Anda di halaman 1dari 37

POSTMODERNISME

1. Pendahuluan

Pemikiran manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan perkembangan
dalam berbagai hal. Hal ini tidak terlepas dari keinginan manusia yang selalu menginginkan
sebuah perubahan karena bertambahnya persoalan dan juga kebutuhan. Kehidupan terus berjalan
dan manusia terus mengembangkan pemikirannya dan terus berupaya mengembangkan
kehidupannya.

Demikian halnya ilmu pengetahuan juga terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun
bahkan dari abad ke abad karena sifat manusia yang tidak pernah merasa puas terlebih dalam hal
keilmuan. Filsafat Barat dimulai oleh seorang filsuf dari Miletos, Thales (624-545 SM) yang
mengatakan bahwa zat pertama dan utama terbentuknya sesuatu itu adalah air. Sementara filsuf
selanjutnya, Anaximander (610-546 SM) yang mengatakan bahwa substansi asal itu bukan air
(Maksum, 2012, pp. 44–45). Perubahan dan perkembangan tersebut tentunya dalam upaya untuk
menuju pada suatu kondisi yang lebih sempurna seiring dengan perkembangan dan kemajuan
pemikiran manusia.

1.1 Mengenal Postmodernisme

Sama halnya dengan postmodernisme, kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari adanya
paham modernisme. Postmodernisme muncul diakibatkan karena kegagalan modernisme dalam
mengangkat martabat manusia. Bagi postmodernisme, paham modernisme selama ini telah gagal
dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik dan tidak
adanya kekerasan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa modernism meskipun
memiliki sisi positif, namun banyak sisi negative yang membawa kehancuran bagi umat
manusia, peperangan terjadi dimana-mana yang hal ini mengakibatkan manusia hidup dalam
penderitaan. Pandangan modernisme menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan harus
mutlak serta objektif, dan tidak adanya nilai dari manusia. Di sinilah muncul suatu paham
postmodernisme yang merupakan kelanjutan, keterputusan, dan koreksi dari modernisme untuk
memberikan suatu pemikiran baru dan solusi dalam menjalani kehidupan yang semakin
kompleks ini. Bagi postmodernisme ilmu pengetahuan tidaklah objektif tetapi subjektif dan
interpretasi dari manusia itu sendiri, sehingga kebenarannya adalah relatif.

Postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan diperkenalkan oleh Jean-
Francois Lyotard di tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan
universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme (Maksum, 2014, pp.
304–305). Postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi kembali
paradigma modern (Wora, 2006, p. 93). Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide baru yang
menggantikan ide-ide zaman modern (Leahy, 1985, p. 271).

0
Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan suatu ide baru yang
menolak paham modernisme yang mencoba untuk memberikan kritikan-kritikan terhadap
modernisme yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat
manusia. Posmodernisme merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju
pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri.

1.2 Modernisme dan Postmodernisme

Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa kepada perubahan dunia yang
lebih mapan dimana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita
menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat
manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014, p. 309). Namun demikian,
modernisme memiliki sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasi.
Menurut Anthony Giddens, modernism menimbulkan berkembangnya petaka bagi umat
manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan
oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat,
kerusakan hidup yang kian menghawatirkan (Maksum, 2014, p. 311).

Modernisme menyatakan bahwa sesuatu itu dikatakan benar ketika sesuai dengan konsensus
atau aturan yang berlaku di dunia modern, yaitu rasional dan objektif. Namun Soren Kierkegaard
(1813-1855) berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektif. Truth is subjectivity, artinya
bahwa pendapat tentang kebenaran subjektif itu menekankan pentingnya pengalaman yang
dialami oleh seorang individu yang dianggapnya relatif (Ghazali & Effendi, 2009, p. 314).

Berdasarkan latar belakang di atas itulah, para pemikir postmodernisme berusaha


menghadirkan sebuah gagasan baru yang disebut dengan postmodernisme dalam rangka
melakukan dekonstruksi paradigma terhadap berbagai bidang keilmuan, sebagai sebuah upaya
untuk mengoreksi atau membuat dan bahkan menemukan paradigm yang baru. Postmodernisme
seperti yang dikatakan oleh Derrida dan Lyotard (Lyotard, 1984), merupakan anti tesis dari
modernisme. Hampir semua istilah yang diajukan oleh postmodernisme adalah antonimasi dari
modernisme. Kelahiran postmodernisme membuat istilah baru dan mengakibatkan perbedaan
dengan paham modernisme. Berikut ini beberapa istilah yang digunakan oleh aliran modernisme
dan postmodernisme atau pembeda antara keduanya (Maksum, 2014, p. 348):
Table 1. 1 Perbedaan Modernisme dan Postmodernisme

MODERNISME POSMODERNISME
Sentralisasi Desentralisasi
Pertarungan Kelas Pertarungan Etnis
Konstruksi Dekonstruksi
Kultur Sub-Kultur
Hermeneutis Nihilisme
Budaya Tinggi Budaya Rendah
Hierarki Anarki
Industri Pasca-Industri
Teori Paradigma
Kekuatan Negara Kekuatan Bersama
Agama Sekte-sekte
Legitimasi Delegitimasi
Konsensus Dekonsensus
Budaya Tradisional Liberalisme
Kontinuitas Diskontinuitas

2. Postmodernisme dan Filsafat

Postmodernisme lahir dari kesangsian akan gagasan asal muasal. Postmodernisme berusaha
membangkitkan gagasan tentang “kematian Tuhan” dan menolak gagasan asal mula.
Filosofi postmodernisme dianggap telah membongkar sifat komprehensif dari ortodoksi
Barat. Ilmu pengetahuan dianggap dipertanyakan, dan itu bukan lagi pekerjaan filsafat untuk
menyediakannya. Subjek manusia direbut hingga tampaknya tidak ada lagi (mungkin tidak
pernah terjadi), dan akibatnya, humanisme filosofisnya, terungkap sebagai bentuk penindasan
terselubung. Logika narasi dipecah, menghilangkan salah satu prinsip pengorganisasian sentral
pemikiran barat.
Inti dari pembahasan di atas adalah resistensi terhadap totalitas (khususnya, sistem filsafat
yang terdiri dari tradisi Barat), ke teleologi (gagasan bahwa sistem tersebut mungkin menuju
suatu titik tertentu) dan untuk penutupan narasi, konseptual, metafisis. Dalam tradisi filsafat, dua
pendukung utama hal ini adalah Descartes, yang metode skeptisme radikal menyebabkan
fundamentalis mengklaim bahwa awal yang benar akhirnya bisa dibuat. Yang kedua adalah
Hegel, yang pendekatan sintetiknya pertama-tama mengorganisir seluruh tradisi menjadi
kesatuan yang bertujuan dan dialektis, dan kemudian berasumsi bahwa itu telah mencapai
puncaknya, tanpa pekerjaan lebih lanjut.
Pada bagian berikut ini akan dijelaskan reaksi postmodernis terhadap hal legacy ini, upaya
filosofis untuk mengungkapkan kesenjangannya, inkonsistensi, dan kekurangan, dan upaya yang
dilakukan untuk mengakhiri itu.
2.1 Perubahan Bahasa: Akhir Metafisika

Istilah, "metafisika" awalnya diciptakan hanya untuk menunjuk sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan oleh ilmu-ilmu fisik. Namun pada abad kedua puluh, berbagai macam makna telah
ditambahkan, memberi restitusi pemisahan manusia dari alam, dan membentengi proyek
humanism ortodoks dan menyediakan faktor penghubung antara fundamentalisme Cartesian dan
sintesis Hegelian. Descartes menggambarkan pengetahuan sebagai pohon, dengan metafisika
sebagai akarnya; oleh metafisika, maka, ia berarti sebagian besar epistemologi. Demikian pula,
Hegel's Phenomenology of Mind digambarkan sebagai sebuah perjalanan menuju “pengetahuan
absolut,” dimana pikiran menyadari bahwa pengetahuan yang dicari adalah pengetahuan diri,
mengetahui pemikiran itu sendiri sebagai pikiran. Humanisme metafisis dengan demikian
dicirikan oleh dorongan untuk mengetahui, namun impuls yang tampaknya mulia ini memiliki
sisi bawah yang meragukan - ia dapat dengan mudah berpindah ke keinginan untuk memiliki dan
menguasai, untuk mengubah kebisuan dan perbedaan menjadi kesamaan.
Penolakan postmodernis metafisika didorong oleh perubahan terhadap bahasa. Dalam istilah
filosofis, ini berasal dari dua sumber, biasanya dianggap sebagai antitesis. Dari dalam tradisi
analitis, filosofi Ludwig Wittgenstein mewariskan cara berpikir baru dan terminologi baru -
"permainan bahasa," "kemiripan keluarga," "bentuk kehidupan," "argumen bahasa pribadi" -
bahwa postmodernisme filosofis telah berasimilasi dan mengerjakan ulang citranya sendiri.
Intinya bahwa kata-kata bergantung pada kata lain sehingga bermakna, bukan pada referensi
ke beberapa realitas ekstra-linguistik. Dari sini muncullah diktum postmodernis bahwa bahasa
membangun identitas manusia, bukan sebaliknya. Heidegger menulis: “Manusia bertindak
seolah-olah dia adalah pembentuk dan ahli bahasa, sementara dalam kenyataannya bahasa tetap
menjadi tuan bagi manusia.” Pergantian linguistik yang terkait dengan kondisi postmodern ini
jelas bersifat antihumanis, menyangkal manusia sebagai perintah instrumental bahasa yang
mendukung kepercayaan pada "manusia metafisis." Gagasan "akhir meta-fisika" adalah arus
yang kuat dalam filsafat postmodernisme.
2.2 Deregulasi subjek: akhir dari manusia

Dalam tradisi barat, manusia telah menjadi ukuran segala sesuatu dan pembuat semua
makna - dan subjek otonom, transendental "situs" dimana makna menjelma. Pemisahan yang
tegas antara manusia dan pengaturan alam dapat dipertahankan dengan menegaskan bahwa
manusia pada dasarnya adalah "metafisik," makhluk yang haus kebenaran yang merindukan
pencerahan. Dilengkapi dengan optik metafisika ini, manusia mampu mengubah pengalaman
menjadi pengetahuan, dan keterlibatannya di dunia – tidak sekedar pasif- menjadi bahan untuk
pemberdayaan manusia.
Pernyataan yang paling berpengaruh dari "akhir manusia" berasal dari analisis historis
Michel Foucault. Semangat anti-humanisnya dimanifestasikan dalam satu ekspresi: manusia
adalah sebagai “doublet empiris-transendental.” Entitas aneh ini muncul karena ilmu
pengetahuan manusia, yang kecenderungannya menempatkan manusia sebagai keduanya,
sebagai asal muasal (transendental) dan batas evaluatif (empiris) menempatkannya dalam posisi
yang tidak dapat dipahami. Seperti yang ditulis Dreyfus dan Rabinow, “Modernitas dimulai
dengan gagasan yang luar biasa tetapi tidak bisa dijalankan tentang seorang (being) yang
berdaulat namun juga diperbudak, makhluk yang sangat terbatas tetapi dikatakan memiliki
kemampuan untuk menggantikan tempat Tuhan.
Apa yang dikatakan postmodernis dengan gagasan “matinya subyek” adalah keyakinan anti-
antroposentris bahwa manusia bukan lagi ukuran segala sesuatu, tetapi sesuatu yang harus
diukur, seperti hal lain di dunia. Walaupun terus menjadi polemik teoritis dalam ekologi,
pelemahan terhadap manusia terus berlanjut dalam postmodernisme.
Pernyataan paling menonjol dari teori ekologi postmodern berasal dari kritik Heidegger
tentang alam. Sikapnya yang antipati terhadap tindakan manusia terletak pada bahaya "kehendak
ke kehendak", hasrat tak terbatas untuk menguasai alam dan menguasai bumi. Keinginan untuk
penguasaan ini, yang dimanifestasikan melalui penguasaan teknologi manusia, adalah apa yang
ada di balik praktik perusakan lingkungan pada abad ke-20.
Dalam tulisannya, Deleuze dan Guattari menyatakan posisi mereka dengan jelas, di halaman
awal Anti-Oedipus: Kami tidak membuat perbedaan antara manusia dan alam: esensi manusia
dari alam dan esensi alami manusia menjadi satu di alam dalam bentuk produksi atau industri,
sama seperti yang mereka lakukan dalam kehidupan manusia sebagai suatu spesies. . . manusia
dan alam tidak seperti dua istilah berlawanan yang saling bertentangan. . . namun, mereka adalah
satu dan realitas esensial yang sama, produsen-produk.
2.3 Akhir dari narasi

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, akhir kedaulatan manusia adalah proyek yang sedang
berlangsung bagi postmodernisme. Hal yang berkaitan erat dengan ini adalah pertanyaan tentang
praktik terkait manusia lainnya.
Alasdair MacIntyre mengangkat masalah dengan klaimnya bahwa “manusia ada dalam
tindakan dan praktiknya serta dalam fiksinya, pada dasarnya adalah hewan yang bercerita. Jika
memang demikian, maka interogasi manusia harus diperluas ke intrik logika narasi. Dunia tidak
dapat dijelaskan karena itu diceritakan seperti sebuah cerita.
Jean-Francois Lyotard menyatakan dua argumen terkait tentang naratif. Yang pertama
"pengetahuan narasi," dan yang lain putatif, "pengetahuan ilmiah." Yang pertama, tidak
memerlukan "bukti" di luar konsistensi internal dan aturan prosedurnya sendiri; di luar itu,
artinya, statusnya yang heterogen sebagai permainan bahasa tertentu. Pengetahuan ilmiah,
sebaliknya, selama berabad-abad mengklaim menjadi universal dan otoritatif, transenden dari
semua permainan bahasa lainnya. Ilmu pengetahuan selalu menganggap pengetahuan narasi
memiliki tingkat yang lebih rendah.
Dua "narasi utama" telah menentukan pemahaman diri barat - kisah Pencerahan kemajuan
dan emansipasi politik, dan narasi Hegelian tentang manifestasi dari alasan ilmiah.
Sebaliknya, postmodernitas mengakui kemustahilan dari usaha ini dan kebutuhannya akan
legitimasi, dan mundur darinya: "Menyederhanakan sampai ekstrem, mendefinisikan postmodern
sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi." Dalam postmodernitas, legitimasi tidak berdiri
di luar praktik sosial, tetapi "jamak, lokal, dan tetap ada. ”Dengan kata lain, permainan bahasa
narasi telah menjadi model bagi setiap jenis legitimasi, tidak lagi memainkan biola kedua untuk
“transendensi” ilmiah. Kematian narasi utama dengan demikian melahirkan kelahiran narasi
lokal, dengan penekanan pada keragaman dan heterogenitas.
2.4 Simulasi nyata: akhir dunia

Jean Baudrillard pada tahun 1980-an menyatakan hilangnya jenis "dunia nyata": yang
konkret, fondasi material dimana sistem manusia menunjuk. Jadi, bukanlah pasangan
tanda/objek, dengan “landasan” substantif di bawah berbagai bentuk representasi budaya -
sesuatu untuk mengaitkan representasi tersebut, seperti “dunia nyata” kebenaran metafisis
Nietzsche - hanya ada representasi itu sendiri, hanya “simulasi” realitas konkret.
Dengan tidak adanya "nyata," hanya ada "lebih dari nyata atau hyperreal." Seperti yang
digambarkan Baudrillard dalam ". . . Or the End of the Social, "hyperreal bukanlah peninggian
atau distorsi yang nyata, tetapi" reduplikasi yang teliti, "dieksekusi dengan" hyperfidelity
makroskopis "seperti untuk menghapus semua tanda-tanda status palsunya. Ini adalah
penghapusan jarak antara nyata dan representasional ganda yang menghasilkan hyperreal,
menghilangkan referensialitas dalam proses.
Ada komponen historis untuk argumen Baudrillard. Hyperreal telah menggantikan yang
nyata karena satu hal telah memungkinkan: teknologi.
2.5 Krisis identitas: akhir dari “manusia”

Sejauh ini kita telah melihat postmodernisme filosofis yang digambarkan sebagai
postmetafisik, anti-antroposentris, kontra-humanis, non-naratif dan hiper-realis. Filosofi feminis
postmodern menyediakan persimpangan jalan di mana semua kritik ini bertemu. Sebagaimana
yang telah dikemukakan Linda Hutcheon, praktik-praktik feminis telah membentuk sebagian
besar kemunculan dan perkembangan gaya pemikiran pasca-modernis (meskipun harus berhati-
hati untuk tidak mengaitkan feminisme dengan postmodernisme). Di bidang filsafat, para
pemikir feminis seperti Irigaray telah melihat tradisi sebagai tempat konflik: "Pengaturan
filosofis memang harus dipertanyakan, dan diganggu, sejauh itu mencakup perbedaan seksual."
2.6 Setelah akhir: menuju posthuman

Saat berbicara tentang hal-hal akhir (terutama akhir dari sejarah), maka kita harus berbicara
tentang apa yang ada di balik akhir dan juga, pada saat yang sama, berbicara tentang
kemustahilan untuk berakhir." Jean Baudrillard menjelaskan, sekali wacana "endisme" dibahas,
menjadi tidak mungkin untuk lepas dari tema terminasi-dan-penangguhan.
Tetapi jika situasi sekarang tidak lagi begitu menekan atau melumpuhkan, itu karena
berbagai bentuk endisme, sebagian besar, telah berakhir. Kenyataannya, Jacques Derrida
(seorang kritikus yang tegas sejak awal) yang pada tahun 1983 melontarkan kritik terhadap
retorika yang mencolok yang telah mengakar di sekitar “akhir filsafat.” Bahkan Kant, pada
zamannya, Derrida berpendapat, mengecam klaim "apokaliptik" bahwa filsafat sudah berakhir -
pada saat yang sama ketika ia "membebaskan gelombang lain diskursus eskatologis dalam
filsafatnya." (Endisme sebagai bentuk kemampuan negatif masih ada bahkan pada abad ke-18).
3. Postmodernisme dan Film

Film memiliki kaitan erat dengan posmodernisme. Film merupakan hasil interaksi antara
manusia (si pembuat film) dengan jaman atau kebudayaan dimana dia hidup, sehingga di
dalamnya dapat terselip muatan-muatan filosofis dari kebudayaan tersebut.
Pada bagian ini akan dijabarkan bagaimana pandangan postmodernisme Jean Baudrillard
dan Fredric Jameson memiliki dampak yang signifikan terhadap bidang kajian film, yang
mempengaruhi baik teori dan sejarah film. Aspek yang paling berpengaruh dari karya masing-
masing tokoh tersebut diuraikan dalam dua bagian pertama. Bagian pertama berfokus pada dua
teks kunci Baudrillard: Simulasi dan Amerika (Simulations and America), sementara bagian
kedua membahas artikel terkenal Jameson “Postmodernisme dan Masyarakat Konsumer
(Postmodernism and Consumer Society).” Pada bagian selanjutnya, akan diperlihatkan
bagaimana gagasan mereka diambil dan juga ditantang.
3.1 Jean Baudrillard

Filsuf Perancis Jean Baudrillard (1929-2007) adalah salah satu teoretikus postmodern yang
paling berpengaruh. Konsepsi Baudrillard semakin penting di dunia saat ini karena hidup kita
semakin terasa jenuh dan dimediasi oleh teknologi.
Sependapat dengan Baudrillard, budaya kita telah menjadi sebuah simulasi daripada
kenyataan. Kata "simulacra" adalah representasi ini. Saat ini kita sadar bahwa yang asli telah
menjadi begitu direplikasi dan kita telah kehilangan yang asli. Kita telah mengganti yang asli
dengan yang palsu dan kita telah kehilangan kemampuan untuk membedakan antara nyata dan
simulasi. Gagasannya tentang hiperrealitas (hyperreality) adalah ketidakmampuan untuk
membedakan keduanya.
Simulasi ialah istilah yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan hubungan-hubungan
produksi, komunikasi dalam masyarakat kapitalis-konsumer Barat, yang dicirikan oleh ‘over-
produksi’, ‘over-komunikasi’ dan ‘over-konsumsi’- melalui media massa, iklan, fashion,
supermarket, industri hiburan, turisme dan sebagainya. Akan tetapi, istilah simulasi yang
digunakan baudillard, secara tersirat juga menunjuk kepada pengalaman ‘ruang’ dan pengalaman
totalitas hidup didalam dunia ‘simulasi’ kapitalisme mutakhir barat. Dengan demikian pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan matakhir masyarakat kapitalis Barat itu
sendiri yang juga disebut masyarakat post-industri atau masyarakat consumer.
Bagaimana kemudian ini menjadi kritik terhadap realitas yang ada saat ini, seperti yang
dikatakan Baudrillard bahwa simulasi sebagai model produksi ‘penampakan’ dalam masyarakat
konsumer tidak lagi berkaitan dengan duplikasi ‘ada’(being) atau substansi dari sesuatu yang
diduplikasi, melainkan penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata tanpa ada asal usul
atau realitas, hyper-realitas”
Bagi Jean Baudrillard, dalam kebudayaan kontemporer, ungkapan bernada nihilis ”semua
yang nyata menjadi simulasi” barangkali adalah cara terbaik untuk menggambarkan realitas
kebudayaan dewasa ini. Bagi Baudrillard melalui konsep simulasi, hal itu tidak lebih sebagai
arena manipulasi citra dan konstruksi imajinasi atas kuasa tanda dalam masyarakat post
industrial dewasa ini. Dengan contoh yang sederhana Baudrillard meilustrasikan dunia simulasi
menyerupai analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan
representasi dari suatu wilayah, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi malah sebaliknya.
Peta mendahului (melampaui) wilayah. Realitas sosial, budaya, ekonomi bahkan politik, dirujuk
berlandaskan bangunan model-model yang telah dibuat sebelumnya. Dalam dunia simulasi,
keliru jika menganggap realitas adalah kenyataan yang otentik, justru model dan tampilan itulah
diyakini sebagai kenyataan (Baudrillard, 1998). Sebagai contoh sebagian masyarkat dewasa ini
terpukau pada iklan televisi, anak-anak terpukau pada tokoh Disneyland seperti Mickey Mouse
turut menuguhkan imajinasi dunia hiburan yang semu, namun diyakini sebagai kenyataan tanpa
tanding itu, adalah model-model acuan nilai, representasi dan makna sosial budaya masyarakat
dewasa ini.
Dalam bukunya Simulation (1983), Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter khas
kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang
terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang
jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta
tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin kelindan
membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang
palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat
Barat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum,
sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi
punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi
panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri
pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi
hampir seluruh proses komunikasi manusia.
Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-
model yang ditawarkan televisi, iklan atau tokoh-tokoh kartun. Lewat televisi, misalnya, dunia
simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori
nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya
lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak hanya diproduksi,
disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini
membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat dewasa ini. Televisi yang disebut
Baudrillard sebagai artefak postmodernisme yang paling meyakinkan, pada kenyataannya sama
nyatanya dengan pelajaran Sejarah atau Etika di sekolah sebab keduanya sama-sama
menawarkan informasi dan membentuk pandangan serta gaya hidup manusia.
Dalam karyanya, Simulacra and Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan karya
monumentalnya Simulations (1983), Baudrillard melahirkan gagasannya tentang masyarakat
hiperrealitas. Menurut Baudrillard, realitas simulasi yang dihasilkan oleh berbagai teknologi baru
– micro processor, memory bank, remote control, dan sebagainya – telah mampu mengalahkan
realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Citra
lebih meyakinkan ketimbang fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari.
Inilah dunia hiperrealitas: realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak.
Dalam dunia hiperrealitas, objek-objek asli yang merupakan hasil produksi bergumul
menjadi satu dengan objek-objek hiperreal yang merupakan hasil reproduksi. Realitas-realitas
hiper, seperti shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada kenyataan yang sebenarnya,
dimana model, citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa sebagai pengontrol pikiran dan
tindak-tanduk manusia. Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra)
seolah menjadi lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan (citra-citra) kini
tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun kedalaman makna.
3.2 Jameson

Dalam "Postmodernisme dan Masyarakat Konsumen" Jameson memberikan analisis tiga


tahap tentang perkembangan kapitalisme, menghubungkan setiap tatanan ekonomi baru dengan
"munculnya jenis kehidupan sosial baru" dan "munculnya fitur formal baru dalam budaya."
1) Tahap pertama, kapitalisme pasar, ditandai oleh pertumbuhan industri yang menciptakan
barang untuk pasar nasional. Era kapitalisme klasik ini menandai "masa kejayaan keluarga
inti" dan kebangkitan borjuis, keduanya tercermin dalam bentuk estetika realisme yang
dominan.
2) Tahap kedua, kapitalisme monopoli, sejalan dengan zaman imperialisme dan dicirikan oleh
penciptaan pasar dunia, yang diorganisir di seluruh negara bangsa. Pada tahap ini yang
mejadi "dominan secara budaya" adalah modernisme.
3) Tahap ketiga dan terakhir adalah kapitalisme multinasional, yang ditandai dengan
perkembangan pasar global dan perusakan batas-batas nasional. Era kapitalisme
multinasional saat ini dicirikan oleh bangkitnya birokrasi, menandakan berakhirnya subjek
individu borjuis dari era klasik. Dominan budaya adalah postmodernisme, yang dilihat
sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk seni modernis.
Karya Jameson sangat berpengaruh karena ia mendefinisikan beberapa fitur estetik kunci
dari postmodern, seperti erosi perbedaan antara budaya tinggi dan rendah, penggabungan materi
dari teks lain, dan penghancuran batas antara aliran penulisan yang berbeda. Berakhirnya subjek
individualis yang berdampak pada bidang estetika karena merupakan akhir konsepsi tradisional
seorang seniman. Akibatnya, seni tidak bisa lagi menjadi ekspresi dari "dunia dan gaya pribadi
yang unik." Seniman postmodern tidak dapat menemukan perspektif baru dan mode ekspresi
baru; sebaliknya, mereka beroperasi dengan mendaur ulang karya dan gaya sebelumnya. Jadi,
seni postmodern mengambil bentuk campuran: "dimana inovasi gaya tidak lagi mungkin, semua
yang tersisa adalah meniru”.
Definisi Jameson mengenai pastiches (campuran, imitasi) sebagai "parodi kosong" mengacu
pada fitur-fitur utama “kekosongan dan kehilangan” dari Baudrillard. Bagi Jameson, parodi
adalah imitasi komik, pengeditan, teks asli atau gaya artistik. Sebaliknya, pastiche adalah "parodi
yang telah kehilangan selera humornya". Itu tidak memancing tawa karena peniruan tidak dapat
lagi dilakukan dalam kaitannya dengan norma-norma linguistik. Hilangnya norma juga menandai
berakhirnya orisinalitas karena sifat unik dari perspektif seniman diukur oleh jaraknya dari
kesesuaian.
3.3 Modernisme/postmodernisme

Sementara Baudrillard dan Jameson menjelaskan tentang postmodern yang meniadakan


perbedaan antara estetika dan sosioekonomi, Mariam Bratu Hansen menggunakan perbedaan
tersebut untuk mendiskusikan penempatan sinema Hollywood yang problematik. Dia
berpendapat bahwa perdebatan tentang modernisme dalam teori film telah memfokuskan secara
eksklusif pada kategori estetika modernisme, memposisikan sinema Hollywood dari era studio
sebagai lambang yang berbeda dari gaya klasik. Dengan cara ini teori film dapat dilihat meniru
oposisi modernis / klasik, yang telah dikembangkan dalam filsafat, sastra, dan seni rupa. Jadi,
sinema Hollywood klasik dikatakan menggunakan model tradisional narasi linier yang terdiri
dari hubungan sebab akibat, yang sebagian besar berpusat pada karakter. Tiruan dari dunia yang
diwakili dikatakan tertutup oleh penggunaan pengeditan kesinambungan, dan unsur-unsur
tekstual gaya dan kinerja secara tipikal ditundukkan pada narasi yang menyeluruh. Dominasi
narasi mengarah pada pembauran klasik di kemudian hari dengan penyebaran ideologi yang
tidak kritis, kontras dengan bentuk-bentuk estetika sinema yang self-reflexive dan progresif, yang
dikatakan mendekonstruksi ideologi.
Hansen berpendapat bahwa sinema Hollywood dari studio era dalam kategori estetis klasik
mengabaikan hubungannya terhadap modernitas. Dia berpendapat bahwa sinema Hollywood
adalah "inkarnasi modern, media estetika terkini dengan metode Fordist-Taylorist produksi
industri dan konsumsi massa, dengan perubahan drastis dalam hubungan sosial, seksual, dan
gender, dalam struktur material kehidupan sehari-hari, dalam organisasi persepsi indera dan
pengalaman. ”Selain itu, teks-teks film dikatakan memainkan kompleksitas yang melekat pada
pengalaman budaya bernegosiasi dengan modernitas dan modernisasi. Oleh karena itu Hansen
dianggap menawarkan keterkaitan lain antara ekonomi, sosial, dan estetika dalam konstruksi
sinema Hollywood sebagai bentuk baru "modernisme vernakular." Dia berpendapat bahwa
pengakuan berbagai modernisme sangat penting untuk menyanggah oposisi yang telah
mendominasi teori dan sejarah film.
Masalah apakah ya atau tidak New Hollywood menegakkan bentuk estetika baru adalah
bidang utama perdebatan akademis. Sementara para ahli teori sepakat bahwa kebangkitan
blockbuster telah sesuai dengan struktur ekonomi baru, beberapa berpendapat lain bahwa
produk-produk New Hollywood hanya sesuai dengan model narasi klasik.
3.4 Posmodernisme Afirmatif

Film “Face/Off” dipilih karena dapat melambangkan estetika tontonan yang merupakan
aspek kunci dari tindakan yang dilakukan blockbuster. Face/Off adalah film Hollywood ketiga
John Woo dan kehadirannya di Amerika dapat dilihat sebagai bagian dari strategi ekonomi
globalisasi. Film ini dinilai sukses, meraup lebih dari $ 100 juta pada minggu pemutaran
keenamnya.
Woo terkenal karena gaya visualnya dan presentasinya yang sangat terkoreografi tentang
kekerasan yang berlebihan. Memang, Brooker dan Brooker berpendapat bahwa "gambaran
amoral, superfisial dan referensi diri tentang kekerasan" telah menjadi ciri kunci dari estetika
postmodern. Sementara mereka fokus pada karya Quentin Tarantino, retorika "kekerasan" sering
digunakan untuk menggambarkan film-film Woo. Saya akan berpendapat bahwa perlu untuk
bergerak melampaui konsep populer tentang pekerjaan Woo yang dianggap dangkal dan
berlebihan untuk mulai menghargai strategi estetika yang disajikan oleh Face/Off. Analisis ini
juga akan menunjukkan cara-cara di mana film mencapai rasa kesenangannya yang khas;
pertimbangan penting yang menurut Linda Williams sudah hilang dari analisis akademis teks
film terlalu lama.
Postmodernisme afirmatif dicirikan dengan tidak antiepistemologi, antiideologi, atau
antisosial den lebih menekankan pluralisme dalam epistemologi dan ideologi. Dekonstruksi
dipandang bukan sebagai runtuhnya kategori, melainkan perkembangan untuk mencapai
eksistensi.

4. Postmodernisme dan Literatur

4.1 Postmodernisme dan Puisi

Walaupun postmodernisme bukanlah penemuan kesusasteraan, tetapi literatur atau sastra


merupakan salah satu laboratorium bagi postmodernisme yang paling penting. Mungkin karena
sedikitnya studi sastra selama tahun 1970-an dan 1980-an, dibandingkan dengan jumlah siswa
yang mempelajari arsitektur, film, atau disiplin embrional studi perempuan atau studi budaya,
gagasan postmodernisme cenderung seperti dibingkai dengan kaitannya dengan literatur.
Postmodernisme sastra cenderung difokuskan pada satu jenis tulisan, yaitu fiksi naratif.
Buku-buku yang paling berpengaruh pada postmodernisme sastra, seperti Puisi Postmodernisme
(A Poetics of Postmodernisme) karya Linda Hutcheon dan Fiksi Postmodernis (Postmodernist
Fiction) dari Brian McHale, dikhususkan untuk fiksi postmodern. Menjadi aneh bahwa apa yang
Hutcheon sebut sebagai "Puisi Postmodernisme" ternyata menjadi bukti kefiksiannya. Orang
mungkin hampir mengatakan bahwa perpindahan dari modernisme ke postmodernisme
melibatkan perpindahan dari puisi ke fiksi.
Sependapat dengan Joseph Frank ketika menyatakan bahwa sastra modern dicirikan oleh
perjuangannya untuk mencapai "bentuk spasial", yang memungkinkan dan menuntut suatu karya
itu untuk dilihat sekaligus dalam satu perspektif tunggal yang koheren, ia membantu membentuk
penerimaan bahwa karya modernis yang representatif harus menjadi semacam puisi, bahkan saat
benar-benar dilihat dari maksud dan tujuan seperti novel, atau permainan. Puisi berarti
mendimensikan waktu ke ruang, dari suksesi ke simultanitas.
Pada 1950-an dan 1960-an, praktik close reading dan kritikan praktis menyebarkan
pemahaman Kritis Baru tentang hakikat dan nilai analisis literatur. Inti dari pelatihan sastra tidak
hanya untuk membuat seseorang mampu menafsirkan puisi dengan tepat, tetapi juga untuk
menemukan puisi untuk menafsirkan - struktur verbal yang kompleks, dinamis, tetapi seimbang
secara internal dan mandiri - di mana pun seseorang melihat, dan untuk mengubah apa pun yang
dipandang analitis menjadi semacam puisi.
Di mana sastra modernis bekerja tepat waktu, postmodernisme sastra akan bekerja pada
waktunya. Jika modernisme berarti asumsi bahwa pendekatan sastra terhadap kondisi puisi,
postmodernisme berarti kecenderungan untuk menganggap bahwa sastra adalah narasi intrinsik.
Memang, studi modernisme sastra itu sendiri tampaknya kemudian telah dipengaruhi oleh
pergeseran ini, sebagai versi modernisme yang sebelumnya telah difokuskan pada penyair-
penyairnya yang representatif - Yeats, Eliot, Pound, dan Stevens - telah diadaptasi oleh selera
para sarjana. dan para untuk menggeser fokusnya secara signifikan kepada para novelisnya:
James, Conrad, Lawrence, Richardson, Joyce, dan Woolf.
Modernisme juga dicirikan oleh upaya untuk membangun kewibawaan dan keseriusan novel
dengan mengembangkannya semacam puisi, berpusat pada prinsip-prinsip struktur. Bahwa
pertanyaan tentang perspektif, tentang siapa "melihat" dan bagaimana, harus begitu besar baik
bagi penulis fiksi modernis maupun para teorisnya, seperti Henry James dan penerusnya, Percy
Lubbock dan Wayne C. Booth, adalah sebuah indikasi kerja sama yang kuat antara munculnya
"puisi" novel dan konsepsi visual dari bentuknya. Tujuan penulisan adalah untuk membuat
pembacanya “melihat,” efek dari keberadaan ini untuk menunjukkan kealamian dan keinginan
melihat novel dan cerita sebagai gambar - dan, sebagai potret (dari seorang wanita, artis sebagai
pria muda) dan snapshot daripada sebagai gambar bergerak.
Beberapa narasi postmodernis muncul, sebaliknya, bergantung pada suara dan bukan pada
mata, atau, lebih tepatnya, untuk membuat suara sulit untuk mengkodekan baik sebagai cara
melihat atau sebagai sesuatu yang dilihat sendiri. Munculnya postmodernisme temporal
membutuhkan lebih dari keunggulan dan prestise yang menonjol dari narasi; diperlukan juga
sikap yang berbeda terhadap atau teori narasi. Bahkan, ada jeda waktu yang cukup besar antara
pertumbuhan hak istimewa yang diberikan pada narasi puisi dan perkembangan pemahaman non
puitis dari naratif. Selama 1960-an dan 1970-an, munculnya strukturalisme menghasilkan ilmu
baru "narratologi," yang menempatkan dirinya pada pekerjaan menyortir dan menyortir unsur-
unsur yang berulang yang narasinya dibentuk. Teknik utama narasi berasal dari analisis cerita
rakyat dan mitos dengan sejumlah besar varian, di mana tujuannya adalah untuk mengurangi
permainan variasi yang tampaknya arbitrer ke sejumlah struktur atau pola yang berulang.
Untuk mengatakan bahwa postmodernisme sastra telah difokuskan pada narasi jelas bukan
berarti bahwa semua narasi selanjutnya oleh postmodernis sederhana, atau postmodernis dengan
cara yang sama. Seperti dalam seni lainnya, seseorang dapat dengan mudah membedakan apa
yang dapat disebut reaktif dari postmodernisme yang intensif. Hegemoni narasi dalam budaya
Utara, dalam bukti dalam iklan dan permainan komputer serta dalam keinginan yang luas dan tak
tahu malu untuk cerita yang dibuktikan oleh daftar buku terlaris fiksi dan dalam industri film
yang memberi makan dan memperbesarnya, mewakili intoleransi umum cara-cara lain dari
kesusastraan, dan keengganan terhadap kekuatan-kekuatan yang sebelumnya dimiliki oleh puisi,
khotbah, surat, esai, meditasi, dan mode sastra lain yang kurang berbentuk cerita. Ini adalah
bagian dari reaksi terhadap alergi terhadap karakteristik naratif dari modernisme, dan dengan
demikian secara umum merupakan gejala dari memudarnya otoritas modernisme.
Saran Brian McHale yang berpengaruh adalah bahwa di mana fiksi modernis bersifat
epistemologis - yaitu, berkaitan dengan masalah pengetahuan dan pemahaman, fiksi
postmodernis bersifat ontologis - yaitu, berkaitan dengan penciptaan dan keterkaitan dunia-
dunia. Perbedaan ini telah menyulitkan bagi mereka yang gagal melihat bahwa yang terakhir ini
adalah intensifikasi dari yang sebelumnya, daripada istirahat bersih dengannya. Untuk berpindah
dari epistemologi ke ontologi, dari menyaksikan dunia ke pembuatan dunia dan navigasi dunia,
adalah untuk mengenali bahwa masalah-masalah mengetahui keduanya diintensifkan dan
ditransformasikan ketika tindakan melihat dan memahami itu sendiri diambil untuk
menghasilkan dunia atau keadaan ada.
Juga seharusnya arti khusus dari narasi dalam postmodernisme berarti bahwa tidak ada puisi
postmodernis atau drama postmodernis yang signifikan, atau bahwa kritik telah diam tentang
mereka. Tetapi tampaknya menjelaskan fakta bahwa, bahkan di sini, kecenderungannya adalah
fokus pada pekerjaan yang dalam berbagai cara mengilustrasikan kekuatan yang muncul
daripada bentuk yang sudah selesai, bekerja daripada menyelesaikan pekerjaan.
Karya postmodernis di teater berarti pekerjaan yang tidak lagi sesuai dengan definisi yang
diasumsikan tentang apa yang seharusnya terjadi dalam puisi atau drama. Beberapa pekerjaan ini
gagal menyesuaikan karena sengaja gagal atau gagal memenuhi persyaratan minimum suatu
genre. Peter Handke Menyinggung Pemirsa adalah contoh nyata dari hal ini. Ini adalah
permainan di mana semua yang terjadi adalah bahwa empat pembicara menjelaskan secara
panjang lebar dan dengan sangat rinci bahwa mereka tidak akan bertindak, bahwa tidak akan ada
pemandangan, tidak ada tindakan representasi - secara keseluruhan, tidak ada teater.
Teater postmodern adalah teater di mana Anda harus berada di sana untuk menjalani non-
epiphany ini, untuk mengenali itu - meminjam frasa dari William Gibson, "there is no there
there”. Berbohong di balik semua contoh kegembiraan ini adalah Jean-Francois
Formulasi Lyotard dalam The Postmodern Condition tentang perbedaan antara seni
modernis dan postmodernis. Baik seni modernis dan postmodernis, menulis Lyotard, berusaha
untuk bersaksi terhadap perasaan terpapar pada apa yang disebut oleh teoretisi romantis sebagai
"luhur", yang merupakan kompleks yang tidak dapat dipungkiri besar atau tidak dapat dikuasai.
Baik seni modernis dan postmodernis dengan rela mencoba untuk memahami yang tak
terbayangkan, mengekspresikan rasa yang tak terkatakan, dan mengambil ukuran yang tak
terukur. Tetapi ketika seni modernis melakukan ini, kata Lyotard, ia melakukannya dengan cara
yang tetap memegang pengalaman bersama atau menguranginya menjadi bentuk yang dapat
dikenali.
Oleh karena itu, seni postmodernis (dan khususnya tulisan postmodernis) dianggap tahu
bahwa ia tidak dapat menandingi apa yang melampaui pemahaman dalam pengalaman
kontemporer. Hal ini bertujuan untuk mengadu apa yang Lyotard sebut sebagai "keahlian kecil"
untuk tugas yang gagal dalam cara sedemikian rupa sehingga menjadi saksi terlepas dari apa
yang harus gagal untuk mencakup. Lyotard sering menggambarkan hubungan nonrelasi antara
karya postmodernis dan dunia postmodern sebagai hubungan "tidak dapat dibandingkan," yang
berarti, secara harfiah, hubungan non-terukur. Hal-hal yang tidak dapat dibandingkan tidak dapat
diukur satu sama lain karena tidak ada skala atau ukuran umum yang tersedia untuk tujuan
tersebut.
4.2 Tingkat Magnitudo

Modernisme adalah campuran abstraksi dan sifat berlebihan yang unik. Sering dikatakan
bahwa bagi modernis, kurang itu lebih. Banyak pekerjaan modernis yang dibuat menjadi kurang
dan lebih sekaligus: kurang dari dunia dalam konsentrasi dan kondensasi (peristiwa satu hari di
Ulysses karya Joyce dan Mrs Dalloway karya Woolf) dan mengandung lebih dari dunia dalam
akumulasi kiasan dan interkoneksi.
Pada periode awal, postmodernisme dalam studi literal melihat “perubahan ilmu bahasa”
yang kuat dan mengakar. Kelimpahan dan kemewahan yang fiksi postmodernis akan mulai,
diwakili bukan oleh kelimpahan sesuatu hal, tetapi sebagai kelimpahan kata-kata. Dalam arti
inilah sebuah karya seperti Ulysses dapat mulai ditafsirkan sebagai karya postmodernis. Struktur
novel adalah abstraksi atau reduksi dari dunia; tetapi cara struktur ini diuraikan memungkinkan
novel untuk mengklaim memasukkan, atau setidaknya untuk menyiratkan penyertaan, tentang
sesuatu seperti seluruh dunia. Jika abstraksi dalam literatur berarti bahwa dunia harus memberi
jalan kepada kata, maka perkembangan bentuk-bentuk verbal dan stilistik dalam Ulysses dapat
memungkinkan banyaknya dunia kembali dalam bentuk keragaman kata.
Pada tahun 1980-an, hanya yang tertua dari orang-orang kolot yang masih menegaskan
bahwa kebesaran Ulysses terdiri dari cara dimana ia mereduksi dunia untuk berkuasa, atau
mengubah bentuknya menjadi bentuk. Kemana pun orang memandang, Ulysses ditemukan dan
dinyatakan sebagai pendahulu besar novel postmodernis yang membiarkan, atau membiarkan
dirinya sendiri masuk ke dalam keberagaman. Kenyataan bahwa keragaman ini dianggap sebagai
kondisi bahasa dan pengaruh kekuatan bahasa di dunia berarti bahwa fungsi legislatif novel tetap
utuh, jika digoncangkan. Bukannya mundur dari keduniawian ke dalam firman, postmodernisme
dapat terus merangkul dunia, meskipun dengan syarat bahwa dunia ini dikenal dan terbukti
terdiri dari kata-kata. Di mana teks literatur modernis mengakui konstitusi linguistik mereka
dengan cara memerah atau enggan, teks postmodernis secara terang-terangan merangkul dan
merayakan firman mereka dalam bentuk kata-kata. Teks postmodernis mengubah kekhawatiran
modernis tentang batas bahasa menjadi polyglossary. Di mana seorang penulis seperti Beckett
mengesahkan jenis bahasa yang kerap terabaikan di bawah tekanan keraguan, teks postmodernis
bersemangat oleh prospek yang tidak sah, yang tak terkatakan, dan yang tidak dapat diketahui.
Mereka menjadi terlalu tinggi, bersemangat. Di atas segalanya, mereka tumbuh menjadi besar.
Perbedaan antara konsepsi skala dari modernis dan postmodernis dikemukakan tidak hanya
oleh nilai-nilai yang berbeda mengenai panjang literatur, tetapi juga oleh transformasi dalam hal
keringkasan. Kisah pendek modernis melambangkan pembengkokan naratif atau pelipatgandaan
ke pada dirinya sendiri, untuk meniru konsentrasi puisi imagist, dengan cerobong energinya yang
berputar. Ceritanya pendek fiksi dari banyak penulis modernis: James, Conrad, Joyce, Lawrence,
Woolf, Mansfield, Nabokov; intinya adalah sering untuk menyaring dan menghayati “saat
keberadaan.” Bukanlah bahwa tidak ada perpanjangan waktu dalam kisah-kisah ini; tetapi
mereka cenderung berfokus pada saat-saat wahyu, realisasi, atau transformasi, yang tiba-tiba
semuanya menjadi jelas, dan waktu kemudian ditarik ke titik epiphanik. Kisah pendek modernis
mengumpulkan waktu. Novel modernis seperti To The Lighthouse karya Virginia Woolf
mungkin juga berfokus di sekitar momen-momen terisolasi yang diisi dengan signifikansi.
Penulis postmodernis juga tertarik pada cerita pendek: Jorge Luis Borges, Donald
Barthelme, Robert Coover, dan Italo Calvino menjadi contoh penting. Tetapi cerita pendek
postmodernis tidak dicirikan oleh isolasi dan konsentrasi, tetapi oleh eksentrisitas dan
interferensi. Di mana cerita pendek modernis bertujuan pada penyelesaian melalui pengurangan,
penulis postmodernis menggunakan cerita pendek untuk menampilkan keterhubungan tanpa
penyelesaian. Ketertarikan pada pola interferensi yang dibentuk di narasi pendek ini mengarah
pada fenomena postmodern khas dari buku yang terbentuk dari rangkaian atau susunan kompleks
dari fiksi yang terpisah.
5. Posmodernisme Postmodernisme dan Seni

Menulis tentang "postmodernisme" pada awal abad ke dua puluh satu adalah hal yang tidak
mudah, dan mungkin khususnya dalam kaitannya dengan seni visual. Istilah ini tidak diragukan
lagi memiliki kaitan dengan budaya tertentu, tetapi makna dan nilainya tampak dalam banyak hal
tidak jelas. Penggunaan yang paling aman - dalam tari dan dalam arsitektur - tampaknya memilih
momen sesuatu seperti gaya dengan cara yang membuatnya lebih jauh dalam logika artistik
umum modernisme, sementara upaya untuk menggunakannya dengan cara yang memilih
menantang yang mungkin lebih dalam bagi modernisme tampaknya tidak berhasil.
Postmodernisme mengafeksi aspek-aspek kehidupan scara general dan holistik, pun seni dan
estetika. Pada masa modern, seni dicoba untuk dimurnikan dari distorsi-distorsi yang mungkin
terjadi karena adanya implementasi dari aspek-aspek yang dahulu melebur dengan seni. Seperti
tradisi dan kemasyarakatan. Seni kala itu (masa modern) meminjam konsepsi konsepi
modernisme, sepeti universalisme seni, sekulerisme seni, pemurnian dan pengkerucutan seni
(klasifikasi yang jelas), dan pengesklusi dan seni. Berangkat dari pemikiran tersebut
perkembangan karya seni menjadi amat kaku.
Semua perlakuan diatas merupakan hasil dari pemikiran modernisme yang amat berpegang
pada rasionalitas dan realitas, sehingga membatasi ruang berkarya. Seni terbatas pada media seni
konvensional yang tinggi orisinilalitas dan amat eksklusif. Sehingga seni lukis dan patunglah
yang medominasi penggunaan media pada seni rupa modern.
Salah satu sumber untuk mendiskusikan postmodernisme dalam seni visual, itu adalah
pameran "Pictures" 1979 milik Douglas Crimp. Termasuk dalam pameran ini dan memainkan
peran sentral dalam tesis Crimp dan Owens tentang postmodernisme adalah Laurie Anderson dan
Cindy Sherman. Tapi ada sebuah karya salah satu seniman (yang sekarang) kurang terkenal pada
grup "Pictures", Robert Longo.
Di antara karya-karya Longo yang ditampilkan adalah sejumlah gambar, sebagian besar
dibuat oleh asisten studio setelah foto-foto yang dibuat olehnya. Gambar-gambarnya sangat besar
berukuran sekitar 240 cm × 150 cm. Gambar-gambar itu menangkap momen tertentu seperti
memutar, membalik, menekuk. Pakaian mereka sulit dikategorikan - agak formal, seperti pakaian
kantor, tetapi juga sedikit "retro", mungkin lebih dekat dengan "kostum" daripada "pakaian"; dan
dalam semua jenis tindakan yang ada dalam gambar itu – terlihat ikat pinggang melingkar
menjauh dari tubuh, tali terlepas dari bahu.
Meskipun gambar-gambar itu merasa "teatrikal" dalam beberapa hal, tapi kurang jelas
bahwa gambar-gambar itu dapat digambarkan sebagai "dramatis," karena sama sekali tidak jelas
apakah tindakan yang dilihat seseorang harus dipahami sebagai momen yang menonjol dalam
beberapa narasi yang lebih besar seperti plot - katakanlah, saat di mana sosok itu diserang oleh
peluru - atau jika seseorang hanya menyaksikan satu momen tidak istimewa dalam urutan
gerakan yang berkelanjutan - sosok itu menari dan ini hanyalah saat kamera dan gambar yang
tertangkap, tidak secara fundamental berbeda dari yang lain yang mungkin sama-sama
tertangkapnya. Seseorang tidak bisa yakin apakah sedang menyaksikan suatu aksi (menari,
melompat, bermain gitar) atau suatu reaksi (melompat mundur terkejut, jatuh ke belakang)
terhadap sesuatu yang sedang dilakukan atau sesuatu yang dikenakan. Gambar teatrikal juga
sama ambigunya seperti antara tindakan dan peragaan kembali atau kinerja.
Klaim yang paling kuat yang dibuat untuk karya Longo dan yang lainnya yang terkait
dengan Metro Pictures adalah bahwa, dalam arti khusus, bersifat alegoris (kiasan). Sebelum
beralih ke pengertian khusus itu, ada baiknya untuk mencatat beberapa ruang lingkup historis
yang singkat dari klaim ini. Penolakan alegori sebagai cara untuk membuat atau menerima seni
visual tampaknya menjadi salah satu dasar dari praktik yang kita sebut "modernis." Untuk
mengklaim bahwa karya seniman postmodern adalah alegoris adalah untuk menunjukkan bahwa
secara visual muncul atau berperilaku lebih seperti karya, katakanlah, Poussin daripada seperti
Jackson Pollock.
Di satu sisi, alegori adalah cara kerja yang berarti, dan itu tampaknya bertentangan dengan
kecenderungan kuat di dalam modernisme untuk menolak makna yang mendukung sesuatu
seperti pengalaman murni atau semata-mata pekerjaan. Di sisi lain, alegori (kiasan)
mengasumsikan berbagi sarana komposisi yang nyata di berbagai media, sedangkan seni
modernis, khususnya seni rupa, telah memaksakan pemisahan dan pembedaan medium. Kedua
kecenderungan modernis ini sangat menonjol dalam kritik Clement Greenberg dan Michael
Fried.
Seni rupa kontemporer yang didukung oleh teori postmodern memiliki dorongan alegori.
Alegori yang murni adalah elemen struktural di dalam sastra, sebuah teks dibaca melalui teks
lainnya. Menurut Encyclopedia of Postmodernism (Taylor dan Winquist, 2001:6) “alegori”
berasal dari kata Yunani allos= lain dan agoreuei = bicara. Pengertian yang lebih luas, alegori
termasuk semua karya sastra, sejak semua teks dapat dibaca secara “lain”. Jonathan Harris
(2006:12) mendefinisikan alegori di dalam karya seni rupa, adalah karya seni rupa yang
dikomunikasikan melalui arti simbolis, menunjukkan pengkodean makna, meskipun tidak
memerlukan komunikasi yang koheren, atau pesan tunggal.
Craig Owens mengamati mode alegori ini banyak terdapat pada karya-karya seni rupa
kontemporer. Menurut Owens(1994:54), citra alegori adalah citra yang disesuaikan, pembuat
alegori tidak menciptakan citra tetapi menyitanya. Ia melakukan klaim kepada budaya yang
signifikan, bertindak sebagai penafsir. Di tangannya sebuah citra menjadi sesuatu yang lain. Ia
tidak mengembalikan makna aslinya yang mungkin telah hilang atau dikaburkan, alegori bukan
hermeneutika. Sebaliknya, ia menambahkan makna yang lain kepada citra itu. Pengertian alegori
secara umum sama dengan perumpamaan atau kiasan. Penggunaan kiasan ini sudah lama
dilakukan pada seni rupa Reneisans, terutama pada seni lukis.
Yang menjadi pertanyaan dalam sejarah adalah dimana lukisan telah menjadi sangat
dominan - telah menjadi bentuk istimewa di mana modernisme tampaknya mengungguli dan
mengklaim dirinya. Hal ini tampaknya setidaknya tercermin dalam orientasi gambar yang kuat
dari sebagian besar karya seniman apropriasi ini, dan orang mungkin dapat membayangkan
bahwa karya ini harus dipertimbangkan, dalam arti yang panjang tetapi dapat dibenarkan,
membuat perbedaan dalam lukisan.
Bagi Hegel, dominasi lukisan juga selalu parsial (dimensi lain dari orientasinya terhadap
keterbatasan) dan dibagi dengan seni, musik, dan puisi modern lainnya. Dalam semua hal ini,
lukisan sangat berbeda dengan patung dengan klaimnya yang memaksa untuk menghadirkan
baik dirinya maupun orang-orang yang berkumpul di sekitarnya, yang menemukan atau
menemukan dirinya sebagai orang di sana, dalam keberadaan bersama (model untuk ini, tidak
mengherankan, menjadi Yunani klasik).
Sebagai momen dalam sejarah seni, modernitas ditandai oleh kemustahilan patung dalam
pengertian yang kuat ini; itu mungkin terus dibuat, tetapi tidak ada orang yang dapat menemukan
dirinya di sana lebih lama lagi dan sarana dan kemungkinannya sangat ditentukan bukan oleh
sumber dayanya sendiri, yang dalam arti tertentu tertutup untuknya, tetapi oleh mereka yang
melukis, puisi, dan music.
Dikemudian hari, paham modernisme yang terdapat pada seni rupa mendapat resisitensi dari
kekritisan pemikiran publik seni. pun mengungkap bahwa terjadi kesalahan pada modernisme
seni ini. Hal ini juga dipengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat global yang memasuki
gerbang pemikiran filosofis yang dibawa postmodernisme. Bentuk resistensi ini pun dikenal
dengan postmodernisme seni yang membawa angin segar dalam dunia seni rupa. Dengan
bertambah lenturnya pemikiran publik akan seni, penggunaan media pun menjadi amat tak
terbatas bahkan melampaui norma-norma etis. Post modernisme berusaha untuk meminjam
pemikiran masa lalu mengenai seni, menitilkberatkan pada meleburnya seni dengan masyarakat
dan tradisi. Seni diupayakan untuk kembali melebur dengan keduanya. Diangkatnya kembali isu-
isu sosial dalam karya seni tentunya menambah kaya ruang lingkup batasan karya. Seni kembali
berfungsi sosial dan pribadi. Seniman kembali diperbolehkan untuk menyisipkan muatan-muatan
pribadi dalam karyanya. Selain itu, seni pun dianggap dapat menjadi media yang digunakan
untuk mengkritisi masalah sosial yang kian rumit. Diangkatnya kembali hal-hal yang tidak
general (umum) dan berskala kecil dan remeh temeh pada karya seni pun tak disia-siakan oleh
para seniman untuk menuangkannya pada karya. universalisme seni pun diporak-poranda kan
oleh dihalalkannya pengangkatan isu lokal pada karya seni , penanaman kearifan lokal pada
karya seni merupakan dampak dari diperbolehkannya pengkaryaan tradisi yang tentu saja
bersifat sangat lokal pada karya seni.
Seni pada masa post-modern kian cair dan semakin luas cakupannya, menjajal sebuah babak
baru dengan tawaran kebebasan dan kemerdekaan berkarya secara menyeluruh, namun tetap
saja, konsekuensi dari konsepsi dasar postmodernisme, yakni kritisisme dan budaya filosofis,
menuntut riset yang kian dalam dan meyelurub dalam berkarya, sehingga karya seni dewasa ini
tidak terbatas pada pemasalahan visual dan estetis saja, namun juga mengenai
pertanggungjawaban gagasan yang dituangkan seniman dalam karyanya. Bahakan tak jarang,
pertanggungjawaban karya lebih dipentingkan dan diutamakan. Terutama pada karya-karya seni
konseptual dan eksperimental, pertanggungjawaban karya adalah hal yang paling ditamakan. Ini
merupakan cerminan dari budaya filosofis dan kritis yang tadi saya utarakan.
Meskipun banyak nilai positif yang bisa dipetik dari seni postmodernisme, tetap timbul
sebuah permasalahan yang cukup pelik ketika eksistensi mengenai ruang lingkup
postmodernisme itu sendiri. Ketika paham ini mencoba untuk mengembalikan seni ke koridor
masa lalu tapi tetap membawa pengaruh-pengaruh modernisme yang amat bertentangan dengan
apa yang hendak dikembalikan. Meskipun begitu, banyak pula pemikir mengemukakan bahwa
postmodernisme memang berupaya, dan mungkin baru sampai pada tahap ‘meminjam’
pemikiran-pemikiran masa lalu yag dianggap lebih baik.
6. Postmodernisme dan Pertunjukan (Pagelaran)

Sepintas hubungan antara "postmodernisme dan pertunjukan" tampaknya lugas: yaitu ingin
menjelaskan hubungan antara praktik postmodernis dalam kelompok tertentu dari kategori
budaya. Namun ternyata rubrik ini memiliki banyak detail yang berbeda, masing-masing
merupakan segi yang berbeda dari sisi hubungan yang digambarkannya. Dalam bagian ini akan
diuraikan beberapa aspek tersebut, yaitu akan dibahas karya-karya dan tokoh-tokoh tertentu yang
yang terkait dengan pertunjukan. Meskipun akan dibahas beberapa jenis pertunjukan, bagian ini
akan memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan mengenai postmodernisme dan teater
karena hubungan yang problematis khususnya antara istilah-istilah yang menimbulkan
pertanyaan provokatif. Kompleksitas dan kesulitan berpikir melalui konjungtur teater dan
postmodernisme patut dibahas untuk cara-cara mereka menunjukkan isu-isu yang terlibat dalam
menemukan postmodernisme dalam sejarah dan praktik bentuk-bentuk seni tertentu.
Sebagian besar, komplikasi konseptual dari hubungan antara postmodernisme dan
pertunjukan berasal dari ketidakstabilan kedua istilah, yang keduanya tidak memiliki makna
tunggal yang disepakati secara universal. Di sini tidak akan dibahas definisi postmodernisme –
namun bisa dikatakan bahwa mereka yang telah membuat hubungan antara postmodernisme dan
pertunjukan telah bekerja dari berbagai definisi postmodernisme yang berbeda. Di sini akan
dijelaskan tentang istilah "pertunjukan (pagelaran)", karena masing-masing artinya menunjukkan
hubungan yang berbeda dengan postmodernisme. Yang paling umum dikaitkan dengan konsep
pertunjukan adalah peristiwa yang daya tarik utamanya adalah estetis (keindahan), apakah seni
pertunjukan tradisional (teater, menari, musik, dan opera), hiburan populer (misalnya sirkus,
komedi stand-up, pertunjukan Las Vegas), atau bentuk seni yang lebih baru (misalnya seni
pertunjukan). Di sini musik (dan, untuk sebagian besar, opera) tidak akan dibahas, dan akan
berpusat pada teater, tari, dan komedi stand-up dalam kaitannya dengan postmodernisme.
Konsep postmodernisme berfungsi pada setidaknya tiga hal yang berbeda (tapi tidak saling
eksklusif) dalam kaitannya dengan kinerja estetika, tergantung pada jenis kritik. Di sini kritik
dipusatkan karena dengan pengecualian penari postmodern awal, seniman umumnya belum
menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan karya mereka sendiri, namun itu adalah istilah
yang paling banyak digunakan oleh para kritikus dan sarjana. Terkait dengan pertunjukan
estetika, postmodernisme telah digunakan sebagai: (1) konsep pembagian periode, (2) cara
menggambarkan budaya kontemporer dimana pertunjukan terjadi, dan (3) deskriptor gaya.
Penggunaan istilah "postmodern" untuk menggambarkan momen dalam sejarah (1) agak sulit
dibedakan dari penggunaan istilah untuk menggambarkan budaya kontemporer (2). Namun
demikian, beberapa komentator mencoba untuk mendefinisikan suatu era postmodern dengan
membahas pertanyaan-pertanyaan seperti kapan periode itu dimulai dan bagaimana hal itu
berbeda dari periode historis sebelumnya, sementara yang lain puas untuk menggambarkan
budaya kontemporer sebagai postmodern tanpa membatasi batas-batas historisnya. Beberapa
kritikus menggunakan "postmodern" dengan cara lain, sebagai istilah gaya untuk
mengidentifikasi perkembangan baru dalam aliran estetika dengan konvensi yang mapan (3).
Ketiganya saling berpotongan, tentu saja, karena sebagian besar kritikus akhirnya ingin
membahas bagaimana karakteristik khas dari pertunjukan tertentu menghubungkannya dengan
postmodernisme dalam arti sejarah dan budaya.
Salah satu manifestasi penting dari perbedaan antara konsep historis dan budaya
postmodernisme adalah dalam penggunaan istilah "postmodern" dan "postmodernist." Istilah
"postmodern" sering digunakan untuk mengidentifikasi periode sejarah tertentu yang biasanya
dianggap telah dimulai after Perang Dunia II, meskipun periode sebagian besar pertunjukan yang
akan diskusikan di sini akan menunjuk bahwa postmodernisme dalam pertunjukan sebagian
besar merupakan fenomena tahun 1970-an dan 1980-an. "Postmodernis" sering mengacu pada
karya-karya budaya yang memiliki fitur gaya yang menyelaraskan mereka dengan
postmodernisme sebagai struktur perasaan, sebuah episteme (pengetahuan), bukan sekedar
momen yang didefinisikan secara kronologis. Beberapa pertunjukan yang merupakan
pertunjukan postmodern dalam arti historis (yaitu terjadi setelah periode modern dan berbeda
dari pertunjukan modern) tidak selalu bergaya postmodernis. (Beberapa jenis tari postmodern
dan seni monolog adalah contohnya). Di sini akan dibedakan antara "postmodern" dan
"postmodernis" untuk menunjukkan kompleksitas pemikiran tentang pertunjukan dalam
postmodernisme.
Tiga penggunaan istilah "postmodern" yang telah dijelaskan terjadi dalam diskusi teater, tari,
dan seni pertunjukan lainnya. Aliran lain dari pertunjukan estetika yang menjadi pusat
pembahasan postmodernisme adalah seni pertunjukan (disebut juga pertunjukan, pertunjukan
seni, dan seni hidup di Inggris). Hubungan antara seni pertunjukan dengan postmodernisme
berbeda dengan seni pertunjukan tradisional dalam seni pertunjukan yang dikembangkan setelah
Perang Dunia II (meskipun memiliki anteseden dalam eksperimen pertunjukan dari gerakan
pelopor awal abad kedua puluh) sering dianggap sebagai postmodern intrinsik bentuk seni, baik
secara historis dan gaya, daripada bentuk seni dengan manifes postmodern. Seseorang tidak akan
mendengar tentang "seni pertunjukan postmodern" seperti seseorang mendengar tentang "tari
postmodern" dan "teater postmodern" karena diasumsikan bahwa tidak ada jenis seni
pertunjukan lainnya.
Yang terakhir dan barangkali yang paling sulit, yang saya sebutkan adalah bagaimana
konsep pertunjukan telah menjadi kiasan dalam teori postmodernisme itu sendiri. Sebagian besar
wacana tentang postmodernisme dan pertunjukan estetika menggunakan teori postmodernisme
sebagai dasar untuk menganalisis trend dalam pertunjukan, sehingga menunjukkan bahwa
postmodernisme dan budaya postmodern secara konseptual mendahului pertunjukan dan bahwa
pertunjukan tertentu dapat dilihat sebagai gejala postmodernisme.
Salah satu titik awal di mana ide-ide postmodernisme dan kinerja saling bertemu adalah
kumpulan esai yang disebut Pertunjukan dalam Budaya Postmodern (Performance in
Postmodern Culture, 1977) (bukan Postmodernisme dalam Pertunjukan (Postmodernism in
Performance) misalnya). Michel Benamou, salah satu editor Performance in Postmodern
Culture, mengadopsi posisi yang berkebalikan, di mana ia mengidentifikasi pertunjukan sebagai
"mode pemersatu dari postmodern." Karakteristik dominan dari budaya postmodern, seperti yang
dijelaskannya, adalah bahwa segala sesuatu melakukan pertunjukan: teknologi melakukan
pertunjukan; seni tidak lagi hanya berada di dinding museum; kritikus sastra melihat tulisan
mereka sebagai pertunjukan; perkembangan politik dan sosial yang dilakukan di arena publik -
media, khususnya, membuat politik dan perkembangan sosial performatif.
Ketika berpikir tentang pertunjukan estetik dalam kaitannya dengan postmodernisme,
pertanyaan kritis yang muncul biasanya adalah: dalam arti apakah pertunjukan atau jenis
pertunjukan itu postmodern (posmodernis)? Benamou membalikkan pertanyaan itu untuk
menyatakan bahwa pertanyaan kritis yang menjadi pusat pembahasan postmodernisme dan
pertunjukan adalah: dengan cara apa budaya postmodern bersifat performatif? Postmodernisme,
yang pada mulanya tampak sebagai istilah privat dalam rubrik "postmodernisme dan
pertunjukan", sekarang menjadi istilah subordinat. Apa yang harus kita cari - postmodernisme
dalam pertunjukan atau pertunjukan dalam postmodernisme? Di mana pun kita mulai, akhirnya
kita akan berbicara tentang keduanya, meskipun penekanannya di sini adalah pada yang pertama
yaitu “postmodernisme dalam pertunjukan”.
6.1 Pembagian Periode Postmodernisme pada Teater dan Tari

Sebagai sejarawan, kritikus, dan teoretikus tari Sally Banes menunjukkan di Terpsichore in
Sneakers, karya krusialnya tentang tari post-modern, "istilah post-modern berarti sesuatu yang
berbeda dalam setiap bentuk seni." (Banes dan beberapa komentator lainnya menambahkan
tanda penghubung pada istilah "post-modern"; dan akan dipertahankan ketika membahas
pekerjaan mereka). Untuk satu hal, apa yang dianggap sebagai postmodern untuk bentuk seni
tertentu adalah relatif terhadap apa yang dianggap sebagai modern untuk bentuk yang sama;
ketidakrataan konsep postmodernisme di seluruh seni adalah sebagian fungsi dari ketidakrataan
serupa dalam definisi modernisme.
Banes mendefinisikan transisi historis dari tari modern ke tari post-modern dengan cukup
jelas, baik secara kronologis maupun dari sisi gaya. “Pada akhir 1950-an, tari modern telah
menyempurnakan gaya dan teorinya dan telah muncul sebagai aliran tari. Tari ini menggunakan
gerakan bergaya dan tingkat energi dalam struktur yang dapat dikenali ... untuk menyampaikan
perasaan dan pesan sosial”. Melihat bahwa "konfigurasi jasmaniah yang dihasilkan oleh tari
modern telah dikompres menjadi berbagai kosakata yang bergaya, tarian dipenuhi dengan makna
dramatis, sastra, dan emosional, produsen tari sering disusun sebagai hierarki", gelombang
pertama koreografer post-modern (1960-1973) berusaha untuk menciptakan tarian yang akan
menjadi non-literal dalam hal isi, diciptakan dari kosakata gerakan (kadang-kadang berdasarkan
gerakan sehari-hari dan menggunakan penari yang tidak terlatih), dan lebih demokratis. Banes
dalam mengembangkan akunnya tidak mengurangi banyak gaya tarian setelah tari modern
menjadi satu jenis tetapi masih mampu menawarkan narasi persuasif tari post-modern sebagai
reaksi terhadap tari modern yang terjadi pada momen historis tertentu.
Ketika kita beralih dari tarian ke teater, akan sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas
seperti itu. Sulit untuk menentukan apa yang mungkin direspon oleh teater postmodern karena
deskripsi yang koheren tentang teater modern sulit untuk dibangun. Biasanya, ungkapan "teater
modern" mengacu pada pertunjukan yang realistis (berlawanan dengan romantisme) dan praktik-
praktik pertunjukan yang mulai berkembang sekitar pertengahan abad kesembilan belas di
Inggris dan memuncak dalam drama realis Eropa di akhir abad kesembilan belas Ibsen dan
Chekhov, kemudian dalam drama realis yang berkembang di Amerika Serikat dan Inggris setelah
Perang Dunia II.
Untuk mengidentifikasi teater modern dengan realisme, adalah untuk menyiratkan bahwa
dorongan postmodern di teater akan menjadi anti realistik. Masalahnya adalah bahwa teater
antirealis dikembangkan bersama dengan teater realis pada abad kesembilan belas (dengan para
Simbolis misalnya) dan benar-benar merupakan alternatif dari teater modern. Kebingungan ini
telah membuat sangat sulit untuk menempatkan tokoh-tokoh tertentu. Misalnya, apakah Bertolt
Brecht dan Samuel Beckett, dramawan yang menantang realisme secara radikal meskipun dari
arah yang berbeda, untuk dianggap modernis atau postmodernis atau tokoh transisional?
Analisis postmodernisme dalam teater semakin diperumit oleh hubungan antara teks dan
pertunjukan yang mencirikan bentuk keduanya. Ada ketidakterkaitan antara pertunjukan dan teks
yang dilakukan di teater yang tidak ada dalam tarian. Dalam tari, gaya penampilan dan aliran
dikodekan dalam koreografi. Tidak mungkin untuk melakukan balet klasik dalam gaya tari
postmodern selain melakukannya dengan gaya tango.
Kita tidak dapat mengeksplorasi gagasan teater postmodern tanpa mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan drama postmodern. Satu hal yang sederhana tetapi penting adalah bahwa
pluralisme secara historis merupakan fenomena postmodern dalam teater (meskipun tidak harus
menjadi postmodernis).
6.2 Seni Pertunjukan Monolog

Keberagaman postmodern ini sangat nyata dalam pertunjukan monolog yang menjamur di
tahun 1980-an dan 1990-an. Aliran ini mungkin berasal dari Spalding Grey, seorang veteran dari
adegan teater eksperimental New York yang telah bekerja dengan Performance Group. Pada
tahun 1975, Gray menjadi tertarik untuk bekerja pada pertunjukan autobiografi.
Meskipun Gray sendiri adalah seorang lelaki kulit putih, heteroseksual, Anglo-Saxon,
Protestan, Amerika yang berasal dari kelas menengah-atas (meskipun seseorang cenderung ke
arah eksperimentasi gaya hidup dan bohemianisme), ia membantu membuka pintu bagi para
pementas yang mewakili posisi identitas yang sangat berbeda dan pengalaman sosial.
Yang lain lagi, seperti Margaret Cho, adalah komikus stand-up yang menekankan narasi
autobiografi dalam pertunjukan mereka. Sementara beberapa pemain yang menggunakan bentuk
ini tetap dekat dengan asal-usulnya di teater eksperimental dan seni pertunjukan, yang lain
mengeksploitasi potensi hiburan lainnya. Keberadaan monolog autobiografi begitu menonjol di
dunia seni pada akhir abad ke-20 yang digambarkan oleh seseorang sebagai sketsa tahun 1990-
an.
6.3 Kematian Karakter: Drama Postmodern (Postmodernis)

Meskipun monolog seni pertunjukan secara historis merupakan bentuk postmodern, tetapi
bukanlah postmodernis dan secara formal sangat berbeda dari teater postmodernis. Dalam sebuah
esai 1983 yang berjudul “Kematian Karakter,” kritikus teater Elinor Fuchs membahas
perkembangan di teater yang dianggapnya sebagai pertanda postmodernisme di teater:
pelonggaran konsep modern pemeran dan lebih mengarah pada identitas yang terfragmentasi,
mengalir, dan identitas yang tidak pasti yang lokasi dan batas-batasnya tidak dapat ditentukan.
Sejauh kebanyakan monolog seni pertunjukan menempatkan identitas yang stabil, mereka bukan
postmodernis meskipun mereka mewakili bagian dari kecenderungan postmodern pluralisme
dalam pertunjukan.
Diskusi Fredric Jameson tentang bagaimana pastiche (karya artistik dengan gaya yang
meniru karya lain) telah menggantikan parodi dalam postmodernisme berguna untuk memahami
dimensi postmodernisme teatrikal ini karena ia menghubungkannya dengan "hilangnya subjek
individu," sebuah fenomena yang memiliki implikasi langsung untuk konsep karakter dramatis.
Menurut Jameson, “Pastiche adalah, seperti parodi, peniruan gaya, unik, idiosinkratik, dan
pemakaian topeng linguistik. Dalam istilah Jameson, drama adalah pastiche melodrama yang
membangkitkan dan menggabungkan berbagai teks dan aliran dengan cara yang sering lucu
tetapi tidak memberikan perspektif kritis dari parodi atau satir.
Dalam catatannya tentang drama itu, Jeffrey M. Jones menggambarkan tentang berakting di
mana sang aktor membagi-bagi teks drama menjadi beberapa bagian dan bagaimana melakukan
setiap fragmen seolah-olah itu adalah tindakan otonom. Berbagai fragmen kemudian dirakit.
Cara berpikir ini memperlakukan karakter sebagai entitas tekstual dan bukan psikologis, karena
individu-individu mengerjakan momen dan bukannya produk dari konsisten dan interpretasi
secara menyeluruh.
6.4 Postmodernisme dan Stand-up Comedy

Seperti teater dan seni pertunjukan, komedi stand-up menjadi sebuah enterprise yang
beragam di bawah postmodernisme. Ketika parody mulai menurun oleh pastiche seperti yang
ditunjukkan oleh Jameson, gagasan komedi itu sendiri telah menjadi problematik di bawah
postmodernisme. Komedi menurut definisi membutuhkan rujukan yang stabil, aturan-aturan
dimana suatu tindakan dikategorikan lucu. Jika tidak ada norma seperti itu, tidak mungkin
menentukan apa itu komedi. Beberapa komikus menanggapi dengan menjadi metakomedian
yang penampilannya mengambil ketidakmungkinan menjadi komedian di dunia postmodern
sebagai subjek mereka.
6.5 Kesimpulan Postmodernisme dan Pertunjukan (Pagelaran)

Salah satu tren paling signifikan dalam pertunjukan postmodern adalah menuju pluralisme
dan keragaman. Ini berarti bahwa teater tidak lagi didominasi oleh pemikir kulit putih laki-laki
heteroseksual seperti dulu: pengakuan berbagai posisi identitas lain dalam drama oleh beragam
pengarang sekarang jauh lebih terlihat daripada di masa lalu. Pluralisme juga termanifestasi
dalam praktik-praktik yang kontroversial dari casting non-tradisional dan pertunjukan antar
budaya.
Dalam tarian juga muncul bentuk casting non-tradisional: sejak 1960-an, tari postmodern
telah menggunakan berbagai jenis tubuh yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam tarian,
termasuk penari yang tidak terlatih, penari dengan tubuh non-atletik, dan penari cacat. Bahkan
bentuk-bentuk pertunjukan budaya populer seperti komedi stand-up mencerminkan
kecenderungan ke arah pluralisme: sejak tahun 1980-an, berbagai posisi identitas yang diwakili
pada panggung komedi stand-up dan dalam program-program televisi dan film-film yang berasal
dari stand-up jauh lebih besar daripada pada waktu sebelumnya. Dalam hal yang berbeda, saya
berpendapat di sini bahwa kecenderungan yang sedang tumbuh di teater komersial untuk
mengadaptasi teks budaya menjadi pertunjukan juga merupakan perkembangan postmodern.
Selain memiliki manifestasi dalam seni pertunjukan tradisional, postmodernisme telah
melihat perkembangan bentuk seni baru, seni pertunjukan di antara mereka. Istilah "seni
pertunjukan" mencakup serangkaian praktik yang luas.
Membandingkan fitur-fitur pertunjukan historis postmodern dengan pertunjukan yang
mengartikulasikan postmodernisme sebagai struktur perasaan yang baru, kita mengalami
kontradiksi. Beberapa praktik pertunjukan yang adalah postmodern, seperti kebanyakan monolog
seni pertunjukan dan sebagian besar teater yang mencerminkan pluralisme postmodern, bukanlah
postmodernis karena mereka bertumpu pada asumsi-asumsi epistemologis yang bersifat modern,
termasuk gagasan tentang diri sendiri. Teater postmodernis telah menantang asumsi tersebut
dengan menghadirkan karakter-karakter yang identitas fragmentarisnya dibangun dari potongan-
potongan teks budaya. Bahkan dalam komedi stand-up, beberapa pemain telah
mengesampingkan ide tentang kepribadian komikus yang konsisten dan khas.
7. Postmodernisme dan Ruang

Postmodern hidup "lebih spasial" daripada orang modern. Sedangkan modern hidup "lebih
temporal" daripada postmodern. Bagian ini mengeksplorasi secara historis munculnya kesadaran
spasial dalam skala besaran yang meningkat, dari tubuh, melalui tekstur kehidupan sehari-hari,
kota-kota kita, dan akhirnya ke tahap planet yang kita sebut "globalisasi"; semua yang pada
kenyataannya tak dapat dipisahkan - "ruang postmodern" menjadi, tepatnya, kompresi mereka
menjadi satu bidang tunggal yang kompleks, yang kontur dan ketinggiannya kami masih dalam
proses pemetaan.
7.1 Permukaan (Surfaces)

Tubuh manusia saat ini adalah ruang yang tersedia untuk transformasi melalui intervensi
teknis. Pada saat yang sama, "tubuh" telah dilepaskan sebagai alat persuasi visual di seluruh
ruang kehidupan sehari-hari. Tubuh kita mengalami krisis identitas, di satu sisi oleh transformasi
penting (lebih kurus! lebih kuat! berbeda!), dan di sisi lain oleh inkarnasi tubuh ideal.
Filsuf Henri Lefebvre, dengan pemikirannya telah membantu membentuk "pergantian
spasial", meringkas dinamika sebagai berikut:
“Bodies are transported out of themselves, transferred and emptied out, as it were, via the eyes:
every kind of appeal, incitement and seduction is mobilized to tempt them with doubles of
themselves in prettified, smiling and happy poses; and this campaign to void them succeeds
exactly to the degree that the images proposed correspond to “needs” that those same images
have helped fashion. So it is that a massive influx of information, of messages, runs head on into
an inverse flow constituted by the evacuation from the innermost body of all life and desire”
(Lefebvre, 1991, p. 98)

Kemenangan “permukaan” atas “kedalaman” terwujud dalam themepark khas Amerika,


salah satu yang paling terkenal adalah Disneyland, yang menunjukkan tidak adanya keinginan
untuk membebaskan diri dari mengigau, dan merupakan pelarian dari suatu keharusan. Ruang di
sini adalah simulacrum, sempurna terwujud dan obyektif, hidup dengan konotasi, namun benar-
benar terpisah dari referensi dasar model asli atau pola dasar; alih-alih, ia mengulang stereotip
spasial dari kartun yang tidak nyata, “kompresi sentimental dari sesuatu yang dirinya itu sendiri
sudah merupakan kebohongan.
7.2 Urbanisme Postmodern

Di sini kita telah menemukan apa yang mungkin poros spasial paling jelas dalam transisi
dari modernis ke ruang postmodernis: transformasi fungsi kota-kota yang melakukan perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya.
Perubahan ini mempengaruhi baik sifat intrinsik dari kota-kota yang bersangkutan (populasi,
keragaman etnis, perencanaan, penetapan zona, arsitektur, "masyarakat sipil," transportasi,
kebijakan, belanja, dan sebagainya), serta model penempatan ke dalam "globalisasi" ekonomi
(akumulasi informasi dan sirkulasi, transfer moneter, pariwisata, dan sebagainya). Pada kedua
perhitungan, yang pertama kali dapat dilihat adalah pembebasan praktik dan pola untuk
memasukkan lebih banyak diversifikasi dan strategi "campuran", dalam konsolidasi keseluruhan
rezim kekuasaan yang berbasis di pusat-pusat kekayaan.
Selama periode modernis tinggi (1870–1929), metropolis berfungsi untuk melayani yaitu
sebagai pusat saraf kehidupan politik, keuangan, dan kehidupan budaya dari negara
kekuasaannya; dan kota-kota industri baru untuk memproduksi barang-barang untuk
meningkatkan kekayaan negara dengan mengolah bahan mentah.
Industrialisasi, distrik pemukiman baru untuk kaum proletariat perkotaan dan borjuis,
infrastruktur transportasi dan sanitasi, rasionalisasi pusat-pusat tua, komersialisasi sisi jalan, dan
banyak perkembangan lainnya, sepenuhnya mengubah bentuk kehidupan perkotaan di Eropa. Di
Amerika, CBD dan gedung tinggi, pusat industri dan satelit-satelit industri, lingkuangan tempat
tinggal untuk kelas pekerja, dan suburbanisasi menegaskan pembentukan ruang kapitalis dalam
cara-cara fungsional dan instrumental.
Jadi, apa yang kemudian disebut "postmodernisme perkotaan" adalah kegagalan model
perencanaan kota yang birokratif dari "akhir periode modern" dalam dunia kapitalis, setelah
akhir 1960-an yaitu setelah munculnya kelas pekerja dalam skala besar, protes orang kulit hitam
dan mahasiswa, munculnya krisis minyak, dan resesi.
Privatisasi ruang publik oleh kapital internasional berarti erosi yang menurut beberapa
kritikus, bahkan merupakan kepunahan dari apa yang dulu disebut "masyarakat sipil" atau ruang
publik. "Ruang postmodern" juga berarti likuidasi dari tempat-tempat peninggalan dimana,
misalnya, kelas menengah Eropa sesekali berkumpul untuk menempa identitas kolektif di bawah
bayang-bayang resim kuno: klub, aula, kafe, taman, jalan raya . Fenomena Starbucks, dalam
pandangan ini, merupakan eksploitasi sinis dari kekosongan yang ditinggalkan oleh masyarakat
sipil.
Fredric Jameson mengatakan: "bangunan [di kota dunia] tidak akan lagi memiliki aura
permanen, tetapi hanya merupakan material-material yang pasti akan dibongkar di masa depan"
(Jameson, 1998, p. 185). Ruang isometrik mengubah lingkungan kota postmodern dari nilai-nilai
spiritual dan "humanisme" arsitektural lama menjadi dunia abstraksi, bangunan yang hanya
bertahan sebentar dan tidak berlangsung lama, refleksi dari refleksi. Bangunan-bangunan ini
tidak lagi dimaksudkan untuk tempat tinggal atau tempat dimana orang nyaman bekerja, tetapi
hanya untuk dibeli, dijual, dan disewa; sebagai akibatnya, estetika arsitektur menjadi terkait
langsung dengan ekonomi politik.
David Harvey menulis (Harvey, 1980, p. 66):
Whereas the modernists see space as something to be shaped for social pur- poses and therefore
always subservient to the construction of a social project, the postmodernists see space as
something independent and autonomous, to be shaped according to aesthetic aims and
principles which have nothing necessar- ily to do with any overarching social objective, save,
perhaps, the achievement of timeless and “disinterested” beauty as an objective in itself.
7.3 Globalisasi

Pada awal 1904, ahli geografi Oxford Halford J. Mackinder berpendapat bahwa
perkembangan dalam komunikasi dan transportasi, dan menghilangnya perbatasan, menjadikan
suatu keharusan untuk melihat dunia sebagai satu sistem yang terintegrasi.
Abad ke-20 dicirikan oleh dissolusi (pembubaran) dan pelebaran ruang. Banyak sekali dari
apa yang sekarang kita anggap sebagai modernisme muncul dari krisis dalam kognisi dan
representasi yang dipicu oleh objek global baru ini.
Sesungguhnya, setelah Konferensi Asia-Afrika Bandung tahun 1955, ada Tiga Dunia,
masing-masing memiliki sistemnya sendiri yang relatif otonom, dan semuanya dihidupkan oleh
perjuangan dan pemikiran politik yang saling berkompetisi. Gelombang pembebasan nasional
menyapu "Dunia Ketiga" secara konvulsif antara 1945 dan 1975, dipengaruhi oleh ideologi
sosialis atau statisme kapitalis, dan setiap keberhasilan mengharuskan warga dunia untuk
menjadi faktor dalam entitas nasional lain dalam daftar negara-negara dimana pola relasinya
yang sangat kompleks akan menentukan keadaan dunia.
Postmodernisme dalam pengertian spasial ini, adalah modernisasi yang sudah diselesaikan
dari dunia yang dimodernisasi hingga saat ini, membawa ruang-ruang yang sebelumnya
ekstrinsik, "liar" dan "terbelakang" dalam satu sistem pertukaran dan akumulasi yang
terintegrasi. Ketika Marx menulis bahwa kapitalisme industri tidak seperti mode produksi
sebelumnya, tepatnya dalam kecenderungan universalisasi yaitu tidak memungkinkannya
meramalkan batas-batasnya, maka sepertinya ramalannya itu telah terpenuhi.
"Sekarang mungkin bagi perusahaan multinasional besar seperti Texas Instruments untuk
mengoperasikan pabrik dengan pengambilan keputusan secara bersamaan terkait dengan
keuangan, pasar, biaya input, kontrol kualitas dan kondisi proses tenaga kerja di lebih dari lima
puluh lokasi berbeda di seluruh dunia." (Harvey, 1980). Pengambilan keputusan secara simultan
dimungkinkan oleh adanya teknologi digital dan komunikasi mengatasi yurisdiksi negara-negara,
bahkan ketika hasilnya menghadiskan konsekuensi yang sering berat pada tempat-tempat tertentu
dalam negara-negara tersebut seperti: hilangnya lapangan pekerjaan, degradasi lingkungan, dan
lain sebagainya.
Jadi postmodern itu berkaitan dengan kondisi tingkat kebebasan yang dinikmati perusahaan-
perusahaan dari regulasi dan mekanisme diplomatik yang berbeda dari kondisi sebelumnya
dimana negara harus membatasi ambisi mereka sendiri terhadap pengendalian spasial secara
menyeluruh. Jika modern, adalah periode besar pergolakan kelas dan pembagian kerja dalam
industri, maka postmodern dapat dilihat sebagai spasialisasi pembagian kerja itu, dengan ciri
adanya pelemahan dalam perjuangan kelas akibat pergeseran geografis dan perwujudan
pembagian sosiologis saat ini.
Marx mengatakan bahwa sejarah selalu merupakan sejarah perjuangan kelas, hanya
sekarang, dengan pembagian tenaga kerja global, sejarah menjadi perjuangan kelas secara
geografis, dimana bentuknya, dimensinya, dan model keterlibatannya belum didefinisikan secara
lengkap. Sejarah akhirnya tertahan, dan apa yang disebut dunia Barat sebagai “globalisasi”
adalah intensifikasi resultan dari modal, penghapusan hambatan terhadap keuntungan atau profit.
“Globalisasi” adalah kapitalisme kontemporer yang terintegrasi yang telah membagi dunia
ke dalam segmen spasial yang banyak dan berbeda, pengorganisian profit yang lebih baik dari
hubungan antara segmen-segmen tersebut mengenai objek, orang, data, dan uang.
8. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Postmodernisme

8.1 Postmodernisme dan Warisan Pengetahuan (Pencerahan)

Antara tahun 1970-an dan akhir 1990-an, konsep "postmodern" dikaitkan dengan berbagai
arti yang berbeda. Ini bisa menunjuk periode kronologis, gaya tertentu yang ditemukan dalam
beberapa karya seni kontemporer dan teks sastra, properti struktur sosial di akhir abad kedua
puluh, perubahan dalam nilai masyarakat tertentu, atau cara berpikir khusus secara teoritis
tentang masalah-masalah seperti bahasa, pengetahuan, atau identitas.
Di satu sisi, seseorang dapat menunjuk sebagai "postmodern" beberapa pencapaian ilmiah
dan teknologi terbaru, terutama yang secara kultural dirasakan sebagai pengantar dalam era
sejarah dan tipe masyarakat yang berbeda. Di sisi lain, pengetahuan ilmiah dan rasionalitas
teknologi telah ditantang secara serius oleh cara berpikir postmodern yang lebih umum
mempertanyakan asumsi dasar Pencerahan (Enlightenment) tentang subjektivitas, pengetahuan,
dan kemajuan manusia.
Pada paruh kedua abad ke-20, beberapa pemahaman ilmiah dan inovasi teknologi secara
khusus telah berkontribusi dalam membentuk kesadaran akan zaman sejarah baru. Teknologi
nuklir (baik untuk bom dan pembangkit listrik), perjalanan ke bulan dan Mars, televisi, jaringan
komunikasi global, penemuan DNA, fertilisasi, kloning hewan, proyek genom manusia,
teknologi digital mulai dari komputer pribadi ke WorldWideWeb, dan bencana lingkungan
seperti yang terjadi di Seveso, Bhopal, dan Chernobyl semuanya berkontribusi dalam
mendefinisikan periode postmodern.
Arus pemikiran postmodernis dikembangkan dalam filsafat, sejarah, sosiologi, dan studi
budaya yang berbagi perspektif kritis pada banyak konsep filosofis, institusi sosial, dan tradisi
pemikiran yang berkembang dari zaman pencerahan Eropa abad kedelapan belas, dari gagasan
seperti sebagai individualitas dan rasionalitas terhadap institusi seperti negara bangsa.
Periode postmodern dicirikan oleh dua kecenderungan yang berbeda berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di satu sisi, pemahaman ilmiah dan aplikasi teknologi berkembang
dengan kecepatan yang pesat, lebih cepat daripada sebelumnya, dan beberapa perkembangan
yang luar biasa itu telah mengubah lingkungan material dan berbagai macam nilai, keyakinan,
dan harapan, dan pemahaman "ilmu pengetahuan" dan "teknologi" bagi masyarakat umum. Di
sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi bertemu dengan ambivalensi (pertentangan),
skeptisme, atau perlawanan bukan karena "efek buruk" yang dihasilkan dari evolusi yang cepat
ini, tetapi dalam hal beberapa asumsi mendasar tentang alam, kemajuan, pengamatan manusia,
metodologi yang tepat untuk menciptakan pengetahuan, dan peran yang harus dimainkan oleh
pengetahuan ini dalam membentuk kebijakan publik.
8.2 Teknologi Postmodern

Ketika seseorang mempertimbangkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


selama abad ke-20, apa yang terlintas dalam pikiran adalah beberapa pencapaian teknologi
paling spektakuler seperti eksplorasi Bulan dan Mars atau penemuan bom atom, serta revolusi
teoritis seperti teori relativitas, mekanika kuantum, atau penemuan DNA. Yang mungkin bahkan
lebih luar biasa adalah dimana sains dan teknologi, melalui serangkaian inovasi yang lebih tidak
spektakuler, telah membentuk kembali semua bidang kehidupan dari kegiatan yang paling
spesifik dan teknis menjadi pengalaman sehari-hari (Freeman & Soete, 1997).
Pada paruh kedua abad ke-20, ada tiga bidang di mana harapan dan juga kekawatiran
terhadap teknologi terkristalisasi yaitu teknologi informasi dan komunikasi, bioteknologi, dan
ekologi. Masing-masing bidang ini juga dikaitkan dengan gagasan tentang warisan modernitas
dalam hal tertentu, dan oleh karenanya memberikan pengaruh postmodernisme dalam
hubungannya dengan sains dan teknologi.
Munculnya teknologi digital disertai dengan harapan ilusif untuk transformasi struktur
sosial. Munculnya klaim bahwa individu dan komunitas marginal akan diberdayakan oleh akses
yang lebih mudah dan lebih murah terhadap informasi, bahwa medium baru akan memungkinkan
demokratisasi proses politik yang lebih besar, dan itu akan mengubah pendidikan dan
memungkinkan munculnya jenis komunitas sosial yang baru (Lanham, 1993).

Pada saat yang sama, juga menjadi jelas bahwa, sementara teknologi digital menyediakan
akses yang mudah ke berbagai sumber pengetahuan, di sisi lain juga menciptakan kesulitan
untuk membedakan informasi yang akurat dari yang tidak akurat, atau pernyataan yang muncul
melalui proses telaah ahli atau hanya pernyataan yang merupakan ekspresi pendapat semata
tanpa proses peninjauan ahli.
Teknologi digital berkontribusi pada transformasi yang sering disebut sebagai
paradigmatically postmodern: yaitu transisi masyarakat di dunia Barat dan di bagian lain dunia
dari berbasis barang (goods-based) ke ekonomi berbasis layanan (service-based). Transisi ini
menyiratkan bahwa sebagian besar dari apa yang diproduksi, dijual, dan dibeli dalam ekonomi
tertentu bukan lagi objek fisik, tetapi layanan (service) dalam berbagai jenis, dan khususnya
layanan yang menyediakan konsumen dengan jenis informasi tertentu.
"Pasca industri (postindustrial)" atau "ekonomi pengetahuan (knowledge economy)" disebut
sebagai "ekonomi baru" di Eropa dan Amerika Serikat pada 1990-an, sebuah ekonomi yang tidak
mematuhi prinsip-prinsip yang sama dengan ekonomi yang bergantung pada produksi dan
distribusi barang-barang material.
Pada awal abad ke-20, disiplin ilmu yang paling banyak menangkap imajinasi populer
adalah fisika; paradigma baru seperti teori relativitas dan mekanika kuantum, walaupun kurang
dipahami oleh banyak orang, menyatakan bahwa pemahaman kita tentang dunia telah berubah
secara mendalam, dan perasaan gembira serta ketidakpastian yang menyertai perubahan ini
bahkan di luar apa yang dibayangkan fisikawan pada umumnya.
Perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah kita telaah sejauh ini,
bagaimanapun, sudah mengarah ke salah satu paradoks penting dalam munculnya momen
postmodern. Di satu sisi, momen ini ditandai oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak hanya dalam teknologi digital, biologi, dan ekologi,
yang menghasilkan antusiasme yang besar dan melampaui batas-batas apa yang tampak tidak
mungkin bahkan di paruh awal abad ini. Di sisi lain, tepat pada saat ini keraguan dan pertanyaan
muncul, tidak hanya tentang aplikasi tertentu dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tentang
sifat alamiah mereka - keraguan yang menempatkan legitimasi sosiokultural mereka
dipertanyakan.
8.3 Ilmu pengetahuan dan Krisis Legitimasi

Beberapa faktor telah berkontribusi pada munculnya pertentangan terhadap ilmu


pengetahuan dan teknologi. Kesadaran akan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
masyarakat berteknologi maju pada ekosistem alam adalah salah satu penyebab hilangnya
kepercayaan secara bertahap terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Skeptisme yang meningkat secara bertahap tentang gagasan bahwa sejarah akan membawa
kemajuan menyebabkan pertanyaan paralel dari justifikasi bagi banyak institusi modern; secara
khusus, hal ini menyebabkan sejarawan dan filsuf mendalilkan krisis dalam legitimasi ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu pilar pemikiran barat dan masyarakat (Habermas, 1975).
Ide ini sangat menarik perhatian luas di dunia berbahasa Inggris setelah munculnya
terjemahan karya filsuf Prancis Jean-Francois Lyotard The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge. Dalam laporan untuk Qu´ebecois Government’s Conseil des universit´es, Lyotard
berpendapat bahwa dua narasi paling penting yang telah berfungsi untuk melegitimasi
pengejaran pengetahuan ilmiah sepanjang abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh
telah kehilangan banyak kekuatan persuasif mereka di akhir-akhir abad kedua puluh.
Salah satu argumen menyeluruh atau "metanaratif" sebagaimana disebut oleh Lyotard,
adalah gagasan Hegel bahwa semangat manusia itu sendiri berkembang sepanjang jalannya
sejarah, dan bahwa perluasan pengetahuan adalah salah satu bukti paling nyata dari kemajuan
ini. Yang lainnya adalah keyakinan Pencerahan bahwa perolehan pengetahuan berkontribusi
pada pembebasan dan emansipasi individu dan komunitas.
Sejalan dengan istilah yang dikembangkan oleh filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein, Lyotard
melihat ilmu pengetahuan kontemporer sebagai tidak lagi koheren, pengejaran pengetahuan yang
berorientasi pada kebenaran, tetapi sebagai himpunan berbagai "permainan bahasa" yang
independen di mana fakta tidak lagi diperhitungkan, tetapi hanya "performativity (kekuatan
bahasa untuk menghasilkan perubahan di dunia)", berfungsi instrumental.
8.4 Kritik Postmodern terhadap Pengetahuan Ilmiah

Kritik terhadap ilmu pengetahuan telah muncul di berbagai bidang yang dipengaruhi oleh
pemikiran postmodern, seperti antropologi, sosiologi, filsafat, studi gender, dan studi budaya.
Kritik-kritik ini tidak membentuk suatu argumen yang homogen. Mereka berbeda secara
substansial dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain, dan tidak mungkin untuk mencoba
meringkas semuanya masing-masing. Berikut adalah ringkasan kritik tersebut:
1. Bahwa metode ilmiah dan pengetahuan tidak memiliki status kognitif khusus dan seperti
banyak praktik lain, tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiokultural di mana mereka
muncul; "konstruksi sosial" ini membatasi klaim tentang objektivitas dan universalitas ilmu
pengetahuan.
2. Bahwa penelitian ilmiah tidak netral-nilai, seperti yang dipertahankan oleh para
pendukungnya, tetapi bahwa keyakinan fundamental dan bahkan asumsi-asumsi ideologis
tertanam dalam definisi, tujuan, dan prosedur penyelidikan ilmiah. Dalam pandangan
beberapa penulis, ideologi ini telah melayani kepentingan kelompok sosial yang dominan
dengan mengorbankan pengetahuan yang akan menguntungkan masyarakat umum. Dalam
pencarian mereka untuk ilmu yang akan lebih responsif terhadap tujuan politik yang
demokratis dan progresif.
3. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dan model pengetahuan lainnya perlu dipikirkan
kembali sehingga membuka jalan bagi jenis-jenis penyelidikan yang lebih pluralis dan pada
akhirnya lebih "obyektif" tentang dunia.
Semua bentuk pengetahuan dibangun secara sosial, dan tidak satupun dari mereka dapat
mengklaim validitas kognitif yang superior; oleh karena itu representasi dari dunia harus terbuka
untuk negosiasi di antara para ilmuwan itu sendiri, serta antara komunitas ilmiah dan publik.
Pendukung ilmu pengetahuan telah menanggapi tuduhan tersebut dengan menunjukkan
bagaimana, banyak dari ilmuwan terjebak dalam perangkap pemikiran relativis bahkan ketika
kritikus mengklaim tidak mengambil sikap relativis. Mereka telah bertanya bagaimana ilmu
pengetahuan “yang dapat dipertanggungjawabkan secara politis (politically responsibe)” dapat
diwujudkan dalam ketiadaan tujuan politik yang disepakati secara universal, dan bagaimana
temuan dan teori dari ilmu pengetahuan semacam itu dalam praktik akan berbeda dari yang
diusulkan oleh penelitian konvensional (Labinger & Collins, 2001, Chapter Michael Lynch, “Is a
Science Peace Process Necessary?”). Mereka juga membela kekhususan pengetahuan ilmiah, dan
prosedur ketat serta kontrol logis dan empiris yang diterapkan untuk menetapkan validitas klaim
pengetahuan tertentu. Mereka berargumentasi bahwa prosedur-prosedur ini, menjelaskan baik
karakter perubahan dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya yang bertahap dalam memahami
alam.
Kritik postmodernis terhadap ilmu pengetahuan akan menjadi tepat untuk menanyakan
kondisi dimana adanya kepentingan institusional dan sumber pendanaan yang saat ini
mendorong penelitian ke arah tertentu dan dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sama-
sama sah untuk meminta pengetahuan ilmiah manfaat yang dihasilkan, dan apa kelompok sosial
memiliki akses ke lembaga dan manajemen sains. Adalah sah untuk mempertanyakan siapa yang
diuntungkan dari hasil penelitian ilmiah, dan kelompok sosial mana yang memiliki akses
terhadap lembaga dan manajemen ilmu pengetahuan tersebut.
Tapi sementara kritik terhadap ilmu pengetahuan dalam ranah sosial ini dapat dijustifikasi
dan jika diterapkan dapat menyebabkan perubahan signifikan yang lebih baik dalam beberapa
aspek penelitian ilmiah, akan muncul kesulitan argumentatif dan kontradiksi ketika kritik
diarahkan kepada inti epistemologis penelitian ilmiah. Karena kritik sosial politik dan
epistemologis terhadap ilmu pengetahuan saling melekat erat di masa kejayaan postmodernisme,
tidak mungkin bahwa ketidakkonsistenan argumentatif dari kritik epistemologis di dalam dan
dari diri mereka sendiri akan mengarah pada penolakan. Namun sebaliknya, urgensi kritik sosial
politik kemungkinan besar akan terus mendorong upaya untuk mencari dasar untuk ilmu
pengetahuan yang lebih bertanggung jawab secara sosial, tidak hanya dalam kerangka
kelembagaan dan penggunaan dan fungsi sosiokulturalnya, tetapi dalam struktur teoritis dan
metodologis dari penelitian ilmiah itu sendiri.
9. Postmodernisme dan Etika: Penolakan Terhadap Metafisika Komprehensif

Postmodernisme juga turut membawa perubahan orientasi dalam etika, meski pada dasarnya,
menurut Connor, sebelum merambah kepada kritik-kritik yang lain termasuk seni dan ilmu
pengetahuan, pemikiran postmodernisme pertama-tama merupakan respon etis terhadap corak
tindakan dan pertimbangan moral etis masyarakat modern secara umum yang dianggap
berpangku pada “pola tunggal”. Ia mengatakan (Connor, 2004, p. 183), “it is an ethical response
to exactly the idea of a single pattern that characterizes western thought and the activity that
stems from that single pattern.”

Salah satu respon yang diasosiasikan sebagai pemikiran etis postmodernisme dikemukakan
oleh Emanuel Levinas (1906-1995), seorang filsuf Perancis kontemporer yang dipandang
sebagai pemikir etis paling penting pada masa postmodern (2008:11). Selain itu, salah satu
varian pemikiran etika postmodernisme yang terpenting adalah gerakan yang disebut sebagai
‘pembalikan ke arah kembali kepada etika keutamaan’ (aretaic turn) atau neo-aristotelian. Selain
itu, respon yang lebih konstrukti terhadap etika modern adalah dari Jurgen Habermas, dengan
moralitas berbasis tindakan komunikatif.

9.1 Etika Postmodernisme

Postmodernisme tidak mengemukakan satu sistem etika baru yang berbeda dengan etika
modern, atau mendukung sistem etika yang berbasis kewajiban atau utilitas atau apapun, karena
sesungguhnya agenda mereka adalah menolak segala hal yang sistematis yang didasarkan pada
“metafisika komprehensifitas (the metaphysics of comprehension)” atau “metafisika totalitas (the
metaphysics of totality)” (Setyabudi & Hasibuan, 2017).

Pemahaman masyarakat modern selama ini tentang prinsip prinsip identitas, dan
menyamakan sesuatu yang sesungguhnya berbeda dengan prinsip-prinsip metafisis tertentu
adalah ciri yang bertopang pada metafisika komprehensi atau totalitas. Memahami, dan bergaul
berdasarkan komprehensifitas dan totalitas berarti: memahami sesuatu dan mengikatnya,
menganggapnya identik, sama, atau melibatkan sesuatu yang lain sampai pada batas tertentu,
tanpa memperhatikan aspek keberlainan dan keberbedaannya.

Salah satu tokoh yang menolak prinsip-prinsip berpikir komprehensif dan totaliter yang
menjadi cara kerja dan cara berpikir modern adalah Levinas yang memposisikan dirinya pada
kontra-totalitas dan lebih bertitik tolak dari metafisika keberlainan atau the methaphysics of
otherness. Dengan demikian, Levinas berusaha melawan prinsip-prinsip egoisme totaliter dengan
prinsip keberlainan atau “alteritas” yang tak terbatas. Bagi Levinas, peristiwa identifikasi subjek
sesungguhnya merupakan peristiwa moral daripada peristiwa rasionalitas: artinya lebih terkait
dengan perkara-perkara moral daripada perkara kognitif. Jadi, kesadaran moral dibangun oleh
Levinas secara fenomenologis dengan didasarkan pada fakta moral yang paling dasar,
perjumpaan wajah yang lain, sehingga putusan moral yang harus diambil pertama-tama setelah
perjumpaan itu adalah tanggung jawab terhadap sesama dengan penuh keterbukaan, dan tanpa
dominasi.

Gambar 1. Emanuel Levinas, filsuf moral postmodermisme Perancis terkemuka


(Sumber:http://www.gettyimages.co.nz/photos/emmanuel-levinas?)
9.2 Totalitarianism, Saintisme, dan Postmodernism

Salah satu contoh ekstrem dari "metafisika komprehensif" adalah yang terjadi pada negara-
negara totaliter pada abad ke-20. Hannah Arendt's The Origins ofTotalitarianism didedikasikan
tidak hanya untuk mengungkap sejarah dan perkembangan Nazisme dan Stalinisme tetapi juga
untuk mengeksplorasi logika totalitarianisme itu sendiri. Ideologi, seperti yang digunakan oleh
Nazi dan USSR Stalin, mengklaim menawarkan penjelasan total tentang sejarah, masa lalu,
sekarang, dan masa depan. Pemikiran ideologis “menjadi independen dari semua pengalaman”
(Arendt, 1973, p. 470); pemikiran ini tidak dapat menemukan sesuatu yang baru dan
mengkonsumsi semua yang ada di dalamnya. Dia melanjutkan:

Pemikiran ideologis memerintahkan fakta-fakta ke dalam prosedur yang benar-benar logis


yang dimulai dari premis yang diterima secara aksiomatis, mendeduksi segala sesuatu lainnya
darinya. Pengurangan dapat dilanjutkan secara logis atau dialektik; dalam kedua kasus, ini
melibatkan proses argumentasi yang konsisten yang, karena berpikir dalam kerangka proses,
seharusnya mampu memahami pergerakan proses suprahuman, alam, atau sejarah ... Begitu ia
telah menetapkan premisnya, titik keberangkatan, pengalaman tidak lagi mengganggu
pemikiran ideologis, juga tidak dapat diajarkan oleh kenyataan.(Arendt, 1973, p. 471)

Proses-proses ini, logika argumen dan alasan yang diambil dari pernyataan atau aksioma
pusat, tidak hanya bertujuan untuk "mengorganisasikan kemajemukan manusia yang tidak
terbatas seolah-olah semua umat manusia hanya satu individu" (Arendt, 1973, p. 438) tetapi juga
mengkonsumsi semua yang lain ke dalam sistemnya sendiri. Logika yang diandalkan oleh
negara-negara ini adalah bersifat omnivora.

Metafisika komprehensif juga dapat dilihat dalam saintisme. Metafisika pemahaman dapat
dilihat dalam karya Daniel Dennett, salah satu filsuf sains atau ilmu pengetahuan terkemuka. Dia
berpendapat bahwa sains cenderung ke arah "keinginan untuk mengurangi, untuk menyatu, untuk
menjelaskan semuanya dalam satu teori besar yang menyeluruh."

Pemikiran postmodernis tidak mampu menyatakan sains yang salah atau benar, terutama
dalam serangkaian protokol yang sangat rumit yang menentukan perubahan sains dan mengarah
pada penemuan, misalnya, obat-obatan. Namun demikian, postmodernime mampu menyatakan
bahwa sains, "tidak lagi diberi umpan atau makanan oleh filsafat," tapi berubah menjadi
saintisme.

9.3 Kesimpulan

Analisis Levinas tentang "filsafat omnivora" yang mendasari pemikiran Barat adalah salah
satu cara untuk menunjukkan bagaimana respons etis terhadap peristiwa masa lalu dan sekarang
yang mendasari postmodernisme. Namun, Deleuze dan Guattari, menentang Levinas dalam
beberapa hal, "peserta yang terlibat dalam awal munculnya etika postmodern" ... muncul pada
saat meredupnya subjek rasional, penilaian dan dasar kontrak, pengakuan liberal tentang
kesetiaan individu kepada komunitas sosial. Di sini, baik “subjek rasional, penilaian”dan
komunitas berbasis kontrak mengambil bagian dalam metafisika komprehensif yang mengurangi
keberlainan.

Bisa juga dilihat, mungkin, dan pada suatu sudut, dalam karya Adorno. Dia menulis, secara
tidak langsung, bahwa pemikiran dialektis “adalah upaya untuk mengatasi paksaan logika
dengan caranya sendiri. Memang benar bahwa etika ini - gangguan pemikiran barat melalui
pemikiran barat berdasarkan tanggapan yang lebih primordial terhadap hal lain - adalah,
sebagaimana Derrida tunjukkan, “etika tanpa hukum dan tanpa konsep, yang mempertahankan
kemurnian ketidakkekerasannya hanya ketika belum ditentukan sebagai konsep dan hukum.
Etika postmodernitas bukanlah etika kebebasan: bagi Levinas, bagi postmodernis, kita tidak
pernah bisa bebas dari kewajiban dan dari tanggung jawab.
10. Postmodernisme dan Agama

Berawal pada abad ke 17, modernisme mulai menggantikan pramodernisme yang


berorientasi pada keyakinan menjadi orientasi terhadap akal pikiran. Modernisme menawarkan
daya tarik epistemologis baru yang terlepas dari batas-batas agama sebelumnya. Era modernisme
percaya bahwa dominasi ilmu pengetahuan akan membawa umat manusia kepada kebebasan.
Selain itu, era modernisme juga mengajarkan cara berpikir rasional yang menjanjikan kebebasan
berpikir terhadap irasionalitas seperti mitos, tahayul agama, dan kesewenangan [ CITATION
Pet11 \l 1033 ]. Namun, pada abad ke 19, banyak orang yang mulai mempertanyakan paham era
modernisme. Era modernisme dipandang sangat lemah dalam hal spritual. Pada saat itulah era
postmodernisme mulai lahir. Era postmodernisme secara khusus mempertanyakan inti dari
pemahaman era modernisme yaitu kebenaran yang mutlak serta kemampuan manusia untuk
menemukan kebenaran tersebut. Postmodernisme percaya bahwa ilmu pengetahuan dan
kepercayaan merupakan hasil pengaruh dari lingkungan sekitar. Sehingga, setiap orang bisa
memiliki pemahaman yang berbeda karena mereka memiliki budaya, intelektual, serta kehidupan
sosial yang berbeda [ CITATION Pet11 \l 1033 ].
Era postmodernisme menganut paham sekuler dan meninggalkan pemahan agama yang
tradisional. Sekularisasi merupakan dampak yang paling jelas pada masa postmodernime.
Pemikiran tentang sekuralisasi ini berdampak pada turunnya minat seseorang pada agama yang
bersifat tradisional. Hal ini terlihat pada kasus di Eropa barat pada tahun 1998 dimana 51 persen
orang Prancis menyatakan dirinya adalah seorang Katolik, angka tersebut jauh menurun jika
dibandingkan pada tahun 1994 yaitu sekitar 67 persen, dan 80 persen pada tahun 1970an
[ CITATION Pet11 \l 1033 ]. Fenomena ini disebut juga dengan “Christophobic” dimana orang-
orang mulai menolak agama karena alasan ingin lebih netral dalam memandang dunia. Jika
melihat dari sudut pandang postmodernisme, peristiwa tersebut bukanlah hal yang mengejutkan.
Clarke & Wenz [CITATION Pet11 \n \t \l 1033 ] menyebutkan postmodernisme sebagai keraguan
terhadap meta-narasi (meta-narasi yang dimaksud, misalnya: kebebasan, kemajuan, emansipasi
kaum proletar, dan sebagainya). Dan apa yang ditawarkan oleh agama tradisional merupakan
sebuah meta-narasi yang bertentangan dengan paham era postmodernisme, dimana agama
mengklaim kebenaran absolut.
Pada era postmodernisme, legitimasi politik, nilai-nilai sentral, ideologi dominan tidak lagi
diperlukan, namun pilihan yang tak terbatas bagi setiap orang lah yang akan menyatukan
postmodernisme juga membuat orang mulai mempelajari agama-agama lain untuk mengambil
nilai-nilai yang baik dari setiap agama, hal ini merupakan cara baru dalam mengekspresikan dan
merasakan agama. Postmodernisme mulai menciptakan bentuk-bentuk agama alternatif yang
lebih pribadi. Dalam survey yang dilakukan oleh Donegani menunjukkan bahwa hanya tujuh
persen orang Perancis yang percaya bahwa Katolik merupakan satu-satunya agama yang benar,
angka tersebut menunjukkan penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan data pada
tahun 1952, dimana lima puluh persen orang Perancis percaya bahwa Katolik merupakan satu-
satunya agama yang benar [ CITATION Pet11 \l 1033 ]. Survery tersebut juga menunjukan bahwa 52
persen responden setuju bahwa seseorang dapat menemukan kebenaran dalam agama lain. Selain
itu, survey yang dilakukan oleh Donegani juga menunjukkan 39 persen responden percaya
bahwa semua agama itu sama. Hasil survey tesebut menunjukkan saat ini semua tergantung pada
individu dalam menghargai nilai-nilai agama. Era postmodernisme juga menunjukkan bagaimana
cara pandang terhadap agama telah berubah, dari yang awalnya melihat agama sebagai suatu
keyakinan yang sitematis dan terorganisir, kepada sesuatu yang lebih personal [ CITATION Pet11 \l
1033 ].

Postmodernisme kian menggantikan agama tradisional, dengan penekanan terhadap


pengalaman spiritual masing-masih individu dan mengesampingkan pengajaran institusional,
otoritas, kepatuhan, dan ciri khas lain dalam agama tradisional. Postmodernisme juga lebih
mengedepankan pengalaman spritual lebih penting daripada kepercayaan, hal ini seperti
ungkapan “apa yang cocok dengan saya” lebih penting daripada kepercayaan atau kebenaran.
Secara keselurahan dapat terlihat bahwa seseorang menginginkan hubungan personal dengan
Tuhan, namun mereka juga menginginkan Tuhan yang lebih mudah, lebih cepat, dan lebih
tenang.
Terdapat tiga kategori “agama baru” dalam masa postmodernisme yaitu agama yang
menolak dunia, agama yang menegaskan dunia, dan agama yang mengakomodasi dunia.
[ CITATION Muh05 \l 1033 ]. Selain itu terdapat tiga alasan kenapa agama baru tersebut
bermunculan pada masa postmodernisme. Pertama, karena gagalnya sains dan teknologi dalam
memberikan jawaban yang tepat menganai makna hidup. Kondisi ini diperparah ketika sain
masih netral dan tidak berbalik, objektif, mewujud menjadi saintisme, mengideologi, sarat
dengan kepentingan, dan gagal menepati janji dalam memberikan kebahagiaan total kepada
manusia. Kedua, agama-agama besar tidak mampu lagi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
manusia, agama tidak lebih sebagai sekedar masalah hubungan individual dengan Tuhan
(privatisasi agama). Agama tidak tampil sebagai suatu kebutuhan bersama. Ketiga, dalam
perspektif postmodernisme memang ada kecenderungan untuk merombak tatanan keberagamaan
yang seragam, klaim universalisme agama mulai digugat dan diganti dengan keterbelahan
subjek, kebenaran pihak lain sudah mulai mengemuka.
Gerakan formulasi dan modifikasi agama baru merupakan sesuatu gerakan yang mendunia.
Hal itu tidak hanya terjadi di negara-negara Barat yang notabene pencipta sains dan sering
diklaim sebagai masyarakat pascaindustrial. Namun hal sama juga terjadi di negara berkembang
sebagai penikmat sains dan budaya barat. Zain [CITATION Muh05 \n \t \l 1033 ] menyebutkan
Kasus Haur Koneng Tasikmalaya dan merebaknya aliran kebatinan yang belakangan melebur
menjadi Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, maraknya pendirian kelompok-kelompok
meditasi, terapi spiritual dan pengobatan, misalnya kasus Hj. Lia Aminuddin yang mengaku
telah mendapatkan wahyu dari Allah lewat malaikat Jibril, mengaku bahwa Imam Mahdi,
Mariam dan Jibril menyatu dalam dirinya sekaligus menobatkan putranya sebagai Nabi Isa.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa, pada masa postmodernisme agama bukan lagi sekedar
persoalan pribadi, tapi justru merupakan persoalan publik. Oleh karenanya, agama adalah sesuatu
yang seharusnya dideprivatisasi. Dalam konteks inilah, agama tetap memainkan peranan penting
di era global. Agama tidak berada di pinggiran apalagi tercerabut dari konteks sosial-budaya,
ekonomi, dan politik. Dengan sendirinya kondisi demikian berarti bahwa kebenaran nilai yang
dikandung oleh sebuah agama bukan lagi atas nama pribadi, tetapi lebih merupakan hak
masyarakat.
11. Hukum dan Keadilan dalam Postmodernisme

// TODO: cahyono
12. Kesimpulan Posmodernisme

Postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan diperkenalkan di tahun 1970-
an oleh Jean-Fracois Lyotard dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan
universal, atas tradisi metafisik, fondasionalisme maupun atas modernisme. Menurutnya,
postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern.
Tokoh-tokoh postmodernisme antara lain Jean-Francois Lyotard, Michael Foucault, Jacques
Derrida, Jean Baudrillard, dan Fedrick Jameson. Ciri-ciri pemikiran postmodernisme antara lain
Dekonstruktifisme, Relativisme, dan Pluralisme.
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, postmodernisme tidak mengakui akan adanya
rasionalitas universal, objektif dalam pengetahuan. Yang ada hanyalah relativitas dari eksistensi
plural atau subjektivitas. Maka cara berpikir perlu dirubah dari berfikir secara totalitas menjadi
pluralistic dan open democracy dalam semua sendi kehidupan.
Seperti halnya segala sesuatu yang ada di dunia selalu memiliki dua sisi, demikian juga
posmodernisme memilik kelebihan dan kekurangan. Postmodernisme dapat membuat kita peka
terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat dipakai
untuk menekan dan menindas manusia. Selain itu Franz Dahler mengatakan bahwa
postmodernisme mendorong keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi,
perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga
menguntungkan demokrasi. Namun demikian, postmodernisme yang sangat semangat
mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata juga bisa buta terhadap kenyataan bahwa banyak
juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Kedua, postmodernisme tidak
membedakan antara ideologi di satu pihak dan prinsip-prinsip universal etika terbuka di pihak
lain. Ketiga, postmodernisme menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil
atau lokal.
Beberapa kritik terhadap postmodernisme menyatakan bahwa pemikir postmodernisme
kurang tegas dalam membedakan apakah mereka menciptakan teori atau mengarang sastra.
Habermas merasa argumen para postmodernis sarat dengan sentimen normatif. Ciri diskursus
postmodernisme dalam ilmu pengetahuan adalah bagaimana memahami fenomena modern yang
bernama pengetahuan. Ia mempertanyakan tentang ”apa itu pengetahuan yang benar” secara
genealogis dan arkeologis, dalam arti, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu
mengembangkan diri selama ini. Misalnya konseptual tentang ”kegilaan”, ”seksualitas”,
manusia”, ”gender” dan lain sebagainya yang biasa dianggap ”natural” itu sebenarnya adalah
situs-situs produksi dari ilmu pengetahuan.
Terlepas dari adanya kelemahannya dan apakah relevan terhadap kehidupan masa kini,
postmodernisme telah menambah pembendaraan pengetahuan yang dapat diterima
keberadaannya.
Referensi

Arendt, H. (1973). The Origins of Totalitarianism. London: Harcourt Brace.


Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths & Structures. London: SAGE Publications
Ltd.
Connor, S. (2004). The Cambridge Companion to Postmodernism (1st ed., Vol. 1). Cambridge:
Cambridge University Press.
Freeman, C., & Soete, L. (1997). In The Economics of Industrial Innovation (3rd ed.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Ghazali, A. M., & Effendi, D. (2009). Merayakan kebebasan Beragama: Bunga Rampai
Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Habermas, J. (1975). Legitimation Crisis. (T. McCarthy, Ed.). Boston, MA: Beacon.
Harvey, D. (1980). The Condition of Postmodernity: An Inquiry Into the Origins of Social
Change. Oxford: Blackwell.
Jameson, F. (1998). The Cultural Turn: Selected Writings on the Postmodern, 1983– 1998.
London: Verso.
Labinger, J. A., & Collins, H. (2001). The One Culture? A Conversation about Science. Chicago,
IL: University of Chicago Press.
Lanham, R. A. (1993). The Electronic Word: Democracy, Technology, and the Arts. Chicago,
IL: University of Chicago Press.
Leahy, L. (1985). Manusia Sebuah Misteri Sintesa Filosofis Makhluk Paradoks. Jakarta:
Gramedia.
Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. (D. Nicholson-Smith, Ed.). Oxford: Blackwell.
Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. (G. Bennington & B.
Massumi, Eds.). Manchester: Manchester University Press.
Maksum, A. (2012). Pengantar Filsatfat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Maksum, A. (2014). Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Posmodernisme. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Setyabudi, M. N. P., & Hasibuan, A. A. (2017). Pengantar Studi Etika.pdf. Malang: Universitas
Brawijaya Press (UB Press).
Wora, E. (2006). Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta:
Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai