NIM : 6311201007 Kelas : Ilmu Hukum – A Dosen : Letkol Pom Yudi Pratikno, S.H., M.H.
• Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Hukum humaniter atau hukum perselisihan bersenjata memiliki perkembangan yang sama dengan pertahanan manusia. Hukum humaniter dimulai pada abad ke-19 setelah berakhirnya perang dunia. Sejak saat itu negara-negara mulai menyetujui untuk menyusun beberapa peraturan untuk tidak berperang dibagun atas pengalaman pahit. Hukum humaniter mewakili keseimbangan yang ada di dunia dan menjaga stabilitas dunia, istilah hukum humaniter atau lengkapnya International Humanitarian Law Applicable In Armed Conflict, yang kemudian menjadi hukum bersengketa senjata, istilah ini muncul ketika diadakannya conference of goverment expert on the reaffirmation and development in armed conflict. Pada tahun 1971 pada bidang baru dalam hukum internasional. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang tetapi karena alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi wilayah dimana terjadi perang. Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum perang atau yang dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu cabang hukum internasional yang tertua, karena hukum humaniter tidak luput perkembangannya dengan peradaban manusia. Begitu pun yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum perang sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Dalam perkembangannya hukum humaniter mengalami perkembangan yang sangat signifikan dari abad ke abad sebelumnya hukum humaniter yang sudah ada sekarang. Belum berbentuk peraturan masih hanya menjadi suatu kebiasaan yang disebut kultur. memiliki status yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan dunia. Hukum humaniter mulai dikenal pada abad ke 19, banyak negara-negara setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis dikarenakan pengalaman pahit di masa lalu. Hukum humaniter juga mewakili ke seimbangan dunia dengan adanya hukum humaniter ada peraturan dalam berperang. Pada umumnya aturan perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok tertentu selama bersengketa senjata dapat ditelusuri secara sejarah melalui seluruh negara atau peradaban dunia dalam beberapa peradaban seperti peradaban romawi dikenal konsep perang yang adil ( just war ) dimana ada beberapa kelompok yang tidak boleh di serang seperti penduduk sipil, baik anak anak maupun perempuan. Hukum humaniter memiliki sumber-sumber hukum untuk mengatur aturan perang, salah satunya tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah pengadilan Internasional yaitu: 1. Perjanjian internasional, baik bersifat umum maupun khusus yang membentuk aturan- aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional 2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktik umum yang diterima sebagai hukum 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab 4. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum. Selain yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional terdapat dua aturan utama yang terdiri dari Konvensi Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang dan Konvensi Den Haag mengenai cara dan alat berperang, tetapi ada juga konvensi lain yang mengatur, yaitu: - Konvensi Den Haag Seperti yang disebutkan diatas bahwa pada konvensi ini, mengatur alat dan cara dalam berperang (means and method of warfare). Aturan ini dihasilkan dari konvensi Den Haag 1899 dan juga dari konvensi tersebut melahirkan tiga deklarasi yaitu: Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat; Konvensi III tentang Adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut; Deklarasi yang dihasilkan pada tahun ini yaitu, melarang penggunaan peluru dum-dum yang dapat membesar jika berada dalam tubuh manusia, peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, dan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang. - Konvensi Jenewa Konvensi-Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) terdiri dari empat perjanjian dan tiga protokol tambahan, yaitu: 1. Konvensi jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan pertempuran darat (Geneva Convention For The Amelioration Of The Condition Of The Wounded and Sick In Armed Forces In The Field, Of August 12, 1949) 2. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di Laut yang luka, sakit, dan korban karam (Geneva Convention For The Amelioration Of The Condition Of The Wounded, Sick and shipwrecked Members of Armed Forces at sea, of August 12, 1949) 3. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang (Geneva Convention Relative To The Treatment Of Prisoners Of War, Of August 12, 1949) 4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu perang (Geneva Convention Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of, War Of August 12, 1949) Dari keempat konvensi tersebut menetapkan standar hukum internasional untuk pengobatan kemanusiaan dari korban perang, istilah tunggal konvensi jenewa biasanya merujuk pada perjanjian tahun 1949. Negosiasi pasca perang dunia yang diperbaharui dari kemudian untuk tiga perjanjian (1864,1906,1929) dan menambahkan menjadi keempat konvensi jenewa secara luas didefinisikan pada hak-hak dasar para tahanan perang (warga sipil dan personel militer) mendirikan perlindungan untuk yang terluka dan mendirikan perlindungan bagi warga sipil dan sekitar zona perang. Perjanjian tahun 1949 yang diratifikasi secara keseluruhan atau dengan reparasi menjadi 196 negara. Selain itu, konvensi jenewa juga mendefinisikan hak dan perlindungan yang diberikan kepada non kombatan. • Prinsip Hukum Humaniter Internasional Pada prinsipnya HHI hanya berlaku selama konflik bersenjata. Aturan HHI secara garis besar berupaya untuk mengatur prilaku permusuhan selama konflik bersenjata agar dapat meminimalkan penderitaan manusia. HHI mencerminkan keseimbangan yang konstan antara keperluan militer (the military neccesty) yang timbul dalam keadaan perang dan kebutuhan untuk perlindungan kemanusiaan (the needs for humanitarian protection). Prinsip umum lainnya adalah bahwa HHI pada dasarnya “tidak melarang semua jenis kekerasan” dan tidak melarang perang itu sendiri. Prinsip-prinsip umum (general principles) tersebut dijabarkan dalam prinsip-prinsip dasar (basic principles) HHI yaitu: - Pertama, prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan. Prinsip ini menegaskan bahwa hanya para prajurit (kombatan) yang berperang saja yang boleh menjadi target langsung. Pasal 48 dan 52 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 menetapkan bahwa “kombatan dan objek militer adalah yang secara sah dapat diserang”. - Kedua, prinsip larangan menyerang terhadap mereka yang termasuk dalam hors de combat yaitu kombatan yang tidak lagi terlibat dalam pertempuran karena sakit, terluka, terdampar, dan menjadi tawanan perang. - Ketiga, prinsip larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu, meskipun kekerasan diijinksn atau tidak dilarang oleh HHI, penggunaan kekerasaan itu dilarang menimbulkan penderitaan yang tidak perlu dan cedera yang berlebihan. - Keempat, prinsip batas proposionalitas dan melindungi potensi yang membahayakan warga sipil dengan cara menuntut bahwa sedikit mungkin jumlah kerugian yang ditimbulkan untuk warga sipil, dan ketika membahyakan warga sipil terjadi harus sebanding dengan keuntungan militer. - Kelima, gagasan tentang kepentingan. Sebuah gagasan kepentingan militer sering berbenturan dengan prinsip perlindungan kemanusiaan. Kepentingan militer memungkinkan angkatan bersenjata untuk terlibat dalam prilaku yang akan menghasilkan kerusakan dan menimbulkan bahaya bagi manusia. - Keenam, prinsip kemanusiaan menetapkan bahwa semua manusia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menunjukan rasa hormat dan kepedulian untuk menujukan rasa hormat dan kepedulian untuk semua, bahkan musuh bebuyutan sekalipun. Prinsipprinsip kemanusiaan dapat ditemukan dalam semua budaya dan agama besar. Sumber-sumber yang utama dari hukum humaniter internasional yang tertulis adalah berupa Konvensi. Dalam hal ini terdapat dua konvensi utama yaitu Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari 4 Konvensi dan serta protokol tambahannya tahun 1977 yang dimana mengatur tentang perlindungan terhadap korban-korban perang, kemudian Konvensi Den Haag 1889 yang dimana dalam Konvensi tersebut terdapat 13 konvensi yang mengatur tentang tata cara sarana berperang. • Aturan-Aturan dalam HHI HHI yang mengatur konflik bersenjata internasional juga berlaku “untuk Semua kasus pendudukan atas sebagian atau keseluruhan wilayah Pihak Peserta Agung, bahkan jika pendudukan tersebut tidak mendapat perlawanan Bersenjata.”78 Pada intinya, pendudukan perang terjadi ketika satu Negara Menginvasi Negara lain dan melakukan kendali militer atas sebagian Atau seluruh wilayahnya. Oleh karena itu, Pasal 42 Peraturan Den Haag Menyatakan: “Wilayah dianggap diduduki manakala wilayah tersebut benar-Benar berada di bawah otoritas pasukan musuh. Pendudukan menjangkau Hanya sampai ke wilayah di mana otoritas tersebut telah terwujud dan dapat Dilaksanakan.” Adapun aturan yang berlaku dalam hukum humaniter atau hukum perang yaitu : • Merawat korban luka, sakit, karam, baik mereka kawan maupun lawan • Perlakuan manusiawi terhadap tawanan • Perlindungan terhadap properti dan individu • Menghormati palang merah, bulan sabit, dan entitas kemanusiaan • Hanya boleh menyerang target militer • Membatasi penggunaan kekerasan • Tidak boleh ada penyiksaan fisik dan moral terhadap individu, khususnya ketika ingin menggali informasi dari mereka atau pihak ketiga