Anda di halaman 1dari 56

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangan kehidupan masyarakat internasional diusahakan cara-

cara untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan adil di dalam lingkup

kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat internasional. Salah satu cara, yaitu

dengan memperhatikan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap tiap

orang dengan berbagai latar belakang. HAM merupakan sesuatu yang dimiliki

secara mutlak oleh manusia sebagai subjek hukum dan terhadap sesuatu yang

menjadi haknya. Dengan memiliki HAM berarti individu tersebut memiliki

kebebasan dan kewenangan mutlak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang

tidak melanggar HAM yang dimiliki oleh orang lain. 1 Untuk melindungi HAM

dalam kehidupan masyarakat internasional maka diaturlah di dalam hukum

internasional, yang menjadi dasar bagi instrumen-instrumen hukum terhadap

HAM internasional, yaitu Deklrasi Universal HAM yang disahkan pada tahun

1948 setelah perjalanan panjang.

Hukum internasional adalah aturan-aturan yang mengatur mengenai tatanan

kehidupan masyarakat internasional. Hukum internasional tradisional membuat

perbedaan konseptual yang keras antara perdamaian dan perang. Dari hal tersebut

maka berbagai macam hukum dikembangkan dan dibuat untuk dapat diterapkan,

1
A. Widiada Gunakaya, “Hukum Hak Asasi Manusia”, ANDI, Yogyakarta, 2017, hal 50-
51.
2

yakni hukum perdamaian (the law of peace), hukum perang (the law of war), dan

hukum netralitas (the law of neutrality) dengan mengacu kepada ada atau tidak

adanya keadaan teknis perang atau berperang.2

Dalam perkembangan hukum internasional terjadi pembaharuan-pembaharuan

mengenai instrumen-instrumen hukumnya untuk dapat menjaga perdamaian,

keamanan, keadilan dan keteraturan dalam pemenuhan HAM bagi perorangan

maupun kelompok di dalam kehidupan masyarakat internasional. Dalam

pembaharuan hukum internasional, lahirlah hukum humaniter internasional

(international humanitarian law/IHL) sebagai sebuah bidang baru di dalam

hukum internasional. Istilah untuk hukum humaniter sendiri awalnya berasal dari

istilah hukum perang (laws of war), dan dalam perkembangannya berubah

menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict) dan pada akhirnya

dikenal sebagai hukum humaniter sampai dengan pada saat ini.

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua, yaitu hukum yang

mengatur mengenai cara dan alat untuk yang boleh digunakan saat berperang, dan

yang kedua sebagai hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap

kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang yang terjadi. Selain pendapat

daripada Haryomataram terdapat pendapat lain yang juga diutarakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, ia membagi hukum perang menjadi dua, yaitu sebagai jus ad

bellum (the justification of war) yang merupakan hukum mengenai perang dan jus

in bello (the conduct of war) yang merupakan hukum yang berlaku dalam perang.3

2
Lung-chu Chen, “An Introduction to Contemporary International Law: A Policy
International Law Perspective”, Oxford Universitty Press, New York, 2015, hal 392.
3
Arlina Permanasari dkk., “Pengantar Hukum Humaniter”, ICRC, Jakarta, 1999, hal 5-6.
3

Jus ad bellum merupakan hukum mengenai perang yang di dalamnya

mengatur mengenai cara bagaimana negara dapat dibenarkan dalam menggunakan

senjata di dalam konflik, sedangkan jus in bello merupakan hukum yang berlaku

di dalam perang yang kemudian dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang mengatur

cara dilakukannya perang (hague laws) dan hukum yang mengatur perlindungan

orang-orang dan korban perang (geneva laws). Usaha untuk memanusiakan

perang, maka lahirlah Hukum Jenewa (geneva laws) dan Hukum Den Haag

(hague laws) yang mengatur mengenai perang.

Hukum humaniter internasional sebagai cabang ilmu daripada hukum

internasional yang membatasi penggunaan kekerasan dalam konflik bersenjata

dengan cara membagi yang tidak atau tidak lagi secara langsung berpartisipasi di

dalam peperangan dan membatasi terjadinya pendekatan yang tidak perlu atau

tidak wajar untuk tujuan konflik yang dimana untuk tujuan daripada hal-hal yang

diperjuangkan untuk dapat melemahkan potensi militer daripada pihak lawan.4

Hukum humaniter internasional atau jus in bello (law in war) merupakan salah

satu bagian daripada hukum internasional yang tertua dengan memiliki tujuan

untuk meregulasi tingkah laku daripada negara dan individu dalam konflik

bersenjata, dan melindungi orang dan properti.5 Hukum humaniter melindungi

HAM ditengah-tengah konflik dengan cara membatasi perlakuan-perlakuan yang

dapat menimbulkan pelanggaran serius yang tidak diperlukan untuk

4
Marco Sassoli dkk, “How Does Law Protect in War?:Cases,Documents and Teaching
Materials on Contemporary Practice in International Humanitarian Law”, ICRC, Geneva, 2011,
hal 1.
5
Emily Crawford dan Alison Pert, “International Humanitarian Law”, Cambridge
University Press, UK, 2015, hal 93.
4

memenangkan konflik, hal tersebut dapat dilihat daripada aturan-aturan mengenai

pembatasan-pembatasan terkait dengan konflik bersenjata di dalam instrumen-

instrumen hukum humaniter internasional.

Terdapat sumber-sumber hukum bagi humaniter internasional, yaitu

diantaranya terdapat Hague Law (Konvensi Den Haag 1899 dan 1907), Geneva

Law (Konvensi Jenewa 1949), Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II. Dari

sumber-sumber hukum tersebutlah maka ditetapkannya pembatasan-pembatasan

di dalam konflik bersenjata melalui prinsip-prinsip dasar yang terdapat di

dalamnya, yaitu:

1) Membedakan antara warga sipil dan kombatan (the distinction


between civilians and combatants),
2) Larangan menyerang hors de combat (the prohibitions to attack
those hors de combat)6,
3) Larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu (the
prohibitions to inflict unnecessary suffering),
4) Prinsip keharusan (the principle of necessity),
5) Prinsip proposionalitas (the principle of proportionality).7

Hukum humaniter lahir dari sejarah yang panjang untuk dapat memanusiakan

perang. Karena banyaknya hal-hal yang dianggap tidak manusiawi yang terjadi di

dalam perang, maka disitulah tujuan daripada hukum humaniter untuk dapat

memanusiakan peperangan walaupun dalam kenyataan yang ada acap kali

mengalami pasang surut, adanya hambatan, dan berbagai kesulitan, namun dengan

instrumen-instrumen hukum yang ada membantu melindungi HAM di tengah-

tengah konflik bersenjata dengan memuat mengenai pembatasan-pembatasan


6
Siapa pun yang berada dalam kekuasaan pihak lawan, siapa saja yang tidak berdaya
karena tidak sadarkan diri, kapal karam, luka atau sakit, atau setiap orang yang dengan jelas
menyatakan niat untuk menyerah asalkan dia tidak melakukan tindakan permusuhan dan tidak
berusaha untuk melarikan diri.
7
Marco Sassoli dkk, op.cit, hal 3.
5

dalam cara berperang. Secara umum hukum perang mengatur mengenai konflik

militer yang terjadi diantara negara dan negara, namun dalam perkembangannya

terdapat konflik militer yang berasal dari dalam negara yakni yang disebut sebagai

perang saudara (civil war).

Perang saudara merupakan konflik bersenjata yang terjadi diantara pemerintah

dan grup lainnya yang berasal dari negara yang sama. 8 Istilah perang saudara di

dalam hukum internasional dikenal dengan non-international armed conflict.

Kenyataannya tidak selalu mudah untuk menentukan kapan suatu situasi

kekerasan di dalam suatu negara harus diklasifikasikan sebagai non-international

armed conlifct. Situasi kekerasan dianggap hanya sebagai salah satu perselisihan

internal atau gangguan sipil.

Hukum internasional menganggap bahwa itu tidak mencapai ambang batas

konflik bersenjata dan hukum humaniter internasional tidak berlaku, namun jika

kekerasan internal mencapai ambang batas ini, hukum humaniter internasional

akan berlaku untuk konflik bersenjata internal tersebut. 9 Common rules 3 Umum

pada keempat Konvensi Jenewa 1949 tidak secara spesifik menentukan mengenai

kapan hal itu akan diterapkan, namun hanya mengacu pada ‘konflik bersenjata

yang tidak bersifat internasional yang terjadi di wilayah salah satu High

Contracting Parties’. Persoalan konflik tersebut terjadi atau tidak ditentukan oleh

kriteria yang telah disempurnakan oleh hukum kebiasaan internasional. Dalam

kasus Tadić, Kamar Banding International Criminal Tribunal for the Former
8
Black Law Dictionary (https://thelawdictionary.org/civil-war/, Diakses pada 16
September 2021).
9
Elizabeth Wilmshurst, “International Law and the Classification of Conflicts”, Oxford
University Press, UK, 2012, hal 150.
6

Yugoslavia (ICTY) mengacu pada konflik bersenjata non-internasional sebagai

situasi 'kekerasan bersenjata yang berkepanjangan antara otoritas pemerintah dan

kelompok bersenjata terorganisir atau antara kelompok-kelompok tersebut dalam

suatu negara.10

Saat ini perang saudara masih terjadi di beberapa Negara salah satu

diantaranya, yaitu perang saudara yang masih berlangsung di Kamerun. Kamerun

merupakan sebuah negara yang berada di benua Afrika, untuk dapat memahami

konflik yang masih berlangsung di Kamerun kita harus mengetahui mengenai

sejarah berdirinya Kamerun. Pada tahun 1884 Kamerun merupakan protektorat

dari pada Jerman, kemudian Jerman didorong keluar dari Kamerun pada tahun

1915 oleh Inggris dan Perancis pada Perang Dunia I 11, pada tahun 1919 dengan

Deklarasi London Kamerun terbagi menjadi Kamerun dengan Wilayah

Administratif Perancis (80%) dan Wilayah Administratif Inggirs (20%) 12 di mana

di wilayah barat daya dan barat laut merupakan wilayah administratif Inggris,

pada tahun 1960 wilayah administratif Perancis di Kamerun merdeka dan berganti

nama menjadi Republik Kamerun pada 1 Januari, menyusul kemerdekaan

Republik Kamerun yang difasilitasi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

kemudian bagian utara wilayah administratif Inggris memilih untuk bergabung

10
Tadic Juridiction, Paragraph 70 (Diakses 13 Oktober 2021.
https://www.icty.org/x/cases/tadic/acdec/en/51002.htm) Elizabeth Wilmshurst, “International Law
and the Classification of Conflicts”, Oxford University Press, UK, 2012, hal 150.
11
International Crisis Group, “Cameroon: Fragile State?”, 2010, hal 31-33
(https://www.crisisgroup.org/africa/central-africa/cameroon/cameroon-fragile-state, Diakses pada
28 Desember 2021).
12
Cameroon profile – Timeline (https://www.bbc.com/news/world-africa-13148483,
Diakses 28 Desember 2021).
7

dengan Nigeria dan bagian selatan memilih untuk bergabung dengan Republik

Kamerun.13

Di Kamerun dua wilayah yang diwariskan daripada aturan jajahan Inggris dan

Perancis dan dengan warisan budaya, bahasa, perbedaan keadaan dalam kemajuan

ekonomi harus disatukan.14 Perbedaan yang ada diantara kedua kelompok

masyarakat tersebut menimbulkan permasalahan sosial dan politik ditengah-

tengah kehidupan masyarakat, konflik yang terjadi di Kamerun sekarang ini

disebabkan oleh beberapa faktor permasalahan yang ada dan terjadi di dalam

masyarakat yang kemudian dijelaskan oleh Abiem a Tchoyi, yaitu:

1) Kritik terhadap negara yang tersentralisasi


2) Pemindahan pusat pengambilan keputusan ke Yaounde yang jauh dari
populasi Anglophone dan masalah mereka,
3) Kegagalan untuk menghormati komitmen untuk secara adil
mempertimbangkan budaya dan tradisi kelembagaan, hukum dan
administratif yang diwarisi dari kekuasaan administrasi sebelumnya
4) Ketidakpatuhan terhadap janji-janji yang dibuat selama kampanye
referendum yang mengacu pada plebisit 1961 dan referendum 1972
5) Perubahan nama negara dari Persatuan negara Kamerun menjadi Republik
Kamerun
6) Tidak menghormati bilingualism di sektor publik, walaupun konstitusi
menetapkan bahasa Perancis dan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi yang
memiliki status yang sama.15
Permasalahan yang ada di dalam masyarakat seperti yang telah disebutkan di

atas, konflik yang sekarang terjadi karena permasalahan-permasalahan tersebut

belum terselesaikan di dalam masyarakat dan terjadinya perang saudara bermula

13
International Crisis Group, op.cit, hal 31
14
Piet Konings & Francis B. Nyamnjoh, “Negotiating an Anglophone Identity: A Study of
the Politics of Recognition and Representation in Cameroon”, Brill, Leiden, The Netherlands,
2003, Hal 2.
15
Okereke, C. Nna-Emeka. “Analysing Cameroon’s Anglophone Crisis”, Counter
Terrorist Trends and Analyses, vol. 10, no. 3, International Centre for Political Violence and
Terrorism Research, 2018, hal 8( http://www.jstor.org/stable/26380430, Diaskes 29 Desember
2021)
8

pada tahun 2016, saat penduduk yang berbahasa Inggris melakukan demonstrasi

damai yang dilakukan oleh pengacara dan guru subsistem Anglo-Saxon karena

merasa tersisihkan dengan defisit infrastruktur di lingkungan mereka, rendahnya

perwakilan penduduk mereka di pemerintahan maupun dalam pendidikan.

Demonstrasi yang dilakukan pada tahun 2016 berakhir dengan penangkapan

masal dan pemutusan internet di wilayah berbahasa Inggris selama 94 hari.16

Desember 2016, seorang pengacara dan aktivis yang bernama Felix Agbor

Balla membentuk Cameroon Anglophone Civil Society Consortium (CACSC)

yang memperjuangkan tuntutan awal komunitas Anglophone, yaitu berakhirnya

marginalisasi dan disposisi aneksasionis Yaounde, kembali ke federasi dua negara

bagian di pengelolaan urusan publik di Kamerun yang merupakan dasar dari

serikat pekerja masuk pada tahun 1961, pelestarian hukum Anglophone dan

sistem pendidikan Anglophone Kamerun, pembebasan tanpa syarat lebih dari 100

warga Kamerun yang ditangkap sehubungan dengan protes di wilayah barat laut

dan barat daya, dan pemulihan segera layanan internet di seluruh wilayah

Anglophone.17

Presiden Biya dalam menanggapi tuntutan dari kelompok Anglophone

menggambarkan para agitator sebagai kelompok ekstremis yang diungkapkan

dalam pidatonya pada malam tahun baru. Agbor Balla pada Januari 2017

menanggapi Presiden Biya dengan menyatakan Operation Ghost Town

Resistance/Operasi Perlawanan Kota Hantu (OGTR), di mana setiap hari senin


16
Perang Saudara Panjang Kamerun (https://worldbeyondwar.org/id/cameroons-long-
civil-war/ , Diakses 8 Desember 2021)
17
Okereke, C. Nna-Emeka, op.cit, hal 9( http://www.jstor.org/stable/26380430, Diaskes
29 Desember 2021)
9

dan selasa atau hari lainnya yang dideklarasikan oleh pimpinan CASC kedua

penghuni wilayah Anglophone di Kamerun harus berada jauh dari kantor dan

tempat usaha untuk membuat kegiatan politik dan ekonomi terhenti. Presiden

Biya menanggapi OGTR dengan pelarangan CACSC dengan melakukan

penangkapan dan penahanan pemimpinnya.18

Setelah penangkapan pemimpin CACSC, diaspora Anglophone mengambil

alih kepemimpinan dan mengganti pencarian awal untuk restorasi federalisme dua

negara bagian dengan tuntutan negara bagian Ambazonia yang terpisah. Beberapa

kelompok kemudian bergabung19 dan The Southern Cameroons Ambazonia

Consortium United Front (SCACUF) menjadi organisasi payung bagi semua

kelompok ini dan mendirikan perusahaan penyiaran untuk mempertahankan

aspirasi Anglophone melalui propaganda. Tujuan politk SCACUF untuk dapat

mencapainya, SCACUF menggunakan beragam taktik diantaranya, yaitu OGTR

dan protes masal, juga dengan melakukan langkah-langkah diplomatik dengan

berbaris ke berbagai kedutaan besar dan komisi besar Kamerun di Afrika, Eropa

dan Amerika dan memperkejarkan praktisi hukum internasional untuk mencapai

tujuannya.20

Sejak september 2017, nasionalisme Anglophone di Kamerun berubah secara

bertahap menjadi penuh dengan kekerasan mereka melakukan serangan berupa


18
Ibid.
19
Kelompok-kelompok yang bergabung yaitu CACSC, Southern Cameroon Peoples
Organization (SCAPO), Southern Cameroons South Africa Forum (SCSAF), Movement for the
Restoration of Independence in Southern Cameroon (MoRISC), Southern Cameroonians in
Nigeria (SCINGA), Southern Cameroon National Council (SCNC), Republic of Ambazonia
(RoA), Ambazonia Governing Council (AGC) dan the Southern Cameroon Youth League
(SCYL).
20
Okereke, C. Nna-Emeka, op.cit, hal 10( http://www.jstor.org/stable/26380430, Diaskes
29 Desember 2021).
10

pembakaran sekolah, pengeboman, dan serangan terhadap infrastruktur, serangan

terhadap militer dan anggota keamanan, dan orang-orang yang dirugikan oleh

militant Angglophone berlarut ke Maret 2018. Pada Agustus 2017, terjadi

penangkapan 5 orang di mana ditemukannya berbagai jenis senjata api dan

penyitaan.

22 September 2017, terjadi protes masal di seluruh kota di wilayah barat laut,

dan barat daya menuntut pemisahan dari Kamerun, protes juga dilakukan di ibu

kota besar di seluruh dunia termasuk di markas PBB. Presiden Biya menyatakan

perang terhadap kelompok separatis Anglophone dalam sebuah pernyataan pada

November 2017 dengan mengambil semua tindakan keamanan untuk memulihkan

perdamaian. Operasi militer dan kemanan oleh pemerintah Kamerun telah

menyebabkan lebih dari 30.000 pengungsi dari Kamerun. Terhitung per 3

Februari 2018, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) telah berhasil

mendaftarkan 14.057 pencari suaka dari Kamerun..21

Akibat daripada konflik yang terjadi di Kamerun, terjadinya pelanggaran-

pelanggaran dalam perang dimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi

merupakan pelanggaran terhadap HAM dimana kedua belah pihak, yaitu

kelompok bersenjata Anglophone dan pemerintah Kamerun yang terlibat

melanggar HAM.22. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada konflik

yang terjadi di Kamerun berdasarkan laporan Amnesty Internasional tahun 2020

tentang Kamerun yaitu perlakuan kejam oleh kelompok bersenjata separatis

21
Ibid, hal 10,12.
22
Cameroon 2020 (https://www.amnesty.org/en/location/africa/west-and-central-africa/
cameroon/report-cameroon/, Diakses 8 Desember 2021)
11

Angolophone yang dimana penyerangan tersebut menargetkan orang-orang yang

dianggap sebagai pendukung pemerintah di wilayah Barat Laut dan Barat Daya,

pembunuhan di luar hukum oleh militer dengan melakukan serangan terhadap

desa-desa di mana orang-orang dibunuh secara tidak sah dan rumah mereka

dihancurkan, internally displaced people23, kekerasan berbasis gender di mana

penyintas kejahatan kekerasan berbasis gender sebagian besar adalah perempuan

(64%), pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul, penyiksaan dan

perlakuan buruk lainnya.

Berdasarkan laporan daripada Human Rights Watch (HRW) terhadap

pelanggaran HAM di Kamerun per tahun 2020 terjadi penyerangan di sekolah-

sekolah, pembunuhan dan melukai anak-anak, merekrut dan menggunakan anak-

anak sebagai tentara dalam perang, berdasarkan kondisi tersebut PBB menetapkan

Kamerun ke dalam situasi keprihatinan atas mekanisme pemantauan dan

pelaporan PBB tentang pelanggaran berat terhadap anak-anak selama konflik

bersenjata.24

Berdasarkan penjelasan di atas dengan adanya konflik bersenjata yang terjadi

di sebuah negara atau perang saudara dan pelanggaran HAM yang terjadi yang

dilakukan oleh pemerintah yang sah maupun kelompok yang memberontak di

Kamerun, penulis ingin melihat mengenai perlindungan hukum humaniter dalam

perang saudara di suatu negara dan akibat hukum yang terjadi oleh karena itu

23
Internall displace people (IDPs) dalam hukum humaniter internasional merupakan
mereka yang dipaksa atau diharuskan untuk meninggalkan rumah tempat tinggal mereka dengan
alasan yang terkait dengan perang dan kekerasan lainnya
24
Cameroon Events of 2020
(https://www.hrw.org/world-report/2021/country-chapters/cameroon, Diakses 29 Desember 2021)
12

penulis mengangkan judul “Perlindungan Hukum Humaniter Internasioal

Terhadap HAM Akibat Perang Saudara di Kamerun”

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini dengan latar belakang masalah yang ada, maka penulis

mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum humaniter internasional mengatur perang saudara di suatu

negara?

2. Apakah akibat hukum perang saudara terhadap pelanggaran HAM di

Kamerun?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka

penelitian ini memiliki tujuan, yaitu untuk:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang perang saudara di

suatu Negara di dalam hukum humaniter internasional.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum yang terjadi dalam perang

saudara terhadap pelanggaran HAM.

D. Manfaat Penelitian
13

Di dalam penulisan daripada penelitian memiliki manfaat yang terbagi dua,

yaitu:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian secara teoritis daripada penelitian ini, yaitu penulis

berharap melalui penulisan penelitian ini untuk dapat menyumbangkan pemikiran

terhadap hukum humaniter internasional dan akibat hukum daripada pelanggaran

HAM dalam konflik perang saudara.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian secara praktik, penulis berharap melalui penulisan

penelitian ini dapat bermanfaat untuk dapat menyelesaikan permasalahan-

permasalahan yang ada dalam pengembangan bidang hukum internasional, serta

dapat menjadi acuan dalam praktik hukum humaniter internasional.

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Perlindungan Hukum Humaniter

Perlindungan hukum atau legal protection dalam bahasa inggris dan rechts

bescherming dalam bahasa belanda secara etimologi terdiri dari dua suku kata,

yaitu perlindungan dan hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal (perbuatan dan

sebagainya), proses, cara, perbuatan melindungi.25

25
Kamus Besar Bahasa Indoesia (KBBI) Online (https://kbbi.web.id/perlindungan. Diakses
13 Oktober 2021)
14

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai upaya dalam pemenuhan hak

dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau

korban, yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi,

kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.26 Muchsin membedakan

perlindungan hukum menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif yang

adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran, dan perlindungan hukum represif yang

adalah perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman

tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.27

2. Konsep Pelanggaran HAM

Berbicara mengenai HAM, maka mengacu kepada “hak asasi” dan

manusia. Hak merupakan kepentingan yang dilindungi oleh hukum dan hak asasi

merupakan kepentingan mendasar dan bersifat sangat mutlak yang harus

dilindungi oleh hukum. HAM adalah hak-hak absolut yang melekat terhadap

hakikat dan keberadaan manusia, yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi,

dan diproteksi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang.28

Terdapat berbagai macam hak yang dimiliki tiap individu, dari segi

eksistensi hak itu sendiri terdapat dua macam hak, yaitu hak orisinal dan hak

derivatif. Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat

26
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1984, hal. 133
27
Muchsin, “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”, magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2003, hal. 20.
28
A. Widiada Gunakarya, op.cit, hal 49,51.
15

hal politik dan hak dasar yang kemudian terdapat hak dasar bersifat klasik dan hak

dasar sosial.29 Hak-hak yang dimiliki oleh tiap-tiap individu ini telah diatur di

dalam instrument-instrumen hukum internasioan maupun nasional, namun hal

tersebut tidak menjamin tidak terjadinya pelanggaran HAM.

Terdapat dua jenis pelanggaran HAM, yaitu negara yang melanggar HAM

secara sengaja maupun tidak sengaja dan negara yang gagal melindungi HAM

daripada masyarakatnya.30 Pelanggaran HAM dapat berupa pelanggaran HAM

terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM serius. Pelanggaran HAM terhadap

kemanusiaan diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dijelaskan di dalam

pasal 7 Statuta Roma berdasarkan definisi daripada Statuta Roma kejahatan

terhadap kemanusiaan dapat dilakukan baik selama “masa damai” dan konflik

bersenjata.31

Pelanggaran HAM serius memiliki konsep yang lebih luas daripada

kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM serius dapat dianggap

sebagai konsep payung yang juga termasuk kategori lain dari kejahatan

internasional seperti genosida. Antara pelanggaran HAM kemanusiaan dan

pelanggaran HAM serius terdapat hubungan berdasarkan hukum internasional,

hubungan ini bersifat dekat dan intrinsik meskipun dua kategori tetap otonom satu

sama lain. Perbedaan dan persamaan di antara mereka menunjukkan bahwa


29
Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008, hal 158-
159.
30
What Are Human Rights Violations?,
https://www.humanrightscareers.com/issues/what-are-human-rights-violations/, diakses 13 Maret
2022.
31
Pérez-León Acevedo, J. P, “The close relationship between serious human rights
violations and crimes against humanity: International criminalization of serious abuses” Anuario
Mexicano de Derecho Internacional, 2017, hal 149-150
(https://doi.org/10.22201/iij.24487872e.2017.17.11034. Diakses 23 Maret 2022).
16

mereka saling terkait. Hubungan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan

terhadap kemanusiaan diwujudkan dalam dua hal yang saling melengkapi pada

satu sisi, pelanggaran HAM yang berat mungkin dan telah dikriminalisasi sebagai

kejahatan terhadap kemanusiaan dan, oleh karena itu, merupakan kategori

kejahatan internasional ini. Di sisi lain, kejahatan terhadap kemanusiaan

merupakan manifestasi yang sangat penting dari pelanggaran HAM berat di

bidang hukum pidana internasional.32

3. Konsep Perang Saudara

Konflik bersenjata dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu

international armed conflict dan non-international armed conflict. Istilah perang

saudara atau civil war dikenal di dalam hukum humaniter internasional sebagai

non-international armed conflict, hukum humaniter internasional baru mengenal

konsep perang saudara pada periode setelah perdamaian Westphalia dan sampai

berlakunya hukum perang internasional barulah adanya pembedaan antara

international dan non-international armed conflict.33

Non-international armed conflict merupakan situasi saat dimana kekerasan

yang melibatkan konfrontasi bersenjata yang berkepanjangan antara pasukan

pemerintah dan satu atau lebih kelompok bersenjata terorganisir, atau antara

kelompok-kelompok itu sendiri, yang timbul di wilayah suatu negara. Sedangkan

untuk international armed conflict merupakan konflik bersenjata yang terjadi di

mana menentang angkatan bersenjata negara, dalam konflik bersenjata non-

32
Pérez-León Acevedo, J. P, op.cit, hal 153-154, 185
33
Elizabeth Wilmshurst op.cit,, hal 123.
17

internasional setidaknya salah satu dari dua pihak yang berlawanan adalah

kelompok bersenjata non-negara.34

Dalam pasal 8 ayat 2 huruf f Statuta International Criminal Court (ICC) yang

diadopsi, non-international armed conflict tidak termasuk situasi gangguan dan

ketegangan internal, seperti kerusuhan, tindakan kekerasan yang terisolasi dan

sporadis atau tindakan lain yang serupa. Non-international armed ada saat

pertama-tama harus ada pihak-pihak dalam konflik itu. Hukum kebiasaan

internasional membuktikan bahwa non-international armed conflict yang diatur

oleh common Article 3 Konvensi Jenewa dapat berupa konflik antara suatu negara

dan kelompok non-negara atau sebagai alternatif, dapat berupa konflik yang

timbul antara kelompok-kelompok non-negara, hal ini jelas bahwa dalam semua

konflik bersenjata non-internasional, setidaknya satu pihak harus dianggap

sebagai kelompok non-negara dan hukum humaniter internasional memberikan

aturan untuk menentukan kapan kelompok tersebut dapat dianggap sebagai pihak

dalam konflik bersenjata. Untuk menjadi pihak dalam konflik bersenjata,

kelompok non-negara harus memiliki tingkat organisasi tertentu dengan struktur

komando.35

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Di dalam proses penulisan penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum

normatif atau normative legal research. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan

34
https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/interview/2012/12-10-niac-non-
international-armed-conflict.htm (Diakses 22 September 2021).
35
Elizabeth Wilmshurst, op.cit, hal 150-151.
18

bahwa penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang di dalamnya

berproses untuk dapat menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum untuk dapat menjawab permasalahan hukum yang

dihadapi.36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji juga berpendapat bahwa penelitian

hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan

menggunakan cara yakni meneliti bahan kepustakaan yang adalah data sekunder.37

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan pendekatan yang digunakan penulis di dalam

penelitian ini yang dimana membantu penulis dalam cara pandang agar mampu

membahas dan menjelaskan substansi daripada penulisan ini. Pendekatan masalah

dijelaskan oleh I Made Pasek Diantha sebagai cara pandang peneliti untuk dapat

memilih spektrum ruang bahasan38, oleh karena itu dalam penulisan ini penulisan

menggunakan pendekatan masalah sebagai berikut, yaitu:

1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dimana penulis

menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal dalam

melakukan analisis39. Peraturan perundang-undangan yang digunakan

penulis dalam penulisan ini, yaitu Konvensi Jenewa, Protokol Tambahan

II, dan Statuta Roma.

36
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris”, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, hal 34.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat”, Jakarta, Rajawali Press, 2009, hal 15.
38
I Made Pasek Diantha, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum”, Jakarta, Kencana, 2016, hal. 156.
39
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit, hal 185.
19

2) Penulis juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach)

dimana Marzuki berpendapat bahwa penelitian yang menggunakan

pendekatan konseptual dilakukan saat peneliti tidak beranjak dari aturan

hukum yang ada40,

3) Pendekatan yang terakhir, yaitu pendekatan kasus (case approach) yang

dilakukan dengan terfokus pada kasus untuk dapat mengolah dan

menganalisis kasus yang diangkat dalam penulisan yang kemudian diambil

kesimpulan daripadanya.41

3. Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang terdapat dalam penulisan ini berasal dari tiga

macam bahan pustaka, yaitu:

1) Bahan hukum primer berupa aturan-aturan yang mengatur, yaitu Konvensi

Jenewa, Protokol Tambahan II dan Statuta Roma.

2) Bahan hukum sekunder berupa data kepustakaan, yaitu jurnal-jurnal

hukum, buku-buku hukum, dan internet.

3) Bahan hukum tersier yang merupakan pelengkap seperti kamus hukum.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

40
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana, 2014, hal
177.
41
Saefullah Wiradipradja, “Penuntun Praktisi Metode Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmiah Hukum”, Keni Media, Jakarta, 2015, hal 41.
20

Di dalam penelitian ini prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan bahan

hukum, yaitu dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research)

yang dimana bahan-bahan hukum yang dikumpulkan kemudian dibaca dan

mengklasifikasikannya menjadi satu.

5. Pengelolaan dan Prosedur Analisa Bahan Hukum

Pengelolaan bahan hukum di dalam penulisan ini dilakukan dengan cara

menganalisa bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan secara kualitatif dengan

melihat realitas hukum yang mendasari pengumpulan bahan-bahan hukum.42

42
Afrizal, “Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu”, Cetakan ke 2, Rajawali Press, Jakarta, 2015,
hal 28-29.
21

BAB II
PENGATURAN PERANG SAUDARA DI SUATU NEGARA DALAM
HUKUM HUMANITER

A. Sejarah Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional dikenal juga sebagai hukum perang atau

hukum konflik bersenjata. Istilah hukum humaniter lahir sekitar tahun 1970-an

ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the

Reaffirmation and Development in Armed Conflict. Hukum humaniter

internasional merupakan bagian daripada hukum internasional. Hukum humaniter

walaupun dianggap baru, namun memiliki sejarah yang panjang dan sama tuanya

dengan perang itu sendiri dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di

bumi.43

Hukum humaniter merupakan bentuk daripada upaya masyarakat

internasional untuk dapat memanusiakan perang. Hukum humaniter yang ada

sekarang telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dalam rentang

waktu yang lama untuk dapat memanusiakan perang dengan mengatur mengenai

batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam perang.44 Berikut ini

adalah sejarah hukum humaniter internasional dibagi menjadi tiga periode, yaitu

zaman kuno, abad pertengahan, dan zaman modern:

1. Zaman Kuno
43
Arlina Permanasari dkk., op.cit, hal 8 & 12
44
Ibid, hal 13
22

Hukum yang mengatur mengenai perang sudah ada sejak zaman kuno dimana

pada saat itu pemimpin militer memerintahkan untuk menyelamatkan pihak

musuh yang tertangkap dan memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan

penduduk sipil yang bukan hanya berada pada wilayah mereka namun juga yang

berada di wilayah musuh, dan saat waktu penghentian permusuhan maka para

pihak yang terlibat di dalam perang menyepakati untuk memperlakukan tawanan

perang dengan baik. Petempuran pada zaman kuno hanya berlangsung selama 15

hari saat ada yang terbunuh dan terluka, teknis perang pada saat itu dengan ujung

panah tidak mengarah ke hati untuk mengabaikan luka yang berlebihan. Sebagian

yang ikut andil dalam perang telah mengakui bahwa dengan mengatur mengenai

batas-batas tertentu dalam cara mereka melakukan permusuhan dapat

menguntungkan.45

Upaya mengenai pengaturan dalam medan perang juga ditemukan dalam

kehidupan peradaban-peradaban besar yang berada dalam rentang waktu 3000-

1500 SM. Cerita yang diceritakan oleh Herodotus tentang Persia dan Sparta

mengindikasi nilai daripada batasan-batasan yang diakui oleh Raja Persia Xerxes

dimana pada saat itu Sparta atau yang dikenal juga dengan Lacedaemon telah

membunuh pembawa pesan yang dikirim oleh Raja Xerxes dari Persia untuk

mengatur negosiasi, kemudian Sparta mengirim utusan ke Persia dimana mereka

harus membayar kejahatan itu dengan nyawa mereka, namun Raja Xerxes

menolah untuk melakukannya karena dia tidak ingin menjadi seperti bangsa

45
Ibid, hal 13-14
23

Sparta yang melanggar kebiasaan yang ada diantara mereka pada saat itu. 46

Pengaturan dalam medan perang terdapat juga di Mesir Kuno dengan adanya

perintah untuk memberikan makan, minum, pakaian dan perlindungan kepada

musuh juga untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati seperti yang

disebutkan di dalam “Seven Works of True Mercy”. 47

Pengaturan perang di Indonesia pada zaman kuno sendiri, yaitu berupa

pernyataan perang, perlakuan tawanan, larangan menjadikan wanita dan anak-

anak sebagai target untuk diserang saat perang. Gagasan bahwa masyarakat yang

benar-benar "beradab" harus menetapkan batas-batas bahkan di dalam perang

tidak hanya terbatas pada mereka yang berada di Negara-negara barat. Seorang

ahli strategi militer Cina yang terkenal yakni Sun Tzu, melalui tulisannya dalam

“The Art of War” tentang hubungan antara perang dan politik mengantisipasi

banyak pemikiran kontemporer tentang masalah seperti itu dan membahas

mengenai masalah tersebut pada periode yang tidak lama setelah Herodotus. Sun

Tzu menyarankan tentara untuk dapat memperlakukan tawanan dengan baik, dan

merawat mereka.48

2. Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan saat itu hukum humaniter dipengaruhi oleh agama dan

prinsip kesatriaan. Di Negara barat, beberapa pemimpin gereja Kristen juga

menyerukan mengenai penahanan dalam perang. Saint Angustine merupakan

46
Neier, Aryeh, “The International Human Rights Movement: A History”, Princeton
University Press, New Jersey, 2012, hal 117.
47
Arlina Permanasari dkk, op.cit, hal 14
48
Neier Ayeh, op.cit, hal 117
24

salah satu pemimpin gereja Kristen yang juga ikut menyerukan mengenai perang.

Di dalam tulisannya Saint Angustine menulis bahwa perang dapat dijustifikasi

dalam beberapa keadaan, namun dapat menjadi sebuah tindak kejahatan jika

dalam melakukannya diiringi dengan adanya niat jahat untuk mengahancurkan,

keinginan untuk menguasai, kebencian dan balas dendam. Tujuan perang bagi

Augustine bukanlah untuk perang, namun perdamaian, karena itu bagi Augustine

melakukan pertempuran dengan cara yang berkontribusi pada pemulihan

perdamaian adalah penting.49 Agama Kristen memberikan konsep mengenai

perang yang adil dan dalam ajaran agama Islam dalam Al-Quran yang dapat

dilihat pada surah al Baqarah:190-191, al Anfal:39, at Taubah:5, al Haj:39 yang

memandang perang sebagai saran pembelaan diri dan menghapuskan

kemungkaran.50

Perkembangan paling signifikan dari aturan yang memberlakukan

pembatasan pada perilaku di dalam perang terjadi pada zaman ksatria (the age of

chivalry). Zaman ksatria berada pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-15.

Secara umum, aturan ksatria melindungi mereka yang berpangkat ksatria agar

tidak diperlakukan dengan kejam atau tidak terhormat oleh orang lain yang

berpangkat sama, namun aturan ksatria tidak berbuat banyak untuk melindungi

prajurit biasa atau non-kombatan dari kerusakan akibat perang meskipun begitu,

aturan ksatria umumnya dianggap sebagai pendahuluan daripada hukum perang

yang ada pada zaman kita. Prinsip kesatriaan yang lainnya yang berkembang pada

49
Neier Ayeh, op.cit, hal 118
50
Arlina Permanasari dkk, op.cit, hal 15
25

saat itu, yaitu mengenai pentingnya pengumuman perang dan juga mengenai

larangan penggunaan senjata-senjata tertentu. 51

3. Zaman Modern

Hukum humaniter pada zaman modern bermula dengan adanya perang di

Solferino yang terjadi di Italy dan Henri Dunant. Perang Solferino terjadi pada

Juni 1859 diantara pasukan Austria dan Perancis yang dibantu oleh Sardinia untuk

menyatukan Italy.52 Perang Solferino hanya berlangsung selama satu hari, namun

memakan korban sebanyak 6000 orang yang meninggal dan 23.000 orang yang

terluka.53 Perang Solferino menarik perhatian daripada Henri Dunant yang

merupakan seorang pengusaha Swiss yang pada saat itu mengunjungi sebuah kota

dekat Solferino dan menyaksikan kekejaman perang yang berlangsung pada saat

itu. Dunant tergerak melakukan sesuatu sehingga lahirlah International

Committee of the Red Cross (ICRC)/ Palang Merah Internasional melalui proposal

yang dibuat oleh Dunant dalam Memoir of Solferino dimana terdapat dua tujuan

yang diajukan daripada proposal yang dibuat olehnya, yaitu untuk semua negara

dan masyarakat dapat memberikan bantuan sukarela dengan tujuan untuk

memberikan perawatan kepada yang terluka di medan perang, dan untuk

merumuskan prinsip internasional didukung oleh konvensi yang sifatnya tidak

dapat dilanggar yang nantinya akan berfungsi sebagai dasar bagi masyarakat

dalam memberikan bantuan. 54


51
Neier Ayeh, op.cit, hal 118
52
Henry Dunant, “A Memory of Solferino”, The International Committee of the Red
Cross (ICRC), Switzerland, 2020, hal 3-4
53
David P. Forsythe & Barbara Ann J. Rieffer-Flagnagan, The International Committee
of the Red Cross: A Neutral Humanitarian Actor, Taylor & Francis, UK,  2016., hal xii,6
54
Henry Dunant, op.cit, hal 30
26

Proposal yang diatawarkan oleh Dunant kemudian diangkat oleh masyarakat

Jenewa untuk kesejahteraan masyarakat, dan pada awal tahun 1863 dibentuklah

sebuah komite di mana Dunant juga merupakan anggota daripada komite tersebut.

Komite yang dibentuk kemudian mengadakan konferensi internasional di Jenewa

yang membahas mengenai konsep daripada konvensi yang telah disiapkan oleh

komite dan menyetujui menyediakan relawan medis dalam perang untuk tentara

dan seragam putih yang menggunakan simbol salib berwarna merah sebagai tanda

khas, selain itu konferensi yang diadakan juga merekemondasikan semua negara

untuk dapat memakai bendera dan tanda pada seragam untuk korps medis dan

fasilitas medis yang dimiliki; dan juga bagi tenaga medis, rumah sakit, ambulance

dan yang terluka harus diakui netral. 55

Pada Agustus 1864 dibawah perintah komite pemerintah Swiss mengundang

negara-negara dalam kovensi diplomatik untuk mengadopsi konvensi Jenewa

untuk perbaikan kondisi tentara yang terluka di medang perang di darat.

Ketentuan inti daripada konvensi Jenewa adalah kenetralan bagi mereka yang

terluka di medan perang dan yang merawat mereka yang terluka, pengadopsian

lambang palang merah dengan latar belakang putih sebagai tanda khusus untuk

membedakan fasilitas dan personel medis, dan kewajiban untuk mengumpulkan

dan merawat yang terluka dan sakit di medan perang tanpa memandang

kebangsaan. 56
Lahirnya Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya

Konvensi Jenewa merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perkembangan

55
Krishna Satyanand, “The Story of the Red Cross National Book Trust”, National Book
Trust, India, 1975, hal 28
56
Krishna Satyanand, op.cit, hal 28
27

hukum humaniter internasional, Konvensi Jenewa merupakan hukum pertama

yang dikodifikasi dan membahas mengenai perlindungan korban perang di darat

dan dipandang sebagai konvensi yang mengawali kovensi-konvensi berikutnya

dalam perlindungan korban perang.

Di Amerika usaha merumuskan hukum dalam perang saudara yang meningkat

juga dilakukan. Francis Lieber seorang professor di Univesitas Columbia, New

York menulis dan mengajar tentang hukum militer. Perang yang terjadi di

Amerika menimbulkan pertanyaan hukum mengenai seperti apakah pertukaran

tahanan, kebiasaan dalam peperangan, akankah sama dengan pengakuan

Konfederasi sebagai pihak yang berperang, yaitu kekuatan berdaulat, daripada

kekuatan pemberontak yang melanggar hukum. Lieber berpendapat bahwa karena

peraturan tentara yang ada jauh daripada komprehensif, maka sebuah kode dari

semua hukum dan kebiasaan perang harus dibuat. Lieber membawanya ke

hadapan dewan Departemen Perang dan kemudian hukum tersebut dirancang oleh

Lieber dan direvisi oleh dewan, dan dinamakan "Instruksi untuk Pemerintah

Angkatan Darat Amerika Serikat di Lapangan" dikeluarkan oleh pemerintah

sebagai Perintah Umum No. 100 pada April 1863 peraturan tersebut juga dikenal

dengan Kode Lieber. Kode Lieber adalah pertama kalinya pemeritah dalam

usahanya untuk menetapkan aturan eksplisit tidak hanya tentang masalah disiplin

internal, seperti yang telah dilakukan kode militer sebelumnya, tetapi juga tentang

perlakuan terhadap pasukan musuh dan warga sipil. Kode Lieber diadopsi oleh
28

beberapa negara, yaitu Inggris Raya, Perancis, Spanyol, Russia, Serbia, Belanda,

Argentina dan Prussia.57

Pada tahun 1860-an sebuah usaha untuk melarang penggunaan senjata

tertentu, yaitu senjata dum-dum dilakukan dengan lahirnya Deklarasi St.

Petersburg 1868.58 Pada tahun 1899 lahirlah konvensi Den Haag yang merupakan

hasil daripada konfenrensi perdamaian I di Den Haag dan konferensi perdamaian

II pada tahun 1907. Konferensi tersebut merupakan prakarsa daripada Russia

dibawah pemerintahan Tsar Nicholas II karena kegagalan pada konferensi di

Brusel pada tahun 1874. Pada dasarnya hukum humaniter modern terdiri atas dua,

yaitu hukun Jenewa Den Haag yang menjadi pembeda antara keduanya, yaitu

hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang

sedangkan hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang.59

B. Pengaturan Perang Saudara dalam Hukum Humaniter

Internasional

Hukum humaniter internasional adalah seperangkat aturan yang bertujuan

untuk alasan kemanusiaan, dalam membatasi efek dari pada konflik bersenjata.

Hukum humaniter internasional merupakan bagian daripada hukum intenasional

yang mengatur hubungan antar negara melalui perjanjian yang dilakukan antar

negara. Bagian utama daripada hukum humaniter internasional tertuang dalam

57
Neier Ayeh, op.cit, hal 120-122
58
Martin, F., Schnably, S., Wilson, R., Simon, J., & Tushnet, M, “International Human
Rights and Humanitarian Law: Treaties, Cases, and Analysis”, Cambridge University Press,
Cambridge, 2006, hal 3.
59
Arlina Permanasari dkk., op.cit, hal 22
29

empat Konvensi Jenewa tahun 1949. Hukum humaniter internasional berlaku

dalam konflik bersenjata.

Hukum humaniter internasional tidak berlaku bagi semua situasi dimana di

dalamnya terdapat anggota bersenjata dan kekerasan yang terlibat. Hukum

internasional mengenal dua jenis konflik bersenjata, yaitu international armed

conflict (konflik bersenjata international) dan non-international armed conflict/

(konflik bersenjata non-internasional). Istilah perang saudara dalam hukum

internasional disebut dengan istilah non-international armed conflict. Non-

nternational armed conflict sama sekali tidak diatur dalam hukum humaniter

internasional sebelum tahun 1949. Perang saudara masih menjadi urusan dalam

negeri hingga pada akhirnya dibahas dalam negosiasi Konvensi Jenewa tahun

1949. 60

Non-international armed conflict dapat ditemukan dalam beberapa aturan

hukum humaniter internasional. Berikut ini adalah pengaturan mengenai non-

international armed conflict,. Pengaturan mengenai non-international armed

conflict ke dalam hukum internasional terdapat di dalam common article 3

Konvensi Jenewa dan pasal 1 Protokol Tambahan II, dan Statuta Roma yang

dijabarkan sebagai berikut :

a. Konvensi Jenewa

Common article 3 Konvensi Jenewa berlaku dalam konflik bersenjata yang

tidak bersifat internasional yang terjadi di wilayah salah satu high contracting

60
Elizbeth Wilmshurst op.cit, hal 135
30

parties atau dengan kata lain berlaku bagi perwakilan negara-negara yang

menandatangani atau meratifikasi konvensi Jenewa. Common article 3 konvensi

Jenewa memberikan batasan-batasan dalam perang non-international dalam

memanusikan perang61. Keberadaan non-international armed conflict tidak

ditentukan oleh pengakuan atau pengakuan suatu negara atas konflik tersebut,

tetapi melalui kriteria klasifikasi internasional berdasarkan common Article 3

Konvensi Jenewa oleh karena itu, meskipun beberapa negara tidak bersedia

memberikan pengakuan atas legitimasi kelompok lawan, jika kriteria terpenuhi

aturan hukum humaniter internasional berlaku.62

Batasan-batasan yang diatur dalam common article 3 konvensi Jenewa dalam

perang non-international, yaitu untuk memperlakukan orang-orang yang tidak

ikut serta secara aktif dalam permusuhan, hors de combat karena sakit, luka

maupun ditahan atau alasan lainnya dalam keadaan apapun mereka harus

diperlakukan secara manusiawi tanpa membedakan.

Common article 3 konvensi Jenewa juga mengatur perbuatan-perbuatan yang

tidak boleh dilakukan dalam konflik non-international, yaitu kekerasan terhadap

kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dalam segala jenis, mutilasi,

perlakuan kejam dan penyiksaan, penyanderaan, penghinaan terhadap martabat

pribadi, menjatuhkan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa keputusan


61
How is the Term "Armed Conflict" Defined in International Humanitarian Law?
International Committee of the Red Cross (ICRC), Opinion Paper, Maret 2008
(https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/article/other/armed-conflict-article-
170308.htm#:~:text=International%20humanitarian%20law%20distinguishes%20two,or
%20between%20such%20groups%20only. Diaskes 16 Juni 2022)
62
Hannah Matthews, “The interaction between international human rights law and
international humanitarian law: seeking the most effective protection for civilians in
noninternational armed conflicts”, The International Journal of Human Rights, 2013, hal 634.
(http://dx.doi.org/10.1080/13642987.2013.831694, Diaskes pada 16 Juni 2022)
31

sebelumnya yang diucapkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur,

memberikan semua jaminan peradilan yang diakui. Common article 3 konvensi

Jenewa juga mengatur mengenai harus dirawatnya korban yang terluka dan sakit

dan kapal karam. Badan kemanusiaan yang tidak memihak, seperti ICRC yang

juga dapat menawarkan jasanya kepada pihak-pihak yang ada di dalam konflik..

b. Protokol Tambahan II

Konvensi Jenewa tidak memuat definisi daripada non-international armed

conflict oleh karena itu usaha untuk mendefinisikannya dimuat dalam Protokol

tambahan II pasal 1. Protokol tambahan II secara formal merupakan tambahan

dari keempat konvensi, namun untuk memperkuat dan meningkatkan

perlindungan bagi korban non-international armed conflict protokol tambahan II

ini mengembangkan dan melengkapi aturan-aturan yang dimuat dalam common

article 3 konvensi Jenewa.63

Protokol tambahan II memuat mengenai perbedaan antara konflik bersenjata

dan non-international armed conflict. Protokol tambahan II berlaku dalam situasi

di mana angkatan bersenjata pemerintah menghadapi angkatan bersenjata

pembangkang, yaitu, di mana ada pemberontakan oleh bagian dari tentara

pemerintah atau di mana angkatan bersenjata pemerintah berperang melawan

pemberontak yang terorganisir dalam kelompok-kelompok bersenjata.

Perbedaan dalam common article 3 konvensi jenewa dapat ditetapkan,

terutama fakta bahwa konflik harus mencakup partisipasi kelompok 1) di bawah

63
Ibid
32

komando yang bertanggung jawab 2) yang melakukan kontrol atas wilayahnya

dan 3) kontrol memungkinkan mereka untuk melakukan operasi militer dan untuk

melaksanakan Protokol ini. Perbedaan penting lainnya adalah bahwa Pasal

tersebut mengharuskan angkatan bersenjata Negara yang wilayahnya konflik

terjadi harus berpartisipasi dalam permusuhan, sebagai lawan dari common article

3 umum, di mana dua kelompok ilegal dapat saling terlibat dalam pertempuran. 64

c. Statuta Roma

Sempat menjadi perdebatan di dalam Komisi Hukum Internasional yang

mempermasalahkan jenis-jenis kejahatan yang dapat dimasukan ke dalam

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional harus diberi batas pada kejahatan yang

bersifat internasional yang sudah ditentukan oleh perjanjian internasional tertentu.

Hasil dari negosiasi Konferensi Roma memasukan pelanggaran-pelanggaran dari

konvensi jenewa seperti pelanggaran berat, pelanggaran serius, dan protokol

tambahan I dan II. Hal ini menjadi akar dalam hukum internasional kriminalitas

kejahatan perang dalam bentuk apapun.

Statuta roma dalam pasal 8 tentang kejahatan perang dengan menggunakan

istilah armed conflict not of an interational character atau dalam Konvensi

Jenewa disebut sebagai non international armed conflict mengatur mengenai

perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai kejahatan perang yang menjadi

lingkup daripada Mahkamah Pidana Internasional. 65 Penguraian ketentuan

kejahatan perang dalam pasal 8 ini juga didasarkan atas hukum kebiasaan

64
Ibid
65
Statuta Roma
33

internasional. Perbedaan antara pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 dan

'pelanggaran serius' pasal 3 umum tetap dipertahankan.

Pelanggaran berat sehubungan dengan orang atau properti yang dilindungi

berdasarkan salah satu Konvensi Jenewa 1949 terdaftar sebagai kejahatan perang

berdasarkan pasal 8(2)(a) sedangkan tindakan yang dilarang oleh pasal 3 adalah

kejahatan perang untuk tujuan pasal 8(2) (c) dan 8(2)(e) yang berhubungan

dengan konflik bersenjata non-internasional. Akibatnya, dalam menetapkan

kejahatan perang dalam konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata

non-internasional, istilah yang berbeda digunakan untuk menggambarkan perilaku

yang sama, sehingga sulit untuk menyelaraskan ketentuan tersebut.66

66
Deidre Willmott, Removing Distinction Between International and Non-International
Armed Conflict in the Rome Statue of the International Criminal Court, diakses dari
https://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0003/1680429/Willmott.pdf pada Agustus 2022
34

BAB III
AKIBAT HUKUM DALAM PERANG SAUDARA TERHADAP
PELANGGARAN HAM DI KAMERUN

A. HAM dalam Hukum Humaniter

Hukum HAM internasional dan hukum humaniter internasional adalah dua

bidang khusus dari hukum internasional publik, yang ada sebagai cabang hukum

yang berbeda. Cabang-cabang hukum ini memiliki asal usul dan dasar hukum

yang berbeda, tetapi cita-cita humanis yang sama, yaitu untuk melindungi hak-hak

manusia.67 Hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional

bersumber dalam serangkaian perjanjian internasional, yang telah diperkuat dan

dilengkapi dengan hukum kebiasaan internasional. Sejarah daripada hukum

humaniter internasional menunjukkan bahwa aturan mengenai perang sudah ada

sejak zaman kuno. Aturan mengenai perang dan kemanusiaan kemudian ditulis

ulang dari satu perang ke perang lainnya karena aturan baru menggantikan yang

lama.

Pada saat ini, hukum humaniter internasional merupakan seperangkat aturan

internasional yang secara khusus disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan

masalah kemanusiaan yang timbul daripada konflik bersenjata. Hukum humaniter

internasional berkaitan dengan perilaku pihak-pihak dalam konflik bersenjata dan

banyak masalah yang, seperti perilaku permusuhan, status tawanan perang.

Hukum humaniter internasional sebenarnya berisi aturan-aturan internasional,


67
Biljana Karovska-Andonovska, “Human Rights and Humanitarian Law, Between
Complementary and Contradiction”, Balkan Social Science Review, Macedonia, 2021, hal 26
(https://js.ugd.edu.mk/index.php/BSSR/article/view/4308. Diaskes 17 Juni 2022)
35

yang ditetapkan oleh perjanjian atau kebiasaan, yang dirancang khusus untuk

menangani masalah-masalah kemanusiaan yang langsung timbul dari konflik

bersenjata.68

Jus in bello dan jus ad bellum disatukan kemudian dalam tatanan hukum pasca

perang dunia kedua. Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melarang

penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional jika tidak untuk membela

diri atau diizinkan oleh dewan keamanan, tetapi tidak ada kata-kata yang

didedikasikan untuk perilaku permusuhan. Tidak seperti HAM, hukum humaniter

tidak disebutkan dalam Piagam PBB dan tetap menjadi isu terpisah yang dibahas

dalam pertemuan diplomatik yang berbeda. sedangkan hukum humaniter

mengatur penggunaan kekuatan, menentukan bagaimana dan kapan itu dapat

digunakan menurut hukum internasional. Instrumen hukum HAM internasional,

bersama dengan lembaga-lembaga hukum dan politik yang didedikasikan untuk

pelaksanaannya, dan tantangan yang dibawa oleh perang anti-kolonial,

menyebabkan perubahan dalam corpus juris-nya. Salah satu inisiatifnya, yaitu

regulasi mengenai non-international armed conflict dalam common article 3

Konvensi Jenewa.69

Hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional memiliki

kesamaan, yaitu untuk melindungi hak-hak yang dimiliki dan menghormati

martabat manusia. Kesamaan yang terdapat dalam hukum humaniter internasional

dan hukum HAM internasional juga terdapat perbedaan di dalamnya. Perbedaan


68
Ibid, hal 27
69
Nagamine, R & Roriz, JHuman rights, humanitarian law and state power. Brazilian
Journal of International Law 17(1), 2020, hal 424. (https://doi.org/10.5102/RDI.V17I1.6505.
Diakses 20 Juni 2022)
36

antara hukum humaniter internasional dan hukum HAM internasional terdapat

dalam masa berlaku dimana hukum humaniter internasional berlaku hanya pada

saat konflik bersenjata sedangkan hukum HAM internasional berlaku dalam

semua situasi. 70

Perbedaan lainnya antara hukum humaniter internasional dan hukum HAM

internasional terdapat dalam cakupan dimana hukum humaniter internasional

walaupun memiliki spektrum yang universal karena hampir semua negara yang

ada pada saat ini menerima aturan dalam konvensi Jenewa 1949 akan tetapi

substansi daripada norma hukum humaniter terbatas dalam konflik bersenjata hal

ini berbeda dengan hukum HAM internasional dimana hukum HAM internasional

selain diatur di dalam instrument global juga diatur dalam berbagai instrumen

regional dan substansi daripada norma hukum HAM meliputi banyak aspek, yaitu

hak sipil, politik, sosial, eknonomi dan budaya, serta hak solidaritas. 71 Akibat

daripada terbatasnya cakupan daripada regulasi, kemudian hukum humaniter

internasional hanya meregulasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik

bersenjata sedangkan hukum HAM meregulasi hubungan dan sikap negara

terhadap individu. Perbedaan norma yang ada juga terhadapat dalam karakternya

dimana hukum humaniter internasional berlaku tanpa terkecuali sedangkan hukum

HAM internasional dapat ditangguhkan karena keadaan tertentu, misalnya

keadaan darurat.72

70
Ashri, M, “Reconciliation of Humanitarian Law and Human Rights Law in Armed
Conflict”, Hasanuddin Law Review, 5(2), Makassar, 2019, hal 211-212 (DOI:
10.20956/halrev.v5i2.1348. Diakses 22 Juni 2022)
71
Ibid
72
Ibid
37

Mengingat bahwa kasus sengketa bersenjata yang sering terjadi di Afrika dan

juga di seluruh dunia juga melanggar HAM, terdapat beberapa aliran yang

mengaitkan HAM dan Hukum Humaniter seperti Aliran Integrasonis, Aliran

Separatis, dan Aliran Komplementaris. Aliran Integrasionaris memberi artian

bahwa suatu sisten hukum dapat berasal dari yang lainnya yang memungkinkan

HAM sebagai dasar bagi hukum humaniter internasional. Aliran Separatis

menjadikan HAM sebagai bagian hukum internasional yang berbeda dari Hukum

Humaniter karena objek dari kedua bidang ini tidaklah sama di mana Hukum

Humaniter mengatur tentang sengketa bersenjata antara negara dengan hal

kesatuan lainnya sedangkan HAM lebih mengatur tentang pemerintah dan warga

negaranya. Sedangkan aliran Komplementaris melihat HAM dan Hukum

Humaniter Internasional sebagai dua bagian hukum yang berkembang dalam

sebuah keterkaitan di mana keduanya saling melengkapi.

Pada tahun 1996 pembahasan mengenai keterkaitan hukum HAM dan hukum

humaniter internasional kembali dibahas saat mahkamah internasional ditanya

apakah penggunaan senjata nuklir melanggar aturan hukum internasional. Di

dalam pembahasan tersebut dikemukakan bahwa senjata nuklir secara inheren

melanggar hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 6 International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Mahkamah internasional

menjelaskan bahwa karena Pasal 6 menetapkan hak yang tidak dapat dikurangi,

hal itu juga berlaku pada saat konflik bersenjata. Namun, mahkamah internasional
38

juga menambahkan bahwa ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan untuk melarang

operasi militer, yang semata-mata ditujukan untuk pembunuhan individu.73

Hukum HAM yang aplikasinya dapat berlaku bukan hanya pada saat damai

saja, namun juga pada saat terjadinya perang atau konflik bersenjata dapat dilihat

dari beberapa aturan yang terdapat dalam konvensi dan deklarasi internasional,

yaitu:

1) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading


Treatment or Punishment 1984 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Penyiksaan 1984) pada pasalnya yang kedua menyebutkan
bahwa tidak ada pengecualian dalam hal apapun dalam perang maupun
ancaman yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan penyiksaan.
2) Convention on the Rights of the Child 1989 (Konvensi Hak Anak 1989) di
dalam pasalnya yang ke-39 memuat mengenai komitmen dalam
mendorong pemulihan dan reintegrasi anak-anak korban perang dan
melarang perekrutan dan penyalahgunaan tentara anak di dalam perang.
3) United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People 2007
(Deklrasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli) dalam pasal 30
membatasi akivitas militer di tanah dan wilayah yang dimiliki oleh
penduduk asli.

B. Akibat Hukum Terhadap Pelanggaran HAM Perang Saudara di

Kamerun

Pelanggaran HAM merupakan titik berat dalam peninjauan kasus perang

saudara yang terjadi di Kamerun. Dapat dilihat dalam mukadimah International

Declaration of Human Rights/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah

dipertegas bahwasannya masyarakat internasional telah mengakui kesetaraan dan

perlindungan hak-hak asasi dari setiap individu yang ada di dunia. Secara spesifik
73
Roland Portmann, “Introduction. In Legal Personality in International Law”,
Cambridge Studies in International and Comparative Law, Cambridge University Press,
Cambridge, 2010, hal 159.
39

Konflik perang saudara di Kamerun telah melanggar Pasal 3 DUHAM yang

membertegas bahwa “Everyone has the right to life, liberty, and the security of a

person” (terjemahan: setiap orang memiliki hak atas kehidupan, kebebasan dan

keamanan individu). Hal ini tentunya bertentangan dengan Perlakuan kejam yang

dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Angolophono seperti pembunuhan

terhadap masyarakat sipil dan perlakuan di luar hukum yang dilakukan oleh

Militer Kamerun yang juga menargetkan masyarakat sipilsebagai target

pembunuhan, kekerasan terhadap perempuan, pembatasan kebebasan untuk

berkumpul dan berekspresi serta penyiksaan.

Secara internasional, HAM diartikan sebagai sebuah pengakuan atas

perlindungan terhadap hak-hak seseorang atau kelompok dari adanya pencideraan

yang dilakukan oleh orang lain maupun pemerintah. Dapat dilihat bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak baik Kelompok Angolophono

dan Militer Kamerun yang bertindak atas nama negara telah melakukan

pelanggaran terhadap HAM terutama ketika mereka melakukan pembunuhan yang

mana mereka merebut hak untuk hidup dan hak untuk merasa aman dari

masyarakat sipil.

Perjanjian mengenai Hak Asasi Manusia Internasional adalah perangkat aturan

yang paling menarik untuk melaksanakan hak asasi manusia di tingkat nasional

dan internasional. Pada beberapa negara bagian, aturan ini menggantikan hukum

nasional. Mengenai penerimaan dan status hukum internasional di Kamerun,

Konstitusi Republik Kamerun 1996 menetapkan bahwa semua instrumen

internasional yang diratifikasi secara otomatis menjadi hukum di Kamerun (tidak


40

seperti hukum lainnya tidak perlu berlaku). Selain pengakuan langsung dan

otomatis ini, instrumen yang diratifikasi diberi status yang lebih tinggi daripada

hukum domestik74. Mereka juga menetapkan mandat atau kewajiban Negara

Pihak, termasuk langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan

kepatuhan terhadap hak asasi manusia semua orang di dalam yurisdiksi mereka.

Inti dari kewajiban yang dibebankan kepada negara-negara pihak pada

perjanjian hak asasi manusia multilateral adalah untuk melindungi hak asasi

manusia seperti tugas yang biasanya membangkitkan mekanisme dan proses

legislatif dan institusional yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran dan

diperluas bahkan mencakup ketentuan yang mengkriminalisasi pelanggaran.

Dengan kata lain, mereka secara tidak langsung berkewajiban untuk memastikan

bahwa pelaku pelanggaran tersebut bertanggung jawab, tetapi lebih khusus bahwa

mereka dituntut dan dihukum.

Dasar hukum untuk akuntabilitas juga dapat ditemukan dalam beberapa

perjanjian hukum humaniter internasional, beberapa di antaranya secara khusus

menangani kejahatan serius dalam hukum internasional, misalnya, UN Convention

on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang selanjutnya

disebut Konvensi Genosida. Kewajiban dikenakan pada pihak-pihak yang

menandatangani instrumen ini untuk mencegah dan menghukum kejahatan

genosida. Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan tahun 1977 berisi

74
Pasal 45 Konstitusi Republik Kamerun, 1996 dikases dari
https://ihl-databases.icrc.org/ihl-nat/0/7e3ee07f489d674dc1256ae9002e3915/%24FILE/
Constitution%20Cameroon%20-%20EN.pdf pada 13 Agustus 2022
41

ketentuan serupa yaitu untuk menuntut atau mengekstradisi siapa pun yang diduga

melanggar salah satu ketentuan Konvensi.

Kamerun adalah salah satu pihak dalam UN Convention Against Torture and

Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang selanjutnya

disebut CAT. Negara-negara dengan kewajiban untuk menuntut tindakan

penyiksaan dikenakan dalam tiga tahap. Pertama, ia harus memastikan bahwa

semua tindakan penyiksaan dikriminalisasi di bawah hukum domestiknya. Jika

kejahatan itu terjadi di dalam wilayah di bawah kendali suatu Negara atau

dilakukan di atas kapal atau pesawat udara yang terdaftar di Negara itu, atau jika

tertuduh pelaku adalah warga negara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan.

Ketiga, dan lebih penting lagi, Pasal 7 CAT mengizinkan Negara Pihak untuk

dituduh melakukan tindakan penyiksaan di wilayah mereka. Dalam hal ini, Pasal

12 menyatakan:

[e]ach State Party shall ensure that its competent authorities proceed to a
prompt and impartial investigation, wherever there is reasonable ground to
believe that an act of torture has been committed in any territory under its
jurisdiction. (terjemahan:[Setiap] Negara Pihak harus memastikan bahwa
pejabat yang berwenang segera dan tidak memihak menyelidiki jika ada
alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa tindakan penyiksaan telah
dilakukan di wilayah-wilayah di bawah yurisdiksinya.)75
Laporan dari organisasi nasional dan internasional yang kredibel

menggambarkan tindakan penyiksaan selama krisis Anglophone di Kamerun.

Bentuk pelanggaran tersebut berupa penggunaan berbagai taktik penyiksaan

terhadap warga sipil untuk mengidentifikasi, melacak, dan menangkap aktivis


75
Pasal 12 UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment diakses dari https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cat.
pada 13 Agustus 2022
42

politik dari warna negara berbahasa Inggris dan mereka yang bertanggung jawab

untuk mengkoordinasikan krisis politik yang sedang berlangsung. Selain

penyiksaan, penghilangan paksa juga marak terjadi. Konvensi Internasional untuk

Melindungi Semua Orang dari Penghilangan Paksa (selanjutnya disebut Konvensi

Penghilangan Paksa) meminta pertanggungjawaban pelaku penghilangan paksa

dengan cara yang sama seperti CAT melakukan penghilangan paksa dan

membawa mereka ke pengadilan.76

Convention on Enforced Disappearance atau Konvensi Penghilangan Paksa

mewajibkan Negara-negara Pihak untuk mengkriminalisasi penghilangan paksa

menurut hukum pidana mereka. Selain itu, Negara Pihak harus bertanggung jawab

tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga kepada mereka yang memerintahkan,

menuntut atau membujuk penghilangan paksa dan mereka yang berusaha

melakukan penghilangan. Ini akan dilakukan dengan cepat. Konvensi

Penghilangan Paksa melarang pembelaan atas perintah sebagai pembenaran atas

kejahatan penghilangan paksa, artinya ada kewajiban untuk mengadili mereka

yang terlibat dalam tidak ada yang dilepaskan.

Hukum internasional pada dasarnya adalah soft law dimana tidak mengikat

secara hukum, hukum internasional dapat mengikat secara hukum setelah diubah

menjadi hard law dengan meratifikasi hukum internasional ke dalam hukum

nasional daripada negara yang meratifikasi sebuah perjanjian, konvensi, maupun

piagam internasional sehingga menimbulkan sebuah kewajiban yang harus


76
Pasal 3 Konvensi Penghilangan Paksa diakses dari
https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-convention-
protection-all-persons-enforced#:~:text=1.,a%20justification%20for%20enforced
%20disappearance. Pada 13 Agustus 2022
43

dilaksakanan.77 Kamerun sendiri merupakan salah satu negara yang ikut

meratifikasi Konvensi Jenewa, dan Kamerun terikat dengan Konvensi Jenewa dan

sebagai subjek hukum hal ini berbeda dengan non-state armed groups dimana

mereka bukan merupakan bagian daripada perjanjian internasional tersebut.

Terlepas daripada Konvensi Jenewa, Pasal 22 Konvensi Den Haag tentang

Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat telah memberi pernyataan jelas

bahwasannya penggunaan alat-alat untuk musuh adalah tidak terbatas. Hal ini

memberikan artian bahwa pihak pemerintah maupun pihak pemberontak dapat

memakai semua kekuatan untuk menang, tetapi semua kekuatan tersebut memiliki

pengecualian yang selanjutnya dibahas dalam Pasal 23 yang secara langsung

memberikan gambaran jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada

kasus perang saudara di Kamerun. Pasal 23(b) secara tegas melarang tindakan

membunuh dan melukai pihak lawan secara kejam yang mana jika dilihat pada

kasus perang saudara di Kamerun terdapat laporan bahwa kelompok separatis

bersenjata melakukan pembunuhan terhadap masyarakat yang dianggap sebagai

pendukung pemerintah di wilayah Barat Laut dan Barat Daya. Pada sisi lain,

pelanggaran juga dilakukan oleh Militer Kamerun dengan menyerang dan

membunuh warga pedesaan secara tidak sah.

Secara tradisional, negara merupakan subjek hukum internasional yang

memiliki totalitas kepada hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum

internasional. Negara adalah satu-satunya entitas yang terlibat dalam penciptaan

hukum kebiasaan internasional, dan satu-satunya entitas yang menerapkan hukum


77
Lagoutte, S., Gammeltoft-Hansen, T., & Cerone, J. (Editor.), Tracing the Roles of Soft
Law in Human Rights, Oxford University Pres, 2016, hal 2
44

kebiasaan internasional. Pasca Perang Dunia II secara otoritatif telah dipastikan

bahwa entitas non-negara dapat menjadi subjek hukum internasional. 78 Ada

argument yang di dalamnya berpendapat bahwa kelompok bersanjata tidak terikat

dengan kebiasaan yang berasal dari praktik negara, antara lain karena mereka

tidak terlibat dalam penciptaannya. Sebaliknya, setiap kebiasaan yang berlaku

dibatasi pada kebiasaan yang ditetapkan oleh kelompok-kelompok bersenjata.79

Kelompok bersenjata yang menjadi pihak di dalam konflik kamerun ini dapat

disebut sebagai belligerent dalam subjek hukum internasional. Ada garis

perbedaan yang sangat minim antara istilah, "terorisme", "insurgency" dan

"belligerent" dan dalam hampir semua kasus ini adalah istilah yang menunjukkan

tahapan yang berbeda dari proses yang sama.80 Pihak yang lain dapat

dikategorikan sebagai belligerent, yaitu jika81:

1) Harus ada di dalam negara status konflik bersenjata


2) Para pemberontak harus mengatur dan menduduki sebagian besar wilayah
nasional wilayah.
3) Permusuhan harus dilakukan sesuai dengan aturan perang dan melalui
angkatan bersenjata terorganisir yang bertindak di bawah otoritas yang
bertanggung jawab.
4) Harus ada keadaan tertentu yang membuatnya perlu untuk negara untuk
mendefinisikan sikap mereka dengan cara mengakui sikap berperang.

78
Daragh Murray, “How International Humanitarian Law Treaties Bind Non-State
Armed Groups”, Journal of Conflict & Security Law 20, no. 1, Oxford University Press, Oxford,
2015, hal 106. (https://www.jstor.org/stable/26298154. Diakses 23 Juni 2022)
79
Ibid, hal 107
80
Rashi Gupta, “Recognition of Insurgent and Belligerent Organisations in International
Law”, SSRN Electronic Journal, 2014, hal 1. (http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2457749. Diakses 22
Juni 2022)
81
4 deskripsi tersebut diambil dari Pasal 8 Peraturan yang diadopsi oleh Institute of
International Law pada 8 September 1990.
45

Berdasarkan ciri-ciri daripada belligerent diatas, maka kelompok bersenjata

yang menjadi pihak yang bersengketa dengan pemerintahan yang sah daripada

Kamerun termasuk ke dalam belligerent. Oleh karena itu, kelompok bersenjata

tersebut menjadi subjek hukum internasional dan diatur di dalam hukum

internasional.

Perang saudara atau non-international armed conflict yang terjadi di Kamerun

melibatkan dua pihak yang bertikai, yaitu pemerintah yang sah daripada Kamerun

(Negara), kelompok bersenjata atau non-state armed groups. Adanya hukum

humaniter internasional sebagai sebuah regulasi yang mengatur mengenai perang,

maka hal tersebut dapat menimbulkan akibat hukum bagi mereka yang melanggar.

Akibat hukum menurut Achmad Ali seorang guru besar Ilmu Hukum

merupakan akibat yang timbul oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang

dimana dilakukan oleh subjek hukum.82 Subjek hukum dalam hukum internasional

adalah negara, vatican, palang merah internasional (PMI), organisasi

internasional, individu, dan belligerent. Konflik yang terjadi di Kamerun di

dalamnya terdapat pihak-pihak yang merupakan bagian daripada subjek hukum.

Akibat hukum berupa sanksi yang timbul bagi pihak-pihak yang melanggar

hukum humaniter internasional dimuat di dalam konvensi Jenewa III pada BAB

III. Jenis-jenis sanksi yang dimuat dalam konvensi Jenewa bersifat yudisial atau

disipliner.83 Sanksi yang bersifat displiner disebutkan di dalam pasal 89 konvensi

Jenewa III, yang berbunyi84:

82
Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008, hal 192.
83
BAB III, Pasal 83, Konvensi Jenewa
84
Konvensi Jenewa
46

“The disciplinary punishments applicable to prisoners of war are the


following (Hukuman disiplin yang berlaku bagi tawanan perang adalah sebagai
berikut):
1) A fine which shall not exceed 50 per cent of the advances of pay and
working pay which the prisoner of war would otherwise receive under the
provisions of Articles 60 and 62 during a period of not more than thirty days.
(Denda yang tidak melebihi 50 persen dari uang muka pembayaran dan upah kerja
yang seharusnya diterima oleh tawanan perang berdasarkan ketentuan Pasal 60
dan 62 dalam jangka waktu tidak lebih dari tiga puluh hari.)
2) Discontinuance of privileges granted over and above the treatment
provided for by the present Convention. (Penghentian hak-hak istimewa yang
diberikan di atas dan di atas perlakuan yang diberikan oleh Konvensi ini.)
3) Fatigue duties not exceeding two hours daily. (Tugas yang menghabiskan
tenaga tidak melebihi dua jam setiap hari.)
4) Confinement. (Kurungan)
The punishment referred to under 3) shall not be applied to officers. In no
case shall disciplinary punishments be inhuman, brutal or dangerous to the health
of prisoners of war. (Hukuman sebagaimana dimaksud di bawah 3) tidak akan
diterapkan pada petugas. Dalam kasus apa pun hukuman disiplin tidak boleh tidak
manusiawi, brutal, atau berbahaya bagi kesehatan daripada tawanan perang)”
Pasal 84 daripada Konvensi Jenewa III menyebutkan bahwa “a prisoner of

war shall be tried only by a military court…” (tawanan perang hanya akan diadili

oleh pengadilan militer).

Akibat hukum berupa sanksi yudisial disebutkan di dalam konvensi Jenewa III

dilakukan dengan proses pengadilan. Mahkamah Pidana Internasional merupakan

sebuah lembaga yang berdasarkan Statuta Roma merupakan sebuah lembaga

permanen dan dapat menyelidiki dan, jika diperlukan, mengadili individu-individu

yang didakwa dengan kejahatan paling berat yang menjadi perhatian masyarakat

internasional: genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan

kejahatan agresi.85 Kejahatan perang yang dimaksudkan di dalam Statuta Roma

ialah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu dengan
85
Statuta Roma
47

melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dalam Konvensi Jenewa.,

pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam

konflik bersenjata internasional yang sebagaimana disebutkan di dalam pasal 8

ayat 2 daripada Statuta Roma.

Statuta Roma menyebutkan mengenai pelanggaran-pelanggaran apa saja

dalam perang yang berlaku di dalam non-international armed conflict sebagai

sebuah kejahatan perang pada pasal 8 ayat 2c, yaitu dengan melanggar pasal 3

Konvensi Jenewa IV. Bentuk tindakan yang merupakan pelanggaran perang

dalam pasal 8c Statuta Roma yang dimaksud adalah86:

“(i) Violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation,
cruel treatment and torture; (kekerasan terhadap kehidupan dan pribadi,
khususnya pembunuhan dalam segala jenis, mutilasi, perlakuan kejam dan
menyiksa),
(ii) Committing outrages upon personal dignity, in particular humiliating and
degrading treatment; (melakukan kekejaman terhadap martabat pribadi,
khususnya perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat),
(iii) Taking of hostages; (penyanderaan),
(iv) The passing of sentences and the carrying out of executions without
previous judgement pronounced by a regularly constituted court, affording all
judicial guarantees which are generally recognized as indispensable. (penjatuhan
hukuman dan pelaksanaan eksekusi tanpa keputusan sebelumnya diucapkan oleh
pengadilan yang dibentuk secara teratur, memberikan semua jaminan peradilan
yang umumnya diakui sebagai sangat diperlukan.) “
Pelanggaran lainnya yang merupakan kejahatan perang dalam lingkup non-

international armed conflict juga disebutkan dalam pasal 8 ayat 2e, dimana

tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam menyerang pribadi,

bangunan, maupun material yang dilindungi oleh hukum internasional dan

tindakan-tindakan pelanggaran-pelanggaran seksual, tentara anak, memerintahkan

86
Ibid
48

pemindahan penduduk sipil karena alasan-alasan konflik, membunuh atau

melukai kombatan musuh secara berbahaya, menyatakan tidak ada ampun yang

diberikan, melakukan mutilasi atau ekperimen medis atau ilmiah yang tidak

dibenarkan kepada pihak lain dalam konflik yang membahayakan dan

menyebabkan kematian, menghacurkan dan merampas properti daripada pihak

musuh, menggunakan gas atau cairan maupun bahan dan perangkat yang

berbahaya, menggunakan peluru yang dilarang penggunaannya.87

Kejahatan-kejahatan dalam perang yang dimuat di dalam pasal 8 Statuta Roma

adalah kejahatan-kejahatan yang dapat diproses dalam mahkamah pidana

internasional. Sanksi yang dapat diberikan oleh Mahkamah Pidana Internasional

berdasarkan pasal 75 Statuta Roma, yaitu bentuk pertanggungjawaban dengan

mengganti rugi kepada korban dan hukuman penjara sesuai dengan pasal 77

Statuta Roma.88

C. Pengadilan Nasional Dalam Penegakan Hukum Humaniter

Internasional

Berdasarkan penegakan hukum internasional yang sekarang terdapat dua

pengadilan permanen dengan juridiksi hukum humaniter internasional, yaitu

Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional. Dua pengadilan

permanen yang ada untuk menegakan hukum internasional mempunyai yuridiksi


87
Ibid
88
Ibid
49

yang berbeda, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang

mengadili mengenai pertanggungjawaban pidana terkait dengan kejahatan perang

sedangkan Mahkamah Internasional mempunyai yuridiksi dalam menetapkan

tanggung jawab negara dan menafsirkan undang-undang dalam penyelesaian

sengketa antar negara dan dalam rangka fungsi penasehatnya. Yuridiksi daripada

Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional dibatasi oleh

kedaulatan negara.89

Mahkamah Pidana Internasional dalam pasal 17 Statuta Roma dan ayat 10

daripada pembukaan Statuta Roma mengandung prinsip complementarity dimana

yuridiksi daripada Mahakamah Pidana Internasional menghubungkan yurisdiksi

utama atas kejahatan internasional ke pengadilan nasional yang berarti sebuah

kasus tidak dapat diterima di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) jika

saat ini sedang diselidiki oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus

tersebut.90 Terbatasnya yuridiksi yang dimiliki oleh Mahkamah Pidana

Internasional merefleksikan prinsip state sovereignty yang ada dalam pasal 2 ayat

1 dan pasal 2 ayat 7 daripada Piagam PBB.91

Ruang lingkup daripada batasan yurisdiksi domestik tidak serta merta menjadi

hambatan dalam penegakan hukum. Terbatasnya peran yurisdiksi internasional

daripada Mahkamah Pidana Internasional memperkuat tanggung jawab penting

yang diemban oleh yurisdiksi nasional. Penegakan hukum humaniter internasional

bergantung terutama pada pengadilan domestik hal inipun disebutkan di dalam


89
Sharon Weill, “The Role of National Courts in Applying International Humanitarian
Law” , Oxford University Press, Oxford, 2014, hal 6
90
Statuta Roma
91
Piagam PBB
50

Konvensi Jenewa 1949, yang memberlakukan kewajiban eksplisit pada negara

pihak untuk memasukkan aturan hukum humaniter internasional yang relevan ke

dalam undang-undang domestik atau municipal law.92

Penegakan hukum humaniter internasional secara nasional dilakukan dengan

membuat undang-undang yang memiliki sejumlah pilihan untuk menerjemahkan

pelanggaran serius hukum humaniter internasional ke dalam undang-undang

pidana nasional dan untuk membuat tindak pidana yang merupakan pelanggaran

hukum domestik. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh negara dengan cara-

cara yaitu93:

1) Penerapan ke dalam hukum pidana militer atau pidana nasional biasa yang
ada
2) Kriminalisasi dalam hukum domestik dengan ketentuan umum
3) Kriminalisasi khusus atas jenis perilaku.

Kamerun sendiri merupakan bagian dalam Konvensi Jenewa, namun untuk

pelaksanaan penegakan hukum humaniter terhadap kejahatan perang dalam

yuridiksi nasional di Kamerun, nampaknya tidaklah efektik karena pemerintah

Kamerun termasuk pihak yang bertikai di dalam perang saudara atau non-

international armed conflict yang terjadi di Kamerun dan pihak-pihak yang

bertikai sama-sama melanggar HAM dalam perang.

92
Sharon Weill, op.cit, Hal 6
93
ICRC, “National Enforcement of International Humanitarian Law: Information Kit”,
Jenewa, 2004, hal 3-4
51

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Hukum humaniter modern lahir dengan ditandainya Konvensi Jenewa. Hukum

humaniter pada awalnya hanya mengatur mengenai perang secara internasional

sebelum tahun 1949. Pengaturan mengenai perang saudara atau yang dikenal

dengan non-international armed conflict dimuat di dalam Konvensi Jenewa dan

Protokol Tambahan II, dan Statuta Roma.


52

Peraturan mengenai non-international armed conflict dalam hukum humaniter

inaternasional mengikat pihak-pihak yang menjadi subjek hukum, sehingga jika

terjadinya pelanggaran, maka menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum

daripada perang saudara terhadap pelanggaran HAM berupa sanksi yang bersifat

disipliner dan yudisial.

B. Saran

1) Perlunya pengaturan yang lebih mendetail membahas mengenai non-


international armed conflict dalam instrumen hukum internasional.
2) Perlunya mengoptimalkan lembaga yudisial dalam menegakan kasus-
kasus pelanggaran HAM dalam non-international armed conflict.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008, hal 192.
Afrizal, “Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu”, Cetakan ke 2, Rajawali
Press, Jakarta, 2015
Arlina Permanasari dkk., “Pengantar Hukum Humaniter”, ICRC, Jakarta, 1999

A. Widiada Gunakaya, “Hukum Hak Asasi Manusia”, ANDI, Yogyakarta, 2017,


53

David P. Forsythe & Barbara Ann J. Rieffer-Flagnagan, “The International


Committee of the Red Cross: A Neutral Humanitarian Actor”, Taylor &
Francis, UK, 2016.,
Elizabeth Wilmshurst, “International Law and the Classification of Conflicts”,
Oxford University Press, UK, 2012
Emily Crawford dan Alison Pert, “International Humanitarian Law”, Cambridge
University Press, UK, 2015
Henry Dunant, “A Memory of Solferino”, The International Committee of the Red
Cross (ICRC), Switzerland, 2020
ICRC, “National Enforcement of International Humanitarian Law: Information
Kit”, Jenewa, 2004
I Made Pasek Diantha, “Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum”, Jakarta, Kencana, 2016
Irwansyah, ”Penelitian Hukum Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel”,
Yogyakarta, Mirra Buana Media, 2020
Krishna Satyanand, “The Story of the Red Cross”, National Book Trust, India,
1975
Lagoutte, S., Gammeltoft-Hansen, T., & Cerone, J. (Editor.), “Tracing the Roles
of Soft Law in Human Rights”, Oxford University Pres, 2016
Lung-chu Chen, “An Introduction to Contemporary International Law: A Policy
International Law Perspective”, Oxford Universitty Press, New York,
2015
Marco Sassoli dkk, “How Does Law Protect in War?:Cases,Documents and
Teaching Materials on Contemporary Practice in International
Humanitarian Law”, ICRC, Geneva, 2011
Martin, F., Schnably, S., Wilson, R., Simon, J., & Tushnet, M, “International
Human Rights and Humanitarian Law: Treaties, Cases, and Analysis”,
Cambridge University Press, Cambridge, 2006,
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris”, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010
Neier, Aryeh, “The International Human Rights Movement: A History”, Princeton
University Press, New Jersey, 2012
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana,
2014
Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008.
Piet Konings & Francis B. Nyamnjoh, “Negotiating an Anglophone Identity: A
Study of the Politics of Recognition and Representation in Cameroon”, Brill,
Leiden, The Netherlands, 2003
54

Roland Portmann, “Introduction. In Legal Personality in International Law”,


Cambridge Studies in International and Comparative Law, Cambridge
University Press, Cambridge, 2010, hal 159
Saefullah Wiradipradja, “Penuntun Praktisi Metode Penelitian dan Penulisan
Karya Ilmiah Hukum”, Keni Media, Jakarta, 2015, hal 41.
Sharon Weill, “The Role of National Courts in Applying International
Humanitarian Law” , Oxford University Press, Oxford, 2014

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat”, Jakarta, Rajawali Press, 2009
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1984

B. PERATURAN

Konvensi Jenewa

Protokol Tambahan II

Statuta Roma

Konstitusi Republik Kamerun, 1996


Konvensi Penghilangan Paksa

UN Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading


Treatment or Punishment

C. JURNAL

Ashri, M, “Reconciliation of Humanitarian Law and Human Rights Law in


Armed Conflict”, Hasanuddin Law Review, 5(2), Makassar , 2019
Biljana Karovska-Andonovska, “Human Rights and Humanitarian Law, Between
Complementary and Contradiction”, Balkan Social Science Review,
Macedonia, 2021
Daragh Murray, “How International Humanitarian Law Treaties Bind Non-State
Armed Groups”, Journal of Conflict & Security Law 20, no. 1, Oxford
University Press, Oxford, 2015
55

Okereke, C. Nna-Emeka, “Analysing Cameroon’s Anglophone Crisis”, Counter


Terrorist Trends and Analyses, vol. 10, no. 3, International Centre for Political
Violence and Terrorism Research, 2018
Hannah Matthews, “The interaction between international human rights law and
international humanitarian law: seeking the most effective protection for
civilians in noninternational armed conflicts”, The International Journal of
Human Rights, 2013
Nagamine, R & Roriz, “Human rights, humanitarian law and state power”,.
Brazilian Journal of International Law 17(1), 2020
Pérez-León Acevedo, J. P, “The close relationship between serious human rights
violations and crimes against humanity: International criminalization of
serious abuses” Anuario Mexicano de Derecho Internacional, 2017
Rashi Gupta, “Recognition of Insurgent and Belligerent Organisations in
International Law”, SSRN Electronic Journal, 2014

D. WEBSITE

Cameroon 2020, https://www.amnesty.org/en/location/africa/west-and-central-

africa/cameroon/report-cameroon/, Di akses pada 8 Desember 2021

https://kbbi.web.id/perlindungan, Diakses pada 13 Oktober 2021

Cameroon Events of 2020, https://www.hrw.org/world-report/2021/country-

chapters/cameroon, Diakses pada 29 Desember 2021

Cameroon profile – Timeline, https://www.bbc.com/news/world-africa-

13148483, Diakses pada 28 Desember 2021

Removing Distinction Between International and Non-International Armed


Conflict in the Rome Statue of the International Criminal Court, diakses
dari
https://law.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0003/1680429/Willmott.pdf

Non-International Armed Conflict,


https://www.icrc.org/en/doc/resources/documents/interview/2012/12-10-niac-
non-international-armed-conflict.htm, Diakses pada 21 September 2021
56

Https://www.icty.org/x/cases/tadic/acdec/en/51002.htm, Diakses pada 13 Oktober

2021

Perang Saudara Panjang Kamerun, https://worldbeyondwar.org/id/cameroons-

long-civil-war/ , Diakses pada 8 Desember 2021

What Are Human Rights Violations?,

https://www.humanrightscareers.com/issues/what-are-human-rights-

violations/, Diakses 13 Maret 2022.

Anda mungkin juga menyukai