Saya akan memulai dengan kilas balik dan refleksi atas keberadaan dan
fungsi beragam people’s tribunal atau Tribunal Rakyat Internasional (yang
selanjutnya akan saya singkat dengan TRI). Bagian berikutnya adalah
pembahasan tentang beberapa mekanisme tribunal serupa yang pernah
dilakukan terkait dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dari sini, saya
akan mencoba mengkaitkan dengan inisiatif serupa dan tantangannya di masa
depan. Bagian terakhir adalah kesimpulan tulisan.
Hal ini juga disadari Russell dan kawan-kawan ketika menggagas War
Crimes Tribunal. 4 Amerika Serikat dan sekutu tidak pernah digugat atas
kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap Vietnam, negara yang baru
merdeka, di tahun 1960-an. Kondisi ini bertolak seratus delapan puluh derajat
3 Lihat Karl Marx, The Rights of Man and Citizen in “On the Jewish Question”,
pertama kali diterbitkan tahun 1844.
4 War Crimes Tribunal yang digagas Russell dan kawan-kawan ini, menurut
You know the truth: in the last twenty years, the great historical act
has been the struggle of the underdeveloped nations for their
freedom. The colonial empires have crumbled, and in their place
independent nations have grown or have reclaimed ancient and
traditional independence which had been eliminated by colonialism.
All this has happened in suffering, sweat and blood. A tribunal such as
that of Nuremberg has become a permanent necessity. I have already
said that, before the Nazi trials, war was lawless. The Nuremberg
Tribunal, an ambiguous reality, was created from the highest legal
principles no doubt but, at the same time, it created a precedent, the
embryo of a tradition. Nobody can go back, stop what has already
existed, nor, when a small and poor country is the object of aggression,
prevent one from thinking back to those trials and saying to oneself: it
is this very same thing that was condemned then. In this way, the hasty
and incomplete measures taken and then abandoned by the Allies in
1945 have created a real gap in international affairs. We sadly lack an
organization which has been created and affirmed in its permanency
and universality and which has irreversibly defined its rights and
duties. It is a gap which must be filled and yet which no one will fill.5
Tentu saja, sebuah TRI tidak bisa menggantikan formalitas hukum yang
hanya mampu disahkan atau dimandatkan kepada Negara. Ini juga kritik utama
yang sering ditujukan pada model tribunal masyarakat sipil yang demikian. TRI
dinilai tidak memiliki basis formal dalam sistem dan mekanisme resmi yang
didukung oleh negara-negara, sehingga tidak mampu mengimplementasikan
5Peter Limqueco and Peter Weiss (ed), Prevent the Crime of Silence, Reports from
the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell,
1971
putusan-putusan yang dibuatnya dalam perangkat hukum yang ada.6 Meski
begitu, TRI punya tiga peran penting: secara prinsip, teori, dan politik.
and the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013,
hal. 18
kejahatan dan menegaskan impunitas. Namun, masyarakat sipil internasional
dapat memobilisasi gerakan yang luas untuk menolak pembungkaman oleh
negara terhadap sebuah ketidak adilan.
Contoh yang lain adalah tribunal rakyat atas pendudukan Palestina oleh
Israel. Didukung sepenuhnya oleh Bertrand Russell Foundation, tribunal yang
dikenal dengan Russell Tribunal for Palestine (disingkat RToP) ini
diselenggarakan untuk menginvestigasi pelanggaran huku internasional yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Palestina dan menghalangi hak mereka
untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Tribunal ini melibatkan
seratus enampuluh nama-nama besar di berbagai dunia, mulai dari musisi, artis,
peraih nobel, ilmuwan, mantan petinggi PBB, hingga mantan kepala negara, dan
juga ratusan lembaga serta organisasi yang mendukung perdamaian dan
penyelesaian masalah Palestina. Termasuk juga yang terlibat adalah Carmel
Budiarjo, seorang mantan tahanan politik 1965 di Indonesia yang kemudian
mendirikan organisasi Tapol di London. Dalam situs RToP disebutkan:
This Tribunal has been named the Russell Tribunal on Palestine. It will
reaffirm the supremacy of international law as the basis for a solution
to the Israeli Palestinian conflict. It will identify all the failings in the
implementation of this right and will condemn all the parties
responsible for these failings, in full view of international public
opinion.8
8 http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/about-rtop
karena impunitas terus dibiarkan di tengah kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terjadi dan adanya hasutan langsung ke arah genosida. 9 Israel dan
beberapa negara pendukungnya dinilai mengabaikan hukum internasional, dan
PBB serta negara-negara di dunia diminta bersikap untuk aksi-aksi illegal yang
dilakukan Israel dalam okupasinya di Palestina. Putusan RToP ini adalah
pengakuan internasional pertama yang resmi, mengadopsi hukum internasional
yang tidak pernah dilakukan oleh negara-negara dan PBB sebelumnya.
Pengakuan ini menjadi rujukan resmi dan advokasi jangka panjang untuk
penyelesaian masalah Palestina.
9 ibid
10 Lihat websitenya http://www.fondazionebasso.it/2015/introduction?lang=en
11 http://www.ptsrilanka.org/
Di samping PPT, ada juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia.
Salah satu yang paling dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan
Perang Perempuan untuk Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang
(atau disebut the Tokyo Women’s Tribunal). Saya akan menjelaskan lebih banyak
tentang tribunal ini dalam bagian berikutnya. Selain Tokyo Tribunal, juga ada
Independent Peoples’ Tribunal untuk menghakimi G7 tahun 1993, International
Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004, dan International Peoples’ Tribunal
on Human Rights and Justice in Indian-administered Kashmir, serta Peoples’
Tribunal on World Bank tahun 2007 di India.
Khusus tentang TRI yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah
dilaksanakan adalah PPT untuk kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk
kasus perbudakan seksual, dan Tribunal Warga Internasional untuk kasus
pembantaian Biak (Biak Berdarah).
15Banyak peneliti yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja
terhadap aktivisme transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma
hukum internasional. Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the
“Comfort Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies
Review, vol 37 issue 3, 2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the
Comfort Women of World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law,
Vol 21, Issue 2, 2003. Selain tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis
berdasarkan riset terhadap tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban
Jugun Ianfu Indonesia juga telah dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan
Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007.
Tribunal dilakukan di Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa
pengacara senior seperti Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales,
John Dowd. Tribunal ini digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang
antara lain beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.16 Tribunal ini mendapat
banyak perhatian dari media nasional Australia, dan beberapa media
internasional. Saksi-saksi didatangkan dari Papua dan beberapa yang
berdomisili di Australia. Tribunal ini tidak mendapat banyak perhatian dari
media di Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi besar dari pemerintah
Indonesia pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa berdampak
positif, karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya
lebih lancer. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi
dan perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja
untuk isu HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang
dilakukan oleh aparat keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan mulai pembunuhan hingga kekerasan
seksual. Rekomendasi utama tribunal ini adalah agar pemerintah Indonesia
menindak lanjuti dengan investigasi hukum serta melakukan reparasi bagi para
korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika Serikat juga ikut
bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara
Indonesia dalam berbagai pelatihan, karena itu maka Australia dan Amerika
Serikat juga harus mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.
19 Lihat misalnya Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice:
Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon, The
Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari
Ohio State University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for
Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol
11, 2007, hal. 195-259
20 Pasca reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap
tekanan luar negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian
referendum untuk Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-
undang terkait HAM. Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai
periode yang menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana
pada dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus tekanan
masyarakat internasional mampu melunakkan dan membuat pemerintah lebih
akomodatif. Dalam kasus lain, pemerintah terutama insitusi keamanan dan
kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, malah cenderung lebih reaktif dan
cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang bisa mengendalikan atau
mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor kepemimpinan kepala
negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan luas
masyarakat sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang
terakhir inimenjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari
masyarakat sipil dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan
menolak crime of silence.
Kesimpulan
Sejarah mencatat, hanya sedikit saja kasus-kasus kejahatan oleh Negara
yang bisa diadili dalam sistem hukum internasional yang ada saat ini. Dengan
kata lain, hukum internasional dan domestik tidak selalu dapat memberikan
keadilan karena memiliki berbagai keterbatasan dan selalu beririsan dengan
kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Hukum kemudian menjadi milik
penguasa, dan memapankan impunitas serta membuat sebuah kejahatan
pembungkaman terhadap ketidak adilan dan penindasan.
TRI menjadi sebuah ide yang dikongkretkan atas pertimbangan
kekosongan dan kesenjangan hukum, antara yang normative dan yang riil. TRI
adalah keresahan masyarakat sipil yang muncul dari ambiguitas negara-negara
terhadap keadilan. Atas dasar keresahan inilah pilihan TRI mengadopsi
sepenuhnya hukum-hukum dan norma yang ada untuk menjadikannya sebuah
cermin lain keadilan, yakni keadilan yang memihak pada korban dan kelompok
yang tertindas.
TRI , meskipun tidak mendapatkan legitimasi formal dari negara, namun
memiliki dampak penting secara teori, prinsip dan politik. TRI tidak saja
memberikan ruang bagi korban untuk mereklamasi tuntutannya, tapi juga
mampu memberi fondasi dan pengakuan internasional terhadap sebuah
kejahatan berat, dan memobilisir solidaritas dunia untuk menekan negara-
negara menunaikan tanggung jawab bersama untuk menegakkan HAM dan
keadilan. TRI adalah suatu terobosan yang mendasarkan dirinya pada prinsip-
prinsip hukum, namun tetap mengedepankan kebutuhan untuk kebenaran,
pemulihan untuk korban serta reformasi institusi untuk jaminan ketidak
berulangan di masa depan.
Di Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan dengan dampaknya masing-
masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi alternative
masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di tingkat
internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di depan
mata, dan ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog itulah saya
menulis tulisan ini sebagai sebuah pengantar semata.
Argibay, Carmen, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”,
dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003
Bickford, Louis, “Unofficial Truth Project”, dalam Human Rights Quarterly, 29,
2007, hal. 994-1004
Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and
the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013
Henry, Nicola, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of
the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013
Hindra, Eka, dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007
Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of
Soeharto, 2011
Limqueco, Peter, and Peter Weiss (eds), Prevent the Crime of Silence, Reports from
the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell,
1971
Moyn, Samuel, The Last Utopia: Human Rights in History, Harvard University
Press, 2012
Wahyuningroem, Sri Lestari, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society
Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013