Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ahmad Ali Rohmatulloh

NIM : 2010010032

Kelas : 5B

Tugas Humaniter Internasional

1. b. HHI menurut Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”

Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian:

1. Jus ad Bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam

hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan

bersenjata;

2. Jus in Bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi

menjadi :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (the conduct of

war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang¬-orang yang menjadi

korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws

c.Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka
yang menderita/menjadi korban perang, baik mereka yang secara nyata/aktif turut dalam permusuhan
(kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil=civilian
population).

2. a) Hukum humaniter memiliki sumber-sumber hukum untuk mengatur aturan perang, salah satunya
tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional yaitu:
1. Perjanjian internasional, baik bersifat umum maupun khusus yang membentuk aturan-aturan yang
secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktik umum yang diterima sebagai hukum;

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;

4. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari berbagai
bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum.

b) Selain yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional terdapat
dua aturan utama yang terdiri dari Konvensi Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban
perang dan Konvensi Den Haag mengenai cara dan alat berperang, tetapi ada juga konvensi lain yang
mengatur, yaitu:

Konvensi Den Haag

Seperti yang disebutkan diatas  bahwa pada konvensi ini, mengatur alat dan cara dalam berperang
(means and method of warfare). Aturan ini dihasilkan dari konvensi Den Haag 1899 dan juga dari
konvensi tersebut melahirkan tiga deklarasi yaitu:

- Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;

- Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;

- Konvensi III tentang Adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum
Perang di Laut;

Deklarasi yang dihasilkan pada tahun ini yaitu, melarang penggunaan peluru dum-dum yang dapat
membesar jika berada dalam tubuh manusia, peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak
dari balon, dan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.

c) Konvensi Jenewa 

Konvensi-Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of
1949 for the Protection of Victims of war) terdiri dari empat perjanjian dan tiga protokol tambahan,
yaitu:

1. Konvensi jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan
pertempuran darat (Geneva Convention For The Amelioration Of The Condition Of The Wounded and
Sick In Armed Forces In The Field, Of August 12, 1949)
2. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di Laut yang luka, sakit, dan
korban karam (Geneva Convention For The Amelioration Of The Condition Of The Wounded, Sick and
shipwrecked Members of Armed Forces at sea, of August 12, 1949)

3. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang (Geneva Convention Relative To The
Treatment Of Prisoners Of War, Of August 12, 1949)

4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu perang (Geneva Convention Relative To
The Protection Of Civilian Persons In Time Of, War Of August 12, 1949)

Dari keempat konvensi tersebut  menetapkan standar hukum internasional untuk pengobatan
kemanusiaan dari korban perang, istilah tunggal konvensi jenewa biasanya merujuk pada perjanjian
tahun 1949. 

3. a HAM merupakan bagian yang lebih muda didalam sistem hukum internasional, sedangkan hukum
humaniter merupakan hukum perang dan sudah ada lama dalam sistem hukum publik internasional.
HAM disusun dan diberlakukan pada saat masa damai, sedangkan hukum humaniter diberlakukan pada
saat adanya pertikaian bersenjata. Lalu kemudian HAM dan hukum humaniter memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk memberikan jaminan perlindungan kepada setiap manusia. Namun selain itu juga
terdapat perbedaan yang ada didalamnya.

b.1. Konstitusi UUD 1945 tidak secara tegas memuat definisi hak asasi manusi. namun pasal-pasal 18B
(2), 27 (2), pasal 28A-J, pasal 32-34 sudah cukup mengatakan bahwa hak asasi manusia diakui dan
dijamin dalam konstitusi kita.

2. Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, ukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.

3. Hak asasi manusia adalah hak dan kebebasa... yang dimiliki oleh setiap orang sejak saat dia lahir
sebagai manusia.

4. Hak asasi manusia secara umum dipahami sebagai hak-hak yang melekat pada diri seorang manusia.

5. Konsep hak asasi manusia muncul dari pemikiran manusia modern mengenai sifat keadilan; konsep ini
tidak muncul dari suatu konsensus yang berdasarkan antropologi mengenai nilai, kebutuhan, atau hasrat
manusia.

C. Hubungan Hukum Humaniter dan HAM adalah Hukum Humaniter itu mewakili suatu keseimbangan
antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan
berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan
sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Hukum humaniter internasional
mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan lainnya, sedangkan hak asasi manusia
mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara di dalam negara tersebut. Hukum
humaniter internasional beralaku pada saat perang atau pada masa sengketa bersenjata, sedangkan hak
asasi manusia berlaku pada saat damai.

a. Prinsip pembedaan (distinction principle) merupakan suatu yang

membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang,

atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yakni

Kombatan (Combatan) dan penduduk sipil (Civilian). Kombatan adalah golongan

penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan

penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam

permusuhan. (Haryomataram, 1984: 63).

Menurut Pictet (1985: 72), prinsip pembedaan ini berasal dari prinsip

umum yang dinamakan prinsip pembatasan ratione personae yang menyatakan,

“the civilian population and individual civilians shall enjoy general protection

against clanger arising from military operation”.

b. Kombatan (combatant) adalah orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung dalam
pertempuran atau medan peperangan.

Hukum Humaniter mengenai prinsip pembedaan (distinction principle), guna mengetahui siapa sajakah
yang disebut kombatan. Kombatan, apabila tertangkap pihak musuh, akan dianggap sebagai tawanan
perang (prisoner of war) dan berhak untuk diperlakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa III
tahun 1949.

siapa saja yang dapat dianggap sebagai kombatan :

1. Angkatan Bersenjata resmi (reguler) dari suatu negara

2. Milisi dan Korps Sukarela

3. Levee en masse

4. Gerakan perlawanan yang terorganisir (Organize Resistance Movement), seperti yang dikenal dengan
sebutan : guerillas, partisans, maquisard, freedom fighters, insurgent, sandinistas, peshmergars,
panjsheries, mujahideen, motariks, contras, muchachos, khmer rouge / liberation tiger, mau-mau,
fedayins, dan sebagainya.
4. C.Levée en masse adalah penduduk suatu wilayah yang belum diduduki yang secara spontan
mengangkat senjata saat terjadinya serangan dari pihak musuh, serta tidak ada waktu untuk
mengorganisasi atau mengatur diri, namun mengindahkan hukum dan membawa senjata secara
terbuka.

Dalam Pasal 2 Regulasi Den Haag menyatakan mengenai golongan penduduk yang disebutkan dalam
Pasal tersebut yang dinamakan

levee en masse.Mereka dapat dimasukkan ke dalam kategori belligerents sepanjang memenuhi


persyaratan sebagai levee en masse yaitu:

(a) penduduk dari wilayah yang belum diduduki

(b)secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan

(c)tidak memiliki waktu untuk mengatur diri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1

(d) membawa senjata secara terbuka

(e)menghormati hukum dan kebiasaan perang

5a-Gerakan perlawanan adalah upaya terorganisir oleh beberapa bagian dari penduduk sipil suatu
negara untuk melawan pemerintah yang didirikan secara hukum atau kekuatan pendudukan dan untuk
mengganggu ketertiban dan stabilitas sipil. Ini mungkin berusaha untuk mencapai tujuannya baik
melalui penggunaan perlawanan tanpa kekerasan (kadang-kadang disebut perlawanan sipil), atau
penggunaan kekuatan, apakah bersenjata atau tidak bersenjata. Dalam banyak kasus, seperti misalnya
di Amerika Serikat selama Revolusi Amerika, atau di Norwegia dalam Perang Dunia Kedua, gerakan
perlawanan dapat menggunakan metode kekerasan dan non-kekerasan, biasanya beroperasi di bawah
organisasi yang berbeda dan bertindak dalam cara yang berbeda. fase atau wilayah geografis dalam
suatu negara.

syarat sebagai kombatan yakni dipimpin oleh seseorang yang

bertanggung jawab atas bawahannya, mempunyai tanda pengenal yang melekat, serta

mengangkat senjata secara terang-terangan, baik dalam Konvensi den Haaag 1907 dan

Konvensi Jenewa 1949 mensyaratkan bahwa, anggota angkatan bersenjata (Armies),

korps sukarela (volunteer corps) maupun billigerent merupakan kombatan yang wajib

melakukan operasinya sesuai hukum dan kebiasaan perang.

5. b Perbedaan utama antara ‘non-international armed conflict’ dan ‘international armed conflict’ dapat
dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Dalam ‘international armed conflict’, ke dua
pihak memiliki status hukum yang sama, karena ke duanya adalah negara (sebagaimana dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949); atau paling tidak, salah satu pihak dalam konflik
tersebut adalah suatu entitas yang ‘dianggap setara dengan negara’ sesuai dengan persyaratan yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I 1977.

Pertama, ‘non-international armed conflict’ dapat dilihat sebagai suatu situasi peperangan di mana
terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata resmi dari suatu negara melawan kelompok-kelompok
bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) yang berada di dalam wilayah negara yang
bersangkutan. Jadi yang sedang berkonflik adalah antara angkatan bersenjata resmi (organ negara;
pemerintah) melawan rakyatnya sendiri yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata yang
terorganisir. Kelompok bersenjata demikian lebih dikenal dengan istilah “pemberontak” (“insurgent“).
Oleh karena itu peperangan dalam kategori ini lebih sering disebut dengan nama “perang
pemberontakan“. Bandingkan dengan “pihak bukan negara” yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4)
Protokol, di mana “pihak bukan negara” yang dimaksud adalah suatu “bangsa” (peoples) yang belum
merdeka dan berjuang melawan penjajahan.

Kedua, dalam ‘non-international armed conflict’, “pihak bukan negara” atau dalam hal ini adalah
kelompok bersenjata yang terorganisir atau pasukan pemberontak, memiliki motivasi utama untuk
melepaskan diri dari negara induk dan berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Mereka sebenarnya
adalah warga negara dari negara yang sudah merdeka, akan tetapi karena satu dan lain hal, ingin berdiri
sendiri sebagai suatu negara yang baru. Hal ini tentu berbeda dengan “pihak bukan negara” atau
“peoples” yang dimaksud dalam Protokol Tambahan. Mereka justru merupakan suatu “bangsa” yang
masih terjajah, dan ingin meraih kemerdekaan untuk menentukan nasibnya sendiri; lepas dari
penjajahan atau pendudukan asing bangsa lain.

Ketiga, oleh karena hal-hal tersebutlah maka “non-international armed conflict” merupakjan konflik
yang hanya terjadi di dalam wilayah suatu negara saja; sementara konflik internasional dapat terjadi
tidak saja di wilayah suatu negara tapi juga dapat terjadi di dalam wilayah internasional.

Anda mungkin juga menyukai