Anda di halaman 1dari 27

SASTRA,POLITIK,DAN mEOLOGI

oleh
Sapardi Djoko Damono

ProATO
DISAMPAIKAN PADA UPACARA reNGUKUHAN
SEBAGAI GURU BESAR TETAP
PADA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPCHC, 14 DESEMBER 1994

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


SASTRA,POLITIK,DAN IDEOLOGI

Yth. Rektor dan Ketua Senat Universitas Indonesia, Pof, dr. M.K.
Tadjudin;
Yth. Para anggota Senat Universitas Indonesia:
Yth. Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Prof. Dr. Achadiati
Ikram;
Yth. Hadirin sekalian.

Dalam majalah Time edisi 5 Desember 1994 dimuat berita


ringkas mengenai Wole Soyinka, seorang sastrawan Nigeria, yang
terpaksa melarikan diri dari n^erinya karena mendapat tekanan dari
pemerintahnya. Wole Sojdnka adalah dramawan teikemuka Afrika,
orang pertama dari benua itu yang pada tahun 1986 menerima Hadiah
Nobel untuk Kesusastraan. Di mata pemerintah kaum militer yang
berioiasa di negeri itu sgak tahun 1993, ia dianggap terlalu keras
berbicara membela demokrasi. Sebagai drawaman, karya4caryanya
(antara lain Soyinka, 1987) mengungkapkan kritik yang keras
teiiiadt^) berbagai masalah sosial politik negerinya. Benturan
pandangan antara sastrawan Han pemerintah semacam itu bukan
peristiwa yang aneh, dan entah sejak kapan telah teijadi di mana pun.
Hasilnya bisa saja berupa pengusiran, pengucilan, pembatasan
kogiatan, atau pelarangan peredaran karya sastrawan yang
bersangkutan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa perbedaan pandangan hu
tidak hanya teijadi antara sastrawan dan pemerintah, tetapi juga
antara sastrawan dan kelompok atau golongan tertentu dalam
masyarakat. Tahun ini juga kita mendengar berita mengenai Taslima
Nasrin {Time, 20 Juni 1994), seorang wanita sastrawan Bangladesh
yang terpaksa bersembunyi di negeri sendiri, dan akhimya
meninggalkannya karena mendapat ancaman dari golcmgan tertentu
dalam masyarakatnya yang menganggap karya dan ucapannya
menyinggung beberapa prinsip dasar kepercayaan yang mereka anut.
Karena karya-karyanya yang mengungkapkan pandangan yang

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


kontroversial mengenai seks, perkawinan, dan agama ~ yang pada
hakikatnya mengritik sikap masyarakat terhadap kedudukan kaum
wanita di negeri itu, wanita pengarang itu dituntut agar diadili dan
dijatuhi hukuman.
Beberapa tahun yang lain, sastrawan Inggris peranakan
Pakistan, Salnian Rushdie, dikutuk dan dijatuhi hukuman mati oleh
Ayatolah Khomeini, pimpinan tertinggi Republik Islam Iran, karena
salah satu karyanya, yakd Satanic Verses, diangg^ menghina agama
dan umat Islam. la diancam akan dibunuh, dan oleh karena itu sampai
hari ini terpaksa hams hidup dalam persembunyian imtuk menghindari
ancaman tersebut. Bahwa sampai hari ini ia masih hidup tidaklah
berarti bahwa ancaman itu tidak sungguh-sungguh; tahun lain
peneijemah karyanya itu ke dalam bahasa Jepang meninggal karena
pembunuhan.
Salah satu berita dari Rusia yang menarik akhir-akhir ini
adalah kembalinya sastrawan Alexander Sol2dienitsyn ke negerinya;
kita tentu masih ingat bahwa pada tahun 1974 ia diusir dari negerinya,
setelah pada tahun 1970 menerima Hadiah Nobel untuk beberapa
karya-karyanya yang mencerminkan sik<q} kritisnya terhadap struktur
politik negerinya. Pada tahun 1958, sastrawan Rusia lain, Boris
Pasternak, mendapat Hadiah Nobel karena novelnya yang beijudul
Doktor Zhivago. Novel yang beikisah mengenai revolusi Rusia yang
diramu dengan kisah cinta segi tiga yang menghanikan itu sejak awal
memang sudah dilarang beredar di negerinya tetapi terbit di beberapa
negeri lain. Pasternak mendapat kesulitan dengan Hadiah Nobel itu;
mula-mula ia bersedia menerima hadiah itu, tetapi kemudian mpanya
ia mendapat tekanan dari pemerintahnya untuk menolak hadiah
tersebut.
Solzhenitsyn pemah dikeluariran dari keanggotaan dalam
Perhimpunan Pengarang Sovyet Rusia karena kritiknya yang pedas
organisasi itu dan pemerintah, tet^i penyair Anna
Akhmatova juga pemah mengalami hal serapa meskipun alasannya
berbeda. Wanita penyair yang sangat pt^uler pada zamannya itu pada
tahun 1964 dituduh oleh Sentral Komite Partai Komunis Rusia telah
menyebarluaskan puisi yang dekaden, pesumstik, dan mistis — dan
oleh karena itu bisa merasak akhlak pemuda Uni Sovyet. Penguasa

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


kebudayaan Sovyet pada masa itu, Zdanov, menyatakan bahwa sajak-
sajak Akhmatova tidak meiiq>edulikaii politik, hanya untuk kalangan
elit, dan mencerminkan pandangan seni untuk seni.
Di Inggris, pada tahun 1928 D.H. Lawrence mraerbitkan
novel beijudul Lady Chatterley's Lover, novel yang mengungkapkan
pandangan pengarang mengenai teori mistik dalam hubimgan seles ini
dilarang beredar di Inggris dan Amerika karena dianggap cabul.
Setelah melalui proses pengadilan yang beriiku-iiku, dan konon
merupakan salah satu proses pengadilan yang paling menggemparican
di abad ini, novel itu akhimya diperbolehkan beredar di Amerika
tahun 1959 dan di Inggris setahun sesudahnya (Benet, 1988:543).
Pada tahun 1857 Charles Baudelaire, seorang penyair Francis,
menerbitkan kunq>lan sajaknya yang beijudul Fleurs du Mai. Dua
bulan sesudah poierbitan itu, sang penyair dan penerbitnya harus
menghad^i pengadilan sebab ada yang menulis protes dalam koran,
mftnganggap bahwa enam di antara sajak-sajak dalam kumpulan itu
bisa merusak moral masyarakat. Enam sajak itu kemudian
diperintahkan untuk dihapuskan dari buku dan mereka beidua kena
denda 300 fianc ditambah ongkos pengadilan (Breieton, 1960:152).
Indonesia juga tidak terfaindar dari masalah semacam itu.
Beber^a kali penyair-penyair seperti Rendra, Emha Ainun Nadjib,
dan I inns Surya^ AG djlarang membaca puisi. Beberapa kali
pementasan drama N. Riantiarno dan Emha Ainun Nadjib juga
mendapat kesulitan perizinan. Umumnya pelarangan dan
pembatasan itu tidak begitu jelas alasannya, sehinggi khalayak ramai
hanya bisa menebak-^iebak saja. Beberapa alasan memang agak jelas,
seperti yang pernah teijadi pada Linus Suryadi AG jrang dilarang
membacakan sajaknya yang beijudul "Maria dari Magdala," karena
dikawatirkan sajak itu bisa menyinggung perasaan umat beragama
Kristen dan Katolik. Alasan itu tidak bisa diterima si penyair yang
mengungkapkan bahwa sajaknya itu pernah dimuat di majalah Hidup
yang pemimpin redaksinya aHaiah seorang pastur {Femina, 8—14
Desenber 1994).
Yang segera bisa disimpulkan dalam beberapa kasus di
Indonesia itu adalah bahwa tampaknya pelarangan terutama ditujukan
kepada pementasan dan pembacaan di depan khalayak ramai.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


sedangkan karya sastra itu sendiri tidak begitu dimasalahkan. Di
samping kasus Linus Suryadi AG itu, beberapa kasus yang menimpa
Rendra dan Emha Ainun Nadjib juga menunjukkan kecendenmgan
serapa. Meskipun beberapa kali mereka dilarang membaca puisi di
depan umum, karya mereka masih bisa didapatkan dengan bebas
dalam bentuk buku, artinya kita masih bisa membacanya di rumah
masing-masing. Larangan semacam itu mendorong kita untuk menarik
kesimpulan bahwa kekawatiran pemerintah, di pusat maupun di
daerah, terutama ditujukan pada segi kelisanan dan bukan ketertulisan
sastra. Mungkin sekali sikap itu didasari pada anggapan bahwa
masyarakat kita ini masih cenderung ke kebudayaan lisan, sehingga
mendengar sastra dianggap iebih efektif, dan oleh karenanya bisa
lebih membahayakan ketenteraman umum, dibandingkan dengan
membaca sastra. Tetapi mungkin juga alasan pembatasan dan
pelarangan pementasan dan pembacaan sastra itu sangat sederhana:
pihak keamanan tidak mau mengambil resiko terhadap peristiwa
sastra yang melibatkan kerumunan orang banyak.
Namun, pelarangan temyata juga dikenakan terhadap buku
atau karangan di majalah. Sampai sekarang, beberapa buku karya
Pramoedya Ananta Toer, terutama yang ditulis sesudah ia aktif dalam
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai
Komunis Indonesia,' belum diizinkan beredar; beberapa novel yang
ditulis di awal masa kepengarangannya, seperti Perburuan, mulai
tampak di toko buku. Pada tahun 1968, maj<ilah Sastra, yang
dipimpin H.B. Jassin, mendapat kesuUtan karena memuat sebuah
cerita pendek karangan Ki Pandjikusmin yang beijudul "Langit Makin
Mendung." Oleh sementara kalangan dalam masyarakat, cerita pendek
itu dianggap menyinggung sendi-sendi kepercayaan agama, dan
pengarangnya dituntut untuk diadili. Karena Ki Pandjikusmin adalah
nama samarati dan pengarang yang berserabunyi di balik nama itu
tidak bersedia muncul, maka H.B. Jassin sebagai penanggung jawab
majalah itu harus menghadapi sidang pengadilan, dan dijatuhi
hukuman percobaan dua setengah tahun. Ini berarti, pengadilan
membenaikan tuduhan dan tuntutan kalangan tertentu tersebut.
Ironisnya, Sastra adalah majalah yang sebelum peristiwa
G30S/PKI juga mendapat kesulitan dari penguasa karena dianggap

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


menyuarakan kekuatan subversif dan antirevolusi. Pengasuh dan
sebagian besar penyi^bang karangan nuyalah itu pada tafaun 1963
menandatangani "Manifes Kebudayaan," sd>uah pemyataan yang
menggarisbawahi pentingnya kemerddcaan kreati^ tetapi yang <deh
sementara pihak dianggap membahayakan perjuangan bangsa.
Desakan dari berbagai kalangan politik dan budaya pada wakta itu,
terutama dari pihak-pihak yang merasa dirinya progresif dan
revolusioner, menyebabkan Presiden Sukarno pada bulan Mei 1964
menyatakan "Manifes Kebudayaan" sebagai k^atan terlaiang antara
lain karena dianggap kontiarevolusi (Ismail, 1972; Jassin, 1983;
Mohamad, 1993). Akibatnya, somia kaiya poigarang yang
menandatangani pemyataan kebudayaan tersebut dilarang beredar.
Para penandatangan itu mendapat hambatan dalam moiyebarluaskan
tulisannya maupun dalam pekeijaannya, terutama yang berkaitan
dengan penerbitan dan kep^wainegerian. H.B. Jassin adalah ctmtdi
yang mudah diingat: pada waktu itu buku-bukunya dilarang beredar,
ia dilarang menulis, dan ia pun dilarang mengajar di alma matemya,
Fakultas Sastra Univershas Ind<mesia. Kritikus sastra kha itu
mendapat kesulitan baik sebeium maupun sesudah G30S/PKI, di masa
Presiden Sukarno maupun Presiden Suharto.
Di masa pemerintahan Presidoi Sukamo, Mochtar Lubis juga
pemah mendapat kesulitan. Ia haras menjalani hukuman tanpa
pengadilan karoia menunjukkan sikap keras terfaadap pemerintah dan
kepala n^ara. Salah satu akibatnya adalah bahwa novelnya yang
beijudul Senja di Jakarta, yang sangat kritis teriiadap situasi sosiai
dan politik masa itu, pertama kali terbit tidak di Jakarta tetapi di hiar
negeri(Teeuw, 1979).
Gambaran lingkas mengenai berbagai peristiwa yang
menyangkut sastra dan sastrawan itu monbuktikan bahwa hubungan-
hubungan antara sastra, sastrawan, masyarakat, dan pemerintah
terayata memang tidak sederliana. Karya sastra bisa dilarang beredar
karena isinya dianggap membahayakan ideologi negara sqterti yang
terutama teijadi atas kaiya-karya Pasternak dan Solzhenitsyn; dmi
karena karya sastra dianggap identik dengan penciptanya, maka para
sastrawan itu juga mendiq>at kesulitan dengan pemerintahnya. Karya
sastra bisa juga dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


nilai moral daiam masyarakat, seperti kasus Lady Chatterley's Lover
kaiya Lawrence dan beberapa sajak kaiya Baudelaire; dalam hai ini
novelis dan penyair itu hams berurusan pengadilan. Karya sastra bisa
juga dianggap mengungkapkan pandangan yang kontroversial
mengenai agama sehingga babkan pengarangnya mendapat ancaman
hukuman dari golongan tertentu dalam masyarakat, seperti yang
antara lain teijadi atas Taslima Nasrin dan Salman Rushdie.
Bisa juga teijadi pelarangan atau pembatasan atas karya
sastra karena si sastrawan terbukti pemah terlibat dalam kegiatan
partai terlarang, seperti halnya Pramoedya Ananta Toer; atau karena
si sastrawan dianggap tidak man melibatkan karyanya dalam kegiatan
partai yang berkuasa, seperti yang teijadi atas Akhmatova.
Penangkt^ian dan perbunian pengarang bisa juga disebabkan oleh
kritik keras yang ditujukan terhadap pemerintah, di dalam maupun di
luar karya sastra, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Soyinka dan
Mochtar Lubis. Dalam hal yang teiakhir ini hams dicatat bahwa kritik
yang keras terhadap pemerintah adalah penyebab utama, dan bukan
teratama karya-karyanya.
Gambaran itu juga jelas menunjukkan bahwa pemerintah dan
masyarakat luas umumnya beranggapan bahwa polite dan ideologi
tidak bisa dipisahkan dari sastra. Dalam pengeitian ini, politik
diaitikan sebagai tindakan atau kegiatan yang dipergunakan untuk
mendapatkan kekuasan dalam n^ara, masyarakat, atau lembaga; bisa
juga l^rarti tindakan atau kegiatan yang dianggap bisa mrajamin
bahwa kdmasaan dilaksanakan dengan cara tertentu. Ideologi
diarrilfan sebagai keyakinan atau seperangkat keyakinan yang menjadi
landasan bagi orang, masyarakat, atau n^ara untuk melakukan satu
tindakan Secaia tersurat dan tersirat, pandangan itu juga menyatakan
bahwa sastra tidak bisa ihpisahkan dari sikap politik dan ideologi
pracipta, penerbh, dan pembacanya, sqierti yang beralang kali
ditAirankan oleh beberapa teoritisi mutakhir (antara lain Burke, 1973;
Ciaig, 1973; Daiches, 1960; Eagleton, 1980, 1983, 1985, 1991; Moi,
1990; Williams, 1971, 1973). Mereka itu mengungkapkan bahwa
karya sastra adalah equipment for living yang tentu saja tidak
terpisahkan dari ideologi, menjelaskan bagaimana karya sastra
memberikan tanggapan terhadap iklim politik dan ideologi.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


7

menguraikan hubungan-hubungan yang minit antara ideolc^ dan


cara-cara reproduksi sastra, menerangkan bahwa sastra pada masa
teitentu sama sekali tidak bisa dipisahkan dan cara hidup yang
berlangsung, menggarisbawahi adanya kaitan-kaitan antara penilaian
estetis, moral, dan sosial, menyatakan bahwa femimsme pada
dasamya merupakan posisi politik, dan sebagainya. Keterkaitan sastra
dan politik serta ideologi tidak terbatas pada apa yang disebut "sastra
elit," tetapi juga pada hasil kebudayaan pt^uler, yakni sastra p<^uler
(Lowenthal, 1968; Palmer, 1991; Pawling, 1984). Berdasaikan
gambaran dan kesimpulan itu, berikut ini secara ringkas akan
digampaikan beberapa gagasan d^n teori mengenai hubungan-
hubungan antara sastra, politik, dan ideologi-
Pemikiran mengenai macatah tersebut bukan milik kita di
zaman ini saja; salah satu dokumen tertulis yang memuat teori sosial
sastra adalah karya Plato, filsuf Yunani yang -hidup di abad kelima
dan keempat sebelum Masehi. Dalam Republik ia menjelaskan
panjang lebar mengenai hubungan-hubungan yang ada antara sastra
dap masyarakat. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
dnnia ini sebeuamya hanyalah merupakan tiruan dari kenyataan
tertinggi yang ada di dunia ide. Dengan demikian manusia, anjing, dan
meja ini semua merupakan tiruan dari manusia, anjing, dan meja yang
ada di dunia ide. Sastrawan yang membuat gambaran mengenai meja,
misalnya, tidak dapat langsnng membuat tiruan meja yang berada di
dunia gagasan la hanya meniru meja yang ada di dunia. Oleh sebab
itu, sastra yang dihasilkannya hanyalah merupakan tiruan dari barang
tiruan; dei^an kata lain, sastra membawa kha semakin menjauh dan
dunia ide, yakni kenyataan tertinggi. Secara tersirat dikatakann)^
bahwa lebih bermanfaat daripada karya sastra, sebab ld>ih dekat ke
kenyataan tertinggi; dragan demikian tukang kayu yang membuat
m^a juga lebih penting kedudukannya dalam masyarakat dibanding
dengan sastrawan.
Bagian lain dalam karangannya menjelaskan pentiiignya sastra
bagi poididikan anak. Pada zaman itu, rupanya sastra mem^ang
peranan penting dalam pendidikan anak. Plato beranggapan bahwa
cerita-cerita yang beredar pada masa itu harus disensor terlebih
dahulu sebelum disampaikan kepada anak-anak. Anak sebaiknya

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


hanya menerima cerita-cerita yang tidak mengandung hal-hal yang
bisa menyesatkan. Dongeng mengenai pertengkaran dan pertempuran
yang berlangsung antara dewa-dewa, misalnya, sebaiknya dijauhkan
dari anak-anak, sebab hasilnya bisa sangat negatif bagi anak. Oleh
sebab itu, katanya, banyak anasir kisah klasik, termasuk karya
Homerus,haras ditarik dari peredaran.
Di samping itu, Plato juga berkeyakinan bahwa setiap warga
republik yang diidamkannya haras lebih banyak menggunakan akal
sdiatnya, dan bukan perasaannya. Sastra, katanya, menyuburkan
perasaan dan mengeringkan akal sebat. Oleh kaienanya, sastra tidak
cocok untuk masyarakat berpikir sehat y^g menghuni republik
idamannya itu. Berdasarkan logika ini, sastra haras dijauhkan dari
masyarakat. Sastrawan, sang pencipta sastra, juga haras disingkirkan
dari masyarakat sebab makhluk serapa itu tidak memberikan manfaat
apsi pun kq>ada masyarakat. Sastrawan hanya mampu menira barang
tiraan. Tentu saja lebih baik menjadi yang ditira itu daripada
mfmriptakan barang tiruan; dengan kata lain, lebih baik melakukan
tinHalcan daripada hanya membuat gambaran mengenai tindakan
tersebut.
Teori Plato tersebut masih sangat kuat pengaruhnya terhadap
cara berpikir kita. Masyarakat kita masih percaya pada badan sensor,
resmi maupun tidak resmi. Badan Sensor Film, misalnya, adalah
badan resmi dalam bidang perfilman, sedangkan serangkaian
pelarangan dan pmnbatasan sastra dan sastrawan pada hakikatnya
flH^lah badan sensor tidak resmi yang lebih sering kemudian
diresmikan. Bagi Plato, tampaknya fungsi sastra dan sastrawan dalam
masyarakat tampaknya sudah jelas, namun di zaman ini muncul pula
berbagai pandangan lain perlu kita ketahui. Untuk memulai
pembicaraan ini, saya akan mengutip kesimpulan Malcolm Bradbury
(1972:113) sebagai berikut. Dalam pandangan Barat, seorang
sastrawan adalah

... has been a man allowed many privileges —


privileges conferred on him because he represents a highly
regarded kind of intelligence or the mysterious and valued
practices of art. He has the traditionalfreedom to criticize

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


and attack the society, and he has the right to be dissident,
deviant and bizarre. Not all writers take advantage of these
privileges at their extreme, ofcourse; even so, we sometimes
assume, almost as a matter ofcliche, that the more eccentric
and deviant a writer is, the better the art he will produce.

Sastrawan lisan, seperti dukim dan pawang, memang


mendapat tempat terhormat H^lam lingkungan masyarakatnya; dengan
seni kata mereka diangggp mampu mengusir bencana, mendatangkan
hujan, menjinakkan alam dan membeikati masyarakatnya.
Kemampuan semacam itu tidak dimiliki orang lain, dan memang
dibutuhkan orang pada saat-saat tertentu (Laurenson dan
Swingewood, 1972:93—93). Penghormatan masyarakat teibadap
sastrawan lisan itu tampaknya masih membekas pada masyarakat
modem, seperti yang dinyatakan pada penggalan kalunat pertama
yang dikutip dari Bradbury tersebut. la diberi hak khusus sebab
memiliki kecerdasan yang sangat dihargai dan kemampuan untuk
melaksanakan sejenis seni yang dianggap beibarga meskipun
misterius. Perkembangan masyarakat di Barat selama ribuan tahun
temyata telah memberikan kebebasan kepada pengarang untok
melancarkan kritik dan menyerang masyarakat. Sastrawan memiliki
hak untuk membangkang, menentang dan bersikap kasar. Memang
tidak semua sastrawan memanfiaatkan hak-hak tersebut secara penuh,
kata Bradbury, namun kita sekarang masih suka beranggapan bahwa
semakm eksentrik dan semakin suka mengritik ia, semakin unggul
pula karya yang dihasilkannya.
Bradbu^ melanjutkan penjelasannya bahwa kreativitas
pribadi memiliki nilai khusus dan bahwa masyarakat Bai^
memberikan kebebasan bagi imajinasi kreatif dan pandangan kritis.
Dengan demikian karya sastra pada hakikatnya adUilah rangsangan
bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca; karya sastra
menjanjikan kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah
sebabnya pada saat-saat tertentu masyarakat hams memberil^
toleransi yang semakin besar terhadap karya sastra. Di Barat, ^ar
kaum humanis yang konvensional di balik toleransi y^g «>®sar
teriiadap keterbukaan seksual atau etika pembangkang adalah bahwa

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


10

sastra itu mendidik dan memperluas pengetahuan kita tentang


kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan
kesadaran kita.
Yang menjadi latar belakang pandangan yang dijelaskan
Bradbury itu adalah gerakan modemisme yang berkembang di Eropa
Barat sejak awal abad ini, yang dilandasi oleh bergesemya
masyarakat dari masa pramodem ke masa modem. Zaman yang
gelisah mencari makna di tRngah-tftngah dunia yang cerai-berai dan
kehilangan makna itu menemukan ungkapan yang kena dalam karya
beberapa pengarang yang karya-karyanya kemudian menjadi klasik,
seperti T.S. Eliot, Marcel Proust, Samuel Beckett, James Joyce, dan
Virginia Woolf. Karya-karya mereka itu memang mencerminkan
segala ciri pengarang seperti yang digambarkan Bradbury tersebut.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai fungsi
sosial sastra, ada baiknya kita kutip pengantar seorang sastrawan
Jawa, Sri Hadidjojo, pada dua buah karyanya. Dalam pengantar untuk
cerita bersambungnya, "Warisan kang Elok" (Hadidjojo, 1958),
dengan caranya sendiri ia menjelaskan fungsi sastra bagi pembacanya,
katanya;

Sukur-sukur, jroning carita ngandhut tetuladhan


becik kanggo para putra-putra kakung putri, tumuju marang
kautaman Ian karahayon.

Dalam pengantar untuk novelnya yang beijudul Serat Gerilja Solo


(Hadidjojo, 1957), ia menyatakan antara lain:

Sukur wonten isinipun sawatawis ingkang saget


nenangi saha ambesut aius-luhuring bebudenipun para
neneman ingkang sami maos seratpunika...

Dalam kedua pengantar hu Hadidjojo berharap ceritanya


mnnganHiing teladan bagi para muda, dan agar isinya bisa
meningkatkan kehalusan dan keluhuran budi para pembaca muda.
Kedua pengantar itu jelas menunjukkan sikap dasar yang sama dengan
yang diyakini kanm humanis Barat yang beranggapan bahwa sastra

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


11

itu mendidik, memperluas pengetahuan, menajamkan kepekaan


perasaan, memhangiHtWan kesadaran. Namim, dalam
keayataannya muatan maknanya berbeda. Bradbury menyebut-nyebut
deviant, dissident, bizarre, dan eccentric sebagai ciri ideal bagi
sastrawan Barat, sedangkan cerita rdcaan yang dituhs Hadidjqjo,
misalnya, mengambaikan keunggulan jiwa dan pribadi orang jika ia
mampu tet!q> berada dalam nilai-^iilai dan notma-nonna yang berlaku
dalam masyarakatnya. Sastra adalah teladan; ini beraiti, tdcrrii-tdcoh
karya sastra hams bisa menjadi .panutan masyarakat. Jika
masyuakat beranggapan bahwa keserasian dan ketoiteranian
mempakan ciri idealnya, maka sastra haras pula menghasilkan dunia
rekaan yang tidak meogunggulkan pembangkai^an dan pembelotan.
Sikap sepcrti yang digambarkan Bradbury dan Hadidjojo itu
pada dasaraya mengacu pada apa yang disebut keterlibatan sastra.
Ideologi yang mendasari keterlibatan mereka itu berbeda. Yang
mendasari sikap pengarang Barat itu tentulah ideologi berdasarkan
praduga liberal (meminjam istilah Bradbury), yang tentunya berbeda
dari seperangkat keyakinan yang mendasari sikap pengarang Jawa.
Dalam khasanah kritik sastra Barat, masalah keterlibatan sastra ini
merapakan salah satu pusat perhatian, teratama sekali merdca yai^
mpndasf"'^^'*" gagasannya pada catatan-catatan Marx dan Engels
mengenai sastra. Kita ikuti salah satu di antaranya, yakni Georg
Lukacs (1972), seorang Hungaria yang menulis dalam bahasa Jerman.
Lukacs rapanya menerima pandangan teoritisi lain, yakni Plekanov,
bahwa sastra terikat kepada kelas, dan bahwa sastra besar tidak akan
bisa lahir di bawah dominasi boijuis. Ia juga beranggapan bahwa
sejak rahiin 1948, yakni tahun diterbitkannya Manisfesto Komunis
oleh Marx dan Engels, sastrawan mau tidak mau haras menentukan
pUihaw menolak atau menerima sudut pandang sosialis. Ia
menggarisbawahi hubungan yang ada antara sastra kreatif dan
struktur kelas; berdasarkan pandangan tersebut disimpulkannj^
bahwa sastrawan yang menggabungkan diri dengan kaum boijuis
hanya mampu mencerminkan keruntuhan kelas.
Ia menyerang gerakan modernisme yang muncul di Ercq)a
Barat, dan yang telah menghasilkan beberapa sastrawan b^^ yang
pernah disinggung sebelumnya. Ia mengatakan bahwa modernisme

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


12
hanya mampu melihat raanusia sebagai makhluk putus asa yang
terasing, bahwa modemisme sengaja mengingkari kenyataan seutuh-
utuhnya, bahwa modernisme menipakan gerakan artistik yang steril.
Sastra, mennrut Lukacs, ditulis berdasarkan pandangan tertentu; ia
mengritik sastra modeniis karena sastra ini berpura-pura tanpa
pamril^ berpura-pura bersikap obyektif terhadap masalah yang ada di
dunia im. Tanpa perspektif, tidak mungkin dibedakan antara realitas
yang dibuat-buat dan rcahtalitas yang sungguh-sungguh panting
Hilangnya perspektif ini, yang olehnya disebut humanisme sosialis,
menyebabkan sastra modemis dibebani dengan wawasan yang sangat
subyektif jrang menerima pengalaman subyektif sebagai kenyataan.
Dalam sastra serupa itu, manusia digambarkan sebagai makhluk yang
terkucil dari dirinya sendiri dan masyarakatnya. Jelaslah, katanya,
bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan
sosial.
Berdasarkan pandangan itu ia memuji penulis realis boijuis
seperti Charles Dickens dan Honore de Balzac, sebab karya mereka
bukan sdredar benda budaya yang pasif melainkan menipakan bagian
dari peijuangan melawan akibat-akibat bumk dari pembagian keija
sosial yang luas. Keunggulan realisme, kata Lukacs, terletak pada
kemampuannya menciptakan tipe yang bersumber pada kesadaran
penulis akan perubahan sosial yang progresif. Selama paroh kedua
abad yang lampau, realisme mengalami kemunduran karena dua hal
penting, yang bersi&t obyektif dan subyektif. Yang obyektif adalah
timbulnya kelas penguasa yang terdiri atas kaum boijuis yang hams
berhadapan dengan benih revolusi, kelas pekeija, dan sosialisme.
Yang subyektif adalah kenyataan bahwa para pengarang tidak lagi
giat melibatkan diri dalam masyarakat; mereka hanya puas menjadi
penonton dan pencatat peristiwa. Lukacs yakin bahwa akan timbul
realisme bam yang segar, yang disebut realisme sosialis. Dan realisme
sosialis inilah yang akan mampu menggambarkan manusia yang
sedax^ beigerak, beijuang untuk mencapai masyarakat sosialis.
Gagasam realisme sosialis ini pemah berkembang di beberapa negara
komonis dan sosialis, dan pada tahun 1950—1965 pemah juga
meropakan gerakan penting di Indonesia (Steiner, 1967; Ismail, 1972;
Craig, 1973; Hardjana, 1986; Mohamad, 1993).

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


13

Paham realisme sosialis ini menunjukkan bahwa Marxisme


telah melahirkan suatu corak politik sastra, kalau tidak boleh disebut
teori sastra bam. Pada tahun 1950-an, Republik Rakyat Cina
melahirkan corak Iain yang merapakan pandangan yang sangat
ekstrem mengenai sastra dan kreativitas (Goldman, 1971). "Gerakan
Ixnnpatan Jauh ke Depan" yang dilancarican pemerintah pada tahnn
1958 menyangkut semua sektor kdiidupan. Produksi apa pun harus
dilipatgandakan; pemberantasan buta huruf ditingkatkan. Sastra pun
tidak dikecualikan dari gerakan ini Para sastrawan dihamskan
membuat rencana keija yang menjain pelipatgandaan karya merdca.
Semua karya sastra yang diproduksi secara besar-besaran itu harus
mudah dimengeiti masyarakat luas Han haras menggambarkan jenis
manusia yang diinginkan oleh paitai. Kegiatan sastra menjadi milik
masyarakat luas, tidak hanya menjadi miUk khusus sastrawan.
Segala macam USaha Hilakgnnakan untuk meningkatkan
kreativitas sastrawan amatir. Slogan yang dipergunakan adalah, "Kini
sudah lampau zaman sastra dan seni hanya untuk kaum minoritas.
Kini sudah tiba saatnya bagi mayoritas pekeija untuk menikmati dan
memiliki sastra dan seni." Paitai mendormig para pdceija dan pdani
kecil untuk menciptakan puisi dan lagu dalam bentuk tradisional;
dalam usaha itu kreativitas kelompok lebih diutamakan dari
kreativitas individual. Para k?»d'^r paitai mmyampaikan
Ketua Mao kepada masyarakat luas, dan para pekmja dan petani yang
buta huruf itu kemudian didorong untiik mcngucafrican larik-larik
sajak yang sesuai dengan gagasan-g^gnaan tersebut. Sajakrs^ak itu
dicatat oleh para kader partai, iintnk selanjutiQra ditulis di poster-
poster, disiarican lewat ra^o, serta ditempel ^ pintu-pintu nim^ dan
tembok-tembok. Dan produksi sajak itu kemudian dilaporkan ke
atasan seperti kalau melaporkan haail produksi di bidang-bidang lain.
Tentu saja, dalam kaitannya de"ga" gerakan ini, teori sastra
harus dikembai^kan untuk menopang keberadaannya. Berdasarkan
teori tersebut disimpulkan oleh partai bahwa temyata sajak-sajak yang
dihasilkan oleh para petani dan pdkeija kecil jauh lebih baik mutunya
danpada yang dihasilkan para penyair profissional. Bahkan dikatakan
bahwa "puisi rakyat" itulah yang harus dijadikan landasan bagi
perkembangan sastra Cina modem selanjutnya.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


14

Terhadap gambaran ters^ut kita dapat saja berkomentar


bahwa hat yang frmnglfin kita konyol semacam itu hanya bisa
tefjadi jika masyaiak^ dikuasai secara mullak oleh suatu golongan,
yang tentunya memiliki politik Han ideologi tertentu — dalam hal ini di
Cina benipa paitai. Gtdongan atau partai itu menuUki tujuan, dan
karena ia nterupakan satu-satonya kcknasaan, maka segala cara bisa
haial untuk meocapai tujuan tersebut. Keadaan semacam ini mungkin
saja teijadi di niana pun, kapan pun, di bawah ideologi ^a pun.
Sastrawan bisa menghada|H kesulitan ~ didenda, dihukum, dibuang,
mat! — kafeoa dituduh menghina agama, membahayakan
k<^f«»nananj merusak moral, atau bahkan karena tidak mau terlibat
Aiiam m^'aaiah sosial dan memilfli menulis mengenai mistik dan cinta
sqierti yang ol^ penyair Akhmatova di Rusia tahun 1960-an.
Akhimya, yang bisa bisa dibicarakan dalam topik ini adalah
pengadaan ruang untuk bemafas yang lebih luas bagi sastra dalam
masyarakat. Mungkin benar kesimpulan banyak orang tentang
kurangnya minat baca dan rendahnya apresiasi sastra di dalam
masyarakat kita. Namun, berdasaikan pada kesimpulan tersebut,
pniMigngan yang buru-buTu moiyatakan bahwa sastra tidak penting,
tyfifiilah perlu dipertindiangkan kembali. Pelarangan dan pembatasan
atas sastra dan sastrawan membuktikan bahwa ia memiliki fungsi
yang jelas, bahwa ia poiting, dan bahwa ia — setidak-tidaknya ~
ditakuti. Pelarangan dan ponbatasan pada dasamya merupakan
po^akuan bahwa sastra bisa mempunyai peogaruh yang luas
terhad^ cara berpikir dan bertindak masyarakat, terhadap politik dan
ideologi. Kita pun hams berani mengakui kenyataan bahwa
pelarangan dan pembatasan sastra dan sastrawan tidak jarang malah
mmiyebabkan kita memusalkan perhatian terhadapnya, suatu hal yang
mungkin saja, pada kasus-kasus tertentu, tidak terlalu mendesak untuk
^;ioir,.ifgn Dan tentunya kita memahami sebaik-baiknya bahwa salah
satu cara mengetahui dewasa atau tidaknya suatu masyarakat
nKi«ulair tetetbokaannya terhadap gagasan, harapan,
dan -T'"""KM®"
sastra.

*«*

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


15

Para hadirin yang saya muliakan,


Perkenankan saya pertama-tama menyampaikan teiima kasih
kepada Prof. Dr. Achadiati Ikram, Dekan Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, dan segenap anggota Senat Guru Besar Fakultas Sastra
Universitas Indonesia yang telah mengusulkan saya menduduki
jabatan akademis ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof,
dr. M.K. Tadjudin, Rektor Universitas Indonesia, beserta segenap
anggota Senat Guru Besar Universitas Indonesia yang telah
menyetujui pengusulan hu dan memrosesnya dengan segera. Saya juga
ingin menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ing. Wardiman
Djojonegoro yang telah menyetujui pengangkatan tersebut sejak 31
Oktober 1993.
Dalam kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan terima
kasih kepada Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar yang telah "menemukan"
saya, dan dengan caranya sendiri telah membangkitkan sonangat
meneliti dalam diri saya. Juga kepada Prof. Dr. Haiyati Sod>adio,
"guru" dan sekaligus tukang kritik saya yang paling tajam, saya ingin
menyampaikan terima kasih.
Terima kasih setulus-tulusnya saya sampaikan kq>ada rdkan-
rekan pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, yang pada pertengahan
tahun 1970-an dengan penuh pengertian bersedia moierima "orang
asing" ini. Kehangatan, keterbukaan, dan rasa kekeluargaan yang ada
dalam jurusan ini menyebabkan saya segera merasa tidak mempunyai
rumah lain lagi kecuali Fakultas Sastra Universitas Indmiesia ini.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak almartium
yang telah mendidik saya dengan cara 3^ang Ichas; juga kepada Ibu,
yang hari ini tidak sempat berada di dekat saya, yang telah mendidik
saya cara yang ajaib, dalam situasi yang tidak teihayangkan sulitnya,
sehingga saya menjadi sq>erti sekarang ini.
Dan akhimya terima kasih saya sampaikan kq>ada istri dan
anak-anak saya, yang telah rela mempunyai suami dan ayah seorang
guru dan penyair, dua jabatan yang tidak akan pemah menjanjikan
konewahan dan k^ermelapan hidup. Bersama merdca itulah saya
merasa bersjmkur atas segenap anugerah yang telah dilimpahkan oleh
Allah Yang Maha Pemurah.***

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


DAFTARBACAAN

Bennet,William Rose
1988 The Reader's Encyclopedia. IxHidoo: Guild Publishing.
foaAnuy, Malcolm
1972 The Social Context ofModem English Literature. Oxford: Basil
Bladcwdl.

Broctoo, Geoffrey
1960 Aw Introduction to the French Poets. Villon to the Present Day.
Loodoii: Metlaien.

Burke, Keameth
1973 "Literature as EquipmCTrt for Living," dalam Sociology of
Literature and Drama(ed. Elizabeth dan Tom Burns). HanuOTdsworth,
Middlesex: Pei^uiu, him. 129—138.

Craig, David
1973 The Regl Foundations: Literature and Social Change. London:
Chatto & Windus.

Daiches, David
1960 The Novel and the Modem World. Chicago: The University of
Chicago Press.

Eagleton, Terry
1980 Criticism andIdeology. Loodtm: Verso.
1983 Literary History. An Introduction. London: Basil Blackwell.
1985 The Function ofCriticism. Lcmdon: Verso.
1991 Ideology. Lomkm: Verso.

Femina
1994 "Sosok di Balik Tiga Nama Bdcen." No.48/XXII, 8-14
Desenfoer.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


17

Goldman, Merle
1971 literary Dissent in Communist China. New York: Atheneum.

Hadidjojo, Sri
1957 Serat Gerilja Solo. Djakarta; Balai Pustaka.
1958 "Warisan kang Elok," dalam Panjebar Semangat, Maret—Mei.

Hardjana, Andre
1986 "Metode Realisme Sosialis dalam Sastia Indcmesia," dalam Jumal
Persepsi, No. 2, Th. VIII, him. 1—26.

Hough, Graham
1966 An Essay on Criticim. London: Gerald Dudcwoith & Co., Ltd.

Ismail, Yahaya
1972 Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia
(Suatu Tinjauan dari Aspek Sosio-budaya). Kuala Liimpur Dewan
Bahasa dan Pustaka.

Jassin, H.B.
1983 "Bangkitnya Satu Generasi," kata pengantar untuk Angkatan '66:
Prosa dan Puisi. Mid I. Jakarta: Gunung Agung, hhn. 1—21.

Laurenson, Diana,dan Alan Swingewood


1972 The Sociology ofLiterature. London: Paladin.

Lowenthal, Leo
1968 Literature, Popular Culture, and Society. Pak> Alto: Pacific
Books.

Lukacs, Geoig
1972 The Meaning ofContemporary Realism. Diterjemahkan dan
bahasa Jerman oleh John dan Necke Mander. London: The Merlin Press.

Mohamad, Goenawan
1993 Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


18

Mc^Toril
1990 Sexual/Textual Politics. Suffolk: Roudedge.

Palmer,Jmy
1991 Potboilers. Methods, Concepts and Case Studies in Popular
Fiction. Londoa: Roudedge.

PavdiQg, Qiristopher
1984 "Popular Ficdon: Ideology or Utc^ia?" kata pengantar Haiam
Popular Fiction and Social Change(ed. Christ(^her Pawling). London:
MacMillan Press, hfan. 1—19.

Plato
tt "The Rqrablic(Bode X)," dalam Criticism: Twenty Major
Statements(ed. Charles Kaplan). Nama peneijemah tidak dicantumkan.
San Francisco: Chandler Publishing Con^any,him. I—IS.
Soyinka, Wole
1987 Collected Plays 2. Oxford: OUP.

Sterner, Geoige
1967 Language and Silence: Essays on Language, Literature, and the
Inhuman. New York: Alfaeneum.

Teeuw, A.
1979 Modem Indonesian Literature. The Hague: Martinus NijhofT.

Time
1994 "Milestooes." No. 25,20 Juni.
1994a "Milestooes." No.49,5 Desember.

Williams, Raymond
1971 Culture arulSociety, 1980—1950. Harmondsworth, Middlesex:
Penguin.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


19

1973 "Dickens and Social Ideas," dalam Sociology ofLiterature and


Drama(ed. Elizabeth dan Tom Bums). Hannoodswoith, Middlesex:
Penguin, him. 328—347.
1988 Keywords. A Vocabulary ofCulture and Society. Qiasgiaw:
Fmitana Press

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


RIWAYAT HIDUP RINGKAS

Nama:
Sapaidi l)ic^ Damono

Tempat dan Tanggal Lahir.


Solo, 20 Maret 1940

Status:
Kawin(istri: Waidiningsih; anak: Rasti Suiyandani, S.S. dan
Rizld Hfeoriko).

Jabatan:
Pet^^yar tet^ FSUI dalam mata ktiliah "Sosiolo^ Sastra" dan
''Peng^jian Puisi"(Sarjana)seita "Sastra Bandingan" dan
"PerisBmbangan Sastra Indonesia Modem"(Pascasaijana).

Pendidikan:
SD,SMP,dan SMA di Solo.
Saijana Sastra b^gris, UGM, 1964(Skripsi "Murder in the
Cathedral: A Verse-Play by T.S. Eliot").
Non-degree Program, Basic Humanities, University ofHawaii,
1970-1971.
Doktor nmn Sastra, UI, 1989(Disertasi "Novel Jawa Tahun
1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Stnik^').
RiwayatPekerjaan:
1964—1968 DCIP Malang cabang Madiun.
1969-1973 Ibuversitas DipOT^oro.
1974—sdcarang Universitas Indonesia.
1979—1982 Pembantu Ddcan ED, FSUI.
1989—sdcarang Pembantu Ddcan I, FSUI.
1990—1992 Diidctur Pusat Kajian Australia, Universitas
bidonesia.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


21

beberapa Kegiatan:

1967-1971 Redaksi Majalah Kebudayaan Basis, Yogjakarta.


1973-1993 Redaksi Majalah Sastra/fomo/i, Jakarta.
1974-1989 Sekretaris Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin.
1975—1979 Anggota Dewan Kesenian Jakarta.
1979— Country Editor untuk Journal ofSoutheast Asian
Literature: Tenggara, ¥MsAa.L\mvpva.
1983—1984 Editor Penerbit Grafitipers.
1987— Ketua Umum Himpunan Saijana-Kesusastiaan Indonesia
(HISKI).
1988— Anggota Konsorsinm Sastra dan Filsafat, Diijen Dikti,
Depdikbud.
1990— Ketua Bidang Sastra, Proyek Penyusunan Istiiah, Majlis
Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia(MABBIM).
1993— Country Coordinator Proyek ASEAN untuk Penulisan
Monografi Kesenian, Diijen Kebudayaan, Depdikbud.
1993- Pelaksana Proyek Penyusunan Sqarah Sastra InrkMiesia
Modem,Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
1993— Redaksi Majalah Kebudayaan Aa/aw, Jakarta.
1994_ Correspondent untuk Indonesia Circle,jumal ihniah
School of African and Asian Studies(SOAS), University of Londtm,
London.

Karya Tulis:

Buicu Nonhksi

Sosiologi Sastra: Suatu Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977.
Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978.
Tifa Budaya (editor bersama Kasiyanto), Jakarta: Tifa Sastra,
1978.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


22
Kesusastraan Indonesia Modem:Beberapa Catalan, Jakarta:
Gramedia, 1983.
Seni dan Masyarakat di Indonesia (editor bersama Edi
Setfyawati), Jakarta: Gramedia, 1993.
NovelJawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, hi, dan Struktur,
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994.

Buku Puisi

duka-Mu abadi, Bandung: Jeihan, 1969.


Mala Pisau,Jakarta: Puisi Indonesia, 1974.
Akuarium, Jakarta: Puisi Indtnesia, 1974.
Perahu Kertas, Jakarta: Balai Pustaka, 1983.
SihirHujan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Malaj^sia, 1984.
Hujan Bulan Juni, Jakarta: Grasindo, 1994.

Artikei Pengantar Buku. danMakalah (sejak 1987)

"Brief Notes on Current Indonesian Novelists," dalam Solidarity


(Manila), No. 113, 1987, him. 42-46.
"Sumbangan Sastra teifaadap Pembmaan,Pengembangan, dan
Peng^aran Bahasa," dalam majalah Horison, No. 12, Th. xxii, 1987,
him. 399-401.
"Puisi Kita Kini," dalam majalah Prisma, No. 8, 1988,hhn. 30-
39.
"Kata Pengantar" untuk prosa lirik Okot p'Bitdc,Afrika yang
Resah,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
"Satu Sisi Puisi LatiflFMohidin," dalam flbmon. No. 1, Th. xxii,
1988, him. 13-21.
"Kata Penutiq}" untuk kunqjulan ceipai Ahmad Tdiari,Senyum
Karyamin, Jakarta: Gramedia, 1989, him.67—71.
"Introductioa" untuk Jdm H. MacGlynn (ed.). On Foreign
Shores,knmpnlan teijanahan puisi Indonesia, Jakarta: Yayasan Lmitar,
1990, hhn. ix — xi.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


23
"Yanusa Dalang Edan," pengantar untuk kunqiulan ceipen
Yanusa Nugrdio,Bukm Bugfl Bulat, Jakarta: Pustaka Utama Giafiti,
1990, him. vii—xiv.
"Kata Pengantar" untuk novel Syed Waliukh,Pohon Tanpa
Akar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hhn. vih—xiv.
"Bebeiapa Masalah Beikenaan do^an Sastra Melayu-Tioigjioa,"
dakm Poetika, No. 1, Th. 1,1991.
"Perkonbangan Kritik Sastra Indonesia Mutakhir," dalam Dewan
Sastra, Kuala Lumpur,Th.l992.
"O'Neill dalam Perkembangan Drama Amerika" dalam Eugene
O'Neill, Duka Cita Bagi Elektra, Jakarta: Yayasan Obor hukmesia, 1991,
him. vi—xii.
"Bilang Begini, Maksudnya B^itu," dalam imyalah Hish
Surakarta,No.l, Th. 1,1991.
"Kata Pengantar," dalam Tiga Sandiwara Ibsen, Jakarta:
Yayasan Obor hukxiesia, 1991.
"Sastra di Sdcolah," dalam Warta Hish,No. 5/6, 1991, hhn. 7—
14.
"Ketrampilan Berbahasa dan Mauihs," dalam Muljanto Sumaixfa
(ed.), Berbagai Pendekatan dalam Pengqjaran Bahasa dan Sastra,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hhn. 186—195.
"Kata Pengantar" untuk kumpulan ssyak Emha Ainun Nadjib,
CahqyaMaha Cahaya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
"Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastra Indcmesia
Modem," dalam Lembaran Sastra Universitas Indonesia, No. 16, April
1992, hhn. 78-94.
"Pengarang, Karya Sastra, Pembaca," dalam Lembaran Sastra
Universitas Indonesia, No. 7, Juli 1992, him. 47—61.
"Poigantar Ringlcas" untuk kunqrulan cerpen Yanusa Nugroho
Cerita di Daun Tal, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992, hhn. 7—13.
"Kegiataii Sastra di Sdcolah," makalah untuk Seminar Sdiari
"Pengonbangan Pengajaran Sastra di Sekolah" diseloiggarakan oleh
Wadah Poi^jian Paigembangan Pendidikan dan Kebudayaan,
Magelang,8 November 1992.
"Kata Paigantar" untuk novel Wildan Yatim Pergolakan,
Jakarta: Grasindo, 1992, him. v—xvi.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


24
"Sastra dan Pascamodemisme," makalah untuk Soninar
Transformasi Budaya,"France-Indonesia: Une Realite", di Univershas
Padjadjaian, Bandung, 10 Oktober 1992.
"Sastra MenyongscMig Kurikulum 1994," makalah untuk
"Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia" diselenggarakan oleh
Himpunan Ponbina Bahasa iudonesia, diselenggarakan di Universitas
Sriwijaya, Palembang,3—5 Desonber 1992.
"Kata Poi^ntar" untuk novel A.A. Navis Kemarau, Jakarta:
Cjrasindo, 1992, him. v—x.
"Perubahan Sosial Sq)erti yang Tercermin dalam Sastra,"
makalah untuk Sidang Mqlis Bahasa Brunei Darussalam, Indcmesia,
Malaysia; di Cisarua,8—9 Februari 1993.
"Poigajaran Sastra Menjelang Zaman Industri," makalah untuk
Seminar "Fdois Sastra" di IKIP Bandung,8 Juni 1993.
"Peranan Media Massa dalam Poigembangan Apressiasi Sastra,"
makalah untuk Seminar Sehari "Media Massa dan Apresiasi Kesoiian,"
Institut Teknologi Bandung dan PWI Jabar, Oktober 1994.
"Puisi Delapan Penyair," makalah untuk menyertai pembacaan
puisi olefa ddapan penyair, Dewan Kesenian Jakarta, Novonber, 1994,
"Beberapa Catalan toitang Sastra Populer," makalah untuk
seminar di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang,
Novonber 1994.
"Penerbitan Jumal Ilmiah bidang Kesusastraan," makalah untuk
Forum Komunikasi Penelitian Sastra dan Seni, Direktorat Pendidikan
Tinggi, Depdikbud, Novonber 1994.

Beberapa Resensi Buku

"Album Kdmrmatan Orang Jawa,"(Resensi novel Ihnar Kayam,


Para Priyqyi), dalam majalah Tempo,No. 16, Th. xxii, Juni 1992, him.
107-108.
"T^gangan Kakdc dan Anak Kecil,"(resensi kumpulan cerpen
Kuntowit^ojo,Dtlarang Mencintai Bunga-bunga),dalam majalah
Tempo, No. 42. Th. xxii, Desember 1992, him. 71.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


25

"Kritik Sosial Puisi Giimam,"(resensi kumpulan sajak Goenawan


Mohamad,Asmaradana), dalam majalah Tempo, No. 45 Th. xxii,9
Januari 1993, him. 96.

Karva teriemahan

Lelaki Tua dan Laut(The Old Man and the Sea)novel karya
Ernest Hemingway, Jakarta: Pustaka Jaya, 1975.
Daisy Manis(Daisy Miller) novel karya Henry James, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1975.
Afrika yang Resah, prosa lirik Okot p'Bitd;, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1988.
Dimensi Mistik dalam Islam (Mystical Dimension ofIslam,
karya Annemarie Schimmel, diteijemahkan bersama Achadiati Ikram
dkk), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Kisah-kisah Sufi(karya Idries Shah), Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986.
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia,
Jakarta: Yayasan Obor Indtmesia, 1991.
"Tiang-tiang Masyarakat," drama ifoirik Ibsen, dalam Tiga
Sandiwara Ibsen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Duka Cita bagi Elektra(Mourning Becomes Electra)trilogj
diama oldi Eugene O'Neill, Jakarta: Yayasan Obor Indtmesia, 1992.
Tafsir Qu'ran (The Holy Qur'an, karya Abdullah Yusuf Ali,
diteijemahkan bersama Ali Audah), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992,
1994.

Penghargaan

1978 Cultural Award dari Pemerintah Australia, mengnnjnngi


Festival Sari Adelaide.
1983 "Hadiah Sastra" dari Dewan Kesenian Jakarta mrtnk
kumpulan s^ak Perahu Kertas.
1984 "Anugerah Puisi Putra" dari Gapoia dan Bank
Bumiputra Malaysia untuk kumpulan sajak Sihir Hujan.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994


26
1986 "SEA-Write Award," hadiah sastra untuk sastrawan
Asean daii Kerajaan Thailand.
1990 "Hadiah Seni" dari Pemerintah RI.

Sastra, Politik, dan..., Sapardi Djoko Damono, FIB UI, 1994

Anda mungkin juga menyukai