Anda di halaman 1dari 9

1.

Sejarah Mahkamah Tokyo


Berkaitan dengan landasan historis bagi pembentukan Mahkamah Tokyo di Jepang berawal
dari Invasi Jepang ke China pada awal perang dunia antara tahun 1930 sampai tahun 1945. Hal
tersebut merupakan masa kelam dan titik awal telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
merendahkan martabat manusia itu sendiri. Militer Jepang merupakan sebuah mesin perang yang
digerakkan oleh hasrat atas agresi, ekspansi dan imperialisme. Tindakan dari militer Jepang yang
dimulai sejak agresi di China terjadi juga saat Jepang mulai menyerang Negara Asia yang lain.
Agresi militer Jepang baru berahkir saat Jepang dijatuhi bom atom pada tanggal 6 Agustus Tahun
1945 di Hiroshima dan tanggal 9 Agustus Tahun 1945 di Nagasaki. Tindakan militer Jepang
terlihat secara nyata dalam peristiwa pembantaian Nanking atau disebut juga Nanking Massacre
atau Rape of Nanking dimana diperkirakan terdapat 300.000 milter China dan warga sipil yang
terbunuh derta 20.000 wanita diperkosa Korban dari agresi Jepang tidak hanya berasal dari
golongan militer atau kombatan saja tapi juga termasuk orang yang tidak bersalah ( warga sipil )
yang berasal dari China, Korea, Amerika Serikat, Philipina, Indonesia dan negara Asia Tenggara
lainnya bahkan termasuk warga Jepang sendiri. (www.hukumonline.com/diakses tanggal 5 Juni
2010). Dengan demikian Pelanggaran Hak Asasi Manusia banyak terjadi di masa agresi Jepang
ke kawasan Asia. Meski sampai saat ini pemerintah Jepang belum bersedia mengakui peristiwa
Nanking ini, namun bukti sejarah sudah kuat menunjukkan bahwa peristiwa tersebut pernah
terjadi dan membuktikan Agresi Militer Jepang telah membawa kerugiaan bagi warga sipil.
Makamah Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini
adalah Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang
berbentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Keberadaan Tokyo Tibunal dibentuk
berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur
Jauh yaitu Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Negara Amerika Serikat disusun Piagam
untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.
Dalam Pasal 1 Proklamasi Jenderal MacArthur dikatakan sebagai berikut :
Akan dibentuk suatu Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal)
untukTimur Jauh (Far East) untuk mengadili orang-orang yang dituduh bertanggung jawab
secara individuatau sebagai anggota-anggota organisasi, atau dalam kapasitas keduanya, atas
pelanggaranpelanggaran yang dikategorikan kejahatan terhadap perdamaian. Pada dasarnya

Mahkamah Tokyo dibentuk guna mengadili para penjahat perang selama terjadi perang antara
Amerika Serikat dan Jepang pada Perang Dunia II. Selama perang dunia, militer Jepang
melakukan berapa macam kejahatan perang. Makamah Internasinal untuk Timur Jauh atau
disebut juga Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili pemimpin-pemimpin Kekaisaran
Jepang atas tuduhan tiga macam jenis kejahatan yaitu Kelas A ( kejahatan terhadap perdamaian ),
Kelas B ( kejahatan Perang ) dan Kelas C ( kejahatan terhadap kemanusiaan ) yang terjadi selama
Perang Dunia II. (www.wikipedia.com/diakses tanggal 3 Juni 2010). Banyak warga negara
Jepang yang kemudian diadili dan dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Tokyo. Kebanyakan dari
terdakwa yang dibawa ke Mahkamah Tokyo adalah pejabat pemerintah dan pejabat militer.
Namun Mahkamah ini tidak mengajukan tuntutan kepada Kaisar Jepang Hirohito dan juga
seluruh keluarga kekaisaran Jepang.
Bertolak dari beberapa kecaman yang berkaitan dengan independensi dan imparsialitasnya,
Mahkamah Tokyo menjadi salah satu acuan dan pedoman untuk membentuk peradilan militer
atas kejahatan perang setelah masa Perang Dunia II berakhir. Atas dasar fakta hukum dan historis
dari akibat perbuatan agresi militer Jepang ke negara-negara di Asia telah menjadi titik tolak bagi
lahirnya Mahkamah Tokyo untuk penegakan hukum pidana secara internasional dan sekaligus
untuk menjunjung tinggi bagi terjaminya Hak Asasi Manusia. Selain itu dibentuk Mahkamah
Tokyo juga berguna untuk mengadili para penjahat perang dan menegakkan Hukum Humaniter
Internasional.
2. Yurisdiksi Mahkamah Militer Tokyo

Adanya konsep tanggung jawab komando yaitu yang menyatakan bahwa Pemimpin,
penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang ikut ambil bagian dalam perencanaan atau
pelaksanaan dari sebuah rencana bersama atau konspirasi untuk melakukan kejahatan yang mana
saja yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan bertanggung jawab atas segala tindakan yang
dilakukan oleh siapa pun dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi tersebut. Pemberkasan
dakwaan di Pengadilan Tokyo:
1. Berkas 1-36: konspirasi dalam perencanaan (preparation), memulai (commencement) ,
dan pemajuan (furtherance) berbagai kejahatan perang.
2. berkas 37-52: pembunuhan, terutama pembunuhan dalam perang yang melanggar hukum
dan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan dalam hukum dan kebiasaan perang.

3. berkas 53-55: tindakan kejahatan perang konvensional lainnya dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. (www.hamline.edu.com/diakses tanggal 2 Juni 2010)
Adapun yang menjadi Yurisdiksi Mahkamah Militer yang dibentuk oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) baik di Tokyo mencakup hanya tiga kejahatan, yaitu kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan
yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan terlah terdapat dalam Pasal 5 Statuta Mahkamah Roma
yaitu sebagai berikut:
a. kejahatan terhadap perdamaian(crimes against peace)
Dalam substansi ini terdapat beberapa yurisdiksi bagi pelaksanaan penegakan hukum
melalui Mahkamah Militer Tokyo. Hal ini juga berkaitan dengan perencanaan, persiapan,
pencetusan, dan pelaksanaan perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun
tidak atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional atau yang ikut serta
dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu bentuk kejahatan
b. Kejahatan perang konvensional
Hal ini dapat dikenakan terhadap pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang.
c. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
Substansi pokok dari tipe kejahatan ini dapat meliputi pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi
sipil manapun, sebelum dan selama masa perang. Adanya persecution berdasar politik atau ras,
sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam
yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut
hukum domestik dimana tindakan tersebut dilakukan.
d. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan istilah
internasional yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dimana batasannya
tertera di dalam suatu persetujuan yang dibuat antara Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan Uni
Soviet untuk melakukan tuntutan penghukuman terhadap penjahat-penjahat perang pada tanggal
8 Agustus Tahun 1945 di London.

Dalam Pasal 6 (c) Piagam Mahkamah Militer Internasional Nuremberg dinyatakan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai yaitu sebagai berikut:
Tindakan kejahatan untuk melakukan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi
(pengasingan, pengiriman kembali ketempat asal) dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak
manusiawi yang ditujukan terhadap penduduk sipil sebelum atau selama terjadi peperangan,
atau penganiayaan yang didasarkan pada latar belakang politik, rasial atau agama dalam
pelaksanakan hukuman atau dalam kaitannya dengan sesuatu kejahatan yang berada di dalam
yurisdiksi mahkamah yang dilakukan, apakah hal itu melanggar atau tidak dengan hukum
nasional sesuatu negara.
Dengan paradigm mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 6 (c) tersebut
hubungan dengan hukum kemanusiaan secara tegas dimuat dalam Mukadimah Konvensi Den
Haag IV tahun 1907 yang dikenal sebagai Marten Clause yang tujuannya adalah untuk
memperluas perlindungan tambahan bagi kombatan dan penduduk sipil dimana hukum tersebut
masih dalam perkembangan sampai dengan adanya aturan-aturan yang lebih komprehensif dapat
disetujui.
Tujuan utama dibalik ketentuan itu adalah untuk memasukkan kedalam instrumen tersebut
mengenai adanya penganiayaan dan pemusnahan yang dilakukan oleh Nazi terhadap kelompokkelompok Warga Negara Jerman tertentu seperti Yahudi dan Gypsy keturunan lainnya.
Mengingat banyaknya hukuman-hukuman yang tidak dilakukan pada era pasca perang dingin,
maka definisi tersebut kemudian diperluas lagi melalui praktek-praktek negara. Di dalam Kasus
Barbie, terdakwa Barbie, seorang Kepala Gestapo di Lyon, Perancis pada periode Tahun 1942
sampai Tahun 1944 telah dihukum karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu
dalam peranannya untuk mendeportasi dan memusnahkan penduduk sipil Yahudi. Pengadilan
menganggap bahwa kejahatn terhadap kemanusiaan yang terdiri dari tindakan-tindakan yang
tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk sipil secara sistematis atas nama Negara
yang menjalankan suatu kebijaksanaan atas dasar supremasi ideologi.
Sesuai dengan perkembangan kebiasaan internasional maka ketentuan yang terdapat di
Pasal 6 kemudian dimasukkan dalam Pasal 5 Statuta International Criminal Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY) yang mempertahankan ikatannya dengan konflik bersenjata dalam
Mahkamah Militer Internasional, tetapi tanpa membuat perbedaan mengenai sifat dari konflik
tersebut. Di samping itu tidak sebagaimana dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional,

Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) tidak menginginkan
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan itu dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan lainnya dalam
yurisdiksi di Mahkamah Militer Tokyo
3. Tindakan agresi militer Negara Israel di Jalur Gaza dan Analisis Kasus Dalam
Perspektif Mahkamah Tokyo
a. Kasus Posisi
Negara Israel kembali menuai darah. Dalam sesi terkini pembantaian di Gaza pada
tanggal 27 Desember 2008 sampai tanggal 17 Januari 2009 tidak kurang dari 1412 warga
Palestina tewas. Dari jumlah tersebut 440 jiwa adalah anak-anak dan 110 wanita. Tidak hanya
itu

2000

anak-anak

dan

1000

wanita

telah

juga

menjadi

korban

luka-luka.

(www.hidayatullah.com/diakses tanggal 4 Juni 2010).


Negara Israel tidak sekedar menjadikannya sebagai penjara terbuka (open air prison)
Israel memang telah menjadikan Gaza sebagai ladang genocide terbuka. Israel tak pilih-pilih.
John Mearsheimer menyebutkan bahwa target serangan Israel adalah universitas, sekolah,
masjid, rumah, apartemen, bangunan, kantor-kantor pemerintah, dan juga ambulan. Logika
penyerangan terbuka dan tak pilih-pilih ini dijelaskan oleh seorang pejabat militer senior Israel
sebagai berikut : There are many aspects of HAMAS, and we are trying to hit the whole
spectrum, because everything is connected and everything supports terrorism against Israel,.
Dalam bahasa Israel, setiap orang adalah Teroris dan segalanya adalah target serangan yang
legitimatif. Tentara Israel kembali menuai darah melalui operasi militer berskala besar ke bagian
utara wilayah Palestina tersebut. Sebanyak 67 orang Palestina tewas sementara 320 orang lagi
cedera.(www.republika.com/diakses tanggal 3 Juni 2010)
Pembantaian di Jenin pada Tahun 2002 adalah satu contoh kekerasan di Kampung
Pengungsi Balata awal tahun 2002. Pembunuhan bocah Muhammad Jamal Ad-Durra,
penyerangan Shabra Shatilla di Lebanon, pembunuhan 106 warga sipil di Gedung PBB Qana,
Lebanon Selatan semakin menggenapkan citra Israel sebagai penjahat perang nomor wahid.
Sebelum terjadinya serangan ke Gaza Dr. Sami Abu Zuhri Dosen Sejarah di Jamiah Islamiyah
Gaza menyebutkan kekerasan Israel terhadap bangsa Palestina di awal Maret 2008 adalah tragedi
pembantaian Palestina paling berdarah sejak 1967, karena memakan jumlah korban paling

banyak. Menurut Abu Zuhri, dari total korban meninggal akibat serangan Israel itu dua puluh
lima persennya adalah anak-anak dan kaum wanita. Kejahatan perang yang hampir sama terjadi
pada pertengahan Januari 2008. Selama lima hari Israel menyetop suplai listrik, bensin, dan
bantuan kemanusiaan ke Gaza suatu kekejian yang oleh Amnesty International disebut sebagai
collective punishment. Akibat pemutusan ini, Gaza gelap gulita. Rumah sakit, sekolah, tempat
ibadah, hingga perumahan hanya mengandalkan lilin dan alat penerang seadanya. Padahal di
wilayah sesempit 360 km2 ini tinggal 1,5 juta rakyat Palestina dan 1 juta diantaranya adalah
pengungsi. Hampir 50% diantaranya adalah kaum perempuan dan 48% diantaranya adalah anakanak berusia kurang dari 14 tahun.
Kekerasan dan penderitaan warga sipil di Gaza utamanya perempuan dan anak-anak telah
berlangsung sama tuanya dengan penjajahan Israel di Palestina. Studi yang dilakukan oleh John
Hopkins University (USA) dan Al Quds University (Jerusalem) untuk CARE International pada
2002 menyebutkan bahwa warga Palestina memiliki problem kesehatan dan kekurangan gizi
yang tinggi. Tujuh belas setengah persen (17.5%) dari anak-anak usia 6 hingga 59 bulan
menderita kekurangan gizi kronis (chronic malnutrition). Lima puluh tiga persen (53%)
perempuan pada usia reproduktif dan 44% anak-anak didapati menderita anemia
Palestina dan pembatasan oleh perbankan Uni Sovyet terhadap otoritas Palestina. Ketika
pemerintahan koalisi HAMAS dan FATAH pecah pada Juni 2007 yang berujung HAMAS
menjadi penguasa de facto Jalur Gaza dan FATAH menguasai Tepi Barat, maka , sanksi ekonomi
yang dijatuhkan kepada Jalur Gaza semakin ketat. Sebaliknya, sanksi ekonomi terhadap Tepi
Barat yang secara de facto dan de jure dikuasai FATAH diperingan. Penghentian pasokan listrik
dan bahan bakar selama lima hari pada pertengahan Januari 2008 nyata-nyata telah mengancam
kesehatan dan keselamatan seluruh penduduk Gaza. Tidak hanya rumah sakit yang menderita,
warga-pun menderita kekurangan air bersih, karena listrik dan bahan bakar diperlukan untuk
memompa air. Wargapun kesulitan menyimpan makanan, karena ketiadaan listrik membuat
kulkas tak dapat dihidupkan. Bisa dipahami bila akhirnya warga membobol tembok perbatasan
Gaza dengan Mesir hanya untuk membeli makanan dan barang keperluan sehari-hari. Kekerasan
dan sanksi ekonomi yang terjadi membuat warga Gaza kini hidup di bawah garis kemiskinan.
Mereka menggantungkan hidup hanya dari bantuan internasional. Yang itupun turut terjegal oleh
blokade Israel. (www.almanar.com/diakses tanggal 3 Juni 2010).

b. Analsis Kasus
b.1. Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional
Menurut kami sebagai sebagai penulis dengan tindakan agresi militer Negara Israel dan
kuartet Timur Tengah dalam bentuk sanksi ekonomi maupun kekerasan terhadap warga sipil non
combatants adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Hukum
humaniter atau hukum perikemanusiaan internasional adalah serangkaian kompilasi hukum dan
aturan-aturan yang berusaha untuk mengurangi dampak dari sengketa bersenjata. Hukum
humaniter internasional memberi perlindungan hukum terhadap orang-orang yang tidak ikut
ataupun tidak lagi dapat berperang. Hukum humaniter juga mengatur sarana dan metode dalam
berperang. Dengan demikian, hukum ini tidak melarang perang namun mengatur bahwa ketika
perang tak dapat harus memperhatikan perikemanusiaan, seperti halnya perlindungan terhadap
warga sipil, tawanan perang maupun tentara yang terluka yang tak lagi dapat berperang.
Dalam Konvensi Geneva ke III tahun 1949 mengatur perlindungan terhadap warga sipil
yang tak ikut berperang (non combatants) termasuk para tentara yang terluka. Konvensi ini telah
diratifikasi oleh negara-negara seluruh dunia, termasuk Israel, Amerika Serikat, Rusia, dan
negara-negara Eropa Barat. Disamping itu, Pasal 38 Konvensi Hak Anak (Children Rights
Convention) Tahun 1989 juga mengatur bahwa anak-anak adalah subyek dari Hukum Humaniter
Internasional (Konvensi Geneva III 1949) yang sekali-sekali tak dapat dikorbankan ataupun
dijadikan sebagai kelompok bersenjata (combatants).
Dalam paradigma yang dibentuk terkait fenomena kasus agresi militer Negara Israel
timbul beberapa masalah yaitu : Mengapa sulit menyeret Israel ke Mahkamah Kejahatan
Perang? Apakah memang tak cukup bukti hukum ataukah ada faktor-faktor non hukum yang
lebih menentukan? Dan, Mahkamah manakah yang paling tepat untuk mengadili kejahatan
perang Israel? Apakah landasan hukum untuk memproses kejahatan tersebut ke pengadilan
internasional? Israel telah mengorbankan sekian banyak anak-anak, perempuan non
combatant (yang tak ikut berperang), para orang tua, dan orang sakit. Dalam konterks ini
menurut penulis masih adanya konstelasi politik dengan Negara Amerika Serikat yang
menhambat untuk melakukan tindakan kepada Israel dengan instrumen hukum internsional.
b.1. Pelanggaran Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Tokyo

Badan ini adalah peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag,
Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta
Roma 1998. Tujuan International Criminal of Court (ICC) adalah untuk mengadili tindak pidana
yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) Genocide (2) Crime
Against Humanity (3) Kejahatan terhadap hukum humaniter (4) Kejahatan Agresi. International
Criminal of Court (ICC) menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu baik
sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak.
Dalam hal ini memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana
tersebut. Dasar pendiriannya adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani
kejahatan genosida, crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi (2)
Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity). Dengan bertolak dari ranah yurisdiksi
yang ada dalam Mahkamah Tokyo, maka menurut penulis dapat dikatakan bahwa tindakan agresi
militer Negara Israel telah masuk dalam unsure pidana secara internasional. Dengan demikian
semua tentara yang terlibat dalam agresi yang menyebabkan terjadinya warga sipil menderita dan
bahkan menyebabkan kematian harus segara diadili sesuai hukum yang berlaku.
Dalam perspektif kinerja dari Mahkamah Pidana Internasional atau pun Mahkamah
Tokyo banyak terdapat kelemahan. Kendati menjadi harapan satu satunya untuk menyeret
kejahatan perang Israel adanya Statuta Roma sebagai dasar pembentukannya tidak berlaku surut,
artinya kejahatan perang sebelum Statuta ini lahir (Tahun 1998) besar kemungkinan sulit untuk
diadili. Kemudian Mahkamah Pidana Internasional hanya bisa dijalankan setelah statuta
dinyatakan berlaku (minimal 60 negara telah meratifikasi). Disampng itu meskipun bukan organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun Dewan Keamanan PBB berperan penting dalam
operasional mahkamah ini. Adanya otoritas hukum nasional didahulukan dan dihargai akan
menimbulakan tumpang tindihnya pemberian peran kepada Dewan Keamanan dalam Statuta
Roma adalah melanggar hukum internasional. Hal ini disebabkan di bawah Statuta Roma Dewan
Keamanan PBB dapat mensponsori ataupun merujuk pada sebuah situasi yang melibatkan
wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam piagam Perserikatan BangsaBangsa (PBB).
Chibli Mallat adalah seorang pengacara yang menjadi kuasa hukum 23 korban
kejahatan perang Israel di Shabra Shatilla, Lebanon pada Tahun 1982 yang akan menggugat
Ariel Sharon di pengadilan Belgia. Ia mengatakan bahwa kesulitan menyeret Israel ke

mahkamah kejahatan perang utamanya adalah menentukan tindakan Israel sebagai suatu
kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
ataupun sebagai pembantaian massal (genocide). Oleh karena itu, kendati tersedia cukup saksi
dan cukup bukti prosesnya teramat sulit.Pada kasus Jenin Bulan April Tahun 2002. Harian The
Independent terbitan Inggris menyebutkan bahwa 50 orang tewas di Jenin termasuk warga sipil,
perempuan, orang tua dan dan anak-anak. Bahkan, utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
Terje Roed Larsen yang sempat datang ke Jenin mengaku kaget melihat ada warga yang
mengangkat jenazah ayahnya dari reruntuhan. Para pekerja kemanusiaan yang ada di Jenin
semuanya nyaris tak mempercayai penglihatannya. (www.ummahnews.com/diakses tanggal 3
Juni 2010). Dari realita dan fakta hukum ini Negara Israel sebagai negara yang mengaku
berdaulat dan telah melakukan langsung sejumlah kejahatan perang, genosida, dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, semestinya berada di garda terdepan dalam menindak para penjahat
perangnya. Apalagi Israel telah meratifikasi begitu banyak perjanjian internasional di bidang
Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap unable dan unwilling dari Israel akan menjadi tanggungjawab
berikutnya tentunya terletak pada Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) utamanya Dewan
Keamanan PBB untuk mensponsori penyelidikan, penuntutan, dan mahkamah kejahatan perang
untuk Israel. Dewan Keamanan PBB memiliki cukup otoritas untuk membentuk mahkamah
kejahatan perang ad hoc, ataupun setelah lahirnya mahkamah pidana internasional untuk Israel.
Segala saksi dan alat bukti sudah tersedia, kendati untuk membuktikannya perlu perjuangan
keras. Tanggungjawab berikutnya adalah pada masyarakat internasional utamanya dari negaranegara berpenduduk muslim untuk mendesak Dewan Keamanan PBB agar bersikap tegas dalam
konflik Israel dan Palestina.
http://sayfudin27071992.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-in-x-nonex_4393.html

Anda mungkin juga menyukai