondisi menentukan jenis perilaku sosial. Konsepsi Paretean
tentang sebuah mekanisme keseimbangan diri dalam sistem sosial
tercermin dalam proposisi utama Smelser, dan ia mengatakan; “people
under strain mobilize to reconstitute the social order in the name of a
generalized belief”. Selanjutnya dalam hal ini, kembali dia merumuskan
tiga mekanisme utama yaitu sebagai berikut :
a) Respon terhadap tegangan (strain) memberi energi pada
sistem perhatian yang semakin meningkat dari tingkat yang
rendah kepada tingkat perhatian yang lebih tinggi.
Dalam beberapa kondisi misalnya kondusifitas struktural dan
kontrol sosial tidak memadai, maka jenis tertentu dari
kepercayaan umum akan terbentuk ke dalam tahap: histeris
(mengurangi kecemasan dengan penataan situasi yang
realistis dan ambigu), magis (atribut biasa yang berpeluang
untuk membayangkan beberapa komponen tindakan), dan

28
naif (hasil yang diinginkan akan direalisasi atau hasilnya
dikhawatirkan untuk dihindari namun "jika hanya" komponen
tindakan yang relevan dapat diaktifkan atau dinonaktifkan).
b) Penafsiran terhadap sebuah peristiwa sebagai yang
mengesahkan keyakinan umum dan sebagai sumber
preperensi untuk bertindak. Ini adalah sebagai sumber yang
mendasari munculnya sebuah bentuk kepercayaan umum
dalam konteks nyata dan sebagai lintasan aksi atau tindakan
yang lebih singkat (short-circuits action) yaitu,
memungkinkan pelepasan energi, yang hanya diatur oleh
bentuk-bentuk keyakinan umum dan keadaan tertentu.
c) Calon peserta telah dimobilisasi untuk bertindak. Dalam
konteks ini, Smelser membahas pentingnya faktor
kepemimpinan, tetapi dalam hal ini ia tidak secara jelas
menyatakan apakah mobilisasi itu hanya muncul dalam
bentuk komunikasi yang bertahap kepada setiap peserta
potensial lainnya.
Walaubagaimanapun, dia membedakan antara dua fase mobilisasi
yaitu; real phase (fase nyata) yaitu fase yang ditentukan oleh
kondisi aslinya dan derived phase (fase manfaat) merupakan
fase yang ditentukan oleh kondisi yang dihasilkan oleh fase
nyata (Neil J. Smelser, 1963:436).

3.4.1.1. Kekuatan Paradigma Ketegangan Struktural


Paradigma ketegangan sruktural (structural strain paradigma)
lebih mampu mengabstraksikan tindakan-tindakan kolektif (collective
action) serta hubungan-hubungannya dalam gerakan-gerakan sosial
yang terjadi. Bahwa tindakan-tindakan kolektif (collective action) serta
hubungan-hubungannya secara independen terlepas atau samasekali
tidak ada kaitannya dengan rangkaian motivasi-motivasi individual,
sebagaimana yang diasumsikan sebelumnya dalam pendekatan
paradigma klasik.

29
Paradigma ini lebih adekuat dari paradigma klasik yang kelewat
irasional, karena penekanan pada struktur dan bukan sebaliknya pada
motivasi individual. Maka, untuk mengubah masyarakat diperlukan
sebuah keyakinan bahwa institusi-institusi (tatanan struktural) tersebut,
juga harus mendapatkan perubahan. Perubahan dilakukan dengan
melalui upaya transformasi pada tingkat struktural dan memerlukan
tindakan-tindakan kolektif yang lebih rasional.
Paradigma ini lebih mampu menunjukan bahwa bentuk-bentuk,
model, tipe dan karakteristik gerakan sosial baru semakin
diorganisasikan secara lebih formal, terancang secara sistematis,
didesain secara optimal dan efektif. Termasuk fenomena-fenomena
perilaku kolektif dalam bentuk (kerumunan/crowd, gerombolan
pengacau/mob, kelompok panik, rumor, dsbnya) sebagaimana yang
menjadi konsepsi teoritik pada paradigma klasik, dalam konteks ini
merupakan unsur-unsur yang secara sengaja diorganisir atau diciptakan
sebagai bagian dari taktik atau strategi yang digunakan dalam gerakan
sosial.
Selain itu juga bahwa yang menjadi kekuatan lain dari perspektif
ini yakni mampu menunjukkan bahwa di dalam gerakan dipimpin oleh
aktor-aktor yang jelas dalam suatu gerakan. Paradigma ini juga lebih
mampu melihat interrelasi dan interkoneksitas antara sebuah persoalan
di dalam masyarakat yakni ketegangan struktural.
Ketegangan merupakan sebuah kondisi yang eksis secara obyektif
dan juga suatu keadaan tegang antara aktor-aktor sosial. Maka dalam
paradigma ini, ketegangan struktural, mampu menjelaskan bagaimana
dan kapan aktor-aktor yang tegang itu menyatu guna membentuk
sebuah gerakan sosial. Jawabanya dikemukakan Gurr dalam Why Men
Rebel, (1970), yakni menekankan unsur kemarahan dan frustasi sebagai
gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level
makro.

30
3.4.1.2. Kelemahan Paradigma Ketegangan Struktural
Paradigma ketegangan struktural lebih khusus pada teori Gurr,
tentang relative deprivation mengandung unsur-unsur kelemahan
bahwa tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi sebagai gerak
emosional disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro yang
bersumber pada struktur peluang politik yang tersedia (political
opportunity structure).
Lebih khusus dalam paradigma ketegangan struktural Gurr
tentang teori relative deprivation, mengandung kelemahan mendasar
karena gagal mempertimbangkan bagaimana para individu mengalami
perampasan sebagai yang tertanam dalam struktur sosial yang lebih
luas. Masyarakat yang paling lemah dan orang-orang yang
terpinggirkan biasanya kurang tepat diposisikan sebagai yang terlibat
dalam tindakan-tindakan politik yang sangat beresiko.
Dalam pemahaman itu, bahwa kurangnya jaminan secara
ekonomi dan tidak adanya pendapatan, mereka (peserta yang terlibat
aktif dalam sebuah gerakan) tidak mampu mengambil banyak risiko.
Menghadapi diskriminasi dari mayoritas lebih kuat, mereka mungkin
berusaha untuk tetap terlihat atau juga untuk terlibat namun dalam
bentuk perlawanan simbolis sebagai suatu upaya dan mekanisme
mereka untuk tetap bertahan.
Struktur peluang politis (political opportunity structure) atau
bentuk lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku
gerakan yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi gerakan
untuk mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut. Adapun
kelemahan Gurr dalam konteks ini adalah hanya membatasi struktur
peluang politis sebagai faktor utama, dan ia tidak melihat
keanekaragaman faktor lain yang dapat mempengaruhi atau
memunculkan dinamika perilaku gerakan serta strategi-stategi yang
kemungkinan diambil oleh para individu dalam gerakan.
Paradigma ketegangan struktural terlalu berlebihan dan
tendensius memformulasikan struktur yang bersifat eksis secara

31
obyektif, struktur obyektif cuma konstruksi dalam angan-angan para
pengikut sebuah gerakan, entah persepsi tentang ketegangan dan
tujuan sebuah gerakan rasional atau tidak, atau bentuk simbolis mana
yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan kepada ketegangan yang
ada.
Dalam paradigma ketegangan struktural khususnya pada teori
perilaku kolektif (theory of colective behavior) Neil J. Smelser untuk
menerangkan perilaku kolektif dari sudut pandang apa yang dinamakan
kepercayaan umum (general beliefs) dalam menjelaskan kelompok
histeris, panik dan letupan-letupan kebencian dan kemarahan perilaku
kolektif dalam pengertian sistem kepercayaan yang sudah ada
sebelumnya.
Akan tetapi hal yang cukup lebih menarik dalam teorinya itu
bahwa Smelser rupanya tidak mampu membuktikan apakah ada yang
dinamakan sistem kepercayaan tunggal atau berbeda-beda menurut
kelas hirarki masyarakat?

3.4.2. Mobilisasi Sumber Daya (Resources Mobilization Paradigm)


Salah satu perspektif utama yang cukup berpengaruh dan telah
mengalami kemajuan berarti di Negara Amerika Serikat pada era tahun
1980-an yaitu paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigm). Paradigma ini berupaya keras melakukan formulasi ulang
dari berbagai kelemahan dan kekurangan yang ditemukan di dalam
paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigma)
sebelumnya.
Para teoritisi yang berdiri dalam lintasan utama pemikiran ini
adalah Mancur Olson (1965), dan para pengikutnya seperti Anthony
Oberschall (1973), McCarthy dan Zald (1977), Gamson (1975), Charles
Tilly (1975), Tarrow (1982). Walaupun semua teoritisi ini berada di
bawah paradigma mobilisasi sumber daya, namun bukan berarti semua
gagasan mereka berada dalam satu-kesatuan konstruksi pemikiran yang
sama dalam perspektif itu.

32
Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah mungkin bagi kita
untuk membahas satu persatu atau semua pemikiran dari para teoritisi
tersebut, akan tetapi tujuan dari proyek kita ini hanyalah
memformulasikan ulang sejauhmana perbedaan perspektif di antara
mereka, kontinuitas gagasan yang didiskusikan, dan konstruksi
pemikiran mereka dalam kerangka paradigma mobilisasi sumber daya
(resource mobilization paradigm).
Seperti yang kita ketahui, bahwa bagi teoritisi mobilisasi sumber
daya, tidak jadi soal entah ketegangan struktural eksis secara obyektif
atau cuma dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah
persepsi tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional atau
tidak, atau bentuk simbolis mana yang diberikan oleh pengikut sebuah
gerakan kepada ketegangan yang ada. Namun yang menjadi pusat
perhatian mereka, adalah tindakan-tindakan diambil umumnya lebih
rasional.
Maka dari itu, agar menjadi lebih efektif mengenai tindakan-
tindakan yang diambil oleh para peserta gerakan adalah hanya melalui
organisasi-organisasi gerakan yang diciptakan secara efektif dan
optimal. Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigm) memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada proses
sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih
canggih, baik dari segi karakteristik, model-model bahkan bentuk-
bentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari
gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer.
Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah
organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu. Organisasi-
organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari sebuah gerakan
sosial. Organisasi-organisasi gerakan ini juga mencoba menjangkau para
konstituen dan menghimpun para pengikut sebanyak mungkin.
Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai tingkat dan
tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah gerakan, dengan
membedakan penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi

33
(sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan
(beneficiaries). Kemudian para individu perlu dimobilisasi untuk
mengambil bagian di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian
dari strategi dan taktik sebuah organisasi gerakan.
Selain itu, para anggota yang terhimpun di dalam sebuah gerakan
bukanlah satu-satunya yang dimobilisasi. Termasuk peranan uang,
dukungan senjata, sumbangan dana para elit, dukungan media dan
pembentukan opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut,
juga merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966).
Demikain juga halnya supaya kemampuan dan efektivitas sistem
mobilisasi itu dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil
dengan baik maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang
pemimpin, yang pada saa itu oleh Zald & McCarthy disebut sebagai
kaum profesional (movement professionals). Kaum profesional itu yang
memainkan peranan penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena
menurut mereka menjelang akhir abad kedua puluh semua masyarakat
adalah masyarakat yang bercirikan organisasi.
Ciri masyarakat yang berorganisasi adalah bahwa setiap tindakan
bagi suatu perubahan sosial menuntut keahlian teknis tingkat tinggi,
khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan
strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap
kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa (Zald &
McCarthy, 1979, 1987).
Perspektif mobilisasi sumber daya lebih dominan dibawa ke
dalam nuansa pemikiran yang bersifat instrumentalis murni, sehingga
hal yang mendasar dalam bangunan perspektif ini dapat ditelisik secara
historis misalnya seperti yang ditemukan dalam karya Mancur Olson,
mengenai The Logic of Collective Action, (1965).
Dalam karyanya itu, Olson sendiri lebih menekankan asumsi dan
penjelasan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif gerakan
sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor objektif tertentu

34
sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan
dalam setiap mobilisasi kolektif (collective mobilization) skala besar.
Dalam konteks asumsinya itu, bahwa apa yang signifikan untuk
dicatat adalah mengenai perbedaan yang mendasar konsepsi klasik ala
LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang menganggap lelaki dan
perempuan dalam bentuk tindakan kolektif crowd sebagai irasional dan
yang lebih maju berupa konstruksi George Rude dan E.P. Thompson
tentang crowd dalam sejarah. Menurut pemahaman mereka bahwa para
aktor dalam gerakan sosial kontemporer (GSB) dianggap sebagai
mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil mengkalkulasi
keberhasilan dan kegagalan.
Kerangka arahan dari rujukan konsepsi mereka itu secara garis
besarnya adalah instrumentasi utilitarian. Utilitarianisme merembesi
karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di antaranya Mancur Olson
ini sebagai seorang ekonom yang memiliki pengaruh besar dalam
paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135).
Sementara itu, agak sedikit berbeda dari pandangan Olson yang
membayangkan sebuah pendekatan utilitarian dan rasionalistik murni,
McCarthy dan Zald 1977, menempatkan peranan semangat
entrepreneurship organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial
kontemporer.
Demikian juga halnya pendapat Oberschall 1973; Gamson 1975; C.
Tilly et.al 1975; Tarrow 1982, kebanyakan dari mereka ini sulit menerima
teori kalkulus individual yang kelewat rasional dari Olson tersebut.
Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompok-kelompok solidaritas
dengan kepentingan-kepentingan kolektif dalam aksi-aksi kolektif.
Pada khususnya Oberschall misalnya, telah menyadari bahwa
keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitas-kolektivitas dalam
masyarakat, merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok asosiasional
dalam masyarakat. Kelompok-kelompok asosiasional diorganisasikan
untuk maksud-maksud non konfliktual.

35
Ada acuan kepada keberadaan kepentingan kolektif dari Charles
Tilly, insentif sosial dari Fireman dan Gamson, dan konstituen sadar dari
McCarthy dan Zald. Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya
kepada kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan
non utilitarian dari masyarakat.
Dalam menjelaskan gagasan sentralnya menyangkut keberadaan
kepentingan kolektif, Tilly dan rekan-rekannya (1975) sepakat bahwa
perubahan-perubahan dalam masyarakat mempengaruhi gerakan sosial.
Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa
akibat kepada organisasi dan bentuk gerakan sosial.
Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan Tilly dan kawan-
kawan dalam karya mereka berjudul, The Rebellious Century (1830-1930)
membantu memperkuat perdebatan ini dan memberikan pembenaran
bagi asumsi bahwa paradigma rasionalistik gerakan sosial
mengoperasikan pra anggapan munculnya ekonomi kapitalistik dan
negara bangsa.
Mereka menolak kegagalan tesis sosial dan menolak habis
gagasan Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi struktural
utama mengarah ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang meragukan
adalah apakah diskontinuitas dengan sendirinya melahirkan anomia dan
apakah anomia dengan sendirinya melahirkan kekacauan individual atau
kolektif (Charles Tilly, et.al, 1975:6).
Charles Tilly dan kawan-kawan selanjutnya memaparkan dengan
susunan data sejarah yang lengkap dan berasumsi bagaimana
transformasi ekonomi, urbanisasi dan formasi negara membangkitkan
pergeseran karakter gerakan dan aksi sosial, reorganisasi kehidupan
sehari-hari mentransformasikan karakter konflik (Charles Tilly, et.al,
1975:86). Tilly dan yang lainnya juga telah menggunakan frasa repertoire
aksi untuk merujuk bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku
dari aksi kolektif.
Tilly dan kawan-kawan menujukkan bagaimana perubahan dalam
kehidupan harian, dalam populasi, lingkungan ketetanggaan yakni

36
perubahan yang mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di
medan kekuasaan dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas
komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft).
Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal,
dari pasar malam, festival, pasar lokal, dstnya menjadi seruan disengaja
atau undangan pertemuan dari dan oleh oganasisasi.
Dengan demikian Tilly dan kawan-kawan seperti halnya Rude
(1964) telah menemukan perubahan-perubahan dalam sifat mobilisasi
kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra industri
menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di abad XVIII.
Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari kerusuhan soal makan,
pemberontakan pajak dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke
repertoire aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan
pemogokan.
Dalam karya solonya yang berjudul, From Mobilization to
Revolution (1978), Charles Tilly mengeksplorasi bagaimana perang
terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan belas mendapat
dukungan langsung dari kaum golongan-golongan kaya dalam
gabungan kelembagaan pada negara nasional yang modern.
Charles Tilly menemukan bahwa, dalam negara nasional bahwa
gerakan mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan
memiliki target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan tidak
menyerupai sebagaimana bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi
sebelumnya. Dengan demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau
kekuarang bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan bagi
munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan
rakyat (Jackie Smith dan Tina Fetner, 2007:13).
Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang berada
dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi internal dalam hal
fokus dan detail, pada dasarnya bahwa pandangan mereka
mengedepankan sekumpulan gagasan sentral tentang pendekatan studi
gerakan dan aksi kolektif dalam kerangka logika interaksi strategis dan

37
kalkulasi cost~benefit. Donatella della Porta dan Mario Diani (1999:7).
dalam Social Movement An Introduction menyatakan sebagai berikut :
collective movements constitute an extension of the conventional
forms of political action: the actor engage in this act in a rational
way, following their interests; organizations and movement
“entrepreneurs” have an essential role in the mobilization of
collective resources on which action is founded. Movements are
therefore part of the normal political proses. Stressing the external
obstacles and incentives, numerous pieces of research have
examined the variety of resources to be mobilized, the links which
social movements have their allies, the tactics used by society to
control or incorporate collective action, and its results. The basic
questions which they seek to answer relate to the evaluation of
costs and benefits of participation in social movement
organizations.

Gagasan yang ingin disampaikan della Porta dan Mario Diani


tersebut di atas pada dasarnya ingin menggarisbawahi bahwa mobilisasi
sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif yang sifatnya adalah
perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional, di mana para aktor
yang terlibat dalam gerakan bertindak secara rasional, mengejar target
dan kepentingan mereka, gerakan "pengusaha" organisasi memiliki
peran penting dalam mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun
dalam tindakan.
Oleh karena itu, gerakan ini dianggap sebagai bagian dari proses
politik yang normal. Gerakan yang menekankan hambatan-hambatan
eksternal dan mencari peluang-peluang yang menguntungkan
organisasi, memformulasikan berbagai potensi sumber daya untuk
dimobilisasi, perluasan jaringan gerakan sosial pada sekutu elit mereka,
dan berbagai taktik atau strategi yang digunakan masyarakat untuk
mengontrol atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang
ingin dicapai.

38
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha mereka jawab
adalah berhubungan dengan evaluasi biaya dan manfaat dari partisipasi
dalam organisasi gerakan sosial tersebut.
Dalam konteks pemikiran itu, bahwa aksi para anggota gerakan
mobilisasi sumber daya mengutamakan peran aktif aksi gerakan kolektif
untuk mencapai tujuan unilitarian materialistik. Maka dari itu,
pandangan inilah yang kemudian secara tegas ditolak oleh Fireman dan
Gamson dalam, Utilitarian Logic in the Resource Mobilization Perspective
(1979), dan juga Craig, J. Jenkins, dalam Resource Mobilization Theory
and the Study of Social Movement, (1983). Mereka menjelaskan bahwa
terjadi dominasi yang kian dangkal dari budaya industrial modernis yang
menaungi benak Amerika dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi dan
politik saat itu.
Lahirnya kelompok-kelompok solider, komunitas-komunitas,
kelompok informal, kekariban, kelompok-kelompok utama dan formasi
dari apa yang disebut McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar,
merupakan jenis-jenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam
kerangka utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak
memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori mobilisasi
sumber daya. (lihat Fireman, B dan W.A Gamson, (1979) ; juga Jenkins,
Craig J, (1983).
Ketiga tokoh di atas pada dasarnya kurang begitu sependapat
dengan voluntarisme yang agak berlebihan (hyper) dari teori mobilisasi
sumber daya dalam fokus sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem
relasi sekumpulan asumsi yang terjalin secara aksiomatis. Asumsi-asumsi
itu adalah sebagai berikut :
a) Gerakan sosial harus dipahami dalam kerangka model konflik
aksi kolektif.
b) Tidak ada perbedaan mendasar antara aksi-aksi kolektif
institusional dan non institusional

39
c) Baik aksi kolektif institusional maupun non institusional
berisikan serangkain konflik kepentingan yang terbangun
dalam sistem relasi kekuasaan yang terlembagakan.
d) Gerakan sosial melibatkan cita-cita rasional berbagai
kepentingan melalui kelompok-kelompok yang saling
berkompetisi.
e) Tujuan dan penderitaan, konflik dan tanding, semuanya hadir
secara inheren dalam seluruh relasi kekuasaan dan sebagai
misal, antara mereka sendiri tidak bisa menjelaskan formasi
gerakan sosial.
f) Oleh sebab itu formasi gerakan sosial ditentukan oleh
perubahan dalam sumber daya, organisasi dan kesempatan
untuk aksi kolektif.
g) Keberhasilan dan keefektifan aksi kolektif dipahami dalam
arti keuntungan material atau aktornya dikenali sebagai
tokoh politik.
h) Mobilisasi orang dalam gerakan sosial kontemporer
berukuran skala besar yang merupakan hasil dari teknik
komunikasi terkini, birokratisasi organisasi dan dorongan
serta insiatif utilitarian.
Konstruksi bersifat sukarela yang berlebihan (hyper voluntaristic)
teori mobilisasi sumber daya memperkenalkan citra gerakan sosial baru
(GSB) sebagai sebuah korporasi industri multinasional yang dijalankan
oleh struktur manajerial dengan kualifikasi tinggi berikut etos kental
mencetak profit. Ia mengisyaratkan kemampuan bernalar dan rasional
bagi para partisipannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara umum teori
aksi kolektif (collective action theory) dalam paradigma mobilisasi
sumber daya ini cenderung diperas menjadi teori pasar dan
konsumerisme.
Asumsi mendasar Olson sebagai garis utama dalam alur
pemikiran ini menyatakan bahwa para aktor yang termobilisasi ke dalam

40
aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom terurai terpisah sendiri-
sendiri dan pada umumnya tak terorganisir, jadinya layak dipertanyakan.
Akan tetapi, pada kenyataannya, bahwa individu-individu telah
siap hidup dan beraksi dalam kelompok-kelompok solider (Rajendra
Sing, 2010:135). Oleh karena itu menurut Rajendra Singh, gagasan
pemikiran neo Olsonian ini seperti Anthony Oberschall, Charles Tilly,
Fireman dan Gamson, McCarthy dan Zald, pada akhirnya tidak
menyelamatkan model penjelasan rasionalistik radikal dari Olson,
sehingga perspektif teoritisi ini masih dianggap tergolong dalam
kelompok paradigma mobilisasi sumber daya ( Rajendra Singh,
2010:137).

3.4.2.1. Kekuatan Paradigma Mobilisasi Sumber Daya


Paradigma mobilisasi sumber daya lebih mampu menunjukan
bentuk-bentuk, tipe-tipe, model dan karakteristik gerakan sosial baru
pada masyarakat kontemporer yang dimobilisasi secara lebih
terorganisir dan lebih rasional. Paradigma ini mampu menunjukan
bahwa studi gerakan sosial paling tepat dapat dimengerti dalam
hubungannya dengan organisasi dan perilaku organisatoris.
Paradigma mobilisasi sumber daya apabila dibandingkan dengan
paradigma ketegangan struktural lebih mampu memahami dinamika
masyarakat yang semakin berubah sebagai masyarakat yang semakin
terorganisir secara formal.
Dalam paradigma ini juga mampu menunjukan bahwa agar suatu
gerakan itu dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan sebuah upaya
mobilisasi. Sistem mobilisasi dapat dijalankan secara optimal, dan dapat
berhasil maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang
pemimpin, yang oleh Zald & McCarthy disebut kaum profesional
(movement professionals).
Kaum profesional di atas menurut para ahli memainkan peran
penting dalam sebuah organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad

41
kedua puluh semua masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan
organisasi (Zald & McCarthy, 1987:35).
Asumsi yang cukup menarik sebagai kekuatan dari paradigm ini
yaitu pandangan Charles Tilly dan rekan-rekannya (1975) yang menilai
bahwa perubahan-perubahan dalam masyarakat mempengaruhi
gerakan sosial. Pergeseran utama dari struktur kekuasaan lokal ke
nasional membawa akibat kepada organisasi dan bentuk gerakan sosial.

3.4.2.2. Kelemahan Paradigma Mobilisasi Sumber Daya


Paradigma mobilisasi sumber daya menempatkan aksi kolektif
(collective action) cenderung diperas menjadi teori pasar dan
konsumerisme. Misalnya asumsi Olson tentang The Logic of Collective
Action (1965), menjelaskan bahwa para aktor yang termobilisasi ke
dalam aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom terurai terpisah
sendiri-sendiri dan pada umumnya tak terorganisir, jadinya layak
dipertanyakan.
Pandangan Olson tersebut di atas mengandung kelemahan
tersendiri, karena ternyata pada kenyataan hidup sehari-hari individu-
individu telah siap hidup dan beraksi dalam kelompok-kelompok
solider. Paradigma ini menempatkan para individu yang mengambil
tindakan dalam gerakan sosial sebagai makhluk yang memiliki motivasi
instrumental utilitarian, makhluk yang lebih rasional yang mampu
bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan.
Gerakan senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh,
ia menggerakkan sesuatu yang lain.
Kekurangan yang mendasar dalam perspektif ini, di mana aksi dan
tindakan yang diambil dalam sebuah gerakan lebih dipengaruhi oleh
motivasi materialisai diri yaitu sumber daya ekonomi. Tujuan dari aksi
yang dilakukan hanya dipandang untuk mengejar target material pada
distribusi sumber daya. Dalam konteks ini, para individu yang berperan
dalam sebuah aksi gerakan, hanyalah para partisipan gerakan yang

42
bermotifkan materialisasi diri dengan tujuan memobilisasi berbagai
sumber daya yang dipertaruhkan dalam kelompok sosial.
Maka dari itu, argumentasi logika kelemahan paradigma ini
menempatkan sasaran yang dicapai hanyalah mengejar target politik
yang diharapkan untuk diperjuangkan. Namun motif yang lebih dari itu,
telah diabaikan, sehingga para anggota gerakan adalah mahluk-mahluk
ekonom (socios economiculus) kalkulus hedonistik yang deterministik
maupun voluntaristik. Secara umum bahwa kelemahan dalam
paradigma ini, dimana teori aksi kolektif (collective action) cenderung
diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme.

3.4.3. Paradigma Berorientasi Identitas


Paradigma berorientasi identitas lebih menekankan basis
perspektif mereka pada soal peranan identitas yang melandasi
semangat individu dalam suatu gerakan. Berbeda dengan paradigma
mobilisasi sumber daya yang umumnya dirumuskan dan dipraktikkan
oleh para akademisi Amerika, maka teori berorientasi identitas lahir dan
muncul di Eropa.
Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran ini
adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi model
identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga kalangan
akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe, (1985), hingga ke
warna baru pemikiran tentang GSB dalam sentralitas perspektif
postmodern yakni Alain Touraine, (1981, 1985, 1987).
Dengan banyaknya para teoritisi yang bermunculan belakangan
dalam paradigma model identitas, sudah barang tentu kenyataan ini
melahirkan pula beragam pandangan, namun yang kita fokuskan pada
pembahasan ini hanyalah berupaya merenung ulang tema diskusi model
identitas, perkembangan teoritik kemudian, kekuatan serta kelemahan
yang didiskusikan oleh para akademisi model ini dalam konstruksi
gerakan sosial kontemporer.

43
Sebagai upaya perbandingan secara umum, paradigma mobilisasi
sumber daya dengan sentralitas pemikiran terletak pada rasionalisme
dan materialisme, maka paradigma berorientasi identitas memusatkan
perhatian mereka pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non
materialistik, namun lebih pada perilaku yang ekspresif.
Dengan demikian maka dalam konteks pemikiran ini, paradigma
berorientasi identitas mengajukan asumsi dan mengurai pokok
pertanyaan mendasar seputar pada masalah integrasi dan solidaritas.
Gerakan menurutnya, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis
terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain.
Demikian juga halnya menyangkut keterlibatan para anggotanya
dilihat sebagai makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas
mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini tidak
menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang anomia, dan
kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang tegangan, konsleting,
keyakinan tergeneralisir dan seterusnya untuk menjelaskan perilaku
kolektif.
Penyimpangan sosial sebagaimana disiratkan oleh istilah anomia
atau kegagalan sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela pada
berbagai dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145).
Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali memahami
tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan sosial baru (GSB) yang
terjadi pada dinamika masyarakat kontemporer. Tampilan wajah dan
formasi gerakan GSB dapat ditemukan dalam gerakan ekologi
(environmentalism) gerakan feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar
rumput, melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian
material.
Menurut paradigma identitas bahwa para partisipan menegaskan
aksi-aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi pengemban nilai-nilai
buruh, melainkan sebagai manusia secara keseluruhan. Ada kesepakatan
umum bahwa gerakan berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective

44
action) adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi
dan pengakuan.
Betapa pun terdapat perbedaan pemikiran di kalangan para
pendukung paradigma ini, misalnya analisis Pizzorno dalam Political
Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict (1978), menyatakan
bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung
para aktor dalam aksi kolektif. Menurutnya, identitas tidak bisa dibentuk
melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan, melainkan
produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu sendiri (Pizzorno,
1978:96).
Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan
aksi yang dilakukan, selanjutnya Pizzorno menilai bahwa logika aksi
kolektif sebagai ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas
dan pengakuan melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan
tak dapat ditawar.
Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung berarti
pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah membangun dan
mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan
secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental
strategis sebagaimana halnya yang telah diajukan oleh paradigma
mobilisasi sumber daya sebelumnya).
Kesimpulanya adalah partisipasi langsung para aktor pada
rentang yang sama telah mengakui kolektivitas yang berarti hasilnya
tuntutan mereka bisa dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi
terwakilkan dan lebih representasional.
Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and Society: The
Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan pandangan yang
agak sedikit berbeda menyangkut ciri mendasar GSB yang tidak
bersandar pada fakta bahwa aksi mereka ekspresif dan bahwa mereka
menyatakan identitas mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada
kesadaran mereka akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan

45
relasi kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean Cohen,
1985:694).
Asumsi itulah yang kemudian menjadi sumber perdebatan
penting antara Pizzorno dan Jean Cohen, terutama penilaian mereka
tentang aksi gerakan sosial GSB, apakah ekspresif dan sebagai ruang
untuk menyatakan identitas kolektif yang melakukan gerakan? Menurut
Cohen pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak bersandar pada
aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok yang melakukan
aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada kesadaran mereka
akan kapasitas untuk menciptakan identitas.
Demikian juga menurutnya, para aktor kolektif kontemporer
menilai, penciptaan identitas melibatkan daya tanding soal seputar
penafsiran kembali norma-norma, penciptaan makna-makna baru, dan
sebuah tantangan untuk konstruksi sosial dari batas-batas antara aksi
publik, privat dan domain politis.
Oleh karena itu, apabila melihat dari perspektif ini, bahwa model
identitas murni Pizzorno tentang aksi kolektif tampak terlampau
menyandera dan terlalu sempit rentangannya, cakupannya dan
kemampuannya untuk menjelas Gerakan Sosial Baru (GSB) pada konteks
masyarakat kontemporer.
Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka tentang
GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yakni Alain Touraine.
Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer, Touraine berpendapat
bahwa unsur pokok dari gerakan sosial adalah aksi (action), yaitu sebuah
aksi melawan sistem sosial.
Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-karya terakhirnya,
adalah menunjukan bagaimana penekanan terhadap aksi semacam ini
tidak harus membawa ke voluntarisme dan individualisme. Baik
voluntarisme maupun individualisme tidak memberikan wawasan ke
dalam subjek aksi (John Lechte, 1994:299).
Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya tindakan
sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu dalam bentuk

46
gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk memproduksi dan
mentransformasi struktur dan tatanan sosial yang ada. Dan aksi sosial
dalam gerakan sosial ini dilihat sebagai tindakan yang normal menuju
pada satu perubahan yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisannya,
The Self Production of Society (1973), Touraine menyatakan bahwa
masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan sosial, karena tatanan
sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial demi eksistensinya
(A.Touraine, 1973:2).
Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum tidak
seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan sosial adalah
suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya gerakan sosial berjuang
untuk mengendalikan historisitas. Historisitas menunjuk ke bentuk-
bentuk kultural umum dan struktur kehidupan sosial.
Jika istilah masyarakat menunjuk ke integrasi sosial, maka gerakan
sosial menyarankan adanya tindakan konflik yang menentang integrasi
sosial yang sudah ada. Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah
ada ini tidak selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan runtuhnya
organisasi sosial.
Oleh sebab itu, perubahan yang diakibatkan oleh tindakan sosial
tidak boleh dilihat sebagai yang bersifat patologis atau yang bersifat
disfungsional dalam pengertian Parsons.
Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang Gerakan
Sosial Baru (GSB) dalam masyarakat kontemporer, maka harus dipahami
dalam kerangka penghubung antara pemahaman diri dengan ideologi-
ideologi yang berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan gerakan
sosial.
Guna memeriksa penghubung tertentu antar dua elemen dalam
analisanya, maka Touraine mengembangkan penyidikannya dalam tiga
tingkatan, yaitu : pertama, sebuah elaborasi representasi sosial,
struktural dan kultural masyarakat kontemporer, Kedua, sebuah
penafsiran konflik dan tegangan yang terlibat alam proses pencarian
identitas manusia dan analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi,

47
Ketiga; Touraine menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai ciri
spesifik mahluk hidup (Rajendra Singh, 2001:148).
Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye, (1981),
mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi normatif
antara musuh atau saingan, berikut penafsiran yang sarat konflik dengan
model kemasyarakatan yang berlawanan dari sebuah medan budaya
bersama (A. Touraine, 1981:32). Dalam konteks ini, Touraine melakukan
suatu upaya transposisi analisis GSB dari wilayah model identitas murni
ala Pizzorno di atas, ke ruang sosial masyarakat sipil.
Oleh karena itu, apabila mengikuti pandangan Touraine ini, orang
jadi bisa melihat pemaknaan yang berbahaya (terutama oleh model
identitas murni Pizzorno) dalam pengertian tumbuhnya tuntutan
kelompok-kelompok kebangkitan komunal, sektarian, etnis dan
fundamentalis dalam pencarian identitas, otonomi dan pengakuan
mereka.
Dalam pandangan Touraine tersebut, orang mencatat supaya
sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis untuk mengkaji
gerakan. Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social Movements:
Participation and Protests (1987), ia menyatakan bahwa upaya semacam
ini menjadi mungkin hanya jika konsepsi gerakan disituasikan tidak
dalam kategori psikologisasi murni tentang identitas (Pizzorno) atau
dalam rasionalitas pencapaian tujuan utilitarian seperti yang ditampilkan
teori mobilisasi sumber daya Olsonian~Oberschall, melainkan pada
pusat dari suatu wilayah yang tumpang tindih antara inovasi kultural
dan konflik sosial (A.Touraine, 1987:219).
Maka dari itu, gagasan Touraine yang ia sebut berkali-kali tentang
sentralitas gerakan sosial baru, konflik sentral dan prinsip sentral analisa
mendekatkannya pada konsep metodologis Max Weber mengenai tipe
ideal.
Dengan melacak lokasi sentralitas konflik sosial, Touraine
bertujuan bukan hanya memberikan sebuah pemahaman sosiologis
tentang gerakan sosial, melainkan juga mengembangkan tipologi

48
gerakan. Representasi masyarakat yang terkait dengan semacam
sentralitas konflik sosial yang khusus dan konflik ini, pada gilirannya,
menghasilkan tipologi jenis ideal dari gerakan sosial.
Itulah sebabnya maka Touraine selanjutnya memperlakukan
gerakan sosial sebagai agen sosial yang didefinisikan oleh relasi yang
sarat konflik (Touraine,dkk. 1987:XV). Dan agensi dari agen, pada
gilirannya, tampak mendefinisikan representasi sosial dan kultural
masyarakat. Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi
filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan kepada
agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood.
Pada kesempatan lain Touraine, menilai bahwa gerakan sosial
mesti dipahami sebagai suatu tipe khusus dari konflik sosial. Banyak
macam perilaku kolektif seperti; panic, craze, fashion, current opinion dan
inovasi kultural, yang tidak tergolong konflik. Sebuah konflik punya
andaian awal sebuah definisi jernih tentang aktor-aktor yang
bertentangan atau bersaing serta sumber daya yang mereka
perebutkan.
Konflik harus dimaknai melalui taruhan yang dianggap bernilai
dan dihasratkan oleh dua atau lebih pihak yang bertentangan. Semua
konflik demikian, Touraine memiliki: a). Sekumpulan aktor terorganisir
b). Taruhan nilai atau yang dihasratkan, c). pergumulan dan kompetisi
antar pihak yang bermusuhan untuk mencapai apa yang dipertaruhkan
tersebut (Alain Touraine, 1985:750). Di dalam struktur luas paradigma
konflik ini, perlu untuk memilah berbagai jenis konflik sosial,
sebagaimana yang Touraine rumuskan sebagai berikut :
a) Pengejaran kepentingan kolektif secara kompetitif.
b) Konflik jenis ini dimaknai sebagai ekspresi dari relasi antara
input dan output para aktor di dalam sebuah organisasi, atau
ekspresi dari perampasan relatif yang mereka alami.
c) Rekonstruksi identitas sosial, budaya atau politis.
d) Di sini lawan didefinisikan sebagai orang asing atau
penyerbu ketimbang sebagai kelas atas atau elit kekuasaan.

49
Para aktornya memaknai diri mereka sebagai sebuah
komunitas yang nilai-nilai telah diserang. Konflik ini berpusar
pada konsepsi mempertahankan komunitas. Banyak gerakan
kontemporer di India seperti Shiv Sena di Maharashtra,
Jharkhand di Bihar, Gorkhaland di Bengal dan Uttarakhand di
Uttar Pradesh, merupakan atau dapat dilihat sebagai contoh
ekspresi perilaku konflik dari Touraine.
e) Kekuatan politik. Menurut Touraine, konflik ini bertujuan
untuk melakukan perubahan aturan main, dan bukan hanya
keuntungan relatif dalam sebuah sistem yang given.
f) Mempertahankan status dan hak istimewa (privilege). Konflik
jenis ini menjelaskan cara sebuah kelompok kepentingan
berupaya mempertahankan kepentingannya dengan atas
nama kepentingan nasional dari kelompok kepentingan
tersebut.
g) Kontrol sosial arus kebudayaan utama. Touraine menangkap
pola-pola kebudayaan dalam tiga jenis, yaitu; sebuah model
pengetahuan, semacam investasi dan prinsip-prinsip etis.
h) Penciptaan sebuah tatanan baru (Alain Touraine, 1985:750).

Konsepsi Tourine mengenai gerakan secara umum dan khususnya


dalam kerangka gerakan sosial baru, melekat dengan perpektif makro
sosiologis memandang tipe masyarakat, seperti tampak dalam konsepsi
masyarakat agraris dan masyarakat industri. Setiap jenis kemasyarakatan
tertentu berkorespondensi dengan sebentuk spesifik representasi sejenis
sosial dan budaya. Menurut Tourine ada enam pokok konsepsinya
tentang gerakan sosial baru yaitu sebagai berikut yaitu :
a) Konsepsi gerakan sosial berkorespondensi dengan konsepsi
jenis masyarakat spesifik. Dengan demikian misalnya gerakan
buruh kebanyakan berkorespondensi dengan masyarakat
industri. Touraine menyerang konsepsi spesifik bahwa

50
gerakan sosial baru adalah minoritas di tengah gerakan
sosial.
Tourine mendefinisikan gerakan sosial baru melalui
keberagamanan dan pluralismenya. Ia juga menyerang kritik,
bahwa seluruh model kehidupan dan aksi kolektif bisa
dihargai dan satu-satunya nilai tertinggi adalah
individualisme. Touraine menekankan bahwa gerakan sosial
baru harus dilihat dalam hubungannya dengan konsepsi
representasi baru masyarakat.
b) Seluruh gerakan sosial dimasa lalu adalah terbatas,
sebagaimana kapasitas masyarakat untuk memproduksi
dirinya yang juga terbatas. Jaminan metasosial tatanan sosial
menempatkan sebuah batas pada pengalaman historis dan
pada pengembangan sebuah defenisi baru sifat manusia.
Semua gerakan sosial masa lalu mendefinisikan pertaruhan
dan musuh-musuh mereka dalam kerangka prinsip-prinsip
meta sosial seperti hukum ilahiah, hukum alam, evolusi,
termasuk gagasan modernitas.
c) Touraine menilai bentuk-bentuk transformasi sosial ini
menancapkan dua jenis rintangan dihadapan cara formasi
gerakan sosial, yaitu penghapusan batas-batas metasosial
yang menyediakan prinsip kesatuan positif atau negatif bagi
aksi kolektif di masa lalu. Dan periode sekularisasi dramatis
yang disertai dengan lepas landas ekonomi dan
penguraiannya yang cepat menjadi konsumerisme yang
berkorespondensi dengan sebuah bentuk spesifik jenis
kemasyarakatan yang memungkinkan gerakan sosial baru
masuk ke panggung sosial.
d) Gerakan sosial masa lalu (lama) berada dalam jalinan prinsip-
prinsip metasosial dan ia menggunakan itu guna menentang
dominasi tradisi, sehingga gerakan sosial baru kurang
berwatak sosio-politis dan lebih berwatak sosio-kultural.

51
e) Kondisi utama bagi gerakan sosial baru untuk mengambil
bentuk adalah kesadarannya memasuki jenis baru kehidupan
sosial. Meluruhnya masyarakat industri, rontoknya
reperesentasi kutural masyarakat industri dan dimulainya
masyarakat post industri, merupakan pengantar bagi proses
penjadian gerakan sosial baru.
Revolusi elektronik, produksi teknologis simbol-simbol
kultural, pemrosesan informasi berikut distribusi globalnya,
mengisahkan kepada kita bahwa sebuah masyarakat baru
tengah menuju bentuknya. Dalam paradigma Touraine,
masyarakat baru ini, dalam waktu bersamaan dicirikan oleh
bentuk-bentuk baru konflik sosial dan inilah yang
disongsong oleh gerakan sosial baru (Alain Touraine,
1985:777).

3.4.3.1. Kekuatan Paradigma Berorientasi Identitas


Secara umum bahwa paradigma berorientasi identitas lebih
memadai dalam upaya menjelaskan beberapa ekspresi kuat Gerakan
Sosial Baru (GSB) dalam masyarakat kontemporer yang semakin
berubah secara ekspresif seperti fenomena gerakan feminis, aktivis dan
pejuang lingkungan hidup (environmentalism), gerakan perdamaian,
pelucutan senjata dan gerakan otonomi lokal.
Eskpresi formasi Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam konteks
gerakan di atas telah melintasi gagasan kelas dan memotong batas
pengkondisian material yang ada.
Paradigma berorientasi identitas ini memiliki pandangan baru soal
GSB, hampir semua teoritisi aliran ini memusatkan perhatian dan tidak
setuju pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat materialistik
murni, namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Gerakan menurut
menurut mereka, tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap
musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain.

52
Secara substantif, bahwa paradigma ini dalam konteks GSB lebih
maju dalam menempatkan peranan dan posisi aktor-aktor kolektif
kontemporer yang secara sadar berjuang melawan kekuasaan untuk
secara sosial membangun identitas baru, untuk menciptakan ruang
demokratis bagi aksi sosial yang lebih otonom. Maka dari itu, perspektif
ini jauh berbeda dari perspektif mobilisasi sumber daya yang
menekankan model neo utilitarian dan bersifat volutarisme berlebihan
(hyper voluntaristic).
Paradigma ini secara khusus menempatkan posisi individu-
individu dalam gerakan sosial baru (GSB) sebagai kolektivitas yang
otonom, makhluk-makhluk sosial yang bebas di dalam
mentransformasikan identitas dan mencari makna baru bagi identitas
mereka. Pembangunan dunia baru bagi makna individualitas sebagai
manusia yang subjektif dan menentang tatanan dan sistem kehidupan
(struktur) serta ideologi-ideologi yang menjadikan mereka sebagai
mahkluk yang terfragmentasi dalam ruang kehidupan masa kini yang
semakin tidak menentu.

3.4.3.2. Kelemahan Paradigma Berorientasi Identitas


Pararadigma berorientasi identitas secara khusus analisis Pizzorno
dalam Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict
(1978), mengatakan bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan
partisipasi langsung para aktor dalam aksi kolektif. Menurutnya,
identitas tidak bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi
atau perwakilan, melainkan produksi identitas melibatkan interaksi
kolektif itu sendiri (Pizzorno, 1978:96).
Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan
aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai
ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas dan pengakuan
melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan tak dapat
ditawar. Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung, berarti
pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah membangun dan

53
mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan
secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental
strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya
sebelumnya).
Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama
mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa
dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih
representasional.
Betapapun, disitulah Pizzorno membuat kesalahan mendasar,
bahwa begitu identitas aktor-aktor kolektif baru itu diakui, aksi ekspresif
mereka bisa ditransformasikan menjadi aksi instrumental. Ini kasus
pelembagaan mobilitas kolektif. Dengan demikian, aksi kolektif ekspresif
dari Pizzorno tidak terlalu berbeda dengan aksi ekspresif mob, rable, dan
crowd klasik dari mazhab crowd psikologi sosial seperti Le Bon dan
konstruksi neoklasik tentang crowd in history seperti tulisan George
Rude dan E.P Thompson sebelumnya.
Paradigma berorientasi identitas khususnya model teori identitas
Touraine, sebagai sebuah paradigma yang lebih komunikatif namun
terlampau makro, kadangkala cenderung menjadi abstrak, rumit dan
mengulang-ulang. Dan teorinya tentang tindakan kolektif (collective
action) dalam gerakan sosial kontemporer (GSB) belum terlalu
menyentuh pada unit analisis level mikro.

3.5. Kesimpulan
Ciri khas yang paling mendasar muncul dalam studi gerakan
sosial periode awal atau yang disebut tradisi klasik dan neo klasik adalah
di mana sebagian besar studi dalam perilaku kolektif (collective
behavior), dipahami dalam bingkai konseptualisasi teoritik (frame of
logic) analisis pada fenomena perilaku kerumunan (crowd).
Dalam pembahasan teoritisi, crowd dipahamai atau dipandang
sebagai kolektivitas yang irasional, liar, haus darah yang muncul dalam
berbagai aksi atau tindakan seperti misalnya kerusuhan (revolts) huru-

54
hara (mob), keributan dan kerisauan (riots) hingga kepada
pemberontakan (rebels). Konseptualisasi pemikiran itu ditemukan dalam
karya besar para psikolog sosial klasik seperti, Gustav LeBon, The Crowd,
(1987), Gabriel Tarde, The Laws of Imitation, (1903), karya William Mac
Dougall, The Group Mind (1920), karya E.D. Martin, The Behaviour of
Crowd (1929).
Para peneliti perspektif itu semula telah mengajukan pertanyaan
mendasar, mengapa dan bagaimana individu-individu menggabungkan
diri dalam sebuah gerakan, dan pada ciri-ciri yang khas yang
membedakan individu-individu yang terlibat pada sebuah gerakan dari
mereka yang tidak terlibat.
Kekuatan-kekuatan kultural menjadi riil dan dapat diteliti secara
empiris takkala mereka dialih bentukan ke dalam motivasi, predisposisi,
dan kecendrungan pribadi. Konsep mengenai kepribadian, merupakan
cara yang bermanfaat dan sahih guna memperlihatkan konsistensi di
dalam motivasi, perilaku, keyakinan, dan predisposisi individu.
Konsistensi ini kemudian tetap terus bertahan lintas waktu dan lintas
peran-peran sosial.
Demikian juga persoalan yang menyangkut ideologi sebagai yang
menjadi keyakinan para peserta terlibat gerakan yakni sistem
kepercayaan yang dibangun, dipahami bersifat sekunder, dan elemen
yang terdeterminasi ketimbang elemen penentu. Dalam konteks itu,
maka keyakinan-keyakinan para individu dibentuk oleh kepribadian,
yakni oleh kecendrungan-kecendrungan psikologis mereka, atau juga
oleh tekanan-tekanan mikro informal (informal micro~pressures) di
dalam lingkungan hidup pribadi para individu saat itu.
Menurut Robert Mirsel, dalam teori psikologi sosial
(social~psikologycal theory), di mana perilaku-perilaku yang
diperlihatkan oleh para individu sebagai anggota suatu gerakan
semacam itu, merupakan kunci pokok bagi studi mengenai keyakinan
dan bukannya ide-ide mengenai sistem kepercayaan sebagai sebuah
sistem pemikiran yang abstrak (Robert Mirsel, 2004:32).

55
Pada kesempatan lain, teori perkumpulan massal (mass society
theory) memahami bahwa aksi-aksi kolektif disebabkan oleh karena para
individu disingkirkan dari kelompok-kelompok sosial yang tetap dan
membuatnya lebih rentan terhadap aksi-aksi protes atau pengaduan-
pengaduan di dalam sebuah gerakan kemasyarakatan.
Analisis berfokus pada penelitian bagaimana kondisi-kondisi
individu seperti keterasingan (alienasi) dan kondisi-kondisi kultural
seperti ketakberaturan (anomie) berhubungan dengan lahirnya sebuah
gerakan sosial. Perkumpulan massal melahirkan gerakan-gerakan
kemasyarakatan, yakni bahwa gerakan-gerakan ini dipandang sebagai
jawaban terhadap hilangnya jangkar-jangkar tradisional, karena para
individu yang terlepas dari komunitasnya yang mapan kemudian
mencari bentuk-bentuk komitmen bersama yang baru.
Selanjutnya teori tingkahlaku kolektif (collective behavior theory),
memandang fenomena-fenomena kelompok yang panik (panic groups),
kelompok histeris (hysterias) dan kelompok yang tingkahlakunya dengan
cepat sekali berubah-ubah (fads), dan tingkah laku kerumunan (crowd
behavior) berhubungan erat dengan pembentukan gerakan sosial dan
kemungkinan besar mewakili tahap-tahap awal pembentukan sebuah
gerakan yang kemudian meluas dan menetap dalam satu gerakan.
Kerumunan dan gerombolan dalam skala kecil menghasilkan apa yang
dilakukan oleh perkumpulan massal (mass society) pada skala yang lebih
luas secara makro.
Mereka memisahkan individu dari keterikatan dengan kelompok-
kelompok primer seperti keluarga, hubungan sekunder yang stabil
(seperti persekutuan-persekutuan berdasarkan tempat tinggal dan
serikat-serikat dagang). Mereka juga memisahkan individu dari hal-hal
rutin biasa, termasuk dari tingkahlaku politik yang konvensional.
Dengan ini maka para individu tersebut lebih mudah menerima
tekanan (pressure) yang irasional. Kondisi-kondisi perkumpulan massal
pada gilirannya membuat individu lebih gampang menerima tekanan-

56
tekanan guna mengambil bagian dalam tingkahlaku kolektif (collective
behavior).
Para psikolog sosial biasanya membagi kegaduhan ke dalam tipe
pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir
jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk
menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik pemandangan
atau suaranya.
Meskipun crowd pasif memiliki kecendrungan bisa berubah
menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilaku-perilakunya
menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan tindakan kolektif
(Rajendra Singh, 2010:114).
Demikian juga halnya potensi crowd aktif inilah yang terkadang
mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan
huru-hara (mob) dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan
rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk
kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan atau sekelompok
para perusuh yang memberontak dan agitasi pemogok serta para
pemrotes di jalan-jalan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di dalam psikologi sosial
klasik, huru-hara (mob), kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan
rakyat yang melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk
kolektifitas massa haus darah yang saling bermusuhan biasanya,
didefinisikan sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Gustave
LeBon menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin plan (fickle) dan
menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono yang irasional
(Gustave LeBon, 1909:133).
Dalam kebanyakan formulasi seperti dalam studi Gustave LeBon
dan kawan-kawannya di atas, siapa pun bisa membuktikan penekanan
yang rentan terhadap crowd. Menurut James M. Jasper, dalam Cultural
Approaches in the Sociology of Social Movements (2007), dalam visi yang
lain, orang-orang tertentu secara khusus terbuka pada gerakan emosi
yang kuat pada crowd (James M. Jasper, 2007:58;bab 3). Misalnya contoh

57
yang dijelaskan Eric Hoffer dalam The True Believer (1993),yakni
gambaran seorang fanatik yang putus asa yang diperlukannya untuk
percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang
mengisolasikannya dari sosial.
Para pengikut sejati dan setia, sang pemeluk yang teguh, para
pengikut yang fanatik (true believer) memunculkan gerakan-gerakan
yang didorong oleh dorongan batin bersama untuk melakukan suatu
gerakan (Eric Hoffer, 1993:25). Hoffer menilai bahwa orang-orang yang
kurang memiliki identitas stabil dan frustrasi, merasa kekosongan bathin,
hidup merasa tandus dan tidak aman, dan situasi ini yang kemudian
menjadi penyebab seseorang itu kehilangan kepercayaan diri mereka
sendiri.
Pengorbanan diri pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah
massa yang terang-terangan tidak rasional, menarik orang-orang yang
miskin, orang-orang aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum
remaja muda yang ambisius, orang-orang yang berada dalam bayang-
bayang obsesi, orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain
sebagainya (Eric Hoffer, 1993:26).
Memang disadari bahwa pengaruh psikologi sosial, terutama
konsep-konsep mengenai crowd sebagai suatu kolektifitas manusia-
manusia dalam kelompok yang liar, berhasil diformulasikan ke dalam
cetakan konseptual baru di dalam meneliti perilaku kolektif (collective
behavior).
Upaya inilah tidak serta merta menjadikan studi tentang crowd,
begitu saja menghilang dari pemikiran sosiolog neo klasik kemudian.
Melainkan orientasi terhadap crowd, masih tetap eksis dan diulang
kembali dalam beberapa studi gerakan millinearisme misalnya karya
Norman Cohn, The Pursuit of Millennium: Revolutionary Millenarians and
Mystical Anarchists of the Middle Ages (1961), Michael Adas tentang,
Prophet of Rebellion, Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, (1943), karya Stephen Fuchs, Rebellious
Prophets, (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph, dalam The Modernity of

58
Tradition (1969), dan Robert Hardgraves, dalam The Nadars of Tamilnad,
(1969).
Evolusi konseptualisasi teoritik psikologis sosial klasik itulah yang
kemudian ditanggapi Erward P. Thompson dalam, The Making of the
English Working Class, (1981), di mana orang meragukan proses
penggabungan semacam itu. Bagaimanapun, dengan adanya fenomena
semacam itu persoalan historis belum terpecahkan~mengapa
kemarahan, inspirasi atau bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung
dalam gerakan berpengaruh hanya dalam waktu-waktu tertentu dan
dalam bentuk yang khusus (E.P Thompson, 1981:117). Pandangan E.P.
Thompson ini, bertujuan untuk menantang para teoritisi yang
melakukan studi gerakan sosial, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukannya.
Maka dari itu, paradigma klasik aliran crowd dari psikologi sosial
tradisional mengalami versi radikal untuk memberi batasan pada
kehancuran dirinya. Akan tetapi sebagaimana yang kita temukan di
dalam berbagai studi belakangan, kecendrungan-kencendrungan crowd
mengulangi diri dalam disiplin lain seperti (sejarah, politik, ekonomi dan
sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan dengan penjelasan
lain yang lebih variatif sifatnya dalam berbagai studi yang dilakukan.
Masalah di atas itu terjadi yang selanjutnya menurut pendapat
Rajendra Singh karena suatu alasan historis di mana tampilan perspektif
crowd selalu mendapatkan kekuatan dukungan data historis yang
dikumpulkan secara lengkap dan telaten, pada kurun waktu abad ke-18
s.d bad ke-20 dalam sejarah Perancis dan Inggris.
Dengan demikian maka, para sejarawan sosial di atas telah
berhasil menerangkan crowd dalam cetakan konseptual baru bersama-
sama, dan hal ini ditemukan dalam beberapa hasil penelitian seperti;
Singha Roy dalam The Crown in the French Revolution, (1959) dan The
Study of Popular Disturbances in the Pre-Industrial Age; Historical Studies,
(1963), Lars Rudebeck, dalam When Democracy Makes Sense, (1992),
Charles Tilly, et.al dalam The Rebelious Century, 1830-1930, (1975), dan

59
E.P Thompson dalam The Making of the English Working Class, (1981)
dan sebagainya (Rajendra Singh, 2010:117).
Dalam konteks ini, perspektif analisa para sejarawan, crowd
diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan suatu alasan untuk
ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam sejarah. Berdasarkan bukti
dalam hasil penelitiannya tentang sejarah Perancis dan Inggris, George
Rude (1964:194) menyatakan bahwa crowd bukanlah abstraksi tidak
berwujud, melainkan ia terdiri dari orang-orang.
Dalam konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia
membedakan antara gejolak masyarakat pra industri dengan masyarakat
industrial dalam masyarakat di dunia negara itu. Menurut amatan
George Rude gejolak pra industri dicirikan oleh kerusuhan pangan (foot
riots), gerakan milenarian, dan pemberontakkan petani (peasant revolt).
Sedangkan gejolak industrial ditandai dengan terjadinya peristiwa
pemogokan, aksi demonstrasi dan pertemuan massa publik
berjangkauan ke depan.
Dalam menanggapi keberadaan entitas crowd yang tidak
berkewajahan di atas, George Rude menyatakan sebagai berikut: “peran
yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di Inggris,
kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk
menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di Inggris, dan bagian
yang dimainkan kaum perempuan dalam perjalanan tertentu Revolusi
Perancis, peran petani dan buruh tani dalam kerusuhan (riot) pedesaan
Inggris..dan seterusnya” (George Rude, 1964:194).
Studi-studi mereka tersebut di atas, menunjukkan bahwa watak
gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan komposisi unsur-unsur
seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain sebagainya yang turut
mempengaruhinya.
Meskipun crowd berperilaku berbeda dalam situasi yang tidak
sama, ada beberapa elemen yang serupa seperti penggunaan aksi
langsung dan penerapan keadilan alamiah. Data sejarah mengenai
bentuk, wajah, tipe aksi crowd selama selama abad ke 18 dan 19 tak

60
meragukan lagi membuktikan bahwa konstruksi perspektif teori
psikologi sosial klasik mengenai orientasi pada crowd sebagai entitas
wajah yang gampang berubah dan mengambil bentuk yang berbeda-
beda sesuai situasi dan kondisi sosial yang ada.
Dengan demikian, maka perspektif seperti itu sudah tidak mampu
atau memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius
dan mungkin agak keliru dalam penerapannya.
Mendekati akhir tahun 1960-an, lebih jelasnya memasuki tahun
1970-an, munculah fenomena gerakan-gerakan sosial baru di Amerika
Serikat dan kawasan-kawasan lainnya di benua Eropa. Gerakan-gerakan
sosial baru ini lebih ekspresif dan mengambil tipe aksi gerakan yang
banyak berubah bila dibandingkan dengan berbagai gerakan yang
terjadi pada periode klasik dan neoklasik.
Gerakan perjuangan hak-hak sipil warga negara (civil rights
movements) di Amerika Serikat, semacam organisasi sipil yang
berorientasi memperjuangkan dan mentransformasi pembaruan struktur
pada lembaga-lembaga yang cenderung menindas secara reperesif.
Selanjutnya, muncul pula berbagai gerakan moral perdamaian
yang mengusung cita-cita dan semangat ideologi anti perang hingga
perjuangan melawan berbagai bentuk perlombaan senjata nuklir.
Berbagai aktivis-aktivis dalam kelompok organisasi anti perang
pada waktu itu misalnya secara tegas menentang serta menolak
ekspansi militerisasi antara Amerika dengan Vietnam. Oleh karena itu, di
Amerika Serikat sendiri, munculnya aneka gerakan melawan perang
Vietnam melahirkan pula berbagai rupa aktivisme perdamaian dan
dukungan terhadap dekolonisasi.
Sejumlah gerakan tertentu memang membawa pergeseran dalam
fokus analisis dibidang teori gerakan sosial, akan tetapi aliran-aliran
pemikiran di antara para elite politik dan di dalam kebudayaan
umumnya juga menghasilkan pemahaman bahwa pembaharuan itu sah
dan rasional. Aktivisme yang menuntut adanya pelayanan negara
terhadap kepentingan masyarakat (walfare state activism) di Eropa dan

61
juga gerakan masyarakat raya (great society), serta program memerangi
kemiskinan (war on poverty) yang dicanangkan oleh pemerintahan John
F. Kennedy dan Lindon B. Johnson di Amerika Serikat pada awal dekade
tahun 1960-an turut menciptakan iklim pembaruan.
Menurut Ritzer dan Goodman, program pencanangan
peperangan terhadap kemiskinan di Amerika ini, merupakan cara khas
strategi masyarakat modern yang menyakini bahwa dapat ditemukan
dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu
(Ritrzer dan Goodman, 2003:630).
Demikian juga program yang dicanangkan oleh Bad Goderberg
dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di Jerman Barat pada tahun 1960-an
pada gilirannya menandai keinginan kaum sosialis untuk menciptakan
konsensi-konsensi ideologis guna melibatkan diri dalam pembangunan
institusi-institusi di Jerman Barat. Pada saat agenda-agenda
pembaharuan mulai direalisasikan, makin banyak gerakan radikal dan
aliran pemikiran yang mempertanyakan struktur-struktur penting yang
tengah dibaharui.
Ada tiga paradigma studi gerakan sosial baru (GSB), meliputi;
paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigm),
paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) dan
terakhir paradigma berorientasi identitas. Walaupun ketiga paradigma
besar ini berbeda soal konseptualisasi teoritik dalam menganalisa
berbagai fenomena gerakan sosial, namun ketiga paradigma ini saling
melengkapi satu sama lain.
Paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigm)
dengan teoritisi utamanya Robert Ted Gurr, dalam karyanya, Why Men
Rebel ?(1970), menjelaskan bahwa konsep dasar Gurr adalah
perampasan (deprivation). Perampasan memicu munculnya resistensi
atau perlawanan.
Resistensi terjadi jika orang merasa sesuatu yang dihargainya dan
lebih bermanfaat baginya dirampas. Perasaan terampas inilah yang
disebut Gurr, relative deprivation. Relative deprivation berarti suatu

62
persepsi perihal kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value
expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabalities)
yang diperlukan.
Menurut Gurr, nilai adalah suatu kejadian, barang dan kondisi
yang diinginkan oleh manusia untuk dimiliki. Sementara nilai ekspektasi
adalah benda dan kondisi hidup yang orang-orang percaya bahwa
mereka sebagai pemiliknya yang sah. Sementara nilai kapabilitas adalah
benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh
atau memeliharanya, disepakati harta sosial tersedia untuk mereka
(Robert Ted Gurr, 1970:13,25).
Demikian pula menurut Gurr, relative deprivation bisa menyulut
ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakat, yang berwujud
kemarahan, kemurkaan, atau kejengkelan, tergantung pada kedalaman
rasa terampas. Kadar ketidakpuasan akan berkurang bila tersedia sarana
untuk menyalurkannya. Saluran ini disebut value opportunities.
Apabila ketidakpuasan itu tidak tersalurkan atau berada dijalan
buntu, maka ia dapat bermetamorfosis menjadi pemberontakan dengan
kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi atau perang dalam
negeri (Robert Ted Gurr, 1970:10-11). Demikian pula, Gurr
menambahkan bahwa tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi
sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada
level makro.
Dengan bertolak dari asumsi itu, maka Gurr mulai
mengembangkan pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang
berhubungan dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan
(rebel) dalam sebuah masyarakat (Robert Ted Gurr,1970).
Dalam kaitan dengan penjelasan teorinya itu, menurut Gurr,
tingkat dan kualitas kemarahan bahkan frustasi sebagai gerak emosional
yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro adalah
ketegangan yang bersumber pada struktur politik yang tersedia.
Struktur peluang politis (political opportunity structure) atau bentuk
lembaga-lembaga politis adalah faktor utama di dalam perilaku gerakan

63
yang kemudian bisa saja memaksa strategi-strategi gerakan untuk
mengikuti pola yang tergaris dalam struktur tersebut.
Bentuk-bentuk letupan permusuhan dalam kategori data yang
lebih luas mengenai “kekerasan politik” adalah bahwa semua serangan
kolektif dalam sebuah komunitas politik untuk menentang rezim politik
yang ada, baik terhadap para aktornya, termasuk kelompok pesaing
politik maupun yang sedang menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya.
Konsep ini mempresentasikan serangkaian even, yang memiliki
sifat umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat
ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata dengan
berdasarkan pada sifat umum ini. Termasuk dalam konsep ini adalah
revolusi yang biasanya didefinisikan sebagai perubahan sosio~politik
yang fundamental dicapai melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya
perang gerilya, penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada suatu
kudeta (Robert Ted Gurr, 1970:3-4).
Demikian juga dalam versi lain, James Davis dalam esainya
berjudul, Toward a Theory of Revolution (1962), merancang sebuah
model lain. Di dalam model ini ia mengemukakan bahwa kereta
pendorong menuju pembaharuan adalah ketegangan itu sendiri, upaya-
upaya awal dari para elite (baik politik maupun ekonomi) untuk
menciptakan pembaharuan melahirkan ekspektasi-ekspektasi yang lebih
tinggi, dan ketika ekspektasi-ekspektasi itu tidak dicapai atau malah
sebaliknya, munculah gerakan sosial. Dalam konteks pemikiran ini,
sehingga soal perampasanlah (deprivation) yang ditanggapi dan titik
perbandingan terletak di masa depan.
Pandangan yang lebih inklusif model ketegangan struktural ini,
muncul dalam pemikiran Neil Smelser, dalam Theory of Collective
Behavior (1963). Dalam tulisanya itu, Smelser mengajukan sebuah teori
yang disebut teori nilai tambah~enam~tahap (six~stage value~added
theory), mencakupi pembahasan tentang ketegangan struktural sebagai
sebuah faktor penjelas.

64
Selain itu ada pula komponen-komponen lain yang lebih bersifat
psikologis, ideologis, dan prosesual yang diistilahkannya dengan
keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized belief),
kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu
(precipitating incidents).
Smelser juga memasukan sebuah faktor struktural lain, yakni
dukungan struktural (structural conduciveness) sebagai unsur pertama
dari model ini. Unsur-unsur ini mengacu kepada kemungkinan-
kemungkinan bagi organisasi gerakan untuk bertahan di dalam ruang
lingkup politik dan sosial sebuah masyarakat (Neil Smelser, 1963:156).
Gambaran aksi dan analisis ekuilibrium Paretean (pengikut
gagasan utama Pareto) ini adalah bentuk konstribusi nyata dalam teori
Smelser, yaitu dalilnya pada mekanisme, yang menjelaskan bagaimana
batas kondisi menentukan jenis perilaku sosial.
Konsepsi Paretean tentang sebuah mekanisme keseimbangan diri
dalam sistem sosial tercermin dalam proposisi utama Smelser, dan ia
mengatakan; “people under strain mobilize to reconstitute the social order
in the name of a generalized belief”.
Model ketegangan strukural inilah yang kemudian dikritisi oleh
teoritisi paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigm). Teoritisi yang berdiri dalam garis utama pemikiran ini adalah
Mancur Olson, 1965, dan para pengikutnya seperti Anthony Oberschall,
1973, McCarthy dan Zald, 1977, Gamson, 1975, Charles Tilly, 1975,
Tarrow, 1982 dan lain-lain. Teoritisi mobilisasi sumber daya, mengkritik
kekurangan model ketegangan struktural Gurr, dan kawan-kawan.
Menurut teoritisi mobilisasi sumber daya, formulasi ketegangan
struktural eksis secara obyektif hanyalah formulasi gagasan yang bersifat
ada dalam angan-angan para pengikut sebuah gerakan, entah persepsi
tentang ketegangan dan tujuan sebuah gerakan rasional atau tidak, atau
bentuk simbolis mana yang diberikan oleh pengikut sebuah gerakan
kepada ketegangan yang ada.

65
Sebaliknya menurut mereka, tindakan-tindakan diambil umumnya
lebih rasional. Oleh karena itu, agar menjadi lebih efektif, maka
tindakan-tindakan yang diambil oleh para peserta gerakan adalah
melalui organisasi-organisasi gerakan yang diciptakan secara efektif dan
optimal.
Paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization
paradigm) memusatkan perhatian gerakan masyarakat pada proses
sistem mobilisasi yang terorganisir secara lebih rasional dan yang lebih
canggih, baik dari segi karakteristik, model-model bahkan bentuk-
bentuk gerakan yang diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari
gerakan sosial baru pada masyarakat kontemporer.
Secara umum elemen-elemen kunci dari setiap gerakan adalah
organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-individu. Organisasi-
organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari sebuah gerakan
sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba menjangkau para
konstituen dan menghimpun para pengikut sebanyak mungkin.
Teori mobilisasi sumber daya membedakan berbagai tingkat dan
tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah gerakan, dengan
membedakan penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi
(sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan
(beneficiaries). Kemudian para individu perlu dimobilisasi untuk
mengambil bagian di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk bagian
dari strategi dan taktik sebuah organisasi gerakan.
Akan tetapi, anggota-anggota yang terhimpun di dalam sebuah
gerakan bukanlah satu-satunya yang dimobilisasi. Uang, dukungan
senjata, sumbangan dana para elit, dukungan media dan pembentukan
opini publik yang condong mendukung gerakan tersebut, juga
merupakan sumber-sumber daya (Zald dan Ash, 1966).
Menurut Zald dan McCarthy (1979), agar sistem mobilisasi itu
dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil dengan baik maka
pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang pemimpin, yang
disebut kaum profesional (movement professionals). Kaum profesional di

66
atas pada dasarnya telah memainkan peranan penting dalam sebuah
organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad kedua puluh semua
masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan organisasi.
Demikian juga halnya, bahwa ciri masyarakat yang berorganisasi
adalah bahwa setiap tindakan bagi suatu perubahan sosial menuntut
keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-
sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan
tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan mengadakan kontak
dengan media massa (Zald & McCarthy, 1979, 1987).
Mancur Olson, The Logic of Collective Action (1965), telah
menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif gerakan
sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor objektif tertentu
sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan
dalam setiap mobilisasi kolektif (collective mobilization) skala besar.
Menurut Olson, apa yang signifikan untuk dicatat adalah bahwa
ada perbedaan mendasar dari konsepsi klasik LeBon dalam, The Crowd,
(1987), yang menganggap lelaki dan perempuan adalah bentuk tindakan
kolektif crowd sebagai individual yang irasional. Dan yang kemudian
lebih maju dalam konstruksi George Rude dan E.P. Thompson tentang
crowd dalam sejarah, merupakan sangat berbeda pada situasi para aktor
dalam gerakan sosial kontemporer atau dengan kata lain disebut juga
Gerakan Sosial Baru (GSB).
Dalam konteks itu juga lanjut Olson, individu-individu ini
dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil
mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Kerangka arahan dari
rujukan ini secara garis besarnya adalah instrumentasi utilitarian.
Utilitarianisme merembesi karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di
antaranya Mancur Olson ini sebagai seorang ekonom yang memiliki
pengaruh besar dalam paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135).
Agak sedikit berbeda dari pandangan Olson, selanjutnya
McCarthy dan Zald 1977, menempatkan peranan semangat
entrepreneurship organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial

67
kontemporer. Demikian juga, Oberschall 1973; Gamson 1975; C. Tilly
et.al 1975; Tarrow 1982, kebanyakan dari mereka ini sulit menerima teori
kalkulus individual yang kelewat rasional dari Olson.
Sebaliknya, mereka menekankan peran kelompok-kelompok
solidaritas dengan kepentingan-kepentingan kolektif dalam aksi-aksi
kolektif. Oberschall misalnya menyadari bahwa keberadaan variasi non
konfliktual dari kolektivitas-kolektivitas dalam masyarakat, merujuk pada
keberadaan „kelompok-kelompok asosiasional‟ dalam masyarakat.
Kelompok-kelompok asosiasional diorganisasikan untuk maksud-
maksud non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan kepentingan
kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan Gamson, dan
konstituen sadar dari McCarthy dan Zald. Para teoritisi Olsonian ini
menawarkan sumber daya kepada kelompok-kelompok aksi kolektif dan
merupakan perwujudan non utilitarian dari masyarakat.
Tilly dkk, dalam karya mereka berjudul, The Rebellious Century
(1830-1930), menjelaskan gagasan sentralnya tentang keberadaan
kepentingan kolektif, sepakat bahwa perubahan-perubahan dalam
masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari
struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada organisasi
dan bentuk gerakan sosial.
Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan, telah membantu
memperkuat perdebatan ini dan memberikan pembenaran bagi asumsi
bahwa paradigma rasionalistik gerakan sosial mengoperasikan pra
anggapan munculnya ekonomi kapitalistik dan negara bangsa.
Mereka menolak kegagalan tesis sosial dan menolak habis
gagasan Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi struktural
utama mengarah ke kekacauan sosial. Menurut mereka yang meragukan
adalah apakah diskontinuitas dengan sendirinya melahirkan anomia dan
apakah anomia dengan sendirinya melahirkan kekacauan individual atau
kolektif (Charles Tilly, et.al, 1975:6).
Tilly dkk, kemudian menjelaskan bagaimana transformasi
ekonomi, urbanisasi dan formasi negara membangkitkan pergeseran

68
karakter gerakan dan aksi sosial, reorganisasi kehidupan sehari-hari
mentransformasikan karakter konflik (Charles Tilly, et.al, 1975:86). Tilly,
dkk, menggunakan frasa “repertoire aksi” untuk merujuk bentuk spesifik,
metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif.
Selain itu, Tilly dkk, juga menunjukan bagaimana perubahan
dalam kehidupan harian, dalam populasi, lingkungan ketetanggaan;
perubahan yang mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di
medan kekuasaan dan sistem ekonomi, telah mengganti solidaritas
komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft).
Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal,
dari pasar malam, festival, pasar lokal, dstnya menjadi seruan disengaja
atau undangan pertemuan dari dan oleh oganasisasi. Dengan demikian
Tilly dkk, seperti Rude (1964) menemukan perubahan-perubahan dalam
sifat mobilisasi kolektif.
Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra industri
menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di abad XVIII.
Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari kerusuhan soal makan,
pemberontakan pajak, dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke
repertoire aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan
pemogokan.
Tilly dalam karya solonya, From Mobilization to Revolution (1978),
menjelaskan dinamika repertoire aksi kolektif ini, dengan mengeksplorasi
bagaimana perang terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan
belas mendapat dukungan langsung dari kaum golongan kaya dari
berbagai gabungan kelembagaan pada negara nasional yang modern.
Tilly menemukan bahwa, dalam negara nasional, sebuah gerakan
mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan memiliki
target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan tidak menyerupai
sebagaimana bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi sebelumnya.
Dengan demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau kekurangan
bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan bagi

69
munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan
rakyat (Jackie Smith dan Tina Fetner, 2007:13).
Demikian, pembacaan kita terhadap para teoritisi yang berada
dalam garis pemikiran Olsonian ini, di samping variasi internal dalam hal
fokus dan detail, pada dasarnya bahwa pandangan mereka
mengedepankan sekumpulan gagasan sentral tentang pendekatan studi
gerakan dan aksi kolektif dalam kerangka logika interaksi strategis dan
kalkulasi cost~benefit.
Donatella della Porta dan Mario Diani dalam Social Movement An
Introduction, (1999), menilai bahwa mobilisasi sumber daya merupakan
sebuah gerakan kolektif yang sifatnya perpanjangan dari bentuk aksi
politik konvensional, di mana para aktor yang terlibat dalam gerakan
bertindak secara rasional, mengejar target dan kepentingan mereka,
gerakan "pengusaha" organisasi memiliki peran penting dalam
mobilisasi sumber daya kolektif yang dibangun dalam tindakan.
Fireman dan Gamson dalam, Utilitarian Logic in the Resource
Mobilization Perspective (1979), dan Craig, J. Jenkins dalam Resource
Mobilization Theory and the Study of Social Movement, (1983). Dalam
konteks itu, mereka menjelaskan bahwa terjadi dominasi yang kian
dangkal dari budaya industrial modernis yang menaungi benak Amerika.
Lahirnya kelompok-kelompok solider, komunitas-komunitas,
kelompok informal, kekariban, kelompok-kelompok utama dan formasi
dari apa yang disebut McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar,
merupakan jenis-jenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam
kerangka utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak
memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori mobilisasi
sumber daya (lihat Fireman, B dan W.A Gamson, (1979) ; juga Jenkins,
Craig, J, (1983).
Singkat kata, maka ketiga tokoh ini kurang begitu sependapat
dengan voluntarisme yang agak berlebihan (hyper) dari teori mobilisasi
sumber daya dalam fokus sentralnya, didasarkan pada sebuah sistem
relasi sekumpulan asumsi yang terjalin secara aksiomatis. Demikian yang

70
dikatakan Donatella della Porta dan Mario Diani menilai, bahwa gerakan
ini dianggap sebagai bagian dari proses politik yang normal.
Gerakan yang menekankan hambatan-hambatan eksternal dan
mencari peluang-peluang yang menguntungkan organisasi,
memformulasikan berbagai potensi sumber daya untuk dimobilisasi,
perluasan jaringan gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan berbagai
taktik atau strategi yang digunakan masyarakat untuk mengontrol atau
menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang ingin dicapai.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha mereka jawab adalah
berhubungan dengan evaluasi biaya dan manfaatnya partisipasi dalam
organisasi gerakan sosial tersebut (Donatella della Porta & Mario Diani,
1999:7).
Atas kekurangan paradigma mobilisasi sumber daya (resource
mobilization paradigm) yang sangat utilitarian~materialisme dan hyper
voluntarik (voluntarisme berlebihan), maka paradigma yang lebih
adekuat muncul di Eropa. Paradigma ini disebut berorientasi identitas
yang lebih menekankan basis perspektif mereka pada peranan identitas
yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan.
Para teoritisi yang berada di dalam garis utama pemikiran ini
adalah Pizzorno, (1978,1985), kemudian seorang akademisi model
identitas murni yaitu Jean Cohen, (1985), termasuk juga kalangan
akademisi post~Marxis seperti Laclau dan Mouffe, (1985), hingga ke
warna baru pemikiran tentang GSB dalam sentralitas perspektif
postmodern yakni Alain Touraine, (1981, 1985, 1987).
Sebagai perbandingan secara umum, paradigma mobilisasi
sumber daya yang sentralitas pemikirannya terletak pada rasionalisme
dan materialisme, maka paradigma berorientasi identitas memusatkan
perhatian mereka pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non
materialistik, namun lebih pada perilaku yang ekspresif. Karenanya,
maka dalam konteks pemikiran ini, paradigma berorientasi identitas
mengajukan asumsi dan mengurai pokok pertanyaan mendasar seputar
pada masalah integrasi dan solidaritas. Gerakan menurutnya, tidak

71
senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia
menggerakkan sesuatu yang lain.
Demikian juga halnya bagi para anggotanya dilihat sebagai
makhluk subyektif. Walaupun paradigma model identitas
mempertanyakan masalah integrasi dan solidaritas, teori ini tidak
menemukan relevansi konsep Durkheimian tentang anomia, dan
kegagalan ataupun pengertian Smelserian tentang tegangan, konsleting,
keyakinan tergeneralisir dan seterusnya untuk menjelaskan perilaku
kolektif. Penyimpangan sosial sebagaimana disiratkan oleh istilah
anomia atau kegagalan sosial, nyaris tidak menawarkan sebuah jendela
pada berbagai dimensi gerakan sosial (Rajendra Singh, 2001:145).
Paradigma berorientasi identitas, mencoba kembali memahami
tampilan-tampilan dan formasi-formasi gerakan sosial baru (GSB) yang
terjadi pada dinamika masyarakat kontemporer. Tampilan wajah dan
formasi gerakan GSB dapat ditemukan dalam gerakan ekologi
(environmentalism) gerakan feminisme, perdamaian dan mobilisasi akar
rumput, melintasi gagasan kelas dan memotong batas pengkondisian
material.
Menurut paradigma identitas, para partisipan menegaskan aksi-
aksi mereka bukan dalam kerangka menjadi pengemban nilai-nilai
buruh, melainkan sebagai manusia secara keseluruhan. Ada kesepakatan
umum bahwa gerakan berorientasi identitas dan aksi kolektif (collective
action) adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi
dan pengakuan.
Betapa pun terdapatnya suatu perbedaan pemikiran di kalangan
pendukung paradigma ini, misalnya analisis Pizzorno dalam Political
Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict (1978), mengatakan
bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung
para aktor dalam aksi kolektif. Akan tetapi, identitas menurutnya tidak
bisa dibentuk melalui partisipasi tak langsung, delegasi atau perwakilan,
melainkan produksi identitas melibatkan interaksi kolektif itu sendiri
(Pizzorno, 1978:96).

72
Dalam melihat produksi identitas secara langsung dalam kegiatan
aksi yang dilakukan, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai
ekspresi. Para aktor sosial dalam GSB mencari identitas dan pengakuan
melalui aksi ekspresif, melalui tuntutan universalistik dan tak dapat
ditawar.
Semuanya itu harus dijalani melalui partisipasi langsung berarti
pada rentang yang sama para aktor tersebut sudah membangun dan
mengakui kolektivitas (seperti perserikatan dan partai-partai politik) dan
secara umum menghampiri penggunaan rasionalitas instrumental
strategis (sebagaimana diajukan oleh paradigma mobilisasi sumber daya
sebelumnya). Partisipasi langsung para aktor pada rentang yang sama
mengakui kolektivitas berarti hasilnya tuntutan mereka bisa
dinegosiasikan dan karakter partisipasinya jadi terwakilkan dan lebih
representasional.
Pada kesempatan lain, Jean Cohen dalam Class and Society: The
Limits of Marxian Critical Theory (1985), memberikan pandangan yang
agak sedikit berbeda menyangkut ciri mendasar GSB yang tidak
bersandar pada fakta bahwa aksi mereka ekspresif dan bahwa mereka
menyatakan identitas mereka. Sebaliknya ia bersandar lebih pada
kesadaran mereka akan kapasitas diri untuk menciptakan identitas dan
relasi kekuasaan yang terlibat dalam penciptaan mereka (Jean Cohen,
1985:694).
Asumsi Cohen tersebut di atas itulah yang kemudian menjadi
sumber perdebatan penting antara Pizzorno dan Jean Cohen, terutama
penilaian mereka tentang aksi gerakan sosial GSB, apakah ekspresif dan
sebagai ruang untuk menyatakan identitas kolektif yang melakukan
gerakan? Menurut Cohen pada dasarnya aksi gerakan sosial (GSB) tidak
bersandar pada aksi yang ekspresif serta peryataan identitas kelompok
yang melakukan aksi gerakan sosial itu, melainkan bersandar pada
kesadaran mereka akan kapasitas untuk menciptakan identitas.
Demikian juga menurutnya, bahwa para aktor kolektif
kontemporer menilai, penciptaan identitas melibatkan daya tanding soal

73
seputar penafsiran kembali norma-norma, penciptaan makna-makna
baru, dan sebuah tantangan untuk konstruksi sosial dari batas-batas
antara aksi publik, privat dan domain politis. Oleh karena itu, apabila
melihat dari perspektif ini, bahwa model identitas murni Pizzorno
tentang aksi kolektif tampak terlampau menyandera dan terlalu sempit
rentangannya, cakupan bahkan kemampuannya untuk menjelas
gerakan sosial baru (GSB) pada konteks masyarakat kontemporer.
Selanjutnya pandangan yang agak sedikit lebih terbuka tentang
GSB, muncul dari salah seorang sosiolog Perancis yaitui Alain Touraine.
Dalam menilai GSB masyarakat kontemporer, Touraine berpendapat
bahwa unsur pokok dari gerakan sosial adalah aksi (action), yaitu sebuah
aksi melawan sistem sosial. Ambisi Touraine, khususnya dalam karya-
karya terakhirnya, adalah menunjukan bagaimana penekanan terhadap
aksi semacam ini tidak harus membawa ke voluntarisme dan
individualisme. Baik voluntarisme maupun individualisme tidak
memberikan wawasan ke dalam subjek aksi (John Lechte, 1994:299).
Dalam menilai GSB, Touraine menekankan pentingnya tindakan
sosial, bahwa aksi yang dilakukan individu-individu dalam bentuk
gerakan sosial merupakan suatu upaya untuk memproduksi dan
mentransformasi struktur dan tatanan sosial yang ada. Dan aksi sosial
dalam gerakan sosial ini dilihat sebagai tindakan yang normal menuju
pada satu perubahan yang diharap oleh masyarakat. Dalam tulisanya
yang cukup terkenal, The Self Production of Society (1973), Touraine
menyatakan bahwa masyarakat itu bukan apa-apa selain dari tindakan
sosial, karena tatanan sosial itu tidak memiliki jaminan metasosial demi
eksistensinya (A. Touraine, 1973:2).
Konsep Touraine tentang gerakan sosial, secara umum tidak
seperti perilaku kolektif yang selalu reaktif, suatu gerakan sosial adalah
suatu kekuatan yang aktif. Pada umumnya gerakan sosial berjuang
untuk mengendalikan historisitas. Historisitas menunjuk ke bentuk-
bentuk kultural umum dan struktur kehidupan sosial. Jika istilah
masyarakat menunjuk ke integrasi sosial, maka gerakan sosial

74
menyarankan adanya tindakan konflik yang menentang integrasi sosial
yang sudah ada.
Tantangan terhadap integrasi sosial yang sudah ada ini tidak
selalu sama dengan suatu krisis masyarakat dan runtuhnya organisasi
sosial. Oleh sebab itu, perubahan yang diakibatkan oleh tindakan sosial
tidak boleh dilihat sebagai yang bersifat patologis atau yang bersifat
disfungsional dalam pengertian Parsons.
Apabila dipahami lebih jauh analisis Touraine tentang GSB
masyarakat kontemporer, maka harus dipahami dalam kerangka
penghubung antara pemahaman diri dengan ideologi-ideologi yang
berkuasa di tengah masyarakat kontemporer dan gerakan sosial.
Guna memeriksa penghubung tertentu antar dua elemen dalam
analisanya, Touraine mengembangkan penyidikannya dalam tiga
tingkatan, yaitu pertama; sebuah elaborasi representasi sosial, struktural
dan kultural masyarakat kontemporer, Kedua; sebuah penafsiran konflik
dan tegangan yang terlibat alam proses pencarian identitas manusia dan
analisanya dalam kerangka rujukan orientasi aksi, Ketiga; Touraine
menyadari pentingnya kesadaran individual sebagai ciri spesifik mahluk
hidup (Rajendra Singh, 2001:148).
Pandangan Touraine dalam The Voice and the Eye (1981),
mendefinisikan gerakan sosial sebagai interaksi berorientasi normatif
antara musuh atau saingan, berikut penafsiran yang sarat konflik dengan
model kemasyarakatan yang berlawanan dari sebuah medan budaya
bersama (A.Touraine, 1981:32).
Dalam konteks itu, Touraine melakukan suatu upaya transposisi
analisis GSB dari wilayah model identitas murni ala Pizzorno di atas, ke
ruang sosial masyarakat sipil. Oleh karena itu, apabila mengikuti
pandangan Touraine ini, orang jadi bisa melihat pemaknaan yang
berbahaya (terutama oleh model identitas murni Pizzorno) dalam
pengertian tumbuhnya tuntutan kelompok-kelompok kebangkitan
komunal, sektarian, etnis dan fundamentalis dalam pencarian identitas,
otonomi dan pengakuan mereka.

75
Dalam pandangan Touraine tersebut, bahwa orang mencatat
supaya sadar untuk memberikan sebuah kerangka sosiologis dalam
mempelajari serta mengkaji gerakan sosial di masyarakat.
Dalam tulisan kecilnya yang berjudul, Social Movements:
Participation and Protests (1987), ia menegaskan pemikiranya itu kembali
dan menyatakan bahwa upaya semacam ini menjadi mungkin hanya jika
konsepsi gerakan disituasikan tidak dalam kategori psikologisasi murni
tentang identitas (Pizzorno) atau dalam rasionalitas pencapaian tujuan
utilitarian seperti yang ditampilkan teori mobilisasi sumber daya
Olsonian~Oberschall, melainkan pada pusat dari suatu wilayah yang
tumpang tindih antara inovasi kultural dan konflik sosial (A.Touraine,
1987:219).
Gagasan Touraine yang ia sebut berkali-kali tentang sentralitas
gerakan sosial baru, konflik sentral dan prinsip sentral analisa
mendekatkannya pada konsep metodologis Max Weber sebelumnya
mengenai tipe ideal tindakan manusia.
Dengan melacak kembali lokasi sentralitas konflik sosial, maka
Touraine bertujuan bukan hanya memberikan sebuah pemahaman
sosiologis tentang gerakan sosial, melainkan juga mengembangkan
tipologi gerakan. Representasi masyarakat yang terkait dengan
semacam sentralitas konflik sosial yang khusus dan konflik ini, pada
gilirannya, menghasilkan tipologi jenis ideal dari gerakan sosial.
Itulah sebabnya mengapa kemudian Touraine memperlakukan
gerakan sosial sebagai agen sosial yang didefinisikan oleh relasi yang
sarat konflik (Touraine, dkk. 1987:XV). Dan agensi dari agen, pada
gilirannya, tampak mendefinisikan representasi sosial dan kultural
masyarakat. Merenungkan sifat GSB, ia memperkenalkan sebuah versi
filsafat dari gerakan sebagai sebuah agen dalam sejarah dan kepada
agen ini, ia memberikan peran suatu capital subjecthood.

76
BAB IV
PERSPEKTIF PERLAWANAN SOSIAL

4.1. Perspektif Perlawanan Sosial


Perspektif perlawanan (social resistance perspective) sebagai salah
satu bagian dari studi gerakan sosial (The Social Movement), pada
umumnya kurang begitu banyak mendapat perhatian dikalangan
teoritisi studi gerakan sosial besar (The Social Movement).
Persoalan seperti itu menurut T.K Oommen (1990:393), hampir
terjadi pada semua level studi gerakan sosial, di mana para teoretisi
dalam studi mereka mengabaikan kajian beragam terhadap bentuk
protes (istilah Scott social resistensi) pada jaringan individual serta
bagaimana proses dinamika mobilisasinya gerakan itu pada level mikro.
Pendapat yang sama juga disampaikan James C. Scott (2000),
bahwa dalam studi gerakan sosial besar, para peneliti memberikan fokus
perhatian utama mereka hanya kepada konteks relasi aksi politik yang
bersifat kolektif pada tataran gerakan sosial skala makro yang lebih luas.
Sebaliknya pusat perhatian yang terkadang dilupakan oleh teoritisi
gerakan sosial besar itu adalah unit analisis mendasar pada proses
kekuasaan dan aksi politik baik dari sudut pandang demokratik liberal
maupun radikal secara umum masih terbatas hanya pada studi aktivitas
politik yang terbuka dan formal, dan berfokus hanya pada peran
gerakan elit saja di masyarakat.
Pada kesempatan lain, M. Hanchard (2007:13) juga melihat dan
menilai bahwa para teoritisi studi gerakan sosial besar itu kurang
memberikan perhatian mereka terhadap perspektif perlawanan (social
resistensi) dalam berbagai literatur studi gerakan sosial. Hal itu,
menurutnya disebabkan para ilmuwan politik umumnya kurang
memberikan perhatian yang memadai terhadap hubungan lanjutan.
Selain itu, terdapat juga kecendrungan di mana para peneliti semula
selalu mengabaikan pentingnya metode interpretif dan penelitian

77
etnografi untuk menganalisis mode kekuasaan dalam dinamika manusia
yang tidak mungkin diukur hanya terbatas pada opini publik semata
melalui metode penelitian survei.
Pada sisi lain, Scott (2000) lebih menyarankan untuk
memperhatikan pendekatan studi etnografis interpretatif sebagai
sumber daya dalam melengkapi metodologi survei penelitian bertujuan
untuk memperoleh data yang lebih memadai dan akurat tentang
berbagai bentuk dinamika gerakan yang terjadi di masyarakat.
Lebih lanjut menurut pendapat Scott, sebuah teori semestinya
harus terikat pada konteks, sebagaimana yang dicontohkannya dalam
perlawanan petani sehari-hari yang menurutnya mengadopsi "model
Brechtian" dalam rangka untuk menghargai berbagai macam
kemungkinan dan keterbatasan dalam kondisi ketidaksetaraan yang
terjadi dan dihadapi dalam kelompok sosial yang berada pada level
tersubordinat.
Perbedaan dari sudut pandang teoritik dimana pada dasarnya
perlawanan berbeda dengan konsepsi teoritik gerakan sosial besar yang
umumnya lebih mengkhususkan studi terhadap tindakan kolektivitas
gerakan sosial dalam aksi-aksi skala yang lebih luas secara makro.
Sebaliknya, tidak memberikan perhatian terhadap bentuk-bentuk dan
dinamika aksi perlawanan dalam berbagai dimensi dan corak aksi sosial
yang sifatnya dalam konteks aksi skala kecil.
Hasil penelitian Scott tersebut dapat dianggap sebagai sebuah
studi yang mendasar digunakan untuk memahami bagaimana contoh
aksi dalam model perspektif perlawanan banyak menawarkan serta
mengungkapkan beragam ekspresi dari berbagai tipe dan sudut
pandang aksi (action) yang dilakukan oleh para individu (individu-
individu dalam sebuah komunitas kecil yang tidak terlalu luas) dalam
sebuah gerak dinamika aksi sosial yang diekspresikan dalam dunia
budaya keseharian masyarakat.
Beragam tipe dan bentuk tindakan sosial dalam perspektif
perlawanan yang dimaksudkan tersebut misalnya saja dapat dijumpai

78
dalam berbagai bentuk dan cara-cara representasi aksi yang dilakukan
individu maupun kelompok yang dalam perspektif perlawanan sosial,
dan Scott menyatakan bahwa bentuk aksi demikian disebut ways of
operating in everyday life sebagai cara-cara yang diekspresikan dalam
dunia keseharian masyarakat.
Beragam aksi perlawanan yang diekspresikan dalam berbagai
tindakan (social action) itu sangat kaya dan dapat dijumpai dalam dunia
kehidupan budaya masyarakat yang lebih sederhana dan bersahaja.
Dalam perspektif itu maka berbagai dinamika ekspresi perlawanan dapat
terjadi dan ditemukan misalnya dalam contoh dimulai dan berakhir
dalam aksi-aksi pertempuran diam-diam dan sangat tak menyolok yang
tak terhitung jumlahnya di antara satu pihak terhadap pihak yang lain.
Gerak pertempuran itu dalam kehidupan masyarakat menjadi
syarat organis bagi perjuangan demi mempertahankan kehidupan
(survival mechanism) di alam sosial yang disebut masyarakat itu.
Dalam konteks lain, Michel de Certeau dalam karyanya berjudul,
Practice of Everyday Life (1988), menunjukan bahwa kehidupan sehari-
hari terbentuk oleh aksi pelanggaran terhadap hak milik yang lain yang
berlangsung dalam sekian banyak cara dan tampaknya hal ini memang
didasarkan pada cara hidup yang alami. Dunia kehidupan ini merupakan
habitat bagi semua makhluk, bagi inang~hama dan bagi
mangsa~predator. Drama kehidupan di alam liar bereplikasi dalam
drama sosial di alam kehidupan masyarakat nyata, yakni alam kehidupan
manusia sehari-hari.
Pendapat yang sama dikatakan Richard Dawkins dalam, The
Selfish Gene (1976) dan The Blind Watchmaker (1986), bahwa bentuk
perlawanan sosial dapat ditemukan dalam berbagai contoh aksi seperti
sabotase, eksploitasi dan perjuangan yang sangat luas ragamnya dalam
dunia kehidupan. Kasus bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari petani
kecil yang diuraikan Scott tersebut di atas tak lebih dari perluasan dari
proses pertumbuhan dan bertahan hidup yang alami dalam kehidupan
nyata sehari-hari.

79
Aksi yang paling mendasar dalam perlawanan adalah di mana
keanekaragaman ekspresi aksi harus dilihat dalam kategori tindakan
sosial (social action) sebagaimana contoh yang dijelaskan James C. Scott
sebagai bentuk-bentuk perlawanan otonom yang nyaris kontinyu,
bersifat informal, tak terbuka dan tersembunyi yang dilakukan oleh
kelas-kelas yang lebih rendah, yaitu bentuk-bentuk politik yang disebut
perlawanan sehari-hari (everyday resistance).
Posisi hegemonik dari kelas yang kaya dan dominan harus terus
berhadapan dengan oposisi dan konflik. Kelas yang miskin juga memiliki
posisi hegemoniknya sendiri yang membuat kelas kaya harus terus-
menerus berjuang demi mempertahankan diri (Scott, 1989:4).
Dalam konteks pemahaman itu, maka selanjutnya yang perlu
digaris bawahi adalah bahwa perlawanan sosial (social resistance)
merupakan sebuah model dalam perspektif studi gerakan sosial.
Perlawanan sebagai gerakan sosial mengungkapkan suatu tipe aksi
sosial yang dilakukan, yang tidak harus dengan ekspresi dan cara-cara
yang lebih terselubung dan tersembunyi secara laten.
Gerakan perlawanan itu sifatnya relatif tidak menentu dan tidak
permanen bahkan terkadang lebih fleksibel dan tersembunyi secara
laten dan implisit. Model resistance sosial itu tidak sama dengan
karakteristik serta ciri-ciri gerakan sosial sebagaimana yang dipahami
kalangan teoritisi studi gerakan sosial besar yang pernah berkembang
pada masanya bahkan masih dominan mempengaruhi beragam studi
gerakan sosial pada masa kini.
Dalam perspektif studi gerakan social besar pusat perhatian
peneliti lebih diarahkan kepada aktivitas tindakan gerakan yang lebih
besar secara makro sama seperti yang pernah disampaikan J. Wilson
(1973:4) yang mengatakan bahwa gerakan sosial itu sebagai organized
collectivities, large in potential scope, use uninstitutionalized means to
achieve their objectives, do not have limited objectives in the sense of
restricting their aims to particular categories of people, purposive attempts
to bring about change.

80
Dalam pengertiannya itu, gerakan sosial harus memiliki ciri-ciri
sebagai suatu tindakan kolektif (collective action) yang dilakukan secara
terorganisasi, mempunyai ruang lingkup yang secara potensial luas,
menggunakan sarana-sarana atau cara-cara institusional di dalam upaya
untuk mencapai tujuannya, memiliki tujuan yang tidak terbatas dalam
pengertian tidak membatasi sasarannya pada kategori-kategori khusus
para pendukungnya dan menggunakan upaya-upaya yang jelas bagi
terjadinya perubahan (Soenyono, 2005:2).
Lebih lanjut, bahwa pemahaman mendasar terhadap gerakan
sosial seperti itu, juga dapat dilihat dalam konstruksi paradigmatik studi
gerakan sosial besar dalam perspektif structural strain (perspektif
ketegangan struktural), perspektif mobilisasi sumber daya dan
berorientasi identitas. Dalam perspektif structural strain di mana konsep
tentang relative devrivation Gurr yang menimbulkan perlawanan sosial,
karena ketidakpuasan (discontent) yang tidak tersalurkan sehingga dapat
bermetamorfosis menjadi pemberontakan dengan kekerasan (violent)
yang berwujud kekacauan, konspirasi atau perang dalam negeri (Gurr,
1970:10-11).
Akan tetapi, dalam teorinya itu, Gurr (1970) tidak pernah
menjelaskan bagaimana proses empirik yang terjadi menimbulkan
perlawanan, tapi hanya dijelaskan dalam konteks relasi politik yang lebih
luas secara makro mengenai tingkat dan kualitas kemarahan dan frustasi
sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada
level makro.
Tingkat dan kualitas kemarahan bahkan frustasi sebagai gerak
emosional yang disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro
tersebut cenderung dilihat sebagai ketegangan yang bersumber pada
struktur politik yang tersedia. Struktur peluang politis (political
opportunity structure) atau bentuk lembaga-lembaga politis adalah
faktor utama di dalam perilaku gerakan yang kemudian bisa saja
memaksa strategi-strategi gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris
dalam struktur tersebut.

81
Dalam pemahaman yang lebih luas, Gurr mempelajari berbagai
bentuk letupan permusuhan dalam kategori data yang lebih luas, dan
kaitannya dengan berbagai bentuk kekerasan dalam struktur dan
dinamika politik yang berkembang.
Menurutnya, semua serangan kolektif dalam sebuah komunitas
politik untuk menentang rezim politik yang ada, baik terhadap para
aktornya, termasuk kelompok pesaing politik maupun yang sedang
menjabat ataupun kebijakan-kebijakannya.
Konsep tersebut merepresentasikan serangkaian even, yang
memiliki sifat umum menggunakan kekerasan secara aktual atau bersifat
ancaman, namun konsep ini tak bisa dijelaskan semata-mata dengan
berdasarkan pada sifat umum itu. Termasuk dalam konsep ini adalah
revolusi yang biasanya didefinisikan sebagai perubahan sosio~politik
yang fundamental dicapai melalui kekerasan, termasuk juga di dalamnya
perang gerilya, penentangan, kerusuhan hingga berakhir pada sebuah
kudeta yang terjadi (Gurr, 1970:3-4).
Sangat jelas sekali bahwa teori relative devrivation, Gurr (1970)
yang menciptakan perlawanan sosial, sehingga mengandung kelemahan
mendasar, karena melihat perlawanan sosial itu sebagai tingkat dan
kualitas kemarahan bahkan frustasi sebagai gerak emosional yang
disebabkan oleh ketegangan sosial pada level makro adalah ketegangan
yang bersumber pada struktur politik yang tersedia.
Dalam teorinya itu, sangat jelas bahwa Gurr justru lebih dominan
mengabaikan aspek mikro realitas kehidupan budaya yang banyak
menawarkan ekspresi perlawanan dalam berbagai bentuk, strategi dan
pola aksi perlawanan serta proses dan dinamika mobilisasi aksi itu dalam
skala yang lebih kecil.
Tidak jauh berbeda dengan cakrawala pemikiran tentang
perlawanan sosial Gurr dalam perspektif ketegangan struktural di atas,
selanjutnya konsepsi teoritik gerakan sosial dalam perspektif mobilisasi
sumber daya juga melihat gerakan perlawanan dalam skala kolektivitas
yang lebih luas secara makro. Walaupun perspektif ini agak sedikit lebih

82
maju dari penjelasan struktural strain, namun perspektif mobilisasi
sumber daya juga memahami gerakan sosial dari sudut pandang
kolektifitas yang formal.
Perspektif mobilisasi sumber daya dengan teoritisi utama, Mancur
Olson (1965), Anthony Oberschall (1973), McCarthy dan Zald (1977),
Gamson (1975), Charles Tilly (1975) dan Tarrow (1982) memusatkan
perhatian gerakan masyarakat pada proses sistem mobilisasi yang
terorganisir secara lebih rasional dan canggih, baik dari segi
karakteristik, model-model maupun bentuk-bentuk gerakan yang
diambil oleh para konstituen sebagai anggota dari gerakan sosial baru
pada masyarakat kontemporer.
Secara umum bahwa elemen-elemen kunci dari setiap gerakan
perlawanan adalah organisasi-organisasi gerakan, bukan individu-
individu. Organisasi-organisasi ini merupakan unit-unit penggerak dari
sebuah gerakan sosial. Organisasi-organisasi gerakan mencoba
menjangkau para konstituen sadar dan menghimpun para pengikut
untuk terlibat sebanyak mungkin.
Menurut perspektif mobilisasi sumber daya harus dibedakan
berbagai tingkat dan tipe keterlibatan orang-orang dalam sebuah
gerakan dengan membedakan penganut (anggota tetap dan peserta),
konstituensi (sumber dari sumber-sumber daya), dan para pencari
keuntungan (beneficiaries). Kemudian para individu perlu dimobilisasi
untuk mengambil bagian di dalam aktivitas-aktivitas yang membentuk
bagian dari strategi dan taktik sebuah organisasi gerakan.
Akan tetapi, anggota-anggota yang terhimpun di dalam sebuah
gerakan bukanlah satu-satunya yang dimobilisasi. Perananan uang,
dukungan senjata dan sumbangan dana para elit serta dukungan media
dan pembentukan opini publik yang condong mendukung gerakan
tersebut, juga merupakan sebagai sumber daya yang penting dalam
sebuah gerakan yang terorganisir secara formal (Zald dan Ash, 1966).
Selain itu, menurut Zald dan McCarthy (1979), agar sistem
mobilisasi itu dapat dijalankan secara optimal dan dapat berhasil

83
dengan baik maka pergerakan dalam organisasi diperlukan seorang
pemimpin yang disebut kaum profesional (movement profesionals).
Kaum profesional ini memainkan peranan penting dalam sebuah
organisasi gerakan, karena menjelang akhir abad kedua puluh semua
masyarakat adalah masyarakat yang bercirikan organisasi.
Ciri masyarakat yang berorganisasi adalah bahwa setiap tindakan
bagi suatu perubahan sosial menuntut keahlian teknis tingkat tinggi,
khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan
strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap
kelompok elit dan mengadakan kontak dengan media massa (Zald dan
McCarthy, 1979, 1987).
Mancur Olson dalam, The Logic of Collective Action, (1965)
menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif gerakan
sosial dipresentasikan dalam peranan faktor objektif tertentu sebagai
kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan dalam
setiap mobilisasi kolektif (collective mobilization) skala besar.
Menurutnya apa yang signifikan untuk dicatat bahwa ada perbedaan
mendasar dari konsepsi klasik LeBon dalam, The Crowd, (1987), yang
menganggap lelaki dan perempuan adalah bentuk tindakan kolektif
crowd sebagai individual yang irasional.
Pandangan Olson tersebut di atas dapat dianggap lebih maju dari
konstruksi George Rude dan E.P. Thompson tentang crowd dalam
sejarah, yakni sangat berbeda pada situasi para aktor dalam gerakan
sosial kontemporer Gerakan Sosial Baru (GSB).
Dalam konteks itu, Olson menjelaskan bahwa para individu
dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil
mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Kerangka arahan dari
rujukan ini secara garis besarnya adalah instrumentasi utilitarian.
Utilitarianisme merembesi karya-karya kebanyakan tokoh utama GSB, di
antaranya Mancur Olson sebagai seorang ekonom yang memiliki
pengaruh kuat dalam paradigma ini (Rajendra Sing, 2010:135).

84
Agak sedikit berbeda dari pandangan Olson, McCarthy dan Zald
(1977) yang menempatkan peranan semangat entrepreneurship
organisasional dalam mobilisasi gerakan sosial kontemporer, selanjutnya
Oberschall (1973), Gamson (1975), Tilly et al.,(1975), Tarrow (1982),
kebanyakan dari mereka ini sulit menerima teori kalkulus individual yang
kelewat rasional dari Olson. Sebaliknya, mereka menekankan peran
kelompok-kelompok solidaritas dengan kepentingan-kepentingan
kolektif dalam aksi-aksi kolektif.
Dalam konteks itu, Oberschall misalnya menyadari bahwa
keberadaan variasi non konfliktual dari kolektivitas-kolektivitas dalam
masyarakat, merujuk pada keberadaan „kelompok-kelompok asosiasional‟
dalam masyarakat. Kelompok-kelompok asosiasional diorganisasikan
untuk maksud-maksud non konfliktual. Ada acuan kepada keberadaan
kepentingan kolektif dari Charles Tilly, insentif sosial dari Fireman dan
Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy dan Zald. Para teoritisi
Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada kelompok-kelompok aksi
kolektif dan merupakan perwujudan non utilitarian dari masyarakat.
Charles Tilly dkk, dalam The Rebellious Century (1830),
menjelaskan sentralitas pemikiran mereka terhadap keberadaan
kepentingan kolektif dan sepakat bahwa perubahan-perubahan dalam
masyarakat mempengaruhi gerakan sosial. Pergeseran utama dari
struktur kekuasaan lokal ke nasional membawa akibat kepada organisasi
dan bentuk gerakan sosial.
Berdasarkan data sejarah yang dikumpulkan oleh mereka sangat
membantu untuk memperkuat perdebatan ini dan memberikan
pembenaran bagi asumsi bahwa paradigma rasionalistik gerakan sosial
mengoperasikan pra anggapan munculnya ekonomi kapitalistik dan
negara bangsa. Mereka menolak kegagalan tesis sosial dan menolak
habis gagasan Durkheiman dan Smelserian bahwa transformasi
struktural utama mengarah ke kekacauan sosial.
Menurut mereka yang meragukan adalah apakah diskontinuitas
dengan sendirinya melahirkan anomia dan apakah anomia dengan

85
sendirinya melahirkan kekacauan individual atau kolektif (Charles Tilly,
1975:6).
Charles Tilly, berpendapat bahwa transformasi ekonomi,
urbanisasi dan formasi negara membangkitkan pergeseran karakter
gerakan dan aksi-aksi sosial, reorganisasi kehidupan sehari-hari
mentransformasikan karakter konflik (Charles Tilly, et.al, 1975:86). Untuk
hal ini, maka Tilly menggunakan frasa “repertoire aksi” untuk merujuk
bentuk spesifik, metode dan cara ekspresi perilaku dari aksi kolektif.
Tilly menujukkan bagaimana perubahan dalam kehidupan harian,
dalam populasi, lingkungan ketetanggaan, termasuk perubahan yang
mengundang migrasi dari desa ke kota, pergeseran di medan kekuasaan
dan sistem ekonomi, bahwa kesemuanya itu telah mengganti solidaritas
komunal (gemeinschaft) menjadi solidaritas asosiasional (gesselschaft).
Perubahan tertentu telah merubah medan pertemuan komunal,
dari pasar malam, festival, pasar lokal dan seterusnya menjadi seruan
disengaja atau undangan pertemuan dari dan oleh oganasisasi. Rude
(1964) menemukan perubahan-perubahan dalam sifat mobilisasi
kolektif. Konsepsi transformasi kerumunan dari bentuk pra industri
menggambarkan perubahan repertoire aksi kolektif di abad XVIII.
Kualitas letupan aksi kolektif juga berubah, dari kerusuhan soal makan,
pemberontakan pajak, dan permohonan kepada otoritas paternalistik ke
repertoire aksi kolektif abad XIX yang ditandai oleh demonstrasi dan
pemogokan.
Dalam konteks yang berbeda, Charles Tilly dalam From
Mobilization to Revolution (1978), menjelaskan bahwa dinamika
repertoire aksi kolektif, dengan mengeksplorasi bagaimana perang
terhadap pengumpulan pajak pada abad kedelapan belas mendapat
dukungan langsung dari kaum golongan kaya dari berbagai gabungan
kelembagaan pada negara nasional yang modern.
Charles Tilly menemukan bahwa, dalam negara nasional, sebuah
gerakan mengambil rupa-rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan
memiliki target pencapaian yang bersifat lebih nasional, dan tidak

86
menyerupai sebagaimana bentuk-bentuk protes yang selalu terjadi
sebelumnya.
Dengan demikian menurutnya, kerusuhan pangan atau
kekurangan bahan makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan
bagi munculnya berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi
perlawanan rakyat (Smith dan Fetner, 2007:13).
Terhadap garis besar pemikiran teorisi Olsonian itu telah
ditemukan bahwa terdapatnya beberapa titik kelemahan di samping
variasi internal dalam hal fokus dan detail, pada dasarnya bahwa
pandangan mereka mengedepankan sekumpulan gagasan sentral dalam
pendekatan studi gerakan dan aksi kolektif dalam kerangka logika
interaksi strategis dan kalkulasi cost~benefit (mengejar target
keuntungan semaksimal mungkin dengan meminimalkan resiko yang
dihadapi).
Menurut Donatella della Porta dan Mario Diani dalam karya
mereka berjudul Social Movement An Introduction, (1999), bahwa
perspektif mobilisasi sumber daya merupakan sebuah gerakan kolektif
yang sifatnya perpanjangan dari bentuk aksi politik konvensional, di
mana para aktor yang terlibat dalam gerakan bertindak secara rasional,
mengejar target dan kepentingan mereka, gerakan "pengusaha"
organisasi memiliki peran penting dalam mobilisasi sumber daya kolektif
yang dibangun dalam tindakan.
Pendapat yang sama juga disampaikan Fireman dan Gamson
dalam, Utilitarian Logic in the Resource Mobilization Perspective (1979),
dan Craig, J. Jenkins dalam Resource Mobilization Theory and the Study
of Social Movement (1983) menyatakan bahwa terjadi dominasi yang
kian dangkal dari budaya industrial modernis yang menaungi benak
Amerika.
Lahirnya kelompok-kelompok solider, komunitas-komunitas,
kelompok informal, kekariban, kelompok-kelompok utama dan formasi
dari apa yang disebut McCarthy dan Zald sebagai konstituen sadar,
merupakan jenis-jenis aksi kolektif yang tidak bisa dijelaskan dalam

87
kerangka utilitarian rasional dan dalam kerangka ketrampilan tindak
memilih individu-individu sebagaimana disiratkan oleh teori mobilisasi
sumber daya (lihat Fireman, B dan W.A Gamson, (1979) juga Jenkins,
Craig J, (1983).
Singkat kata, bahwa ketiga tokoh di atas pada dasarnya kurang
begitu sependapat dengan voluntarisme yang agak berlebihan (hyper)
dari teori mobilisasi sumber daya dalam fokus sentralnya yang
didasarkan pada sebuah sistem relasi sekumpulan asumsi yang terjalin
secara aksiomatis.
Donatella della Porta dan Mario Diani, telah memberikan kritik
tajam terhadap pemikiran teoretisi di atas, dan mereka kemudian
menyatakan bahwa gerakan sosial perspektif mobilisasi sumber daya di
atas, dianggap sebagai bagian dari proses politik yang normal.
Gerakan yang menekankan hambatan-hambatan eksternal dan
mencari peluang-peluang yang menguntungkan organisasi,
memformulasikan berbagai potensi sumber daya untuk dimobilisasi
demi pencapaian tujuan akhir dari sebuah gerakan yang dibangun.
Perluasan jaringan gerakan sosial pada sekutu elit mereka, dan
berbagai taktik atau strategi yang digunakan masyarakat untuk
mengontrol atau menggabungkan tindakan kolektif, beserta hasil yang
ingin dicapai. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang berusaha mereka
jawab adalah berhubungan dengan evaluasi biaya dan manfaatnya
partisipasi (cost and benefit) dalam organisasi gerakan sosial (Porta dan
Diani, 1999:7).
Selain itu, juga terdapat kekurangan paradigmatik mendasar yang
ditemukan dalam mobilisasi sumber daya yakni misalnya teoritisi
gerakan itu telah menempatkan aksi kolektif (collective action)
cenderung diperas menjadi teori pasar dan konsumerisme. Hal ini dapat
kita lihat dari pandangan Olson dalam The Logic of Collective Action
(1965), yang menyatakan bahwa para aktor yang termobilisasi ke dalam
aksi kolektif adalah dia yang layaknya atom terurai terpisah sendiri-

88
sendiri dan pada umumnya tak terorganisir, jadinya pandangan itu layak
dipertanyakan.
Sudah barang tentu bahwa pandangan Olson di atas telah
mengandung kelemahan tersendiri, karena ternyata dapat ditemukan
dalam kenyataan hidup sehari-hari para individu telah siap hidup dan
beraksi dalam kelompok-kelompok solider.
Demikian juga kelemahan yang terjadi dalam paradigma ini yakni
menempatkan para individu yang mengambil tindakan dalam gerakan
sosial sebagai makhluk yang memiliki motivasi instrumental utilitarian,
yaitu makhluk yang lebih rasional dan mampu bernalar dan terampil
mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan. Gerakan senantiasa ekspresi
kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu
yang lain.
Demikian juga tentang aksi dan tindakan yang diambil dalam
sebuah gerakan lebih dipengaruhi oleh motivasi materialisasi diri yaitu
tertuju kepada sumber daya ekonomi. Tujuan dari aksi yang dilakukan
hanya dipandang untuk mengejar target material pada distribusi sumber
daya.
Dalam konteks ini, para individu yang berperan dalam sebuah aksi
gerakan, hanyalah para partisipan gerakan yang bermotifkan
materialisasi diri dengan tujuan memobilisasi berbagai sarana sumber
daya yang dipertaruhkan dalam kelompok sosial yang ada.
Kelemahan mendasar perspektif ini menempatkan sasaran yang
dicapai hanyalah mengejar target politik yang diharapkan untuk
diperjuangkan. Namun selain dari motif itu, telah diabaikan, sehingga
para anggota gerakan adalah mahluk-mahluk ekonom (socios
economiculus) kalkulus hedonistik yang deterministik maupun
voluntaristik. Dengan kata lain, bahwa kelemahan yang ditemukan
paling mendasar dalam paradigma ini, yakni menempatkan teori aksi-
aksi kolektif (collective action) cenderung diperas menjadi teori pasar
dan konsumerisme.

89
Sudah sangat jelas sekali bahwa terdapat perbedaan mendasar
antara konsepsi teoritik gerakan sosial dari beberapa perspektif studi
gerakan social besar tersebut di atas, dengan konsepsi teoritik
perlawanan sosial (social resistance) merupakan sebuah model dalam
perspektif studi gerakan sosial.
Perlawanan sebagai bagian dari studi gerakan sosial merupakan
sebuah model yang mengungkapkan suatu tipe aksi sosial yang
dilakukan dengan ekspresi dan cara-cara yang lebih terselubung dan
tersembunyi secara laten. Gerakan ini sifatnya relatif tidak menentu dan
permanen bahkan terkadang lebih fleksibel dan tersembunyi secara
implisit. Model gerakan resistance ini tidak sama dengan karakteristik
serta ciri-ciri dari gerakan sosial sebagaimana yang dipahami dalam
berbagai perspektif gerakan sosial besar di atas.
Berkaitan dengan kontribusinya bagi pengetahuan studi gerakan
sosial, Scott berupaya menjelaskan perbedaan antara perlawanan dan
aksi kolektif atau dengan kata lain ingin menunjukan korelasi
perlawanan petani secara individual dan protes di pedesaan dalam
hubungannya dengan gerakan-gerakan sosial dan aksi-aksi kolektif
yang terjadi. Menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan aksi-aksi kolektif,
dengan pengecualian gerakan dan aksi yang bersifat non kekerasan dan
lebih cenderung selalu bersifat konfliktual.
Aksi konfliktual pada dasarnya lebih khusus menunjukkan aksi
perlawanan dan protes petani yang berskala besar melawan kaum kaya
dan kaum kuat di pedesaan. Aksi itu mengisyaratkan adanya
ketidakpuasan dan konflik tersembunyi. Data mengenai perlawanan
petani dan protes-protes di pedesaan merupakan data dari realitas
konflik dan aksi yang tersembunyi. Data semacam itu biasanya tidak
diperhatikan dalam studi terhadap aksi-aksi kolektif.
Menurut Scott, terdapat suatu realitas aksi politik yang luas, yang
hampir selalu diabaikan. Realitas tersebut diabaikan paling tidak karena
dua alasan yaitu; Pertama, karena aksi politik tersebut tidak menyatakan
diri secara terbuka sebagaimana halnya politik dalam artian yang

90
biasanya dipahami. Kedua, karena aksi kelompok tersebut juga bukan
merupakan aksi kolektif seperti yang biasa dipahami (Scott, 1989:5).
Argumentasi yang akan dikembangkan di sini adalah bahwa
banyak politik dari kelompok-kelompok yang tersubordinasi tersebut
yang sesungguhnya termasuk ke dalam kategori bentuk-bentuk
perlawanan sehari-hari. Oleh karena itu menurut Scott, aktivitas-aktivitas
ini haruslah secara definitif dianggap politik, bahwa aktivitas-aktivitas
tersebut merupakan sebentuk aksi kolektif dan bahwa setiap analisis
yang mengabaikan aktivitas-aktivitas tersebut seringkali juga
mengabaikan cara-cara paling vital di mana kelas yang tersubordinasi
menyatakan kepentingan-kepentingan politiknya (Scott, 1989:5).
James C. Scott, ingin meletakkan ulang sebuah pemahaman baru
mengenai ekspresi perlawanan individual atau perseorangan dalam aksi
kolektivitas yang biasanya kebanyakkan dipahami oleh para teoritisi
sebagai gerakan sosial itu, yang menurut studi mereka bukanlah masuk
kategori ekspresi aksi secara politik.
Mengapa demikian, mungkin juga salah satu alasan karena
dimensi-dimensi itu tidak menjadi perhatian yang mendalam dalam
mengamati gerakan yang terjadi. Dengan cara lain justru sebaliknya
Scott menilai, bahwa beranekaragam ekspresi individual dalam kapasitas
aksi konfliktual gerakan itu juga adalah kategori politik, tapi dalam
perspektif analisis kepada peran aktor yang bermain di dalam kelompok
aksi gerakan kolektivitas gerakan itu.
Dalam pengertian tersebut Scott agak sedikit keberatan jika tidak
memberlakukan bentuk-bentuk perlawanan sebagai sesuatu yang dekat
dengan inti relasi-relasi kelas, karena hal ini didasari pada asumsi bahwa
aktivitas-aktivitas ini menurutnya; bersifat tak terorganisir, tak sistematis
dan individual, bersifat oportunistik dan memuaskan dirinya sendiri,
tidak memiliki konsekuensi revolusioner dan yang terakhir
mengimplikasikan niat atau logika bentuk-bentuk perlawanan untuk
mengakomodasi diri dengan struktur dominasi (Scott, 1989:5).

91
Kebanyakan bentuk manifestasi dari aksi kolektif yang bersifat
terbuka dan terang-terangan seperti revolusi, huru-hara,
pemberontakan (rebels) dan gerakan-gerakan sosial, memiliki sejarah
tersendiri. Dalam fase inkubasinya, aksi-aksi kolektif yang bersifat
konfliktual ini pada umumnya tumbuh dan matang secara laten, tak
nampak dan tersembunyi.
Seni perlawanan kaum tani, modus-modus protes secara diam-
diam di pedesaan yang berlangsung secara luas melawan pihak musuh,
entah itu kelas dominan yang berkuasa atau kaum kaya di pedesaan,
bahwa aksi itu menandai proses berkembangnya penggambungan aksi-
aksi yang tampaknya bersifat individual, diskursif dan tak terorganisir.
Menurut Scott bahwa aksi-aksi terakhir inilah yang kemudian sangat
berbahaya dan bisa menjadi syarat meletusnya konflik secara terbuka
dalam gerakan sosial besar (Scott, 1989:6).
Dalam konteks pemahaman yang sama, T.K. Oommen dalam
Protest and Change: Studies in Social Movement, (1990), menggunakan
data etnografis yang diperolehnya dari desa Kerala, India, menyatakan
bahwa ia lebih suka menggunakan istilah protes (protest) ketimbang
istilah Scott perlawanan (resistance).
Dalam studinya itu, maka selanjutnya T.K Oommen
menggarisbawahi terdapat terdapat lima tipe protes berkaitan dngan
bentuk dan jenisnya yaitu sebagai berikut; Pertama, aksi-aksi kekerasan
kolektif yang terorganisir. Kedua, aksi-aksi non~kekerasan kolektif yang
terorganisir. Ketiga, mobilisasi pada level mikro (micro mobilisation)
yang bersifat non kekerasan atau kekerasan non terorganisir. Keempat,
mobilisasi pada level mikro (micro mobilisation) yang bersifat sesaat dan
tak terorganisir. Kelima, protes-protes individual (T.K Oommen,
1990:392).
Kelima tipe bentuk dan jenis protes tersebut di atas kemudian
dikonseptualisasi baik bentuk protes pada level individual dan mobilisasi
pada tingkat mikro. Penjelasan ini yang berseberangan dengan gagasan
utama yang dikembangkan dalam pokok pemikiran para teoritisi

92
gerakan sosial semula seperti pada perspektif struktural strain, mobilisasi
sumber daya sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian
sebelumnya.
Menurut T.K Oommen bahwa hampir semua studi mengabaikan
protes-protes pada level individual dan mobilisasi pada level mikro. Hal
itu mungkin disebabkan oleh posisi khusus yang diberikan pada
gerakan-gerakan terorganisir oleh para teoritisi aksi politik revolusioner
sayap kiri dan liberal, sebagai konsekuensinya, para aktor dan agen dari
aksi-aksi tersebut lenyap dari pengamatan (Oommen, 1990:392).
Lebih jauh lagi bahwa perspektif semacam itu jelas berwatak
top~down dan elitis dalam orientasinya. Penitikberatan studi-studi
subaltern pada pencatatan tradisi-tradisi oral di satu sisi, dan
penitikberatan studi-studi yang termasuk ke dalam tradisi studi gerakan
sosial, yaitu studi mengenai gerakan-gerakan sosial yang sedang
berlangsung (on going movements) ketimbang pada gerakan-gerakan
sosial yang sudah mati, di sisi lain mendorong munculnya studi terhadap
mobilisasi-mobilisasi pada level mikro dan bentuk protes sehari-hari.
Dengan demikian T.K Oommen juga menilai bahwa terdapat
suatu pemahaman yang kurang tepat, sebagaimana yang menjadi
konsepsi terhadap lapisan kaum subordinat dalam suatu masyarakat,
bahwa telah menjadi suatu gambaran umum yang keliru mengenai
kaum miskin dan yang tak berdaya sebagai kolektivitas-kolektivitas yang
jinak, lemah tak berdaya, tak kompeten bahkan lambat bereaksi namun
yang secara tiba-tiba mendadak bangkit dan terlibat dalam aksi-aksi
kolektif yang militan.
Berdasarkan data etnografis gerakan sosial yang dipungutnya dari
desa Kerala India, Oommen menemukan bahwa kondisi masyarakat
dicirikan oleh penindasan komulatif, sehingga nyaris tidak mungkin bagi
para anggota gerakan untuk menyuarakan protes secara terbuka. Maka
bentuk protes yang dilakukan berkisar mulai dari aksi pencurian di
malam hari, sampai dengan sikap pura-pura hormat kepada kalangan
kasta atas dan orang-orang kaya.

93
Elemen-elemen kunci protes diekspresikan sebagai perbedaan
yang tajam antara apa yang ditampilkan di belakang atau antara apa
yang ditampilkan di muka dan apa yang ditampilkan di belakang kaum
kaya oleh kaum miskin. Terdapat jurang kesenjangan antara penampilan
kaum miskin di muka orang banyak dengan penampilan mereka yang
sesungguhnya dibalik layar. Jadi, ada dua versi dari skenario kehidupan
tersebut yaitu; yang diatur dan yang tak diatur, yang masing-masing
dijalankan sesuai dengan situasinya (Oommen, 1990:397).
Sebagai sumbangan teoretiknya bagi studi gerakan sosial, maka
selanjutnya T.K Oommen menyatakan bahwa studi gerakan sosial
haruslah mempertimbangkan kesejarahan, elemen-elemen struktur
sosial saat ini dan visi masa depan dari masyarakat di mana elemen-
elemen tersebut lahir dan hidup. Dialektika antara kesejarahan
(pengalaman-pengalaman masa lalu) dari struktur sosial (kondisi-kondisi
eksistensial masa kini) dan dorongan akan masa depan yang lebih baik
(kreativitas manusia) yang merupakan titik fokus bagi studi atas gerakan
sosial.
Gerakan-gerakan sosial menurut Oommen, merupakan usaha
futuristik secara kolektif dari orang-orang yang optimis. Sifat asasi
mereka bisa kita lihat terletak dalam interaksi antara sejarah, struktur
sosial, dan visi akan masyarakat di masa depan (Oommen, 1990:30).
Dalam konteks itu maka kelihatan sekali, dimana Oommen tampaknya
telah memperbaiki pemahaman yang dianutnya dulu yang
memperlakukan gerakan social sebagai faktor perubahan. Perbaikan itu
terlihat dari usahanya meletakkan tingkatan tertentu sifat otonomi dan
imanensi gerakan sosial sebagai fenomena sosial yaitu sebagai berikut :
gerakan sosial bukanlah sesuatu yang kebetulan muncul, juga
bukan sepenuhnya hasil dari manipulasi para pemimpin dan
demagog, namun merupakan konsekuensi dari usaha-usaha yang
dijalankan secara sadar oleh orang untuk mengubah sistem di
bawah cahaya pengalaman masa silam mereka dalam rangka
untuk menghindari diri dari kekeliruan-kekeliruan.

94
Inti dari pemikiran T.K Oommen tersebut di atas ingin meletakan
ulang fokus penekanannya pada sifat otonomi dan keimanensian
gerakan sosial (baca; perlawaan sosial) yang kemudian pemahaman
tersebut dekat dengan inti pemikiran M.S Gore, Rajendra Singh dan lain-
lain. Selain itu, di sini, tampaknya Oommen juga telah mengambil alur
proses yang bertentangan dengan gagasan Charles Tilly (1978),
Oberschall (1973), Gamson (1975), Tilly dkk (1975) dan Tarrow (1982)
sebelumnya mengenai keberadaan kelompok-kelompok asosiasional
dalam masyarakat.
Menurut para teoritisi di atas bahwa kelompok-kelompok
asosiasional diorganisasikan untuk maksud-maksud non konfliktual. Ada
acuan kepada keberadaan kepentingan kolektif dari Charles Tilly, insentif
sosial dari Fireman dan Gamson, dan konstituen sadar dari McCarthy
dan Zald. Para teoritisi Olsonian ini menawarkan sumber daya kepada
kelompok-kelompok aksi kolektif dan merupakan perwujudan non
utilitarian dari masyarakat.
Kritik keras yang pernah dilancarkan Oommen terhadap Tilly,
tertuang di dalam From Mobilization to Revolution (1978) bahwa di
dalam negara nasional, sebuah gerakan sesungguhnya mengambil rupa-
rupa baru, dan bentuk-bentuk perlawanan memiliki target pencapaian
yang bersifat lebih nasional, dan tidak menyerupai sebagaimana bentuk-
bentuk protes yang selalu terjadi sebelumnya. Dengan demikian
menurutnya dalam contoh kerusuhan pangan atau kekurangan bahan
makan seperti roti misalnya, telah membuka jalan bagi munculnya
berbagai asosiasi yang lebih terstruktur bagi perlawanan rakyat (Smith
dan Fetner, 2007:13).
Dalam konteks itu, maka sesungguhnya Oommen berseberangan
dengan gagasan Tilly dkk, dan cenderung mengikuti arah pemikiran
Weberian sebelumnya mengenai gerakan kharismatik dan proses
pembiasaan mereka sesudahnya (their subsequent routinisation).
Menurut Oommen dapat diajukan pertanyaan lebih mendasar secara
metodologis dari studi gerakan sosial sebagaimana di masyarakat India

95
misalnya yang berkaitan dengan, yaitu pertama; skala gerakan sosial itu,
kedua; unit-unit dan level pengamatan.
Hampir sama dengan pandangan Scott dan kritik teoritik
terhadap studi gerakan social, lebih jauh rupanya Oommen menyajikan
sebuah rangkaian makna konotatif yang berwatak instrumental pada
konsep gerakan sosial. Menurutnya gerakan sosial merupakan aksi-aksi
kolektif sebagai sebuah mekanisme yang diciptakan manusia-manusia
untuk bergerak pindah dari posisi periferi dalam sistem ke pusat sistem
(Oommen, 1990a:12).
Pada dasarnya bahwa Oommen setuju dengan sifat otonomisasi
dan imanensi dari aksi protes dan gerakan perlawanan di suatu
masyarakat, akan tetapi ia lebih menambahkan bahwa hal itu terjadi dan
tidak terbatas pada situasi level masyarakat petani atau kelas-kelas
sosial yang tersubordinasi, sebaliknya sebagai sebuah fenomena sosial
yang bersifat umum adanya. Sebagai sebuah fenomena, yakni
kehidupan sosial yang sangat bersifat saling merembesi dan prakteknya
dijalankan begitu luas sehingga tak mungkin lagi dibatasi atau hanya
dimonopoli sebagai milik kelas kaum miskin dan lapisan tersubordinasi
dari petani kecil saja.
Oleh karena itu, Oommen mengingatkan kita kembali bahwa
beragamnya ekspresi perlawanan atau protes dalam situasi-situasi yang
berbeda-beda dalam kehidupan sosial haruslah menjadi perhatian
bahkan harus dieksplorasi sedemikian rupa. Sifat otonomisasi dan
keimanensian aksi perlawanan dan protes itulah sebagaimana dikatakan
Rajendra Singh saling merembesi di mana penggunaan seni perlawanan
dan protes ada sejumlah kaitannya dengan proses pembentukan
masyarakat dan struktur sosial.
Sifat otonomisasi aksi protes Oommen tersebut di atas
selanjutnya menjadi inti pembahasan M.S Gore dalam karyanya The
Social Context of an Ideology: Ambedkar‟s Political and Social Though
(1993). Gore mengupas peranan ideologi Ambedkar‟s dalam kaitannya
dengan aksi protes. Konseptualisasinya tentang peranan ideologi ini

96
yang akan kita bahas kemudian, akan tetapi yang pertama kita pahami
dalam karyanya di atas yakni secara umum berawal tentang bagaimana
inti pemikirannya mengenai masyarakat.
Konseptualisasi yang sedikit agak lebih maju, dalam hal
kemampuan Gore menyatukan konsepsi fungsionalis (Martonian)
tentang masyarakat sebagai keseluruhan dengan anggota individualnya
yang merupakan unit yang kongkrit dari dari keseluruhan yang abstrak,
yakni masyarakat.
Hal ini jelas merupakan suatu peralihan besar dalam perspektif
fungsionalis yang lebih kritis dari Gore untuk memandang data sosial
dan menjelaskan masyarakat dan proses sosial gerakan-gerakan sosial.
Namun untuk menguji pemikiranya tersebut, maka kemudian Gore
menyajikan data sosial India terhadap ideologi Ambedkar sebagai
bentangan gerak sebuah ideologi protes sebagai seperangkat konsep
maupun sebagai sebuah gerakan sosial.
Inti konsepsi Gore adalah tentang masyarakat berbasis nilai
(value~based society) didasarkan pada prinsip-prinsip normatif serta
didasarkan pada pemahaman akan terus berlangsungnya praksis sosial.
Cara pandangnya atas gerakan sosial sebagai hasil logis dari struktur-
struktur stratifikasi sosial yang tidak sempurna di mana gerakan social
itu berlangsung melalui interplay di antara nilai, ideologi dan aksi sosial
(Gore, 1993:19-23). Kedua hal tersebut merupakan cerminan dari
pemikiran humanis dari seorang ilmuwan sosial yang meletakkan titik
berat pada persoalan-persoalan keadilan sosial, kebebasan, kesetaraan
dan kebebasan yang abadi dalam masyarakat India.
Gerakan sosial bagi Gore mendapatkan makna dan definisi dari
kemampuannya menjadi agen historis serta sebagai sebuah strategi
perubahan sosial. Semua gerakan yang berjuang demi perubahan
melibatkan suatu wawasan baru, suatu perspektif baru, suatu perluasan
atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada
yang mungkin berawal dari seorang individu atau sekelompok kecil
individu yang kemudian menyebarluaskan cara berfikir mereka dengan

97
cara memobilisasi individu-individu yang berfikiran serupa yang
nantinya akan memperluas penyebaran persepsi-persepsi baru, nilai-
nilai baru dan praktek-praktek baru (M.S Gore, 1989:1).
Konsepsi Gore di atas memiliki kesamaan landasan konstruksi
teoritik mendasar atas jawaban pertanyaan yang pernah diajukan Scott
sebelumnya, yakni dalam hal melihat aksi perlawanan petani secara
individual dan protes di pedesaan dan korelasinya dengan aksi-aksi
gerakan-gerakan sosial dan aksi-aksi kolektif. Dalam konteks ini Scott
mengkaji korelasi antara perlawanan dan aksi kolektif. Gerakan-gerakan
social dan aksi-aksi kolektif menurutnya dengan pengecualian gerakan
dan aksi yang bersifat non kekerasan selalu bersifat konfliktual.
Berikut ini bagaimana Gore melekatkan makna serta memberikan
definisi gerakan sosial sebagai berikut; gerakan sosial bukanlah sebuah
ekspresi sosial yang bersifat istimewa. Gerakan-gerakan tersebut ada
kaitannya dengan kerangka nilai dari masyarakat di mana masyarakat ini
sendiri pada hakekatnya digerakkan oleh dan untuk mendapatkan
kebebasan, kesetaraan dan keadilan sosial (Gore, 1989a:15).
Struktur gerakan sosial dalam dimensi sejarah mengikuti sebuah
jalur dialektis yang terus-menerus berusaha mewujudkan kebebasan
dan keadilan, dan bukannya menuju ke sebuah takdir revolusi kelas
yang telah tertentu dan beku yang akan menjadi tujuan akhir dari
sejarah seperti yang dianut oleh Marx dan para pengikutnya.
Dalam gerakan sosial yang patut diperhitungkan juga adalah
terdapat agen-agen dan aktor-aktor yang menjalankan fungsi sebagai
agen historis dan melakukan aksi-aksi sosial. Dengan kata lain terdapat
individu-individu atau kelompok kecil individu yang akan menjalankan
proses mengarahkan perubahan-perubahan (kearah yang diinginkan)
dalam tubuh kerangka nilai masyarakat.

98
4.2. Berbagai Perspektif Perlawanan
4.2.1. Perspektif Moral Ekonomi (Moral Economy)
Perspektif moral ekonomi merupakan salah satu dari sekian
banyak pendekatan (seperti pendekatan ekonomi politik dan historis)
dalam mengkaji gerakan perlawanan petani. Perspektif ini sebenarnya
sudah lama muncul dalam gagasan pemikiran Wolf sebelumnya (1969),
Scott (1976) dan Migdal (1974).
Dalam catatan sumber yang ada, secara umum bahwa
pendekatan moral ekonomi lebih menitikberatkan perhatian pada
sumber-sumber ancaman eksistensi petani sebagai subsistem sosial
yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan struktur politik kebijakan
ekonomi yang sedang terjadi sehingga para petani merasa
kesejahteraanya terusik bahkan terancam dipertaruhkan oleh perubahan
struktur kebijakan yang berubah.
Dimensi gagasan ketidakadilan terutama dalam studi politik
mobilisasi sebenarnya memiliki lintasan sejarah panjang. Penelitian Scott
(1976) sebelumnya terhadap pemberontakan petani di Asia Tenggara,
merupakan hasil dari penelitian pertamanya yang telah mempekerjakan
konsep tentang moral ekonomi.
Dalam konseptualisasinya itu, Scott menemukan bahwa petani
dalam konteks sejarah di era kolonialisasi Asia Tenggara terlibat dalam
pemberontakan terbuka hanya terjadi ketika ambang batas moral
tertentu yang menyimpang.
Atau dengan kata lain bahwa ketika wajah sistem politik ekonomi
dan sosial benar-benar telah bergeser terlalu jauh dari konsepsi
kesempatan pembagian modal ideal terhadap sumber daya maka akan
mendorong peluang terjadinya bentuk perlawanan, maka dari itu Scott
menyebutnya sebagai gagasan keadilan moral ekonomi petani (Scott,
1976).
Lebih lanjut dalam pandangan Scott, moral ekonomi petani
adalah sebuah bentuk yang sangat mendasar yang menekankan
pengertian ekuitas distributif dan jaminan keamanan subsistensi lebih

99
daripada hanya sekedar persoalan klaim tanah sebagai aset pribadi yang
tidak dapat diganggu gugat keberadaannya (Timothy Gorman,
2014:509).
Sementara itu dalam pemahaman yang sama, Rusell Keat dalam
karyanya berjudul, Every Economy is a Moral Economy (2004) dalam arti
terbatas juga menjelaskan bahwa moral ekonomi petani dapat merujuk
pada klaim terhadap tata aturan, norma dan nilai-nilai kesejahteraan
yang layak dalam mengatur hubungan antara manusia dengan yang
lainnya, batasan yang benar dari apa yang ingin diharapkan berkaitan
dengan akomodasi kepentingan bersama. Termasuk juga prinsip-prinsip
yang berhubungan dengan keadilan pendapatan dan keuntungan
distributif dan sebagainya.
Penilaian tersebut juga sering disebut sebagai tujuan yang
dianggap ideal terkait erat dengan gambaran hak yang layak diterima
atau diraih seperti yang diinginkan atau diharapkan oleh masyarakat
petani dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pandangan seperti sama
seperti yang pernah dikemukakan Scott sebelumnya bahwa moral
ekonomi menyiratkan sebuah persepsi khusus terhadap suatu keinginan
dan harapan petani untuk mendapatkan atau memperoleh keuntungan
sebagaimana yang sepatutnya diharapkan terhadap dari kalangan elite
kekuasaan yang tidak bisa ditoleransi.
Dengan kata lain, moral ekonomi petani merupakan sebuah studi
yang secara khusus memahami bagaimana tuntutan para petani mampu
membedakan antara situasi adil dan yang tidak adil dalam kehidupan
mereka sehingga keadaan tersebut dapat menjadi suatu alasan
mendasar sehingga para petani marah atau yang lebih mungkin dapat
menjadikan mereka sebagai kelompok marginal yang lebih ekstrim
untuk melakukan perlawanan yang lebih aktif secara terbuka (Peter
Henningsen, 2001:26).
Secara politik ekonomi bahwa perspektif moral ekonomi melihat
gerakan petani sebagai reaksi depensif terhadap penetrasi kapitalis
untuk melindungi struktur sosial ekonomi pra kapitalis yang mereka

100
miliki. Secara nyata sruktur kehidupan demikian memberikan iklim
kehidupan kesejahteraan dan ketentraman kepada para petani.
Masuknya sistem kapitalis dalam komunitas petani ditentang keras,
karena dianggap akan mengancam pranata-pranata sosial budaya yang
selama ini dibangun dalam kehidupan petani (Basrowi & Sukidin,
2003:2) .
Hasil penelitian Scott tentang, The Moral Economy of the Peasant
(1976) menjelaskan bahwa kehidupan para petani sebagai sebuah
subsistensi sosial pedesaan memiliki sistem kebudayaan dengan pola
hidup yang dianut secara egaliter, terutama memperhatikan nilai-nilai
gotong royong, tolong menolong termasuk juga dalam memahami
dinamika perubahan dan persoalan yang terjadi secara kolektif dilihat
untuk kepentingan bersama dalam suatu masyarakat.
Petani tradisional yang memiliki budaya subsistensi yang kuat
menganggap perubahan yang terjadi sebagai akibat penetrasi kapitalis
di pedesaan sehingga membahayakan kelangsungan hidup, adat
istiadat dan hak-hak sosial yang istimewa secara tradisional yang
mereka miliki terancam. Oleh sebab itu, maka kehidupan para petani
mengambil sikap defensif terhadap perubahan sistem yang sedang
terjadi menimpa mereka, sehingga memicu adanya gerakan perlawanan
yang meliputi beberapa aspek mendasar yang berhubungan dengan
perlawanan yaitu sebagai berikut :
a) Adanya reaksi terhadap perubahan yang yang dianggap akan
mengancam kelangsungan hidup para petani yang berada
dalam kondisi subsistem.
b) Terdapat faktor mendasar dalam melakukan perlawanan di
antaranya unsur kepemimpinan biasanya berasal dari tokoh
atau figur elit desa. Tanpa adanya pemimpin dalam gerakan
maka perlawanan tidak akan mungkin terjadi dalam
masyarakat.
c) Protes dan perlawanan bahkan revolusi petani sebagai suatu
tindakan defensif melawan dampak sistem kapitalisme global

101
yang secara tidak langsung memberikan efek dan ancaman
terhadap keamanan dan kemapanan subsistensi kehidupan
sosial dan tradisi kultural masyarakat petani di desa (Basrowi
& Sukidin, 2003:27-28).

Salah satu kunci utama dari perlawanan petani di Asia Tenggara


dalam konteks struktur sosial ekonomi yang diamati Scott, di mana para
petani dalam perlawanan menggunakan prinsip “dahulukan selamat”
dan menjauhkan garis bahaya. Prinsip utama dalam perlawanan petani
inilah disebut moralitas ekonomi petani di mana perlawanan petani
bertujuan mencoba mengikis prinsip-prinsip mendasar dominasi,
marginalisasi struktur nilai-nilai yang mengancam dan merugikan
eksistensi subsistensi mereka sebagai lapisan sosial yang semakin
dimarginalkan oleh perubahan struktur ekonomi yang tidak memihak
kepentingan-kepentingan tradisional mereka di desa.
Ekonomi petani mengakar pada sebuah gagasan tentang moral
dan keadilan ekonomi. Moral ekonomi menyiratkan persepsi khusus
yang dapat digambarkan sebagai tuntutan yang tidak dapat diterima
dan ditoleransi terhadap tindakan elite kekuasaan.
Dalam pengertian itu, para petani menuntut terhadap sesuatu
yang menjadi sumber yang melahirkan ketidakadilan bagi kehidupan
mereka. Oleh karena itu, maka studi terhadap moral ekonomi petani
tersebut dapat memberikan sebuah petunjuk untuk memahami apa
yang dapat membuat petani keras kepala bahkan marah sehingga
mereka kemungkinan dapat melakukan tindakan lebih ekstrem dalam
bentuk perlawanan yang lebih aktif.
Jauh sebelumnya, sejarawan Francis yang terkenal, Claus Bjorn
dalam Bonde Herremand Konge (terj., Peasant, Lord and King, (1981),
menggambarkan bagaimana persepsi terhadap persoalan tentang
ketidakadilan dalam kehidupan petani juga pernah terjadi di Eropa
sekitar abad 18. Menurutnya, para petani di sana rupanya tidak
menerima penguasaan tanah yang luas dari kalangan feodal sebagai

102
kenyataan yang seolah-olah hal itu layak diterima sebagai sesuatu yang
menurut mereka tidak adil, bahkan ketika mereka harus bekerja
tambahan di luar kawasan perkebunan milik tuan tanah yang berada di
wilayah tempat tinggal mereka sendiri.
Pada sisi lain, dalam konteks itu mereka sebagai pihak yang lemah
kerabkali selalu dihina terkadang juga mendapatkan perlakuan yang
kurang adil dari para tuan tanah pemilik lahan perkebunan. Bahkan pada
waktu jika mereka tidak bekerja, terkadang diperintahkan untuk bekerja
tambahan di luar tugas utama untuk mengolah lahan perkebunan yang
saat itu dianggap tidak lazim untuk dikerjakan. Walaupun terkadang
mereka tidak diberikan upah kerja yang layak, sebagaimana yang
seharusnya diterima oleh para petani umumnya di tempat mereka.
Hubungan antara pemilik dan penyewa tanah dapat dilihat
sebagai sebuah keseimbangan, pada satu sisi adalah bagian dari negara,
dan keseimbangan tersebut dapat dilihat selalu lebih mendukung
kepentingan para pemilik tanah (tuan tanah) dari pada petani
penggarap tanah.
Namun pada sisi yang lain terutama bagi para petani penggarap
bahwa hal itu dipahami sebagai sesuatu yang harus diterima sebagai
norma pekerjaan yang semestinya mereka lakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai imbalannya maka pemilik tanah wajib memberikan
upah atas jasa moral layanan yang diberikan petani penggarap sebagai
pihak yang dianggap berhak mendapatkannya.
Harapan moral petani kepada pemilik tanah tersebut akan rusak
apabila moral ekonomi itu diabaikan oleh tuan tanah sebagai pemilik
tanah perkebunan. Hal tersebut selalu terjadi terutama ketika
berhubungan dengan peningkatan jumlah pekerjaan yang banyak
ditawarkan oleh para petani pemilik tanah yang tidak disesuaikan
dengan imbalan upah layak yang sepatutnya diberikan atau diterima
oleh petani sebagai pihak penggarap lahan.
Menurut Scott, nilai moral ekonomi dapat muncul karena dilema
ekonomi yang terjadi, di mana sebagian besar keluarga petani

103
tradisional di desa menemukan eksistensi mereka, sebagai petani yang
sejak lama hidup dalam subsistensi yang selalu berada pada posisi
tersubordinasi, sehingga rentan menjadi korban yang selalu
diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang oleh pihak
otoritas penguasa setempat yang lebih kuat dalam struktur sosial di
masyarakat.
Dalam pandangan ekonomi neoklasik, keluarga petani sebagai
lapisan sosial tersubordinasi tidak memiliki kesempatan yang luas dalam
memaksimalkan keuntungan mereka. Namun apa yang dapat dilakukan
petani, biasanya secara tipikal melakukan tindakan yang terkadang lebih
banyak menghindar daripada mencoba untuk mengejar keuntungan
karena dianggap dapat merugikan diri mereka sendiri.
Bagi petani untuk melakukan aksi penentangan langsung secara
terbuka akan menimbulkan lebih banyak resiko terhadap eksistensi
mereka sendiri. Akibatnya, maka dampak perilaku ekonomi mereka juga
tidak terlalu bersemangat untuk mengambil segala resiko karena
diarahkan untuk meminimalkan kemungkinan kerugian yang diderita.
Pandangan yang sama juga sebagaimana yang dikemukakan oleh
sejarawan ekonomi terkemuka Amerika, Donald N. McCloskey (1976)
menyatakan bahwa pembagian lahan komunal ke banyak bagian
merupakan contoh tindakan petani yang berupaya minimalisasi risiko
yang akan terjadi dan prinsip ini seperti yang dikatakan Scott sebagai
safety first atau aksi/tindakan dahulukan selamat.
Prinsip tindakan dahulukan selamat (The Safety First) itu lebih
banyak diarahkan terhadap pengaturan masalah teknologi, sosial, dan
moral pertanian pra modern. Dalam masyarakat tradisional pedesaan
umumnya di Eropa misalnya, penggunaan lebih dari satu jenis varietas
tanaman untuk lahan yang sempit merupakan teknik klasik untuk
menghindari kerugian yang ditimbulkan, walaupun mengorbankan
kemungkinan prospek keuntungan yang lebih besar dapat diterima oleh
petani.

104
Dalam masyarakat desa fungsi berbagai lembaga sosial
diharapkan menjamin distributif pendapatan bagi penduduk. Eksistensi
pembagian lahan yang dipertahankan, yang mana akan didistribusikan
secara berkala di beberapa tempat, termasuk distribusi pada akses
tanah-tanah penggembalaan umumnya di desa-desa Eropa.
Sehubungan dengan hal itu, maka ketegangan-ketegangan sosial
yang kemungkinan dapat terjadi di desa dapat diatasi oleh adanya
sistem redistributif tersebut, yang sekali lagi bahwa hal itu walaupun
dalam argumentasi yang terbatas, akan tetapi merupakan suatu gagasan
yang terbaik menurut petani.
Menurut Michael Lipton (1969) tampaknya banyak yang harus
dimengerti dalam sudut pandang tradisi dan kebiasaan masyarakat di
desa yang unik dan sebenaranya lebih masuk akal bila menempatkan
mereka sebagai pihak yang mencoba menginginkan adanya suatu
jaminan yang terselubung dalam melindungi subsistensi kehidupan
mereka yang lebih baik sebagai petani di desa.
Perilaku ekonomi petani dalam hal ini adalah harapan dari setiap
individu untuk menolak nafsu dan keinginan pihak tertentu yang
menginginkan profit atau keuntungan besar dengan mengorbankan
orang lain.
Dengan demikian maka keinginan seperti itu pasti akan
berhadapan dengan etika masyarakat desa yang menilai bahwa setiap
orang memiliki hak moral untuk bertahan hidup, karena takut
kehilangan segalanya jika salah mengambil peluang yang berlebihan,
dan gagasan tentang yang baik tersebut walaupun terbatas pada
norma-norma yang ditentukan dan dipahami dalam masyarakat.
Bagi petani yang hidup dan bertahan ibarat berendam, batas air
sampai ke leher, tidak pernah bertanya atau mempersoalkan tentang
investasi atau keuntungan tetapi sebaliknya hanya memiliki suatu
keinginan atau harapan mendasar agar hasil panen yang didapatkan
cukup untuk mengamankan kelangsungan hidup, sehingga keluarga
mereka juga secara ekonomi relatif aman.

105
Perilaku ini adalah akibat langsung dari lingkungan fisik petani,
dan ia memahami sendiri bagaimana situasinya bukanlah ditekan secara
politik. Dia tidak berharap untuk, katakanlah, revolusi politik atau
teknologi baru yang bisa meminimalkan efek dari keinginan alam, akan
tetapi mereka berharap perilaku yang benar secara moral dari pihak-
pihak elit yang memiliki otoritas sebagai pihak yang berkuasa di
masyarakat.
Menurut mereka semua orang punya hak untuk mendapatkan
sebuah penghidupan yang layak atau lebih baik, dan perilaku
kesewenangan dari pihak tetangga mereka sebagai golongan elit
pemilik tanah di desa akan diukur menggunakan batasan moral
tersebut.
Menurut Scott, petani dapat menjadi marah dan tidak puas,
apabila sesuatu yang telah diyakininya terhadap sumber kebutuhan
hidupnya telah dirampas apalagi dihapus dan hal tersebut dapat
menyebabkan gangguan yang dapat menimbulkan pemberontakan.
Kerusuhan petani yang pernah terjadi di Denmark tahun 1760 secara
luas adalah salah satu contoh yang baik tentang bagaimana peristiwa itu
terjadi.
Demikian, prinsip moral semua orang adalah hak subsistensi yang
berakar dalam praktik ekonomi masyarakat petani dan dalam semua
jaringan dan pertukaran sosial, dan prinsip tersebut adalah latar
belakang yang diinginkan terhadap pihak berwenang untuk mengukur
tingkatan pendapatan petani. Untuk alasan tersebut maka tuntutan
dikehendaki secara periodik disesuaikan dengan pendapatan atau hasil
panen yang diperoleh para petani, yang dianggap kurang terlalu
memberatkan dari pada tetap membayar pajak sedangkan hasil panen
tahun tersebut kurang beruntung didapatkan.
Bagi para petani dalam kehidupan mereka, bahwa pada tahun
yang baik ketika pendapatan hasil panen yang baik, tidak ada masalah
untuk membayar pajak tetapi dalam tahun yang buruk hal tersebut
menjadi tidak mungkin. Berbeda dengan pajak yang disetor sebagai

106
iuran itu, bahwa sistem bagi hasil, misalnya dalam zakat yang
merupakan setoran yang akan disesuaikan pada variabel naik atau turun
akan ditentukan atau disesuaikan dengan kondisi panen yang ada.
Sejalan dengan pemahaman Scott tersebut, Michael Lipton (1969)
pernah juga mempelajari harapan petani contohnya di India untuk
membagikan produksi hasil pertanian mereka sebagai ganti
pembayaran pajak tetap yang selalu diberikan. Jaminan sistem yang
diinginkan petani tersebut merupakan upaya petani untuk menghadapi
situasi ketika sedang mengalami kegagalan musim panen yang buruk.
Upaya menurunkan jumlah pembayaran pajak hasil, ketika
menghadapi panen yang buruk dan menghindari turunnya harga
produksi yang terlalu rendah terhadap hasil panen pada tahun yang
baik, maka dari itu para petani setempat tidak perlu menjual hasil panen
jagung mereka untuk mendapatkan uang tunai untuk membayar iuran
tetap.
Dengan kata lain, ada perbedaan antara eksploitasi dan
bagaimana eksploitasi terhadap kaum tani oleh kekuasaan yang
sebenarnya dirasakan langsung oleh petani sendiri. Bentuk-bentuk
eksploitasi ekonomi yang memberi petani tingkat jaminan keamanan
(misalnya pembayaran zakat) dianggap jauh lebih sedikit eksploitatif
apabila dibandingkan dengan ketentuan yang dibuat tanpa
memperhatikan kondisi ekonomi para petani.

4.2.2. Perspektif Ekonomi Politik (Economy Politic)


Pendekatan ekonomi politik semula dipelopori oleh Popkin. Ia
dalam bukunya berjudul, The Rational Peasant: The Political Economy of
Rural Society in Vietnam (1979), berpendapat bahwa semua bentuk
perlawanan petani bukan untuk menentang Revolusi Hijau atau
menentang perubahan tetapi sebaliknya hanya bertujuan untuk
menentang praktek kekuasaan para elit di desa.
Petani kaya yang mengatasnamakan komunitas tradisional demi
mempertahankan institusi yang lebih menguntungkan mereka (para

107
petani kaya) dan justru sebaliknya lebih cenderung menghimpit
kehidupan petani miskin. Bagi Popkin, Revolusi Hijau telah banyak
membawa dampak positif bagi Asia daripada dampak negatif.
Ia sama sekali menolak pendapat bahwa Revolusi Hijau
menyebabkan petani meninggalkan desa dan menuju kota yang
mengakibatkan naiknya pengangguran di kota serta tumbuhnya
kelompok miskin di kota. Pendapat itu bagi Popkin, dipengaruhi oleh
pemikir Eropa yang sudah lama mati, seperti misalnya yang pernah
terjadi pada pemikiran Marx dan Tawney (Popkin, dalam Prisma No. 9
Tahun 1989:65-72).
Dalam kerangka ini, gerakan petani terjadi ketika sebagian besar
individu merasa dirugikan dan setelah melakukan tawar-menawar,
mereka bersepakat untuk melakukan perlawanan. Untuk lebih jelasnya
Popkin (1979:258) mengajukan argumennya dengan menyatakan
sebagai berikut :
collective action require more than consensus or even intensity of
need. It requires conditions under which peasant will find it in their
individual interest to allocate resources to their common interest.

Dengan kata lain, Popkin justru sebaliknya menentang bahkan


menolak anggapan penganut moral ekonomi yang lebih menganggap
bahwa protes dan gerakan petani sebagai reaksi defensive untuk
mempertahankan institusi tradisional mereka dan norma-norma
resiprositas mereka dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme yang
sedang terjadi.
Dari hasil penelitiannya tersebut, Popkin menjelaskan masalah
yang menyangkut logika tindakan kolektif dan pengambilan keputusan
secara rasional dari para petani. Petani merupakan pribadi-pribadi yang
bebas mengembangkan kreativitasnya secara rasional. Petani adalah
manusia biasa, yang sama dengan kebanyakan orang-orang lainnya
yang mengingingkan kaya. Kesempatan ini bisa didapatkan seandainya

108
petani memiliki akses yang lebih leluasa dengan pasar (Popkin dalam
Prisma No. 9 tahun 1989:69).
Maka dari itu kemudian Popkin mengajukan suatu pemikiran
untuk menghapuskan pengelolaan pemerintah terhadap fasilitas-fasilitas
yang menyangkut hidup orang banyak sehingga petani dapat menjual
hasil pertaniannya sendiri ke pasar tanpa perantara. Mereka
mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan kualitas organisasi di
mana mereka memberikan kontribusinya. Oleh sebab itu, maka
kemudian Popkin (1979:259) manyatakan demikian :
when a peasant makes his personal cost-benefit calculations about
the expected returns on his own inputs, he is making subjective
estimates of the credibility and capability of organizer, „the political
entrepreneur‟, to deliver…..whether the entrepreneur is directly
exchanging immediate individual benefits for peasant inputs or
trying to convince the peasant that is action can have a perceptible
and profitable impact on the collective good, he must be concerned
with increasing the peasant‟s estimates of the efficacy of his
contribution to secure the promised return.

Sikap rasional petani disebabkan motivasi memperoleh


keuntungan sebesar mungkin. Dengan demikian petani, pada dasarnya
bersifat rasional individual dan berusaha memaksimalkan keuntungan.
Hal ini nampak dalam logika tindakan kolektif serta proses pengambilan
keputusan oleh para petani.
Mereka mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan kualitas
organisasi di mana mereka memberikan konstribusinya. Dalam hal itu,
bagi Popkin, campur tangan organisasi politik di luar masyarakat petani
merupakan faktor yang bisa menndorong tumbuhnya kesadaran petani
melakukan revolusioner atau political entrepreneur.
Untuk mempertegas kembali argumentasinya itu, maka Popkin
(1979: 245-246) dalam penelitiannya berhasil menunjukan tiga argumen
penting yaitu pertama, gerakan yang dilakukan oleh para petani adalah
gerakan anti feodal, bukan gerakan restorasi untuk mengembalikan

109
tradisi lama, tetapi untuk membangun tradisi yang baru; bukan untuk
menghancurkan ekonomi pasar, tetapi untuk mengontrol kapitalisme.
Kedua, tak ada hubungan yang jelas antara ancaman terhadap
subsistensi dengan tindakan kolektif. Ketiga, isu yang berkembang
bukan ancaman pada kelas, tetapi pada resiko individual yang ikut
berpartisipasi. Dengan kata lain, ada perbedaan yang jelas antara
rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok.
Oleh sebab itu, maka pendekatan ekonomi politik di atas,
mendasarkan diri pada konsep manusia sebagai makhluk yang
mempunyai kesadaran pribadi individual dan selalu menggunakan
perhitungan rasional (kalkulasi untung dan rugi) dalam bertindak. atas
dasar asumsi ini pendekatan ekonomi politik memfokuskan
perhatiannya pada factor pengambilan keputusan individual yang
berorientasi ada prinsif efisiensi dan efectivitas dalam melakukan setiap
tindakan dan perluasan peranan desa dalam kehidupan ekonomi
sebagai factor penentu terjadinya gerakan kolektif.
Pendekatan ekonomi politik tidak menolak adanya beberapa
factor kunci yang diketengahkan oleh pedekatan moral ekonomi, seperti
sistem social pedesaan yang memiliki solidaritas kuat, kondisi
perekonomian subsisten, dan hubungan produksi pra kapitalis. Akan
tetapi penafsiran pendekatan ekonomi politik terhadap factor-faktor ini
dikembalikan kepada beroperasinya mekanisme kepentingan timbal-
balik para individu yang menjadi anggota komunitas yang
bersangkutan.
Hasil penelitian Popkin tersebut di atas, sejalan dengan
pendahulunya yaitu Alfred Marshall (1842-1924) yang menyatakan
bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu
memaksimalkan rasionalitasnya. Salah satu unsur teori rasionalitas
masyarakat adalah utility.
Dengan adanya utilitas ini maka manusia dapat menghitung nilai
sesuatu yang akan dipertukarkan (Waters, 1994:6). Hal yang sama juga
pernah dikatakan Pareto (1848-1932) yang menyatakan bahwa ada dua

110
bentuk utility yaitu economic utility yang berkaitan dengan nilai-nilai
materiil dan moral utility yang berhubungan dengan perkembang moral.
Meskipun demikian, keduanya masih dapat dikaitkan dengan
rasionalitas (Waters, 1994:61).

4.2.3. Perspektif Sejarah (History Perspective)


Pendekatan ini lebih memfokuskan studi terhadap gerakan petani
terkait dengan keberadaan sejarah yang mengangkat isu dan tema-
tema cerita diseputar masalah sejarah mengenai misalnya mitos
kepahlawanan, tokoh heroik, perbanditan atau heroisme tokoh sejati
tertentu yang dianggap pernah hadir menyelesaikan persoalan yang
dihadapi dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi.
Pandangan di atas sudah barang tentu mengingatkan kita
kembali pada pandangan sejarawan budaya Indonesia yaitu
Kuntowijoyo (1993) yang menyatakan bahwa alam semesta (kosmologi)
dan pemahaman masyarakat tentang dunia manusia (kosmogoni) dalam
sejarah ruang dan waktu tertentu mewarnai catatan penting tentang
penceritaan sejarah figur budaya tersebut yang dianggap sebagai tokoh
yang mampu menyelesaikan persoalan ketidakadilan sosial, kekacauan
ekonomi maupun politik yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu.
Dalam perspektif historis, gerakan petani di masa lalu itu lebih
menitikberatkan basis pemahaman ideologi menjadi sumber paham dan
cita-cita penting dalam sebuah gerakan yang dilakukan. Kecenderungan
gerakan ideologi dalam gerakan petani cenderung berbasis pada tradisi
ideologi kultural yang digambarkan radikal dan lebih revolusioner dalam
aksi-aksi dan tindakan para pengikut gerakan massa yang frontal
penggunaan cara-cara kekerasan secara massif.
Maka dari itu, tidak mengherankan jika kemudian isu-isu sentral
tentang kekerasan kolektif tersebut sangat dominan dalam penulisan
gerakan perlawanan petani kemudian seperti contoh tema studi
misalnya revolt, rebel, riots dan lainnya sebagainya secara dominan

111
menginspirasi para peneliti dalam menuliskan gerakan perlawanan
petani di abad ke 19 dan 20.
Penggambaran para peneliti terhadap gerakan perlawanan petani
dalam perspektif historis tersebut, menempatkan peranan ideologi
dalam gerakan perlawanan petani berhubungan dengan adanya sebuah
pengharapan millinearisme, eskhatologis, messianisme, revivalisme,
perang jihat dan lain sebagainya. Radikalisme gerakan ideologi
revolusioner klasik tersebut di Indonesia misalnya dapat dijumpai dalam
beberapa hasil penelitian di daerah Jawa seperti penelitian Kartodirdjo
(1973), Michael Adas (1979), Kuntowijoyo (1993) dan lain sebagainya.
Penelitian Kartodirdjo (1973), misalnya tentang pemberontakan
petani di daerah Jawa menggambarkan bagaimana sejarah perlawanan
petani sangat berhubungan erat dengan ideologi millenearisme klasik
yakni harapan kedatangan sang Ratu Adil. Gerakan pemberontakan
petani yang dilakukan dalam bentuk gerakan aksi protes sebagai
ledakan ketegangan dan permusuhan yang dimungkinkan guna
mengugah kesadaran bersama rakyat membentuk solidaritas bersama
dalam aksi-aksi kolektif melawan politik kebijakan agrarian yang
merugikan para petani yang dilakukan oleh pemerintahan kolinialisme
Belanda pada saat itu.
Ideologi millinearisme tersebut menurut pendekatan historis
mengajarkan paham revolusioner dalam gerakannya seperti dalam
gerakan messianisme, milenearisme dan pandangan-pandangan
ekskhatologis lainnya sehingga mempengaruhi sikap rakyat yang ikut
mengambil bagian dalam gerakan-gerakan juga menjadi sangat radikal
karena adanya harapan-harapan radikal yang di timbulkan oleh ajaran-
ajaran tersebut.
Harapan-harapan ideologis mendasar dalam ajaran tersebut
seperti cita-cita akan datangannya suatu masa atau era awal millennium
baru yang dicirikan dengan situasi gambaran kehidupan masyarakat
yang adil, tentram, damai dan makmur. Negeri utopis yang dinantikan
pada suatu masa dan waktu tertentu ditandai dengan hadirnya para

112
tokoh atau figur-figur kultral tertentu sebagai pengusung gerakan
seperti kedatangan seorang Juruselamat, Ratu Adil dan figur-figur
kultural lainnya.
Di Kalimantan juga pernah muncul gerakan millenarian yang
disebut eskhalogis pada tahun 1918. Gerakan tersebut ditemukan dalam
hasil penelitian seorang sejarawan sekaligus antropolog berkebangsaan
Jerman, yaitu Phillip Zimmermann dalam karyanya Studien zur Religion
der Ngaju Dajak, Sonderdruck Ethnologica yang melihat gerakan
millenarian atau yang ia sebut etnologis di Kalimantan dikenal sebagai
gerakan Redju atau Nyuli (bangkit kembali).
Dari hasil penelitiannya tersebut, Zimmermann menyatakan
bahwa gerakan Redju atau Gerakan Nyuli merupakan sebuah gerakan
pengaharapan masyarakat Dayak yang menginginkan jaman keemasan
seperti dahulu kala dalam kehidupan orang Dayak saat itu yang sedang
dijajah oleh Pemerintahan Hindia Belanda (1914-1918) dan ancaman
Kristenisasi terhadap suku-suku Dayak di pelosok yang masih kuat
mempertahankan ajaran agama suku mereka yang disebut agama helo.
Ekspansi agresivitas politik kolonialisme penjajah diiringi dengan
proselitisme ajaran Kekristenan Barat yang dibawa masuk ke pulau
Kalimantan melalui para missionaris dan Zending Barat sehingga
dianggap menghancurkan identitas kultural orang Dayak di Kalimantan.
Walaupun kekristenan pada waktu itu berhasil menghancurkan
struktur budaya lokal, namun selama gerakan Redju atau Nyuli terjadi,
tidak sedikit para missionari Barat berakhir dengan kehilangan nyawa
karena dibunuh orang Dayak di pedalaman pulau Kalimantan.
Gerakan ideologi milenarisme tradisional di Kalimantan ini juga
dalam aksinya mendayagunakan kekuatan symbol-simbol budaya
tradisional yang dilihat peneliti dipresentasikan dalam gerakan yang
lebih radikal yakni menggunakan cara-cara kekerasan secara massif
terhadap para utusan Zending dan missionaris Barat yang menyiarkan
ajaran kekristenan di pulau Kalimantan (F. Ukur, 1991:214-217).

113
Perlu diketahui bahwa, penelitian tentang radikalisasi ideologi
revolusioner tersebut di atas dalam kajian tema-tema millinearisme,
eskhatologis dan sebagainya dalam perspektif kesejarahan, telah
dipengaruhi oleh tradisi psikologi sosial klasik yang bertumpu pada
studi crowd lama (kekerasan kolektif).
Perspektif historis tersebut di dalam mengkaji gerakan
perlawanan petani digolongkan dalam tradisi psikologi crowd klasik
yang tidak jauh berkisar pada kolektivitas atau kelompok kerumunan
massa, kerusuhan, huru-hara (riot), pemberontakan (rebel), protes
dengan kekerasan dan berbagai bentuk tindakan represif lainnya,
walaupun dalam tampilan penyajian tema yang berbeda dalam catatan
sejarah budaya manusia.
Tradisi studi psikologi sosial klasik yang bertumpu pada tema di
seputar masalah crowd di era tahun 1920-an hingga tahun 1970-an
sangat berpengaruh kuat dalam berbagai studi gerakan perlawanan di
Amerika dan Eropah Barat. Beberapa hasil penelitian tersebut misalnya
ditemukan dalam karya G. Tarde tentang Laws of Imitations (1903), karya
Gustave Le Bon, The Crowd (1909), karya William MacDougall tentang,
The Group Mind (1920), karya Erward D. Marthin dalam The Behaviour of
Crowd (1929).
Termasuk juga hasil studi pada kehidupan binatang yang
kemudian diterapkan dalam studi terhadap perilaku manusia sebelum
dan sesudah perang Dunia Kedua khusus ditemukan dalam karya W.
Trotters tentang Animal Behaviour in Peace and War (1920).
Pendekatan klasik dalam tindakan kolektif (collective action)
terhadap studi gerakan perlawanan tetaplah dominan hingga akhir
tahun 1970-an, khususnya yang merujuk pada tema studi tentang crowd.
Gambaran sosial tentang crowd adalah berupa kerumunan sosial secara
kolektif yang terdiri dari sejumlah individu-individu dalam ruang yang
terbatas yang merespon berbagai isu dan peristiwa dalam kepentingan
umum.

114
Crowd tersebut tidak seperti yang digambarkan C.H. Cooley, yang
terdiri dari kelompok utama yang berhadap-hadapan. Melainkan lebih
menyerupai kelompok yang saling merapat (berdesak-desakan). Dalam
istilah skala dan daya tahan organisasi, crowd adalah kelompok yang
bersifat sementara, tidak tetap dan episodik. Manifestasinya adalah
dalam bentuk kolektifitas-kolektifitas yang tidak terlembagakan dan
tidak terbudayakan (Rajendra Singh, 2010:113).
Kelompok crowd tersebut tidak dapat disamakan dari sekumpulan
manusia seperti misalnya bangsa, komunitas, kasta, kelas kerena
kelompok tersebut relatif stabil dan merupakan sekumpulan manusia
yang terlembagakan dan crowd bukan merupakan kumpulan stabil
semacam itu.
Para psikolog sosial biasanya membagi kegaduhan ke dalam tipe
pasif dan aktif. Tipe pasif merujuk pada kelompok penonton dipinggir
jalan, para penonton pasif yang berkumpul karena keingintahuan untuk
menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak biasanya, baik pemandangan
atau suaranya. Meskipun crowd pasif memiliki kecendrungan bisa
berubah menjadi crowd aktif, maka crowd aktiflah yang perilaku-
perilakunya menjadi perhatian dalam studi gerakan sosial dan tindakan
kolektif (Rajendra Singh, 2010:114).
Demikian juga, potensi crowd aktif inilah yang terkadang
mengambil kesan stereotipe seperti nampak dalam wajah tindakan mob
dan kerusuhan rakyat (unruly rabble), atau kerusuhan rakyat yang
melanggar hukum (lawless furios rabble) yang berbentuk kolektifitas
massa haus darah yang saling bermusuhan, perusuh yang memberontak
dan agitasi pemogok serta para pemrotes.
Dalam psikologi sosial klasik, mob atau huru-hara biasanya
didefinisikan sebagai perasaan gaduh dan kesatuan mental. Oleh
karenanya, Le Bon menjuluki jenis kegaduhan ini sebagai plin plan
(fickle) dan menghubungkannya sebagai sejenis perilaku semborono
yang irasional. Dalam konteks itu, demikian Le Bon.G. (1909:133)
berpendapat :

115
sejumlah mahluk hidup tertentu yang berkumpul bersama, baik
hewan maupun manusia, yang dengan insting menempatkan diri
mereka sendiri di bawah otoritas ketua, dan ketua biasannya
direkrut secara khusus dari sekelompok bawahan yang gugup
secara tak wajar, mudah digerakkan, orang-orang yang setengah
tak waras yang berada dalam batas-batas kegilaan.

Pemahaman yang sama terdapat juga dalam karya Edward Martin


tentang The Behaviour of Crowd, (1929) menyatakan bahwa crowd
merupakan situasi di mana orang-orang sebagai anggota kerumunan
yang satu sama lain saling menciptakan kebencian (Le Bon. G,1909:133).
Di sini, orang-orang yang berkelompok membentuk kerumunan, dan
menciptakan situasi atau suasana emosional yang panas dan cenderung
tidak terkendali terhadap pihak lawan.
Dengan demikian, intensitas emosional yang meluap dari setiap
anggota kerumunan atas sumber masalah yang dimunculkan tersebut
cenderung dimanifestasikan dalam bentuk perilaku dan tindakan
kolektivitas anarkhis yang sadis dan kejam.
Dalam kebanyakan formulasi, seperti dalam studi Gustave Le Bon,
siapa pun bisa membuktikan penekanan yang rentan terhadap crowd.
Menurut James M. Jasper, dalam Cultural Approaches in the Sociology of
Social Movements (2007) dalam visi yang lain, orang-orang tertentu
secara khusus terbuka pada gerakan emosi yang kuat pada crowd
(James M. Jasper, 2007:58).
Demikian juga halnya, Eric Hoffer (1951) merumuskan versi yang
agak sedikit lebih populer dari pandangan lama itu, dengan
menggambarkan seorang fanatik yang putus asa yang diperlukannya
untuk percaya pada sesuatu, tidak peduli apa itu sesuatu yang
mengisolasikannya dari sosial. Para pengikut sejati dan setia, sang
pemeluk yang teguh, para pengikut yang fanatik (true believer)
memunculkan gerakan-gerakan yang didorong oleh dorongan batin
bersama.

116
Mereka kurang memiliki identitas yang stabil dan frustrasi, merasa
kekosongan bathin, hidup merasa tandus dan tidak aman, sehingga
menyebabkan mereka kehilangan diri mereka sendiri. Pengorbanan diri
pada tindakan kolektif, menurut Hoffer adalah massa yang terang-
terangan tidak rasional, menarik orang-orang yang miskin, orang-orang
aneh, orang-orang buangan, kaum minoritas, kaum remaja muda yang
ambisius, orang-orang yang berada dalam bayang-bayang obsesi,
orang-orang yang bosan dan merasa bersalah dan lain sebagainya (Eric
Hoffer, 1993:25).
Singkat kata, apabila dipahami lebih lanjut, akan muncul
sederetan pertanyaan yang dapat dijumpai mengenai analisis
kelemahan psikologi sosial klasik tersebut terhadap studi gerakan sosial
yang berorientasi pada studi tentang crowd dalam masyarakat yang
semakin berubah pada masa kini.
Studi tentang crowd, begitu saja menghilang dari pemikiran
sosiolog neo klasik kemudian. Namun belakangan orientasi terhadap
crowd, masih tetap eksis dan diulang kembali dan upaya itu misalnya
terlihat atau ditemukan dalam karya Norman Cohn yang begitu
berpengaruh pada tahun 1970-an tentang The Pursuit of Millennium
(1961) yang membicarakan fantasi dan gerakan milenarian dalam
pengertian ketidakmampuan menyesuaikan diri dan paranoia. Norman
Cohn mencatat bahwa seolah-olah unit-unit paranoia yang sampai saat
ini menyebar ke seluruh populasi mendadak bergabung membentuk
entitas baru, suatu fanatisme paranoid kolektif (Norman Cohn,
1961:312).
Hal yang sama juga terdapat dalam studi Michael Adas tentang
Prophet of Rebellion, Millenarian Protest Movements against the
European Colonial Order, (1943), kajian ini lebih mengemukakan
pendekatan baru bagi penulisan sejarah komparatif dan analisa gerakan
protes sosial dengan menyajikan lima kajian kasus seperti; sejarah
pemberontakan Pangeran Dipenogoro (1825-1830), gerakan Pai Maire
atau Hau-Hau di Kalangan Masyarakat Maori, Selandia Baru (1864-

117
1867), gerakan Birsa pada masyarakat Munda, Chota Nagpur, India
tengah bagian timur (1899-1900), pemberontakan Maji-Maji di Afrika
Timur jajahan Jerman (1905-1906) dan gerakan Saya San di Birma (1930-
1932 ).
Dalam penelitiannya tersebut, Adas membangun sebuah
konstruksi kerangka pemikiran dalam mempelajari hubungan antara
harapan milenarian, kepemimpinan yang bersifat propetis dan protes
sosial secara kekerasan, walaupun gerakan itu agak terbuka dan
revolusioner secara politik sifatnya dan memobilisasi kekuatan simbol-
simbol ritual yang potensial (Michael Adas, 1988).
Studi gerakan sosial lain, yang juga masih dipengaruhi psikologi
crowd, walaupun dalam bentuk dan tampilan perspektif historis yang
berbeda mengenai gerakan milenarian, namun terdapat juga dalam
studi gerakan sosial di India, misalnya ditemukan dalam karya Stephen
Fuchs, Rebellious Prophets (1965), Lioyd dan Susanne Rudolph dalam,
The Modernity of Tradition (1969), dan Robert Hardgraves dalam, The
Nadars of Tamilnad (1969).
Singkat kata, kesimpulan dari hasil penelitian mereka ini, banyak
menyoroti gerakan Birsite yang bermaksud untuk menghidupkan
kembali ide raja Munda, tapi penekanan utamanya ada pada mobilisasi
kekuatan simbol-simbol ritual dalam agama. Penemuan-penemuan
sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan penghargaan pada diri
sendiri dan status orang Munda dalam hubungannya dengan kelompok-
kelompok dataran rendah yang dominan.
Birsa menyerang kegiatan keagamaan animisme dari rakyatnya
dan menekankanTuhan tunggal yang terbentuk sebagai campuran
konsep Hindu dan Kristen. Birsa juga menginstruksikan para
pengikutnya untuk memakai benang suci dari kasta-kasta tinggi dan
menghentikan makan daging, ikan dan makan lain yang berhubungan
dengan kasta rendah atau kelompok pariah. Namun yang menarik, di
sini, bahwa walaupun simbol keabsahan cenderung mengajarkan kedilan
dan meningkatkan solidaritas di antara orang-orang yang bergabung

118
dalam gerakan tertentu, mereka juga dapat membenci pengikut nabi itu
di antara kelompok-kelompok yang dikolonisasi lainnya.
Dengan demikian, dari berbagai studi gerakan sosial dalam
paradigma klasik dan neo klasik di atas, perspektif psikologi crowd
dalam studi yang dilakukan telah mengambil suatu entitas baru dalam
perkembanganya. Penjelasan ini yang kemudian diperkuat oleh E.P.
Thompson (1981) yang menyatakan bahwa :
orang meragukan proses penggabungan semacam itu.
Bagaimanapun, dengan adanya fenomena semacam itu persoalan
historis belum terpecahkan~mengapa kemarahan, inspirasi atau
bahkan kekacauan psikotis mesti bergabung dalam gerakan
berpengaruh hanya dalam waktu-waktu tertentu dan dalam
bentuk yang khusus.

Hal yang mendasar dari pendapat E.P. Thompson di atas,


bertujuan untuk menantang para teoritisi yang melakukan studi
perlawanan sosial, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukannya. Oleh karenanya, paradigma klasik aliran crowd dari
psikologi sosial tradisional mengalami versi radikal untuk memberi
batasan pada kehancuran.
Akan tetapi sebagaimana yang sering kita temukan bahwa di
dalam berbagai studi belakangan, di mana kecendrungan-
kencendrungan crowd mengulangi diri dalam disiplin lain (sejarah,
politik, ekonomi dan sebagainya) dalam bentuk atau model lain, bahkan
dengan penjelasan lain yang lebih variatif dalam studinya.
Hal ini terjadi, menurut Rajendra Singh, karena tampilan
perspektif crowd selalu mendapatkan kekuatan dukungan data historis
yang dikumpulkan secara lengkap dan telaten, pada kurun yang
merentang dari abad ke-18 sampai awal abad ke-20 dalam sejarah
Perancis dan Inggris.
Para sejarawan sosial telah berhasil menerangkan crowd dalam
cetakan konseptual baru bersama-sama, karya-karya belakangan ini
dapat kita temukan misalnya dalam hasil penelitian Singha Roy dalam,

119
The Crown in the French Revolution (1959) dan The Study of Popular
Disturbances in the Pre-Industrial Age; Historical Studies (1963), Lars
Rudebeck dalam, When Democracy Makes Sense (1992), Charles Tilly,
etal dalam, The Rebelious Century (1830-1930), 1975) dan E.P Thompson
dalam The Making of the English Working Class (1981) dan lain
sebagainya.
Selanjutnya, dalam perspektif analisa para sejarawan, crowd
diperlakukan sebagai entitas sosial bertujuan dengan suatu alasan untuk
ada, dan suatu peran untuk bertindak dalam sejarah. Berdasarkan bukti
dalam hasil penelitiannya tentang sejarah Perancis dan Inggris, George
Rude menyatakan bahwa crowd bukanlah abstraksi tidak berwujud,
melainkan ia terdiri dari orang-orang.
Dalam konteks, analisanya terhadap data sejarah tersebut, ia
membedakan antara gejolak masyarakat pra industri dengan industrial
dalam masyarakat di dunia negara itu. Menurutnya gejolak pra industri
dicirikan kerusuhan pangan (foot riots), gerakan milenarian, dan
pemberontakkan petani (peasant revolt). Sedangkan gejolak masyarakat
industrial ditandai dengan pemogokan, demonstrasi dan pertemuan
massa publik berjangkauan ke depan. Singkat kata, dalam menanggapi
keberadaan entitas crowd yang tidak berkewajahan tersebut, kemudian
Rude (1964:194) menyatakan :
peran yang dimainkan oleh petani dan penduduk desa di Inggris,
kecendrungan khusus para pemintal dan penambang untuk
menghancurkan mesin dalam pertikaian industrial di
Inggris,...bagian yang dimainkan kaum perempuan dalam
perjalanan tertentu Revolusi Perancis,.peran petani dan buruh tani
dalam kerusuhan (riot) pedesaan Inggris dan seterusnya.

Dengan demikian, terhadap semua contoh di atas, menandakan


bahwa watak gejolak dan aktivitas crowd terkait erat dengan komposisi
unsur-unsur seperti; sosial, pekerjaan, situasi, kondisi, dan lain
sebagainya yang turut mempengaruhinya. Meskipun crowd berperilaku
berbeda dalam situasi yang tidak sama, ada beberapa elemen penting

120
yang serupa seperti penggunaan aksi langsung dan penerapan keadilan
alamiah.
Dengan demikian data sejarah mengenai bentuk, wajah, tipe aksi
crowd selama abad ke 18 dan 19 tak meragukan lagi membuktikan
bahwa konstruksi perspektif teori psikologi sosial klasik mengenai
orientasi pada crowd sebagai entitas wajah yang gampang berubah dan
mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai situasi dan kondisi sosial
yang ada. Oleh karena itu pada masa kini perspektif demikian sudah
tidak memadai lagi bahkan mungkin agak lebih berlebihan, tendensius
dan mungkin agak keliru.
Namun harus diakui, atas kekurangan perpektif psikologi sosial
atas crowd, maka akhirnya telah mendorong penemuan berbagai tipe
letupan kolektif non institusional seperti revolt dan riot. Peran aksi-aksi
individual dan kolektif itu, yang dalam konteks ini pun masih ditemukan
tipe-tipe individu yang berkerumun, mengelompok bahkan dalam
bentuk aksi individual sekalipun dan sebagainya.
Dalam beragam bentuk, aksi dan tindakan individu dapat terjadi
dalam upaya menentang situasi sosial dalam berbagai isu yang
berkembang misalnya nilai, praktek, tindakan dan perilaku. Termasuk
iven-iven yang dapat memancing kemarahan kolektif atau setidak-
tidaknya sebuah perlawanan (resistance) dan protes individual atau
kelompok tertentu dalam menentang situasi dan struktur kehidupan
yang dominatif dan marginalitatif.
Rajendra Singh (2010), menjelaskan bahwa gerakan sosial
memiliki karakteristik dan tipe-tipe yang saling berbeda sebagai suatu
tindakan atau aksi-aksi manusia yang dapat mengambil rupa dalam
berbagai bentuk dan ekspresi-ekspresi misalnya tuntutan atau protes
(protest), perlawanan (resistance) dan sebagainya.
Dengan demikian singkat kata, karena gambaran yang terbatas
mengenai gerakan sosial di atas sehingga kemudian menghasilkan
kegagalan umum dari ilmu sosial, untuk memahami sifat dasar dari
konflik-konflik sosial yang inti atau inti konflik dalam masyarakat.

121
Bentuk-bentuk dan ekspresi-ekspresi konflik bisa saja beragam sesuai
dengan konteks daerah dan waktu.

122
BAB V
KESIMPULAN
STATE OF THE ART STUDI GERAKAN SOSIAL

Salah seorang teoritis sosial sekaligus analis studi gerakan sosial


yakni M. Jasper dalam sebuah artikelnya yang berjudul, Social Movement
Theory Today: Toward a Theory of Action? (2010), menyatakan bahwa
teori-teori besar gerakan sosial yang sempat muncul atau yang pernah
pupuler pada masanya, kini telah dibongkar dan dievaluasi kembali.
Di tempat lain, pendekatan yang ada telah menawarkan teori
budaya dan tindakan emosional, yang memungkinkan analis untuk
membangunnya kembali dari tingkat mikro ke tingkat yang lebih makro
secara lebih empiris, bukan dengan cara deduktif dari atas ke bawah
melainkan induktif.
Sebagaimana yang telah diperdebatkan dikalangan teoritisi,
bahwa gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi di
antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan pilihan rasional (rational
choice) menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan
individu sebagai yang abstrak untuk menjadi realistis.
Pendekatan pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan
berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi
individu (individual action) dan aksi-aksi kolektif (collective action) sejak
tahun 1960-an, yakni penelitian tentang perlawanan (social resistence),
gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective
behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar
sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya pada bagian atas.
Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan
Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang menekankan
teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi
dengan negara. Kemudian versi Prancis misalnya paradigma historisitas
yang berfokus pada tahap perkembangansejarah gerakan di masyarakat
123
yang terorganisasi pascaindustri dengan citra konflik yang khas.
Sedangkan paradigma ketiga berbeda sumber, yaitu asumsi pada level
mikro ekonomi. Satu nama terutama yang terkait dengan masing-
masing pendekatan yang lebih ambisius tersebut seperti misalnya
ditemukan dalam pemikiran seperti Charles Tilly, Alain Touraine dan
Mancur Olson.
Pada awal abad ini paradigma-paradigma tersebut telah
mencapai titik batas kulminasi, oleh karena sejumlah alasan mendasar
termasuk perubahan sejarah yang terjadi, akumulasi~ketidakmenentuan
dan kekacauan, keberpihakkan terhadap pendekatan yang bersifat
metaforis, sehingga mengakibatkan kurangnya semangat untuk segera
mengembangkan teori itu pada tingkat atau level yang lebih jauh. Tilly
dan Olson sekarang sudah meninggal selanjutnya Touraine (1997, 2009)
telah beralih dari studi gerakan sosial dan kembali ke sebuah teori sosial
yang lebih umum (makro).
Dalam banyak kasus teori besar saat ini merupakan sintesis
pemikiran-pemikiran sekolah tua yang dimensinya telah terabaikan.
Secara umum, kecenderungan yang dipahami, bahwa model perhatian
pada struktur besar (big structures) kemudian mencoba mengalihkan
perhatiannya pada tingkat dasar tindakan sosial (collective action) yang
lebih mikro pada tindakan politik.
Runtuhnya teori-teori besar yang ambisius itu, bukan berarti akhir
dari perjalanan teori gerakan sosial. Namun sebaliknya, kita harus lebih
mengupayakan model teori yang sangat sederhana, yaitu melakukan
upaya interpretif yang berorientasi pada tindakan (action), yang pernah
muncul dalam bayang-bayang mendalam pengaruh dari teori-teori
besar tersebut.
Pada era tiga puluh tahun terakhir paradigma yang dominan
dalam penelitian gerakan sosial di Amerika yaitu paradigma mobilisasi
sumberdaya (resources mobilization paradigm), yang kemudian diserap
ke dalam teori proses politik (politic proces). Keluhan dan sikap utama
para partisipan anggota potensial gerakan telah menurun dan mulai

124
memahami faktor-faktor dukungan pada organisasi seperti staf
profesional, upaya penggalangan dana dan keadaan eksternal seperti
sekutu elit dan sumber daya, sebagai pintu yang terbuka dalam
menimbulkan krisis negara, berkurangnya represi negara dan pada
lingkungan politik lainnya.
Perspektif organisasi (paradigma struktural) ini sangat kuat
mempengaruhi sebuah gerakan seperti penekananan pada hak-hak sipil
gerakan buruh dalam rangka mengejar keadilan sepenuhnya
menyangkut hak-hak sipil warga negara. Tujuan dari suatu gerakan
diperhitungkan, dan apa yang mereka perlukan adalah sarana untuk
bertindak. Kitschelt (1986), Kriesi (1995), dan lain-lainnya memperkuat
konsep peluang politik (political oppurtunity) dalam membatasi
karakteristik struktural dari negara, sebagai variabel perbandingan
secara jelas dapat dilihat dalam pandangan Eropa Barat dan
perbandingannya dengan di Amerika Serikat.
Charles Tilly (1929 ; 2008), adalah salah satu kekuatan utama yang
berada di balik lintasan sejarah panjang pemikiran ini, sebagaimana
contoh dalam penelitian uletnya mengetengahkan gagasan teoritik
yang lebih eksplisit. Pada titik mana budaya diturunkan serta
pengungkapannya dalam berbagai tindakan atau aksi kolektif, dianggap
sebagai rutinas yang umumnya mencerminkan kepekaan moral.
Upaya bagaimana memahami dan termasuk tersediannya saluran
dalam berbagai seting lokal, yang dapat menghasilkan bentuk lain dari
budaya seperti sikap dan tujuan, intuisi moral dan prinsip-prinsip, emosi,
dan segala sesuatu yang ditolaknya sebagai individualisme
fenomenologis. Kurangnya perhatian pada tujuan dalam studi gerakan
sosial yang ada, telah memaksa Charles Tilly mengurangi penekanannya
pada arena perjuangan, serta mencegahnya pada isu-isu kegagalan dan
keberhasilan.
Dalam konteks itu, maka selanjutnya Charles Tilly dalam
pemikirannya hanya memfokuskan diri pada tindakan (action) namun
mengabaikan penekanan pada motivasi dan tujuan yang mendorong

125
sebuah gerakan. Alih-alih teori tindakan yang eksplisit, satu hal yang
lebih implisit tampaknya menyiratkan bahwa orang-orang mengejar
kepentingan materi mereka (Opp, 2009).
Kemudian, sekitar akhir tahun 1990-an, telah berakhirnya
kristalisasi paradigma proses politik (Mc Adam et al. 1996) tetapi juga
tidak terlepas dari berbagai kritik. Berbagai kritik teoritis antara lain
menyoroti bahwa asumsi pilihan rasional (rational choice) terkadang
secara tersembunyi terkubur dalam berbagai model (Opp 2009).
Hal itu selalu dijumpai misalnya pada konsep-konsep seperti
sumber daya dan peluang politik (Gamson dan Meyer 1996), digunakan
selalu dalam berbagai cakrawala pandangan atau ide struktural yang
lebih luas bahkan terkadang selalu agak dilebih-lebihkan
penggunaannya (M. Jasper 1997). Oleh karena itu, bias struktural ini
kemudian secara penuh dicegah dalam perhatiannya pada perubahan
budaya menyangkut aspek emosi atau kemarahan (Goodwin dan Jasper
1999/2004).
Sebagian besar kritik tersebut menyatakan bahwa pendekatan ini
mengabaikan pilihan dan keinginan dari sudut pandang aktor (individu),
sebagai calon peserta gerakan yang menentukan serta mempengaruhi
lahirnya motivasi, yang kemudian menunggu peluang aktor tersebut
untuk bertindak. Jadi, dengan demikian, paradigma di atas ini, pada
dasarnya tidak ada teori tindakkan (action theory). Selajutnya, sekitar
tahun 2001 kritik pun dilancarkan atas karya mereka, yang pada akhirnya
membuat Mc Adam dkk. (2001, h. 42) pun, mengakui empat kekurangan
mendasar dalam pendekatan model proses yang mereka kembangkan
sendiri, yaitu sebagai berikut :
a) Model proses yang dikembangkan lebih berfokus pada
hubungan yang statis dan bukan hubungan yang lebih
dinamis.
b) Karya ini akan lebih baik jika berfokus pada gerakan sosial
level individu (mikro) dan kurang baik dalam dinamika
pertentangan yang lebih luas (makro).

126
c) Secara politik, asal-usul nya relatif terbuka, dari enam puluh
orang Amerika lebih menekankan pada peluang daripada
ancaman, lebih percaya diri dalam perluasan organisasi
sumber daya daripada organisasi defisit yang banyak
menghasilkan/menimbulkan kesulitan atau penderitaan.
d) Model proses difokuskan pada asal usul pertentangan
(konflik) dan bukan sebaliknya pada tahapan kelanjutan
gerakan.
Dalam konteks itu, maka hal yang paling mendasar dalam sebuah
gerakan sosial adalah peluang (oppurtunity) yakni gerakan untuk
menuntut hak-hak sipil warga negara (M. Jasper, 1997).
McTeam misalnya menyatakan hal ini terjadi karena mereka
sering menyebut diri mereka dan menunjuk ke arah strategi yang lebih
terbuka pada perspektif budaya. Mereka mengakui bahwa peluang dan
ancaman harus diakui seperti itu oleh para pejuang (anggota gerakan)
dan bukannya pada kondisi struktural yang objektif.
Mereka mengakui bahwa karya-karya budaya terjadi di sepanjang
waktu dan tidak terbatas pada perekrutan banding (meskipun
sayangnya yang ditonjolkan pada pembingkaian konsepsi struktur
obyektif (structural framing), ketimbang berbagai mekanisme, bahwa
sesungguhnya makna dari emosi dikembangkan, dipromosikan bahkan
telah diperebutkan.
Oleh karena itu pada akhirnya, teoretisi ini mengusulkan untuk
menguji tindakan dari semua pemain strategis dan bukan hanya pada
aktivis gerakan saja dan bukan pula hanya berhenti setelah orang-orang
dimobilisasi, namun berlanjut pada dinamika pertarungan kekecawaan
yang lebih luas (Barker, 2003; Koopmans, 2003; Oliver, 2003; Platt, 2004;
Taylor, 2003).
Dalam ketergesaan mereka untuk mengembangkan sebuah
model yang lebih dinamis, maka McAdam, Tarrow dan Tilly dalam upaya
mereka sendiri tidak memberikan kesempatan untuk menggambarkan
pada tingkatan yang lebih mikro.

127
Sebuah pendekatan yang lebih diarahkan kepada anggota, dan
lebih banyak menjanjikan bagi jangka panjang, terutama untuk melihat
potongan-potongan kecil strategi interaksi dari psikologis sosial dan
bahkan hal-hal bersifat psikologis seperti: suasana hati, emosi yang
spontan, komitmen afektif, pengambilan keputusan heuristik,
pembentukan identitas, kenangan, perasaan keberhasilan dan kontrol,
pemimpin perubahan, kejahatan yang semakin meningkat dan
sebagainya.
Kurangnya perhatian pada hal semacam itu sangatlah
mengejutkan, mengingat bahwa begitu banyak komponen yang
diperlukan sudah dijelaskan oleh psikolog kognitif, ekonom perilaku,
analis wacana, sosiolog organisasi dan lain sebagainya (termasuk
Oberschall, 1973).
McTeam menganut pendekatan relasional sebagai cara untuk
menolak sebuah metodologi individualisme bahwa mereka didefinisikan
sebagai yang melihat realitas ada dalam pikiran individu. Akan tetapi
dalam konteks ini, mereka mengabaikan kemungkinan rasionalitas akal
bahwa pikiran individu dibentuk melalui interaksi sosial, tetapi kemudian
memiliki sebuah realitas independen sebagai bagian dari interaksi yang
membawa pengalaman masa lalu sebagai kenangan bersama,
kepercayaan, perasaan dan seterusnya (R. Collins, 2004).
Hubungan yang terstruktur dan berkelanjutan kemudian
membentuk latar belakang dalam proses interaksi. Oleh karena itu,
sebuah pendekatan yang lebih strategis akan memeriksa interaksi
terlebih dahulu dan kemudian melihat apa yang membawa para pemain
ke interaksi, tanpa mengasumsikan dimulainya hubungan (interaksi).
Demikian, McTeam (McAdam dllnya 2001, hal. 26) membicarakan
tentang mekanisme relasional yang mengubah hubungan antara orang-
orang, kelompok dan jaringan interpersonal.
Dalam konteks itu yang ingin dikatakan bahwa sesungguhnya,
McTeam mengabaikan arti budaya dan emosi yang kaya tindakan
strategis. Mereka kemudian menggantikan atau membingkainya dengan

128
istilah yang lebih luas namun secara samar menyebutnya sebagai
konstruksi sosial, dalam hal ini akan dipertanyakan siapakah yang
melakukan pekerjaan konstruksi? Hal ini yang masih belum jelas.
Mereka berbicara tentang penafsiran kolektif, akan tetapi
berpikirnya tidak tepat kolektif. Singkat kata bahwa pada akhir hidupnya,
Tilly (2003, 2008) dalam teorinya mencoba menemukan tempat yang
lebih luas bagi budaya, tetapi sebagian besar dengan membuat akibat-
akibat yang dihasil oleh struktur (C. Tilly, 2005). Dalam konteks ini, sekali
lagi, bahwa kita sangat memerlukan teori tindakan (action theory)
(Touraine, 1984).
Setelah Charles Tilly menerbitkan bukunya yang berjudul Vende'e
(Tilly 1964) dan kemudian mendefinisikan perspektif proses, sebelumnya
Mancur Olson (1932-1998) menerbitkan sebuah buku kecil yang
berjudul The Logic of Collective Action menerapkan asumsi ekonomi
level mikro pada tindakan kolektif. Dalam tindakan kolektif, para aktor
yang rasional akan berpartisipasi dalam serikat, gerakan sosial dan
revolusi, hanya jika mereka secara pribadi menginginkan atau
menghendaki sesuatu dan kemudian mengharuskan mereka untuk
berpartisipasi.
Dengan tidak adanya dorongan memilih (selective incentives),
individu-individu akan memilih bukan karena imbalan, atau menolak
untuk berpartisipasi, akan tetapi tercapainya manfaat kolektif. Hanya
saja dalam kelompok kecil, di mana para anggota dapat memantau satu
sama lain dan rasa malu yang lain berkontribusi, yang pada akhirnya
dapat membuat seseorang itu ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan.
Manchur Olson, (1965:61) belakangan turut pula memperkenalkan
faktor moral dan emosional, sebagai pengecualian dalam modelnya
dengan alasan bahwa motivasi dibalik tindakan seseorang (individual
action) tidak mungkin dapat dibuktikan secara empiris. Hal itu tentu
sama saja mustahilnya untuk mendapatkan bukti bahwa seseorang
termotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Memang pada dasarnya
bahwa ahli saraf pemetaan bagian otak menujukan bahwa otak

129
mengaktifkan keinginan altruistik yang berbeda dalam tindakan yang
mementingkan diri sendiri.
Dalam konteks itu, maka Olson sendiri bersikeras menolak
pandangan tersebut di atas, namun tanpa bukti (seperti C. Tilly), bahwa
kelompok-kelompok penekan yang paling terorganisasi secara eksplisit
bekerja untuk keuntungan diri mereka sendiri, dan bukan sebaliknya
keuntungan bagi kelompok lain.
Olson pun kemudian akhirnya mengakui bahwa kelompok yang
afektif contohnya adalah keluarga dan solidaritas, mungkin terbaik
dipelajari daripada model lainnya. Sejauh kelompok pemrotes memiliki
ikatan afektif, seperti kebanyakan model lain, maka model ini dianggap
sebagai salah satu model yang lebih adekuat atau memadai dalam studi
gerakan sosial.
Dalam generasi setelah Olson, maka banyak muncul gelombang
pemrotes baru terhadap teori dan penelitian tentang rasionalitas, yang
mencerminkan perluasan dari teori pilihan rasional dan teori permainan,
terutama dalam ilmu politik. Banyak yang telah memberikan solusi
sebagai jalan keluar bagi hambatan pemikiran yang dikembang saat
Olson memformulasikan teori itu. Misalnya sebagai contoh, Lichbach
(1995) menawarkan lebih selusin pedoman bagi para aktivis gerakan.
Dalam sebuah karyanya yang terbaru, Opp (2009) menyajikan
paradigma pilihan rasional sebagai satu-satunya pendekatan bagi studi
gerakan sosial dengan teori eksplisitnya pada tindakan umum. Dengan
mempelajari secara menyeluruh tradisi-tradisi lain, ia menunjukkan
bahwa masuk akal bila sebuah teori tindakan tingkat mikro
ditambahkan, yang biasanya sudah ada secara implisit.
Dalam kebanyakan kasus, ia menemukan bahwa teori adalah
beberapa versi pilihan rasional. Dia mendefinisikan serta menyimpulkan
bahwa pilihan rasional yang sangat luas (Opp 2009, hlm 2-3), sebagai
preferensi (bagi suatu tujuan atau motif atau keinginan) dari aktor-aktor
individual yakni kondisi-kondisi perilaku mereka bahwa tindakan yang
berorientasi pada tujuan yakni di mana perilaku tergantung pada

130
kendala atau setara dengan peluang perilaku individu, dan individu pun
terbuka untuk memilih atau menentukan berbagai alternatif perilaku
dengan memaksimalkan utilitas mereka.
Dia menambahkan bahwa orang mungkin mencari tingkat
kepuasan maksimal, atau mereka melakukan apa yang mereka pikir
terbaik bagi diri mereka sendiri dan bukan pada apa yang obyektif (dari
sudut pandang orang ketiga yang mahatahu) serta menghasilkan
manfaat yang tertinggi.
Dengan demikian, jika orang hanya melakukan apa yang mereka
pikir terbaik pada saat itu, maka hal ini akan membuka peluang bagi
segala macam dinamika interpretasi terhadap emosi (kemarahan) yang
membentuk persepsi mereka dan mengejar keuntungan yang ingin
diraih. Opp tidak memberitahu kita banyak hal tentang ini, terutama
masalah emosi, mungkin karena mereka tampaknya tidak secara ketat
merumuskannya gagasan dalam sebuah proposisi yang lebih ilmiah
dalam mendukung teori pilihan rasional tersebut (lihat, Elster, 1999).
Namun yang jelas bahwa Opp, mampu menggabungkan identitas
kolektif dengan proses kognitif ke dalam sebuah model, sebagai upaya
untuk mengatasi dikotomi budaya. Akan tetapi, teori Opp tentang
tindakan tidak menjadikan orang agar menjadi lebih egois atau brilian.
Tetapi tidak juga menggambarkan mereka sebagai sangat kognitif,
sebaliknya mampu menyadari tujuan mereka, dapat mengatur dan
memilih keseimbangan yang diinginkan sebagai tujuan mereka.
Jika emosi adalah cara pengolahan informasi, yaitu berpikir (dan
mungkin berpikir sadar atau setengah sadar), maka Opp menawarkan
kepada kita cara yang cukup memadai untuk memasuki dunia mereka.
Upaya ini yang kemudian menjadikan Opp tetap berupaya memperluas
teori pilihan rasional untuk menggabungkan berbagai masukan dari luar
yakni kepentingan-kepentingan material yang obyektif (sebagaimana
yang Olson kemukakan yakni sebagai perjuangan eksistensi) dan
kemudian membuat pemikirannya menjadi luar biasa dan tidak
informatif.

131
Singkat kata, bahwa Opp membuka jalan penyelidikan yang lebih
berguna, mungkin dalam waktu jangka panjang dapat memberikan kita
hasil yang lebih memadai dalam memahami gambaran tentang aksi atau
tindakan.
Tak pelak lagi bahwa pendulum inteletual telah berayun dari
struktur besar paradigma sejarah kembali menuju kreativitas pada
lembaga, makna budaya, emosi dan dunia moralitas yang oleh Tilly
ditolak sebagai fenomenologi. Aksi sebagai lawan dari struktur, hal-hal
yang kecil sebagai lawan dari hal-hal yang besar (Goldfarb 2006).
Namun pendulum tidak datang kembali ke tempat yang sama hanya
cukup dengan satu ayunan.
Alih-alih kembali ke fenomenologi Husserl dan Merleau Ponty,
bahwa perkembangan saat ini adalah menempatkan arti dan tujuan
secara tegas dalam konteks sosial, dalam arena kelembagaan dan
bentuk-bentuk jaringan sosial serta interaksi sehingga dalam hal ini
pemikiran strukturalis sangat penting.
Oleh karena itu, sistesis pemikiran para teoretisi seperti Touraine,
Giddens, Bourdieu dan Habermas mulai diperhatikan, oleh karena itu,
dengan keberhasilan yang lebih besar atau kurang dalam satu dekade
1970-an dan 1980-an, efek riak mereka ini mulai muncul dalam studi
gerakan sosial berikutnya.
Demikian juga teori budaya sering membingungkan, sebagai
upaya untuk memutuskan hubungan dengan paradigma organisasi dan
struktural. Pada awal tahun 1986, Snow, Benford dan kolaborator
mereka menawarkan kerangka proses sebagai cara untuk memahami
makna dalam tindakan.
Selanjutnya A. Melucci 1996, menekankan teori berorientasi
identitas kolektif dalam konsep budaya besar sebagai salah satu teori
yang berpengaruh sekitar tahun 1990-an, terutama pada generasi para
sarjana aktivis (misalnya Gamson 1995; Taylor dan Whittier 1992).
Setelah pergantian milenium narasi menjadi konsep populer, seringkali
sebagai penegasan kembali yang terstruktur, menghambat sifat makna,

132
yang didasarkan pada bahasa sebagai model bagi budaya (Davis, 2002;
Polletta, 2006).
Demikian juga dalam konteks ini, M. Jasper pun sendiri mulai
berupaya mensintesiskan pendekatan budaya termasuk emosi, dan
dalam hal ini ia juga mendefinisikan budaya sebagai kognisi, emosi, dan
moralitas, bukan sebaliknya pengertian budaya mengacu kepada
produk-produk (Jasper, 1997, 2007).
Apresiasi yang diperbarui dari filsafat pragmatis dan sosiologi
Sekolah Chicago telah menawarkan warisan teoritis secara paralel dalam
memikirkan kembali makna suatu tindakan, dan emosi. Dalam upaya
terbesarnya, Daniel Cefaı (2007) menggali warisan intelektual yang
diturunkan oleh Chicago Park, memilah-milah literatur beragam dari
berbagai mode dan tampilan yang banyak diisukan di antaranya
mengkaji karya Quarantelli tentang bencana alam dan pengaruhnya
pada kerusuhan di AS tahun 1960-an.
Dalam konteks itu sesungguhnya Daniel Cefaı (2007) ingin
mengetengahkan kekuatan ide Park pada publik, seperti berbagai
perlawanan yang muncul dalam berbagai bentuk perilaku massa dalam
kerumunan. Dia juga lahir dalam jejak tradisi Chicago melalui peneliti
seperti Klapp dan Gusfield, titik pandang konstruksionis berpengaruh
tetapi tidak pernah sepenuhnya keluar selama era struktural (juga Turner
dan Killian 1957).
Tidak setuju atau menolak gagasan bahwa orang banyak tidak
rasional, Cefaı menunjukkan bahwa banyak perilaku kolektif terjadi di
sekitar gerakan sosial. Ia menggabungkan warisan Chicago dengan
pendekatan masyarakat yang diprogramkan, dan melempar akhir masa
Chicagoite pada Erving Goffman.
Selanjutnya terhadap Tilly dan Touraine, mereka menemukan
kesenjangan pemahaman makna yang tidak memadai, mengisinya
dengan konsep yang bertujuan untuk memahami proses penciptaan
makna praktis seperti wacana, kode, batas-batas moral, identitas

133
kolektif, emosi, ritual dan lain sebagainya, termasuk mengarahkan pusat
perhatian pada hal yang lebih besar dalam aspek-aspek hukum.
Ditempat lain, Cefaı misalnya, juga menghadirkan fokus
metodologinya tersendiri, dengan menyajikan etnografi sebagai cara
yang paling tepat untuk memahami situasi di mana manusia bekerja dan
mengulangi kembali dunia pemahaman mereka atas kehidupan sehari-
hari di sekitar mereka.

134
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Perry (1976). Considerations on Western Marxism. London:


New Left Books

Adas, Michael (1979). Prophet of Rebellion, Millenarian Protest


Movements against the European Colonial Order. USA: The
University of North Carolina Press. (diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh M. Tohir Effendi, menjadi Ratu Adil,
Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme
Eropa, diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta, 1988)

Cohen, Jean L (1985). Class and Society: The Limits of Marxian Critical
Theory. Amherest: Massachusett Press

Cohn, Norman (1961). The Pursuit of Millennium: Revolutionary


Millenarians and Mystical Anarchists of the Middle Ages.
London and New York: Oxford University Press

Davies, James (1962). “Toward a Theory of Revolution” dalam American


Sociological Review, 27, no.1 (Pebruari)

Fireman, B. dan W.A Gamson (1979). “Utilitarian Logic in the Resource


Mobilization Perspective”, in Mayer, N. Zald and J. McCarthy,
D (eds), Dynamics of Social Movements. Cambridge: Winthrop

Freud, Sigmund (1959). Group Psychology and the Analysis of the Ego.
New York: Norton (aslinya diterbitkan tahun 1921)

Fuchs, Stephen (1965). Rebellious Prophets; A Study of Messianic


Movements in Indian Religions. London

135
Gurr, Ted, Robert (1970). Why Men Rebel. Princeton, NJ: Princeton
University Press

Hoffer, Eric (1993). The True Believer. (diterjemahkan ke dalam Bahasa


Indonesia menjadi Gerakan Massa, oleh Masri Maris. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia)

Hardgraves, Robert (1969). The Nadars of Tamilnad. USA: Berkeley

Jenkins, Craig J (1983). “Resource Mobilization Theory and the Study of


Social Movement”, in Annual Review of Sociology, volume 9,
hal, 527

Jasper, James M (2007). ”Cultural Approaches in the Sociology of Social


Movements,” dalam Bert Klandermans & Conny Roggeband
(eds), Handbook of Social Movements Across Disciplines.
Amsterdam: University Department of Social Sciences and
Texas A & M University, College Station, Texas. hal, 58, Bab, 3

........................ (2010). Social Movement Theory Today: Toward a Theory of


Action?.Sociology Compass 4/11 (2010): pp.,965-976,
10.1111/j.9020.2010.000329.x,.New York: Graduate Center of
the City University of New York

Kuhn, Thomas (1962). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago:


University of Chicago Press

LeBon, Gustave (1897). The Crowd. London: Unwin

Lioyd dan Rudolph, Susanne (1969). The Modernity of Tradition. New


York: Chicago Press

136
Lechte, John (1994). Fifty Key Contemporary Thinkers. Routledge: London
and New York. (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer; dari
Strukturalisme sampai Postmodernitas, diterbitkan Yayasan
Kanisius, Yogyakarta, 2001)

McCarthy, John dan Myer Zald (1987).“Social Movement Industries:


Competition and Conflict Among SMOs,”dalam Mayer Zald
and John McCarthy (eds.). Social Movement in an
Organizational Society. New Brunswick, NJ: Transaction

Mirsel, Robert (2004). Teori Pergerakan Sosial; Kilasan Sejarah dan


Catatan Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book

Manan, Munafrizal (2005). Gerakan Rakyat Melawan Elit. Yogyakarta:


Resist Book

Olson, Mancur (1965). The Logic of Collective Action. Cambridge: Harvad


University Press

Pizzorno, A (1978). Political Exchange and Collective Identity in Industrial


Conflict’, in C. Crouch and A. Pizzorno (eds), Resurgence of
Class Conflict in Western Europe Since 1968. Londong:
Macmillan

.................... (1985). On the Rationality of Democratic Choice, Telos, volume.


63 (Spring)

Porta, della, Donatella dan Diani, Mario (1999). Social Movements: An


introduction. USA, New York: Blackwell Publishing

137
Roy, Singha (1959). The Crown in the French Revolution. Oxford: Oxford
University Press

.................... (1963).”The Study of Popular Disturbances in the Pre-Industrial


Age”, Historical Studies. (Melbourne), May, hal, 457-69

Rude, George (1964). The Crowd in History, 1730-1840. New York: John
Wiley and Sons

Rudebeck, Lars (1992). “Introduction”, in Lars Rudebeck (ed.), When


Democracy Makes Sense. AKUT. Sweden: Uppsala University

Ritzer, George dan Goodman, Douglas, J (2003). Modern Sociological


th
Theory 6 Edition. New York: McGraw Hill. (diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh A. Alimandan, menjadi Teori
Sosiologi Modern Edisi Keenam)

Ritzer, George (2008). The Postmodern Social Theory (diterjemahkan ke


dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Taufik menjadi
Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kerjasama Kreasi
Wacana dengan Juxtapose Research and Publication Study
Club

Smelser, Neil J (1963). Theory of Collective Behavior. New York: The Free
Press of Glencoe

Scott, J. C (1977). The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and


Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press

Scott, James, C (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of


Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press. (di
Indonesia diterjemahkan menjadi, Senjatanya Orang-orang

138
Kalah, oleh A. Rahman Zainuddin, dkk. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2000)

........,...........,.... (1989). ’Everyday Form of Resistance’, in Forrest D. Colburn


(eds), Everyday Form of Peasant Resistance. New York,
London: M.E. Sharpe

........,...........,.. (1990). Domination and the Arts of Resistance: Hidden


Transcripts. New Haven and London: Yale University Press

Scott, J. C (2009). The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of


Upland Southeast Asia. Yale University Press
Scott, James, C. and Benedict J. Tria Kerkvliet (1986). “Some Issues in
Everyday Forms Peasant Resistance” in South-East Asia,Journal
of Peasant Studies, volme 13, no. 2

Singh, Rajendra (2001). Social Movement, Old and New: A Post-Modernist


Critique diterjemahkan menjadi Gerakan Sosial Baru
(GSB).Yogyakarta: Resist Book (terj, Indonesia diterbitkan
tahun 2010)

Smith, Jackie dan Fetner, Tina (2007). “Structural Approaches in the


Sociology of Social Movements”. (Bab 2, hal, 13) dalam
Handbook of Social Movements Across Disciplines. Bert
Klandermans and Conny Roggeband (eds) USA, New York:
Springer Science Business Media, LLC 233 Spring Street

Tarde, Gabriel (1903). The Laws of Imitation. New York: Holt

Touraine, Alain (1973). The Self Production of Society. Chicago: University


of Chicago Press. (diterjemahkan oleh Derek Coltman, dari
Bahasa Perancis Production de la societe, Paris, Seuil, 1973)

139
................ (1981). The Voice and the Eye. New York: Cambridge University
Press

................ (1985). “An Introduction to the Study of Social Movements”,


Social Research, volume 52, no. 4, hal, 749-87

................ (1987). “Social Movements: Participation and Protests”,


Scandinavian Political Studies, volume 10, no.1, hal, 125

Tilly. Charles, Louse Tilly and Richard Tilly (1975). The Rebelious Century,
1830-1930. Cambridge: Harvard University Press

Tilly, Charles (1978). From Mobilization to Revolution. Reading, MA:


Addison Wesley

Thompson, Erward P (1981). The Making of the English Working Class.


Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books

Turner, Ralph dan Lewis, Killian (1987). Collective Behavior. Englewood


Cliffs, NJ: Prenctice-Hall. (aslinya terbit tahun 1957)

Zald, Mayer dan Roberta Ash (1966). Social Movements in Organization:


Coup d‟Etat, Insurgency, and Mass Movements, “American
Journal of Sociology, 1983, January

140
TENTANG PENULIS

Joni Rusmanto, dilahirkan di Kota


Palangka Raya Propinsi Kalimantan
Tengah Tanggal 10 Oktober 1974. Sejak
tahun 2006 hingga sekarang sebagai
Dosen Tetap/ASN. Jabatan fungsional
terakhir Lektor dengan kompetensi
keilmuwan bidang Sosiologi dan sub
spesialis kajian Social Movement Studies
dan Social Resistance Perspective di
Jurusan Sosiologi Fakutas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Palangka Raya.
Pengalaman jabatan struktural tambahan pada tahun 2008
sampai dengan 2011 dipercaya sempat memegang tugas sebagai
Sekretaris Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi
Universitas Palangka Raya.
Latar belakang pendidikan Strata Satu (S1) Jurusan Filsafat
Teologi pada Tahun Ajaran 1994/1995 diperoleh dari STT GKE
Banjarmasin Kalimantan Selatan. Pendidikan Strata Dua (S2) Sosiologi
Agama diraih pada Program Studi Agama dan Masyarakat pada tahun
2002 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Jawa Tengah.
Menyelesaikan pendidikan terakhir Program Doktor Studi Ilmu-ilmu
Sosial pada Tahun Akademik 2016/2017 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Airlangga Surabaya.
Beberapa karya tulis ilmiah yang dipublikasikan baik informal
maupun formal antara lain Konflik Etnik Dayak dan Madura di
Kalimantan Tengah (tahun 2001), Sistem Perladangan dalam Masyarakat
Dayak Ngaju Kalimantan Tengah; Kajian dalam Perspektif Sosio~Kultural
(dipublikasikan dalam Jurnal Tunjung Nyaho, Unpar, edisi 1, Vol. tahun
2009), Societas Indonesia dalam Panorama Politik, Hukum, Budaya dan
Postmodernitas (Sketsa Metodologi Pemikiran dalam Filsafat

141
Fenomenologis) tahun 2010, Manyanggar: Ritus Tolak Bala dalam
Masyarakat Dayak Ngaju (Kajian dalam Perspektif The Social
Construction of Reality Peter L. Berger dan Thomas Luckmann) tahun
2009. Dayak Kalimantan: Perjuangan Rivalitas dan Harmonisitas; Kritik
Politik Pembangunan dalam Era Postmodernitas, tahun 2010.
Karya ilmiah yang dihasilkan terakhir dalam bentuk buku ilmiah
monografi antara lain; Gerakan Sosial, Sejarah Perkembangan Teori
antara Kekuatan dan Kelemahannya (Cetakan Pertama, Desember 2012,
ISBN: 978-602-18597-8-0), SKETSA ANATOMI TEORI SOSIAL
KONTEMPORER, BERDASARKAN PARAMETER PETANYAAN YANG
DIAJUKAN & DIBAHAS TEORETISI (Edisi 1, Cetakan I, Maret 2012, ISBN:
978-602-6851-68-0), yang dipublikasi bekerjasama Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UPR dengan Zifatama Publishing Surabaya.
Karya tulis dalam bentuk Jurnal ilmiah terakhir publikasi
internasional berjudul “Land Reclaiming Movement against Palm
Plantation Corporation: Case Study of Koling Village Community, Central
Kalimantan, Indonesia” (JOURNAL OF MANAGEMENT AND
ADMINISTRATIVE SCIENCES E-ISSN: 2225-7225, 08.02.2017 Published by
Pakistan Society for Business and Research Promotion, in Vol.4 No.06
published on Feb 19, 2017.

142
TENTANG EDITOR

Ester Sonya Ulfaritha,M.Si, lahir di Kota Luwuk


Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah
pada Tanggal 27 November 1970. Pekerjaan
sehari-hari sebagai staf pengajar tetap/ASN di
Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Palangka Raya sejak 2008 sampai
sekarang. Selain sebagai Dosen Tetap, juga
memiliki tugas tambahan sebagai Sekretaris
Jurusan Ilmu Pemerintahan mulai tahun 2016 hingga sekarang.
Pernah menempuh dan lulus Program Studi Strata Satu (S1)
Jurusan Filsafat Agama Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT)
pada Tahun Ajaran 1989/1994. Pendidikan Strata Dua (S2) ditempuh
dalam bidang Sosiologi Agama di Program Studi Agama dan
Masyarakat pada Tahun Akademik 2000/2002 di Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) Salatiga Jawa Tengah.
Beberapa karya ilmiah yang pernah dihasilkan berjudul, Realitas
Indonesia di Era Masyarakat Postmodern (Diskursus Agama, Politik,
Hukum, Budaya dan Postmodernitas dalam Perspektif Fenomenologi),
Jurnal Sosiologi, ISSN 22396-2274, Edisi Juli-Desember 2013. Societas
Indonesia Masa Kini: Diskursus Fenomenologi tentang Agama, Politik,
Hukum, Budaya dan Postmodernitas (Jurnal INOVASI, DIKLAT
Keagamaan Surabaya, JawaTimur, ISSN 1978-4953, Vol.7 No. 04,
Oktober – Desember 2013, Hal. 457-468).

143

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai