Anda di halaman 1dari 13

Tribunal Rakyat Internasional:

Menolak Bungkam, Melawan Impunitas1


Ayu Wahyuningroem2

“May this Tribunal prevent the crime of silence”

Demikian Bertrand Russell, seorang filsuf besar dari Inggris, menutup


pidatonya ketika meresmikan War Crimes Tribunal di London, 13 November
1966. War Crimes Tribunal, atau Tribunal Kejahatan Perang, adalah suatu
pengadilan non Negara yang ia gagas bersama karibnya, Jean Paul-Sartre,
seorang eksistensialis kiri asal Perancis, dan rekan-rekan lain dari mulai
pengacara, aktivis gerakan mahasiswa, ilmuwan, dokter, korban perang, hingga
pensiunan tentara Amerika. Tribunal ini murni merupakan inisiatif masyarakat
sipil dari beberapa Negara, dan dilakukan untuk menuntut pertanggung jawaban
Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Inggris, Australia, dan Korea, atas
perang di Vietnam. Tribunal ini, yang kemudian dikenal dengan Russell’s
Tribunal, kemudian menginspirasi kemunculan tribunal rakyat di level
internasional (biasa disebut International People’s Tribunal) terhadap beragam
kasus-kasus kejahatan serius, termasuk kejahatan perang, agresi, genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan di banyak Negara di dunia, termasuk yang
berkaitan dengan Indonesia. Hingga saat ini, lebih dari delapan puluh tribunal
rakyat internasional, atau beberapa menggunakan istilah pengadilan warga
internasional (International Citizen’s Tribunal) sudah diselenggarakan, baik yang
bersifat permanen seperti Permanent People’s Tribunal yang berbasis di Roma,
ataupun yang ad hoc berdasarkan kasus-kasus tertentu.

Apa dan bagaimana sebetulnya Tribunal Rakyat Internasional, dan apa


kontribusinya terhadap rejim HAM internasional serta narasi besar tentang
keadilan? Apa relevansinya terhadap upaya memutus impunitas di Indonesia?
Apa pula prospek dan kontribusinya terhadap penguatan gerakan masyarakat
sipil dan wacana penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat d Indonesia?
Hal-hal ini akan menjadi bahasan utama dalam tulisan singkat ini.

Saya akan memulai dengan kilas balik dan refleksi atas keberadaan dan
fungsi beragam people’s tribunal atau Tribunal Rakyat Internasional (yang
selanjutnya akan saya singkat dengan TRI). Bagian berikutnya adalah
pembahasan tentang beberapa mekanisme tribunal serupa yang pernah
dilakukan terkait dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dari sini, saya
akan mencoba mengkaitkan dengan inisiatif serupa dan tantangannya di masa
depan. Bagian terakhir adalah kesimpulan tulisan.

Tribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan Politik Hukum


Internasional

1Tulisan ini pernah dimuat di harian Indoprogress


2Kandidat doktor ANU, peneliti di Asia Justice and Rights, dan peneliti/co-
coordinator International Peoples’ Tribunal for Indonesian 1965 Crimes against
Humanity (IPT 65)
Salah satu kejahatan yang seringkali diamini banyak orang dan banyak
Negara, adalah kejahatan yang diistilahkan oleh Russell sebagai crime of silence,
atau kejahatan atas kebungkaman terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM
berat. Jenis kejahatan ini tidak diatur dalam instrumen hukum baik nasional
maupun internasional, tapi pembungkaman dan kebungkaman umumnya selalu
menjustifikasi kekuasaan Negara yang sewenang-wenang dan berujung pada
impunitas. Seringkali upaya masyarakat sipil yang oposan terhadap rejim
penguasa menemui jalan buntu. Tidak saja perangkat hukum dan alat politik
yang ada tidak cukup efektif sebagai senjata perlawanan, tapi juga perangkat dan
ruang yang ada umumnya dikooptasi oleh rejim penguasa untuk melanggengkan
impunitas.

Sasaran perlawanan lantas dialihkan di ruang internasional, dimana


perangkat hukum pidana internasional sudah dibentuk dan sudah ada preseden
untuk meminta pertanggung jawaban Negara yang telah melanggar hak-hak
dasar warganya atau warga negara lain. Sayangnya, di tingkatan internasional
pun seringkali tidak efektif membantu perlawanan kelompok oposisi untuk
membela keadilan bagi mereka yang ditindas. Sistem hukum pidana
internasional mendapat banyak kritikan dari kelompok legalis kritis, realis,
poskolonial, dan juga kelompok kiri, terutama dalam kaitannya dengan politik
dan kepentingan ekonomi negara-negara tertentu serta keterbatasan
implementasinya di tingkatan praksis. Karl Marx, misalnya, termasuk yang
memberikan warisan kritik atas institusi hukum borjuis yang menjadi bagian
dari kekuasaan yang menindas.3 Dari sini, Samuel Moyn (2012) mengkritik asas
‘netralitas’ yang diumbar oleh sistem hukum pidana internasional yang pada
prakteknya tidak lebih sebagai kamuflase untuk memberi jalan bagi liberalisme
untuk menghancurkan perjuangan sosialis dan anti-kolonialisme. Kelompok
poskolonial juga melihat ketidak seimbangan kekuasaan antara negara-negara
bekas penjajah dan negara-negara yang baru merdeka, yang umumnya adalah
negara miskin dan powerless, sehingga sistem hukum internasional malah justru
melanggengkan kolonialisme dalam bentuk baru.

Hal ini juga disadari Russell dan kawan-kawan ketika menggagas War
Crimes Tribunal. 4 Amerika Serikat dan sekutu tidak pernah digugat atas
kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap Vietnam, negara yang baru
merdeka, di tahun 1960-an. Kondisi ini bertolak seratus delapan puluh derajat

3 Lihat Karl Marx, The Rights of Man and Citizen in “On the Jewish Question”,
pertama kali diterbitkan tahun 1844.
4 War Crimes Tribunal yang digagas Russell dan kawan-kawan ini, menurut

beberapa peneliti, bukanlah inisiatif tribunal masyarakat sipil yang pertama.


Hanya saja, dimensi internasional, dengan pelibatan dari berbagai kalangan di
beberapa negara dan penyelenggaraan serta cakupannya yang menduinia,
membuat tribunal ini menjadi tribunal internasional pertama yang selanjutnya
menginspirasi kmunculan banyak tribunal rakyat internasional lainnya. Lihat
diskusinya di Arthur Klinghoffer dan Judith Apter Klinghoffer, International
Citizens’ Tribunal: Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave,
2002.
dari komitmen negara-negara “Barat” dalam hal kejahatan berat yang dilakukan
oleh Nazi. Pengadilan Nuremberg digelar khusus untuk mengadili Jerman Timur,
dalam hal ini Nazi, atas kejahatan genosida terhadap bangsa Yahudi. Berkaca
pada Nuremberg Tribunal tersebut, tribunal yang banyak dikritik sebagai
pengadilan sang pemenang atas mereka yang jadi pecundang, Russel dan kawan-
kawan menggagas sebuah cermin baru untuk masyarakat dunia berkaca pada
kejahatan perang yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan Sartre dalam
salah satu sesi tribunal:

You know the truth: in the last twenty years, the great historical act
has been the struggle of the underdeveloped nations for their
freedom. The colonial empires have crumbled, and in their place
independent nations have grown or have reclaimed ancient and
traditional independence which had been eliminated by colonialism.
All this has happened in suffering, sweat and blood. A tribunal such as
that of Nuremberg has become a permanent necessity. I have already
said that, before the Nazi trials, war was lawless. The Nuremberg
Tribunal, an ambiguous reality, was created from the highest legal
principles no doubt but, at the same time, it created a precedent, the
embryo of a tradition. Nobody can go back, stop what has already
existed, nor, when a small and poor country is the object of aggression,
prevent one from thinking back to those trials and saying to oneself: it
is this very same thing that was condemned then. In this way, the hasty
and incomplete measures taken and then abandoned by the Allies in
1945 have created a real gap in international affairs. We sadly lack an
organization which has been created and affirmed in its permanency
and universality and which has irreversibly defined its rights and
duties. It is a gap which must be filled and yet which no one will fill.5

Kalimat terakhir merupakan benang merah dari beragam inisiatif


pelaksanaan TRI. Sebuah TRI berperan dalam mengisi kekosongan hukum yang
diciptakan oleh negara-negara besar yang kemudian ditinggalkan ketika
kejahatan justru dilakukan oleh negara-negara ini terhadap negara kecil.
Kekosongan yang sama yang juga ditinggalkan oleh rejim-rejim penguasa di
sebuah Negara yang dengan sewenang-wenang melakukan kejahatan berat
terhadap warga negaranya sendiri, atau terhadap warga negara lain. Tribunal ini
menegaskan pentingnya keadilan formal, dan bahwa keadilan adalah juga suatu
hak dan kewajiban bagi masyarakat dunia, tidak hanya terbatas pada otoritas
resmi negara atau pemerintah, untuk mewujudkannya.

Tentu saja, sebuah TRI tidak bisa menggantikan formalitas hukum yang
hanya mampu disahkan atau dimandatkan kepada Negara. Ini juga kritik utama
yang sering ditujukan pada model tribunal masyarakat sipil yang demikian. TRI
dinilai tidak memiliki basis formal dalam sistem dan mekanisme resmi yang
didukung oleh negara-negara, sehingga tidak mampu mengimplementasikan

5Peter Limqueco and Peter Weiss (ed), Prevent the Crime of Silence, Reports from
the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell,
1971
putusan-putusan yang dibuatnya dalam perangkat hukum yang ada.6 Meski
begitu, TRI punya tiga peran penting: secara prinsip, teori, dan politik.

Secara prinsip, TRI mengadopsi prinsip-prinsip dan mekansime


internasional dengan keluaran yang seringkali berbeda dari mekanisme resmi
Negara atau lembaga antar-negara yang juga mengadopsi prinsip yang sama.
Argumentasi dan putusan didasarkan pemeriksaan terhadap bukti-bukti primer
dan sekunder yang didapatkan dari investigasi dan riset yang ketat, serta public
hearing atau kesaksian publik yang juga melibatkan saksi-saksi baik pelaku
maupun korban. Karena berjarak dengan kepentingan rejim penguasa, dan
umumnya mandat didapat dari korban-korban kekerasan, maka hasil dari proses
eksaminasi atau pemeriksaan ini lebih mencerminkan prinsip-prinsip keadilan
yang dianutnya.

Pemihakan terhadap korban berarti juga merupakan peran teoretis yang


difungsikan oleh tribunal, yakni melawan asumsi bahwa Negara melalui
representasinya bebas bias dan adil. Pada kenyataannya, senada dengan kritikan
Marx, institusi dan sistem hukum seringkali ikut berperan dalam menindas
kelompok atau negara tertentu. TRI menegaskan bahwa keadilan sesungguhnya
juga merupakan relasi perjuangan atas kekuasaan, dan karenanya hukum perlu
memihak pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan yang sewenang-wenang.
TRI juga membongkar berbagai kelemahan dan keterbatasan dalam sistem
hukum yang ada, dan menunjukkan dengan gamblang impunitas yang terjadi
lewat upaya-upaya pembungkaman oleh negara. Dengan begitu, TRI
mempertanyakan sumber legitimasi dan kepemilikan atas norma-norma hukum
internasional dengan menunjukkan berbagai kesenjangan atau kekosongan
keadilan yang ada.

Secara politik, peran terbesar TRI adalah membuka ruang artikulasi


sekaligus mengesahkan klaim dan pengalaman mereka yang ditindas di saat
ruang-ruang resmi negara telah tertutup semua. Tidak saja ruang ini memberi
jalan bagi mereka yang ditindas di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar
negeri dan bahkan masyarakat dunia ikut mengakuinya. 7 Karena ruang
lingkupnya dan penglibatannya yang mendunia, TRI merupakan sebuah gerakan
transnasional atau lintas negara yang menggalang dukungan dan kesadaran
masyarakat dunia atas kejahatan-kejahatan serius yang dilakukan oleh
pemerintah atau Negara, sekaligus mengingatkan perlunya memori bersama
untuk mencegah keberulangan di temat dan masa yang lain. Dalam prinsip
demokrasi, penguasa tetap harus mempertanggung jawabkan kekuasaannya
kepada rakyat yang memilihnya, dan rakyat inilah yang menjadi anggota
masyarakat dunia yang bisa menekan pemerintahnya untuk menghadirkan
keadilan. Negara, lewat mekanisme yang resmi, bisa saja mengabaikan sebuah

6 Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia:


Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian
Journal of International Law, September 2015, hal. 2
7 Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law

and the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013,
hal. 18
kejahatan dan menegaskan impunitas. Namun, masyarakat sipil internasional
dapat memobilisasi gerakan yang luas untuk menolak pembungkaman oleh
negara terhadap sebuah ketidak adilan.

Russell Tribunal atas kejahatan perang di Vietnam, terlepas dari berbagai


kritik yang menyertainya, adalah salah satu contoh sukses gerakan transnational
lewat mekanisme tribunal non resmi ini. Tribunal ini adalah yang pertama kali di
dunia yang menegaskan bahwa Vietnam adalah satu negara, bukan dua, yang
baru merdeka, dan menjadi obyek ekspansi imperialisme Amerika Serikat. Kedua,
Amerika Serikat, dibantu oleh Australia, New Zealand, dan Korea Selatan
menyerang bukan hanya Vietnam, tapi juga Kamboja dan Laos. Dalam serangan
ini, negara tetangga seperti Thailand, Filipina dan Jepang juga complicit terhadap
serangan brutal Amerika dan sekutunya. Sesi-sesi tribunal dilakukan di beberapa
negara, dan mengumpulkan dukungan dari berbagai lapisan. Respon dunia dari
tribunal ini adalah pengakuan atas invasi Amerika dan sekutunya, dan dukungan
luas untuk pembebasan Vietnam dan mengakhiri perang di Asia Tenggara.
Kesuksesan tribunal ini dilanjutkan dengan Russel Tribunal kedua yang diadakan
untuk memeriksa dan memberi putusan terhadap kasus pelanggaran HAM berat
di Amerika Latin oleh rejim dikatator militer.

Contoh yang lain adalah tribunal rakyat atas pendudukan Palestina oleh
Israel. Didukung sepenuhnya oleh Bertrand Russell Foundation, tribunal yang
dikenal dengan Russell Tribunal for Palestine (disingkat RToP) ini
diselenggarakan untuk menginvestigasi pelanggaran huku internasional yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Palestina dan menghalangi hak mereka
untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Tribunal ini melibatkan
seratus enampuluh nama-nama besar di berbagai dunia, mulai dari musisi, artis,
peraih nobel, ilmuwan, mantan petinggi PBB, hingga mantan kepala negara, dan
juga ratusan lembaga serta organisasi yang mendukung perdamaian dan
penyelesaian masalah Palestina. Termasuk juga yang terlibat adalah Carmel
Budiarjo, seorang mantan tahanan politik 1965 di Indonesia yang kemudian
mendirikan organisasi Tapol di London. Dalam situs RToP disebutkan:

This Tribunal has been named the Russell Tribunal on Palestine. It will
reaffirm the supremacy of international law as the basis for a solution
to the Israeli Palestinian conflict. It will identify all the failings in the
implementation of this right and will condemn all the parties
responsible for these failings, in full view of international public
opinion.8

Kemampuan RToP memobilisir dukungan terhadap penyelesaian masalah


Palestina mendesak pengakuan dunia dan PBB atas kejahatan serius yang terjadi
di Palestina, sekaligus menolak pembungkaman yang dilakukan oleh negara-
negara besar termasuk juga PBB. RToP, dalam putusan akhirnya, menegaskan
terbuktinya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan hasutan ke
arah genosida. Meskipun RToP tidak secara eksplisit menyebutkan genosida
dalam tuntutannya, namun RToP berpendapat bahwa genosida dapat terjadi

8 http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/about-rtop
karena impunitas terus dibiarkan di tengah kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terjadi dan adanya hasutan langsung ke arah genosida. 9 Israel dan
beberapa negara pendukungnya dinilai mengabaikan hukum internasional, dan
PBB serta negara-negara di dunia diminta bersikap untuk aksi-aksi illegal yang
dilakukan Israel dalam okupasinya di Palestina. Putusan RToP ini adalah
pengakuan internasional pertama yang resmi, mengadopsi hukum internasional
yang tidak pernah dilakukan oleh negara-negara dan PBB sebelumnya.
Pengakuan ini menjadi rujukan resmi dan advokasi jangka panjang untuk
penyelesaian masalah Palestina.

Selain RToP, Russell Tribunal juga menginspirasi berbagai tribunal lain.


Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) adalah salah satunya. Berbeda dengan RToP
atau beberapa tribunal lain yang sifatnya per kasus (ad hoc), PPT dibentuk
berdasarkan pertimbangan perlunya sebuah mekanisme tribunal masyarakat
sipil yang berkelanjutan, yang dapat terus menerus mengakomodir kebutuhan
akan keadilan yang terus dibungkam atau tidak mampu dihadirkan oleh negara
lewat mekanisme resminya. PPT dibentuk tahun 1979 dan berbasis di Roma,
Italia, diinisiasi awalanya oleh pengacara dan senator Italia Lelio Basso dan
didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat sipil di beberapa negara. PPT
mendasarkan dirinya pada Dekalarasi Universal Hak-hak Rakyat (Universal
Declaration of the Rights of the Peoples, atau dikenal juga dengan Deklarasi Aljir)
dan Kesimpulan Russel Tribunal Kedua tentang Amerika Latin. Hingga hari ini,
tidak kurang dari tiga puluh Sembilan kasus sudah digelar oleh PPT di berbagai
negara.10 PPT memeriksa berbagai complain atas dugaan pelanggaran HAM yang
diajukan oleh beragam komunitas yang terkena dampak pelanggaran tersebut.
Sama seperti TRI lainnya, PPT juga menggunakan format pengadilan formal yang
ketat, dan mengeluarkan putusan. Beberapa kasus besar yang selama ini
dibungkam oleh negara-egara lewat pemerintah dan institusinya, antara lain
kasus genosida Armenia, dan intervensi Amerika di Nikaragua dan Amazon.

Tribunal Rakyat Internasional di Asia dan yang terkait dengan Indonesia

Di Asia, masyarakat sipil juga menyelenggarakan TRI untuk berbagai


kasus pelanggaran HAM berat pasca Perang Dunia II. Russell Tribunal tentu
adalah TRI pertama yang dilakukan berkenaan dengan negara di Asia, disusul
dengan beberapa TRI lainnya di era 1970an. Simm dan Byrnes (2015) mencatat
paling tidak ada tiga tribunal yang diselenggarakan oleh PPT terkait dengan
kejahatan yang dilakukan oleh negara, yakni okupasi Indonesia di Timor Timur
tahun 1981, Filipinna dan Bangsa Moro tahun 1982, dan okupasi Cina atas Tebet
tahun 1992. Selain itu, ada juga sesi-sesi yang digelar untuk meminta
pertanggung jawaban perusahaan multinasional, misalnya di Bhopal, dan
Bangalore. Baru-baru ini, PPT juga menyelenggarakan sesi untuk kasus genosida
Tamil di Srilanka.11

9 ibid
10 Lihat websitenya http://www.fondazionebasso.it/2015/introduction?lang=en
11 http://www.ptsrilanka.org/
Di samping PPT, ada juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia.
Salah satu yang paling dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan
Perang Perempuan untuk Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang
(atau disebut the Tokyo Women’s Tribunal). Saya akan menjelaskan lebih banyak
tentang tribunal ini dalam bagian berikutnya. Selain Tokyo Tribunal, juga ada
Independent Peoples’ Tribunal untuk menghakimi G7 tahun 1993, International
Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004, dan International Peoples’ Tribunal
on Human Rights and Justice in Indian-administered Kashmir, serta Peoples’
Tribunal on World Bank tahun 2007 di India.
Khusus tentang TRI yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah
dilaksanakan adalah PPT untuk kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk
kasus perbudakan seksual, dan Tribunal Warga Internasional untuk kasus
pembantaian Biak (Biak Berdarah).

i. Permanent Peoples’ Tribunal tentang Timor Timur


Setelah lebih dari lima tahun sejak Indonesia menginvasi Timor Timur
yang baru merdeka dari Portugal, the Revolutionary Front for an Independent
East Timor (FRETILIN) yang memenangkan 50% suara pada Pemilu tahun 1975
mengajukan gugatan terhadap negara Indonesia ke PPT. Dengan melibatkan
pemimpin Fretilin, pengacara, ilmuwan, jurnalis, wakil gereja dan beberapa
warga negara Indonesia, tribunal ini digelar mulai tanggal 19 hingga 21 Juni
1981 di Lisbon.12 Keputusan PPT menetapkan bahwa Indonesia telah melakukan
agresi dengan melanggar ayat 2(4) Charter PBB, dan karenanya bersalah dan
bertanggung jawab atas kejahatan terhadap perdamaian. PPT juga
menyimpulkan Indonesia dan didukung oleh beberapa negara lain juga telah
melanggar hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Timor Timur.13 Tribunal
ini menandai sebuah bentuk kolaborasi internasional yang pertama kali terjadi
tentang apa yang terjadi di Timor Timur, dan berdampak pada terbentuknya
sebuah organisasi solidaritas Hak Asasi Rakyat Maubere (Comissão para os
Direitos do Povo Maubere, CDPM).14 Materi-materi sidang PPT juga menjadi
bahan advokasi dan diplomasi lebih lanjut untuk pembebasan Timor Timur.

ii. Tokyo Tribunal tentang Perbudakan Seksual oleh Jepang


Tribunal ini diadakan di Tokyo tahun 2000 untuk memeriksa dugaan
perbudakan seksual oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan muda
(biasa disebut comfort women atau jugun ianfu) di Asia dan khususnya Asia
Tenggara pada masa Perang Dunia II. Tribunal ini menunjuk dirinya sebagai
kelanjutan dari International Military Tribunal for the Far East (IMFTE atau
Tokyo Trial) yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk mengadili
kejahatan perang oleh Jepang selama Perang Dunia II, dimana pengadilan ini
absen memasukkan kasus perbudakan seksual dalam dakwaannya meskipun
bukti-buktinya sangat kuat dan tersebar. Tribunal Tokyo ini diinisiasi oleh
sejumlah feminis dan organisasi masyarakat sipil internasional lintas negara.
Melibatkan ratusan praktisi dan akademisi serta korban, Tribunal digelar dan

12 Lihat laporan CAVR, 2005, hal. 104, 115


13 Byrnes dan Simm, 2011, hal. 10
14 Laporan CAVR, 2005, hal 104
mendapatkan publisitas serta perhatian dunia internasional. Selama lima hari
dari tanggal 8 hingga 12 Desember, tribunal ini menghadirkan kesaksian dan
tuntutan-tuntutan dari masing-masing negara asal para korban. Dari Indonesia
sejumlah korban juga memberikan kesaksiannya, sedangkan tuntutan dibacakan
oleh satu tim penuntut yang terdiri dari pengacara senior dan aktivis perempuan
seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Antarini Arna. Putusan tribunal
menyatakan bahwa negara dan pemerintah Jepang, yang diwakili oleh Kaisar
Hirohito, bersalah atas kejahatan serius terhadap ribuan perempuan di Asia yang
dipaksa menjadi budak seksual untuk melayani tentara-tentara Jepang selama
masa Perang Dunia II. Selain itu, Tribunal ini juga merekomendasikan
permintaan maaf dari Kaisar serta reparasi kepada para korban yang dirampas
hak dan kehidupan social ekonominya selama bertahun-tahun.
Banyak peneliti dan praktisi menilai bahwa tribunal ini merupakan satu
lagi contoh sukses TRI. Keputusan Tribunal ini merupakan kemenangan besar
bagi para feminis, aktivis HAM, dan terutama korban-korban yang tersebar di
berbagai negara.15 Kontribusi lainnya adalah menguatnya gerakan solidaritas
regional untuk isu ini ini dan secara umum isu hak-hak perempuan, dan
sejumlah memorialisasi yang dibangun untuk mengingat pengalaman pahit masa
lalu ini. Pemerintah Jepang pernah menyatakan permintaan maaf melalui
perdana menterinya, namun kemudian ditarik kembali, seperti juga dengan
skema reparasi kompensasi yang pernah disalurkan ke beberapa pemerintah
negara asal korban, termasuk Indonesia.

iii. Tribunal Warga tentang Biak Berdarah


Tribunal ini diadakan belum lama berselang, yakni pada tanggal 6 July
2013, tepat lima belas tahun pasca terjadinya pembantaian atas warga sipil di
Biak, Papua. Pembantaian terjadi tidak lama setelah perubahan politik nasional
di Jakarta, dimana sejumlah massa pimpinan Filep Karma melakukan aksi damai
dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di sebuah menara air di kota Biak. Di
hari ketiga aksi tersebut, sejumlah besar pasukan TNI dari berbagai kesatuan
dan angkatan, serta polisi, menyerang kerumunan massa dan membabi buta
melepaskan tembakan serta aksi-aksi kekerasan hingga pembunuhan. ELSHAM,
sebuah LSM local di Papua yang pertama melakukan investigasi atas insiden ini
menuliskan laporan banyaknya “kuburan tanpa nama, nama tanpa kuburan”.
Tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah korban, namun Human Rights
Watch (1998) memperkirakan ratusan orang yang hilang entah dibunuh atau
dihilangkan paksa.

15Banyak peneliti yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja
terhadap aktivisme transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma
hukum internasional. Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the
“Comfort Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies
Review, vol 37 issue 3, 2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the
Comfort Women of World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law,
Vol 21, Issue 2, 2003. Selain tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis
berdasarkan riset terhadap tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban
Jugun Ianfu Indonesia juga telah dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan
Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007.
Tribunal dilakukan di Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa
pengacara senior seperti Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales,
John Dowd. Tribunal ini digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang
antara lain beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.16 Tribunal ini mendapat
banyak perhatian dari media nasional Australia, dan beberapa media
internasional. Saksi-saksi didatangkan dari Papua dan beberapa yang
berdomisili di Australia. Tribunal ini tidak mendapat banyak perhatian dari
media di Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi besar dari pemerintah
Indonesia pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa berdampak
positif, karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya
lebih lancer. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi
dan perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja
untuk isu HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang
dilakukan oleh aparat keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan mulai pembunuhan hingga kekerasan
seksual. Rekomendasi utama tribunal ini adalah agar pemerintah Indonesia
menindak lanjuti dengan investigasi hukum serta melakukan reparasi bagi para
korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika Serikat juga ikut
bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara
Indonesia dalam berbagai pelatihan, karena itu maka Australia dan Amerika
Serikat juga harus mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.

Sebuah Tribunal Rakyat Internasional untuk Kejahatan Berat di Indonesia?

Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang paling responsif


terhadap tuntutan pengadopsian prinsip dan norma hukum internasional, tapi
juga yang paling enggan untuk memenuhi komitmen yang sudah dijanjikan di
atas kertas. Hingga saat ini, Indonesia telah meratifikasi tidak kurang dari
sebelas instrument HAM internasional, dan memimpin dalam forum-forum
internasional dan regional terkait HAM. Meski demikian, urusan implementasi
dari norma-norma dan aturan ini menunjukkan kemunduran terus menerus di
setiap pergantian presiden, meskipun demokrasi tetap bertahan sejak turunnya
pemimpin otoriter Soeharto di tahun 1998. Upaya-upaya untuk menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah dicoba, namun yang terjadi justru
impunitas tetap bertahan dan negara semakin menegasikan klaim-klaim korban
dan ketidak adilan. Hingga tahun 2011, sejumlah 137 nama tersangka yang
disebut dala laporan investigasi KOMNAS HAM ternyata hanya 34 yang
dimasukkan dalam tuntutan Kejaksaan Agung, dan hanya 18 yang dinyatakan
bersalah. Dari yang sedikit itu, tidak ada satupun yang akhirnya dihukum karena
proses banding.17 Artinya, angka pembebasan bagi para pelaku pelanggaran
HAM di Indonesia adalah 100%. Persoalan pelanggaran HAM masa lalu tidak
selesai, ditambah terus dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terbaru, sehingga
sulit untuk meyakini bahwa rejim penguasa yang sewenang-wenang memang

16 Lihat informasi tentang tribunal ini, beserta rekaman sesi-sesi tribunal di


http://www.biak-tribunal.org
17 Lihat analisisnya dalam laporan Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice

in Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011, hal 37-62


sudah berakhir dan digantikan oleh rejim yang akuntabel dan menghormati hak-
hak dasar warganya.
Sementara itu, masyarakat sipil di dalam negeri tidak henti-hentinya
mendesakkan tuntutan atas keadilan dan akuntabilitas. Beragam upaya, baik di
tingkatan komunitas maupun nasional, telah ditempuh. Namun bukan saja
upaya-upaya ini tidak dihiraukan, pemerintah lewat beragam institusinya,
tertutama institusi keamanan, justru membenturkan upaya-upaya ini dengan
kelompok-kelompok yang dioposisikan terhadap tuntutan keadilan dan
akuntabilitas; kelompok-kelompok yang pro pada impunitas dengan dalih
agama, nasionalisme, ataupun NKRI.
Pada titik ini, ruang-ruang resmi negara di dalam negeri semakin
mengecil dan membuat gerak masyarakat sipil termasuk korban semakin sulit
menyuarakan kepentingannya. Demokrasi prosedural yang dipilih oleh para
penguasa saat ini merupakan pisau bermata dua: ia seolah-olah memberi pilihan
dan akuntabilitas politik kepada rakyat, namun pada saat yang sama ia
menjustifikasi kebijakan, termasuk kebijakan yang melanggengkan impunitas,
dan aksi penguasa yang telah dipilih rakyat tadi. Pada saat yang sama, ruang-
ruang resmi di luar Indonesia juga belum banyak memberikan komitmen berarti
kearah pelembagaan keadilan dan penghormatan HAM di Indonesia.
TRI memberikan sebuah alternatif ruang dari kepepatan yang demikian.
Ruang itu tidak di dalam negeri, tapi di luar negeri dengan mengundang lebih
banyak kelompok masyarakat di dunia untuk bersolidaritas dan sama-sama
mendukung penyelesaian pelanggaran HAM yang bermartabat. Ia sekaligus
mereklamasi keabsahan pengalaman kelompok tertindas seperti korban seseuai
standar hukum dan norma internasional, dan menjadi alat untuk membongkar
kebungkaman negara dan internasional terhadap kejahatan besar yang terjadi di
Indonesia, sekaligus menolak impunitas yang begitu kokoh bertahan.
Meski TRI merupakan sebuah alternatif yang strategis, ada setidaknya
tiga tantangan besar untuk penerapannya dalam konteks Indonesia. Yang
pertama adalah legitimasi hukum. Sebagaimana disampaikan sebelumnya,
ketiadaan legitimasi hukum merupakan kritik terbesar bagi TRI dimanapun di
dunia. Meski demikian, hal ini merupakan persoalan yang juga dihadapi oleh
semua model inisiatif masyarakat sipil non-negara, termasuk misalnya
memorialisasi, upaya pencarian kebenaran, dan sebagainya. TRI harus dilihat di
luar dari cara pandang formalistic yang demikian. Legitimasi terbesar dari TRI
adalah moral dan politik, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum yang
diakui, dan legitimasi ini berasal dari mandate yang diberikan oleh korban
dan/atau kelompok yang tertindas.
Tantangan kedua adalah adanya kekakuan dalam memahami pembagian
aspek keadilan yang diturunkan dari konsepsi tentang keadilan transisi
(transitional justice). International Center for Transitional Justice (ICTJ), sebuah
lembaga nirlaba internasional yang mempromosikan pendekatan keadilan
transisi, membagi keadilan dalam empat aspek besar: pengungkapan kebenaran,
pengadilan, reparasi dan reformasi institusi.18 Konsepsi ini diadopsi oleh PBB,
dan menjadi rujukan dari beragam riset dan advokasi yang dilakukan oleh

18lihat https://www.ictj.org/about/transitional-justice. Konsepsi ini diadopsi


oleh PBB sebagaimana dituliskan dalam dokumen Guidance Note of the Secretary
General: United Nations Approach to Transitional Justice, Maret 2010.
kelompok-kelompok masyarakat sipil. Di Indonesia, keadilan transisi juga
menjadi rujukan dan kerangka bagi beragam inisiatif baik oleh KOMNAS HAM,
KOMNAS Perempuan, LPSK, maupun ornop-ornop baik di Jakarta maupun di
daerah-daerah.19 Pembagian aspek keadilan ini umumnya dipahami sebagai
pembagian mekanisme-mekanisme turunan dari masing-masing aspek.
Pengungkapan kebenaran, misalnya, dilakukan dalam bentuk tim pencari fakta,
tim pendokumentasian, komisi kebenaran, dan sebagainya. Sementara itu,
pengadilan merupakan inisiatif untuk keadilan dalam bentuk formal, upaya
judisial, dan ditujukan untuk mendapatkan keadilan dengan penghukuman.
Sementara itu, reparasi bentuknya bisa berupa restitusi, rehabilitasi ataupun
kompensasi, disamping bentuk reparasi kolektif seperti memorialisasi. Terakhir,
dan yang seringkali sulit dielaborasi dalam praktek karena dimesnsinya yang
luas, adalah reformasi institusi. Ini termasuk juga reformasi sector keamanan
misalnya tentara dan polisi. Dalam pemahaman demikian, TRI umumnya
dipahami sebagai bagian dari aspek pengadilan, atau keadilan formal.
Kenyataannya, TRI merupakan inisiatif yang menabrak batas empat
aspek keadilan tersebut. TRI dilakukan mengikuti dan mengadopsi prinsip-
prinsip dan ketentuan serta mekanisme dalam hukum pidana internasional yang
resmi (disponsori oleh negara), dimana bukti-bukti diperiksa dan kesaksian-
kesaksian disampaikan untuk membuktikan tuduhan pelanggaran HAM berat.
Pada umumnya, berbeda dengan pengadilan criminal biasa, TRI mendakwa
negara yang melakukan pelanggaran HAM dengan menyebutkan individu-
individu yang terbukti melakukan kejahatan. Proses terpenting dari mekanisme
ini adalah riset dan pengumpulan data dan bukti-bukti yang menjadi dasar dari
tuntutan. Ini adalah bentuk lain pencarian kebenaran, dan keputusan tribunal
merupakan kebenaran itu sendiri yang telah melalui verifikasi dalam kerangka
hukum formal. Louis Bickford (2007) menyebutkan beberapa contoh TRI dan
memasukkannya sebagai unofficial truth projects, atau inisiatif kebenaran non-
resmi.
Tantangan ketiga lebih terkait dengan situasi keamanan di dalam negeri.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemampuan aparat keamanan dan
pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menjamin ataupun
mengabaikan keamanan terhadap penyelenggaraan TRI terutama keamanan
korban dan aktivis pembela HAM. Beberapa riset menunjukkan, pemerintah
Indonesia akan sangat defensif sekaligus reaktif terhadap berbagai upaya
pembahasan masalah pelanggaran HAM di forum internasional.20 Tergantung

19 Lihat misalnya Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice:
Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal
of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon, The
Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari
Ohio State University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for
Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol
11, 2007, hal. 195-259
20 Pasca reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap

tekanan luar negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian
referendum untuk Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-
undang terkait HAM. Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai
periode yang menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana
pada dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus tekanan
masyarakat internasional mampu melunakkan dan membuat pemerintah lebih
akomodatif. Dalam kasus lain, pemerintah terutama insitusi keamanan dan
kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, malah cenderung lebih reaktif dan
cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang bisa mengendalikan atau
mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor kepemimpinan kepala
negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan luas
masyarakat sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang
terakhir inimenjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari
masyarakat sipil dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan
menolak crime of silence.

Kesimpulan
Sejarah mencatat, hanya sedikit saja kasus-kasus kejahatan oleh Negara
yang bisa diadili dalam sistem hukum internasional yang ada saat ini. Dengan
kata lain, hukum internasional dan domestik tidak selalu dapat memberikan
keadilan karena memiliki berbagai keterbatasan dan selalu beririsan dengan
kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Hukum kemudian menjadi milik
penguasa, dan memapankan impunitas serta membuat sebuah kejahatan
pembungkaman terhadap ketidak adilan dan penindasan.
TRI menjadi sebuah ide yang dikongkretkan atas pertimbangan
kekosongan dan kesenjangan hukum, antara yang normative dan yang riil. TRI
adalah keresahan masyarakat sipil yang muncul dari ambiguitas negara-negara
terhadap keadilan. Atas dasar keresahan inilah pilihan TRI mengadopsi
sepenuhnya hukum-hukum dan norma yang ada untuk menjadikannya sebuah
cermin lain keadilan, yakni keadilan yang memihak pada korban dan kelompok
yang tertindas.
TRI , meskipun tidak mendapatkan legitimasi formal dari negara, namun
memiliki dampak penting secara teori, prinsip dan politik. TRI tidak saja
memberikan ruang bagi korban untuk mereklamasi tuntutannya, tapi juga
mampu memberi fondasi dan pengakuan internasional terhadap sebuah
kejahatan berat, dan memobilisir solidaritas dunia untuk menekan negara-
negara menunaikan tanggung jawab bersama untuk menegakkan HAM dan
keadilan. TRI adalah suatu terobosan yang mendasarkan dirinya pada prinsip-
prinsip hukum, namun tetap mengedepankan kebutuhan untuk kebenaran,
pemulihan untuk korban serta reformasi institusi untuk jaminan ketidak
berulangan di masa depan.
Di Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan dengan dampaknya masing-
masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi alternative
masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di tingkat
internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di depan
mata, dan ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog itulah saya
menulis tulisan ini sebagai sebuah pengantar semata.

Total kata (tanpa referensi): 4,944

mekanisme akuntabilitas merupakan kompromi-kompromi diantara kekuatan


politik sebelum kemudian macet samasekali. Lihat Kontras dan ICTJ, Derailed,
2012.
Referensi

Argibay, Carmen, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”,
dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003

Bickford, Louis, “Unofficial Truth Project”, dalam Human Rights Quarterly, 29,
2007, hal. 994-1004

Byrnes, Andrew dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and
the Use of Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013

Henry, Nicola, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of
the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013

Hindra, Eka, dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007

Jiwon, Suh, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012


(tidak diterbitkan)

Klinghoffer, Arthur, dan Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal:


Mobilizing Public Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002

Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of
Soeharto, 2011

Limqueco, Peter, and Peter Weiss (eds), Prevent the Crime of Silence, Reports from
the Sessions of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell,
1971

Linton, Suzannah, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore


Year Nook of International Law, Vol 11, 2007

Moyn, Samuel, The Last Utopia: Human Rights in History, Harvard University
Press, 2012

Simm, Gabrielle dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia:


Political Theatre, Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian
Journal of International Law, 2015

Wahyuningroem, Sri Lestari, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society
Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013

Anda mungkin juga menyukai