Anda di halaman 1dari 11

HUKUM HUMANITER DAN PERANG

OLEH : KELOMPOK 7

LAODE RAHMAT 082001108

SOFYAN FEBRIANTO 082001019

DOYALIN DEGA 082001064

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON

2021
A. Definisi Hukum Humaniter
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian
Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of
war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms
conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum
humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif
baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of
Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada
tahun 1971.
Adapun pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai keadaan hukum
antara Negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer.
Sedangkan Oppenheim mendefinisikan perang sebagai persengketaan antara dua Negara
engan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang
diinginkn oleh yang menang ( Haryonomataram 1994:4).
Berikut adalah beberapa pengertian hokum humaniter menurut para ahli:
a. Mochtar Kusumaatmadja
“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang,
berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu
yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
b. S.R Sianturi
“Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua
atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak
diakui oleh salah satu pihak.“
c. Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan
“Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang danhak asasi
manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkatdan martabat
seseorang.”
d. Esbjorn Rosenbland
“The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya
pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara
netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana
berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang
sipil.”
e. Jean Pictet
“International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision,
whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”

B. Tujuan Hukum Humaniter


Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena
itu hokum humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur
agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan
hukum humaniter adalah memanusiakan perang. Disamping itu ada beberapa tujuan
hukum humaniter yaitu:
a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu
b. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bgi mereka yang jatuh ke
tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi
c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang
penting adalah asas perikemanusiaan.

Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan


perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan
mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih
ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu
dalam situi konflik bersenjata.

C. Asas-asas Hukum Humaniter


1. Asas kepentingan militer (Military Necessity)
Yang dimaksudkan dengan prinsip ini ialah hak dari para pihak yang berperang
untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban
yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang
berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak
terbatas.
2. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan
(violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang
luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi
merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi.
Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus
dilindungi dari akibat perang.
3. Asas Kesatriaan (Chivalary)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang
tidak terhormat. Prinsip ini merupakan sisa dari sifat-sifat ksatriaan yang dijunjung
tinggi oleh para ksatria pada masa silam. Asas ini mengandung arti bahwa di dalam
suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau
bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat
khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan
Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907)
mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1
Konvensi III ini, ditentukan bahwapeperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu
peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk
pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum
perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).

D. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter


Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
1. Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah hak pihak yang berperang untuk
menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang
sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang
berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak tak
terbatas.
2. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan
(violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang
luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi
merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi.
Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus
dilindungi dari akibat perang.
3. Prinsip Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang
yang tidak terhormat.
4. Prinsip pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang
membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau
sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan
(combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang
secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil
adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip
pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau
obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam
pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas
pelaksanaan (principles of application), yaitu :
1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara
kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-
obyek sipil.
2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas
serangan (reprisal).
3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap
penduduk sipil dilarang.
4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang
memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk
menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.
5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
6) Rule of Engagement (ROE)

Tidak semua konflik dapat diberlakukan Hukum Humaniter, sehingga Suatu


konflik dapat diberlakukan Hukum Humaniter apabila:
1) Memiliki struktur organisasi.
2) Memiliki kekuatan bersenjata
3) Memiliki atribut orgnasasi (bendera, seragam).
4) Memiliki wilayah kekuasaan.

E. Hubungan Hukum Humaniter dengan HAM


Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang
HAM, namun antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling
berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai
ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya
dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang
mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh
dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena
merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas
fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak
atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-
hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable
rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak
yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non
diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana
seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan
karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan
(slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan
penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat,
keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih
dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan
melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d)
yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh
PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII
tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”,
meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih
sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Terdapat 3 aliran yang berkaitan dengan hubungan hukum humaniter
internasional;
1. Aliran integritas
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari
hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:
a. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam
arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.
Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak
asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku
di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter
merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan
dalam keadaan tertentu pula.
b. Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia,
dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter.
Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu
daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia
dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
2. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena
keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada obyek, sifat, dan
saat berlakunya.
3. Aliran komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan
saling melengkapi.

Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa


bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak
asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata.
Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah
yang berasal dari instrumeninstrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang
berasal dari instrumeninstrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya
mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan
kewajiban mereka secara timbal balik.

F. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai


Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan
kepentingan Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya
pertentangan kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan
antar kelompok dalam tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah situasi konflik.
Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus
tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu
dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang
kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang
tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa
perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat
bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal
ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut
pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta
kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk
melawan.
Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan
oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit
sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan
dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara
menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah
melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat
komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio,
bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan
mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan
berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan
kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa
serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata
dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki.
Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan
perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk
memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan
usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah
tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika
dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain.
Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang
mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang
dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara.
Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi
keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni
Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti
pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif
bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk
mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan
Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik
bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh
masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India
antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir
abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang
mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.

G. Jenis-jenis Konflik Bersenjata


Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur
dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-
konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik
bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.) “sengketa
bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter
telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
 Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States,
and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed
conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi
pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war
proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan
suatu “declaration of war”.
 Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
1) Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal
1, Paragraf 3
2) Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta
(negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin
kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa
dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan
I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
3) Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta
(negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi
Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen
Clause, Protokol II (penguasa : authority).
4) Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties).
Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3
(penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
5) Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional
(pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum
Internasional Publik.
6) Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik
(Hukum Pidana).

Anda mungkin juga menyukai