NIM : 182302006
Prodi : Hukum
Yogyakarta
2021
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul Penegakan Hukum Humaniter
Internasional.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Ibu dosen yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
2
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................................................4
1.1.Latar Belakang..........................................................................................................4
1.2.Rumusan Masalah....................................................................................................5
BAB II.Pembahasan............................................................................................................6
BAB III.Penutup................................................................................................................14
Daftar Pustaka..................................................................................................................15
3
BAB I. PENDAHULUAN
1
Prisca oktaviani Samosir, “Konvensi Jenewa II Tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Perang Di Laut Yang Luka,Sakit,Dan Korban Karam Dalam Hukum Humaniter Internasional.,”
2013, 2.
4
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas
internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan
atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku,
moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu
selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir
semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal
konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi
penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.2
Peraturan yang berada dalam Hukum Humaniter yang mengikat Negara yang
telah di ratifikasi oleh ketentuan yang berada pada perjanjian atau kebiasaan
humaniter Internasional dan individu-individu termasuk anggota angkatan
bersenjata,kepala Negara,menteri dan pejabat-pejabat yang lain. Sementara itu
peraturan yang berada dalam Hukum Humaniter Internasional juga mengikat
pasukan-pasuka Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang terlibat dalam masalah
militer, namun terdapat pertimbangan pasukan PBB tidak terikat jika terlibat
dalam operasi dalam suatu Negara, disamping itu pasukan perang yang berasal
dari Negara itu tetap harus tunduk pada pengaturan dalam Hukum Humaniter.3
2
“Makalah Lengkap Hukum Humaniter Internasional | Berbagi Pengetahuan,” accessed June 24,
2021, https://gumilar69.blogspot.com/2013/11/makalah-lengkap-hukum-humaniter.html.
3
Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional Dalam Hal Terjadinya Kejahatan
Perang Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949,” Ilmu Hukum , no.2 Hukum Humaniter Internasional
(2011): 259.
5
BAB II.Pembahasan
Kejahatan Perang merupakan pelanggaran-pelanggaran pada Hukum
Humaniter Internasional yang mempunyai tanggung jawab secara individu dari
pelaku. Terdapat dua pengertian Kejahatan Perang yaitu pengertian luas dan
pengertian sempit.
4
Ibid,hlm.260.
6
4) Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang
(Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in
time of War, of August 12, 1949).5
Penekanan tentang kewajiban negara pihak, diterangkan dalam Pasal 49 ayat (1)
Konvensi I, Pasal 50 ayat (1) Konvensi II, Pasal 129 ayat (1) Konvensi III, dan
5
Rafika Siregar, Abdul Rahman, and Arif Arif, “Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa Iv Tahun 1949
Terhadap Negara-Negara Yang Berperang Menurut Hukum Internasional,” Journal of
International Law 1, no. 3 (2013).
6
“Penegakan Hukum Humaniter,” n.d., 7–8.
7
Pasal 146 ayat (1) Konvensi IV, yang menyatakan “Pihak Peserta Agung berjanji
untuk menetapkan undang- undang yang diperlukan yang memberikan sanksi
pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk
melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti
ditentukan dalam pasal berikut”.
Negara pihak pada Konvensi Jenewa 1949 berkewajiban pula untuk mencari
orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk
melakukan pelanggaran berat-yang merupakan kejahatan perang- sebagaimana
yang dimaksud dalam Konvensi dan negara tersebut harus mengadili orang-orang
tersebut tanpa memandang kebangsaannya, atau menyerahkannya kepada negara
pihak lainnya untuk dapat diadili.
8
Jika negara pihak tidak melakukan tindakan nyata berkaitan dengan
pelanggaran hukum humaniter yang dilakukan atau yang diperintahkan oleh
warga negaranya atau yang terjadi di wilayah negaranya, maka mekanisme
penegakan hukum yang bisa ditempuh adalah dengan mengajukan individu yang
memerintahkan atau melakukan pelanggaran hukum humaniter atau kejahatan
perang ke pengadilan internasional. Pengadilan internasional yang apabila harus
diadakan, hanyalah merupakan pelengkap atau komplementer saja sifatnya.
Dalam hal sebuah negara tidak mau atau tidak mampu mengadili pelaku
kejahatan perang, atau pengadilan nasional yang telah dilakukan ternyata berjalan
secara tidak adil, maka pengadilan internasional yang memungkinkan untuk
mengadili pelaku adalah:
9
individu, yang menyebabkan seseorang tidak dapat berdalih bahwa perbuatan
yang dilakukannya adalah untuk kepentingan atau atas perintah Negara Berbeda
dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo tidak lahir dari perjanjian
negara-negara tetapi dibentuk berdasarkan Proklamasi Komandan Tertinggi
Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Kemudian Amerika
Serikat menyusun piagam Mahkamah Tokyo yang mengacu pada Nuremberg
Charter. Adapun yurisdiksi Mahkamah Tokyo adalah kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan
perang yang dimaksud adalah kejahatan perang konvensional yaitu pelanggaran
terhadap hukum dan kebiasaan perang.
Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 51/207, 1966 dan Resolusi Nomor
52/160, 1997 menyelenggarakan The United Nation Deplomatic Conference of
Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional
yang berlangsung dari tanggal 15 Juni-17 Juli 1998 di Markas Besar FAO di
Roma. Hasilnya adalah Statuta Mahkamah Pidana Internasional diterima pada
tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara, 7 negara menentang dan 21 negara abstain.
Statuta yang dikenal juga dengan Statuta Roma mulai berlaku tanggal 1 Juli 2001,
setelah didepositkannya pada Sekretaris Jendral PBB ratifikasi ke 6015.
10
kejahatan-kejahatan yang terjadi diluar batas wilayah negara. Yurisdisksi
Mahkamah Pidana Internasional diuraikan secara terperinci dalam Pasal 5 Statuta,
dimana Mahkamah menangani kejahatan-kejahatan yang paling serius yang
selama ini menjadi keprihatinan masyarakat internasional, yaitu:
Ada tiga pihak yang dapat mengajukan sutu kasus kepada Jaksa Penuntut, yaitu
negara pihak Statuta, Dewan Keamanan PBB dan prakarsa Jaksa Penuntut sendiri.
Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 13 Statuta yang mengatur bahwa tindak-
tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 dapat berlaku jika:
a. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan
melimpahkannya kepada Jaksa Penuntut Umum oleh negara pihak
sesuai dengan Pasal 14;
11
b. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan
dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum oleh Dewan Keamanan
yang bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB;
c. Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan
berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta.
Disamping ketentuan yang berkaitan dengan kejahatan perang,
1) Prinsip komplementer
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa Mahkamah merupakan pelengkap dari
yurisdiksi pengadilan nasional. Prinsip komplementer ini merupakan pengakuan
terhadap kedaulatan negara, sehingga pada dasarnya Mahkamah tidak
menggantikan keberadaan dan yurisiksi pengadilan nasional.
2) Prinsip Penerimaan
12
d. kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut
dari Mahkamah.
3. Prinsip Ne bis in idem
Jelaslah disini bahwa, terhadap kejahatan perang yang dilakukan misalnya oleh
Israel, maka salah satu negara pihak dapat mengajukan perkara ke Jaksa penuntut,
atau Dewan Keamanan PBB mau mengajukan perkara tersebut ke Mahkamah,
atau Jaksa penuntut dengan prakarsanya sendiri membuat tuntutan kepada Israel
di Mahkamah dan individu yang melakukan atau memerintahkan untuk
dilakukannya kejahatan tersebut dapat diadili pada Mahkamah Pidana
Internasional.7
BAB III.Penutup
Hukum Humaniter diatur dalam Konvemsi Jenewa 1949 dan perjanjian-perjanjian
internasional lainnya. Penegakan Hukum terkait kejahatan perang dalam
Konevensi Jenewa 1949 yaitu melalui hokum nasional dan pengadilan nasional
menurut tempat terjadinya perang.
7
Evi Deliana HZ, op.cit. hlm 263-265.
13
kejahatan perang bisa juga diajukan terhadap ICC dengan memberlakukan
peraturan-peraturan yang terdapat pada Statuta Roma.
Daftar Pustaka
14
Samosir,Prisca oktaviani.2013.” Prisca oktaviani Samosir, “Konvensi Jenewa II
Tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Di Laut Yang
Luka,Sakit,Dan Korban Karam Dalam Hukum Humaniter Internasional.”.hlm 2.
15