Anda di halaman 1dari 215

Penulisan Bahan Ajar 2012

Hukum Humaniter dan Kejahatan Internasional


Prof. Dr. Alma Manuputty S.H., M.H.

un pp
s
k
ha
l

Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Internasional


Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
2012

Page | 1
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang telah memberikan kesehatan dan
kekuatan sehingga Bahan Ajar yang sederhana ini dapat diwujudkan sebagai bentuk pengabdian
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Bahan ajar mempunyai peranan penting dalam upaya
meningkatkan efektivitas proses belajar mengajar. Disamping itu juga, bahan ajar menjadi
komponen penting sebagai langkah maju menuju “pembacaan” buku teks yang tingkat
kedalaman isinya cukup bagi mahasiswa.

Dengan adanya bahan ajar “Hukum Humaniter dan Kejahatan Internasional” yang
un pp
dapat diakses secara online oleh para mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan gairah belajar
mahasiswa. Aktivitas belajar secara mandiri dapat terprogram semakin intensif dan efektif serta
kesulitan bahan referensi baik bagi mahasiswa maupun para pengajar dapat teratasi.

s
Penulis sangat mengharapkan dan menghargai kritik serta saran yang konstruktif guna
penyempurnaan dimasa mendatang. Semoga bahan ajar ini dapat memberi manfaat.
k
ha
l

Makassar, 30 November 2012

Alma Manuputty

Almapattileuw@yahoo.com

Page | 2
Daftar Isi

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………… i

Daftar Isi …................................................................................................................................. ii

Glosarium ……………………………………………………………………………………… iii

Bab 1. Pendahuluan …………………………………………………………………………… 1

Bab 2. Bahan Pembelajaran 1 ………………………………………………………………… 10

Bab 3. Bahan Pembelajaran 2 …………………………………………………………………. 19


un pp
Bab 4. Bahan Pembelajaran 3 ………………………………………………………………… 24

Bab 5. Bahan pembelajaran 4 …………………………………………………………………. 49

Bab 6. Bahan Pembelajaran 5 …………………………………………………………………. 58

s
Bab 7. Bahan Pembelajaran 6 …………………………………………………………………. 70

Bab 8. Bahan Pembelajaran 7 .................................................................................................... 116


k
ha
Bab 9. Bahan Pembelajaran 8/ Midtest ……………………………………………………….. 126

Bab 10. Bahan Pembelajaran 9 ……………………………………………………………….. 127


l
Bab 11. Bahan Pembelajaran 10 ……………………………………………………………… 142

Bab 12. Bahan Pembelajaran 11 ……………………………………………………………… 145

Bab 13. Bahan Pembelajaran 12 ……………………………………………………………… 157

Bab 14. Bahan Pembelajaran 13 ……………………………………………………………… 170

Bab 15. Bahan Pembelajaran 14 ……………………………………………………………… 193

Bab 16. Bahan Pembelajaran 15 ……………………………………………………………… 201

Bab 17. Bahan Pembelajaran 16/ Final Test ………………………………………………….. 207

Page | 3
GLOSARIUM

Hukum Den Haag/The Hague : Hukum yang mengatur tentang cara dan alat yang boleh dipakai
dalam berperang.

Hukum Jenewa/The Geneva Laws : Hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap kom-
batan dan penduduk sipil dari akibat perang.

un pp
Jus ad bellum : Hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negaradibenar-
kan menggunakan kekerasan bersenjata.

s
Jus in bello : Hukum yang berlaku dalam perang yang terbagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu
The Hague Laws dan The Geneva Laws.
k
ha
Law of Armed Conflict : Istilah pengganti hukum perang (Law of War).
l
Hukum humaniter : Perkembangan baru yang menyebabkan konsep-konsep cara berperang yang
lebih manusiawi. Meskipun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu hukum perang,
hukum sengketa bersenjata dan hukum humaniter, tetapi istilah-istilah tersebut memiliki
arti yang sama.

Perang dalam arti hukum adalah apabila perang itu dimulai sesuai dengan cara yang ditentukan
dalam Konvensi III Den Haag 1907, yaitu bahwa harus pernyataan perang
yang disertai alasan (Declaration of War).

Klausula Siomnes yaitu bahwa Konvensi IV Den Haag 1907 hanya berlaku apabila kedua belah
pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak

Page | 4
bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku (Pasal 2 Konvensi
Den Haag IV 1907).

Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperang-
an yang sedang berlangsung.

Orang netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan. Mer-
eka ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang
netral baik dalam melakukan suatu tindakan permusuhan terhadap salah
un pp satu pihak yang bersengketa maupun menjadi relawan dari suatu angkatan
bersenjata salah satu pihak yang bersengketa.

s
Common articles atau ketentuan yang bersamaan adalah beberapa pasal dalam Konvensi Jenewa
1949. Yang dipandang penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan
k
ha di setiap Konvensi Jenewa, baik diletakkan pada nomor pasal yang sama,
maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi yang sama atau hampir sama.
l
Klausula Martens, klausula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur
suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka keten-
tuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum in-
ternasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara –
negara yang beradab, dari hukum kemanusiaan serta dari pendapat publik
(public conscience).

Instruksi Lieber, sering disebut sebagai Lieber Code, adalah suatu dokumen yang berisi serang-
kaian peraturan / instruksi bagi tentara Amerika Serikat dalam menghada-
pi Perang Saudara di Amerika (1861-1865).

Page | 5
Deklarasi St. Petersburg merupakan suatu instrumen yang sama sekali berbeda dari Lieber Code.
Lebih merupakan suatu peraturan nasional yang lebih rinci, maka Deklarasi
St. Petersburg merupakan suatu perjanjian internasional yang mengatur ten-
tang persenjataan, khususnya perkembangan proyektil-proyektil yang dapat
meledak.

Hague Regulations adalah peraturan-peraturan dalam Konvensi Den Haag ke IV yang mengatur
tentang hukum dan kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan tentang
metoda dan sarana berperang.
un pp
Protokol Tambahan I dan II adalah Protokol Tambahan 1977 terhadap Konvensi Jenewa 1949 ten-
tang perlindungan korban perang.

s
Prinsip pembedaan atau Distinction Principle adalah suatu prinsip yang membedakan atau mem-
k
ha bagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terli-
bat dalam konflik bersenjata, kedalam 2 golongan yaitu kombatan dan pen-
l
duduk sipil.

Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (Hostilities)

Penduduk sipil (civilian) adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.

Hak asasi manusia (HAM), istilah HAM berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dalam
arti perubahan peradaban manusia dari masa ke masa. Pada mulanya diken-
al dengan sebutan natural rights (hak-hak alam) yang berpedoman kepada
teori hukum alam bahwa segala sesuatu berasal dari alam termasuk HAM.
Istilah ini kemudian diganti dengan the rights of man tetapi akhirnya tidak

Page | 6
diterima karena tidak mewakili hak-hak perempuan. Sesudah Perang Dunia
II dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa muncul istilah Human
Rights yang di Indonesiakan dengan sebutan Hak Asasi Manusia (yang di
dalamnya terdapat hak-hak pria dan perempuan).

Asas non intervensi adalah bahwa suatu negara tidak boleh turut campur tangan atas masalah dal-
am negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri mengakuinya secara tegas.

Asas hidup berdampingan secara damai, asas ini menekankan supaya negara-negara dalam menja-
un pp lankan kehidupannya baik internal maupun eksternal dilakukan dengan cara
hidup bersama-sama secara damai, saling menghormati dan menghargai
satu sama lain.

s
Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, asas ini mewajibkan negara
k
ha bahkan siapapun untuk menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia
dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
l
Asas legalias atau asas nullum delictum, noela poena sine lege adalah bahwa suatu perbuatan tidak
dapat dipidana apabila perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu
undang-undang pidana internasional.

Asas non retroactive, asas ini merupakan turunan dari asas legalitas. Asas ini menyatakan bahwa
suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut.

Page | 7
Asas culpabilitas bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuk-
tikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didak-
wakan kepadanya melalui proses pemeriksaan badan peradilan yang berwe-
nang.

Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) bahwa seseorang yang diduga melakukan
suatu kejahatan / tindak pidana wajib untuk dianggap tak bersalah sampai
kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan
yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti.
un pp
Asas ne/non bis in idem, bahwa orang yang sudah diadili atau dijatuhi hukuman yang telah me-
miliki kekuatan mengikat yang pasti, tidak boleh diadili atau dijatuhi putus-

s
an untuk kedua kalinya atas kejahatan / tindak pidana tersebut.
k
ha
l

Page | 8
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Gambaran Profil Lulusan Program Studi

Era globalisasi yang berlangsung saat ini telah membuka peluang yang cukup luas
bagi negara – negara untuk melakukan hubungan internasional. Indonesia merupakan
salah satu negara yang menyadari arti pentingnya hubungan internasional, khususnya
dalam melakukan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, baik di bidang
ekonomi, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya.
un pp Sebagai konsekuensi dari semakin intensnya hubungan hukum internasional,
maka permasalahan hukum internasional juga berkembang semakin kompleks.
Keberadaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan hukum
internasional secara komperhensif menjadi harapan bersama, khususnya perannya dalam

s
menyelesaikan dan menemukan jalan keluar atas permasalahan yang sangat kompleks.
Kebutuhan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan penguasaan hukum
k
ha
internasional yang komprehensif tersebut perlu didukung oleh wawasan yang holistik.
Untuk itu perlu penyelenggaraan program pendidikan tinggi yang berkualitas pada
l
konsentrasi hukum internasional untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut.
Dalam menjalankan strategi penyelenggaraan pendidikan tinggi, maka program
studi ilmu hukum Fakultas Hukum UNHAS diarahkan dengan tetap mengkiblati visi dan
misi universitas. Penjabaran visi dan misi dimaksud kemudian tertuang sebagai berikut:
I. VISI
“Menjadikan Program Studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin sebagai Program Studi Ilmu Hukum unggulan di Indonesia pada
tahun 2020 dalam pengembangan ilmu hukum.
II. MISI
Untuk mewujudkan visi program studi Ilmu Hukum, maka ditetapkan misi
sebagai berikut:
a. Menjadikan Program Studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki keunggulan
kompetitif dalam penelitian dan pendalaman ilmu hukum yang

Page | 9
berwawasan holistik, serta memiliki kompetensi spesifik untuk melakukan
penelitian di bidang ilmu hukum secara mandiri.
b. Menjadikan Program Studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki kemampuan
dan keunggulan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi,
sehingga menghasilkan profesionalisme dan intelektualitas keilmuan yang
diakui secara nasional dan internasional.
c. Menjadikan Program Studi Ilmu Hukum (S1) menjadi kebanggaan
Universitas Hasanuddin yang memiliki kemampuan penelitian dan
pemikiran keilmuan berwawasan holistik untuk dapat memberikan solusi
terbaik pada setiap persoalan pembangunan hukum nasional dan
un pp internasional.

B. Kompetensi Lulusan dan Analisis Kebutuhan Pembelajaran

s
Uraian visi dan misi Fakultas Hukum UNHAS diatas kemudian dijabarkan dalam
bentuk pilihan kompetensi lulusan. Hal ini diartikan bahwa pilihan kompetensi lulusan
k
ditetapkan dalam rangka menggambarkan wujud lulusan Program Studi Ilmu Hukum
ha
(S1) Fakultas Hukum UNHAS. Kompetensi lulusan yang ditetapkan adalah “praktisi”.
Pilihan kompetensi lulusan pada praktisi dimaksudkan agar lulusan yang dihasilkan
l
memiliki basic skill (keahlian) yang merupakan pasangan dari knowledge (pengetahuan)
yang tentunya telah dimiliki oleh setiap lulusan. Sehingga setiap lulusan dipandang telah
dipandang telah siap baik skill maupun knowledge untuk berkompetensi pada universitas
yang sesungguhnya (real life).
Dalam konteks pembelajaran maka kuliah Hukum Humaniter dan Kejahatan
Internasional akan terbangun suatu konstruksi bahwa lulusan dengan kompetensi praktisi
akan dapat menyelesaikan persoalan – persoalan di bidang Hukum Humaniter dan
Kejahatan Internasional terkait upaya pencegahan dan perlindungan korban dan
penegakan hukumnya dimana diperlukan kerjasama antara pemerintah (politisi dan
militer) dengan badan – badan internasional (publik – NGO) yang berfungsi di bidang
Humaniter dan Kejahatan Internasional.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan harmonisasi antara apa yang hendak
dicapai dengan apa yang ditetapkan terhadap lulusan maka penyediaan metode

Page | 10
pembelajaran yang tepat merupakan hal yang bijak dalam rangka menjembatani
harmonisasi dimaksud. Ketersediaan Garis – garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP),
Jadwal Kegiatan Mengajar (JKM) dan Satuan Acara Pengajaran (SAP) baik yang
dikemas dalam bentuk modul maupun powerpoint semakin mempermudah pencapaian
harmonisasi yang dimaksud sebelumnya.

C. Garis – garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)

1. Nama Mata Kuliah : Hukum Humaniter dan Kejahatan Internasional


2. Kode SKS Mata Kuliah : 237B11162
3. Dosen Pengasuh : Prof. DR. Alma Manuputty S.H., M.H.
un pp
4. Kompetensi Utama : Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Hukum
Humaniter dan Kejahatan Internasional, prinsip
hubungan antara Hukum Humaniter dan
Kejahatan Internasional dengan HAM.
5. Kompetensi Pendukung : Mahasiswa memiliki kemampuan dan

s
keterampilan menggunakan dan menerapkan
beberapa teori, ketentuan dan prinsip – prinsip
Hukum Humaniter dan Kejahatan Internasional
k
ha untuk memecahkan masalah – masalah yang
timbul/kasus – kasus yang terjadi akhir – akhir
ini.
l
6. Kompetensi Lainnya : Mahasiswa memiliki kemampuan dan
keterampilan melakukan penelitian hukum,
khususnya Hukum Humaniter dan Kejahatan
Internasional secara mandiri.
7. Semester : Genap/Akhir
8. Daftar Pusaka : 1. Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum
Humaniter
2. GPH Haryomataram, Hukum Humaniter
3. GPH Haryomataram,Bunga Rampai Hukum
Humaniter
4. GPH Haryomataram, Kewenangan Dewan Keamanan
PBB Terutama Yang Berhubungan dengan
Pembentukan dan Pengoperasian Pasukan PBB
(Kasus: “Humanitarian Intervention” di Somalia)
5. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang
Merah Tahun 1949.

Page | 11
6. A. Masyhur Effendi, Perkembangan Hukum
Humaniter dan Sikap Indonesia.
7. I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional
8. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana
Internasional, Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya

Minggu Sasaran Materi Pembelajaran Strategi Kriteria Bobot


Ke Pembelajaran Pembelajaran Penilaian Nilai
(%)
I Mahasiswa dapat Pengertian Hukum 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan Humaniter Interaktif dalam diskusi
pengertian Hukum
un pp a. Istilah 2. Diskusi 2. Kejelasan
Humaniter b. Pengertian Kelas Kemukakan
c. Asas-asas pendapat
d. Tujuan 3. Ketepatan
dalam
uraikan asas-

s
asas dalam
Hukum
Humaniter
k
II Mahasiswa dapat
ha Sejarah 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan perkembangan Interaktif dalam diskusi
sejarah Hukum Humaniter 2. Diskusi kelas
perkembangan a. Zaman Kuno Kelas 2. Kemampuan
l
Hukum Humaniter 3000-1500SM mengungkapka
pada zaman kuno, b. Zaman abad n sejarah
zaman abad pertengahan perkembangan
pertengahan dan Hukum Hukum
zaman modern Humaniter Humaniter
dipengaruhi oleh
agama-agama dan
prinsip
keksatriaan
c. Zaman Modern
 abad 18 s/d
sekarang

Page | 12
III Mahasiswa dapat a. Hukum Den Haag 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan 1. Konvensi Den interaktif kelas dan
sumber-sumber Haag 1899 2. Diskusi kehadiran
Hukum Humaniter 2. Konvensi Den small 2. Penguasaan
baik sumber- Haag 1907 group individu
sumber hukum b. Hukum Jenewa
lainnya 1.Keempat
konvensi
Jenewa 1949
2.Protokol
tambahan I dan
II 1977
c. Sumber Hukum
Lainnya
un pp 1. Deklarasi Paris
1856

2. Deklarasi Paris
1856
3. Deklarasi St.

s
Petersburg
1868
4. Protokol
Jenewa 1925
k
ha 5. Protokol
London 1936
6. Konvensi Den
Haag 1954
l
7. Konvensi
Senjata
Konvensional
tertentu 1980
IV Mahasiswa dapat a. Sarana dan 1.Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan metode berperang interaktif dalam diskusi
tentang sarana dan menurut Konvensi 2.Diskusi 2. Kerjasama
metode berperang Den Haag Kelas team
b. Sarana dan 3.Case study 3. Penguasaan
metode berperang individu
menurut Protokol
Tambahan I
V Mahasiswa dapat Prinsip Pembedaan: 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan a. Pengertian interaktif dalam diskusi
tentang prinsip b. Perkembangan 2. Diskusi 2. Kehadiran
pembedaan pengaturan kelas in 3. Penguasaan
sehingga dapat prinsip small individu
membedakan pembedaan group

Page | 13
penduduk dalam
satu negara yang
terlibat konflik
bersenjata
VI Mahasiswa dapat Implementasi 1. Discovery 1. Kemampuan 5
menjelaskan Hukum Humaniter: learning menyajikan
implementasi a. Implementasi melalui fakta-fakta
Hukum Humaniter secara umum dan small terkait soal
serta bagaimana peranan ICRC 2. Kuliah implementasi/
peranan ICRC b. Implementasi interaktif penerapan
khusus: 3. Diskusi prinsip-
1.UU No.20/1982 kelas prinsip
dan RUU Ratih Hukum
2.UU Pertahanan Humaniter
un pp Keamanan 2. Partisipasi
3.Ketentuan dalam diskusi
tentang Lambang 3. Kerjasama
Palang Merah team
dalam Hukum 4. Penguasaan
Humaniter individual

s
VII Mahasiswa dapat Hubungan Hukum 1. Kuliah 1. Kemampuan 5
menjelaskan Humaniter dan interaktif mengemukaka
hubungan antara HAM 2. Case study n fakta-fakta
Hukum Humaniter 1. Aliran 3. Diskusi terkait
k
ha
dan HAM intergrasionis
2. Aliran separatis
3. Aliran
Kelas hubungan
antara Hukum
Humaniter dan
l
komplementaris HAM
2. Ketepatan
gunakan teori-
teori dalam
menganalisa
3. Partisipasi
individual
VIII Ujian Tengah Makalah 1. Isi makalah 15
Semenster/Mid Test individual 2. Organisasi
tentang salah makalah
satu aspek 3. Kesesuaian
dari materi antara teori
yang sudah dan kasus
dipelajari serta analisis
4. Ketepatan
waktu
IX Mahasiswa dapat Berbagai variasi 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan kejahatan interaktif dalam diskusi
berbagai variasi internasional

Page | 14
dari kejahatan 1. Kejahatan 2. Diskusi 2. Partisipasi
internasional internasional yang kelas individual
baru pertama
kalinya di dunia ini
2. Kejahatan
internasional yang
konvensional
3. Kejahatan nasional
yang mengandung
unsur eksternal
X Mahasiswa dapat Dimensi Nasional 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan dari Kejahatan interaktif dalam diskusi
dimensi nasional Internasional : 2. Case study 2. Ketepatan
dari kejahatan 1. Suatu kejahatan 3. Diskusi kelas penggunaan
internasional dan
un pp terjadi di wilayah teori-teori
menganalisa kasus dari satu atau dlm
lebih negara dan menganalisa
menimbulkan kasus
akibat di dalam 3. Penguasaan
wilayah negara individual

s
ybs
2. Suatu kejahatan
terjadi di suatu
tempat di luar
k
ha wilayah negara
tetapi
menimbulkan
l
akibat di dlm
wilayah dr satu
atau lebih neg
XI Mahasiswa dapat Dimensi 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan Internasional dari interaktif dalam diskusi
dimensi Kejahatan Nasional 2. Case study 2. Ketepatan
internasional dr 1. Tempat terjadinya 3. Diskusi analisa dgn
suatu kejahatan kejahatan nasional kelas gunakan
nasional dan diluar wilayah teori-teori utk
menganalisa kasus negara ybs tetapi analisa kasus
berakibat di 3. Penguasaan
wilayah individual
negaranya
2. Korban kejahatan
nasional terjadi di
wilayah lain atau
ditempat diluar
wilayah negara
3. Kejahatan yg

Page | 15
terjadi didalam
wilayah suatu
negara tetapi
pelakunya adalah
orang yg bukan
warga negara

XII Mahasiswa dapat Sumber Hukum 1. Kuliah 1. Partisipasi 5


menjelaskan dan Formal dari Hukum interaktif kelas
mengidentifikasi Pidana Internasional: 2. Makalah 2. Kerjasama
sumber hukum 1. Perjanjian kelompok team
dalam arti formal Internasional 3. Diskusi 3. Penguasaan
yang berasal dari 2. Hukum individual
Hukum Kebiasaan
Internasional
un pp Internasional
3. Putusan badan-
badan
penyelesaian
sengketa
internasional

s
4. Pendapat para
ahli
5. Keputusan/resol
usi organisasi
k
ha internasional
6. Prinsip-prinsip
hukum umum
l
XIII Mahasiswa dapat Asas-asas Hukum 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan asas- Pidana Internasional interaktif kelas
asas yang berasal 1. Asas-asas 2. Makalah 2. Kerjasama
dari hukum Hukum Pidana kelompok team
internasional Internasional 3. Diskusi 3. Penguasaan
maupun asal-asal yang berasal dari individual
yang berasal dari Hukum
Hukum Nasional Internasional
negara-negara 2. Asas-asas
serta asas-asas Hukum Pidana
yang merupakan Internasional
perpaduan yang berasal dari
Hukum Pidana
Nasional negara-
negara
3. Asas-asas
Hukum Pidana
Internasional

Page | 16
yang benar-benar
mandiri
4. Asas-asas
Hukum Pidana
Nasional negara-
negara dan
instrumen-
instrumen
Hukum
Internasional
tentang HAM
5. Asas-asas
Hukum Pidana
Internasional
un pp yang merupakan
perpaduan antara
asas-asas Hukum
Internasional dan
asas-asas Hukum
Pidana Nasional

s
negara-negara
XIV Mahasiswa dapat Subyek-subyek 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
mengenali dan Hukum Pidana interaktif kelas
menjelaskan Internasional: 2. Small 2. Kerjasama
k
hasubyek-subyek
Hukum Pidana
Internasional
1. Individu
2. Negara
3. Badan-Badan
group
discussion
team
3. Penguasaan
individual
l
Hukum Swasta
XV Mahasiswa dapat Hubungan antara 1. Kuliah 1. Partisipasi 5
menjelaskan Hukum Pidana interaktif kelas
tentang tempat Internasional dengan 2. Small 2. Kerjasama
Hukum Pidana HAM dan Hukum group team
Internasional Humaniter discussion 3. Penguasaan
dalam kaitannya 1. Hubungan antara individual
dengan Hukum Hukum Pidana
HAM dan Hukum Internasional
Humaniter dengan HAM
2. Hubungan antara
Hukum Pidana
Internasional
dengan Hukum
Humaniter
XVI Ujian Akhir Essay Test 15
Semester/ Final Test

Page | 17
BAB 2

BAHAN PEMBELAJARAN 1

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang ingin dicapai pada minggu I bahwa mahasiswa dapat
menjelaskan pengertian hukum humaniter, istilah, asas-asas, dan tujuan hukum
humaniter. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi
pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu
un pp
partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan pendapat dan ketepatan dalam
menguraikan asas-asas dalam hukum humaniter. Pembelajaran ini akan dilaksanakan
selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan kepada peserta
didik.

s
B. Uraian
k
ha Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum
sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan perang itu sendiri.
Umumnya aturan-aturan tentang perang ini termuat dalam aturan tingkah laku, moral,
l
dan agama. Aturan-aturan ini antara lain terdapat dalam ajaran agama Budha, Konfusius,
Yahudi, Kristen, dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500 ketentuan-ketentuan ini sudah
ada pada bangsa Sumeria, Babilonia, dan Mesir Kuno. Dalam peradaban bangsa Romawi,
dikenal konsep perang yang adil (just war).
Pada abad ke 18 Jean Jaques Rosseau dalam bukunya The Social contract
mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini mengajarkan
bahwa perang harus berlandaskan Hukum Humaniter Internasional. Pada abad ke 19
landasan moral ini dibangun oleh Henry Dunant, yang merupakan iniator organisasi
Palang Merah, yang kemudian berhasil menyusun Konvensi Jenewa I tahun 1864. Di
Amerika Serikat, pada saat yang hampir bersamaan telah memiliki Code Lieber atau
Instructions For Government Of Armies of the United States yang dipublikasi tahun
1863.

Page | 18
Konvensi Jenewa 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang
Luka di Medan Perang Darat, merupakan Konvensi yang menjadi perintis Konvensi-
Konvensi Jenewa berikutnya yang mengatur tentang Perlindungan Korban Perang. Pada
masa-masa berikutnya kemudian perkembangan hukum humaniter internasional
dilakukan melalui traktat-traktat yang ditandatangani negara-negara. Misalnya Hukum
Den Haag 1899 dan 1907 yang merupakan serangkaian, Konvensi dan Deklarasi yang
mengatur tentang Alat dan Cara Berperang yang dibuat tahun 1899 dan 1907. Selain
Konvensi-konvensi Den Haag yang mengatur mengenai alat dan cara berperang, terdapat
juga Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap
korban perang. Konvensi Jenewa ini kemudian dilengkapi dengan protokol tambahan
un pp
1977.
Prinsip atau Asas Pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas
penting dalam Hukum Humaniter Internasional. Prinsip ini membedakan penduduk dari
suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu: Kombatan (Combatant)

s
dan Penduduk Sipil (Civilian).
Apabila seorang kombatan jatuh ketangan musuh, maka ia akan diperlakukan
k
ha
sebagai tawanan perang. Berkaitan dengan prinsip pembedaan dan perlakuan tawanan
perang ini maka penting diketahui bagaimana mengenai status dan perlakuan yang
ditujukan kepada mata-mata (Spy) dan tentara bayaran (Unlawful Combatant) apabila
l
mereka jatuh ke tangan musuh.
Di dalam Kovensi Jenewa 1949 terdapat apa yang dikenal dengan istilah
ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles), yaitu ketentuan yang
fundamental dan sangat penting sehingga diulang berkali-kali dalam setiap Konvensi
dalam pasal yang sama, atau bunyi yang sama, atau bunyi yang hampir sama. Ada
beberapa hal yang diatur dalam common articles ini antara lain mengenai penghormatan
Konvensi, sengketa bersenjata non internasional, protected persons, pengawasan setiap
Konvensi.
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian senjata, yaitu
sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika
pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka akan disebut pertikaian
bersenjata yang bersifat internasional atau international armed conflicts. Pengertian

Page | 19
international armed conflicts ini kemudian diperluas oleh Protokol I 1977 yang juga
mengkategorikan CAR conflicts sebagai international armed conflicts.
Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara disebut
pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional (non-
international armed conflict atau internal armed conflict). Ketentuan mengenai non-
international armed conflict ini diatur dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan II tahun 1977. Dalam situasi-situasi tertentu dapat juga suatu non-
international armed conflict berubah menjadi international armed conflict. Hal yang
terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflict.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip perlindungan.
un pp
Betuk perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter kepada mereka yang terlibat
dalam pertempuran secara garis besar dibedakan atas dua hal. Pertama, kepada kombatan
diberikan perlindungan dan status sebagai tawanan perang, dan yang kedua kepada
penduduk sipil ditetapkan larangan untuk menjadikan mereka sebagai sasaran serangan.

s
Salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme
penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi
k
ha
Jenewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Kemudian dalam
protokol I mekanisme ini dilakukan suatu International Fact Finding Commission.
Disamping itu mekanisme hukum humaniter juga dapat dilakukan melalui institusi
l
peradilan internasional, baik yang bersifat ad hoc maupun yang berupa mahkamah
permanen.
Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia merupakan dua bidang yang dekat
hubungannya. Beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat diidentifikasi.

Pengertian Hukum Humaniter

1. Istilah
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang
kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict),
yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter.

Page | 20
Harmoyataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok,
yaitu:
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws).
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan erhadap kombatan dan penduduk
sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana
negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
un pp
2. Jus un bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini
biasanya disebut The Hague Laws.
b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang.

s
Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
k
ha Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua
aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan hukum Jenewa.

Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah hukum
l
perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang
menelan banyak korban, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan
bahkan meniadakan perang. Uapaya-upaya tersebut adalah melalui:

 Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa).karena para anggota organisasi ini


sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota
menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, apabila mereka
terlibat dalam suatu permusuhan.
 Pembentukan Kellog-Briad Pact atau disebut pula dengan Paris Pacr 1928.
Anggiota-anggota dari perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang
sebagai alat politik nasional dan mereka sepakat akan mengubah hubungan
mereka dengan cara berdamai.

Page | 21
Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam perubahan penggunaan
istiah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata
(Laws of Armed Conflict). Mengenai hal ini Edward Kossoy menyatakan: “The term
of armed conflicts tends to replace at least in all relevant legal formulation, the older
notion of war. On purely legal consideration the replacement for war by ‘armed
conflict’ seems more justified and logical.”

Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai pengganti


hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa tahun
2949 dan kedua Protokol Tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu
pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yaitu
un pp
konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity
principle).

s
Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa bersenjata
mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter
Internasional yang berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Law Applicable
k
ha
in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum
l
Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan Hukum Humaniter, namun istilah-istilah
tersebut memiliki arti yang sama.

2. Pengertian hukum humaniter

Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan


istilah yang dianggap relative baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an,
ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation
and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Selanjutnya, pada tahun 1974,
1975, 1976, dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and
Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.

Page | 22
Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan
atau definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya.
Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut Jean Pricet:
“International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal
provision, whether written and costumary, ensuring respect for individual and his
well being”.
2. Geze Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut:
“Part of the rules of public international law witch serve as the protection if
individuals in time of armed conflict. It’s place is beside the norm of warfare it is
un pp
closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and
spirit being different”.
3. Mocthar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah:
“bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan

s
korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri
dan segala seuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.
k
ha
4. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan
mengadakan pembedaan antara:
The law of Armed Conflict, berhubungan dengan:
l
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Pendudukan wilayah lawan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;

Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup:

a. Metoda dan sarana berperang;


b. Status kombatan;
c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang, dan orang sipil.
5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-
Undangan merumuskan sebagai berikut:
“Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan internasional
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi

Page | 23
manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang”.

Dengan mencermati pengertian dan/atau definisi yang disebutkan diatas, maka


ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu
aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut
pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian luas, yaitu bahwa hukum
humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi
Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya
hukum humaniter hanya menganut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan
Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter
un pp
terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

3. Asas-asas Hukum Humaniter

s
Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu:
1. Asas kepentingan militer (military necessity)
k
ha Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan
kekerasan untuk menundukkkam lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
perang.
l
2. Asas perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan
kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang
tidak perlu.
3. Asas kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara
bersifat khianat dilarang.

Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang,


sebagiamana dikatakan oleh Kunz:

Page | 24
“law of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the
correct balance between, on the one hand the principle of humanity and chivalry,
and the other hand, military interest”.

4. Tujuan Hukum Humaniter


Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut
pandang hukum humaniterm perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat
dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed
Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan
perang.
un pp Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari

s
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh
k
ha ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak dilakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini,
l
yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran pertama dilakukan dalam bentuk penulisan kuis di akhir perkuliahan yang
dikemas dalam beberapa pertanyaan, seperti:
1. Mengapa hukum humaniter internasional dulu disebut sebagai hukum perang/ ukum
sengketa bersenjata.
2. Apa perbedaan antara jus ad bellum dengan jus in bello?
3. Sebut dan jelaskan azas-azas hukum humaniter?
4. Apa tujuan hukum humaniter?

Page | 25
D. Daftar bacaan

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter International, Committee of


the Red Cross,Jakarta 1999.

Haryo Mataram GPH, Hukum Humaniter, Radjawali Jakarta 1984,

Masyhur effendi,A, Perkembangan Hukum Humaniter dan Sikap Indonesia,


Airlangga University Press, Surabaya,1985.

un pp
s
k
ha
l

Page | 26
BAB 3

BAHAN PEMBELAJARAN 2

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-2 bahwa mahasiswa
dapat menyelesaikan sejarah perkembangan hukum humaniter pada zaman kuno, zaman
pertengahan, dan zaman modern. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan
menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas.
un pp Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik, yaitu
partisipasi dalam diskusi kelas, kemampuan mengungkapkan sejarah perkembangan
hukum humaniter. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media
modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER
l
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan-aturan
hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi menyebutkan “pencipta” dari hukum
humaniter tersebut. Sekalipun dalam bentuknya yang sekarang relative baru, hukum
humaniter internasional atau hukum sengketa bersenjata, atau hukum perang, memiliki
sejarah panjang. Hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang sama
tuanya dengan kehidupan manusia di bumi.
Sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah
mengalami perkembangan yang sangat panjamg. Dalam rentang waktu yang sangat
panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang.
Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada
orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang
terlibat dalam perang.

Page | 27
Upaya-upaya tersebut,yang acap kali mengalami pasang surut, mengalami hambatan dan
kesulitan sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian berikutnya. Upaya-upaya
tersebut dapat kita bagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut
ini:
1. Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk
menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik,
menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan
maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan
tawanan perang dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan
un pp diberitakan lebih dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan makak ujung
panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan
terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini
sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan

s
pertempuran.
Juga, dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500SM upaya-upaya
k
ha seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut:
1. Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang
terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan
l
mengadakan arbitrasi, kekebalan utusan musuh dan perjanjian perdamaian.
2. Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam “Seven Works of True
Mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan,
minuman, pakaian, dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat
yang sakit, dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan,
“anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”.seorang tamu,
bahkan musuh pun tak boleh diganggu.
3. Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan cara-cara yang
manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas.
Mereka menandatangani pernyataan perang diatas traktat. Pada penduduk yang
menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para
penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini

Page | 28
merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya
dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa
Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
4. Di India, sebagaimana tercamntum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan
undang-undang Manu, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang
menyerah; yang terluka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati.
Semua senjata dengan sasaran menembus hati atau senjata beracun dan panah api
dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para
tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal
dilarang.
un pp
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat diteukan beberapa
kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra-sejarah, periode
klasik, maupun periode islam. Praktek dari kebiasaan dan hukum perang yang

s
dilakukan antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta
larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran serangan, dan juga
k
tentang pengakhiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan
ha
(Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja yang memuat tentang kutukan
(dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang
l
oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa diketahui adanya
perintah Raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.

2. Abad pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama
Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan
sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war. Ajaran Islam tentang
perang antara lain bias dilihat dalam Al Qur’an surah al Baqarah:190, 191, al
Anfal:39, at Taubah:5, al Haj:9, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan
diri, dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang
pada abad pertengahan ini, misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman
perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu.

Page | 29
3. Zaman modern
Kemajuan yang menetukan terjadi mulai abad ke-18, dan setelah berakhirnya perang
Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I. praktek-
praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang(jus in
bello).
Sealah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah
didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun
1864. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat, Presiden Lincoln
meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan
berperang. Hasilnya adalah Insrtuctions for Government of Armies of the United
un pp
States atau disebut Lieber Code, dipublikasikan pada tahun 1863. Kode Lieber ini
memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang
benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang
tertentu seperti tawanan perang, yang luka, dan sebagainya.

s
Kovensi 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan
Perang Darat, 1864 dipandang sebgai Konvensi yang megawali Konvensi-konvensi
k
ha
Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini
merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.
Berdasarkan Konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak
l
boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugasnya. Begitu pula
penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati,
baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda
Palang Merah diatas putih. Sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil
kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambing dari International Committee
of the Red Cross yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid of
the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunnant
pada tahun 1863.
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui
proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembangan-perkembangan yang
sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikebangkan melalui traktat-
traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara selah tahun1850.

Page | 30
Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang
merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai
Konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta
berbagai Konvensi lainnya di bidang hukum humaniter, sebagaimana dapat dilihat di
bab III.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran kedua dilakukan dalam bentuk makalah dengan merumuskan Sejarah
Perkembangan Hukum Humaniter.
un pp
D. Daftar Pustaka

s
Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of
the Red Cross, Jakarta, 1999.
k
ha
Haryo Mataram GPH, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984.
Haryo Mataram GPH, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusantara Jaya,
Jakarta, 1988.
l

Page | 31
BAB 4
BAHAN PEMBELAJARAN 3

A. Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-3 adalah mahasiswa
dapat menjelaskan sumber-sumber hukum humaniter maupun sumber-sumber hukum
lain yang ada kaitannya dengan hukum humaniter. Sasaran pembelajaran dimaksud
hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan
diskusi dalam small group.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
un pp
adalah partisipasi kelas dan kehadiran serta penguasaan, secara individual
menyangkut sumber-sumber hukum humaniter. Pembelajaran ini dilaksanakan selama
100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

s
B. Uraian
Sumber-Sumber Hukum Humaniter
k
ha Untuk mengetahui sumber-sumber hukum internasional, kita dapat mengacu pada
Pasal 81 ayat(1) Statuta Mahkamah Internasional yang menyebutkan mengenai
sumber hukum yang dapat diterapkan, yaitu:
l
a. International convention, whether general of particular, establishing rules
expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilian nations;
d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teaching of the
most highly qualified publicist of the various nations, as subsdiary means for the
determinations of rules of law.
Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu, mengenai berbagai konvensi-
konvensi hukum humaniter, maka telah diketahui bahwa hukum humaniter terdiri
dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur tentang
perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur
mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan

Page | 32
sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah
disebutkan terdahulu.

A. Hukum Den Haag


Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur
mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita
membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun
1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.

1. Konvensi Den Haag 1899


un pp Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil konferensi
Perdamaian I di Den Haag (18 Mei – 29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan
prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha
pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan

s
suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental
untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah
k
ha Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September
1815 antara Austria, Prussia, dan Rusia). Seperti yang diketahui bahwa
Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia, dan Inggris
l
tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina
September 1814 – Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa
setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni
1815.
Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898
Menteri Luar Negeri Rusia, Count Mouravieff mengedarkan surat kepada
semua Kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg
berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan
mengurangi persenjataan.
Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 mei 1899 itu berlangsung selama
2 bulan menghasilkan 3 konvensi dan 3 deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899.
Adapun 3 konvensi yang dihasilkan adalah:

Page | 33
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa Tanggal 22
Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan 3 deklarasi yang dihasilkan adalah sebagi berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang
bukngkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat
pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dan balon,
selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
un pp
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan
beracun dilarang.

2. Konvensi-konvensi Den Haag 1907

s
Konvensi-konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian ke
II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag.
k
ha
Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den
Haag menghasilkan sejumlah konvensi sebagai berikut:
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
l
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
4. Konvensi IV tentang Hullum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi
dengan Peraturan Den Haag;
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara
Netral dalam Perang di darat;
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan
Peperangan;
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam laut;
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu perang;

Page | 34
10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang
di laut;
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan;
13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang
dilaut.
Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi
Den Haag tahun 1907 itu maka F. Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada
waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia
un pp
Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang
ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1
Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi
Hindia Belanda.

s
Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, maka Hak dan
k
ha
Kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat
melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran induk Perjanjian
KMB di Den Haag.
l
Ketika Susunan Negara mengalami perubahan dari Republik Indonesia
Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan
UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu,
demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang
belum diatur oleh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap Konvensi Den
Haag 1907 tersebut.
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 terdiri dari beberapa konvensi
yang penting. Diantaranya adalah:

Page | 35
2.1. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan
Konvensi ke II Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan yang
judul lengkapnya adalah “Cpnvention relative to the Opening of Hostilities”,
mengatur mengenai cara memulai perang. Perang dalam arti hukum adalah
apabila perang itu dimulai sesuai dengan cara yang ditentukan dalam konvensi ini,
sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Konvensi tersebut:
“The contracting Powers recognize that hostilities between them must not
commence without a previous and unequivocal warning, which shall take the
grom either of a declaration of war, giving reasons, or of an ultimatum with a
conditional declaration of war”.
un pp Dengan melihat isi pasal tersebut maka Pihak Peserta Agung mengakui
bahwa perang diantara mereka tidak akan dimulai tanpa adanya:
1. Pernyataan perang yang disertai alasan, atau
2. Dengan suatu Ultimatum, dengan pernyataan perang apabila ultimatum itu

s
tidak terpenuhi.
k
ha 2.2. Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat
l
Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di
Darat yang judul lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and
Customs of War on Land merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag
tahun 1899 yaitu Konvensi II Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat. Konvensi IV Den Haag 1907, hanya terdiri dari 9 pasal, yang
dilengkapi dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations.

2.2.1. Klausula Si Omnes


Pasal 2 dari Konvensi IV Den Haag 1907 mengatur apa yang disebut
dengan Klausula Si Omnes yaitu bahwa Konvensi hanya berlaku apabila kedua
pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan
peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Hal ini tercantum dalam pasal
2:

Page | 36
“The provision contained in the Regulation to in art. 1, as well as in the
present Convention, are only biding between Contracting Powers, and only if all
the Belligerents are parties to the Conventions”.
Pasal 2 menetapkan bahwa Konvensi dan Hague Regulations (HR) hanya
berlaku apabila pihak-pihak yang berperang atau pihak yang terlibat dalam perang
adalah pihak dari Konvensi ini. Dengan demikian pasal 2 menetapkan apabila
salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Pasal 2
ini lazim disebut Klausula Si Omnes.
Di samping pasal 2 Konvensi Den Haag di atas, perlu pula diperhatikan
pasal-pasal dari Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), seperti:
un pp Pasal 1 Hague Regulations
Pasal 1 HR menentukan siapa saja yang termasuk ‘belligerents’, yaitu
tentara. Pasal ini juga mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
kelompok militia (milisi) dan korps sukarela, sehingga mereka disebut sebagai

s
kombatan, yaitu :
a) Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
k
ha b) Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;
c) Membawa senjata secara terbuka;
d) Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
l
Pasal 2 Hague Regulations

Pasal ini membicarakan mengenai Levee en Masse, yang dikategorikan


sebagai ‘belligerent’, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:

a) Penduduk dari wilayah yang belum diduduki;


b) Secara spontan mengangkat senjata;
c) Tidak ada waktu mengatur diri;
d) Membawa senjata secara terbuka;
e) Mengindahkan hukum perang.

Page | 37
Pasal 3 Hague Regulations

Pasal 3 HR menetapkan bahwa Angkatan Bersenjata sebagai pihak yang


berperang terdiri dari kombatan dan non kombatan, yang apabila tertangkap oleh
musuh, kedua-duanya harus diperlakukan sebagai tawanan perang. Perlu dicatat
bahwa non kombatan yang dimaksud dalam pasal 3 bukanlah penduduk sipil,
tetapi bagian dari Angkatan Bersenjata yang tidak turut tempur.

Pasal-pasal Hague Reguations yang mengatur cara dan alat berperang

Pasal-pasal mengenai hal ini secara khusus diuraikan lebih lanjut dalam
bab IV.
un pp
2.3.Konvensi V Den Haag mengenai Negara dan Orang Netral dalam
Perang di Darat
Konvensi V Den Haag 1907 berjudul “Neutral Power and Persons in Land

s
Warfare”. Dengan melihat judul tersebut, maka harus dibedakan antara Neutral
Power (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang Netral).yang dimaksud
k
ha
“negara netral” adalah suatu negara yang menyatakan akan bersifat netral dalam
suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian tidak ada
keharusam bagi negara netral tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai
l
negara netral, maka kedaulatan negara tersebut, dalam suatu peperangan, tidak
boleh diganggu dan dilanggar (hal ini tercantum dalam pasal 1 Konvensi V yang
menyatakan secara tegas bahwa “the territory of Neutral Powers is inviolable”.
Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang
bersengketa. Demikian pula, apabila para pihak yang bersengketa hendak
mengirim suatu peralatan militer seperti amunisi dan peralatan lainnya, maka
pengiriman peralatan militer tersebut tidak boleh melalui suatu negara netral (hal
ini ditentukan dalam pasal 2 Konvensi yang berbunyi: “Belligerents are forbidden
to move across the territory of a neutral power troops or convoys, either of
munition of war of supplies”). Para pihak yang bersengketa juga dilarang untuk
mendirikan suatu stasiun radio di wilayah negara netral, dan dilarang memakai

Page | 38
instalasi radio yang berada di wilayah tersebut, yang sudah dibuat sebelum
perang, semata-mata untuk kepentingan militernya (hal ini tertera dalam pasal 3
Konvensi V yang berbunyi: “a. to erect on the territory of neutral power a
wireless telegraphy station…;b.to make use of any installation of this kind
established by them before thwar on the territory of neutral power…”).
Namun, apabila dalam suatu peperangan negara netral mendapatkan suatu
serangan, maka bila negara netral tersebut melakukan upaya-upaya pembalasan
yang menggunakan kekuatan bersenjata, maka tindakan tersebut tidak dapat
disebut atau dikatergorikan sebagi suatu tindakan permusuhan (hal ini
dicantumkan dalam pasal 10 Konvensi : “the Fact of a neutral power repelling
un pp
even by force, attacks on its neutrally cannot be considered as a hostile act”).
Namun dalam suatu peperangan, negara netral dimungkinkan untuk menerima
pasukan dari salah satu pihak yang bersengketa. Apabila situasi demikian, maka
negara netral tersebut, sedapat mungkin harus menginternir (mengumpulkan)

s
pasukan tersebut ke dalam suatu tempat yang jauh dari medan pertempuran. Jika
mungkin, maka tempat itu dapat berupa kamp, benteng, atau tempat-tempat serupa
k
ha
lainnya. Negara netral memiliki kewenangan untuk menentukan apakah pasukan
tersebut boleh meniggalkan kamp internitian di wilayahnya (hal ini dapat dilihat
pada pasal 11 Konvensi yang menyatakan : ”A neutral power which receives in its
l
territory troops belonging to the belligerent armies shall intern them, as far as
possible, at a distance from the theatre of war. It can keep them in camps, and
even confine them in fortress or places assigned for this purpose. It shall decide
whether officers may be left at liberty on giving their parole not to leave the
neutral territory without permission”). Negara netral, juga dapat menerima para
tawanan perang yang melarikan diri. Para tawanan perang ini bebas untuk
menenukan nasibnya sendiri. Apabila negara netral yang bersangkutan
memperbolehkan mereka berada di wilayahnya, negara netral yang bersangkutan
harus menempatakan mereka di suatu tempat yang telah ditentukan (ketentuan ini
terdapat pada pasal 3 Konvensi yang menyatakan bahwa : “A neutral power
which receives prisoners of war who have escaped shall leave hem at liberty. If it
allows them to remain in its territory, it may assign them a place of residence. The

Page | 39
same rule apllies to prisoners of war brought by troops taking refuge in the
territory of a neutral power”).
Sedangkan yang dimaksud dengan “orang netral” adalah warga negara dari
suatu negara yang tidak terlibat dalam suatu peperangan. Orang-orang netral
seperti ini tidak boleh mengambil keuntungan dari statusnya sebagai orang netral,
baik itu dalam melakukan suatu tindakan permusuhan terhadap salah satu pihak
yang bersengketa [dalam pasal 17 ayat(a)]; maupun menjadi relawan dari suatu
Angkatan Bersenjata salah satu pihak yang bersengketa [dalam pasal 17 ayat(b)].

2.4. Konvensi XIII Den Haag 1907 mengenai Hak dan Kewajiban Negara
un pp Netral dalam Perang di Laut

Konvensi XIII Den Haag 1907 berjudul “Neutral Rights and Duties in
Maritime War”, secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negara-

s
negara netral dalam perang di laut.
Sebagaimana halnya dengan Konvensi Den Haag V, maka Konvensi XIII
k
ha
ini menegaskan bahwa kedaulatan dari negara netral tidak hanya berlaku di
wilayah teritorialnya (wilayah darat) saja, namun juga berlaku bagi wilayah
perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang)
l
melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan
sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut. Tindakan-
tindakan tu misalnya setiap tindakan permusuhan, termasuk tindakan
penangkapan dan pencarian yang dilakukan oleh kapal perang negara yang
bersengketa di perairan netral, maupun penggunaan pelabuhan dan peraian netral
oleh pihak yang berperang.

B. Hukum Jenewa
Bahwa hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan
pokok dalam Hukum Humaniter, sebagaimana dikemukakan oleh Jean Piectet
bahwa:

Page | 40
“humanitarian law has two branches, one bearing the name of Geneva, an
the ther name of the Hague”.
Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang,
terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat
Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah:
1. Geneva Convention for the Amellioration of the Condition of the
Wounded and Sick Armed Forces in the Field;
2. Geneva Convention for the Amellioration of the Condition of the
Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea;
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;
un pp 4. Geneva Convention relative to the Protection of Civillian Persons in
Time of War.
Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977
ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan ;

s
1. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And
Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict
k
ha (Protocol I); dan
2. Protocol Additional to the Geneva Convention of Victims of Non
International Armed Conflicts (Protocol II).
l
Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahn dari
Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai
penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya
perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan korban
karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan
mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang
perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II
mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non-internasional.
Baik Konvensi-konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol-protokol
Tambahannya tahun 1977 merupakan sumber-sumber hukum utama hukum
humaniter. Dalam Konvensi Jenewa, beberapa pasal diantaranya dipandang
sangat penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan di setiap Konvensi,

Page | 41
baik diletakkan pada nomor pasal yang sama, maupun dirumuskan dengan
redaksi atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal tersebut lazim disebut
ketentuan-ketentuan yang bersamaan atau “common articles”. Common articles
ini meliputi beberapa hal penting, sperti ketentuan umum ( pasal 1, 2, 3, 6-11);
ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (pasal 49, 50, 51,
dan 52); ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (pasal 55-64).

Common articles tentang ketentuan-ketentuan umum


Di dalam keempat Konvensi Jenewa, terdapat sejumlah pasal yang
mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat umum. Ketentuan ini
un pp
diletakkan pada penomoran pasal yang sama di keempat Konvensi. Ketentuan-
ketentuan umum ini adakah ketentuan mengenai penghormatan terhadap
Konvensi (pasal 1); ketentuan tentang berlakunya konvensi (pasal 2); ketentuan
tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (pasal 3); dan

s
ketentuan mengatur tentang Negara Pelindung [Protecting Power (pasal 8-10)].
Pihak peserta agung pada Konvensi-konvensi Jenewa, sebagaimana
k
ha
ditentukan dalam pasal 1 common articles, harus “berjanji untuk menghormati
dan menjamin penghormatan dalam segala keadaan”. Pasal ini menegaskan
bahwa Pihak Peserta Agung, di samping harus menghormati Konvensi tersebut,
l
juga harus menjamin penghormatan terhadap Konvensi.
Kata “menjamin” disini harus diartikan:
- Negara harus memerintahkan kepada petugas militer dan sipil untuk
menaati Konvensi-konvensi ini
- Negara harus mengawasi pelaksanaan perintah tersebut
- Negara harus mengambil tindakan apabila ada petugas yang melanggar
Konvensi tersebut.
Dengan demikian, Pihak Peserta Agung bertanggung jawab penuh atas
pelaksanaan Konvensi.
Di samping ketentuan umum tentang penghormatan dan jaminan
penghormatan dalam pasal 1 common articles tersebut, ketentuan umum dari
common articles lainnya yang penting adalah ketentuan pasal 2. Pasal ini

Page | 42
mengatur tentang berlakunya Konvensi Jenewa. Dengan kata lain, pada situasi-
situasi yang bagaimanakah Konvensi Jenewa dapat diterapkan. Hal ini dapat
diketahui dari bunyi pasal 2, sebgai berikut:
“Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang
diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnnya yang mungkin timbul
antara dua atau lebih pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak
diakui oleh salah satu diantara mereka”.
Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan
sebagian atau seluruhnya, dari wilayah pihak Peserta Agung, sekalipun
pendudukan tersbeut tidak menemui perlawanan bersenjata.
un pp Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang, yang
diumumkan atau setiap pertikaian bersenjata lainnya yang mungkin timbul
antara dua atau lebih pihak penanda tangan, sekalipun keadaan perang tidak
diakui oleh salah satu diantara mereka….”

s
Dengan melihat kepada isi pasal 2, maka Konvensi Jenewa berlaku dalam
keadaan :
k
ha 1. Perang yang diumumkan;
2. Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui;
3. Dalam hal pendudukan sebagian atau seluruhnya sekalipun
l
pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan.
Apabila diperhatikan, frasa yang menyatakan bahwa Konvensi tetap
berlaku “sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu diantara
mereka” menunjukkan suatu perubahan penting dalam hukum humaniter. Frasa
ini menggambarkan keadaan di maan para pihak yang bersengketa tidak lagi
harus secara bersama-sama, terikat pada suatu perjanjian yang akan berlaku
kepada mereka. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan pada dekade sebelum
tahun 1949, dimana untuk menerapkan suatu perjanjian internasional dalam
suatu peperangan, maka para pihak yang terlibat lebih dahulu harus menjadi
pihak peserta dari perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak yang terlibat
permusuhan tidak menjadi pihak, maka perjanjian tersebut tidak dapat
diterapkan. Ha inilah yang dikenal dengan sebutan Klausula Si Omnes, yang

Page | 43
terdapat dalam pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907. Dengan berlakunya
Konvensi Jenewa 1949, maka ketentuan pasal 2 Konvensi Jenewa ini
menghapuskan ketentuan pasal 2 Konvensi Den Haag IV 1907. Dengan
perkataan lain, Konvensi Jenewa tetap berlaku pada pihak yang bersengketa,
sekalipun salah satu dari pihak tersebut tidak menjadi peserta pada Konvensi
Jenewa.
Ketentuan umum lainnya adalah ketentuan pasal 3 yang mengatur tentang
pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Ketentuan pasal ini
merupakan salah satu perkembangan baru dalam hukum humaniter. Dikatakan
demikian karena baru dalam Konvensi Jenewa 1949-lah terdapat suatu ketentuan
un pp
tentang pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional (pasal 3), yang
diatur dalam suatu perjanjian internasional.
Yang perlu digarisbawahi, walaupun pasal 3 ini mengatur mengenai
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (sengketa bersenjata dalam

s
negeri), namun penerapan pasal ini tidak mempengaruhi kedudukan hukum
pihak-pihak yang bertikai. Dengan perkataan lain, pasal 3 tidak mengurangi hak
k
ha
pemerintah yang sah untuk bertindak terhadap para pemberontak sesuai dengan
hukum nasionalnya. Pasal 3 hanya menghendaki agar
pemberontakan diperlakukan sesuai dengan asas-asas kemanusiaan.
para korban
l
Apabila diperhatikan pasal ini, maka semua pokok-pokok utama tentang
perlakuan kemanusiaan terhadap para korban perang menurut Konvensi Jenewa
1949 telah termuat dalam pasal 3, maka pasal 3 sering disebut dengan
“convention in miniature” atau “mini convention”.
Ketentuan umum lainnnya dari common article adalah ketentuan tentang
Negara Pelindung. Istilah Negara Pelindung pertama kali terdapat dalam
Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang perlakuan terhadap tawanan perang
(“Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War”). Pasal 86
konvensi ini menyebutkan:
“The High Contracting Powers recognize that a guarantee of the regular
application of the present convention will be found in the possibility of
collaboration between the Protecting Powers may apart from their diplomatic

Page | 44
personnl, appoint delegates from among their own nationals of the nationals of
other neutral powers. The appointment of these delegates shall be subject to the
approval of the belligerent with whom they are to cary out the mission.
The representatives of the Protecting Power or their recognized delegates
shall be authorized to proceed to any place, without exception, where prisoners
of war are in-terned. They shall have access to all premises occupied by
prisoners and may hold conversations with prisoners, as a general rule without
witnesses, either personaly or though the intermediary of interpreters.
Belligerent shall facilitate as much as possible the task of the
representatives or recognized delegates of the Protecting Powers, the military
un pp
authorities shall be informed of the visits.
Belligerent may mutually agree to allow persons of the prisoners own
nationality to participated in the tours of inspection”.
Berdasarkan pasal 86 tersebut maka diketahui bahwa:

s
1. Bahwa lembaga negara pelindung bersifat fakultatif atau sukarela dan
tidak bersifat wajib;
k
ha 2. Tidak jelas siapakah yang menjalankan fungsi negara pelindung;
3. Dalam Konvensi tawanan perang 1929 tugas negara pelindung hanya
berhubungan dengan tawanan perang.
l
Sistem negara pelindung terus mengalami perubahan. Setelah pertama kali
terdapat dalam Konvensi Den Haag mengenai Tawanan Perang 1929, maka
sistem negara pelindung kemudian diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, dengan
bentuk yang lebih sempurna. Ketentuan mengenai keharusan adanya suatu
negara pelindung dalam sengketa bersenjata internasional, diatur dalam pasal 8
dan Konvensi Jenewa I, II, III, dan dalam pasal 9 Konvensi IV. Walaupun
demikian, dalam keadaan tersebut, tidak tertutup kemungkinan bagi organisasi
kemanusiaan lainnya untuk melaksanakan tugas-tugas sosialnya, asalkan ada
persetujuan dari pihak-pihak yang bersengketa itu sendiri. Apabila dalam
keadaan tersebut ditak terpilih suatu Negara Pelindung yang dapat disetujui oleh
kedua pihak yang bersengketa, maka negara-negara yang bersengketa dapat
menetukan apa yang disebut dengan”substitude” (pengganti). ”Substitude” ini

Page | 45
tidak lagi berupa suatu negara, namun biasanya suatu organisasi internasional
yang bersifat netral (tidak memihak). Walaupun istilah yang dikemukakan
menggunakan istilah ”substitude”, namun organisasi internasional yang
bertindak sebagai “substitude’ tetap disebut negara pelindung.
Di samping diatur dalam Konvensi Jenewa, masalah Negara Pelindung
juga diatur dalam Protokol Tambahan (1977). Protokol ini lebih
menyempurnakan lagi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Jenewa.
Pasal 2(c) Protokol I menetukan definisi Negara Pelindung :
“Suatu Negara Netral atau negara lainnya yang bukan menjadi pihak
dalam pertikaianm yang telah ditunjuk oleh suatu Pihak dalam pertikaian dan
un pp
disetujui oleh Pihak lawannya, dan negara tersebut telah menyetujui untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang dibebankan kepadanya berdasarkan Konvensi
dan Protokol ini”.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan “pengganti” adalah suatu organisasi

s
yang menggantikan Negara Pelindung (pasal 2d). mekanisme penunjukkan
“pengganti” ini diatur secara rinci dalam pasal 5.
k
ha Common articles tentang ketentuan pelanggaran dan penyalahgunaan
Di samping common articles yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan
l
umm, maka terdapat sejumlah common artiles yang mengatur tentang ketetntuan
hukum terhadap pelanggaran dan penyalagunaan, yang terdapat dalam pasal 49-
52 Konvensi Jenewa.
Ketentuan pasal 49 dari Konvensi I, misalnya mewajibkan Pihak Peserta
Agung untuk menerapkan sanksi pidana efektif bagi pelaku pelanggaran berat
Konvensi Jenewa. Pasal 49 ini selengkapnya berbunyi:
“ Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang
diperlukan untuk member sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu di antara
pelanggaran berat atas Konvensi ini seoerti ditentukan dalam pasal berikut.
Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang
disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-

Page | 46
pelanggaran berat yang dimaksudkan untuk dan harus megadili orang-orang
demikian, dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak Peserta Agung dapat
juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangannya sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang
berkepentingan, orang-orang demikian untuk diadilim asal saja Pihak Peserta
Agung itu dapat menunjukkan suatu perkara prima facie.
Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu
untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam pasal
berikut segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini.
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapatkan jaminan-
un pp
jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang juga tak boleh kurang
menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa
mengenai Perlakuan Tawanan Peramg tertanggal 12 Agustus 1949, dalam pasal
105 dan seterusnya.

s
Pasal di atas mengatur bahwa Pihak Peserta Agung mempunyai 3
kewajiban utama yang berkaitan dengan pelanggaran berat (grave breaches)
k
ha
yaitu:
1. Membuat UU di tingkat nasional
pelanggaran berat.
yang mengatur mengenai
l
2. Mencari orang yang diduga melakukan pelanggaran berat.
3. Mengadili pelaku pelanggaran berat.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tentang pelanggaran dan
penyalahgunaan ini sepenuhnya tergantung kepada Pihak Peserta Agung. Dalam
hal ini, implementasi nasional di bidang perundang-undangan memegang peran
yang sangat penting. Pelanggaran terhadap ketentuan Konvensi dapat
dikategorikan sebagai apa yang disebut dengan pelanggaran berat. Konvensi
Jenewa sendiri telah menentukan apa saja yang dimaksud dengan pelanggaran
berat, sebagaimana tercantum dalam pasal 50 Konvensi I, yaitu:
1. Pembunuhan yang disengaja;
2. Penganiayaan atau perlakuan tak berkeperimanusiaan, termasuk
pencobaan biologis;

Page | 47
3. Menyebabkan dengan sengaja, penderitaan besar atau luka berat, atas
badan atau kesehatan;
4. Pembinasaan yang luas dan tindakan atas pemilikan atas harta benda
yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan
dengan melawan hukum dan semena-mena.

C. Sumber-Sumber Hukum Lainnya


Sumber hukum utama dari hukum humainter adalah Hukum Den Haag dan
Hukum Jenewa, dimana Hukum Jenewa mengatur perlindungan korban perang
dan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Selain kedua
un pp
sumber hukum hukum utama tersebut, Hukum Humaniter juga mengenal sumber
hukum lainnya, misalnya Protokol Tambahan 1977 yang sering disebut dengan
hukum campuran karena selain mengatur mengenai perlindungan terhadap
korban perang dan juga terdapat hal yang mengatur mengenai cara dan alat

s
berperang, dan ketentuan lain yang disampaikan pada bab II. Selain itu, terdapat
pula sumber di bidang hukum humaniter yang lain seperti:
k
ha
1. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus
2. Bendera Netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang
3. Barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali
l
kontraband perang
4. Supaya mengikat blokade harus efektif, artinya dilakukan oleh sesuatu
kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar dapat mencegah mendekatnya
kapal ke pantai musuh.

1. Deklarasi Paris (16 April 1856)


Deklarasi ini mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan
pengalaman perang Krim (1864), dimana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris
dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda.
Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris dimuat asas-
asas seperti berikut ini:

Page | 48
2. Deklarasi St. Petersburg (29 Nov – 11 Des 1868)
Berhubung pada tahun 1863 telah ditemukan sejenis peluru, yang apabila
mengenai benda yang keras permukaannya sehingga tutupnya dapat meledak, maka
Tsar Alexander II dari Rusia memprakarsai Konferensi di kota St. Petersburg (pada
zaman Uni Soviet, kota ini dirubah namanya menjadi Leningrad. Sesudah zaman
Uni Soviet bubar nama St. Petersburg dipergunakan lagi). Tujuan deklarasi itu
adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam yang diuraikan di atas.

3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Uadara (1923)


Ketentuan khusus tentang pertempuran di udara dirancang oleh sebuah Komisi
un pp
dari para ahli hukum di Den Haag mulai bulan Desember 1922 sampai Februari
1923 sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok Komisi
sebenarnya semula hanya untuk mengatur penggunaan radio dalam pertempuran.
Rancangan ketentuan ini dimaksudkan untuk dipergunakan sebagi pedoman

s
dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur tentang penggunaan pesawat
udara dengan segala peralatan yang dimiliki, didalam pertempuran. Sebagian besar
k
ha
ketentuan mendasari kepada asas-asas umum dan hukum dan kebiasaan-kebiasaan
perang di darat dan laut.
l
4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelanggaran Penggunaan Gas Cekik
dan Macam-Macam Gas Lainnya dalam Peperangan
Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk
mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi.
Larangan itu mencakup larangan pemakaian gas air mata dalam perang dan
pemakaian herbisida untuk kepentingan perang.

5. Protokol London (6November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal


Selam dalam Pertempuran
Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang Hukum Perang di
Laut yang dibentuk di London tanggal 26 februari 1989 dan belum pernah
diratifikasi.

Page | 49
6. Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya pada
Waktu Pertikaian Bersenjata
Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti Rumah Ibadah, Museum,
dan sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan militer, semaksimal
mungkin harus dilindungi terhadap serangan. Pasal 19 konvensi ini mewajibkan
setiap pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata, untuk melindungi benda
budaya, meskipun sengketa tersebut tidak bersifat internasional. Konvensi ini
membedakan antara dua tingkat perlindungan, yaitu perlindungan umum dan
perlindungan khusus.
un ppDimasa damai, setiap negara harus mempersiapkan perlindungan benda budaya
di wilayahnya dari akibat pertikaian bersenjata. Untuk itu, objek budaya dapat
dilindungi, antara lain dengan cara mendirikan bangunan khusus, dengan
merencanakan pemindahannya ke tempat yang lebih aman, atau dengan

s
menandainya dengan tanda pelindung khusus. Semua tindakan ini merupakan
perlindungan umum.
k
ha Di samping itu, benda budaya dapat juga dilindungi secara khusus, dengan
mencatatnya dalam “Daftar Internasional Objek Budaya di bawah Perlindungan
Khusus” yang berada di bawah pertanggungjawaban Direktur Jenderal Organisasi
l
PBB untuk Pendidikan, Ilmu, dan Kebudayaan (UNESCO). Tindakan ini
merupakan perlindungan khusus.

7. Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (10 Okt 1980) tentang Larangan


atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang
Mengakibatkan Penderitaan yang Berlebihan
Konvensi ini juga merupakan landasan hukum untuk melarang atau membatasi
penggunaan senjata lainnya yang dapat mengakibatkan penderitaan yang
berlebihan. Konvensi ini mengatur tentang prosedur dan meringkas prinsip-prinsip
hukum. Ketentuan-ketentuan ini termuat dlam empat buah protokol yang terlampir.
Setiap negara yang mau menandatangani Konvensi ini harus meratifikasi paling
tidak dua dari empat protokol tersebut.

Page | 50
Protokol I melarang menggunakan proyektif yang menyebabkan pecahan yang
tidak dapat ditemukan melalui sinar X dalam tubuh manusia. Protokol ini
menyinggung khususnya bom yang mengandung pecahan daru bahan plastik.
Protokol II melarang penggunaan ranjau, booby-traps dan peralatan lain terhadap
masyarakat sipil, serta penggunaannya secara membabi buta yang mengakibatkan
penderitaan yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang
diperoleh. Protokol ini menyinggung khususnya penggunaan ranjau di luar daerah
militer dan melarang segala keadaan ranjau/booby trap yang diciptakan untuk
menyebabkan penderitaan yang berlebihan. Dilarang memasang ranjau ke dalam
barang-barang seperti mainan anak-anak. Disamping itu, Protokol II menentukan
un pp
agar dibuatnya peta dari setiap medan ranjau, guna melindungi masyarakat sipil
dalam segala keadaan. Protokol III melarang penggunaan senjata pembakar
terhadap masyarakat sipil. Protokol ini merupakan suatu kemajuan yang besar.
Larangan tersebut mencakup pula sasaran militer yang terletak di daerah yang

s
dipadati orang sipil, di hutan maupun di taman-taman, kecuali apabila tumbuh-
tumbuhan dimanfaatkan untuk mengkamuflase peserta tempur atau sasaran militer.
k
ha
Akirnya, konferensi menyetujui sebuah Resolusi mengenai perkembangan yang
berlakunya di bidang persenjataan berkaliber kecil. Resolusi ini meminta para
pemimpin negara supaya memperdalam penyelidikkan yang diragukan tentang
l
pengaruh persenjataan tersebut, dan meminta kewaspadaan mereka terhadap
perkembangan lebih lanjut dari jenis senjata ini. Protokol IV yang baru dirumuskan
dan kemudian disetujui dalam Konferensi Internasional di Wina pada bulan
Oktober 1995 melarang penggunaan senjata laser, sebab senjata itu dapat
menyebabkan kebutaan permanen.
Serangkaian ketentuan seperti diatas dapat dikelompokkan ke dalam:
a. Kategori pertama meliputi Konvensi Den Haag yang dimaksudkan untuk
mencegah adanya perang atau paling tidak yang menentukan secara sangat
terbatas persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan
perang. Contohnya adalah Konvensi I tahun 1899 yang disempurnakan
menjadi Konvensi I tahun 1907 tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional dan Konvensi III tahun 1907 tentang Cara Memulai

Page | 51
Peperangan. Konvensi terakhir ini sudah tidak diterapkan lagi, karena sejak
Piagam PBB disetujui, perang dianggap sebagai suatu tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Sesuai dengan Piagam PBB yang melarang
tindak kekerasan, perang hanya boleh dilakukan untuk pembelaan diri
secara individual maupun kolektif.
b. Kategori kedua meliputi Konvensi Den Haag yang dimaksudkan untuk
melindungi korban perang.
Contohnya adalah Konvensi III tahun 1899 mengenai penerapan Asas-asas
Konvensi Jenewa 1864 dalam Perang di laut. Bagian II Reglemen yang
dilampirkan pada Konvensi IV tahun 1907 mengenai Hukum dan
un pp Kebiasaan Perang di darat, mengatur tentang perlakuan tawanan perang.
Instrumen hukum ini melindungi tentara yang luka, sakit dan korban
karam, serta tawanan perang. Perlindungan ini telah diperluas dan diatur
secara rinci dalam Konvensi Jenewa, maka Konvensi-konvensi Den Haag

s
yang disebut dalam kategori kedua ini (seperti kategori pertama) sudah
tidak diberlakukan lagi dan diganti oleh Konvensi-konvensi Jenewa.
k
ha c. Kategori ketiga meliputi Konvensi Den Haag yang memuat beberapa
ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer, kategori ini tetap
bersifat penting sampai hari ini.
l
Sebagaimana diketahui, istilah Hukum Humaniter yang berkembang dari istilah
hukum perang dan hukum sengketa bersenjata, yang dipengaruhi oleh faktor hak
asasi manusia. Hal ini telah ditetapkan dalam Konferensi di Teheran tahun 1968,
yang menegaskan bahwa dalam sengketa bersenjata, harus diperhatikan pula aturan-
aturan Hak Asasi Manusia. Ini diakui pula oleh Shearer, sebagaimana
diungkapkannya berikut ini:
“one of the most remarkable developments of the last decade, and which
largerly explains the replacement of the former title of this branch of international
law, ‘laws of war’ by the present name ‘international humanitarian law’, has been
the importation of human rights rules and standards into the law of armed conflicts”.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Shearer bahwa “a bridge has in effect been
created between the doctrine of human rights and the rules of international law

Page | 52
applicable in armed conflicts. This truly desirable change was marked by, or
manifested in, inter alia.
a. The Resolution of the International Conference on Human Rights at Teheran
in 1968, recommending to the United Nations General Assembly that a study
be made of existing rules for the protection of human rights in time of war.
b. The general Assembly’s Resolution of 19 December 1968, calling upon the
Secretary-General to make such study.
c. The Reports of the Secretary General, 1969-1970, on Respect for Human
Rights in Armed Conflict.
d. The Conferences of Government Expert called under the aegis of the
un pp International Committee of the Red Cross in 1971-1972 on the Reaffimation
and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed
Conflicts.
e. The above-mentioned Geneva Diplomatic Conference of 1974-1977 on the

s
Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law
Applicable in Armed Conflicts by which protocols I and II on international
k
ha and non international armed conflicts were adopted in 1977, in order to
supplement and update the Geneva Red Cross Conventions of 1949. There
has been little or no dissent from this trend towards a blending of human
l
rights principle and the rule observable in armed conflicts”.
Selain itu, tentunya menjadi sumber hukum lainnya yang tidak kalah penting
artinya ialah keputusan Mahkamah Internasional seperti pengadilan penjahat perang
di Nurenberg dan Tokyo, kemudian diikuti dengan pembentukan peradilan yang
sama bagi kejahatan perang di bekas negara Yugoslavia, dan di Rwanda.
Setelah mengetahui tentang sumber-sumber hukum yang dapat dipergunakan
dalam hukum humaniterm maka apabila pada suatu kasus tidak terdapat sumber
hukum yang dapat dijadikan acuan, maka menurut hukum humaniter, hal itu dapat
mengacu kepada sumber hukum lainnya, yaitu prinsip-prinsip hukum internasional,
prinsip kemanusiaan dan “dictates of public conscience”. Hal inilah yang disebut
dengan “Klausula Martens”.

Page | 53
Klausula Martens
Klausula Martens mula-mula terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den hag ke-
II tahun 1899, mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Adapun isi
klausula tersebut, secara lengkap, adalah sebagai berikut:
“until a more complete code of laws of war is issued, the High Contracting
Parties think it right to declare than in cases not included in the Regulations adopted
by them, populations and belligerents remain under the protection and empire of the
principles of international law, as they result from the usages established between
civilized nations, from the laws of humanity and the recruitment of the public
conscience”.
un pp
Secara ringkas, kalusula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum
mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka
ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum
internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang

s
beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik (public conscience).
Klausula Martens sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum
k
ha
kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma
kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga
mengacu pada ‘prinsip-prinsip kemanusiaan’ (principles of humanity) dan ‘pendapat
l
publik’ (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus sepenuhnya
dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa dengan “laws of
humanity” (hukum kemanusiaan). Ingat, bahwa versi pertama Klausula Martens
yang terdapat dalam pembukaan Konvensi Den Haag II 1899 mengacu pada laws of
humanity; sedangkan versi berikutnya (dalam Protokol Tambahan I) mengacu pada
ungkapan principles of humanity. Prinsip-prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagi
pelarangan atas sarana dan metoda berperang yang tidak penting bagi tercapainya
suatu keuntungan militer yang nyata. Jean Pictet menginterpretasikan arti
kemanusiaan sebagai “… penangkapan lebih diutamakan daripada melukai musuh,
adalah lebih baik dari pada membunuhnya;bahwa non-kombatan harus dijauhkan
sedapat mungkin dari arena pertempuran; bahwa korban-korban yang luka harus
diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka dapat dirawat dan diobati; bahwa

Page | 54
luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan-ringannya menimbulkan rasa
sakit”. Sedangkan ungkapan “the dictates of public conscience”, menurut Hakim
Nauru dalam kasus tahun 1996 di ICJ, harus mengacu kepada instrument hukum
yang terjadi akibat dari adanya kesadaran umum masyarakat, sebagaimana terwujud
dalam rancangan-rancangan peraturan (draft rules), resolusi, deklarasi dan ungkapan-
ungkapan lainnya yang dikeluarkan oleh perorangan maupun institusi.
Namun, masalah yang diadapi adalah bahwa tidak ada suatu penafsiranpun yang
diterima mengenai Klausula Martens, karena klausula ini menimbulkan banyak
penafsiran, baik penafsiran sempit maupun penafsiran luas. Penafsiran yang paling
sempit, menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional tetap diterapkan setelah
un pp
diterimanya suatu norma hukum perjanjian. Penafsiran yang lebih luas menyatakan
bahwa karena sejumlah kecil perjanjian internasional mengenai hukum sengketa
bersenjata sudah lengkap, maka Klausula Martens menentukan bahwa sesuatu yang
tidak dilarang secara eksplisit oleh suatu perjanjian adalah tidak ipso facto

s
diperbolehkan. Sedangkan penafsiran yang paling luas menyatakan bahwa tindakan
dalam sengketa bersenjata tidak hanya dibenarkan menurut perjanjian dan kebiasaan,
k
ha
tetapi juga menurut prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana terkandung
dalam Klausula Martens. Advisory Opinion dari ICJ mengenai masalah legalitas
penggunaan atau ancaman senjata-sejata nuklir yang dikeluarkan pada tanggal 8 Juli
l
1996 menggunakan analisis yang bersifat ekstensif mengenai hukum engketa
bersenjata. Dalam opininya, ICJ semata-mata mengacu kepada Klausula Martens
yang menyatakan bahwa ‘klausula ini terbukti sebagai suatu cara yang efektif dalam
menghadapi perkembangan teknologi yang demikian cepatnya’. Hal ini memberikan
petunjuk mengenai bagaimana klausula ini ditafsirkan dalam praktek.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-3 dilakukan dalam bentuk kuis diakhiri perkuliahan yang dikemas
dalam beberapa pertanyaan seperti:
1. Sebut dan jelaskan sumber-sumber hukum humaniter
2. Apa yang dimaksud dengan Klausula Si Omnes?

Page | 55
3. Kapan dapat dikatakan suatu perang itu sah?

D. Daftar Pusaka
Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee
of the Red Cross, Jakarta, 1999.
Haryo Mataram GPH, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984.
Masyur Effendi, Hukum Humaniter Internasional, Usaha Nasional, Surabaya,
1994.
Departemen HANKAM, Pokok-pokok Hukum Humaniter, Seri A-1, 1982.

un pp
s
k
ha
l

Page | 56
BAB 5
BAHAN PEMBELAJARAN 4

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-4 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan tentang sarana dan metode-metode perang. Sasaran pembelajaran dimaksud
hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif,
diskusi kelas dan case study.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dalam membahas kasus-kasus serta penguasaan
un pp
individu.
Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar
yang diberikan kepada peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
Sarana & Metoda Berperang (Means & Methods of Warfare)
Telah kita ketahui bahwa hukum Den Haag terdiri dari serangkaian peraturan yang
mengatur mengenai sarana (alat) dan metoda (cara) berperang, baik berupa konvensi
l
maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haag pada
tahum 1899 dan 1907, yakni yang menghasilkan serangkaian konvensi Den Haag.
Namun, perkembangan hukum Den Haag sebenarnya tidak semata-mata dimulai dari
terbentuknya konvensi-konvensi Den Haag pada tahun 1899 dan 1907 saja, akan tetapi
sudah ada jauh pada periode sebelumnya, yakni dengan adanya Instruksi Lieber (1863)
dan Deklarasi St. Petersburg (1868). Walaupun kedua instrument ini bukan merupakan
hasil dari Kedua Konferensi Perdamaian di Den Haag, namun kedua instrument hukum
ini penting diketahui untuk memahami mengenai perangkat peraturan hukum yang
mengatur mengenai sarana dan metode berperang. Karena itu, kedua instrumen ini secara
ringkas akan diuraikan pada bab ini.
Instruksi Lieber, atau yang sering disebut dengan Lieber Code, adalah suatu dokumen
yang berisi serangkaian peraturan/instruksi bagi tentara Amerika Serikat dalam

Page | 57
menghadapi Perang Saudara di Amerika (1861-1865). Dokumen ini secara lengkap
berjudul “instruction for the Government of Armies of the United States in the Field”.
Dokumen ini mengatur secara rinci mengenai aspek-aspek hukum dan kebiasaan perang
di darat, mulai dari bagaimana perang seharusnya dilasanakan sampai dengan bagaimana
perlakuan yang harus diberikan kepada penduduk sipil; termasuk penduduk dalam
kategori khusus seperti tawanan perang, mereka yang luka, franc-tireurs, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Pasal 14 jo. Pasal 16 Lieber Code mengatur mengenai hakekat dan
prinsip kepentingan militer, yakni suatu prinsip yang sangat penting dalam hukum
perang, kemudian Pasal 70 Lieber Code secara eksplisit melarang penggunaan senjata
beracun, demikian pula Pasal 115 Lieber Code telah mentukan klasifikasi kombatan dan
un pp
non-kombatan, dan lain-lain. Walaupun pada awalnya dokumen ini merupakan dokumen
nasional yang dibuat untuk diterapkan dalam suatu perang saudara (jadi tidak mengikat
terhadap negara lain), namun pada kenyataannya Lieber Code ternyata merupakan model
dari sumber aspirasi (pada tingkat internasional di abad ke-19), yang secara umum

s
diterima sebagai kodifikasi mengenai hukum dan kebiasaan berperang. Oleh karena itu,
dokumen ini kemudian mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perkembangan
k
ha
hukum Den Haag selanjutnya.
Adapun Deklarasi St. Petersburg, adalah merupakan suatu instrumen yang sama sekali
berbeda dari Lieber Code. Apabila Lieber Code lebih merupakan suatu peraturan nasional
l
yang sangat rinci, maka Deklarasi St. Petersburg merupakan suatu perjanjian
internasional yang hanya mengatur mengenai suatu aspek saja dari peperangan, yakni
mengatur mengenai persenjataan, khususnya perembangan proyektil-proyektil yang dapat
meledak. Deklarasi ini secara lengkap berjudul “Declaration Renouncing the Use, in
Time of War, of Explosive Projectiles under 400 Grammes Weight”.
Maksud utama dari deklarasi ini adalah membatasi penggunaan terhadap perkembangan
persenjataan yang bersifat mudah menyala dan meledak. Hal ini disebabkan apabila
penggunaan senjata tersebut ditujukan pada bangunan-bangunan militer, maka akibat
yang ditimbulkan cukup memberikan arti; namun, menurut Kalshoven, apabila ditujukan
kepada manusia, maka penggunaannya adalah tidak lebih efektif dari penggunaan
senapan biasa sebab sama-sama menyebabkan pihak lawan menyandang status hors de
combat, bahkan luka-luka yang terjadi justru bermabah parah, dan menambah penderitaan

Page | 58
bagi mereka yang mengalaminya. Oleh karena itu, paragraph operatif pertama dari
Dekalarasi St. Petersburg menyatakan bahwa perkembangan peradaban manusia tidak
harus menyebabkan kerusakan parah dalam peperangan, namun sebaliknya harus bersifat
meringankan. Sedangkan paragraph operatif kedua menyatakan bahwa satu-satunya
obyek yang sah untuk diserang dalam suatu peperangan adalah angkatan militer pihak
lawan. Klausula lain yang penting adalah pernyataan bahwa penggunaan senjata yang
bersifat mudah meledak dapat menambah penderitaan pada manusia; penggunaan mana
diakui bertentangan dengan hukum kemanusiaan (laws of humanity). Dengan demikan,
dalam paragraph operatif terakhir deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa ‘menyadari
kemungkinan perkembangan ilmu dan teknologi persenjataan dapat mempengaruhi
un pp
angkatan perang, maka tetap harus diutamakan prinsip-prinsip yang telah diakui, yakni
prinsip mengenai kepentingan militer dan prinsip kemanusiaan’.
Dengan melihat sebagian ketentuan dalam Lieber Code dan Deklarasi St. Petersburg
diatas, maka dapat dipahami bahwa keduanya menjadi faktor penting dalam memahami

s
perkembangan hukum Den Haag selanjutnya, terutama dalam hal ini mengenai metoda
dan sarana berperang. Sebagai contoh, ketentuan paragraph operatif kedua Deklarasi St.
k
ha
Petersburg, apabila diperhatikan secara seksama, agaknya dapat dianggap sebagai cikal-
bakal ketentuan mengenai objek militer (yang telah ditegaskan kembali dalam Konvensi
Jenewa 1949 dan baru secara eksplisit dan definitif terdapat dalam Protokol 1977).
l
Demikian pula dengan ketentuan mengenai penggunaan senjata yang bersifat tidak tak
terbatas (is not unlimited), agaknya telah pula diawali dalam Deklarasi St. Petersbur ini
(yang secara berulang ditegaskan kembali dalam sejumla konvensi, termasuk dalam
Protokol I 1977); serta demikian juga misalnya, Pasal 115 Lieber Code yang agaknya
telah berkembang menjadi prinsip pembedaan dalam hukum perang; dan lain sebagainya.
Setelah mengetahui betapa pentingnya ‘kontribusi’ yang diberikan oleh Lieber Code dan
Deklarasi St. Petersburg, maka diharpkan pembaca dapat menarik ‘benang merah’
ketentuan-ketentuan hukum Den Haag, dimulai dari kodifikasi yang terdahulu, sampai
dengan instrument hukum humaniter yang terbaru. Dengan demikian, maka sampailah
kita kepada uraian mengenai metoda dan sarana berperang.

Page | 59
A. Metoda & Sarana Berperang Menurut Konvensi Den Haag
Berbicara mengenai metoda dan sarana berperang, adalah berbicara tentang hukum
Den Haag. Hukum Den Haag, sebagaimana yang kita ketahui, sebagian besar terdapat di
dalam konvensi-konvensi yang dihasilkan dalam Konferensi-konferensi Perdamaian pada
tahum 1899 dan 1907. Namun, dalam perkembangannya, kita ketahui pula bahwa
ketentuan-ketentuan mengenai metoda dan sarana berperang tersebut tidak hanya terdapat
dalam konvensi-konvensi Den Haag saja, melainkan terdapat pula dalam Protokol
Tambahan 1977.
Ketentuan utama tentang metoda dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi
Den Haag ke-IV (1907), terutama Lampiran (Annex)-nya yang berjudul “Regulations
un pp
respecting the laws and customs of war on land”; atau sering disebut dengan “Hargue
Regulations” (Peraturan-peraturan Den Haag). Hague Regulations ini mengatur
mengenai hukum dan kebiasaaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan
mengenai metode dan sarana berperang. Mengacu pada pemikiran Kalshoven maka

s
uraian berikut akan membahas peraturan mengenai sarana dan metode berperang secara
terpisah, semata-mata untuk lebih memperjelas apa dan bagaimana yang dimaksud
k
ha
dengan kedua istilah tersebut.

1. Peraturan Den Haag mengenai sarana (alat) berperang


l
Dalam memahami peraturan Den Haag, terlebih dahulu harus diketahui dua
peraturan dasar (basic rules) yang melandasinya, yaitu:
1. In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to choose
methods or means of warfare si not unlimited.
2. It is prohibited to employs weapons, projectiles and material and
methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or
unnecessary suffering.
Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan sarana atau alat unutuk
melakukan peperangan (means of warfare) dalam suatu sengketa bersenjata adalah
keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang. Prinsip ini
tercantum dala ketentuan Pasal 22 Hague Regulations, yang menyatakan bahwa: “hak
Belligerents untuk menggunakan sarana dalam menghancurkan musuh adalah tidak tak

Page | 60
terbatas” (is not unlimited). Prinsip ini ditegaskan kembali dalam Resolusi XXVIII pada
Konferensi Internasional Palang Merah ke XX di Wina (1965); dan juga dalam Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2444 (XXIII).
Sebagai contoh penggunaan prinsip ini tampak pada konvensi yang dihasilkan
dalam Konferensi Perdamaian ke-II, misalnya: Pasal 1 Konvensi VIII (Convention
relative to the laying of automatic submarine contact mines) yang melarang penggunaan
ranjau dan torpedo, dengan perkecualian yang cukup ketat, sebagai berikut:
1. To lay unanchored automatic contact mines, expect when they are so
constructed as to become harmless one hour at most after the person who laid
them ceases to control them;
un pp2. To lay unanchored automatic contact mines which do not become harmless as
soon as they have broken loose from their moorings;
3. To use torpedoes which do not become harmless when they have missed their
mark.

s
Dengan melihat rumusan Pasal 1 di atas, jelaslah bahwa negara yang bersengketa
tidak dapat sebebas-bebasnya menggunakan ranjau, namun dibatasi oleh syarat-syarat
k
ha
tertentu. Contoh-contoh di atas mencerminkan bahwa penggunaan senjata oleh para pihak
yang bersengketa adalah tidak tak terbatas (=sangat terbatas).
Disamping prinsip penggunaan senjata yang sifatnya terbatas (sebagaimaan
l
tercantum dalam Pasal 22 di atas), maka dalam pasal 23 HR terdapat pula aturan-aturan
tentang alat berperang lainnya. Aturan ini misalnya larangan penggunaan racun dan
senjata-senjata neracun (poison and poisoned weapons), yang tercantum dalam pasal
23(a) Hague Regulations, larangan penggunaan senjata atau proyektif yang menyebaban
luka yang berlebih-lebihan atau penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering),
seperti tercantum dalam pasal 23(e) Hague Regulations. Contohnya adalah deklarasi-
deklarasi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian. Deklarasi 1 (1899) menyatakan
bahwa: “the contracting powers agree to prohibit, for a term of five years, the launching
of projectiles and explosives from balloons, or by other new methods of a similar
nature”. Jadi klausula ini menentukan batasan-batasan dalam menggunakan alat
berperang; dan dalam hal ini yang dilarang adalah penggunaan proyektil yang diledakkan
dengan bantuan balon atau dengan cara baru lain yang hampir serupa dengan balon.

Page | 61
Contoh lain adalah deklarasi 2 (1899) yang menyatakan bahwa: “The Contracting
Powers agree to abstain from the use of projectiles the sole object of which is the
diffusion of asphyxiating or deleterious gases”. Kalusula ini jelas melarang penggunaan
proyektil yang berisi gas beracun atau gas cekik. Contoh berikutnya adalah Deklarasi 3
(1899), yang diinspirasikan dari Deklarasi St. Petersburg, adalah deklarasi yang ditujukan
untuk melarang penggunaan peluru jenis tertentu, yaitu yang disebur peluru ‘dum-dum’,
karena sifatnya yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu. Peluru dum-dum,
berdasarkan Alinea I deklarasi 3 (1899) didefinisikan sebagai “bullets which expand of
flattern easily in the human body, such as bullets with hard envelope which does not
entirely cover the core or is pierced with incisions”. Deskripsi teknis ini tidak
un pp
menjelaskan alasan dibalik larangan tersebut, yaitu: bahwa semua jenis peluru yang
sesuai dengan deskripsi tersebut dapat menghasilkan akibat-akbat yang sebanding dengan
proyektil-proyektil yang dapat menyala dan meledak sebagaimana telah dituang dalam
Deklarasi St. Petersburg; yaitu dalam tubuh manusia, senjata-senjata itu dapat

s
mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dari pada yang diakibatkan oleh peluru biasa.
Jadi, pelarangan-pelarangan ini merupakan contoh yang jelas tentang penerapan larangan
k
ha
senjata yang mengakibatkan ‘penderitaan yang tidak perlu’.

2. Peraturan Den Haag mengenai metode berperang


l
Sebagaimana ketentuan tentang alat berperang, maka ketentuan tentang metoda
berperang juga diatur dalam Hague Regulations. Metode berperang menurut Hague
Regulations diatur dalam beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan Pasal 23(b) Hague
Regulations yang melarang “membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara
curang atau khianat (treacherously)”. Namun, ketentuan Pasal 24 yang menyatakan
bahwa tipu muslihat (ruses of war) serta pelaksanaan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk mendapat informasi mengenai musuh dianggap diperbolehkan, merupakan hal yang
tidak dapat disangkal. Satu-satunya masalah adalah bagaimana menentukan bahwa suatu
tindakan dikategorikan sebagai suatu tindakan curang atau tip muslihat. Contoh tindakan
yang termasuk tindakan curang adalah sebagaimana tercermin dalam Pasal 23(f) dimana
penggunaan bendera perdamaian (flag of truce) tidak pada tempatnya adalah dilarang
(sebagaimana diketahui, bendera perdamaian berfungsi untuk melindungi negosiator atau

Page | 62
perantara). Walaupun sulit untuk menetukan secara konkrit suatu tindakan apakah ia
tergolong tindakan curang atau tipu muslihat, maka kita dapat mengacu pada suatu
pedoman umum yang dutarakan oleh Kant, dan juga diulang kembali dalam Lieber Code,
bahwa “treacherous is all such conduct which undermines the basis of trust which is
indispensable for a return to peace”.
Kedua, Hague Regulations juga melarang, bukan berdasarkan pada sifat curang
tidaknya suatu perbuatan, (cruelty), misalnya larangan membunuh atau melukai musuh
yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 23(c). Demikian pula hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 25 HR
mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah berpenduduk atau
un pp
daerah yang tidak dipertahankan. Walaupun, apabila hal tersebut akan dilakukan, maka
Komandan yang bersangkutan harus mengumumkan terlebih dahulukepada penguasa
sipil yang bersangkutan. Demikian pula terdapat larangan perampasan suatu kota atau
suatu tempat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 28. Apabila kedua pihak menghendaki,

s
maka Hague Regulations juga mengatur masalah “kapitulasi” (Pasal 36-37), dan masalah
penggunaan mata-mata (lihat Pasal 29). Hague Regulations juga menentukan aturan-
k
ha
aturan tentang masalah pendudukan (occupation), sebagaimana tercantum dalam pasal
42-56 HR.
l
B. Sarana Dan Metode Berperang Menurut Protokol Tambahan I
Ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol I terdapat dalam
Bagian III Protokol yang berjudul “Methods and Means of Warfare, Combatant and
Prisoner of War Status” (pasal 35-47). Secara garis besar, ketentuan mengenai alat dan
cara berperang dalam protokol ini disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya
penambahan aturan dasar (basic rules), ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya
penambahan lambang-lambang internasional yang harus dihormati selama masa
peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa
bersenjata (antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata, dan
sebagainya).
Perkembangan dalam Protokol mengenai larangan metoda berperang muncul
karena terjadinya Perang Vietnam (1975). Perang yang mengakibatkan kerusakan

Page | 63
lingkungan yang sangat parah tersebut, dimana kepedulian di bidang lingkungan mulai
tumbuh pesat setelah terbentuknya Deklarasi Stockholm (1972), menyebabkan
ditambahkannya satu aturan dasar (basic rule) lagi tentang sarana dan metoda berperang
didalam hukum humaniter, yaitu tentang larangan penggunaan lingkungan sebagai sarana
dan metoda berperang yang dinyatakan dengan: “ It is prohibited to employ methods or
means of warfare which are intende, or maybe expected, to cause widespread, long term
and severe damage to the natural environment”.
Ketentuan lain tentang alat/sarana berperang yang ditambahkan dalam Protokol
adalah adanya kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menentukan apakah
penggunaan senjata-senjata baru yang sedang dikembangkan akan bertentangan dengan
un pp
Protokol I atau dengan aturan hukum internasional lainnya yang mengikat negara tersebut
(pasal 36 Protokol). Apabila negara yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut,
maka negara tersebut akan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang terjadi.
Hal lain yang ditambahkan dalam Protokol adalah adanya perluasan penerapan

s
konsep ‘khianat’ (perfidy). Sebenarnya dalam konvensi Den Haag, konsep ini telah
diperkenalkan (pasal 23b HR). perbedaannya, dalam konvensi Den Haag, larangan
k
ha
melakukan perfidy hanya diterapkan dalam kaitannya dengan pembunuhan, melukai atau
menangkap musuh saja, namun dalam Protokol larangan tersebut diperluas dengan tidak
hanya diterapkan di dalam suatu operasi-operasi pertempuran saja, namun diantara lain,
l
juga diterapkan pada penghormatan terhadap bendera gencatan senjata (sub-ayat 1a),
tanda kebangsaan (sub-ayat 1b), penduduk sipil (sub-ayat 1c), dan lambang-lambang
internasional lainnya (sub-ayat 1d).
Oleh karena itu, dalam Protokol, tindakan-tindakan demikian lebih diuraikan lagi
dengan ukuran-ukuran yang jelas beserta contoh-contohnya, walaupun contoh tersebut
tidaklah bersifat komprehensif.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman dari peserta didik atas materi
pembelajaran ke-4 dilakukan diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa
pertanyaan:

Page | 64
a) Apa yang dimaksud dengan Instruksi Lieber dan apa bedanya dengan Deklarasi St.
Petersburg?
b) Jelaskan metoda dan sarana berperang menurut Konvensi Den Haag ke IV (1907)!
c) Apa perbedaan antara sarana dan metode berperang menurut Konvensi Den Haag ke-
IV (1907) dengan yang diatur menurut Protokol Tambahan I (1977)?

D. Daftar Bacaan

Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee


un pp of the Red Cross, Jakarta, 1999.

Mochtar Kususmaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah tahun 1949,


Binacipta Bandung, 1979

s
k
ha
l

Page | 65
BAB 6
BAHAN PEMBELAJARAN 5

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-5 adalah mahasiswa
dapat menjelaskan tentang prinsip pembedaan sehingga dapat membedakan penduduk
dalam satu negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Sasaran pembelajaran 5 ini
hendak dicapai dengan menggunakan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan
diskusi kelas in small group.
un pp Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah partisipasi dalam diskusi, penguasaan materi pembelajaran secara individual serta
kehadiran dalam proses belajar mengajar.

s
B. Uraian

Prinsip Pembedaan
k
ha
1. Pengertian
Prinsip atau asas Pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas
l
penting dalam hukum huamniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau
membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat
dalam konflik bersenjata, kedalam dua golongan, yakni Kombatan (Combatant) dan
Penduduk Sipil (Civillian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktid
turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan
penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.
Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut
serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan
mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan
sasaran atau objek kekerasan. Ini sangat penting ditekankan karena perang, sejak ia
mulai dikenal, sesungguhnya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari negara-
negara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam
permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini

Page | 66
sudah diakui sejak zaman kuno. Setiap kodifikasi hukum modern kembali
menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau
kekerasan perang.
Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang
dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan, ‘the civilian
population and individual civilians shall enjoy general protection against danger
arising from military operation’. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh
ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principles of application), yakni:
a) Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara
kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-
un pp objek sipil.
b) Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh
dijadikan objek serangan (walaupun) dalam hal resprisals (pembalasan).
c) Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk

s
menyebarkan terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.
d) Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan
k
ha yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-
tidaknya, untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi
sekecil mungkin.
l
e) Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menaan
musuh
Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dari pernyataan Jean
Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk
melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak
langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan
bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Karena,
dengan adanya prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut
serta dalam permusuhan dank arena itu boleh dijadikan objek kekerasan (dibunuh)
dan siapa yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan dan karenanya tidak boleh
dijadikan sasaran kekerasan. Jadi secara normative, prinsip ini dapay mengeliminasi
kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap

Page | 67
penduduk sipil. Ini berarti memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang
dilakukan oleh kombatan secara sengaja.

2. Perkembangan Pengaturan Prinsip Pembedaan


a) Konvensi Den hag 1907
Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa Konvensi Den Haag 1907 adalah hasil
dari Konferensi Perdamaian Kedua (The Second Hague Peace Confrence) yang
diselenggarakan di Den Haag, yang tujuannya adalah melakukan revisi terhadap hasil
Konferensi Perdamaian Pertama yang dilakukan di tempat yang sama pada tahun
un pp
1899 (yaitu menghasilkan Konvensi Den Haag 1899 beserta Annex-nya). Sementara
Konvensi Den Haag 1899 itu sendiri boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari
pertemuan Brussels tahun 1874, yang dihadiri oleh 15 Negara Eropa tetapi gagal
menghasilkan persetujuan yang bersifat mengikat.

s
Dalam kaitannya dengan Prinsip Pembedaan, walaupun istilah itu tidak secara
eksplisit dapat ditemukan dalam Konvensi-konvensi Den Haag 1907, tetapi secara
k
ha
implicit ketentuan mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya
dalam lampiran atau Annex-nya yang diberi judul Regulations Respecting Laws and
Customs of War atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hague Regulations (yang
l
sering disingkat HR). bagi kalangan angkatan bersenjata, ketentuan yang terdapat
dalam HR ini dianggap sangat penting, sehingga dijuluki the Soldier’s Vadamecum.
Bagian pertama Bab I HR, yang membahas mengenai the Qualifications of
Belligerents, dalam Pasal 1-nya dinyatakan: the laws, rights and duties of war apply
not only to army, but also militia and volunteer corps fulfilling the following
conditions:
1. To be commanded by a person responsible to his subordinates;
2. To have a fix distinctive emblem recognizable at a distance;
3. To carry arms openly, and;
4. To conduct their operations in accordance with the laws and customs of war.
In the countries where militia and volunteer corps constitute the army, of form
part of it, they are included under the denomination ‘army’.

Page | 68
Kalau ketentuan diatas diperhatikan, yang diatur di dalamnya adalah penegasan
bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara (army),
melainkan juga bagi milisi dan krop sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan
sebagaimana disebutkan dalam ayat(1) sampai dengan (4) dari Pasal 1 HR diatas.
Bahkan, dalam paragraf selanjutnya dari pasal itu, juga ditegaskan bahwa di negara-
negara dimana milisi dan korp sukarelawan merupakan tentara atau merupakan
bagian dari tentara, maka milisi dan korp sukarelawan itu dimasukkan ke dalam
sebutan tentara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 itu. Dengan kata lain, bagi
milisi dan korp sukarelawan ini, hukum, hak, dan kewajibannya tidak ada bedanya
dengan hukum, hak, dan kewajiban tentara.
un pp
Selanjutnya, Pasal 2 HR menyatakan: ‘the inhabitants of a territory which has
not been occupied, who, on the approach of the enemy, spontaneously take up arms
to resist the invading troops without having had time to organize themselves in
accordance with Article 1, shall be regarded as belligerents if they carry arms

s
openly and if they respect the laws and customs of war’.
Golongan penduduk yan disebutkan dalam Pasal 2 HR inilah yang dinamakan
k
ha
levee en masse. Mereka dimasukkan ke dalam kategori belligerents, sepanjang
memenuhi persyaratan sebagai ‘levee en masse’, yaitu:
1. Penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
l
2. Secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan;
3. Tidak memiliki waktu untuk mengatur diri sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1;
4. Menghormati hukum dan kebiasaan perang;
5. Membawa senjata secara terbuka.
Satu hal yang perlu diperhatikan mengenai levee en masse ini bahwa sifatnya
yang spontan, dimana penduduk dari wilayah yang belum diduduki tersebut tidak
mempunyai waktu yang cukup untuk mengorganisasikan perlawanannya. Dengan
demikian maka levee en masse juga bersifat temporal, artinya jika penduduk yang
bersangkutan akan melanjutkan perlawanannya maka mereka harus mengorganisir
dirinya. Dalam hal yang demikian maka mereka dikategorikan sebagai milisi atau
korps sukarela (volunteers corps) yang juga termasuk dalam golongan kombatan.

Page | 69
Dalam hubugan ini Frits Kalshoven memberikan catatan bahwa pada tahun-
tahun ketika ketentuan di atas dirumuska, istilah ‘belligerent’ digunakan untuk
menunjukkan bukan saja suatu negara yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata,
melainkan juga orang-perorangan yang sekarang kita kenal dengan sebutan
‘combatant’. Kalshoven juga menyatakan bahwa masuknya ketentuan tentang leeve
en masse (demikian pula militia dan volunteer corps) merupakan cerminan dari
praktik yang terjadi pada abad ke-19, khususnya pada masa perang Perancis-Jerman
tahun 1870.
Dengan memperhatikan uraian di atas maka dapatlah dikatakan bahwa yang
digolongkan sebagai ‘pihak-pihak yang boleh turut serta secara aktif dalam
un pp
pertempuran’ atau Kombatan menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya HR
adalah:
1. Armies (tentara);
2. Militia and Volnteer Corps (milisi dan korps sukarelawan);

s
3. Levee en masse.
Ada satu catatan yang perlu dikemukakan sehubungan dengan HR, yakni
k
ha
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 yang menyatakan, ‘the armed forces of the
belligerent parties may consist of combatans and non-combatants. In the case of
capture, both have a right to be treated as prisoners of war’.
l
Istilah non-combatants dalam ketentuan ini bukanlah dalam arti civilians,
melainkan bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur, kalau mereka
tertangkap oleh musuh, mereka juga berhak memperoleh status sebagai tawanan
perang.

b) Konvensi Jenewa 1949


Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Den Haag 1907
khususnya HR, ketentuan dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949, mulai dari
konvensi I-IV, tidak menyebutkan istilah combatant, melainkan hanya menentukan
‘yang berhak mendapatkan perlindungan’ (Pasal 13 Konvensi I dan II) dan ‘yang
berhak mendapatkan perlakuan sebagai tawanan perang’ bila jatuh ketangan musuh

Page | 70
(Pasal 4 Konvensi III). Mereka yang harus disebutkan dalam pasal-pasal itu harus
dibedakan dengan penduduk sipil.
Pasal 13 Konvensi I dan II menyatakan: “the present Convention shall apply to
the wounded, sick, and shipwrecked at sea belonging to the following categories:
(1) Members of the armed forces of Party to the conflict as well members of
militias or volunteer corps forming part of such armed forces;
(2) Members of other militias and members of volunteer corps, including those
of organized resistance movements, belonging to a Party to the conflict and
operating in or outside their own territory, even if this territory is occupied,
provided that such militias or volunteer corps, including such organized
un pp resistance movements, fulfill the following conditions:
(a) That of being commanded by a person responsible for his subordinates;
(b) That of having a fixed distinctive sign recognizable at a distance;
(c) That of conducting their operations in accordance with the laws and

s
customs of war.
(3) Members of regular armed forces who profess allegiance to a Government
k
ha or an authority not recognized by the Detaining Power.
(4) Persons who accompany the armed forces without actually being members-
thereof, such as civil members of military aircraft crews, war
l
correspondents, supply contractors, member of labour units or of services
responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have
received authorization from the armed forces which they accompany.
(5) Member of crew, including masters, pilots, and apprentices of the merchant
marine and the crews of the civil aircraft of the Parties to the conflict, who
do not benefit by more favourable treatment under any other provisions of
international law.
(6) Inhabitant of a non-occupied territory who on the approach of the enemy
spontaneously take up arms to resist the invading forces, without having had
time to form themselves into regular armed units, provided that they carry
arms openly and respect the laws and custom war’.

Page | 71
Jika diperhatikan dengan seksama ketentuan Pasal 13 Konvensi I dan II diatas,
golongan penduduk yang berhak mendapatkan status sebagai korban perang bila
jatuh ke tangan musuh. Hal ini ditegaskan dalam Pasal IV (A) Konvensi IV. Namun,
disamping mereka, orang-orang juga berhak mendapatkan perlakuan sebagai
tawanan perang adalah orang-orang yang disebutkan dalam Pasal IV (B) yang
rumusan selengkapnya berbunyi:
“The following shall likewise be treated as prisoners of war under the Present
Convention:
(1) Persons belonging, or having belonged, to the armed forces of the occupied
country, if the occupying Power considers it necessary by reason of such
un pp allegiance to intern them, even tough it originally liberated them while
hostilities were going on outside the territory it occupies, in particular where
such persons have made an unsuccessful attempt to rejoin the armed forces
to which they belong and which are engaged in combat, or where they fail to

s
comply with a summon made to them with a view to internment.
(2) The persons belonging to one of the categories enumerated in the present
k
ha Article, who have been received neutral or non-belligerent Powers on their
territory and whom these Powers are required to intern under international
law, without prejudice to any more favourable treatment which these Powers
l
may chose to give and with the exception of Article 8, 10, 15, 30, fifth
paragraph, 58-67, 92, 126 and, where diplomatic relations exsist, the Parties
to the conflict and the neutral or non-belligerent Power concerned, those
Articles concerning the Protection Power. Where such diplomatic relations
exist, the parties to the conflict on whom these persons depend shall be
allowed to perform towards them the functions of a Protecting Power as
provided in the present Convention, without prejudice to the functions which
these Parties normally exercise in conformity with diplomatic and consular
usage and treaties”.
Kesimpulan yang dapat diambil dari ketentuan Pasal 13 Konvensi I dan II, serta
Pasal IV Konvensi IV di atas adalah, meskipun dalam pasal-pasal tersebut tidak
dengan tegas disebutkan adanya penggolongan Combatants dan Civillians, ketentuan

Page | 72
dalam Konvensi-konvensi Jenewa diatas jelas pada dasarnya dimaksudkan atau
ditujukan untuk diberlakukan bagi Kombatan. Di samping itu, ketentuan dalam
Konvensi-konvensi Jenewa di atas juga memasukkan satu kategori baru ke dalam
golongan Kombatan, yaitu golongan penduduk yang dinamakan Organized
Resistance Movement (Gerakan Perlawanan yang Terorganisasi). Mereka ini adalah
penduduk yang merupakan bagian dari pihak-pihak yang bertikai, yang melakukan
operasinya baik didalam maupun di luar wilayah mereka walaupun wilayah tersebut
telah diduduki. Mereka ini dapat dimasukkan ke dalam kategori Kombatan, jika:
(1) Mereka memiliki pemimpin yang bertanggungjawab atas bawahannya;
(2) Mereka mengenakan tanda-tanda terteentu yang dapat dikenali dari jarak
un pp tertentu;
(3) Mereka membawa senjata secara terbuka;
(4) Mereka dalam beroperasinya mematuhi hukum dan kebiasaan perang.

s
c) Protokol Tambahan Tahun 1977
Satu hal yang membedakan ketentuan yang mengatur tentang Prinsip
k
ha
Pembedaan dalam Protokol Tambahan I dengan ketentuan-ketentuan yang telah
disebutkan terdahulu adalah bahwa baru dalam protokol inilah istilah Combatant
dinyatakan secara eksplisit (Pasal 43 angka 2). Hal ini tidaklah mengherankan karena
l
Protokol ini merupakan penyempurnaan baik terhadap Konvensi Den Haag 1907,
khususnya Konvensi IV, maupun terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949.
Prinsip pembedaan dalam Protokol ini diatur pada bab II yang berjudul
Combatant and Prisoner-of-War Status. Pasal 43 menyatakan:
1. The armed forces of a Party to a conflict consist of organized armed forces,
groups and units which are under a command responsible to that Party for
the conduct of its subordinates, even if that Party is represented by a
government or an authority not recognized by an adverse Party. Such armed
forces shall be subject to an internal diciplininary system which, interalia,
shall enforce compliance with the rule of international law applicable in
armed confict.

Page | 73
2. Members of the armed forces of a Party to a conflict (other than medical
personel and chaplains covered by Article 33 of the Thrid Convention) are
combatants, that is to say, they have to right to participate directly in
hostilities.
3. Whenever a Party to a conflict incorporates a paramilitary or armed law
enforcement agency into its armed forces it shall so notify to the other
Parties to the conflict.
Ketentuan pasal 43 diatas secara tegas menentukan bahwa mereka yang dapat
digolongkan sebagai Kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian
armed forces (angkatan bersenjata) suatu negara, dan mereka yang termasuk ke
un pp
dalam pengertian angkatan bersenjata itu adalah ‘mereka yang memiliki hak untuk
berperan-serta secara langsung dalam permusuhan’. Mereka itu terdiri atas: angkatan
bersenjata yang terorganisasi (organized armed forces), kelompok-kelompok atau
unit-unit yang berada di bawah satu komando yang bertanggung-jawab atas tingkah

s
laku bawahannya kepada Pihak yang bersangkutan, meskipun Pihak tersebut diwakili
oleh suatu Penguasa yang tidak diakui oleh Pihak yang menjadi lawannya, dengan
k
ha
ketentuan bahwa angkatan bersenjata itu harus tunduk kepada suatu disiplin internal
yang berisikan, antara lain, pelaksanaan ketentuan yang berlaku dalam konflik
bersenjata.
l
Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas hendak membedakan antara
Combatans dan Civilians (penduduk sipil), adalah ketentuan yang terdapat dalam
pasal 48 yang menyatakan:
‘In order to ensure respect for and protection of civilian population and civilian
objects, the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian
population and combatants and between civilian objects and military objectives
accordingly shall direct their operations only against military objectives’.
Ketentuan ini, sebagaimana disebutkan pada sub-titel Pasal 48 itu, merupakan
basic rule dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat
terjadi konflik bersenjata. Karenanya, Protokol memandang perlu untuk, sekali lagi,
menegaskan bahwa dalam rangka menjamin penghormatan dan perlindungan
terhadap penduduk sipil dan objek-objek sipil, maka pihak-pihak yang bersengketa

Page | 74
setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara
objek-objek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya
terhadap sasaran militer. Ketentuan penting lain dari Protokol ini yang berkenaan
dengan prinsip pembedaan terdapat dalam Pasal 44. Pasal ini menegaskan bahwa
setiap kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan (falls into the power of
and adverse Party) harus diperlakukan atau akan memperoleh status sebagai tawanan
perang. Selengkapnya, Pasal 44 itu berbunyi:
1. Any combatant, as defined in Article 43, who falls into the power of an
adverse Party shall be a prisoner of war.
2. While all Combatants are obliged to comply with the rules of international
un pp law applicable in armed conflict, violations of these rules shall not deprive a
combatant of his right to be a combatant or, if he falls into the power of an
adverse Party, of his right to be a prisoner of war, except provided in
paragraph 3 and 4.

s
3. In order to promote the protection of the civilian population from the effect
of hostilities, combatants are obliged to distinguish themselves from the
k
ha civilian population while they are engaged in an attack or in a military
operation prepatory to an attack. Recognizing, however, that there are
situations in armed conflicts where, owing to the nature of hostilitiesm an
l
armed combatant cannot so distinguish himself, he shall retain his status as
a combatant, provided that, in such situations, he carries his arms openly:
(a) During each military engagement, and
(b) During such time as he is visible to the adversary while he is engaged in
a military deployment preceding the launching of an attack in which he is
to participate.
Acts which comply with the requirements of this paragraph shall not be
considered as perfidious within the meaning of Article 37, paragraph 1(c).
4. A combatant who falls into the power of an adverse Party while failing to
meet the requirements set forth in the second sentence of paragraph 3 shall
forfeit his rights to be a prisoner of war, but he shall, nevertheless, be given
protections equivalent in all repects to those accorded to prisoner of war by

Page | 75
the Third Convention and by this protocol. This protections aquivalent to
those accorded to prisoners of war by the Third Convention in the case
where such a person is tried and punished for any offences he has commited.
5. Any combatant who falls into the power of an adverse Party while not
engaged in an attack or in a military operation prepatory to an attack shall
not forfeit his rights to be a combatant and a prisoner of war by virtue of his
prior activities.
6. This article is without prejudice to the right of any person to be a prisoner of
war pursuant to Article 4 of the Third Convention.
7. This Article is not intended to change the generally accepted practice of
un pp States with respect to the wearing of uniform by combatants assigned to the
regular, uniformed armed units od a Party to the conflict.
8. In addition to the categories of persons mentioned in Article 13 of the First
and Second Conventions, all members of the armed forces of a Party to the

s
conflict, as defined in Article 43 of this Protocol, shall be entitled to
protection under Those Conventions of they are wounded or sick or in case
k
ha of the Second Convention, shipwrecked at sea or in other waters.
Hal penting yang dapat diambil dari uraian mengenai pengaturan prinsip
pembedaan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 ini adalah bahwa dalam protokol
l
ini telah terjadi perkembangan yang paling revolusioner mengenai pengaturan prinsip
pembedaan ini. Dikatakan demikian karena dalam protokol ini tidak lagi dibedakan
antara regular troops dan irregular troops, sebagaimana dikenal dalam kedua
konvensi yang telah lahir sebelumnya, yakni baik Konvensi Den Haag 1907 maupun
Konvensi Jenewa 1949. Jadi, tidak ada lagi pembedaan perlakuan antara tentara
regular dan yang bukan tentara regular, tidak ada lagi ketentuan hukum khusus yang
berlaku bagi mereka yang tergolong bukan tentara regular.

C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-5 dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam
beberapa pertanyaan:

Page | 76
1. Apa yang dimaksud dengan asas pembedaan/distinction principle?
2. Apa yang dimaksud dengan Soldier’s Vadamecum?
3. Syarat apa yang harus dipenuhi sebagai levee en masse?

D. Daftar Bacaan
Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of
the Red Cross, Jakarta, 1999.
Haryo Mataram GPH, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984.
Jean Pictet, development and Priciples of International Humanitarian Law,
un pp Martinus Nijhoff, 1985

s
k
ha
l

Page | 77
BAB 7
BAHAN PEMBELAJARAN 6

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-6 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan tentang implementasi hukum humaniter serta bagaimana peran ICRC
(International Committee of the Red Cross). Sasaran pembelajaran berupa Discovery
learning melalui small group work, kuliah interaktif dan diskusi kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait soal implementasi/penerapan prinsip-prinsip
un pp
hukum humaniter, partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dan penguasaan individual.
Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar
yang diberikan bagi peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
Implementasi Hukum Humaniter Internasional

A. Implementasi Secara Umum dan Peranan International Committee of the Red


l
Cross (ICRC)
Sebelum membahas lebih jauh mengenai implementasi Hukum Humaniter ada
baiknya terlebih dahulu dipertimbangkan suatu pertanyaan: “Apakah hukum humaniter
itu masih berguna dalam kenyataan?”. Pertanyaan ini relevan kalau kita memperhatikan
informasi yang diterima dari berbagai negara yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Hampir setiap hari ada berita mengenai pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan
kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tahanan perang, penyiksaan,
perkosaan, eksekusi diluar proses hukum, masyarakat sipil yang menderita kelaparan
dibawah pendudukan musuh, dsb. Sering kita mendengar kejadian tentang pelanggaran
hukum humaniter. Maka kemudian timbul pertanyaan apakah hukum humaniter hanya
suatu hasrat dan cita-cita yang mencerminkan semacam dunia ideal… tetapi jauh berbeda
dengan hal yang senyatanya.

Page | 78
Pikiran seperti itu tidak salah sama sekali, walaupun terlalu pesimis. Kita harus
mengakui bahwa hukum humaniter seringkali tidak dipatuhi. Tetapi disamping itu, kita
juga harus melihat kepada suatu situasi dimana peraturan-peraturan hukum humaniter ini
benar-benar dihormati, dan dengan demikian mempertimbangkan semua kasus dimana
jiwa manusia dapat diselamatkan, karena para peserta tempuh masih mempunyai rasa
perikemanusiaan sesuai dengan hukum humaniter.
Kemudian pertanyaannya sekarang menjadi berikut: “apakah dalam dunia kita,
pelanggaran terhadap hukum humaniter, dengan kejadian seperti yang disebut diatas,
memang semakin meningkat atau sebaliknya”. Untuk itu kita perlu mempertimbangkan
beberapa faktor berikut ini:
un pp
Yang pertama, manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu memperhatikan
situasi yang buruk. Orang biasanya lebih tertarik pada kejadian yang merupakan
pelanggaran hukum humaniter, karena mengakibatkan korban. Sementara, jarang kita
mendengar tentang pertukaran tawanan perang antara dua negara, pemberian bantuan

s
makanan bagi masyarakat sipil yang menderita kelaparan, penghentian perlakuan yang
tidak baik dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar hukum humaniter.
k
ha
Walaupun ada informasi seperti itu, emosi setiap orang biasanya terbawa pada peristiwa
yang lebih dramatis. Dari situ kemudian timbul kesimpulan bahwa lebih sering terjadi
situasi dimana hukum humaniter tidak dihormati daripada situasi dimana hukum
l
humaniter diterapkan/dihormati.
Yang kedua, adanya perkembangan teknologi maka media massa pada saat ini dapat
melaporkan lebih banyak peristiwa yang terjadi di seluruh dunia. Informasi yang diterima
sekarang lebih akurat, lebih cepat dan bergambar. Tetapi walaupun jumlah berita yang
diterima mengenai situasi pelanggaran hukum humaniter semakin banyak, belum tentu
jumlah situasi tersebut memang meningkat. Pada saat ini orang lebih peduli tentang apa
yang terjadi di dunia dibandingkan pada masa yang lalu. Sebetulnya perkembangan ini
ada baiknya juga karena dengan menyaksikan kejadian tragis akibat pelanggaran ini maka
opini publik akan semakin mengutuk negara yang tidak menghormati hukum humaniter.
Dan meskipun kesadaran negar-negara yang bersangkutan belum penuh mengenai hal itu,
ada harga yang harus dibayar untuk setiap pelanggaran hukum humaniter. Harga yang
dimaksud disini adalah akibat politis yang bisa mahal sekali nilainya. Oleh karena itu, ada

Page | 79
beberapa negara yang berusaha membatasi kebebasan pers untuk menutup-tutupi
informasi tersebut. Tetapi pada suatu saat nanti, pelanggaran yang terjadi pasti akan
diketahui masyarakat.
Yang ketiga, juga dalam hal tidak boleh dilupakan upaya yang dilakukan ICRC
untuk membatasi jumlah pelanggaran hukum humaniter. Secara pasif, ICRC dengan
menugaskan utusannya di lapangan berupaya seefektif mungkin untuk mencegah adanya
pelanggaran hukum humaniter. Secara aktif, ICRC dapat berhubungan langsungg dengan
instansi yang bersangkutan agar pelanggaran yang terjadi dapat dihentikan. Dengan
demikian sebetulnya banyak juga situasi, dimaan tragedi ini dapat dihindarkan atau
masalah kemanusiaan dapat diatasi dengan menerapkan hukum humaniter.
un pp
Akhirnya yang keempat, kalau mempertimbangkan jumlah pelanggaran terhadap
hukum humaniter, juga harus disadari bahwa kadang-kadang pelanggaran tersebut
disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai hukum humaniter. Bagaimana
mungkin orang mematuhi hukum, kalau peraturan-peraturan tersebut belum

s
diketahuinya? Kurangnya pengetahuan mengenai hukum humaniter terjadi di sisi pihak
menjadi korban pelanggaran tersebut. Hukum humaniter terdiri dari hak dan kewajiban
k
ha
yang perlu disebarluaskan, sehingga orang yang mempunyai kewajiban dapat bersikap
sesuai hukum humaniter, dan orang yang mempunyai hak dapat meminta agar hukum
humaniter dihormati.
l
Setelah mempertimbangkan semua faktor diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum humaniter tetap berguna, meskipun orang lebih sering mendengar tentang
pelanggaran hukum humaniter daripada situasi dimana hukum humaniter
diterapkan/dihormati. Yang pasti upaya untuk mendukung implementasi hukum
humaniter perlu terus ditingkatkan untuk mencegah semaksimal mungkin adanya
pelanggaran.

1. Beberapa kesulitan dalam mengimplementasikan Hukum Humaniter


Internasional
Kesulitan pertama adalah bahwa HHI harus diterapkan pada waktu yang sangat sulit,
yaitu stabilitas dan keamanan nasional suatu negara terancam. Di tingkat internasional,
terdapat beberapa prosedur dalam Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya untuk

Page | 80
mendukung pelaksanaan HHI, seperti sistem Negara Pelindung, peranan ICRC dan
Komisi Internasional Pencari Fakta. Namun semua prosedur internasional, termasuk yang
disebut diatas hanya dapat difungsikan, apabila negara yang bersangkutan menyetujuinya.
Dan dalam situasi yang sangat membahayakan itu, belum tentu negara akan menerima
pihak luar untuk bertindak dalam wilayahnya. Agar pelaksanaan HHI lebih terjamin,
beberapa tindakan perlu dilakukan pada tingkat nasional.
Kesulitan kedua adalah bahwa HHI bersifat sangat kompleks. Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahannya disusun oleh para ahli hukum dan diplomat dimana istilah serta
struktur kalimat yang digunakan sukar dimengerti oleh umum, maka perjanjian
internasional tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa yang lebih sederhana. Dan untuk
un pp
menigkatkan efektivitas penerapan HHI, perlu ada penyesuaian ketentuan hukum itu
untuk berbagai tingkat implementasi. Di samping itu, untuk sebagian besar dari negara
peserta, perjanjian internasional tersebut perlu diterjemahkan dalam bahasa nasionalnya.
Dalam hal ini ada resiko dimana beberapa hal pokok dirubah ataupun dihilangkan secara

s
tidak sengaja melalui proses penterjemahan.
Kesulitan ketiga adalah bahwa berbagai ketentuan HHI tidak bersifat operasionil,
k
ha
dalam artian tidak dapat diterapkan secara langsung. Misalnya, ketentuan mengenai
pelanggaran HHI tidak dapat diterapkan langsung untuk menjatuhkan hukuman terhadap
pelaku pelanggaran tersebut. Untuk itu, perlu adanya undang-undang nasional yang
l
menetapkan sanksi pidana efektif untuk perbuatan-perbuatan yang merupakan
pelanggaran HHI. Maka untuk mengefektifkan hukum internasional itu, perlu dikeluarkan
berbagai peraturan pelaksanaan nasional.
Jadi, setiap negara peserta harus mengambil sikap yang akti dengan melakukan
beberapa tindakan implementasi di tingkat nasional, agar HHI dapat diterapkan secara
efektif.

2. Tanggung jawab atas implementasi hukum humaniter


Kewajiba untuk menerapkan HHI digaskan pada Pasal 2 ketentuan yang bersamaan
daka epat Konvensi Jenewa, sebagai berikut: “pihak-pihak peserta agung berjanji untuk
menghormati dan menjamin penghormatan Konvensi ini dalam segala keadaan”.

Page | 81
Protokol I memperkuat hal tersebut sebagaimana diatur pada pasal 80 sebagai
berikut: “pihak-pihak peserta agung dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian
harus memerintahkan dan menginstrusikan dengan cara sedemikian rupa sehingga
menjamin kepatuham terhadap konvensi-konvensi dan protokol tambahannya, dan
mereka wajib mengawasi pelaksanaannya”.
Disamping itu, protokol I menegaskan pada pasal 87 tentang tugas para komandan,
dengan mengingatkan bahwa adalah tugas para komandan untuk mencegah adanya
pelanggaran terhadap hukum humaniter. Dan apabila terjadi pelanggaran, komandan
wajib mengambil tindakan menghukum/melaporkan orang yang salah kepada instansi
yang berwenang. Istilah komandan yang dipakai disini dalam artian yang luas, sehingga
un pp
mencakup setiap militer yang memerintah sejumlah bawahan. Dengan demikian,
penanggung jawab atas penerapan hukum humaniter di lingkingan angkatan bersenjata
tersebar di setiap tingkat.
Dengan memperhatikan ketentuan pasal 1 Konvensi Jenewa serta pasal 80 dan 87

s
Protokol Tambahan tersebut di atas, maka tanggung jawab utama dalam pelaksanaan HHI
diberikan kepada negara peerta.
k
haPerhimpunan Palang Merah Nasional mempunyai peranan yang penting tetapi
terbatas, yaitu mengingatkan kepada instansi yang berwenang (sipil dan militer) tentang
kewajiban mereka untuk mengambil tindakan nasional yang dibutuhkan, agar pada saat
l
terjadi konflik bersenjata, HHI itu dapat diterapkan sepenuhnya dalam pelaksanaan
hukum humaniter di tingkat nasional.

2.1. Implementasi secara umum


Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan HHI langsung berlaku untuk semua negara
peserta. Namun agar implementasi ketentuan internasional itu dapat dilakukan secara
efektif, perlu diambil beberapa tindakan di tingkat nasional. Tindakan tersebut perlu
diambil di masa damai, untuk menjamin penerapan HHI bila terjadi di pertikaian
bersenjata.
Dala berbagai perjanjian internasional, ada ketentuan yang penerapannya hanya
dimungkinkan apabila sudah diatur dalam sistem undang-undang nasional.

Page | 82
Contohnya adalah ketentuan mengenai pelanggaran HHI hanya efektif apabila negara
telah memenuhi kewajibannya untuk mengeluarkan undang-undang yang menentukan
sanksi pidana yang bagaimana yang dijatuhkan kepada si pelaku. Di samping itu, ada
ketentuan yang dapat langsung diterapkan, namun penerapannya perlu didukung oleh
peraturan nasional. Contohnya adalah ketentuan mengenai perlindungan yang diberikan
kepada Palang Merah Nasional. Agar perlindungan itu menjadi efektif, maka negara yang
bersangkutan harus mengambil suatu langkah untuk mengakui secara resmi organisasi
Palang Merah Nasional tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa HHI secara keseluruhan hanya dapat
diterapkan sepenuhnya, jika didahului suatu proses dimana ketentuan internasional
un pp
dijadikan bagian dari sistem undang-undang nasional. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat
diberlakukan terhadap instansi yang berwenang untuk menerapkannya dari instansi yang
bersangkutan sekaligus dapat dituntut apabila terjadi pelanggaran.

s
2.2. Berbagai kategori tindakan pelaksanaan nasional
Tindakan implementasi nasional yang harus dilakukan untuk menjamin implementasi
k
ha
HHI tidak dapat dilaksanakan semuanya pada waktu yang sama. Oleh karena itu, setiap
negara akan menentukan prioritasnya masing-masing. Yang pasti, tindakan yang akan
memperoleh prioritas utama, tidak sama di setiap negara. Tindakan-tindakan pelaksanaan
l
yang dibutuhkan di tingkat nasional dapat dibagi dalam emapt kategori sebagai berikut:

2.2.1. Tindakan legislasi nasional


Setiap negara peserta harus mengeluarkan unang-undang dan peraturan-peraturan
yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing
konvensi dan Pasal 84 Protokol I.
Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk
member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah
orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Perbuatan yang dianggap salah adalah pelanggaran berat seperti ditentukan dalam
Konvensi Jenewa, serta setiap perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

Page | 83
hukum tersebut, sesuai Pasal 49-50, 50-51, 129-130, 146-147 masing-masing Konvensi
Jenewa dan Pasal 85-92 Protokol I. setiap negara peserta harus menyusun peraturan yang
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
mengenai penggunaan lambang pelindung Palang Merah; jika terjadi pelanggaran,
“dibutuhkan pula peraturan yang menerapkan sanksi pidana-“ terhadap orang/kelompok
/perusahaan yang melakukan penyalahgunaan lambang Palang Merah. Penggunaan
lambang Palang Merah oleh pihak yang tidak berwenang maupun penggunaan lambang
tiruan merupakan penyalahgunaan, seperti ditetapkan pada Pasal 53-54 Konvensi I dan
Pasal 43-45 Konvensi II. Disamping undang-undang baru yang harus dikeluarkan, negara
peserta juga mempunyai kewajiban untuk menyesuaikan sistem undang-undang yang
un pp
sudah berlaku dengan berbagai ketentuan-ketentuan HHI. Untuk menjamin penerapan
hukum humaniter, peraturan yang perlu disesuaikan mencakup berbagai bidang: militer,
pidana, medis dan pertahanan sipil. Misalnya untuk negara peserta Protokol I, jika
perundang-undangan pidana nasional menetapkan hukuman mati untuk kejahatan

s
tertentu, Protokol I meminta agar hukuman mati tidak dijatuhkan pada orang yang
berumur dibawah 18 tahun, pada wanita hamil maupun seorang ibu yang mempunyai
k
ha
anak kecil (Pasal 76-77 Protokol I).

2.2.2. Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai


l
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan
memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa
(pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan
sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa agak jauh dari objek militer,
sehingga serangan yang dilakukan musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak
membahayakan keselamatan dari dinas medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
Bangunan tetap, unit kesehatan dari Dinas Kesehatan, serta pengangkutannya, alat
perlengkapan dan personil medisnya harus ditandai dengan lambang pelindung Palang
Merah agar perlindungan yang diberikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa bersifat efektif,
beberapa persyaratan harus terpenuhi seperti mengeluarkan kartu pengenal khusus untuk

Page | 84
personil medis (Pasal 38-44 Konvensi I, Pasal 41-45 Konvensi II dan Pasal 18 Konvensi
IV).
Berbagai sistem pengenal elektronis dan lain-lain seharusnya digunakan pula untuk
meningkatkan efektivitas proses identifikasi bangunan dan kesatuan Dinas Kesehatan dan
pengangkutan medis (Pasal 5-8 lampiran I Protokol I).
Pada setiap tahap penelitian, penciptaan, atau pembelian senjata baru, setiap negara
peserta harus menentukan apakah penggunaan senjata tersebut tidak dilarang oleh
ketentuan-ketentuan HHI yang berlaku (Pasal 36 Protokol I).
Organisasi pertahanan sipil harus dibentuk untuk melaksanakan tugas humaniter
semata-mata yang diperlukan untuk melindungi masyarakat sipil terhadap efek
un pp
permusuhan dan bencana alam (Pasal 63 Konvensi I, Pasal 61-67 Protokol I). tujuan
organisasi itu adalah membantu para penduduk sipil untuk mengatasi kesulitan yang
diahadapi dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka selama berlangsung peristiwa
tersebut.

s
Biro penerangan resmi harus dapat didirikan untuk mengella semua data sehubungan
dengan tawanan perang dan penduduk sipil (Pasal 122-124 Konvensi III, Pasal 136-141
k
ha
Konvensi IV), dan juga untuk mencari anak-anak serta orang yang diakabrkan hilang
Pasal 33, 78 Protokol I).
Kapal-kapal yang direncanakan untuk digunakan sebagai kapal rumah sakit akan
l
dilindungi oleh Konvensi II, dengan syarat nama-nama dan tanda-tanda kapal itu telah
diberitahu kepada pihak-pihak dalam pertikaian 20 hari sebelum kapal tersebut
digunakan. Oleh karena itu, pemberitahuan atau notifikasi resmi itu harus disiapkan
sebelumnya (Pasal 22 Konvensi II).
Perlindungan benda-benda budaya pada waktu pertikaian bersenjata harus disiapkan
di masa damai, misalnya dengan mentukan bangunan atau lokasi mana yang mempunyai
nilai budaya dan merencanakan tempat pelindung khusus untuk menyimpan benda-benda
budaya yang dapat dipindahkan (Pasal 8 Konvensi Den Haag 1945).

Page | 85
2.2.3. Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata,
tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang
dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi,
sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam
persetujuan khusus tersebut.
Negara-negara yang mungkin menjadi negara pelindung, serta pihak yang akan
menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10
Konvensi I-III, Pasal 9, 11 Konvensi IV, dan Pasal 5 Protokol I.
Kegiatan kemanusiaan dari ICRC harus didukung dan diberikan fasilitas (pasal 9
un pp
Konvensi I-II, Pasal 10 Konvensi IV dan Pasal 81 Protokol I).
Upaya untuk mencari fakta dan untuk melakukan penyelidikan internasional harus
didukung Pasal 52, 53, 132, 149 masing-masing Konvensi dan Pasal 90 Protokol I.
Penawaran jasa-jasa baik oleh negara Pelindung, untuk menyelesaikan perbedaan

s
pendapat antara pihak yang terlibat dalam pertikaian harus didukung dan diterima (Pasal
11 Konvensi I-III dan Pasal 12 Konvensi IV).
k
haPerlu ditentukan lokasi daerah dan perkampungan kesehatan yang dapat dibentuk
berdasarkan Pasal 23 Konvensi I dan Lampiran I. Daerah dan perkampungan itu
bertujuan untuk melindungi orang yang sakit dan luka.
l
Perlu ditentukan pula lokasi daerah dan perkampungan rumah sakit dan daerah
keselamatan (safety zone) yang dapat dibentuk berdasarkan pasal 14 Konvensi I dan
Lampiran I. Daerah dan perkampungan itu bertujuan untuk melindungi masyarakat sipil.
Tindakan yang dibutuhkan untuk melindungi tawanan perang secara efektif harus
ditentukan, serta prosedur pengadilan yang harus diikuti untuk memastikan status orang
yang bersangkutan sebagai tawanan perang jika timbul keragu-raguan (Pasal 52 Konvensi
III dan Pasal 45 Protokol I).

2.2.4. Tindakan sehubungan dengan instruksi dan penyebarluasan HHI


Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu faktor
penyebab pelanggaran hukum humaniter adalah karena kurangnya pengetahuan mengenai
hukum humaniter. Karena itu, penyebarluasan dan pengajaran hukum humaniter penting

Page | 86
untuk dilaksanakan oleh negara peserta. Tindakan untuk menyebarkan teks Konvensi
seluas mungkin dan untuk memasukkan pengajarannya baik dalam program pendidikan
sipil harus dilakukan (Pasal 47, 48, 127, 144 masing-masing Konvensi dan Pasal 83 dan
19 masing-masing Protokol).
Tenaga ahli harus disiapkan, agar memudahkan penerapan HHI (Pasal 6 Protokol
I). Tenaga ahli tersebut juga dapat mengambil peranan dalam penyebarluasan hukum
humaniter, dengan memberikan nasehat teknis (seperti objek apa yang dapat dilindungi
dengan tanda Palang Merah…) atau dengan menjadi pengajar di lingkungan universitas.
Demikian pula, tenaga ahli harus disiapkan sehubungan dengan penerapan Konvensi Den
Haagg 1945 mengenai Perlindungan Benda-Benda Budaya, sesuai Pasal 25-27 Konvensi
un pp
tersebut.
Penasehat hukum harus dilatih di bidang HHI unutk diperbantukan kepada
angkatan bersenjata, sesuai Pasal 82 Protokol I. Hukum semakin kompleks. Oleh karena
itu, para komandan memerlukan nasehat tentang cara menterjemahkan peraturan hukum

s
humaniter itu dalam kenyataan. Penasehat hukum yang dimaksud juga dapat bekerjasama
untuk menyusun program instruksi hukum humaniter di lingkungan angkatan bersenjata.
k
ha2.3. Beberapa masalah teknis
Pelaksanaan HHI diwarnai beberapa masalah teknis yang mucul karena disatu sisi,
l
arid an istilah hukum yang digunakan tidak gampang ditangkap, dan disisi lain, meskipun
ada ketentuan hukum yang menggunakan kata-kata umum, belum tentu dalam
interpretasinya tidak akan timbul perbedaan pendapat mengenai arti ketentuan tersebut.
Prinsip dasar yang sangat penting mengenai kewajiban untuk selalu membedakan
antara kombatan dan non-kombatan dapat dimengerti semua orang secara teoretis.
Namun belum tentu penerapannya berdasarkan kriteria yang ditentukan dalam HHI
mudah dilaksanakan dalam praktek. Misalnya, bagaimana mengenai penduduk sipil yang
memakai senjata untuk membela diri dalam situasi kekacauan dalam negeri? Bagaimana
mengenai status anak di bawah umur yang dipakai sebagai peserta tempur? Bagaimana
tentang kelompok orang sipil yang tanpa membawa senjata, tetapi melibatkan diri dalam
permusuhan?

Page | 87
Di samping itu, HHI seperti hukum yang lainnya, tidak mungkin mengatur semua
permasalahan yang diahadapi dalam kenyataan. Misalnya, bagaimana dengan
perlindungan yang dibutuhkan pesawat helicopter yang sedang melakukan kegiatan
kemanusiaan, seperti mengevakuasi korban atau menyelamatkan orang yang sakit dan
lukam apabila pesawat tersebut juga dapat dipakai untuk menjalankan misi militer?

2.3.1. Kendala-kendala dalam implementasi Hukum Humaniter Internasional


Seperti yang disebutkan diatas, ada beberapa tindakan nasional yang diperlukan agar
perlindungan dapat diberikan secara efektif pada waktu perang, antara lain : Palang
Merah nasional harus diakui dan diijinkan; personil medis harus diperbantukan kepada
un pp
dinas kesehatan; pengangkutan medis harus dibawah kekuasaan instansi yang berwenang;
menandai kesatuan, personil, dan pengangkutan medis dengan lambang pelindung hanya
dapat dilakukan atas persetujuan instansi yang berwenang; penggunaan lambang
pelindung dapat diijinkan oleh instansi yang berwenang; organisasi pertahanan sipil harus

s
diatur dan diijinkan oleh instansi yang berwenang; dsb. Agar semua tindakan tersebut
dapat dilaksanakan dengan mudah, maka perlu ditentukan instansi mana yang berwenang.
k
ha
Untuk melakukannya, dan juga perlu menerbitkan peraturan yang menentukan pula
prosedur yang akan diikuti dalam mengimplementasikannya.
Kendala pertama yang dihadapi dalam hal implementasi HHI adalah kesadaran yang
l
sangat kurang mengenai tindakan pelaksanaan yang harus diambil di tingkat nasional.
Memang, para peserta yang menghadiri Konferensi Internasional pada waktu menyetujui
Konvensi-konvensi Jenewa belum tentu menyadari betul atau tidak lanjutnya sehubungan
dengan penerapan hukum tersebut. Maka, kesadaran para pejabat sipil dan militer di
berbagai instansi pemerintah mengenai kewajibannya untuk mengambil tindakan tertentu
masih belum cukup.
Untuk mengatasi hambatan itu, perlu secara terus-menerus menyebarluaskan HHI.
Menyeberluaskan HHI tidak hanya bertujuan meningkatkan pengetahuan tentang hukum
itu, tetapi untuk mengingatkan pihak-pihak tertentu tentang kewajibannya dalam
pelaksanaan HHI.
Kendala kedua adalah tingkat keahlian yang masih terbatas. Masalah hukum yang
dihadapi dalam implementasi HHI agak rumit dan tidak banyak ahli hukum yang dapat

Page | 88
memahami permasalahan tersebut secara menyeluruh. Belum tentu semua negara peserta
dapat menyediakan untuk setiap instansi yang terkait, seorang ahli dalam peyusunan
perundang-undangan dan yang mampu memahami segala aspek dan masalah hukum
internasional yang mungkin muncul sehubungan dengan implementasi HHI.
Untuk mengatasi hambatan itu, perlu semacam program bantuan baik yang
menyangkut sumber dana maupun sumber tenaga yang diperlukan. Di samping itu, untuk
dapat memudahkan proses pelaksanaan HHI adalah dengan menyediakan contoh
peraturan dasar yang dapat berguna sebagai pedoman dalam menyusun perundang-
undangan nasional yang dibutuhkan. Inilah salah satu dukungan yang dapat diberikan
oleh Advisory Services yang merupakan bagian dari ICRC, dengan tujuan membantu
un pp
negara-negara dalam mengambil tindakan pelaksanaan HHI di tingkat nasional.
Kendala ketiga adalah sehubungan dengan masalah birokrasi. Implementasi HHI
melibatkan berbagai instansi pemerintah seperti Departemen Pertahanan, Hukum dan
Perundang-undangan, Urusan Dalam Negeri, dan Departemen Luar Negeri. Agar

s
tindakan pelaksanaan HHI dapat diambil, diperlukan kerjasama yang baik diantara
berbagai instansi pemerintah tersebut. Tetapi umumnya koordinasi diantara berbagai
k
ha
instansi sulit dicapai dan membutuhkan waktu lama. Demikian pula, koordinasi yang
dibutuhkan diantara berbagai unsure angkatan bersenjata bukanlah soal yang gampang,
khususnya bila topic yang mau dibahas itu tidak mendapat prioritas uatama, seperti
l
halnya implementasi HHI.
Untuk mengatasi hambatan itu, salah satu cara adalah meningkatkan motivasi untuk
aktivitas yang harus dilaksanakan oleh birokrasi. Dalam hal ini, persaingan dan gengsi
dapat menjadi dorongan, apabila implementasi HHI secara efektif mempunyai nilai
kebanggaan di tingkat nasional.
Kendala keempat mungkin merupakan kesulitan yang paling besar, yaitu
pertentangan antara berbagai kepentingan. Beberapa ketentuan Konvensi Jenewa, dan
khususnya Protokol Tambahannya dapat dianggap membatasi kedaulatan negara atau
mengancam keamanan militer. Meskipun perjanjian internasional tersebut sudah
diratifikasi oleh pemerintah melalui suatu proses yang resmi, belum tentu dalam suatu
negara, semua unsure pemerintah sepakat mengenai semua ketentuan yang termuat dalam
perjanjian tersebut. Perbedaan pendapat itu dapat menghambat kelancaran implementasi

Page | 89
HHI di tingkat nasional. Beberapa pihak yang berwenang mungkin akan menolak
mengambil tindakan pelaksanaan yang dibutuhkan, atau bisa juga terjadi,bahwa dalam
mengambil tindakan pelaksanaan tersebut, ketentuan-ketentuan HHI diinterpretasikan
dengan arti yang sempit, sehingga lingkup penerapan HHI menjadi terbatas.
Untuk mengatasi hambatan itu, dibutuhkan semacam mekanisme penelitian
internasional terhadap proses implementasi HHI di tingkat nasional. Sebenarnya,
Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya tidak menyinggung mengenai mekanisme
semacam itu. Pemeriksaan dapat dilakukan pula melalui sistem laporan rutin yang
menggambarkan sejauh mana setiap negara telah memenuhi kewajibannya sehubungan
dengan implementasi HHI. Di tingkat internasional, sebuah komite ahli perlu dibentuk
un pp
yang dapat mendukung proses implementasi HHI di tingkat nasional, berdasarkan laporan
yang disampaikannya. Yang jelas, sistem penelitian semacam itu hanya dapat berjalan
apabila negara yang bersangkutan telah menyetujuinya.

s
3. Implementasi Hukum Humaniter Internasional di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa pada tahun 1958. Jumlah
k
ha
negara yang telah menjadi peserta pada Konvensi-konvensi Jenewa mencapai 188, berarti
hampir seluruh dunia. Sejauh mana Indonesia telah memenuhi kewajibannya sesuai HHI?
Tindakan pelaksanaan yang mana telah diambil di tingkat nasional untuk menjamin
l
penerapan efektif dari Konvensi Jenewa apabila terjadi konflik bersenjata?
Di Indonesia telah dibentuk Perhimpunan Palang Merah Nasional (PMI) yang diakui
secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Di samping itu juga telah disiapkan suatu
rancangan undang-undang tentang penggunaan lambang Palang Merah. Rancangan ini
yang telah dibahas dalam suatu seminar di PMI tahun lalu, mudah-mudahan akan
disahkan oleh DPR dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Namun ada suatu tindakan legislatif penting yang belum diambil, yaitu menyangkut
sanksi pidana terhadap pelanggaran Konvensi-konvensi Jenewa. Peraturan itu dibutuhkan
untuk menentukan hukuman yang harus dijatuhkan terhadap mereka yang melakukan
pelanggaran hukum humaniter. Selama Indonesia belum mengeluarkan peraturan
tersebut, tidak ada jaminan bahwa sanksi pidana efektif akan dijatuhkan terhadap
perbuatan yang melanggar HHI. Dan jika tidak ada kejelasan tentang sanksi pidana

Page | 90
efektif ini maka dapat dibayangkan bahwa upaya pencegahan pelanggaran hukum
humaniter menjadi lebih sulit lagi.
Meskipun demikian, terdapat beberapa peraturan nasional lainnya yang merupakan
implementasi HHI dan Konvensi Jenewa. Misalnya Surat Keputusan KASAD mengenai
petunjuk lapangan untuk perlakuan tawanan perang. Disamping itu, terdapat pula suatu
Surat Keputusan KASAD tentang senjata bakteri dan kimia yang mengimplementasikan
prinsip-prinsip dasar dari HHI.
TNI Angkatan Darat telah pula mengeluarkan sebuah pedoman tentang Hak Asasi
Manusia dalam melaksanakan operasi militer. Untuk sementara, buku petunjuk tersebut
hanya berlaku untuk jajaran TNI yang berada di wilayah Kodam Trikora (Irian Jaya dan
un pp
Maluku) dan Kodam Udayana (Bali-NTB-NTT). Ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam pedoman TNI-AD tersebut penting sekali, karena menyesuaikan pelaksanaan
prinsip-prinsip HHI dan penghormatan hak-hak dasar manusia dalam suatu operasi
militer untuk kondisi di Indonesia, meisalnya penggunaan istilah GPK (Gerakan

s
Pengacau Keamanan / Gerombolan Pengacau Kemanan). Diharapkan buku pedoman
tersebut dipergunakan oleh semua kalangan di seluruh wilayah Indonesia.
k
haSeacara kelembagaan, khususya untuk mengimplementasikan HHI di Indonesia,
maka sejak tahun 1980 telah dibentuk Panitia tetap (Pantap) HHI yang terdiri dari wakil-
wakil dari berbagai instansi terkait serta dari anggota PMI. Secara struktural Pantap
l
tersebut berada di bawah Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang bertugas
membantu pemerintah dalam mengambil tindakan legislatif yang dibutuhkan,
melaksanakan penelitian sehubungan dengan implementasi HHI dan merumuskan
kebijakan dalam penyeberluasan HHI. Mengetahui HHI merupakan persyaratan sebelum
tindakan lain dapat diambil. Memang tanpa adanya kesadaran mengenai HHI, tidak
mungkin instansi yang berwenang dapat mengambil langkah yang dibutuhkan dalam
tahap implementasi hukum tersebut. Dalam hal ini, PMI, TNI, dan kalangan akademisi
telah bertindak aktif untuk meningkatkan pengetahuan tentang HHI di Indonesia.
Di lingkungan Palang Merah Indonesia telah dilaksanakan program penyeberluasan
HHI terutama untuk sukarelawannya Korps Palang Merah Remaja (KSR) dan Palang
Merah Remaja (PMR). Upaya dan perhatian PMI untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip
dasar hukum humaniter (disamping prinsip dasar gerakan palang merah) kepada para

Page | 91
anggotanya semakin meningkat belakangan ini. Bahkan KSR & PMR ini merupakan
salah satu program utama pengurus PMI yang baru terbentuk melalui Musyawarah
Nasional pada Desember 1999.
Untuk kalangan TNI, HHI sudah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan militer.
Di lingkungan militer, seminar atau kursus HHI telah diselenggarakan atas kerjasama
antara TNI dan Palang Merah. Misalnya, seminar selama seminggu telah dilakukan untuk
pasukan kopassus. ICRC juga telah diundang dalam acara pelatihan anggota TNI di
Oditur Jenderal Militer. Juga atas kerjasama antara TNI dan ICRC telah diselenggarakan
pelatihan intsruktur HHI selama 2 minggu di Direktorat Hukum AD yang diikuti wakil
dari 10 Kodam serta wakil dari Kopassus dan Kostrad. Selain di Jakarta, ICRC juga ikut
un pp
menyebarluaskan HHI di lapangan, misalnya pada beberapa Kodam dan Kodim di
beberapa daerah, termasuk Aceh. Bahkan di lingkungan TNI-AD pada saat ini telah ada
suatu kelompok kerja hukum humaniter yang antara lain bertugas untuk mengembangkan
dan memajukan pelatihan hukum humaniter bagi prajurit TNI-AD.

s
Di jajaran Polri, ICRC juga membantu upaya untuk mempromosikan perlindungan
hak-hak dasar manusia. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain memberikan
k
ha
pembekalan HAM dan HHI kepada anggota Polri yang akan memberikan pembekalah
HAM dan HHI kepada anggota Polri yang akan melakukan tugas operasi. Juga atas
kerjasama antara Mabes Polri dan ICRC telah dilaksanakan pelatihan untuk para
l
instrukur Polri di bidang HAM.
Dengan pihak universitas, ICRC telah memperluas jaringan kerjasamanya, mencakup
seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah untuk membantu dan mendorong para
dosen dalam pengajaran materi HHI di berbagai perguruan tinggi. Untuk itu telah
dilaksanakan kursus regional HHI (di Jakarta, Medan, Palembang, Ujung Pandang,
Yogyakarta, Manado, dan Mataram). Untuk menengkatkan kualitas pengajaran HHI juga
kepada para dosen yang bersangkutan telah diberikan bahan/sarana pendukung yang
dibutuhkan.
Pada saat ini materi HHI sudah dimasukkan dalam kurikulum di berbagai fakultas
hukum dan disajikan sebagai mata kuliah tersendiri / wajib atau sebagai bagian dari mata
kuliah lain. Bahkan di beberapa universitas telah didirikan pusat studi HAM dan Hukum
Humaniter (yaitu di Universitas Trisakti, UGM Yogya, UNSRI Palembang dan

Page | 92
UNSYAH Banda Aceh). Dapat dikatakan bahwa minat mahasiswa Indonesia untuk
mempelajari HHI cenderung menigkat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara yang paling efektif untuk mencegah
adanya pelanggaran terhadap HHI adalah justru dengan mempersiapkan implementasinya
melalui semua tindakan pelaksanaan yang diperlukan pada tingkat nasional.
Di antara tindakan tersebut, mungkin tindakan yang cukup penting adalah
penyebarluasan HHI, terutama di kalangan angkatan bersenjata. Di waktu perang,
potensinya seorang prajurit untuk melakukan pelanggaran HHI memang cukup besar. Hal
ini disebabkan karena prajurit bergerak di garis depan dan menghadapi situasi yang
sangat sulit ketika mengalami tekanan mental, penderitaan fisik, kelaparan, rasa takut,
un pp
kecewa, ataupun marah. Dalam situasi yang demikian bisa saja dia terbawa emosinya.
Untuk mencegah hal seperti itu, penyebarluasan HHI harus dilakukan dengan cara yang
lebih efektif, yaitu dengan memasukkan materinya dalam program instruksi militer bagi
para prajurit.

s
Tetapi manfaat yang dapat didapat tidak akan begitu berarti apabila materi yang
diberikan hanya diberikan dalam bentuk teoretis. Pasal-pasal hukum humaniter harus
k
ha
diterjemahkan dalam latihan yang dapat dipraktekkan langsung di lapangan. Secara
konkrit misalnya, ketika serorang prajurit diajarkan tentang teknis penggunaan senjata,
dia langsung diberitahu juga mengenai cara memakainya sesuai dengan peraturan hukum
l
humaniter. Pada waktu prajurit dilatih untuk meningkatkan keterampilannya untuk
menembak secara tepat, sasarannya (targeting) sesuai dengan peraturan hukum
humaniter. Tujuannya adalah agar prajurit dapat mengembangkan langsung reflex yang
baik, sehingga dia otomatis menggunakan senjatanya secara benar. Bukan hanya dari segi
teknis, tetapi juga dalam segi hukum. Oleh karena itu, hukum humaniter harus menjadi
bagian dari latihan militer.
Sebenarnya, meningkatkan kesadaran angkatan bersenjata mengenai peraturan
hukum humaniter merupakan suatu langkah yang menguntungkna negara yang
bersangkutan. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh negara dalam hal ini, yaitu:
Pertama, untuk citranya : apabila angkatan bersenjata melakukan pelanggaran
terhadap hukum humaniter dengan menyiksa, memperkosa, atau membunuh penduduk
sipil, menyerang sasaran sipil dengan menghancurkan rumah atau merampok harta benda

Page | 93
sipil, pada suatu saat tertentu pasti ada konsekuensi politik negatif di tingkat internasional
bagi negara yang bersangkutan.
Kedua, untuk isu dan koflik: dengan melakukan pelanggaran terhadap hukum
humaniter seperti disebut diatas, maka hal tersebut kaan memperkuat keinginan pihak
musuh untuk tetap melawan atau untuk melakukan balas dendam. Dalam hal ini ada suatu
batasan yang tidak boleh dilewati, karena di mata umat manusia, pelanggaran tersebut
tetap tidak dapt dibenarkan, apapun alasannya.
Dalam upaya yang masih perlu ditingkatkan untuk menyebarluaskan HHI,
dikalangan akademis mempunyai peranan yang penting sekali.
Ahli di bidang hukum humaniter memang dibutuhkan, karena hukum tersebut terdiri
un pp
dari berbagai macam ketentuan yang tidak selalu mudah untuk dimengerti, apalagi untuk
diterapkan di lapangan. Apabila bersedia untuk bekerjasama, para akademisi dapat
mendukung upaya Palang Merah Nasional maupun angkatan bersenjata untuk
menyebarluaskan Hukum Humaniter di tingkat nasional.

s
B. IMPLEMENTASI SECARA KHUSUS
k
ha1. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 dan Rancangan Undang-Undang Rakyat
Terlatih (RATIH)
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Undang-Undang Pertahanan
l
Kemanan Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 yang
memuat sistem bagaimana cara mempertahankan negara apabila diserang musuh yang
disebut dengan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (SISHANKAMBRATA)
yang intinya adalah mengikut sertakan seluruh rakyat dalam upaya pembelaan negara.
konsep SISHANKAMBRATA jelas tergambar dalam penjelasan UU No. 20 Tahun
1982 pada bagian umum butir 2b yang menyebutkan bahwa tidak seorang warga
negarapun boleh menghindarkan diri dari kewajiban ikut serta dalam pembelaan negara,
kecuali ditentukan oleh undang-undang. Hal serupa juga terdapat dalam bagian umum
butir 2 e, bahwa bentuk perlawanan rakyat Indonesia dalam rangka membela serta
mempertahankan kemerdekaan bersifat kerakyatan dan kesemestaan, yang berarti
melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional serta prasarana nasional

Page | 94
juga bersifat kewilayahan, dalam arti seluruh wilayah negara merupakan tumpuan
perlawanan rakyat semesta dilaksanakan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam bagian umum butir 3 disebutkan tumpuan perlawanan bangsa Indonesia
dalam mengahadapi musuh adalah pada rakyat, dan karenanya peranan rakyat dalam
meyelenggarakan pertahanan keamanan negara merupakan faktor yang sangat
menentukan.
Sedangkan pada Pasal 4 dari UU No. 20 Tahun 1982 dikemukakan bahwa hakekat
pertahanan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta yang
penyelenggaraannya didasasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab tentang hak dan
kewajiban warga negara serta berdasarkan keyakinan akan kekuatan sendiri, keyakinan
un pp
akan kemenangan dan tidak mengenal menyerah, baik penyerahan diri maupun
penyerahan wilayah.
Selanjutnya pada Pasal 7 dikatakan bahwa upaya pertahanan keamanan diwujudkan
dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dengan mendayagunakan sumber

s
daya nasional dan prasarana nasional secara menyeluruh terpadu dan terarah, adil dan
merata serta diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini.
k
haPerlawanan rakyat semesta, yang menadi hakekat dari pertahanan kemanan negara
Indonesia mempunyai beberapa sifat yang diuraikan dalam Pasal 8 sebagai berikut:
a. Kerakyatan, yaitu keikutsertaan seluruh rakyat warga negara sesuai dengan
l
kemampuan dan keahliannya dalam komponen kekuatan pertahanan keamanan
negara;
b. Kesemestaan, yaitu seluruh daya bangsa dan negara mampu memobilisasikan diri
guna menanggulangi setiap bentuk ancaman dari luar negeri maupun dari dalam
negeri;
c. Kewilayahan, yaitu seluruh wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan dan
segenap lingkungan didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk perlawanan
secara berlanjut.

Page | 95
Pasal 9 menyebutkan bagaimana perlawanan rakyat semesta itu diwujudkan dengan
cara:
a. Mempersenjatai rakyat secara psikis dengan ideologi Pancasila dan secara fisik
dengan keterampilan bela negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b. Mendayagunakan kemanunggalan Angkatan Bersenjata termasuk cadangan TNI
dalam dinas aktif sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dengan seluruh
rakyat Indonesia sebagai sumber kekuatan.
Dengan landasan berpikir bahwa seluruh rakyat ikut serta dalam setiap upaya
pembelaan negara tanpa adanya pengaturan atau persyaratan rakyat yang bagaimana yang
dapat ikut dalam usaha pembelaan negara, maka pertanyaan yang timbul adalah apakah
un pp
dengan sitem yang demikian maka seluruh rakyat merupakan peserta tempura tau
kombatan. Hal ini dikarenakan semua rakyat ikut serta dalam pembelaan negara tanpa
melihat apakah rakyat tersebut terdiri dari anak-anak, orang tua, laki-laki, dan
perempuan. Dengan demikian seluruh rakyat/warga negara diartikan sebagai kombatan.

s
Ataukah yang dimaksudkan dengan keikutsertaan rakyat dalam usaha pembelaan negara
adalah penduduk sipil dapat ikut serta dalam setiap usaha pembelaan negara, yaitu
k
ha
dengan berperang melawan musuh dengan meninggalkan status penduduk sipilnya untuk
menjadi kombatan kapan saja, dan kemudian menjadi penduduk sipil kembali bila tidak
sedang mengangkat senjata. Sehingga dalam hal ini seseorang bisa merubah status dirinya
l
sebagai kombatan atau sebagai penduduk sipil kapan saja sesuai dengan kemauan dan
keperluannya. Dengan kerangka berpikir yang demikian lalu timbul pertanyaan
bagaimana bila hal tersebut dikaitkan dengan prinsip pembedaan yang merupakan salah
satu prinsip utama dalam hukum humaniter.
Dengan melihat kepada prinsip pembedaan tersebut, tentunya terbayang dibenak kita
bahwa tidak seorangpun dapat memiliki dua status dalam peperangan. Artinya tidak
seorangpun pada saat yang bersamaan dapat memiliki dua status, yaitu sebagai kombatan
dan sebagai penduduk sipil.
Berkaitan dengan Sishankamrata tersebut ada dua kesan yang timbul, yaitu:
a. Bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah kombatan karena hukum humaniter
hanya mengenal satu status.

Page | 96
b. Bahwa seluruh rakyat Indonesia dalam hal ini penduduk sipil dapat mengangkat
senjata kapan saja walaupun berstatus sebagai penduduk sipil. Dalam hal seperti
ini maka mereka dapat dikategorikan dalam dua status yaitu status penduduk sipil
dan status kombatan, hal mana merupakan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum humaniter.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka harus dilihat bagaimana UU No. 20
Tahun 1982 mengatur tentang pelaksanaan Sishankamrata oleh komponen-komponen
pertahanan keamanan negara. Dengan mencermati ruang lingkup tugas dan kewajiban
dari komponen-komponen hankamneg yang dimaksud maka dapat diketahui bagaimana
pelaksanaan prinsip pembedaan di dalam UU No. 20 Tahun 1982. Pasal 10 dari UU No.
un pp
20 Tahun 1982 menetapkan bahwa sistem pertahanan keamanan rakyat semesta dibina
untuk mewujudkan daya dan kekuatan tangkal dengan membangun dan memelihara serta
mengembangkan secara terpadu dan terarah segenap komponen kekuatan pertahanan
keamanan negara yang terdiri atas:

s
a. Rakyat terlatih sebagai komponen dasar
b. Angkatan bersenjata beserta cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai
k
ha komponen utama
c. Perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus
d. Sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai
l
komponen pendukung.
Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip pembedaan, tentunya pemberian status
(kombatan atau penduduk sipil) hanya dapat diberikan kepada tiga komponen yang
pertama, yaitu Rakyat Terlatih (RATIH); Angkatan Bersenjata serta cadangan TNI, dan
Perlindungan Masyarakat (LINMAS). Terlatih (RATIH), Angkatan Bersenjata beserta
cadangan TNI, dan Perlindungan Masyarakat (LINMAS).

1.1. Rakyat Terlatih


Untuk dapat mengetahui status dari RATIH tentunya kita harus terlebih dahulu
mengetahui apakah tugas dan fungsi RATIH. Menurut Pasal 1 butir 7 dari UU No. 20
Tahun 1982, RATIH adalah komponen dasar pertahanan keamanan negara Republik
Indonesia yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat,

Page | 97
Keamanan Rakyat dan Perlawanan Rakyat dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan
negara. Selanjutnya Pasal 20 dan penjelasannya menyatakan bahwa RATIH adalah warga
negara yang telah menunaikan Wajib Prabakti dan Wajib Bakti yang disusun dalam
kesatuan-kesatuan Rakyat Terlatih. Yang dimaksudkan dengan Wajib Prabakti adalah
kewajiban warga negara untuk mengikuti pendidikan dan latihan dalam rangka
mewujudkan Rakyat Terlatih. Dan Wajib Bakti adalah penunaian kewajiban pengabdian
warga negara dalam susunan kesatuan Rakyat Terlatih setelah menyelesaikan Wajib
Prabakti.
Pada prinsipnya semua warga negara akan menjadi RATIH. Adapun mengenai
fungsi-fungsi RATIH diatur di dalam Pasal 11 yang menyatakan adanya 4 fungsi RATIH,
un pp
yaitu:
a. Ketertiban umum (TIBUM)
b. Perlindungan rakyat (LINRA)
c. Keamanan rakyat (KAMRA)

s
d. Perlawaanan rakyat (WANRA)
Uraian tugas dari keempat fungsi tersebut diatas adalah sebagai berikut:
k
haa. Fungsi TIBUM, guna memelihara ketertiban masyarakat, kelancaran roda
pemerintahan dan segenap perangkatnya serta kelancaran kegiatan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidup;
l
b. Fungsi LINRA, guna menanggulangi gangguan ketertiban hukum, maupun
gangguan ketentraman masyarakat;
c. Fungsi KAMRA, guna menanggulangi dan atau meniadakan gangguan
keamanan masyarakat atau subversi yang dapat mengakibatkan terganggunya
stabilitas keamanan;
d. Fungsi WANRA, guna menghadapi atau menanggulangi dan menghancurkan
musuh yang hendak menduduki atau menguasai wilayah atau sebagian wilayah
Republik Indonesia.
Dengan melihat kepada uraian fungsi RATIH di atas, maka dapat saja timbul
pemikiran yang menyatakan bahwa fungsi TIBUM, LINRA, dan KAMRA merupakan
fungsi yang terdapat pada status penduduk sipil. Sedangkan fungsi WANRA, karena
mempunyai fungsi untuk menghancurkan musuh maka mempunyai status sebagai

Page | 98
kombatan. Sehingga kesimpulan yang timbul adalah bahwa RATIH mempunyai fungsi
ganda, dimana ada RATIH yang mempunyai status kombatan dan ada RATIH yang
mempunyai status sebagai penduduk sipil. Dapat dibayangkan bahwa dalam
pelaksanaannya hal ini akan menjadi sulit dan rumit, karena akan ada dua kelompok
RATIH yang masing-masing mempunyai sistem komando yang berbeda.
Oleh karena pelaksanaan RATIH dengan dua status tersebut sulit dan rumit, maka
sebaiknya kepada RATIH hanya diberikan satu status saja, yaitu kombatan.
Konsekuensinya adalah RATIH hanya melaksanakan fungsi WANRA saja, sedangkan
fungsi-fungsi lainnya (TIBUM, LINRA, dan KAMRA) tidak lagi menjadi tugas RATIH.
Ketiga fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh institusi lainnya seperti Polisi dan
un pp
Departemen Dalam Negeri. Adapun tugas-tugas lainnya diberikan kepada LINMAS yang
mempunyai status sebagai penduduk sipil.
Untuk mengetahui bahwa pada prinsipnya semua warga negara harus menjalani
wajib pra-bakti dan kemudian dilanjutkan dengan wajib bakti. Dengan demikian maka

s
secara teoritis semua warga negara merupakan RATIH. Akan tetapi, UU No. 20 Tahun
1982 belum ada ketentuan yang mengatur:
k
haa. Pada usia berapa seorang warga negara harus menjalani wajib pra-bakti.
b. Berapa lama waktu pra-bakti itu dilaksanakan.
c. Sampai usia berapa seseorang harus menjalani wajib pra-bakti tersebut.
l
d. Syarat-syarat apa yang harus dipenuhi untuk dapat mengikuti wajib pra-bakti
tersebut.
Ketentuan Pasal 10 UU No. 20 Tahun 1982 menggambarkan adanya keinginan pihak
penyusun Undang-undang untuk membagi komponen-komponen hankamneg dengan
mempertimbangkan prinsip pembedaan menurut hukum humaniter. Hanya saja kemudian
hal tersebut menjadi rancu kembali ketika kemudian diuraikan tentang empat fungsi yang
diemban oleh RATIH sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 20 Tahun 1982.
Apabila UU No. 20 Tahun 1982 dengan jelas menetapkan komponen RATIH sebagai
kombatan dan hanya rakyat yang menjadi anggota RATIH yang dapat menyandang status
kombatan, maka UU No. 20 Tahun 1982 telah dengan sangat baik sekali menganut sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta dengan pelibatan rakyat dalam konflik bersenjata
tidak lagi bertentangan dengan hukum humaniter.

Page | 99
1.2. Status ABRI dan Cadangan TNI
Mengenai status Anggota Angkatan Bersenjata dan Cadangannya tidak menjadi
persoalan. Sudah jelas bahwa ABRI dan Cadangannya merupakan kombatan.
Cadangan TNI digolongkan dalam kelompok kombatan dikarenakan dalam
penjelasan pasal 12 UU No. 20 Tahun 1982 ditemukan 2 golongan cadangan TNI, yaitu:
1. Cadangan TNI dalam dinas aktif, yaitu yang terpadu di dalam kekuatan angkatan
bersenjata dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan daripadanya.
2. Cadangan TNI tidak dalam dinas aktif, yaitu mereka yang tidak termasuk dalam
dinas angkatan bersenjata.
Mengenai cadangan yang sedang dalam dinas aktif maka status mereka sama dengan
un pp
Angkatan Bersenjata, yaitu sebagai kombatan. Sedangkan status cadangan yang tidak
dinas aktif juga termasuk kombatan. Yang dimaksud dengan cadangan TNI adalah warga
negara yang diikutsertakan secara wajib atau secara sukarela dalam upaya bela negara
melalui pengabdian dalam cadangan TNI. Selanjutnya dalam Pasal 22 menyatakan

s
anggota cadangan TNI diperoleh secara:
a. Wajib dari anggota TNI yang telah menyelesaikan masa dinasnya sebagai
k
ha anggota angkatan bersenjata sukarela maupun anggota angkatan bersenjata wajib.
b. Sukarela dari anggota Rakyat Terlatih, dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang telah menyelesaikan masa dinasnya sebagai anggota angkatan
l
bersenjata dan memenuhi persyaratan.
Dengan melihat kepada pengertian tersebut, maka anggota cadangan terdiri dari:
1. Anggota RATIH yang mempunyai status kombatan
2. Anggota TNI dan Polri yang telah menyelesaikan tugasnya

1.3. Status Perlindungan Masyarakat (LINMAS)


Pasal 13 UU No. 20 Tahun 1982 yang menyebutkan fungsi-fungsi LIMNAS sebagai
berikut:
a. Menanggulangi akibat bencana alam, bencana perang, atau bencana lainnya.
b. Memperkecil akibat malapetaka yang menimbulkan kerugian jiwa dan harta
benda.

Page | 100
Dengan melihat penjelasan di atas, maka LINMAS adalah penduduk sipil yang dapat
melakukan peran sebagaimana Civil Defence seperti diatur dalam Protokol 1977. Adapun
statusnya jelas sebagai kombatan.

1.4. Asas tidak kenal menyerah dalam UU No. 20 tahun 1982


Dalam pasal 4 dari UU No. 20 Tahun 1982 dikatakan bahwa yang menjadi dasar
dari penyelenggaraan perlawanan rakyat semesta antara lain ialah keyakinan akan
kemenangan dan tidak kenal menyerah, baik penyerahan diri maupun penyerahan
wilayah. Dalam hukum humaniter terdapat pengaturan mengenai penyerahan atau
kapitulasi yang diatur dalam Hague Regulation 1907 pasal 35 yang berbunyi
un pp
‘Capitulation agreed between the contracting Parties must take into account the rules of
military honour. Once settled, they must be scrupulously by both parties”.
Kapitulasi adalah suatu perjanjian antara dua Komandan pasukan yang saling
berhadapan, dimana Komandan yang satu menyerahkan pasukannya, perbentengan atau

s
wilayah yang berada di bawah tanggung jawabnya kepada Komandan lawan. Di dalam
perjanjian ini biasanya dimuat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh baik
k
ha
yang menyerah maupun yang menerima penyerahan.
Sekalipun terdapat aturan kapitulasi dalam hukum humaniter, namun dalam
Doktrin TNI telah ditetapkan bahwa TNI tidak kenal menyerah. Hal ini tidak berarti
l
bahwa doktrin tersebut adalah bertentangan dengan hukum humaniter. Ketentuan tentang
kapitulasi seperti yang diatur dalam HR 1907 hanya menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kapitulasi serta tentang pelaksanaan dan penataannya oleh Komandan di
lapangan.

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih


(RATIH)
Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan terdahulu, salah satu
komponen pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia adalah Rakyat Terlatih
(RATIH) yang merupakan komponen dasar pertahanan keamanan negara. Salah satu
hambatan yang menyebabkan sampai saat ini Rakyat Terlatih belum dapat dilaksanakan
karena belumada peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari apa yang diatur dalam

Page | 101
UU No. 20 Tahun 1982. RATIH baru dapat dilaksanakan setelah ada undang-undang
pelaksanaannya. Untuk itu disusun suatu Undang-undang mengenai Rakyat Terlatih,
yaitu Undang-undang No. 56 tentang Rakyat Terlatih. Jika melihat kepada substansi yang
diaturnya maka isi dari Undang-undang Rakyat Terlatih ini lebih banyak bermuatan hal-
hal yang bersifat administratif.
Undang-undang No. 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih substansinya terdiri
atas:
- Bab I Ketentuan Umum (Pasal 3)
- Bab II Pembentukan dan Pembinaan (Pasal 4-12)
- Bab III Penugasan (Pasal 13-21)
un pp -
-
-
-
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Hak dan Kewajiban (Pasal 22-31)
Ketentuan Pidana (Pasal 32-41)
Pembiayaan (Pasal 42)
Ketentuan Peralihan (Pasal 43)

s
- Bab VIII Ketentuan Penutup (Pasal 44)
Apabila dalam UU No. 20 Tahun 1982 belum dicantumkan bagaimana
k
ha
persyaratan yang diperlukan untuk menjadi anggota Rakyat Terlatih, maka dalam UU
No. 56 Tahun 1999, ditetapkan syarat untuk dapat menjadi anggota Rakyat Terlatih,
yaitu:
l
1. Warga Negara Indonesia
2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
4. Berumur 18 (delapan belas) tahun sampai dengan 45 (empat puluh lima) tahun
5. Berkelakuan baik
6. Sehat jasmani dan rohani
7. Tidak dalam keadaan kehilangan haknya untuk ikut serta dalam usaha
pembelaan negara
Dalam Undang-undang Rakyat Terlatih semakin tegas bahwa RATIH menurut
ketentuan hukum nasional Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya
dan kekuatan tangkal bangsa dan negara, membantu Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan

Page | 102
menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka pertahanan keamanan
negara. Dengan melihat kepada aturan tersebut, maka menurut hukum humaniter dengan
pengaturan semacam itu RATIH memiliki dua status. Yaitu Kombatan untuk Rakyat
Terlatih yang membantu Tentara Nasional Indonesia, karena status dari TNI adalah
Combatan dan Civilian untuk Rakyat Terlatih yang membantu Kepolisian Negara
Republik Indonesia karena Polisi adalah Civilian.
Dengan melihat uraian diatas tentunya hal semacam itu, dapat bertentangan
dengan hukum humaniter. Karena di dalam hukum humaniter tidak dimungkinkan
seseorang memiliki dua status sekaligus, sebagai Combatan dan Civilian, sebagai
konsekuensi dari prinsip pembedaan.
un pp Dari keseluruhan Pasal-pasal pada UU RATIH tersebut, yang sangat berkaitan
dengan hukum humaniter, khususnya dengan prinsip pembedaan, adalah ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam pasal 13, 14, 15, 16.
Bab III dari UU ini mengatur mengenai Penugasan, dimana pada pasal 13

s
dikatakan bahwa penugasan Rakyat Terlatih dalam rangka Wajib Bakti merupakan
wewenang Presiden yang dalam pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Menteri.
k
ha Ketentuan pasal 14, 15, dan 16 tersebut mengatur sebagai berikut:
- Penugasan Rakyat Terlatih yang mengemban fungsi Ketertiban Umum dan
Perlindungan Rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis dari Menteri
l
Dalam Negeri.
- Penugasan Rakyat Terlatih yang mengemban fungsi Keamanan Rakyat
dilaksanakan berdasarkan usul tertulis dari Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
- Penugasan Rakyat Terlatih yang mengemban fungsi Perlawanan Rakyat
dilaksanakan berdasarkan usul tertulis dari Panglima Tentara Nasional
Indonesia.
Dengan melihat kepada Menteri yang bertanggung jawab atas penugasannya
menurut UU RATIH tersebut maka dapat dikatakan bahwa RATIH yang melaksanakan
fugsi Ketertiban Umum (TIBUM), Perlindungan Rakyat (LINRA) dan Kemanan Rakyat
(KAMRA) termasuk dalam golongan penduduk sipil. Hal ini sudah jelas karena
Departemen Dalam Negeri adalah institusi sipil (terpisah dari TNI). Sedangkan RATIH

Page | 103
yang melaksanakan fungsi Perlawanan Rakyat (WANRA) adalah kombatan karena
berada dalam kewenangan Panglima TNI.
Apabila RATIH ini dimaksudkan untuk membantu Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk menghadapi ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam,
sebaiknya RATIH hanya menjalankan satu fungsi saja, yaitu fungsi Perlawanan Rakyat
dan dikategorikan sebagai kombatan.
Dan untuk tugas-tugas yang sifatnya merupakan tugas-tugas sipil seperti fungsi
ketertiban umum, perlindungan rakyat dan keamanan rakyat, hendaknya dibuat
mekanisme lain yang lebih jelas, misalnya dengan melakukan amandemen terhadap UU
No. 20 Tahun 1982, dengan mengatur secara khusus organisasi yang menjalankan fungsi
un pp
Ketertiban Umum yang berada dibawah Departemen Dalam Negeri, dan Keamanan
Rakyat yang berada diluar fungsi Rakyat Terlatih. Sehingga dengan demikian maka tidak
akan terjadi fungsi RATIH yang tumpang tindih antar status sipil dan kombatan.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah ketentuan peralihan pada UU

s
RATIH sebagaimana diatur dalam Pasal 43.
Hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut:
k
ha - semua ketentuan peraturan perndang-undangan mengenai atau yang berkaitan
dengan organisasi yang sudah ada dan sejenis dengan rakyat terlatih,
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
l
Undang ini.
Dalam penjelasan pasal 43 butir a dikatakan mengenai hal tersebut sudah jelas,
akan tetapi sesunggunhnya ketentuan tersebut akan menimbulkan pertanyaan sebagai
berikut:
Seandainya peraturan sejenis yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah
Kepres No. 55 Tahun 1972 dan Kepres No. 56 Tahun 1972 yang mengatur
HANSIP/WANKAMRA, tetap diberlakukan apakah hal tersebut tidak akan
menimbulkan keraguan mengenai aturan hukum apa yang akan diperlakukan, mengingat
bahwa salah satu tujuan RATIH adalah sebagai pengganti dari HANSIP/WANKAMRA
tersebut.

Page | 104
- Anggota organisasi yang sudah ada dan sejenis dengan Rakyat Terlatih yang
sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan yang sederajat dengan Wajib
Prabakti dinyatakan menjadi anggota terlatih.
Untuk hal demikian tidak menjadi persoalan dengan dimilikinya emapt fungsi
daripada Rakyat Terlatih yaitu fungsi LINRA, TIBUM, KAMRA, WANRA, sehingga
organisasi tersebut dikelompokkan sesuai dengan fungsi tersebut dan kemudian dilebur
ke dalam organisasi RATIH sesuai dengan fungsi yang disandangnya. Akan tetapi
persoalannya dari sisi hukum humaniter adalah apabila tidak diatur lebih rinci mengenai
status hukum dari RATIH maka hal tersebut akan membahayakan RATIH yang
menyandang status sipil. Karena pengaturannya tidak jelas, dapat saja RATIH yang
un pp
menyandang status sipil dipandang sebagai kombatan oleh pihak musuh sehingga dapat
dijadikan sasaran serangan yang sah. Akan lebih baik dan efektif apabila ditetapkan
bahwa RATIH hanya menjalankan fungsi perlawanan rakyat dengan status kombatan.

s
2. PAKET UNDANG-UNDANG PERTAHANAN KEAMANAN TAHUN 1997
Implementasi hukum humaniter internasional ke dalam hukum nasional
k
ha
sesungguhnya adalah kewajiban suatu negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi
ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional. Namun demikian,
mengimplementasikan ketentuan tersebut ke dalam pengaturan perundang-undangan
untuk
l
nasional diperlukan “political will” negara perserta perjanjian internasional. Oleh karena
itu proses implementasi bukan saja merupakan “kewajiban moral” tetapi sesungguhnya
adalah kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh negara peserta perjanjian. Dalam
hal ini, salah satu implementasi dari hukum humaniter adalah kewajiban untuk membuat
peraturan perundang-undangan nasional yang dilengkapi dengan “sistem sanksi” terhadap
pelanggaran tersebut.
Disamping harus ada “political will” dari suatu negara peserta perjanjian, maka di
sisi lain diperlukan pula “sistem nilai kebutuhan”, dan “sistem nilai kepentingan” dalam
proses legislasi suatu negara untuk mengimplementasikan ketentuan hukum humaniter
internasional. Artinya sistem-sistem diatas memberi pengaruh untuk meratifikasi atau
mengaksesi suatu ketentuan hukum humaniter internasional. Dengan demikian maka
upayaa untuk meratifikasi atau mengaksesi hukum humaniter internasional bisa saja

Page | 105
bukan merupakan prioritas utama dalam proses pembentukan atau kodifikasi peraturan
perundang-undangan, karena masih banyak aspek dan masalah-masalah hukum lainnya
yang lebih mendesak untuk segera dijadikan suatu peraturan perundang-undangan.
Kemungkinan lainnya adalah karena adanya kekurangmampuan lembaga legislatif dan
eksekutif dalam mengantisipasi perkembangan hukum internasional yang sangat cepat.
Di samping itu, pengimplementasian hukum humanter internasional juga dipengaruhi
oleh “national interest” sebagai bagian dari “national policy” dalam pelakasanaan
politik luar negeri suatu negara. Walaupun sesungguhnya merupakan suatu fait accompli
dalam perkembangan konstelasi hubungan internasional.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi Jenewa 1949
un pp
mempunyai kewajiban yang sama untuk dapat mengimplementasikan ketentuan hukum
humaniter internasional ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dasar
konstitusional implementasi hukum humaniter dalam hukum nasional Indonesia, dapat
ditemukan dalam Pembukaan dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 30 UUD

s
1945 mengatur bahwa “tiap-tiap warga negara Indonesia berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara. Syarat-syarat mengenai pembelaan negara diatur
k
ha
Undang-Undang”. Berdasarkan Pasal 30 UUD 1945 ini paling tidak terdapat beberapa
Undang-Undang yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 30 di atas, seperti:
1. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
l
Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3234).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3368).
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Tahun
1988 No 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369).

Page | 106
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum
Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3703).
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1997 tentang
Mobilisasi dan Demobilisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3704).
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1997 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710).
un pp 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3713).

s
Dari tujuh Undang-Undang yang disebut di atas, ada empat undang-undang yang
baru, yang disahkan pada tahun 1997, yang dinamakan juga Paket Undang-Undang
k
ha
Hankamneg tahun 1997. Sesungguhnya keempat Undang-Undang tersebut merupakan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 dan penyempurnaan Undang-
Undang lain yang terkait dengan Undang-Undang baru tersebut. Paket Undang-Undang
l
baru ini juga merupakan penyempurnaan dari peraturan perundang-undangan kolonial
Belanda dan Orde Lama yang sebelumnya masih berlaku.
Meskipun substansi Undang-Undang baru tersebut lebih banyak berkaitan dengan
hukum militer (military law), namun demikian secara umum substansinya berkaitan
dengan juga dengan hukum humaniter internasional. Dasar untuk penyempurnaan
Undang-Undang baru ini diatur dalam pasal 43 Undang-Undang No. 20 tahun 1982 yang
menyebutkan bahwa “hukum militer dibina dan dikembangkan sesuai dengan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara dan diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan undang-undang dan juga ditambahkan bahwa Angkatan
bersenjata Republik Indonesia mempunyai lembaga peradilan tersendiri”. Mengenai
keberadaan Peradilan Militer sesungguhnya sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1982 dibuat telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Page | 107
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).

2.1 Undang-Undang Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin


Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Undang-Undang ini merupakan perubahan Wetboek van Krijgstucht voor
nederlands Indie / Hukum Pidana Militer Hindia Belanda (Staatsblad 1934 Nomor 168),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947 yang disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (KUHDT) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 1947 telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 tahun 1997 ini.
un pp Ketentuan Undang-Undang ini dan Undang-Undang lainnya yang termasuk dalam
Undang-Undang Hankamneg tahun 1997 adalah upaya yang sungguh-sungguh dari
pemerintah, khususnya Dephankam, Mabes TNI dan juga DPR untuk menciptakan suatu
produk hukum yang sesuai dengan tuntutan kodifikasi dan unifikasi hukum, dan untuk

s
mendukung profesionalisme TNI sebagai kekuatan Hankam dan Sospol dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
k
ha Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi prajurit TNI dan
mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk pada hukum yang
berlaku bagi prajurit, termasuk didalamnya berlaku bagi mobilisan pada waktu negara
l
dalam keadaan bahaya (Pasal 2 ayat 1). Yang dimaksud dengan hukum disiplin prajurit
TNI dalam Undang-Undang ini adalah serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur,
menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit TNI. Undang-Undang ini
berisikan serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur, menegakkan dan membina
disiplin atau tata kehidupan prajurit TNI agar setiap tugas dan kewajibannya dapat
berjalan dengan sempurna (Pasal 1 ayat 2). Hal yang secara prinsipil berbeda antara
Undang-Undang nomor 40 tahun 1947 dan Undang-Undang baru ini adalah mengenai
penjatuhan hukuman disiplin dan jenis hukuman disiplin. Dalam Undang-Undang yang
lama mengenai penjatuhan hukuman disiplin jenis hukuman untuk masing-masing
tingkatan kepangkatan dibedakan untuk perwira, bintara, dan tamtama. Sedangkan dalam
Undang-Undang yang baru tidak dibedakan berdasarkan kepangkatan, dimana penjatuhan
hukuman disiplin dan jenis hukuman disiplin diterapkan sama bagi semua tingkat

Page | 108
kepangkatan (Pasal 8). Yang dimaksud dengan hukuman disiplin adalah hukuman yang
dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum) terhadap prajurit TNI yang
atas dasar ketentuan Undang-Undang ini melakukan pelanggaran hukum disiplin prajurit
TNI.

2.2 Undang-Undang Nomor 27 tahun 1997 tentang Mobilisasi dan


Demolisasi.
Dalam kehidupan negara, aspek pertahanan keamanan merupakan faktor yang
sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara kesatuan Republik Indonesia.
Hakekat pertahanan keamanan negara Republik Indonesia adalah perlawanan rakyat
un pp
semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan tanggung jawab
warga negara tentang hak dan kewajiban bela negara serta berdasarkan keyakinan akan
kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan, dan tidak kenal menyerah.
Berdasarkan ketentuan pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 40 ayat

s
(1) Undang-Undang nomor 20 tahun 1982, Presiden menyatakan berlakunya keadaan
bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian daripadanya sesuai dengan
k
ha
intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan
hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan
nasional. Kemudian mengenai syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan
l
dengan undang-undang.
Hal-hal yang mendasari kewenangan Presiden untuk mengeluarkan pernyataan
berlakunya keadaan bahaya, diantaranya adalah:
a.Terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata yang mengancam
kedaulatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan
ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur
kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa.
b.Terjadinya hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan
timbulnya sengketa bersenjata.
c.Timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara.
Mobilisasi hanya dilakukan bila negara dinyatakan dalam keadaan bahaya dan
pada saat mobilisasi berlangsung ada tiga macam hukum yang berlaku, yaitu:

Page | 109
a. Hukum Umum yang berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah hukum
negara kesatuan Republik Indonesia.
b. Hukum yang didasari oleh Undang-Undang Keadaan Bahaya sehingga
beberapa pejabat tertentu mempunyai wewenang khusus sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Prp tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya
(Lembaran Negara tahun 1959 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara tahun
1959 Nomor 1908).
c. Hukum Militer bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
mobilisan yang melaksanakan tugas sebagai anggota perlawanan rakyat
bersenjata.
un pp Mobilisasi adalah tindakan pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber
daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah dibina dan dipersiapkan
sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan negara untuk digunakan secara tepat,
terpadu dan terarah bagi penanggulangan setiap ancaman, baik dari luar negeri maupun

s
dari dalam negeri. Mobilisasi diselenggarakan dengan tujuan untuk menanggulangi setiap
ancaman yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan hidup
k
ha
bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU
Mobilisasi dan Demobilisasi, maka mobilisasi dikenakan terhadap :a) warga negara yang
termasuk: anggota Rakyat Terlatih, anggota Perlindungan Masyarakat, dan diperlukan
l
karena keahliannya; serta b) sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan
prasarana nasional yang dimiliki negara, swasta, dan perseorangan termasuk personel
yang mengawakinya.
Ketentuan Pasal 6 diatas sesungguhnya masih mempunyai kelemahan, khususnya
mengenai ketidakjelasan status anggota rakyat terlatih (RATIH) dan anggota
Perlindungan Masyarakat (LINMAS), karena masih belum jelas siapa saja yang termasuk
RATIH dan LINMAS tersebut. Hal ini penting, karena berdasarkan peraturan
perundangan yang ada belum memberikan jawaban yang tegas mengenai status RATIH
dan LINMAS. Hal ini penting ditinjau dari segi hukum humaniter internasional, karena
menyangkut adanya “prinsip pembedaan” apakan RATIH itu termasuk kombatan atau
penduduk sipil. Status ini harus tegas karena menyangkut juga terhadap “prinsip
perlindungan” dalam suatu sengketa bersenjata. Pertanyaan berikutnya adalah apakah

Page | 110
RATIH dalam keadaan negara damai dapat dikatakan berstatus penduduk sipil, dan
dalam keadaan perang atau sengketa bersenjata internasional barulah RATIH berstatus
sebagai kombatan.
Sedangkan yang dimaksud dengan demobilisasi adalah tindakan penghentian
pengerahan dan penghentian penggunaan sumber daya nasional serta sarana dan
prasarana nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah negara yang diselenggarakan
secara bertahap guna memulihkan fungsi dan tugas setiap unsur seperti sebelum
berlakunya mobilisasinya. Demobilisasi diselenggarakan dengan tujuan untuk
memulihkan kembali fungsi dan tugas umum pemerintahan, kehidupan kemasyarakatan,
dengan tetap terpeliharanya kemampuan dan kekuatan pertahanan keamanan negara.
un pp Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 tahun 1997 ini, maka Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1962 tentang penetapan Peraturan pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1962 tentang Pemanggilan dan Pengerahan Semua
Warga Negara dalam rangka Mobilisasi Umum untuk kepentingan keamanan dan

s
Pertahanan Negara dinyatakan tidak berlaku lagi.
k
ha 2.3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Kedudukan, peranan dan fungsi kepolisian negara Republik Indonesia yang
l
terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri, sebagai alat penegak hukum,
pengayom dan pembimbing masyarakat dalam melaksanakan fungsi kepolisian dalam
tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk menjamin tertib dan
tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan
dan ketertiban masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan
keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 13 tahun
1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian negara dinyatakan tidak berlaku lagi.
Satu perkembangan yang perlu dicermati juga dari aspek hukum humaniter adalah

Page | 111
mengenai pemisahkan Polri dari TNI sehingga Polri menjadi institusi sipil dan bukan
bagian dari TNI. Bagaimanapun hal ini akan mempunyai implikasi hukum karena
menurut UU 10/1982 disebutkan bahwa POLRI adalah bagian dari ABRI. Untuk itu pada
saatnya perlu dibuat suatu UU yang baru atau dilakukan amandemen terhadap UU 20/
1982, khususnya yang berkenaan dengan ketentuan mengenai POLRI.

2.4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer


Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, termasuk
un pp
pengkhususannya (diferensiasi/spesialisasi) yang susunan dan kekuasaan serta acaranya
diatur dalam undang-undang tersendiri.
Dilihat dari substansi pengaturannya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer ini, antara lain mengatur mengenai susunan dan kekuasaan

s
pengadilan, susunan dan kekuasaan oditurat juga mengatur mengenai hukum acara
pidana militer. Yang dimaksud pengadilan dalam Undang-Undang ini adalah badan yang
k
ha
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi
pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan
militer pertempuran. Sedangkan yang dimaksud dengan oditur adalah Oditurat Militer,
l
Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan
Orditurat Pertempuran.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 terdiri dari 353 pasal, merupakan revisi
dan pembaharuan dari berbagai peraturan dan perundang-undangan yang telah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang dimaksud. Undang-Undang yang
telah dicabut tersebut adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950 tentang penetapan Undang-Undang
Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam
Lingkungan Peradilan Ketentaraan (Undang-Undang Darurat Nomor 16 tahun
1950) sebagai Undang-Undang Federal (Lembaran Negara tahun 1950 Nomor
52) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Pnps tahun

Page | 112
1965 (Lembaran Negara tahun 1965 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2781).
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950, tentang penetapan Undang-Undang
Darurat tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara (Undang-
Undang Darurat Nomor 17 tahun 1950) sebagai Undang-Undang Federal
(Lembaran Negara tahun 1950 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 13), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Darurat tahun 1958 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1958
tentang perubahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1950 (Lembaran Negara
tahun 1950 Nomor 53) tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan
un pp ketentaraan (Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1943);
3. Undang-Undang Nomor 5 Pnps tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan
Bersama Angkatan Bersenjata (Lembaran Negara tahun 1965 Nomor 23,

s
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2739);
4. Undang-Undang Nomor 3 Pnps tahun 1965 tentang memperlakukan hukum
k
ha pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara bagi
anggota-anggota Angkatan Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor
21, tambahan lembaran Negara Nomor 2737), sebagaimana telah diubah
l
dengan Undang-Undang Nomor 23 Pnps tahun 1965 tentang perubahan dan
tambahan pasal 2 penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 tahun
1965 (Lembaran Negara tahun 1965 Nomor 92, tambahan lembaran negara
nomor 2782).

3. Ketentuan Tentang Lambang Palang Merah Dalam Hukum Humaniter


Salah satu tindakan legislasi nasional yang penting dilaksanakan adalah
menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai lambang palang merah. Hal ini
penting untuk mencegah adanya pelanggaran atau penyalahgunaan lambang palang
merah baik pada masa damai, dan terutama pada waktu terjadinya sengketa bersenjata.
Di Indonesia, badan yang menjalankan tugas kepalangmerahan ini adalah “Palang
Merah Indonesia”, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Republik

Page | 113
Indonesia Serikat No. 25 tahun 1950. Kepres ini menyatakan bahwa “…menunjuk
‘Perhimpunan Palang Merah Indonesia’ sebagai satu-satunya organisasi untuk
menjalankan pekerjaan Palang Merah di Republik Indonesia Serikat”. Ketentuan ini
masih berlaku hingga saat ini karena belum ada pengaturan lebih lanjut yang mengatur
kemudian. Namun kepres tersebut diatas tidak mengatur sama sekali mengenai
penggunaan lambang dan nama palang merah baik pada waktu damai maupun pada
waktu sengketa bersenjata.
Untuk itulah perlu dijelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan Lambang
Palang Merah serta ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Ketentuan mengenai
lambang Palang Merah diatur lebih lanjut dalam Konvensi I Jenewa 1949 dan Protokol
un pp
Tambahan 1-1977 serta dijabarkan lebih lanjut dalam Regulation on the Use of the
Emblem of the Red Cross and Red Crescent by the National Societies.

3.1 Pengaturan Lambang Palang Merah dalam Konvensi Jenewa 1949

s
Berdasarkan Konvensi Jenewa, terdapat beberapa golongan orang-orang yang
k
ha
harus dihormati dan dilindungi pada saat pertikaian bersenjata, karena melakukan
pekerjaan yang berkenaan dengan merawat orang-orang sakit dan terluka. Orang-orang
tersebut adalah anggota dinas kesehatan termasuk prajurit kesehatan, pembantu
l
pengangkat tandu, serta anggota perhimpunan Palang Merah dan anggota relawan
semacam lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 24, 25, 26. Dalam melakukan
pekerjaanya, mereka menggunakan suatu tanda pengenal yang dikenal dengan Palang
Merah; yaitu suatu tanda palang berwarna merah diatas dasar putih. Lambang Palang
Merah ini harus tampak (kelihatan) dan ditempelkan/diletakkan pada bendera-bendera,
ban lengan dan pada semua alat perlengkapan yang dipergunakan dalam dinas
kesehatan. Penggunaan lambang Palang Merah ini harus sesuai dengan petunjuk dari
penguasa militer, sesuai dengan ketentuan pasal 39. Dengan perkataan lain,
Perhimpunan Palang Merah Nasional tidak menentukan sendiri tentang penggunaan
lambang mereka.
Jika kita memperhatikan ketentuan pasal 40 dan 41 Konvensi Jenewa maka dapat
dilihat bahwa para anggota dinas kesehatan, petugas medis, anggota perhimpunan

Page | 114
nasional palang merah atau anggota suatu perhimpunan yang membantu tugas dari dinas
kesehatan pada waktu terjadi sengketa bersenjata, maka mereka semua harus
menggunakan ban di lengan kirinya dengan lambang palang merah.
Khusus mengenai anggota daris suatu perhimpunan dari negara-negara yang
netral yang diperbantukan pada dinas kesehatan angkatan bersenjata, dalam pasal 27
konvensi Jenewa diatur sebagai berikut:
‘Suatu perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral hanya boleh
memperbantukan anggota dinas dan kesatuan kesehatannya kepada suatu Pihak dalam
pertikaian setelah memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintahnya sendiri
dan mendapat izin dari Pihak dalam pertikaian bersangkutan. Anggota Dinas Kesehatan
un pp
dan Kesatuan Kesehatan itu akan ditempatkan di bawah kekuasaan Pihak dalam
pertikaian itu.
Pemerintah netral itu harus memberitahukan persetujuannya itu kepada pihak
lawan dari Negara yang menerima bantuan itu. Pihak dalam pertikaian yang menerima

s
bantuan demikian diwajibkan untuk memberitahu Pihak lawan tentang bantuan itu
sebelum menggunakannya.’
k
ha Satu pasal lagi di dalam Konvensi I-Jenewa 1949 yang juga sangat penting adalah
pasal 44. Pasal ini mengatur dua macam penggunaan lambang palang merah, yaitu
sebagai tanda perlindungan (protective use) dan sebagai tanda pengenal (indicative use).
l
Pasal 44:
“Dengan pengecualian hal-hal yang disebutkan dalam paragraf-paragraf berikut
dari pasal ini, lambang palang merah atas dasar putih dengan kata “Palang Merah” atau
“Palang Jenewa” tidak boleh dipergunakan, baik dalam waktu damai maupun dalam
waktu perang, kecuali untuk menunjukkan atau untuk melindungi kesatuan-kesatuan dan
bangunan-bangunan kesehatan, anggota serta bahan perlengkapan yang dilindungi oleh
Konvensi ini dan lain-lain Konvensi yang mengatur hal-hal yang serupa.
Selanjutnya, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah Nasional (Bulan Sabit
Merah, Singa dan Matahari Merah) dapat dalam waktu damai, sesuai dengan perundang-
undangan nasionalnya, menggunakan nama dan lambang Palang Merah untuk kegiatan-
kegiatan lainnya yang sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan oleh Konvensi-Konvensi
Internasional Palang Merah.

Page | 115
Apabila kegiatan itu dilaksanakan dalam waktu perang, maka syarat-syarat
pemakaian lambang itu harus sedemikian rupa sehingga pemakainya itu tidak dapat
diartikan sebagai pemberian perlindungan konvensi: lambang itu harus agak kecil
ukurannya dan tidak boleh dibubuhkan pada ban lengan atau pada atap-atap gedung.
Organisasi-organisasi Palang Merah Internasional beserta anggota-anggotanya
yang telah disahkan dengan sepatutnya harus setiap waktu diizinkan menggunakan
lambang Palang Merah atas dasar putih.
Sebagai suatu tindakan pengecualian dan sesuai dengan perundang-undangan
Nasional serta dengan izin tegas dari salah satu perhimpunan Palang Merah Nasional
(Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah), lambang konvensi dapat dipakai dalam
un pp
waktu damai untuk menandakan kendaraan-kendaraan yang digunakan sebagai ambulans
dan untuk menandakan letak pos-pos penolong yang melulu ditugaskan untuk pengobatan
cuma-cuma kepada yang luka dan sakit.”

s
3.2 Pengaturan Lambang Palang Merah dalam Protokol Tambahan
1977
k
ha Tidak banyak ketentuan dalam Protokol Tambahan 1977 yang mengatur tentang
Lambang Palang Merah. Sebagai Protokol yang menambah dan menyempurnakan
l
Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan 1977 hanya mencantumkan beberapa pasal
(khususnya dalam protokol I) antara lain adalah sebagai berikut:

Pasal 8 Sub Para C Protokol I memberikan penegasan mengenai personil medis


yang dibenarkan menggunakan lambang ini sehingga dapat menikmati perlindungan tas
lambang yang digunakannya.

Pasal 8 Sub Para C Protokol I menyatakan bahwa “Personil Medik” berarti orang-
orang baik ia militer atau sipil yang tergabung pada pihak dalam konflik semata-mata
untuk kepentingan medik seperti yang dicantumkan dalam sub-para (e) atau pada
administrasi dari kesatuan medik atau pada operasi dan administrasi transport medik.
Penugasan tersebut dapat bersifat permanen atau untuk sementara. Istilah tersebut
mencakup:

Page | 116
1. Personil medik dari pihak dalam konflik, baik militer maupun sipil, termasuk
mereka yang dicantumkan dalam konvensi I dan II, dan juga mereka yang
ditugaskan pada organisasi pertahanan sipil;
2. Personil medik dari perhimpunan Palang Merah Nasional dan perhimpunan
Bantuan Sukarela lain yang telah diakui dan disahkan oleh pihak dalam
konflik;
3. Personil medik dari kesatuan medik atau transport medik seperti yang
tercantum dalam art. 9, para 2.

Pasal 38 Protokol I 1977, yang menentukan lambang-lambang yang diakui dalam


sengketa bersenjata, yang dinyatakan di dalam ayat (1)nya sebagai berikut:
un pp (1) Adalah dilarang mempergunakan tidak selayaknya lambang pengenal palang
merah, bulan sabit merah atau singa dan matahari merah atau lambang-
lambang, tanda-tanda atau isyarat-isyarat lainnya yang telah ditetapkan oleh

s
Konvensi atau Protokol ini juga dilarang menyalahgunakan dengan senjata di
dalam suatu pertikaian bersenjata lambang-lambang, tanda-tanda atau isyarat-
k
ha isyarat, termasuk bendera genjatan senjata dan lambang perlindungan harta
benda kebudayaan.
l
3.3 Pengaturan Lambang Palang Merah dalam Regulation on the Use of
the Emblem of the Red Cross
Ketentuan tentang penggunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah oleh
perhimpunan nasional telah diterima pada konferensi internasional ke 20 di Wina 1965
dan telah direvisi oleh Council of Delegates di Budapest tahun 1991.
Isi ketentuan itu adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan pasal 44
konvensi I 1949 terutama tentang ketentuan mengenai penggunaan lambang palang
merah, lebih khusus lagi tentang pemakaiannya sebagai tanda pelindung dan sebagai
tanda pengenal.
Mengenai “Protective Use” didalam pasal 2 Ketentuan ini dinyatakan bahwa
Perhimpunan Palang Merah Nasional hanya dapat menggunakan lambang sebagai sarana

Page | 117
perlindungan (protective device) manakala sudah ada izin dan sesuai dengan ketentuan
yang disusun oleh penguasa, sedangkan untuk sarana pengenal (indicative device)
Perhimpunan Nasional dapat menggunakan lambang itu dalam keadaan damai dan dalam
keadaan konflik bersenjata dalam batas-batas yang ditentukan oleh perundang-undangan
Nasional, Regulation dan statuta perhimpunan.
Selanjutnya di dalam pasal 4 ditekankan mengenai adanya kesimpangsiuran
antara penggunaan secara protektif dan indikatif yang menyatakan bahwa harus
senantiasa dicegah kekaburan (confusion) untuk penggunaan Protektif (protective use)
dan penggunaan indikatif (indicative use).
Perhimpunan nasional bersama dengan pemerintah dalam hal ini harus
un pp
memutusakan ketentuan-ketentuan tentang penggunaan lambang baik penggunaan
protektif maupun indikatif. Sebagai pedoman untuk menyusun peraturan tersebut, bagi
penggunaan secara protektif, dapat disampaikan berikut ini contoh hal-hal apa saja yang
perlu dicantumkan dalam peraturan tersebut antara lain:

s
a. Penunjukan peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan subyek
tersebut.
k
ha b. Keterangan tentang pejabat mana yang mempunyai wewenang untuk
mensahkan penggunaan lambang.
c. Daftar dari langkah-langkah yang harus diambil pada saat pecahnya konflik
l
untuk mencegah adanya kekeliruan antara penggunaan protektif dan indikatif.
d. Syarat-syarat yang mengatur penggunaan lambang oleh orang-orang dan
obyek dari perhimpunan nasional.

Pada pasal 8 Ketentuan tersebut menentukan bahwa sebelum Perhimpunan


Nasional Palang Merah memakai lambang sebagai sarana perlindungan (Protective
Device) maka harus terlebih dahulu ada izin dari Pemerintah. Dan bersama dengan
Pemerintah, Perhimpunan itu harus merumuskan ketentuan tentang penggunaan lambang
sebagai sarana perlindungan. Selanjutnya Perhimpunan Nasional harus mengambil
tindakan yang dianggap perlu untuk mengusahakan agar para anggotanya mematuhi
peraturan tersebut. Dianjurkan agar Perhimpunan Nasional pada waktu damai telah
menentukan bersama-sama dengan Pemerintah-ketentuan tentang penggunaan lambang
sebagai sarana perlindungan, terutama bagi para anggotanya dan perlengkapan mediknya.

Page | 118
Dalam hal Pemerintah tidak mungkin/sulit memberikan izin, dan ada kepentingan
memaksa untuk mengambil tindakan dalam bidang perikemanusiaan, maka harus diambil
asumsi bahwa izin itu telah diberikan.

Pasal 9 menentukan bahwa Personil medik dari Perhimpunan nasional yang


diberikan kewenangan (Authorized) untuk memakai lambang sebagai “Protective
Device” harus memperlihatkannya (display) pada waktu menjalankan tugasnya,
sedemikian rupa sehingga dapat secara jelas sebagai bukti statusnya. Personil medik
tersebut juga harus membawa kartu identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Status personil medik diberikan kepada personil medis Perhimpunan Nasional


un pp
apabila ia ditempatkan/diperbantukan kepada Dinas Kesehatan Tentara (Lihat Pasal 26
Konvensi IV Jenewa). Definisi personel medil dapat dilihat kembali pada pasal 8 sub
para c dari Protokol ! 1977.

s
Dari ketentuan di atas maka pasal 10 Ketentuan diatas menentukan bahwa
kesatuan medis dan alat angkutan dari perhimpunan Nasional yang telah mendapatkan
k
izin dari penguasa untuk memasang lambang sebagai sarana perlindungan berhak
ha
memperoleh perlindungan.
l
Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pengenal (indicative use)
diberikan apabila penggunaannya untuk memperlihatkan atau menunjukkan bahwa orang
atau obyek itu ada kaitannya dengan Palang Merah dan tidak ada maksud untuk
memberikan perlindungan. Tentang penggunaan sebagai sarana indikatif ini Regulation
mengaturnya dalam pasal 16-22.

Pasal 16 menentukan tentang orang atau individu dari anggota atau pekerja
perhimpunan Nasional diperbolehkan memakai emblem ini pada waktu melakukan tugas,
tetapi dengan ukuran yang kecil. Pada saat tidak sedang menjalankan tugas, mereka
hanya boleh memakai emblem dalam ukuran sangat kecil, misalnya dalam bentuk badge,
jepitan dasi dan sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Palang Merah Remaja
dengan mencantumkan kata Palang Merah Remaja atau singkatannya.

Page | 119
Pasal 19 menentukan bangunan dan perumahan yang dipakai Perhimpunan
Nasional dapat dipasangi lambang dengan disertai nama Perhimpunan Nasionalnya,
terlepas bangunan itu milik Perhimpunan Nasional itu atau bukan.

Lambang yang dipasang ini harus dalam bentuk yang relatif kecil, dan tidak boleh
dipasang di atap. Hal ini untuk mencegah kesalahpahaman apabila pecah konflik
bersenjata, karena dapat dianggap sebagai “protective device”.

Pasal 20 menentukan bangunan-bangunan dan perumahan kepunyaan


Perhimpunan Nasional yang tidak ditempati, yaitu bahwa bangunan atau perumahan
Perhimpunan Nasional yang tidak dipakai atau disewakan kepada pihak ketiga, tidak
un pp
boleh diberi atau dipasangi lambang Palang Merah.

Pasal 21 menentukan mengenai Rumah Sakit, Pos Pembantu dan Alat


Transportasi dari Perhimpunan Nasional, dengan menyatakan bahwa lambang atau

s
emblem dengan disertai nama Perhimpunan Nasional, dapat dipasang pada rumah sakit
dan pos pembantu yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Nasional dan juga pada alat
k
transportasi, terutama ambulans, yang dipakai oleh anggota dan pegawainya. Lambang
ha
yang dipakai harus dalam bentuk kecil untuk mencegah adanya kesimpangsiuran apabila
pecah konflik bersenjata.
l
Pasal 22 menentukan mengenai pemakaian Pos Pembantu dan Ambulans yang
diurus atau dipakai oleh Pihak Ketiga, dengan menyatakan bahwa Perhimpunan Nasional
dapat memberikan izin kepada Pihak Ketiga untuk memakai emblem atau lambang dalam
keadaan damai dan sesuai dengan peraturan nasional, untuk menandai pos pembantu
yang khusus memberikan bantuan secara cuma-cuma dan juga untuk ambulans.

Selain mengatur tentang penggunaan lambang sebagaimana di atas, dalam


Regulation juga diatur tentang penggunaan lambang Palang Merah ini untuk tujuan
disseminasi dan pengumpulan dana (fund rising), yakni sebagaimana diatur dalam pasal-
pasal berikut ini:

Pasal 23 mengenai kampanye dan kegiatan yang diorganisir oleh Perhimpunan


Nasional, menyatakan bahwa Perhimpunan Nasional, menyatakan bahwa Perhimpunan

Page | 120
Nasional dapat memakai lambang atau emblem untuk mendukung kampanye dan
kegiatan yang ia organisir agar kegiatannya itu diketahui umum, untuk menyebarluaskan
pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional dan Prinsip-Prinsip Fundamental
Perhimpunan Nasional atau untuk mengumpulkan dana (raise fund), dalam batas-batas
yang ditentukan dalam pasal 2-5 dari Regulations.

Apabila ditampilkan pada bahan cetakan (printed matter), obyek atau bahan iklan
lain untuk suatu kampanye, maka lambang itu harus disertai nama Perhimpunan, teks
atau gambar-gambar yang dipublikasi. Obyek tersebut jangan sampai memberikan sugesti
bahwa obyek tersebut mendapatkan perlindungan dari Hukum Humaniter Internasional
atau keanggotaan Gerakan, atau memberikan kesempatan penyalahgunaan di kemudian
un pp
hari. Obyek tersebut harus dalam ukuran yang diperkecil, atau dari bahan yang mudah
atau cepat hancur.

Perhimpunan Nasional yang berkerjasama dengan perusahaan dagang atau

s
organisasi lain untuk memupuk atau untuk melaksanakan kegiatan disseminasinya dapat
menampakkan (display) trade mark perusahaan, logo atau nama pada artikel yang dipakai
k
ha
oleh Perhimpunan Nasional pada bahan iklan atau bahan yang ia jual, asal memenuhi
kondisi seperti tercantum di bawah ini:
l
a. Jangan sampai menimbulkan kebingungan dalam pikiran publik antara
kegiatan perusahaan atau kualitas produk dengan emblem atau Perhimpunan
Nasional sendiri;
b. Perhimpunan Nasional harus tetap memperoleh pengawasan terhadap seluruh
kampanye, terutama tentang pemilihan atau penentuan artikel dimana trade
mark perusahaan, logo atau nama akan dipampangkan dan tempat atau bentuk
ukuran dari tanda tersebut.
c. Perusahaan harus terkait dengan salah satu kegiatan tertentu, dan sebagai
ketentuan umum, terbatas pada waktu dan daerah.
d. Perusahaan yang bersangkutan tidak boleh terlibat dengan kegiatan yang
bertentangan dengan tujuan dan prinsip Gerakan atau yang oleh publik
dianggap kontroversional.

Page | 121
e. Perhimpunan Nasional harus tetap memperoleh hak untuk membatalkan
kontrak dengan perusahaan yang bersangkutan pada setiap saat dan
melakukannya hanya dengan peringatan dalam waktu yang singkat, apabila
kegiatan merongrong rasa hormat terhadap emblem.
f. Keuntungan materiil atau finansial yang diperoleh Perhimpunan Nasional dari
kampanye, harus substansial.
g. Kontrak antara Perhimpunan Nasional dengan mitra kerjanya harus ditulis.
h. Kontrak tersebut harus disetujui oleh Pimpinan Pusat dari Perhimpunan
Nasional.

un pp Pasal 24 mengenai Permintaan Pihak Ketiga untuk memakai emblem menyatakan


bahwa: dengan pengecualian seperti yang tersebut dalam Pasal 18, 22, 23 dan apa yang
tercantum dalam pasal ini, dalam rangka mempromosikan kegiatan Himpunan dan
Gerakan, Perhimpunan Nasional tidak boleh memberi izin kepada Pihak Ketiga untuk

s
memakai emblem.

Perhimpunan Nasional dapat menyetujui pemakaian emblem pada obyek yang


k
ha
akan dijual di pasaran, apabila obyek tersebut menggambarkan (represent) individu atau
obyek yang memang benar-benar berhak memakai emblem tersebut sebagai protective
atau indicative design sesuai dengan ketentuan Konvensi Jenewa dan apabila emblem
l
tersebut tidak ditempatkan bersama-sama (alongside) merek dagang dari perusahaan
yang bersangkutan. Izin ini hanya terbatas untuk jangka waktu tertentu dan untuk obyek
tertentu.

Perhimpunan Nasional juga dapat memberi izin untuk memakai emblem pada
lembaga yang tidak mempunyai tujuan komersial dan tujuannya hanya untuk
menyampaikan atau mempromosikan kegiatan Perhimpunan atau Gerakan.

Perhimpunan Nasional dapat mengharuskan pihak ketiga untuk memberikan


fasilitas yang diperlukan agar Perhimpunan Nasional dapat mengadakan pengawasan
terhadap pemakaian emblem setiap saat, dengan kemungkinan menarik kembali izin
pemakaian secara segera.

Page | 122
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-6 dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam
beberapa pertanyaan:
1. Sejauh mana kewajiban negara untuk mengimplementasikan hukum
humaniter?
2. Apa kesulitan-kesulitan dalam mengimplementasikan hukum humaniter?
3. Sejauh mana peran ICRC (Palang Merah Internasional) dalam membantu
negara mengimplementasikan hukum humaniter?

un pp
D. Daftar Bacaan
Arlina Permana dkk, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of the
Red Cross, Jakarta 1999

s
GPH. Haryo Mataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bumi Nusantara Jaya,
Jakarta 1998
k
ha
GPH. Haryo Mataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta 1984
l

Page | 123
BAB 8
BAHAN PEMBELAJARAN 7

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-7 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan hubungan antara hokum humaniter dengan hak asasi manusia (HAM). Sasaran
pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa
kuliah interaktif, case study dan diskusi kelas dalam kelompok-kelompok kecil (small group
discussion)
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
un pp
kemampuan mengemukakan fakta-fakta terkait hubungan antara hukum humaniter dan hak
asasi manusia, ketepatan menggunakan teori-teori dalam menganalisa hubungan antara
hukum humaniter dan hak asasi manusia serta partisipasi individual peserta didik.

s
Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar
yang diberikan bagi peserta didik.
k
ha
B. Uraian
l
Pada hakekatnya hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia memiliki tujuan
yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja,
keduanya memiliki perbedaan dari sisi waktu atau situasi penerapannya.
Hukum humaniter internasional diterapkan apabila terjadi sengketa bersenjata
internasional maupun non-internasional atau perang saudara (civil war). Hukum humaniter
internasional terdiri dari peraturan-peraturan tentang perlindungan korban perang (Hukum
Jenewa); dan peraturan-peraturan tentang alat dan cara berperang (Hukum Den Haag).
Sedangkan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia dimaksudkan untuk menjamin hak dan
kebebasan baik sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya bagi setiap orang. Dalam
hukum hak asasi manusia ini setiap orang harus dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) dari pemerintah. Hak-hak asasi manusia tersebut terdapat baik dalam
berbagai peraturan perundang-undangan nasional maupun instrumen-instrumen internasional.

Page | 124
Hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata. Sedangkan hak asasi
manusia berlaku pada waktu damai. Namun intisari hak-hak asasi atau ‘hard-core rights’
tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Juga
ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instumen-instrumen hukum
humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan antara pemerintah
dengan rakyat tetapi juga mengatur hubungan di antara negara dengan negara dengan
menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Dengan demikian, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang
memberikan perlindungan kepada orang perorang. Instrumen-instrumen hukum yang
memberikan perlindungan kepada orang perorang ini dapat digolongkan ke dalam empat
un pp
kelompok, yaitu:
a. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorangan sebagai anggota
masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan
sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak

s
asasi internasional.
b. Instrumen yang bertujuan melindungi orang-perorangan berkaitan dengan
k
ha keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional berkaitan dengan
perlindungan terhadap anak.
c. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorangan dalam kaitannya
l
dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti Hukum Internasional tentang Buruh.
d. Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang-perorangan dalam keadaan
darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman
adanya pelanggaran atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku,
seperti Hukum Internasional tentang Pengungsi dan Hukum Humaniter Internasional
(HHI) yang melindungi para korban dari akibat sengketa bersenjata.

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan antara Hukum Hak Asasi
Manusia dan Hukum Humaniter Internasional. Oleh karena tidaklah mengherankan jika
Pernyataan Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
1948 tidak disinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa
bersenjata. Sebaliknya, dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 tidak disinggung masalah
hak asasi manusia. Akan tetapi, tidak berarti bahwa Konvensi-Konvensi Jenewa dan Hak

Page | 125
Asasi Manusia tidak memiliki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan
keterkaitan, walaupun secara tidak langsung.

Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa


1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta tetapi juga
mengatur tentang hak orang-perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi
Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi
ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi, adanya Pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada Keempat
Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati
peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional. Dengan demikian, maka pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah
un pp
dengan warganegaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.

Di sisi lain, dalam Konvensi-Konvensi tentang Hak Asasi Manusia terdapat pula berbagai
ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950,

s
misalnya dalam pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya
yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam Konvensi ini tidak boleh
k
ha
dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 hak yang harus tetap
dihormati karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan,
integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan
l
hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Kovenan PBB mengenai Hak Sipil dan
Politik pasal 4 dan Konvensi HAM Amerika pasal 27.

Selain itu terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights) baik
dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa. Hak-hak yang tak dapat dikurangi
tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan
(torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana yang ditetapkan dalam pasal 15 Kovenan
Politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan
perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan
berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan
berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penyanderaan. Larangan penjatuhan hukum
tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan

Page | 126
menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan
dalam pasal 3 (1) (d) yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa.

Dalam hukum humaniter internasional pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat
dikurangi antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada
keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada
“Pihak Peserta Agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang-perorangan dengan
mengesampingkan status “belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata
yang terjadi itu.

Kesadaran akan adanya hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum humaniter
un pp
baru disadari pada akhir tahun 1960an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya
berbagai sengketa bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika dan di berbagai
belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter maupun
dari segi hak asasi manusia. Konferensi Internasional mengenai HAM yang di selenggarakan

s
oleh PBB di Teheran tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara HAM dan HHI.
Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu
k
ha
pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata
diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini.
Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
l
Dalam kepustakaan ada tiga aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter
internasional yaitu:

a. Aliran integrasionis, berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari yang
lain. Dalam kaitan, maka terdapat dua kemungkinan yaitu:
1) Hak Asasi Manusia menjadi dasar bagi Hukum Humaniter Internasional, dalam
arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat
ini antara lain dianut oleh Robertson yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala
tempat. Jadi, hak asasai manusia merupakan genus dan hukum humaniter
merupakan speciesnya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu saja dan
dalam keadaan tertentu pula.

Page | 127
2) Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam
arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat
ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada
hak asasi manusia. Jadi, secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan
setelah hukum humaniter internasional.
b. Aliran separatis, yang melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan karena
keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada:
a. Obyeknya, hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara
negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya, hak asasi manusia mengatur
un pp hubungan antara pemerintah dengan warganegaranya di dalam negara tersebut.
b. Sifatnya, Hukum humaniter internasional bersifat mandatory-a political serta
peremptory; sebaliknya, hak asasi manusia bersifat: declatory-political.
c. Saat berlakunya, hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau

s
masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai.
k
Salah seorang penganut teori ini adalah Marion Mushkat. Menurut Mushkat secara umum
ha
dapat dikatakan bahwa hukum humaniter berhubungan dengan akibat dari sengketa
bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara
l
pemerintah dengan individu didalam negara bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku
pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka
yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu
penduduk sipil. Hak asasi manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya
diambil oleh hukum humaniter tetapi terbatas pada golongan tertentu saja. Sejalan dengan hal
ini Mushkat tidak setuju dengan penggunaan istilah Human Rights in Armed Conflict.
Mengenai hal ini ia menyatakan sebagai berikut:

“The phrase ‘human rights’ in armed conflict is an example of inep wording. It was
produced for political reason without any consideration for the international ramification of
the peace. Its disregard the obvious fact that wars negate human rights, that the latter
actually do not exist in times of armed conflict, and that their function is taken over by the
humanitarian law but only in regard to certain individuals and certain conditions”

Page | 128
c. Aliran komplementaris, yang melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling
melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Colegeropoulos. Ia
menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa
kedua sistem tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang.
Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum
humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata.
Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran
separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain yaitu:
a. Dalam pelaksanaan dan penegakan:
un pp Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara
pelindung (Protecting Power). Sebaliknya , hukum hak asasi manusia sudah
mempunyai aparat-mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-
negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi

s
Manusia.
b. Dalam hal sifat pencegahan:
k
ha Hukum humaniter internasional dalam kaitannya dengan pencegahan
menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi
manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan
l
akan mempunyai efek preventif.

Adanya hubungan antara kedua bidang hukum tersebut, juga dapat dilihat dari berbagai
kesamaan diantara keduanya. Adapun persamaan dari kedua bidang hukum tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Sebagaimana ketentuan-ketentuan instrumen-instrumen HAM, Konvensi-konvensi


Jenewa 1949 dan Protokol-protokolnya membebankan kewajiban kepada negara
peserta dan menjamin hak-hak individual dari orang-orang yang dilindungi.
2. HHI menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi seperti orang-orang
cedera dan tawanan perang, sedangkan HAM berlaku bagi semua orang tanpa
memberikan status khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan terakhir HHI mengikuti

Page | 129
pendekatan yang sama dengan sistem HAM, dengan memperluas perlindungan HHI
bagi semua orang sipil.
3. Di satu sisi landasan pengaturan HAM adalah hak-hak yang berkaitan dengan
manusia, yaitu: kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb.
Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin perkembangan
manusia dalam segala sisi. Di sisi lain HHI dimaksudkan untuk membatasi kekerasan
dan dengan tujuan ini, HHI memuat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak
manusia yang sama, karena hak-hak tersebut dianggap merupakan hak-hak minimal.

Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard-core rights) dapat juga disebut sebagai hak-hak
un pp
yang paling dasar, yang akan dijelaskan pada bagian berikut menjamin perlindungan minimal
yang mutlak dihormati terhadap siapa pun baik di masa damai maupun di waktu perang.
Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum tersebut. Hak-hak yang paling dasar
tersebut adalah:

s
-Hak untuk hidup
Hak untuk hidup ini dijamin oleh instrumen-instrumen HAM dan HHI. Instrumen HHI
k
ha
memberikan perlindungan kepada kehidupan manusia. Konvensi-konvensi Jenewa
menetapkan kewajiban mengumpulkan dan merawat orang yang sakit dan cedera, mengatur
tentang perlakuan terhadap tawanan perang, interniran sipil dan masyarakat sipil di bawah
l
pendudukan musuh, larangan pelaksanaan hukuman mati sebelum enam bulan sejak adanya
putusan pengadilan, larangan hukuman mati terhadap orang di bawah umur 18 tahun, wanita
hamil atau ibu yang mempunyai anak yang masih kecil (Konvensi Jenewa IV, pasal 68 dan
75). Demikian pula dilarang untuk membunuh korban perang yang jatuh ke tangan musuh,
larangan menggunakan senjata yang dapat mengakibatkan penderitaan berlebihan atau yang
tidak perlu. Khusus berkaitan dengan perlindungan masyarakat sipil, Protokol Tambahan I
mengharuskan keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan
(principle of proportionality). Protokol Tambahan I juga melindungi kehidupan dengan
larangan tindakan starvasi terhadap penduduk sipil sebagai cara berperang, serta larangan
merusak sarana yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Untuk menjamin
keselamatan penduduk sipil, juga dapat ditetapkan lokasi bebas yang tidak boleh dijadikan
sasaran militer.

Page | 130
-Larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi
Larangan penyiksaan ini ditentukan dalam pasal 7 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik tahun 1966. Dalam HHI, sebagian besar dari ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa
merupakan rincian mengenai cara memperlakukan korban perang, seperti perlakuan secara
manusiawi, larangan penyiksaan, larangan merendahkan martabat atau segenap perbuatan
yang bersifat menghina dan segala tindakan penyiksaan.
Suatu Konvensi yang khusus mengatur mengenai larangan penyiksaan telah dihasilkan
pada tahun 1984, yaitu Convention against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment. Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang
No. 5 tahun 1998.
un pp
-Larangan Perbudakan
Larangan perbudakan terdapat dalam pasal 8 Kovenan mengenai Hak-Hak Sipil dan
Politik. Dalam HHI larangan perbudakan ini ditetapkan pada Protokol Tambahan II 1977
Pasal 4 (2) (f). Selain itu ketentuan Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang serta

s
perlakuan terhadap orang sipil di wilayah pendudukan musuh juga melarang segala bentuk
perbudakan.
k
ha
-Jaminan Peradilan
Dalam HAM, jaminan peradilan diakui sebagai hak-hak yang sangat penting, agar HAM
lainnya dapat diterapkan secara efektif. Dalam HHI jaminan peradilan sudah dimasukkan
l
dalam Konvensi-Konvensi Jenewa sejak penyusunannya, guna menghindari penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman mati di luar proses pengadilan maupun perlakuan yang tidak
manusiawi.
Selain dari persamaan-persamaan tersebut diatas, kedua bidang hukum ini juga memiliki
perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. HHI yang pada mulanya dikenal sebagai hukum perang dianggap sebagai hukum
yang tertua dalam sistem hukum publik internasional,dan peraturan-peraturannya
memberikan warna pada hubungan internasional yang pertama-tama dijalin.
Sebaliknya, HAM merupakan hukum publik internasional yang termuda.
b. HAM dibuat untuk berlaku pada masa damai. Sebaliknya, HHI dibentuk untuk
berlaku khusus pada waktu sengketa bersenjata.

Page | 131
c. Ketentuan-ketentuan HAM dimaksudkan untuk menjamin penghormatan hak dan
kebebasan setiap orang agar terlindung dari penyalahgunaan kekuasaan dari instansi
pemerintah sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya dalam
masyarakat. Sedangkan HHI sebagai sistem hukum darurat bertujuan memberikan
perlindungan dari ancaman dan bahaya yang timbul sebagai akibat dari sengketa
bersenjata atau pada keadaan kekerasan lainnya yang disebabkan oleh manusia.
d. Sejalan dengan penjelasan di atas, HAM dijamin dalam dua sistem hukum dengan
lingkup penerapan yang berbeda yaitu di tingkat universal dan regional. Sebaliknya.
Ketentuan-ketentuan HHI termuat dalam perjanjian-perjanjian yang berlaku di tingkat
internasional tanpa ada instrumen-instrumen hukum regional.
un pp
e. Pada tingkat internasional tujuan utama dari hukum HAM adalah menghukum semua
jenis pelanggaran. Sebaliknya,HHI lebih diarahkan kepada perlindungan dan
kesetiakawanan terhadap para korban.
f. Dalam HHI, sekalipun mendapat manfaat dari perlindungan hukum, individu tidak

s
diberikan hak perorangan bahkan tidak dimungkinkan untuk secara langsung
mengajukan klaim atas pelanggaran yang terjadi. Sebaliknya, HAM memberikan hak
k
ha
dan jaminan langsung kepada setiap orang untuk dapat mengajukan tuntutan di
pengadilan apabila terjadi pelanggaran.
g. Mekanisme pelaksanaan HHI melibatkan negara peserta, Negara Pelindung dan
l
ICRC. Sebaliknya, mekanisme pelaksanaan HAM melibatkan lembaga-lembaga
nasioanal, seperti badan promosi dan penyelidikan, serta instansi pengadilan dari
setiap negara maupun individu itu sendiri.
h. Hak yang diberikan oleh HHI bersifat inalienable, artinya tidak dapat ditolak oleh
setiap orang yang ditujukan sebagai penerima. Sedangkan dalam HAM setiap orang
boleh menggunakan hak dan jaminan yang diberikan kepadanya sesuai dengan
pendapat dan kepentingannya sendiri.
i. Dalam HAM individu menjadi subyek hukum yang bersifat aktif, sedangkan dalam
HHI individu lebih dianggap sebagai obyek perlindungan hukum.

Page | 132
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke 7 dilakukan dalam bentuk tanya-jawab diakhiri perkuliahan yang dikemas
dalam beberapa pertanyaan.
a. Bagaimana hakekat hubungan antara hukum humaniter dan hak asasi manusia.
b. Sebut dan jelaskan aliran-aliran yang berkaitan dengan hubungan antara hukum
humaniter dan hak asasi manusia.

D. Daftar Bacaan
Aslina Permana dkk. Pengantar Hukum Humaniter, International Comitee of The Red
un pp Cross. Jakarta, 1999
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter dan Pokok-Pokok Doktrin HANKAMRATA,
Usaha Nasional, Surabaya, 1994
Masyhur Effendi, Perkembangan Hukum Internasional Humaniter dan Sikap Indonesia

s
Didalamnya, Airlangga University Press, 1985
k
ha
l

Page | 133
BAB 9
BAHAN PEMBELAJARAN 8
(MID-SEMESTER)

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran pada minggu ke 8 adalah untuk mengukur/menguji kemampuan
peserta didik menyerap bahan pembelajaran mulai dari bahan pembelajaran 1(satu) sampai
dengan 7 (tujuh) melalui ujian tengah semester (mid semester)
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran
berupa pembuatan makalah secara individual tentang salah satu materi pembelajaran yang
un pp
telah dipelajari.

B. Penutup

s
Evaluasi yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah dengan
menilai isi makalah, organisasi makalah, kesesuaian antara teori dengan kasus serta ketepatan
k
ha
analisis. Disamping itu juga ketepatan waktu pengumpulan/penyerahan makalah.
l

Page | 134
BAB 10
BAHAN PEMBELAJARAN 9

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 9 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan berbagai variasi kejahatan internasional. Sasaran pembelajaran dimaksud
hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan
diskusi kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
partisipasi dalam diskusi dan penguasaan individual. Pembelajaran ini dilaksanakan selama
un pp
100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian

s
1.1 PENDAHULUAN

Istilah hukum pidana internasional (international criminal law) merupakan istilah


k
ha
yang relatif baru bagi sebagian para ahli hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia, terutama pada masa kurikulum
l
sistem lama (non-SKS), tidak pernah ada mata kuliah yang bernama hukum pidana
internasional. Yang ada hanyalah mata-kuliah hukum pidana sebagai pengantar dengan
nama-nama seperti, asas-asas hukum pidana, dasar-dasar hukum pidana, hukum pidana I,
hukum pidana II, serta mata-kuliah mata-kuliah yang merupakan bagian pengkhususan dari
hukum pidana tersebut, seperti, hukum pidana adat, hukum pidana ekonomi, tindak pidana
korupsi, tindak pidana korporasi, dan lain-lain mata-kuliah yang serumpun.
Demikian pula dalam bidang hukum internasional, hanya ada mata kuliah pengantar
hukum internasional, asas-asas hukum internasional, atau hukum internasional saja (tanpa
ada sebutan awal, seperti, pengantar atau asas-asas) dan cabang-cabang dari hukum
internasional itu sendiri, seperti hukum organisasi internasional, hukum perjanjian
internasional, hukum humaniter internasional, hukum ekonomi internasional, hukum
angkasa, hukum laut, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam praktek sehari-hari dalam
dunia hukum, hampir tidak pernah terdengar hukum pidana internasional. Yang lebih sering

Page | 135
terdengar adalah istilah kejahatan atau tindak pidana internasional, kejahatan atau tindak
pidana transnasional, kejahatan atau tindak pidana nasional yang berdimensi internasional.
Istilah-istilah inipun bagi sebagian orang hanya dikenal namanya saja, tanpa dipahami
substansinya. Hal ini disebabkan karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang bergerak
dalam bidang praktek penegakan hukum seringkali berhadapan dengan kejahatan semacam
ini, tanpa disertai dengan pemahaman yang jelas tentang pengertian, substansi, dan ruang
lingkup dari masing-masing istilah tersebut.
Barulah belakangan ini di kalangan para ahli hukum di Indonesia diperkenalkan
istilah hukum pidana internasional ini oleh mereka yang menaruh minat dan perhatian untuk
mendalaminya, meskipun di kalangan para ahli hukum di negara-negara maju, istilah hukum
un pp
pidana internasional (international criminal law) ini bukanlah merupakan bidang atau
cabang hukum yang asing bagi para ahli hukumnya. Sesuai dengan pelbagai macam nama
kejahatan yang menjadi objeknya, seperti telah dikemukakan diatas, istilah yang digunakan
untuk hukum pidana internasional ada juga beberapa macam. Selain istilah hukum pidana

s
internasional, ada pula yang menggunakan istilah hukum pidana transnasional, dan hukum
pidana nasional yang berdimensi internasional. Istilah-istilah inipun digunakan sebagai
k
ha
sesuai dengan persepsi dari masing-masing orang yang bersangkutan tentang objeknya,
yakni, kejahatan atau tindak pidana tersebut.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika istilah-istilah tersebut digunakan tanpa
l
disertai dengan pemahaman tentang substansi dan ruang lingkupnya masing-masing. Namun
di antara beberapa istilah itu, yang paling banyak digunakan di kalangan para ahli hukum
adalah istilah hukum pidana internasional. Dalam hubungan ini akan dicoba untuk ditelaah
secara lebih mendalam tentang pengertian, substansi, dan ruang lingkup dari hukum pidana
internasional itu sendiri. Sudah tentu penelaahan inipun masih mengandung kekurangan
atau kelemahan yang masih terbuka untuk diperdebatkan.

1.2 PENGERTIAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Mendefinisikan suatu obyek, termasuk hukum dan pelbagai cabang serta


subcabangnya merupakan pekerjaan yang gampang-gampang sukar. Dikatakan gampang
karena obyek itu sendiri demikian mudah untuk dikenali meskipun hanya pada sisi luarnya

Page | 136
saja. Dikatakan sukar, sebab substansi dari obyek yang didefinisikan seringkali sukar untuk
dipahami, atau pemahaman atas obyeknya itu seringkali tidak utuh dan bulat, tetapi dipahami
hanya sebagian-sebagian saja. Oleh karena itu dapat dimengerti, bahwa definisi dari para
sarjana tentang suatu obyek bisa berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Namun
karena adanya kebutuhan untuk mendefinisikannya, mau tidak mau pendefinisian itu harus
dilakukan, terlepas dari kekurangan atau ketidaksempurnaannya.
Demikian pula halnya dengan pendefinisian hukum pidana internasional itu sendiri,
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Dalam rangka untuk mengerti dan
memahami hukum pidana internasional, mau tidak mau pendefinisian harus dilakukan.
Dalam hal ini, berlaku suatu adagium, bahwa adanya suatu definisi dari obyek yang akan
un pp
dipelajari betapapun tidak sempurnanya masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama
sekali.
Secara ringkasi, hukum pidana internasional dapat didefinisikan sebagai berikut:
Hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas

s
hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional.
Definisi ini tentulah sangat singkat dan umum sekali sehingga belum
k
ha
menggambarkan tentang apa sebenarnya hukum pidana internasional itu. Meskipun definisi
ini masih amat singkat dan umum, namun sudah menggambarkan secara singkat tentang apa
yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. Ada dua hal yang secara eksplisit dapat
l
ditemukan dari definisi ini. Pertama, hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum. Kedua, obyek yang diaturnya adalah tentang kejahatan
atau tindak pidana internasional.
Disamping dua hal yang eksplisit, masih ada lagi yang secara implicit terkandung di
dalamnya yang pada umumnya merupakan hal yang sudah biasa di dalam dunia hukum,
tetapi tidak dimunculkan di dalamnya, yakni, tentang subyek-subyek hukum dan tujuannya.
Tegasnya, siapakah subyek dari hukum pidana internasional itu dan tujuan apa yang hendak
dicapai atau diwujudkannya.
Atas dasar itu maka dapatlah dirumuskan definisi yang lebih lengkap tentang hukum
pidana internasional, sebagai berikut:

Page | 137
Hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subyek-
subyek hukumnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Berdasarkan definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau
saling kait antara satu dengan lainnya, yaitu:
1. Hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-
asas hukum;
2. Hal atau obyek yang diaturnya, yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional;
3. Subyek-subyek hukumnya, yaitu, pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau
tindak pidana internasional;
un pp 4. Tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional
itu sendiri.

Akan tetapi dari keempat unsur tersebut, tampak masih belum jelas atau kabur

s
tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. Definisi ini sama sekali
belum menampakkan dengan jelas substansinya. Definisi ini baru menyentuh kulit luarnya
k
saja. Untuk memperoleh kejelasan tentang hukum pidana internasional, dengan berdasarkan
ha
pada definisi, terlebih dahulu perlu dirumuskan beberapa pertanyaan atas masing-masing
unsur tersebut untuk dapat diperoleh jawaban yang lebih jelas dan pasti, dan kemudian atas
l
dasar itu maka hukum pidana internasional itu akan dapat dikenali.

Pertama; Mengenai kaidah-kaidah dan asas-asas hukumnya dapat diajukan pertanyaan-


pertanyaan, sebagai berikut:

a. Apakah kaidah-kaidah dan asas-asas hukumnya itu merupakan kaidah-kaidah


dan asas-asas hukum yang berdiri sendiri, yang terpisah dan berbeda dengan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum dari bidang atau cabang–cabang hukum
lainnya?
b. Pertanyaan pada butir a ini, erat kaitannya dengan eksistensi dari hukum pidana
internasional itu sendiri, yakni, apakah hukum pidana internasional itu
merupakan bidang atau cabang hukum yang sudah mandiri atau berdiri sendiri,
ataukah hanya sekadar sebagai gabungan atau kumpulan saja dari bidang-bidang
hukum lainnya?

Page | 138
c. Masih terkait dengan butir a dan b diatas, apakah hukum pidana internasional
itu merupakan bagian atau cabang dari hukum internasional ataukah cabang dari
hukum pidana nasional negara-negara, yaitu, hukum pidana nasional yang
diberlakukan ke luar batas-batas wilayah negara-negara?
d. Pertanyaan selanjutnya berkenaan dengan sanksi pidananya serta organ-organ
pengimplementasiannya. Adakah organ-organ pengimplementasiannya
merupakan organ yang berdiri sendiri, terlepas dari organ-organ internasional
maupun nasional negara-negara?
e. Mengenai sanksi-sanksi pidananya, bagaimanakah macam dan bentuknya?
Apakah sama ataukah berbeda dengan sanksi-sanksi yang dikenal di dalam
un pp hukum pidana nasional negara-negara.
f. Masih terkait dengan pengimplementasiannya, dimanakah dan oleh siapakah
hukum pidana internasional beserta dengan sanksi-sanksi pidana itu diterapkan
terhadap pihak-pihak yang melanggar kaidah-kaidah hukum pidana

s
internasional itu? Apakah oleh negara, organisasi internasional atau oleh siapa?
Adakah penjara atau lembaga pemasyarakatan yang tersendiri bagi para
k
ha terhukum dalam menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan dari negara
atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atas kasusnya?
g. Dan lain sebagainya.
l
Kedua; Mengenai kejahatan yang diaturnya, dapat diajukan beberapa pertanyaan, antara lain:

a. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan internasional itu?


b. Apakah sama dengan kejahatan nasional, jelasnya, kejahatan dalam ruang
lingkup hukum pidana nasional negara-negara?
c. Masih terkait dengan butir a dan b diatas, kalau sama, mengapa tidak disatukan
saja pengaturannya, tegasnya, cukup diatur di dalam hukum pidana nasional
negara-negara? Kalau berbeda, apa saja perbedaannya?
d. Apa saja ciri-ciri dari kejahatan internasional itu, terutama untuk dapat
dibedakan dengan kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana nasional
negara-negara?

Page | 139
e. Apa saja jenis atau macam sanksi pidananya? Apakah sama ataukah berbeda
dengan sanksi pidana dari hukum pidana nasional negara-negara?
f. Dan lain sebagainya.
Ketiga; Berkenaan dengan pelaku atau subyek hukum dari hukum pidana internasional,
demikian juga korbannya, dapat diajukan beberapa pertanyaan , antara lain:
a. Siapa saja yang dapat menjadi pelaku atau subyek dari hukum pidana
internasional? Dengan kata lain, siapa saja yang dapat menjadi pelaku dari
kejahatan internasional?
b. Apakah subyek hukum pidana internasional sama dengan subyek hukum
internasional pada umumnya? Ataukah sama dengan subyek-subyek dari hukum
un pp pidana nasional negara-negara?
c. Kalau sama, mengapa masih perlu ada hukum pidana internasional? Bukankah
hukum internasional ataupun hukum pidana nasional negara-negara saja yang
diterapkan langsung terhadap si pelaku kejahatan atau tindak pidana

s
internasional itu?
d. Kalaupun berbeda, apa saja perbedaan antara subyek-subyek hukun
k
ha internasional maupun subyek-subyek hukum pidana nasional negara-negara
pada lain pihak.
e. Dan lain sebagainya.
l
Keempat; Berkenaan dengan tujuan dari hukum pidana internasional, pertanyaan yang dapat
diajukan, antara lain:

a. Apa saja tujuan dari hukum pidana internasional itu?


b. Apakah sama atau berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya?
c. Apakah sama atau berbeda dengan tujuan dari hukum internasional maupun
tujuan dari hukum pidana nasional negara-negara?
d. Kalaupun tujuannya sama, mengapa masih perlu ada hukum pidana
internasional. Apabila tujuannya berbeda, apa saja perbedaannya?
e. Dan lain-lainnya.
Dari pelbagai macam pertanyaan tersebut diatas tampak, bahwa apa yang
dinamakan hukum pidana internasional itu masih menyimpan pelbagai masalah yang masih

Page | 140
perlu diuraikan dan dibahas secara lebih mendalam. Namun demikian, jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan diatas tidak akan dikemukakan secara langsung disini, melainkan
akan muncul dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.

1.3 PERISTILAHAN
Pada bagian PENDAHULUAN (1.1) di atas sudah dikemukakan beberapa istilah
yang berkaitan dengan hukum pidana internasional dan kejahatan atau tindak pidana
internasional. Pada dasarnya, istilah-istilah itu memang mengandung perbedaan makna,
meskipun perbedaannya tidaklah begitu prinsip, sebab antara satu dengan yang lainnya masih
ada kaitannya sehungga sukar untuk dibedakan. Dalam bagian ini akan dibahas masing-
un pp
masing istilah tersebut dengan maksud supaya ada kejelasan antara satu dengan yang lainnya,
meskipun tidaklah mudah untuk dilakukan sehingga masih tetap dapat diperdebatkan.

1.3.1 Istilah Hukum Pidana Internasional dan Kejahatan Internasional

s
Istilah hukum pidana internasional itu sendiri sudah menunjukkan adanya
sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan
k
ha
internasional. Istilah ini menunjukkan, bahwa kaidah-kaidah dan asas-asas hukum tersebut
benar-benar internasional, jadi bukan nasional atau domestik. Apakah memang ada kaidah-
kaidah dan asas-asas hukum pidana yang benar-benar internasional? Jawabannya adalah,
l
memang ada, yakni, kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang dapat dijumpai dalam bentuk
perjanjian-perjanjian internasional yang substansinya (baik langsung maupun tidak langsung)
mengatur tentang kejahatan internasional. Sebagai contohnya, Konvensi tentang Genosida
(Genocide Convention) 1948, Konvensi tentang Apartheid 1973, konvensi-konvensi tentang
terorisme,seperti, Konvensi Eropah tentang Pemberantasan Terorisme 1977, dan lain-lain.
Sedangkan istilah kejahatan internasional menunjukkan adanya suatu peristiwa
kejahatan yang sifatnya internasional, atau yang lintas batas negara, atau yang menyangkut
kepentingan dari dua atau lebih negara. Kejahatan apa saja yang dapat digolongkan sebagai
kejahatan internasional? Apakah yang dimaksudkan dengan kejahatan internasional adalah
kejahatan yang benar-benar internasional? Dalam kenyataanya, adakah kejahatan yang
semacam ini? Jawabannya adalah, memang ada, sebagai contohnya adalah kejahatan-

Page | 141
kejahatan yang diatur di dalam konvensi-konvensi tersebut di atas, seperti, genosida,
apartheid, terorisme, dan lain-lain.

1.3.2 Istilah Hukum Pidana Transnasional dan Kejahatan Transnasional


Istilah hukum pidana transnasional mengandung pengertian, adanya sekumpulan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan yang transnasional atau
lintas batas negara. Pertanyaan yang timbul adalah, apanya yang transnasional, apakah
hukumnya, ataukah kejahatannya atau kedua-duanya? Dengan kata lain, hukumnya tidak
semata-mata berlaku di dalam batas-batas wilayah satu negara, melainkan berlaku dengan
melintasi batas-batas wilayah negara, jadi menyangkut dua atau lebih negara. Dengan
un pp
demikian, hukum pidana nasional masing-masing negara itu dapat diterapkan terhadap
kejahatan atau tindak pidana tersebut. Disini tampak, bahwa istilah hukum pidana
transnasional lebih menekankan pada berlakunya hukum pidana nasional suatu negara ke
luar batas-batas wilayah negara yang bersangkutan dan sampai pada tahap tertentu hukum

s
pidana nasional nasional negara itu akan berhadapan dengan hukum pidana nasional negara-
negara lainnya. Jadi, berbeda dengan istilah hukum pidana internasional yang lebih
k
ha
menekankan pada aspek-aspek internasionalnya yang berdiri sendiri, istilah hukum pidana
transnasional lebih menekankan pada aspek nasional (domestik) yang ke luar batas-batas
wilayah negara.
l
Sedangkan istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional mengandung aspek transnasional atau lintas
batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah
negara (nasional) tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga
tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan
kejahatan itu. Dalam prakteknya, tentulah ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya
kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Jadiu sebenarnya, kejahatannya
sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara-negara
lainnya, maka tampaklah sifatnya yang transnasional. Misalnya, kejahatan yang terjadi di
suatu negara ternyata menimbulkan korban, tidak saja di dalam batas wilayah negara yang
bersangkutan tetapi juga di wilayah negara tetangganya.

Page | 142
1.3.3 Istilah Hukum Pidana Nasional yang Berdimensi Internasional dan Kejahatan
Nasional yang Berdimensi Internasional

Istilah hukum pidana nasional yang berdimensi internasional menunjuk pada


pengertian tentang adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana nasional
yang mengandung dimensi-dimensi internasional. Demikian juga tentang istilah kejahatan
nasional yang berdimensi internasional juga menunjuk pada adanya kejahatan nasional yang
mengandung dimensi internasional. Pertanyaan yang timbul adalah; apa saja dimensi-dimensi
internasionalnya itu? Sejauh mana suatu kejahatan nasional dapat dikatakan sudah
mengandung dimensi-dimensi internasional?
un pp Pertama; Dimensi-dimensi internasional dari hukum pidana nasional, bisa saja pada
hukum pidana nasional itu yang diberlakukan ke luar batas-batas wilayah negara yang
bersangkutan; Misalnya pemberlakuan hukum pidana nasional terhadap kejahatan yang
terjadi di dalam wilayah negara tetapi menimbulkan korban yang berada di luar wilayah

s
negara, seperti korban-korban di laut lepas atau di ruang udara diatas laut lepas.
k
ha Kedua; Dimensi-dimensi internasional dari kejahatannya adalah, kejahatan dengan
segala akibatnya itu tidak terjadi semata-mata di dalam batas wilayah negara yang
bersangkutan, tetapi juga di wilayah negara lain, sehingga tersangkut kepentingan atau
l
hukum nasional negara atau negara-negara lainnya. Misalnya, kejahatan yang dilakukan di
suatu negara ternyata menimbulkan korban di pelbagai negara. Sebagai contoh adalah
kejahatan pemalsuan mata uang yang dilakukan di wilayah suatu negara dan kemudian
diedarkan ke negara-negara yang mata uangnya dipalsukan.

Ketiga; Bahkan dimensi internasionalnya itu bisa terjadi pada subyek hukumnya,
baik subyek hukum sebagai si pelaku maupun korban dari kejahatan tersebut. Misalnya,
beberapa orang yang berada di wilayah negara yang berbeda-beda, bekerjasama melakukan
kejahatan yang menimbulkan korban juga di pelbagai negara. Dalam hal ini, tersangkut
kepentingan lebih dari satu negara dengan hukum nasionalnya masing-masing.

Keempat; Kombinasi dari pertama, kedua, dan ketiga. Dalam kenyataan hidup
sehari-hari, dapat dijumpai pelbagai jenis kejahatan yang boleh jadi menampakkan semua
aspek seperti dipaparkan diatas.

Page | 143
Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari keseluruhan uraian dalam paragraph ini?
Ternyata istilah-istilah tersebut di atas tidak mengandung perbedaan yang prinsip, dan dalam
banyak hal tampak tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, tidaklah
mudah untuk membedakan antara satu dengan lainnya. Suatu kejahatan yang digolongkan
sebagai kejahatan internasional, sekaligus juga mengandung aspek transnasional maupun
dimensi-dimensi internasional. Penggunaan masing-masing istilah itu hanya menunjukkan
perbedaan pada sudut pandang dan penekanan saja dari pihak-pihak yang menggunakannya.
Apakah suatu kejahatan itu dipandang dari sudut pandang internasional, transnasional
ataukah nasional, apakah penekanannya pada aspek internasional, transnasional, ataukah
dipandang dari segi hukum pidana nasional dengan dimensi-dimensi internasionalnya.
un pp Oleh karena itu, tidak ada gunanya memperdebatkan istilah manakah yang paling
benar dari semua istilah tersebut. Salah satu dari semua istilah itu dapat saja dipilih untuk
digunakan. Apakah yang dipilih untuk digunakan adalah istilah hukum pidana internasional,

s
hukum pidana transnasional, ataukah istilah hukum pidana nasional yang berdimensi
internasional, terserah kepada masing-masing pihak. Istilah manapun yang dipilih,
k
sebenarnya semua menunjuk pada obyek yang sama. Demikian juga dengan istilah kejahatan
ha
sendiri, apakah akan dipilih penggunaan istilah kejahatan internasional, transnasional, atau
kejahatan nasional yang berdimensi internasional, semuanya berpulang kepada masing-
l
masing individu.

Dalam uraian ini, istilah yang dipilih untuk digunakan adalah hukum pidana
internasional dan kejahatan internasional, sebab kedua istilah ini memang tampak sudah
lebih umum digunakan di dunia maupun di Indonesia, Perlu ditegaskan disini, bahwa
penggunaan istilah ini dimaksudkan untuk mencakup semua kaidah dan asas hukum pidana
(internasional), baik yang benar-benar internasional, yang transnasional, maupun yang
nasional dengan dimensi-dimensi internasionalnya, jadi, meliputi ketiga-tiganya, yakni,
kejahatan internasional, transnasional, maupun kejahatan nasional yang berdimensi
internasional.

Page | 144
1.4 BERBAGAI VARIASI KEJAHATAN INTERNASIONAL
Sebenarnya, apa yang sudah diuraikan diatas, sudah terpaparkan secara garis besar
tentang pelbagai variasi dari kejahatan internasional, meskipun perbedaannya antara satu
dengan lainnya kadang-kadang tidaklah begitu tajam. Hal ini disebabkan karena kejahatan itu
sendiri juga sangat bervariasi. Hukum pidana nasional negara-negara memang sudah
mengaturnya sedemikian rupa, supaya tidak ada satupun kejahatan yang berada di luar
jangkauannya. Akan tetapi selalu ada saja kemungkinan munculnya kejahatan jenis baru
yang ternyata tidak mampu dijangkau oleh hukum pidana nasional negara-negara di dunia
ini.

un pp
1.4.1 Kejahatan Internasional yang baru pertama kalinya di dunia ini
Kadang-kadang suatu kejahatan ketika baru pertama kali terjadinya (pada
masanya), secara langsung sudah menyangkut kepentingan banyak negara bahkan seluruh
negara di dunia sehingga menjadi perhatian dan sorotan masyarakat internasional. Hukum

s
pidana nasional negara-negarapun sama sekali tidak atau belum ada yang mengaturnya.
Ataupun kalau ada, hanya beberapa negara saja yang sudah mengaturnya. Oleh karena sudah
k
ha
menjadi perhatian dan sorotan masyarakat internasional, terutama disebabkan karena
bahayanya yang ditimbulkan terhadap masyarakat internasional, maka masyarakat
internasional berkepentingan untuk mengaturnya pada tataran internasional.
l
Diselenggarakanlah konperensi internasional untuk merumuskan kaidah hukumnya yang
dituangkan dalam bentuk suatu perjanjian atau konvensi internasional.
Sebagai contohnya adalah, kejahatan genosida yang sebelumnya tidak ada peraturan
hukum internasional maupun nasional yang mengaturnya, tetapi ternyata dalam kehidupan
umat manusia justru terjadi, yaitu pada waktu Perang Dunia II yang dilakukan oleh
pemimpin Nazi, Jerman, yang melakukan pembunuhan secara massal terhadap orang-orang
dari kelompok etnis Yahudi. Untuk mencegah perbuatan yang sama terulang lagi, maka
dirumuskanlah Konvensi Genosida pada tahun 1948. Demikian juga dengan kejahatan
apartheid yang bertahun-tahun dipraktekkan oleh pemimpin Afrika Selatan dan Rhodesia
(sekarang:Zimbabwe) di Afrika terhadap orang-orang kulit berwarna (orang kulit hitam dan
orang-orang Asia). Untuk mencegah dan memberantasnya dirumuskan Konvensi Anti-
Apartheid pada tahun 1973. Demikian juga terjadinya perbuatan-perbuatan yang mengancam

Page | 145
dan membahayakan keselamatan orang-orang yang dilindungi secara internasional, seperti
para diplomat, utusan-utusan negara, utusan-utusan organisasi internasional, dan lain-lain,
maka dirumuskanlah konvensi tentang perlindungan atas orang-orang yang dilindungi secara
internasional termasuk agen-agen diplomatik pada tahun 1973.
Contoh lain adalah kejahatan dalam bidang penerbangan, dimana ketika pertama
kali terjadi suatu kejahatan di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan pada
sekitar awal tahun enampuluhan, demikian juga dengan kejahatan pembajakan atas pesawat
udara pada akhir tahun enampuluhan, ternyata masyarakat internasional tidak siap dengan
peraturan hukumnya, baik pada tataran internasional, dan lebih-lebih lagi pada tataran hukum
nasional negara-negara. Menghadapi kejahatan yang terjadi di dalam pesawat udara,
un pp
masyarakat internasional atas prakarsa Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(Internastional Civil Aviation Organisation/ICAO) pada tahun 1963 berhasil merumuskan
sebuah konvensi, yakni, Konvensi Tokyo 1963. Sedangkan dalam menghadapi kejahatan
pembajakan pesawat udara, juga atas prakarsa ICAO berhasil dirumuskan Konvensi Den

s
Haag pada tahun 1970. Sedangkan dalam menghadapi kejahatan terhadap pesawat udara
yang dilakukan dari luar pesawat udara ataupun kejahatan terhadap sarana-sarana
k
ha
penerbangan, berhasil dirumuskan Konvensi Motreal 1971.
Dalam Konvensi Tokyo 1963 kejahatan-kejahatan itu adalah kejahatan yang terjadi
di dalam pesawat udara yang sedang dalam penerbangan, seperti penumpang berkelahi,
l
pembunuhan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang membahayakan penerbangan. Beberapa
dari perbuatan tersebut memang sudah diatur dalam di dalam hukum pidana nasional negara-
negara. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah, negara manakah yang memiliki yurisdiksi
atas orang dan kejahatan atau perbuatannya itu. Masalah yurisdiksi ini muncul, disebabkan
karena terjadinya kejahatan atau tindak pidana itu maupun perbuatan-perbuatan lainnya yang
membahayakan penerbangan pesawat udara tersebut di dalam pesawat itu sendiri yang
sedang dalam penerbangannya yang tentu saja kecepatannya sangat tinggi, yang jika ditinjau
dari tempat terjadinya, menimbulkan pelbagai kemungkinan. Mungkin permulaan terjadinya
di wilayah ruang udara negara tempatnya berangkat, mungkin di ruang udara dari negara
yang dilewati oleh pesawat udara itu, mungkin di ruang udara negara tempat pesawat itu
mendarat, di ruang udara dari negara tempat si pelaku atau si korban berkewarganegaraan,
dan lain-lainnya. Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan yurisdiksi dari negara atas

Page | 146
kejahatan tersebut. Oleh karena itulah Konvensi Tokyo 1963 ini menentukan negara atau
negara-negara manakah yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut.
Konvensi Den Haag 1970 (Convention for the Suppresion of Unlawful Seizure of
Aircraft) merupakan sebuah konvensi yang mengatur tentang kejahatan yang berupa
penguasaan secara melawan hukum atas pesawat udara, seperti pembajakan pesawat udara.
Lahirnya Konvensi Den Haag 1970 ini tidak terlepas dari semakin banyaknya terjadi
pembajakan atas pesawat udara yang sedang dalam penerbangan dimana pilot pesawat
dipaksa untuk menuju dan mendarat ke suatu bandara di suatu negara yang sebenarnya bukan
merupakan negara tujuan dari penerbangan tersebut. Kalau dalam Konvensi Tokyo 1963
peristiwa kejahatan atau tindak pidananya terjadi di dalam pesawat udara antara sesama
un pp
penumpang, dalam kejahatan pembajakan pesawat udara yang berupa perbuatan penguasaan
secara melawan hukum, perbuatan itu ditujukan terhadap pesawat udaranya sendiri yang
sudah tentu juga membahayakan para penumpang, awak pesawat, harta benda yang ada di
dalamnya, dan tentu saja termasuk pesawat udaranya sendiri.

s
Sedangkan Konvensi Montreal 1971 (Convention for the Suppresion of Unlawful
Acts against the Safety of Civil Aviation) berkenaan dengan perbuatan yang dilakukan
k
ha
terhadap pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang dilakukan oleh pelakunya di
atau dari luar pesawat baik perbuatan itu ditujukan kepada pesawat udara yang sedang dalam
penerbangan ataupun ditujukan terhadap sarana-sarana penerbangan, misalnya sarana-sarana
l
di dalam kawasan bandara ataupun di luar bandara, yang semuanya itu jelas sangat
membahayakan keselamatan penerbangan itu sendiri.

1.4.2 Kejahatan-kejahatan internasional yang konvensional

Variasi lain dari kejahatan internasional adalah kejahatan-kejahatan yang sudah


secara konvensional terjadi dari jaman dulu hingga kini, bahkan juga masih sering terjadi
pada masa yang akan datang. Misalnya, kejahatan perompakan kapal (piracy) di laut lepas,
tabrakan kapal di laut lepas, perdagangan budak-budak dan pengangkutannya yang lintas
batas negara yang dalam banyak kasus dilakukan melintas laut lepas dan lain-lain. Ketiga
jenis kejahatan ini sudah diatur di dalam hukum pidana nasional dari sebagian besar negara
di dunia, karena memang ketiganya sudah dikenal sebagai kejahatan atau tindak pidana sejak
jaman dahulu kala. Dalam hal ini, hukum pidana nasional negara-negara sudah mengaturnya,

Page | 147
dengan kata lain, kejahatan atau tindak pidana semacam ini sudah ditundukkan pada
yurisdiksi nasional negara-negara.

Disini tampaklah adanya penerapan hukum pidana nasional negara-negara ke luar


batas-batas wilayahnya. Mungkin ada orang bertanya, dalam kasus seperti apa ini, apakah
masalah ini termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional ataukah hukum
pidana nasional negara-negara? Bukankah ini termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana
nasional dan oleh karena yang diterapkan adalah hukum pidana nasional meskipun
peristiwanya sendiri terjadi di luar wilayah negara? Memang benar yang diterapkan adalah
hukum pidana nasional negara-negara tetapi peristiwanya sendiri terjadi di luar wilayah
negara, tegasnya di laut lepas, bahkan mungkin juga para pelakunya disamping warga negara
un pp
dari negara itu sendiri, ada juga yang berkewarganegaraan dari negara lain. Jadi,
peristiwanya sendiri sudah menampakkan corak internasional atau transnasional yang
mengandung dimensi-dimensi internasional. Bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum

s
pidana nasional suatu negara, itupun juga karena negara itu memiliki yurisdiksi kriminal
yang didasarkan atas hukum internasional.
k
ha
1.4.3 Kejahatan nasional yang mengandung unsur eksternal
l
Variasi yang lainnya dari kejahatan adalah kejahatannya sendiri merupakan
kejahatan nasional tetapi mengandung unsur eksternal. Unsur eksternal ini bisa pada
pelakunya, pada korbannya, pada tempat terjadinya kejahatan itu sendiri, maupun kombinasi
antara dua atau lebih dari semuanya itu. Misalnya, dalam suatu kejahatan nasional, ternyata
ada pelakunya yang berkewarganegaraan asing disamping pelaku yang berkewarganegaraan
negara yang bersangkutan. Demikian pula, terjadinya kejahatan itu di dalam wilayah suatu
negara, tetapi korbannya yang berkewarganegaraan asing, atau korbannya terdapat di wilayah
negara lain, baik korban itu adalah warganegara dari negara tersebut ataupun
berkewarganegaraan asing. Atau si pelakunya berkewarganegaraan dari negara setempat
yang kemudian melarikan diri ke wilayah negara lain, sehingga tersangkutlah kepentingan
atau hukum nasional negara lain tersebut.
Masih banyak lagi variasi lain dari kejahatan internasional ini, yang tentu saja akan
terlalu panjang untuk diuraikan satu per satu dalam halaman yang amat terbatas ini. Variasi

Page | 148
diatas hanyalah sekadar sebagai model atau contoh saja dari demikian banyaknya variasi dari
kejahatan internasional tersebut. Dari pelbagai variasi kejahatan internasional itu secara
singkat dapat dikatakan, bahwa dalam suatu kejahatan internasional terkait kepentingan lebih
dari satu negara, mulai dari kepentingan dua negara hingga kepentingan semua negara atau
semua umat manusia di seluruh dunia ini.

C. Penutup

Evaluasi dilakukan untuk mengukur pemahaman perserta didik atas materi pembelajaran
yang dilakukan dalam bentuk diskusi diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa
pertanyaan.
un pp
a. Apa saja dimensi-dimensi internasional dari suatu kejahatan nasional?
b. Apa saja variasi-variasi dari kejahatan internasional?
c. Apa yang dimaksud dengan kejahatan nasional yang mengandung unsure eksternal?

s
D. Daftar Bacaan
k
ha
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Rafika Aditama, Bandung,


l
2000.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Hecca Mitra
Utama, Jakarta, 2004.

Page | 149
BAB 11
BAHAN PEMBELAJARAN 10

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 10 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan dimensi nasional dari kejahatan internasional dan menganalisa kasus-kasus.
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran
berupa discovery learning melalui kuliah interaktif, case study (studi kasus) serta diskusi
kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
un pp
partisipasi dalam diskusi, ketepatan penggunaan teori untuk menganalisa kasus serta
penguasaan individual. Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media
modul sebagai pengantar yang diberikan peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
DIMENSI NASIONAL DARI KEJAHATAN INTERNASIONAL
l
Sebenarnya setiap kejahatan yang benar-benar memiliki karakter internasional, misalnya,
kejahatan yang kemunculannya untuk pertama kali sehingga menjadi perhatian dan sorotan
masyarakat internasional secara keseluruhan dan karena itu pertama-tama diatur di dalam
hukum internasional dalam bentuk sebuah konvensi internasional, pada awal maupun pada
akhirnya adalah juga merupakan masalah nasional negara-negara dan oleh karena itulah juga
diatur di dalam hukum pidana nasionalnya masing-masing. Bukankah negara-negara itu
sendiri yang berkepentingan untuk mengaturnya baik di dalam hukum internasional ataupun
hukum pidana nasionalnya dan dengan demikian, juga untuk mengadili dan atau menghukum
si pelakunya?
Oleh karena itu setiap kejahatan internasional semacam ini sudah pasti mengandung
dimensi nasional. Apa saja dimensi nasionalnya? Di bawah ini akan diuraikan satu per satu
dimensi nasional dari kejahatan internasional. Akan tetapi perlu ditegaskan, bahwa apa yang
dikemukakan di bawah ini, hanyalah sekadar contoh atau model saja, sebab dalam

Page | 150
prakteknya akan dapat ditemukan lebih banyak lagi variasinya yang mungkin tidak tercakup
di dalam uraian ini.

Suatu kejahatan terjadi di wilayah dari satu atau lebih negara dan menimbulkan
akibat di dalam wilayah negara yang bersangkutan dan atau di wilayah negara lain

Boleh jadi suatu kejahatan terjadi di dalam wilayah suatu negara dan menimbulkan akibat
di dalam wilayah negara lain. Atau suatu kejahatan terjadinya di dalam wilayah lebih dari
satu negara dan menimbulkan akibat di masing-masing wilayah negara yang bersangkutan
maupun juga di wilayah negara lain. Misalnya, kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh
un pp
seseorang dari wilayah suatu negara dengan menembakkan senjata api ke arah orang yang
ada di dalam wilayah negara tetangganya, sehingga mengakibatkan korban, yaitu, matinya
orang atau orang-orang yang ditembak tersebut. Contoh lain adalah, beberapa orang yang
masih berada di wilayah negara yang berbeda-beda, bekerjasama dengan cara yang

s
sedemikian rupa dalam melakukan suatu kejahatan pemalsuan mata uang dua atau lebih
negara. Kemudian uang palsu tersebut diedarkan di negara-negara yang mata uangnya
k
ha
dipalsukan. Dalam kedua contoh kasus tersebut, jelas terlibat kepentingan atau hukum pidana
nasional dari negara-negara yang menjadi korban atau negara tempat sang korban melakukan
kejahatannya itu.
l
Suatu kejahatan terjadi di suatu tempat di luar wilayah negara-negara di dunia tetapi
menimbulkan akibat di dalam wilayah dari satu atau lebih negara

Dalam hal ini kejahatan atau tindak pidananya sering terjadi di suatu tempat di luar atau
yang bukan wilayah negara, misalnya, di laut lepas atau di ruang udara di atas laut lepas,
tetapi menimbulkan akibat di wilayah satu atau lebih negara. Akibat tersebut misalnya,
korban manusia, harta benda, ataupun akibat yang berupa gangguan keamanan dari negara itu
sendiri. Dalam hal ini, negara-negara yang bersangkutan demi melindungi kepentingan
nasionalnya ataupun warganegaranya ataupun orang asing yang ada di dalam wilayahnya ,
berkepentingan untuk mengatur di dalam hukum pidana nasionalnya, menerapkannya
terhadap si pelakunya, serta mengadilinya dan menghukumnya jika kesalahannya terbukti.

Page | 151
Misalnya, perbuatan melakukan penyiaran secara gelap dengan menggunakan pesawat
pemancar yang dilakukan di laut lepas oleh seorang atau lebih dan siaran itu ditujukan
terhadap satu atau lebih negara . Atau, kejahatan memata-matai yang dilakukan dengan
menggunakan sebuah pesawat udara di ruang udara di atas laut lepas. Demikian juga
kejahatan atau tindak pidana pembajakan pesawat udara dengan para penumpangnya yang
terdiri dari orang-orang dari pelbagai negara yang dilakukan oleh sekelompok pembajak di
ruang udara di laut lepas.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
un pp
pembelajaran ke-10 dilakukan dalam bentuk kuis di akhir perkuliahan yang dikemas dalam
bentuk beberapa pertanyaan.

a. Apa saja dimensi nasional dari suatu kejahatan internasional?

s
b. Berikan contoh kejahatan yang memiliki karakter internasional!
k
ha
D. Daftar Bacaan
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung 2006
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Revisi), Refika Aditama,
l
Jakarta, 2000
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Hecca Press, 2004

Page | 152
BAB 12
BAHAN PEMBELAJARAN 11

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 11 adalah mahasiswa dapat
menjelaskan tentang dimensi internasional dari suatu kejahatan nasional dan menganalisa
kasus. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi
pembelajaran berupa discovery learning melalui kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi
kelas.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
un pp
partisipasi dalam diskusi, ketepatan analisa dengan menggunakan teori-teori untuk
menganalisa kasus serta penguasaan individual. Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100
menit dengan menggunakan media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta
didik.

s
B. Uraian
k
ha
DIMENSI INTERNASIONAL DARI SUATU KEJAHATAN NASIONAL
l
Kejahatan sebagaimana diatur di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional
negara-negara yang pada hakekatnya adalah kejahatan nasional, dalam beberapa hal juga
mengandung dimensi-dimensi internasional. Dimensi-dimensi internasionalnya itu, tampak
antara lain dalam wujud:

Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi
menimbulkan akibat di dalam wilayahnya

Dalam hal ini, terjadinya kejahatan itu mungkin di wilayah negara lain atau di suatu
tempat di luar wilayah negara, seperti telah dikemukakan di atas, dan atas kejahatan tersebut
ada kepentingan nasional dari suatu negara atau lebih yang terkait dengan kejahatan itu.
Misalnya, kejahatan itu menimbulkan korban di dalam wilayahnya, atau yang menjadi

Page | 153
korban adalah warganegaranya sendiri ataupun korban-korban lain yang pada dasarnya
merugikan negara yang bersangkutan. Negara ini tentu saja berkepentingan untuk
mengaturnya di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasionalnya,
menerapkannya terhadap si pelakunya serta mengadili dan jika terbukti bersalah selanjutnya
adalah menghukum dan mengeksekusinya di dalam wilayahnya sendiri.

Korban Kejahatan nasional terjadi di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar
wilayah negara

Boleh jadi suatu kejahatan nasional menimbulkan korban atau akibat, tidak semata-mata
un pp
di dalam wilayah negara itu sendiri, tetapi juga bisa di suatu tempat di wilayah negara lain
atau di suatu tempat di luar wilayah negara manapun juga. Korbannya bisa berupa orang dari
pelbagai kewarganegaraan, badan hukum nasional maupun asing, harta benda, atau
dokumen-dokumen penting, dan lain-lain. Dalam kasus ini, kejahatannya sendiri sebenarnya

s
merupakan kejahatan nasional dari negara tempat dilakukannya perbuatan itu, namun karena
korbannya ada di luar wilayah negara itu, maka tampaklah dimensi-dimensi internasionalnya,
k
ha
antara lain, tempat terjadinya korban atau akibatnya, yakni, di negara lain atau di suatu
tempat yang bukan merupakan wilayah negara, korbannya yang berupa orang atau badan
hukum yang bisa saja warganegara dari negara ketiga, demikian juga korban yang berupa
l
badan hukum, maupun korban harta benda dan korban-korban jenis lainnya.

Kejahatan yang terjadi di dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah orang
yang bukan warganegaranya

Oleh karena pelakunya adalah orang asing atau orang yang bukan warganegaranya atau
orang yang tanpa kewarganegaraan, meskipun terjadinya kejahatan atau tindak pidana
maupun korbannya seluruhnya di dalam wilayah suatu negara, maka dalam hal ini pun sudah
tampak adanya kepentingan dari negara atau negara-negara lain. Persoalannya adalah,
sejauhmanakah kepentingan dari negara lain tersebut? Boleh dikatakan, bahwa kepentingan
negara-negara itu tidak bisa ditentukan dengan pasti, melainkan harus dilihat kasus demi
kasus. Kadang-kadang dalam suatu kasus, kepentingan negara yang bersangkutan demikian

Page | 154
besarnya, dalam kasus lain yang lebih kecil, bahkan dalam suatu kasus lainnya lagi, bisa
sangat kecil.
Misalnya, dalam kasus seorang tenaga kerja Indonesia yang melakukan kejahatan
pencurian di negara tempatnya bekerja, misalnya melakukan kejahatan pencurian uang dalam
jumlah yang tidak banyak dan dia ditangkap polisi, selanjutnya diadili oleh pengadilan
negara setempat dan dijatuhi hukuman satu bulan penjara. Dalam kasus ini tentulah
kepentingan negara Indonesia tidaklah begitu besar. Dengan menjalani hukuman penjara
selama satu bulan dan sesudah selesai menjalaninya, dia sudah bisa kembali bekerja atau
kembali ke Indonesia. Dalam kasus ini, kejahatan pencurian uang tersebut sebagai kejahatan
nasional yang meskipun mengandung dimensi internasional, tetapi dimensi internasionalnya
un pp
demikian kecilnya, sehingga dapat diabaikan.
Dalam kasus pembunuhan seperti dipaparkan di atas, meskipun ada dimensi
internasionalnya, namun secara relatif tidaklah begitu besar. Dalam kasus tersebut hukum
pidana Indonesia sepenuhnya dapat diterapkan, tanpa ada keterkaitan dengan kepentingan

s
negara asing, meskipun si pelaku atau korbannya adalah warganegara dari negara asing itu
sendiri. Nagara asing itupun juga dapat memaklumi, bahwa kejahatan atau tindak pidana itu
k
ha
sepenuhnya merupakan masalah domestik yang tunduk pada hukum pidana nasional negara
yang bersangkutan. Dalam kenyataan sehari-hari, cukup banyak warganegara asing yang
diadili dan atau dihukum di Indonesia, karena terlibat dalam suatu tindak pidana berdasarkan
l
hukum pidana Indonesia. Demikian pula sebaliknya, juga banyak warganegara Indonesia
yang diadili dan dihukum di negara lain, karena terlibat dalam suatu kejahatan atau tindak
pidana menurut hukum pidana negara yang bersangkutan, tanpa sedikitpun ada campur
tangan dari pihak lainnya. Dalam hal ini, para pihak saling menghormati kedaulatan dan
hukum nasional masing-masing.
Namun masalahnya akan menjadi lain, jika si pelakunya yang warganegara asing itu
dijatuhi dengan hukuman mati. Dimensi internasionalnya menjadi lebih besar, sebab
hukuman mati berkaitan dengan hak-hak asasi manusia atau nilai-nilai kemanusiaan
universal. Negara yang merupakan kewarganegaraan dari si terhukum akan melakukan upaya
pendekatan kepada negara yang menjatuhkan hukuman mati, supaya warganegaranya itu
tidak dieksekusi dengan hukuman mati oleh negara yang menghukumnya, merupakan bukti
nyata betapa masalah hukum mati dalam kasus-kasus yang pelakunya dijatuhi dengan

Page | 155
hukuman mati mengandung dimensi internasional yang cukup besar. Dalam kasus ini,
kepentingan negara Indonesia untuk menyelamatkan warganegaranya dari pelaksanaan
hukuman mati tentulah sangat besar, sebab menyangkut nyawa seseorang warganegaranya di
negara lain. Dimensi internasionalnya, khususnya dimensi kemanusiaannya demikian
besarnya, sehingga negara Indonesia perlu turun tangan, supaya warganegaranya itu tidak
dieksekusi dengan hukuman mati, meskipun ditinjau dari yurisdiksinya, Indonesia tidak
memiliki yurisdiksi atas peristiwa kejahatan pembunuhan tersebut.
Secara umum, variasinya pada satu sisi yang ekstrim, tampak karakter internasionalnya
yang demikian besar dan dominan, ketimbang karakter nasionalnya. Pada satu sisi ekstrim
lainnya, karakter nasionalnya yang tampak lebih dominan sedangkan karakter
un pp
internasionalnya sangat kecil, bahkan hampir tidak tampak. Demikian juga ada yang kedua
kandungannya itu tampak seimbang. Ataupun kalau tidak seimbang, ketidakseimbangannya
itu tidaklah begitu besar.
Persoalannya adalah, bagaimana cara membedakan suatu kejahatan itu tergolong sebagai

s
kejahatan internasional atau nasional? Memang untuk beberapa kejahatan tertentu, dengan
mudah dapat diketahui sebagai kejahatan nasional. Demikian juga dalam kejahatan tertentu
k
ha
lainnya, juga dengan mudah dapat diketahui dimensi internasionalnya yang sangat besar,
bahkan kejahatan itu benar-benar internasional. Di antara kedua ekstrim inilah terdapat
banyak variasi kejahatan yang dimensi internasionalnya bermacam-macam.
l
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa cara untuk mengidentifikasikan suatu
kejahatan sebagai kejahatan internasional, yakni:

Tempat terjadinya kejahatan


Suatu kejahatan yang terjadi di dalam wilayah suatu negara dengan si pelakunya maupun
korbannya adalah warganegara dari negara yang bersangkutan, sepenuhnya merupakan
kejahatan nasional. Misalnya, kejahatan pembunuhan yang terjadi di kota Bandung, yang
pelakunya maupun korbannya adalah penduduk kota Bandung yang sama-sama
berkewarganegaraan Indonesia. Pelakunya diadili di Indonesia (di Pengadilan Negeri Kelas
IA Bandung, Pengadilan Tinggi Bandung, dan Mahkamah Agung di Jakarta) dan selanjutnya
setelah dijatuhi putusan yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, dia menjalani
hukumannya di lembaga pemasyarakatan di kota Bandung. Peristiwa ini sepenuhnya

Page | 156
merupakan kejahatan yang benar- benar rasional. Sedikitpun tidak ada unsur atau dimensi
internasionalnya
Jika peristiwa pembunuhan itu (yang pelakunya maupun korbannya berkewarganegaraan
dari satu negara) terjadi di luar wilayah negara itu, misalnya, sebagian dilakukan di dalam
wilayah suatu negara dan sebagian lagi di luar wilayahnya, atau pembunuhan itu terjadi di
laut lepas atau di wilayah negara lain, dan dalam semua macam peristiwa tersebut, negara
yang bersangkutan memiliki yurisdiksi kriminal atas peristiwa pembunuhan itu, maka dalam
hal ini sudah tampaklah dimensi internasionalnya.

Kewarganegaraan dari pelaku atau korbannya


un pp
Dengan menjadikan kasus pembunuhan seperti tersebut diatas sebagai contoh, meskipun
dilihat dari tempat terjadinya peristiwa, seluruhnya di dalam wilayah suatu negara,
selanjutnya lihatlah kewarganegaraan dari si pelaku ataupun korbannya. Jika yang dibunuh
adalah seorang warganegara asing, misalnya warganegara Malaysia, atau sebaliknya, si

s
pelakunya orang asing sedangkan korbannya adalah seorang warganegara Indonesia,
demikian juga jika kedua pihak berkewarganegaraan negara asing (bukan warganegara
k
ha
Indonesia), maka dalam kasus seperti ini, sudah mulai tampak dimensi internasionalnya,
meskipun terjadinya kejahatan itu seluruhnya di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Tampak ada dua atau lebih negara yang terkait dalam kasus semacam ini. Seperti telah
l
dikemukakan di atas, sejauhmana keterkaitan suatu negara atas suatu kejahatan nasional yang
mengandung dimensi internasional, memang tergantung pada kasus itu sendiri dan juga
tergantung bagaimana pengaturannya di dalam hukum pidana nasional negara yang terkait,
dalam pengertian, sejauhmana hukum pidana nasional negara itu menjangkaunya atau
memiliki yurisdiksi kriminal atas peristiwa tersebut.

Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau tidak bergerak milik pihak
asing
Ada kejahatan yang terjadi seluruhnya di dalam wilayah suatu negara dan dilakukan oleh
warganegara dari negara tersebut tetapi sasaran atau korbannya berupa harta benda bergerak
maupun tidak bergerak milik pihak asing, misalnya, pencurian mobil atau uang milik seorang
warganegara asing atau badan hukum asing yang terjadi dalam wilayah suatu negara. Kalau

Page | 157
dalam kasus pembunuhan seperti di atas korbannya berupa orang atau individu
berkewarganegaraan asing, dalam kasus ini korbannya berupa harta benda milik orang atau
badan hukum asing yang ada di dalam wilayah negara itu. Dalam kasus ini, memang dimensi
internasionalnya tampak sangat kecil, karena itu dalam prakteknya dapat dikesampingkan.
Akan tetapi, dalam kasus lain yang serupa tetapi tidak sama- harta benda milik pihak
asing itu demikian besarnya, bahkan boleh jadi bukan milik orang atau individu asing tetapi
milik perusahaan transnasional ataupun milik negara asing. Misalnya, kejahatan
penghancuran instalasi-instalasi vital, seperti, tambang minyak dan gas bumi milik
perusahaan asing yang beroperasi di negara itu, atau penghancuran gedung kedutaan besar
suatu negara asing di suatu negara. Kejahatan semacam ini, melibatkan negara-negara yang
un pp
berkepentingan. Dalam kasus semacam ini, dimensi internasionalnya menjadi lebih besar
ketimbang dalam kasus di atas.

Kombinasi dari ketiga butir diatas

s
Dimensi internasional dari suatu kejahatan atau tindak pidana akan lebih jelas tampak,
apabila unsur-unsur seperti diuraikan dalam butir (1.7.1, 1.7.2, dan 1.7.3) tersebut diatas
k
ha
terkait didalamnya. Tegasnya, di dalam suatu kejahatan tampak dimensi-dimensi
internasionalnya secara terkombinasikan, baik mengenai tempat terjadinya, pelakunya,
korbannya baik yang berupa orang, badan hukum, ataupun benda-benda yang bergerak
l
maupun tidak bergerak.. Dalam kasus seperti ini, tentulah akan lebih mudah melihat dan
menemukan dimensi-dimensi internasionalnya, sehingga tidak ada keraguan lagi untuk
mengatakannya sebagai kejahatan internasional.
Sebagai contoh, kejahatan atau tindak pidana pemalsuan mata uang dari dua atau lebih
negara yang dilakukan oleh lebih dari satu orang yang kewarganegaraannya berbeda-beda
yang tinggal di pelbagai negara dengan bekerjasama satu dengan yang lainnya, sehingga
merugikan negara-negara yang bersangkutan dan juga merugikan warga negaranya masing-
masing maupun orang asing yang secara legal memperoleh uang palsu tersebut. Dalam kasus
ini tampak, bahwa tempat terjadinya kejahatan atau tindak pidana itu di wilayah lebih dari
satu negara karena pelakunya berada di pelbagai negara bekerjasama dalam melakukan
kejahatan. Pelakunya sendiri terdiri dari orang-orang dengan kewarganegaraan yang berbeda-
beda. Demikian pula korbannya sendiri baik itu negara maupun orang atau badan hukum

Page | 158
yang sangat dirugikan oleh kejahatan tersebut. Dalam hal ini, tampaklah dimensi
internasionalnya yang sangat jelas dan terang benderang.

Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan, dan kesadaran


hukum umat manusia
Ada beberapa kasus kejahatan internasional yang jika dilihat dari segi tempat terjadinya
adalah di dalam wilayah suatu negara , semua pelakunya maupun korbannya adalah
warganegara dari negara yang bersangkutan. Demikian juga korban berupa harta benda
seluruhnya milik dari negara atau warganegara tersebut, jadi secara fisik dan kasat mata,
sama sekali tidak ada dimensi internasionalnya. Akan tetapi, karena peristiwanya sedemikian
un pp
rupa sifatnya, misalnya, para korban yang jumlahnya demikian banyaknya dan adalah orang-
orang yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu masalahnya, serta sama sekali tidak ada
hubungannya dengan motif, maksud, maupun tujuan dari si pelakunya, masyarakat
internasional baik negara-negara maupun orang perorangan dari pelbagai negara tanpa

s
memandang perbedaan-perbedaan agama atau kepercayaan, etnis, paham politik, bahasa, dan
perbedaan-perbedaan lainnya, secara spontan memberikan reaksi keras atas peristiwa
k
ha
tersebut, dengan mengecam dan mengutuknya sebagai tindakan
berperikemanusiaan. Pada hakekatnya semua itu menunjukkan, bahwa masyarakat
biadab,

internasional tidak dapat membenarkan perbuatan seperti itu, apapun motif, maksud, ataupun
tidak
l
tujuannya, sebab bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan
universal, kesadaran hukum, dan rasa keadilan umat manusia.
Sebagai contoh adalah peristiwa perang saudara di ex-Yugoslavia yang telah
menimbulkan korban-korban manusia tak berdosa di luar batas-batas perikemanusiaan yang
terjadi selama masa akhir dasawarsa delapan puluhan dan awal sembilan puluhan. Demikian
juga peristiwa yang hampir sama terjadi di Rwanda pada kurun waktu awal dasawarsa
sembilan puluhan. Jauh sebelumnya, yakni, pada dasawarsa akhir enam puluhan dan awal
sampai akhir tujuh puluhan, peristiwa yang sama juga terjadi di Kamboja dalam suatu perang
saudara antara faksi-faksi yang berpengaruh di Kamboja. Kejahatan-kejahatan semacam ini,
antara lain, kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), kejahatan terhadap hak asasi manusia yang berat (gross violation of human
rights), dan kejahatan perang (war crimes).

Page | 159
Contoh lain adalah kejahatan terorisme. Misalnya, kasus pemboman gedung World Trade
Center di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, terorisme dalam
kasus bom di Kuta, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, kasus pemboman Hotel J.W.Marriot
di Jakarta pada 2003, kasus pemboman Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004,
dan pemboman di London, Inggris, pada tanggal 7 Juli 2005. Semua kejahatan ini jelas
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
kesadaran hukum dan rasa keadilan umat manusia. Peristiwa-peristiwa seperti ini
menimbulkan reaksi spontan dari pelbagai penjuru dunia yang pada dasarnya semuanya tidak
dapat membenarkannya.
Dalam era globalisasi dunia sekarang ini, dengan kemudahan dalam melakukan
un pp
komunikasi dan memperoleh informasi, kristalisasi nilai-nilai dari kesamaan reaksi
masyarakat internasional dari pelbagai penjuru dunia yang selanjutnya berkembang menjadi
pendapat umum internasional (international public opinion) dengan mudahnya bisa terjadi.
Pendapat umum internasional inilah yang merupakan manifestasi dari rasa kemanusiaan,

s
kesadaran hukum, dan rasa keadilan umat manusia tanpa memandang perbedaan gender,
agama atau kepercayaan, paham politik, etnis, bahasa, maupun perbedaan-perbedaan sejenis
k
ha
lainnya. Semuanya menyatu dalam menghadapi dan menyikapi, serta memberikan reaksi
yang sama atas peristiwa semacam itu.
l
RUANG LINGKUP DAN SUBSTANSI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Dari paparan di atas identifikasi pelbagai jenis kejahatan seperti di atas, timbullah
pertanyaan, apakah ruang lingkup dan substansi hukum pidana internasional mencakup
semua variasi kejahatan itu? Jika jawaban atas pertanyaan ini adalah positif (“ya”), maka
akan tampak betapa luas substansinya. Mungkin diantara demikian banyak sarjana hukum di
dunia, ada beberapa orang yang berpendapat seperti ini, dengan alasan bahwa semua jenis
kejahatan tersebut mengandung dimensi internasional baik kecil maupun besar. Untuk
menghargai pendapat ini, maka baiklah pendapat atau pandangan ini diberi nama “hukum
pidana internasional dalam pengertian yang luas”.
Namun terhadap pandangan hukum pidana internasional dalam pengertian yang luas ini,
mungkin ada sebagian dari para sarjana hukum yang tidak menyetujuinya. Jika dimensi

Page | 160
internasional dari suatu kejahatan itu demikian kecilnya sehingga tidak tampak
keterkaitannya dengan kepentingan negara lain, selain dari negara yang memiliki yurisdiksi,
maka kejahatan itu sepenuhnya termasuk dalam ruang lingkup atau substansi dari hukum
pidana nasional. Lebih-lebih jika yang tampak paling dominan dalam hal ini adalah hukum
pidana nasional dari negara yang memiliki yurisdiksi, maka kejahatan semacam itu tidak
termasuk di dalam ruang lingkup dan substansi dari hukum pidana internasional. Jadi
menurut pendapat ini, hukum pidana internasional itu hanya berkenaan dengan kejahatan
yang dimensi internasionalnya cukup jelas tampak. Jika hanya kecil saja, maka itu bukan
merupakan ruang lingkup dan substansi dari hukum pidana internasional, melainkan hukum
pidana nasional. Untuk mudahnya, pendapat ini dinamakan saja, “hukum pidana
un pp
internasional dalam pengertian yang kurang luas”.
Yang ketiga adalah adanya kemungkinan sejumlah sarjana hukum yang berpendapat
bahwa ruang lingkup dan substansi dari hukum pidana internasional seperti pandangan kedua
di atas masih luas. Menurut pendapat yang ketiga ini, substansi dan ruang lingkup hukum

s
pidana internasional itu tidaklah seluas seperti pendapat yang kedua, tetapi masih lebih
sempit lagi, yaitu, hanya mencakup kejahatan-kejahatan yang benar-benar internasional.
k
ha
Tegasnya, hanya berkenaan dengan kejahatan yang diatur di dalam hukum internasional,
yakni dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional dan pelakunya diadili atau dimintakan
pertanggungjawaban pada tataran internasional melalui suatu badan peradilan internasional.
l
Jika suatu kejahatan sudah tunduk pada hukum nasional suatu negara dan terhadap si
pelakunya dapat diterapkan hukum pidana nasional meskipun kejahatan itu mengandung
dimensi internasional, maka kejahatan itu tidak termasuk dalam ruang lingkup dan substansi
hukum pidana internasional melainkan hukum pidana nasional. Pendapat atau pandangan ini
sebaiknya diberi nama “hukum pidana internasional dalam pengertian yang sempit”.
Pendapat pertama tampak terlalu luas, sehingga menjadi tidak realistis, sebab setiap
kejahatan yang ada dimensi internasionalnya meskipun kecil sekali, sudah digolongkan
dalam ruang lingkup hukum pidana internasional. Sebaliknya dengan pendapat yang ketiga,
yang demikian sempitnya, yang hanya mengakuinya sebagai hukum pidana internasional jika
suatu kejahatan itu diatur dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional dan badan
peradilan yang mengadili si pelakunyapun hanya badan peradilan pidana internasional yang
dibentuk secara khusus dengan yurisdiksinya yang juga khusus.

Page | 161
Yang paling realistis adalah pendapat atau pandangan yang kedua, yang disamping
mencakup kejahatan yang benar-benar internasional, juga kejahatan yang mengandung
dimensi-dimensi internasional tetapi dibatasi pada dimensi-dimensi internasional yang jelas-
jelas tampak, dalam pengertian, bahwa kandungan dimensi internasionalnya relatif besar.
Masalah selanjutnya adalah, bagaimana mengidentifikasi secara jelas supaya suatu
kejahatan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional?
Dengan berpedoman pada definisi hukum pidana internasional dan pelbagai variasi
kejahatan internasional seperti telah dikemukakan di atas, di bawah ini akan dilakukan
pengidentifikasian suatu kejahatan termasuk di dalam ruang lingkup dan substansi dari
hukum pidana internasional, yakni:
un pp
a. Apakah di dalam suatu kejahatan itu terkait yurisdiksi lebih dari satu negara ataukan
tidak? Jika hanya terkait yurisdiksi dari satu negara saja, sedangkan negara lainnya sama
sekali tidak ada kaitannya, maka kejahatan itu sepenuhnya termasuk dalam ruang lingkup
dan substansi dari hukum pidana nasional negara yang bersangkutan. Sebaliknya, jika

s
terkait yurisdiksi dari sekurang-kurangnya dua negara, maka kejahatan itu sudah dapat
dikategorikan sebagai kejahatan internasional dan termasuk di dalam ruang lingkup dan
k
ha
subtansi hukum pidana internasional.
Yurisdiksi lebih dari satu negara ini meliputi;
Pertama, dapat berwujud adanya yurisdiksi kriminal dari dua negara atau lebih
l
atas kejahatan tersebut. Dalam hal ini, negara-negara tersebut dapat menerapkan hukum
pidana nasionalnya masing-masing atas kejahatan itu karena masing-masing memiliki
yurisdiksi kriminal berdasarkan hukum internasional. Misalnya, kejahatan pemalsuan
mata uang dollar Amerika Serikat yang dilakukan oleh seorang warganegara Philipina di
wilayah Indonesia, dapat tunduk pada yurisdiksi kriminal berdasarkan ases teritorial,
karena tempat terjadinya di wilayah Indonesia. Yurisdiksi kriminal berdasarkan
kewarganegaraan aktif (active nationality principle) dari Philipina sebab pelakunya
berkewarganegaraan Philipina yang melakukan kejahatannya di Indonesia. Disamping itu
juga tunduk pada yurisdiksi kriminal berdasarkan prinsip kewarganegaraan pasif (passive
nationality principle) ataupun atas prinsip perlindungan (protective principle) dari
Amerika Serikat karena Amerika Serikatlah yang menjadi korbannya.

Page | 162
Kedua, keterkaitan dua atau lebih negara ini bisa jadi karena si pelaku melarikan
diri ke wilayah negara lain, atau alat-alat bukti yang berkaitan dengan kejahatannya ada
di wilayah lebih dari dua negara. Negara yang memiliki yurisdiksi kriminal dalam hal ini
adalah negara tempat dilakukannya kejahatannya ada di wilayah lebih dari dua negara.
Negara yang memiliki yurisdiksi kriminal dalam hal ini adalah negara tempat
dilakukannya kejahatan sedangkan negara-negara lainnya itu sama sekali tidak memiliki
yurisdiksi kriminal. Hanya karena kebetulan si pelakunya melarikan diri atau yang alat-
alat buktinya ada di dalam wilayah negara–negara itu, sehingga menjadi tersangkut
kepentingannya. Negara yang memiliki yurisdiksi kriminal berhadapan dengan negara-
negara tersebut, sehingga kejahatan yang semula sebenarnya sepenuhnya nasional,
un pp
bergeser menjadi internasional, karena tersangkutnya kepentingan dari dua atau lebih
negara.
b. Apakah suatu kejahatan itu diatur di dalam suatu perjanjian internasional? Jika ada
pengaturannya di dalam suatu perjanjian internasional, baik pengaturannya yang secara

s
tegas dan khusus di dalam sebuah perjanjian internasional maupun pengaturannya yang
secara tersisipkan di dalam sebuah perjanjian internasional tentang suatu masalah
k
ha
tertentu, maka kejahatan itu merupakan kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup
hukum pidana internasional. Walaupun pada akhirnya, penjabarannya di dalam hukum
nasional masing-masing negara yang sudah meratifikasinya, sepenuhnya tergantung
l
kepada negara-negara itu.
c. Apakah ada badan peradilan internasional yang mandiri yang mengadili si pelakunya?
Memang ada jenis-jenis kejahatan tertentu yang pelakunya dapat diadili di hadapan badan
peradilan kriminal internasional yang mandiri, seperti kejahatan perang, kejahatan hak
asasi manusia yang berat, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, dan
kejahatan agresi. Badan-badan peradilan kriminal internasional itu antara lain,
Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946, Mahkamah
Kejahatan Perang dalam Kasus Ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, dan Mahkamah
Pidana Internasional 1998. Kejahatan-kejahatan tersebut di atas, sifat dan cirinya sendiri
sudah merupakan kejahatan yang termasuk di dalam ruang lingkup dan substansi dari
hukum pidana internasional.

Page | 163
C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran 11 (sebelas) dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas
dalam beberapa pertanyaan:

a. Bagaimana bila suatu kejahatan terjadi di luar wilayah negara tetapi didalamnya
terkandung kepentingan nasional suatu negara atau lebih terkait dengan kejahatan itu?
b. Berikan contoh kasus dimana kepentingan Indonesia terkait pada kejahatan yang terjadi
di luar wilayah negara RI?
c. Apa yang harus dilakukan RI bila warga negara Indonesia yang terlibat dalam kejahatan
un pp
yang disebut pada pertanyaan di atas?

D. Daftar Bacaan
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006

s
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (ed. Revisi), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
k
ha
l

Page | 164
BAB 13
BAHAN PEMBELAJARAN 12

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-12 adalah mahasiswa
dapat menjelaskan dan mengidentifikasi sumber hukum dalam arti formal yang berasal
dari hukum internasional. Sasaran pembelajaran berupa kuliah interaktif, pembuatan
makalah kelompok dan diskusikan makalah.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah pertisipasi kelas, kerjasama tim dalam membuat makalah serta penguasaan
un pp
individual. Pembelajaran ini dilakukan selama 100 menit dengan media modul sebagai
pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian

s
Sumber-Sumber Hukum Dalam Arti Formal dari Hukum Pidana Internasional
k
ha
Pendahuluan
Dari uraian dalam bab 12 sebenarnya secara tersimpul sudah tampak sumber-
l
sumber hukum dalam arti formal dari hukum pidana internasional itu. Yang dimaksudkan
dalam pengertian sumber hukum dalam arti formal dalam hal ini adalah bentuk atau
wujud konkrit dari hukum pidana internasional tersebut yang tampak dalam kehidupan
sehari-hari. Tegasnya, dalam bentuk atau wujud apakah hukum pidana internasional itu
menampakkan dirinya sebagai hukum positif atau hukum yang sedang berlaku dalam
masyarakat. Bagaimanakah bentuk atau wujud senyatanya? Dalam wujud atau bentuk
apakah hukum pidana internasional ini menampakkan diri? Dalam bentuk dan wujud apa
hukum pidana internasional itu dapat dilihat?
Secara umum, sumber hukum dalam arti formal dari hukum pada umumnya yang
dibahas dalam materi kuliah Pengantar Ilmu Hukum ataupun mata kuliah yang
merupakan pengantar hukum positif suatu negara seperti Pengantar Hukum Indonesia
adalah; peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurispudensi, pendapat para

Page | 165
ahli, dan traktat/perjanjian internasional. Di samping itu, bidang-bidang hukum tertentu,
seperti hukum internasional, juga mengenal sumber hukum dalam arti formal, seperti
perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional, keputusan atau resolusi
organisasi internasional, putusan badan-badan penyelesaian sengketa internasional,
pendapat para sarjana, dan prinsip-prinsip atau asas-asas hukum umum. Sedangkan
peraturan perundang-undangan tidak merupakan sumber sumber hukum internasional
karena merupakan produk hukum dari masing-masing negara yang diberlakukan dalam
batas-batas wilayahnya, kecuali dalam hal-hal tertentu juga diberlakukan ke luar batas-
batas wilayahnya.
Tentang hukum pidana internasional, apa saja yang merupakan sumber hukumnya
un pp
dalam arti formal? Apakah sama seperti sumber hukum dalam arti formal dari hukum
pada umumnya ataukah memiliki sumber hukum dalam arti formal tersendiri yang lebih
spesifik? Mengingat hukum pidana internasional itu merupkan perpaduan antara 2
disiplin ilmu hukum, yakni hukum internasional mengenai kejahatan dan hukum pidana

s
nasional negara-nengara yang mengandung dimensi internasional, tentu saja sumber-
sumber hukum dalam arti formal dari kedua bidang hukum ini, juga merupakan sumber
k
ha
hukum dalam arti formal dari hukum pidana internasional itu sendiri. Tegasnya, sumber
hukum dalam arti formal dari hukum pidana internasional meliputi sumber hukumnya
yang berasal dari sumber hukum internasional pada umumnya dan sumber hukumnya
l
yang berasal dari sumber hukum (pidana) nasional negara-negara. Di bawah ini akan
diuraikan masing-masing sumber hukum dalam arti formalnya yang berasal dari hukum
internasional dan yang berasal dari hukum (pidana) nasional negara-negara.

Sumber hukum dalam arti formal dari hukum pidana internasional yang berasal
dari hukum internasional
Sumber dalam arti formal dari hukum pidana internasional yang berasal dari
hukum internasional adalah kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip hukum internasional yang
berkenaan dengan kejahatan. Seperti halnya dengan sumber hukum internasional dalam
arti formal pada umumnya, secara lebih spesifik, sumber hukum pidana internasional
dalam arti formal yang berkenaan dengan suatu kejahatan adalah:
1. Perjanjian internasional

Page | 166
2. Hukum kebiasaan internasional
3. Keputusan badan-badan penyelesaian sengketa internasional
4. Pendapat para ahli
5. Keputusan atau resolusi organisasi internasional
6. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional

1. Perjanjian Internasional
Perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan sumber dari hukum pidana
internasional dalam arti formal sebagaimana telah ditegaskan di atas, dibatasi pada
perjanjian-perjanjian internasional yang substansinya baik secara langsung ataupun tidak
un pp
langsung berkenaan dengan masalah kejahatan. Sekarang ini, sudah cukup banyak
terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang berkenaan dengan kejahatan. Bahkan
pada masa yang akan datang, diperkirakan akan semakin banyak muncul perjanjian-
perjanjian internasional semacam ini. Hal ini terutama disebabkan karena semakin

s
banyaknya muncul pelbagai kejahatan yang menyangkut kepentingan lebih dari satu
negara, baik dalam skala bilateral, regional, multilateral, bahkan global.
k
ha
Perjanjian-perjanjian internasional tersebut ada yang merupakan perjanjian internasional
multiteral, yang ditinjau dari segi substansinya, dapat dibedakan menjadi 2 kelompok,
yakni:
l
a. Perjanjian internasional multiteral umum yang substansinya secara langsung dan
tegas mengatur tentang suatu kejahatan
Perjanjian internasional semacam ini, baik nama atau judulnya maupun
substansinya sendiri, secara tegas atau eksplisitberkenaan dengan suatu kejahatan
tertentu. Beberapa contoh dari perjanjian internasional semacam ini adalah:
- Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
(Genocide Convention) of December 8, 1948;
- Convention on Offences and Certain Other Acts Comitted on Board Aircraft
(Tokyo Convention) of September 14, 1963;
- Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (the Hague
Convention) of December 16, 1970;

Page | 167
- Convention for the Suppression of Unlawful Act Against the Safety of Civil
Aviation (Montreal Convention) of September 23, 1971;
- Convention in th Prevention an Punishment of Crimes Against International
Protected Persons, includin Diplomatic Agents, 1973;
- International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of
Apartheld of November 13, 1973;
- Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment of Punishment of December 10, 1984;
- Dan masih banyak konvensi-konvensi lainnya baik yang dibuat pada masa
sebelum maupun sesudah Perang Dunia II hingga kini.
un pp
b. Perjanjian-perjanjian internasional multiteral umum yang substansinya berkenaan
dengan suatu masalah tertentu tetapi di dalamnya terdapat suatu ketentuan
tentang kejahatan atau tindak pidana tertentu

s
Berbeda dengan perjanjian-perjanjian internasional pada butir a seperti di atas,
perjanjian internasional dalam kelompok ini mengatur suatu pokok masalah tertentu yang
k
ha
bukan masalah kejahatan. Akan tetapi, di dalam pokok masalah itu bisa terjadi suatu
peristiwa hukum yang tergolong sebagai kejahatan. Jadi, pokok masalah yang diatur di
dalam perjanjian itu sendiri mengandung aspek kriminal yaitu berupa peristiwa
l
kejahatan. Oleh karena itu, di dalam salah satu ketentuannya diatur tentang kejahatan
tersebut. Misalnya dalam masalah kelautan dengan segala aspeknya. Di samping itu di
laut pun bisa terjadi suatu kejahatan. Demikian juga tentang narkotika dan zat-zat adiktif
yang sejenisnya yang dalam batas-batas tertentu memang bermanfaat bagi umat manusia
terutama dalam bidang kesehatam dan kedokteran, tetapi dapat disalahgunakan, misalnya
untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya.
Beberapa contoh dari perjanjian internasional semacam ini serta pasalnya yang
mengatur tentang kejahatan atau tindak pidana lainnya, adalah:
1. Convention of the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas) 1958 yang
merupakan salah satu dari 4 (empat) Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, di
dalam Pasal 11 diatur tentang peristiwa tabrakan kapal ataupun insiden
pelayaran lainnya yang terjadi di laut lepas (the event of collision or of any

Page | 168
accident on navigation concernign a ship on the high seas) dan Pasal 13
tentang kapal yang digunakan dalam pengangkutan perdagangan budak-budak
(the transport of slaves), dan pasal 14-21 tentang perompakan kapal (piracy)
di laut lepas;
2. The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS/Konvensi
Hukum Laut PBB) 1982, dalam Pasal 97 diatur tentang yurisdiksi kriminal
negara-negara dalam kasus tabrakan kapal atau insiden-insiden lainnya yang
terjadi di laut lepas (penal jurisdiction in matters of collision or any other
incident of navigation), pasal 99 tentang larangan pengangkutan budak-budak
(prohibition of the transport of slaves), Pasal 100-107 tentang perompakan
un pp kapal di laut lepas (piracy), Pasal 108 tentang lalu lintas ilegal narkotika atau
bahan psikotropika (illicit traffic on narcotic drugs or psychotropic
substances), dan pasal 109 tentang penyiaran ilegal yang dilakukan dari laut
lepas (unauthorized broadcasting from the high seas);

s
3. Dalam perjanjian internasional bilateral antara Indonesia dan Australia tentang
celah Timor yang nama lengkapnya adalah: “Treaty between the Republic of
k
ha Indonesia and Australia on the Zone of Cooperation in an Area between the
Indonesian Province of East Timor and Northern Australia” (Perjanjian antara
Republik Indonesia dan Australia mengenai Kerjasama di Daerah antara
l
Provinsi Timor-Timur dan Australia Utara) 1989, terdapat ketentuan yang
mengatur tentang terjadinya peristiwa pidana yang terjadi di kawasan tempat
kerjasama antara kedua negara tersebut, dan
4. Lain-lain.

c. Perjanjian-perjanjian internasional multilateral regional yakni perjanjian-


perjanjian internasional yang secara langsung dan tegas mengatur tentang
kejahatan yang ruang lingkup berlakunya hanya di dalam suatu kawasan tertentu
saja
Perjanjian internasional semacam ini dibuat berdasarkan prakarsa dan
kesepakatan dari negara-negara dalam satu kawasan yang bersangkutan maupun dalam

Page | 169
kerangka organisasi internasional regional di kawasan itu. Beberapa contoh perjanjian
internasional multilateral regional seperti ini adalah:
- European Convention on Extradition, 1957;
- Convention to Prevent and Punish the Acts of Terorism Taking the Form of
Crimes Against Persons and Related Extortion that are of International
Significance (Inter-American Convention on Terrorism), 1971;
- European Convention on the Suppression of Terrorism (European Terrorism
Convention), 1977;
- Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture, 1985;

un pp
d. Perjanjian-perjanjian internasional multirateral regional yang berkenaan dengan
suatu masalah pokok tertentu tetapi di dalamnya terdapat suatu ketentuan tentang
kejahatan
Perjanjian internasional semacam ini mengatur suatu masalah pokok tertentu yang

s
bukan kejahatan, tetapi didalamnya terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang suatu
kejahatan yang ada kaitannya dengan masalah pokok yang diatur di dalamnya.
k
ha Beberapa contoh dari perjanjian internasional semacam ini adalah:
-
-
European Cultural Convention (Inter-European Cultural Convention), 1954;
European Convention on the Protection of the Archaeological Heritage, 1969;
l
- Convention on the Protection of the Archaelogical, Historical, and Artistic
Heritage of the American Nations (Inter-American Convention/Convention of
San Salvador), 1976;
- Dan lain-lain.

e. Perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun trilateral atau multilateral


terbatas, yang substansinya berkenaan dengan suatu kerjasama dalam
pemberantasan kejahatan
Perjanjian-perjanjian internasional semacam ini dibuat berdasarkan kesepakatan
negara-negara yang bersangkutan, karena ada kepentingan untuk mengaturnya dalam
bentuk perjanjian semacam ini. Perjanjian internasional semacam ini tidak terkait dengan
kawasan (region). Negara-negara tersebut, bisa saja berada dalam satu kawasan maupun

Page | 170
pada kawasan yang berbeda-beda. Bahwa antara negara-negara itu ada yang terletak
dalam satu kawasan, itu hanyalah soal kebetulan saja. Beberapa contoj dari perjanjian
semacam ini adalah:
Perjanjian-perjanjian internasional mengenai ekstradisi, seperti:
- Perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Ekstradisi, 1974; antara
Indonesia dan Filipina, 1976; antara Indonesia dan Thailang, 1978;
- Perjanjian antara Amerika Serikat dan Jepang tentang Ekstradisi, 1978;
- Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong
mengenai Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement
between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of
un pp Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders), 1997.
Perjanjian-perjanjian tentang kerjasama dalam masalah-masalah kriminal.
Beberapa contohnya adalah:
- European Convention on Mutual Assistance on Criminal Matters, 1959;

s
- European Union Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters
between the Members Statues of the European Union, 2000;
k
ha - Scheme Reating to Mutual Assistance in Criminal Matters within the
Commonwealth, 1986;
Perjanjian-perjanjian tentang pemindahan pelaksanaan hukuman bagi narapidana
l
ataupun perjanjian-perjanjian yang substansinya berkaitan dengan masalah-masalah
hukum acara pidana, misalnya:
- Convention on the Transfer of Sentenced Persons, 1983;
- United Nations Model Agreement on the Transfer of Foreign Prisoners, 1985;
- United Nations Model Treaty on the Transfer of Supervision of Offenders
Conditionally Sentenced or Conditionally Released, 1990.

2. Hukum Kebiasaan Internasional


Kaidah-kaidah hukum pidana internasional yang berbentuk hukum kebiasaan
internasional, sebagi contohnya antara lain adalah, kaidah-kaidah hukum mengenai
ekstradisi itu sendiri. Seperti sudah diketahui, bahwa pranata hukum yang bernama
ekstradisi sudah diakui berlaku secara umum, baik asas-asas hukumnya maupun kaidah-

Page | 171
kaidah hukum postitifnya. Meskipun kini sudah terdapat banyak perjanjian internasional
tentang ekstradisi baik yang bilateral maupun regional, pada dasarnya substansinya
maupun asas-asas hukum yang melandasinya adalah sama. Negara-negara yang tidak
terikat dalam suatu perjanjian internasional tentang ekstradisi jika sedang menghadapi
kasus ekstradisi, dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dalam
bidang ekstradisi tersebut terhadap kasus yang sedang dihadapinya.
Contoh lainnya adalah yurisdiksi kriminal negara-negara berdasarkan hukum
internasional. Sudah tidak terbantah lagi, bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi
kriminal berdasarkan hukum internasional, seperti yurisdiksi teritorial, ekstrateritorial,
kewarganegaraan katif maupun pasif, perlindungan, maupun universal. Hal ini sudah
un pp
umum diakui dan dimiliki oleh setiap negara di dunia. Negara-negara baru merdeka,
tanpa perlu membuat peraturan perundang-undangan nasional tentang yurisdiksi kriminal
maupun tanpa perlu menyatakan secara tegas tentang kesediaannya terikat pada
yurisdiksi kriminal ini, dipandang sudah dengan sendirinya memilikinya. Begitu dia ada

s
dan berdiri sebagai negara, dia sudah dengan sendirinya memiliki yurisdiksi kriminal
berdasarkan hukum internasional. Negara-nengara baru seperti ini, misalnya Timor Leste,
k
ha
negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti Lithuania, Latvia, Estonia, Kazakstan,
Kirgistan, Uzbekistan, Ukraina, Belorusia, negara-negara pecahan Yugoslavia, seperti
Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro.
l
3. Putusan badan badan penyelesaian sengketa internasional
Badan-badan penyelesaian sengketa internasional seperti Mahkamah Internasional
Permanen, Mahkamah Internasional, Mahkamah Militer Internasional di Nurunberg
1945, Mahkamah Militer Internasional di Tokyo 1946, Mahkamah Kejahatan
Internasional dalam Kasus Bekas Yugoslavia 1993, Mahkamah Kejahatan Perang dalam
Kasus Rwanda 1994, Mahkamah Pidana Internasional 1998, juga mempunyai peranan
penting dalam pembentukan dan perkembangan hukum pidana internasional. Peranan ini
ditujukan antara lain dalam mengadili dan memutuskan kasus-kasus kejahatan
internasional yang diajukan ke hadapannya. Putusan ini merupakan salah satu sumber
hukum (pidana) internasional karena mengandung nilai-nilai hukum yang cukup penting,
khususnya dalam hukum pidana internasional.

Page | 172
Beberapa contoh putusan dari badan peradilan internasional tersebut adalah:
- Putusan Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) di
Nuremberg (Jerman) 1945 yang mengadili pelaku kejahatan perang dalam
Perang Dunia II;
- Putusan Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (International
Military Tribunal to the Far East) di Tokyo (Jepang) 1946 yang mengadili
pelaku kejahatan perang dalam Perang Dunia II di kawasan Timur Jauh
(sekarang: Asia Timur dan Pasifik):
- Putusan Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex. Yugoslavia (the
International Tribunal for the Former Yogoslavia) 1993 yang berkedudukan di
un pp -
Den Haag (Belanda) yang mengadili pelaku kejahatan perang dalam perang di
ex-Yugoslavia;
Putusan Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus Rwanda (the International
Tribunal for Rwanda) 1994 yang berkedudukan di Arusha (Tanzania) yang

s
mengadili pelaku kejahatan perang di Rwanda.
k
ha
4. Pendapat para ahli
Pendapat para ahli terutama para ahli hukum tentang suatu kasus kejahatan atau
tindak pidana (internasional) dituangkan dalam karya-karya imliahnya baik berupa buku,
l
artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah, atau dikemukakan dalam
pertemuan-pertemuan ilmiah, ataupun komentar-komentar melaui media massa, atau
dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam kedudukannya sebagai seorang saksi ahli.
Namun pendapat-pendapat tersebut tidak dengan sendirinya menjadi kaidah hukum
pidana internasional positif. Pendapat-pendapat itu, sepanjang memenuhi rasa keadilan,
kepatutan, ataupun kelayakan secara umum, dapat mengkristal menjadi perilaku
masyarakat luas karena sesuai dengan rasa keadilan, kepatutan, kelayakan menurut
pandangan masyarakat (internasional). Dalam prakteknya, bisa saja pendapat seorang ahli
mengenai suatu kasus kejahatan tertentu diadopsi oleh hakim/pengadilan yang
memeriksanya dan dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan putusannya. Jadi pendapat
ahli itu merupakan sumber hukum pidana internasional dalam arti formal bagi hakim
dalam rangka pengambilan putusan atas kasus yang diperiksa oleh sesama sarjana,

Page | 173
misalnya, ketika merumuskan suatu rancangan naskah konvensi internasional. Pendapat-
pendapat yang dikutip itu ada yang (tidak semuanya) mengkristal menjadi hukum positif
yang berlaku umum. Dengan kata lain, pendapat para sarjan ini menjadi sumber hukum
pidana internasional maupun sumber hukum pada umumnya dalam arti formal melalui
mekanisme yang tidak berlangsung.

5. Keputusan atau resolusi organisasi internasional


Saah satu produk dari suatu organisasi internasional adalah keputusan-keputusan
atau resolusi-resolusi atau apapun namanya baik yang berlaku internal, yakni di dalam
lingkungan organisasi internasional itu sendiri maupun berlaku eksternalm yakni
un pp
terhadap negara-negara anggotanya. Keputusan atau resolusi tersebut mengikat sebagai
hukum terhadap negara-negara anggotanya. Bahkan banyak juga keputusan atau apapun
namanya itu yang merupakan perumusan kaidah hukum kebiasaan internasional ataupun
merupakan pengembangan progresif dari hukum internasional.

s
Demikian banyaknya terdapat organisasi internasional di dunia ini, dan tentu
demikian banyak juga keputusan atau resolusi yang dihasilkan oleh organisasi
k
ha
internasional tersebut. Dalam bidang hukum pidana internasional, beberapa organisasi
internasional baik yang universal, regional, ataupun khusus, mengeluarkan keputusan
atau resolusi yang substansinya berkenaan dengan masalah kejahatan. Beberapa
l
organisasi internasional yang cukup banyak atau sering mengeluarkan keputusan atau
resolusi atau apapun namanya yang berkenaan dengan kejahatan atau tindak pidana,
adalah:
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
- Resolusi MU PBB Nomor: 45/121 tanggal 14 Desember 1990 dengan topik:
The Eight United Nations Congress on the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders;
- Resolusi MU PBB Nomor: 45/122 tanggal 14 Desember 1990 dengan topik:
Criminal Justice Education;
- Resolusi MU PBB Nomor: 46/123 tanggal 14 Desember 1990 dengan topik:
International Cooperation in Combating Organized Crime;

Page | 174
- Resolusi MU PBB Nomor: 47135 tanggal 18 Desember 1992 dengan topik:
Declaration of the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic,
Religious and Lingusitic Minorities;
- Resolusi MU PBB Nomor: 40/34 tanggal 29 November 1985 dengan topik:
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power; dan
- Lain-lain.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa:
- Resolusi DK PBB Nomor 823 Tahun 1993 tentang Statua Mahkamah
Kejahatan Perang dalam kasus ex-Yugoslavia (Statue of the International
un pp -
Tribunal for the Former Yugoslavia 1993);
Resolusi DK PBB Nomor 955 Tahukn 1994 tentang Statua Mahkamah
Kejahatan Perang dalam kasus Rwanda (Statue of the International Tribunal
for Rwanda 1994);

s
Masyarakat eropa (European Community) sekarang Uni Eropa (European
union):
k
ha - EC-Directive Nomor 91/308 on the Prevention of the Use of the Financial
System for the Purpose of Money Laundering 1991;
Dewan Eropa (Concil of Europe)
l
- Recommendation No. R. (80)8 Concerning the Practical Application of the
European Convention in Mutual Assistance in Criminal Matters 1980.

6. Prinsip-prinsip hukum umum


Prinsip-prinsip hukum umum yang merupakan sumber dalam arti formal hukum
pidana internasional, di samping prinsip-prinsip hukum pada umumnya seperti prinsip
keadilan, kepatutan, kelayakan, dan lain-lain, juga prinsip-prinsip hukum internasional
pada umumnya, seperti prinsip kedaulatan, kemerdekaan, dan kesamaan derajat negara-
negara, prinsip non-intervensi, prinsip pacta sun servanda, prinsip penyelesaian sengketa
secara damai, prinsip tidak menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah
internasional; juga prinsip-prinsip hukum dari hukum pidana internasional itu sendiri.

Page | 175
Beberapa prinsip hukum dari hukum pidana internasional, antara lain adalah: Nuremberg
Priciples 1950 yakni prinsip-prinsip hukum pidana internasional yang substansinya
sebenarnya disepakati dalam suatu konferensi internasional antara negara-negara
pemenang perang dalam Perang Dunia II yang diselenggarakan di London dan terkenal
dengan nama Treaty of London 8 Agustus 1945 yang merupakan Piagam dari Mahkamah
Militer Internasional di Nuremberg 1945 dan di Tokyo 1946.
-prinsip prinsip hukum internasional yang berkenaan dengan yurisdiksi kriminal
negara-negara, yakni, prinsip atau asas teritorial, asas ekstrateritorial, asas nasionalitas
(aktif dan pasif), asas perlindungan, asas universal, atau yang jika ditinjau dari segi
hukum nasional negara-negara, lebih dikenal dengan asas-asas berlakunya hukum pidana
un pp
nasional negara-negara, yaitu asas teritorial, asas ekstra-teritorial, aas kewarganegaraan
aktif, asas kewarganegaraan pasif, asas perlindungan, dan asas universal.
Prinsip-prinsip hukum dari hukum pidana nasional negara-negara di dunia yang
sudah umum berlaku dan dianut oleh hampir semua negara, dan karena itu juga berlaku

s
secara internasional sebagai prinsip-prinsip dari hukum pidana internasional, seperti: asas
non-retroaktive, asas praduga tak bersalah, asas ne/non bis in idem; asas tidak ada
k
ha
hukuman tanpa kesalahan, asas luwarsa, dan lain-lain.

C. Penutup
l
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran 12 dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam
bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan:
a. Apa saja yang merupakan sumber hukum formal hukum pidana internasional?
b. Dapatkah hukum pidana nasional negara-negara menjadi sumber hukum
pidana internasional?

Page | 176
D. Daftar Bacaan
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung 2006.
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (edisi revisi), Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2002.
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional (edisi revisi), Refika
Aditama, Jakarta, 2000.

un pp
s
k
ha
l

Page | 177
BAB 14
BAHAN PEMBELAJARAN 13

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-13 adalah mahasiswa
dapat menjelaskan asas-asas yang berasal dari hukum internasional maupun asas-asas
yang berasal dari hukum nasional negara-negara serta asas-asas yang merupakan
perpaduan antara keduanya. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan
menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning melalui kuliah interaktif,
makalah kelompok serta diskusi kelompok.
un pp Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik
adalah partisipasi kelas, kerja sama tim/kelompok serta penguasaan individual.
Pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar
yang diberikan kepada peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
Asas-asas dari Hukum Pidana Internasional

1. Pendahuluan
l
Berdasarkan ruang lingkup dari substansi hukum pidana internasional seperti
telah diuraikan dalam bab 13 dan sumber-sumber hukum pidana internasional, sekarang
akan dibahas tentang asas-asas hukum yang menjadi dasar atau landasan dari kaidah-
kaidah hukum pidana internasional. Oleh karena hukum pidana internasional itu sendiri
bersumber dari dua bidang hukum, yaitu hukum internasional mengenai masalah-masalah
pidana dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional,
maka asas-asas hukumnya pun bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum
tersebut. Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan dibahas satu persatu di bawah ini dan
selanjutnya akan dibahas hubungan antara keduanya serta bagaimana perwujudannya
dalam bentuk kaidah-kaidah hukum pidana internasional dan akhirnya bagaimana
seharusnya negara-negara menyikapinya.

Page | 178
2. Asas-asas Hukum Pidana Internasional yang Berasal Dari Hukum Internasional
Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama yang juga menjadi asas-
asas dari hukum pidana internasional adakah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas yang paling utama ini dapat
diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui di dalam teori maupun
praktek hukum dan hubungan internasional. Di bawah ini akan diuraikan secara singkat
masing-masing asas tersebut, yakni:

2.1. Asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara-negara


Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang
un pp
besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama
antara satu dengan lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Asas inilah yang
selanjutnya menurunkan asas-asas lainnya dari hukum internasional, seperti:
- Asas non intervensi,

s
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat
negara-negara,
k
ha -
-
-
Asas hidup berdampingan secara damai,
Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
Asas bahwa suatu negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang
l
mencerminkan kedaulatan di dalam wilayah negara lainnya,
- Dan lain-lain.
Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum
internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap
subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan negara-negara pada khususnya
yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana
internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi suatu
negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang sedang
berada di wilayah negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana nasionalnya,
kecuali negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan semacam ini jelas
bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara-negara.

Page | 179
Tindakan Israel menculik Adolf Eichmann dari Argentina untuk selanjutnya di bawa
keluar wilayah Argentina dan kemudian dibawa dan diadili di Israel, adalah salah satu
contoh pelanggaran atas asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara-
negara. Demikian juga tindakan Amerika Serikat yang mengambil secara paksa atas
Noriega pada tahun 1988 yang pada waktu itu masih sebagai Presiden Panama yang sah,
untuk selanjutnya dibawa ke Amerika Serikat untuk diadili, juga merupakan pelanggaran
atas asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara-negara.

2.2. Asas non-intervensi


Menurut asas ini, suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam
un pp
negeri negara lain, kecuali negara itu sendiri menyetujuinya dengan tegas. Jika suatu
negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan
ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain
tanpa persetujuan negara-negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas

s
non-intervensi. Tindakan mengintervensi ini tentu merugikan negara yang diintervensi,
kecuali jika negara yang diintervensi itu menyetujuinya. Tindakan Israel mengintervensi
k
ha
Libanon pada tahun 1984, atau tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu
Irak pada tahun 2004, adalah sekadar beberapa contoh intervensi. Dalam kaitannya
dengan hukum pidana internasional, suatu negara tidak boleh mengintervensi negara lain,
l
misalnya, dengan mengirimkan polisi atau tentara untuk menangkap si pelaku kejahatan
dan kemudian membawanya ke wilayahnya, yang dijadikan sebagai tempat melakukan
kejahatan atau tindak pidana, baik dalam merencanakan dan atau melakukannya yang
ditujukan baik terhadap warganegara dari negara tetangganya itu maupun terhadap negara
itu sendiri.

2.3. Asas hidup berdampingan secara damai


Asas ini menekankan kepada negara-negara dalam menjalankan kehidupannya
baik internaol maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secara
damai, saling menghormati dan menghargai antara satu dengan lainnya. Apabila ada
masalah atau sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara, supaya diselesaikan
secara damai. Wujud dari asas hidup berdampingan secara damai ini dapat dilihat pada

Page | 180
pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional,
maupun bilaterla adalah dengan merumuskan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur
masalah tertentu dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional.
Perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang hukum pidana internasional
dengan bentuk dan macam apapun juga, adalah merupakan perwujudan dari asas hidup
berdampingan secara damai. Demikian pula dalam kasus-kasus kejahatan internasional
yang melibatkan dua atau lebih negara, seyogyanya diselesaikan secara damai, bukan
dengan cara kekerasan. Atas dasar asas ini pula, negara-negara berkewajiban untuk
menyelesaikan sengketanya secara damai, misalnya, dengan melalui jalur perundingan
baik langsung maupun melalui peranan pihak ketiga, atau dengan mengajukannya ke
un pp
hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti peradilan atau arbiterase.

2.4. Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia


Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun

s
untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi
bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh negara-
k
ha
negara atau seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya itu tidak boleh
melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara
membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana, seperti
l
undang-undang anti-terorisme, undang-undang tentang pemberantasan tindak pemalsuan
mata uang, dan lain-lainnya. Tidak boleh ada ketentuannya yang bertentangan dengan
hak asasi manusia. Misalnya, ketentuan yang menyatakan, bahwa terhadap orang yang
diduga terlibat di dalam peristiwa tersebut, dapat dikenakan penahanan tanpa suatu batas
waktu tertentu, akan ditahan untuk selamanya.
Demikian juga, siapapun pihak lainnya yang terkait dalam suatu peristiwa pidana,
apakah dia itu si pelaku, korban, saksi, tidak boleh diperlakukan secara sewenang-
wenang, apalagi perlakuan di luar batas-batas kemanusiaan. Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman Degrading Treatment or Punsihment, 10 Desember 1984 dan
mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan nama Konvensi
Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana

Page | 181
internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan
hak asasi manusia.

3. Asas-Asas Hukum Pidana Internasional yang Berasal Dari Hukum Pidana Nasional
Negara-Negara
Asas-asas hukum pidana nasional negara-negara pada dasarnya tidak berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional negara-
negara adalah asas legalitas (asas nullum delictrum) dan asas culpabilitas. Dari kedua
asas ini diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum
pidana nasional yang diturunkan dari asas legalitas (asas nullum delictrum) adalah: asas
un pp
non-retoactive, sedangkan asas hukum pidana nasional yang diturunkan dari asas
culpabilitas adalah, asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah
(presumption of innocent), dan asas ne bis in idem. Sepanjang menyangkut kejahatan
internasional, asas-asas hukum pidana nasional inipun juga harus dihormati oleh negara-

s
negara yang terkait di dalamnya. Asas-asas inipun juga sudah diakui sebagai hak-hak
asasi manusia baik yang berupa instrumen-instrumen hukum internasional maupun
k
ha
nasional tentang hak asasi manusia. Di bawah ini akan dibahas secara singkat asas-asas
hukum pidana nasional tersebut.
l
3.1. Asas Legalitas
Asas legalitas yang dikenal juga dengan asas nullum delictum noela poena sine
lege …… sebagi salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional negara-negara,
pada hakekatnya menyatakan, bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas
perbuatan itu tidak atau belum diatur di dalam suatu undang-undang pidana nasional.
Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika
terbukti bersalah, ataupun dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah,
haruslah didasarkan pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum
perbuatan itu dilakukan. Jika harus ada undang-undang pidananya lebih dahulu yang
mengatur perbuatan itu, kemudian jika ada perbuatan yang dilakukan dan diduga
memenuhi kualifikasi yang ditentukan di dalamnya, barulah terhadapnya dapat
diberlakukan undang-undang tersebut. Selama suatu perbuatan belum atau tidak

Page | 182
dinyatakan sebagai tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan
pidana nasional suatu negara, maka selama itu pula negara itu tidak dapat meminta
pertanggung jawaban pidana terhadap si pelakunya.

3.2. Asas non-retroactive


Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan
untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatatn sebagai kejahatan atau tindak pidana
di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu
barulah negara itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata
lain, peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada atau berlaku lebih
un pp
dahulu, barulah kemudian diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sesudah
berlakunya peraturan perundang-undangan pidana tersebut. Dalam arti negatif, peraturan
perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada atau berlaku lebih dahulu, barulah
kemudian diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi sesudah berlakunya

s
peraturan perundang-undangan pidana tersebut tidak dapat diterapkan terhadap
perbuatan-perbuatan yang sama terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-
k
ha
undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-
undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang lebih dikenal dengan asas non-
retroactive.
l
3.3. Asas Culpabilitas
Asas ini yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional
negara-negara yang menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan
pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan
yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya, jika kesalahannya tidak
berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan dari tuntudan pidana. Jika dirumuskan
dengan kalimat yang lebih singkat dan konkrit, bahwa seseorang tidak boleh dipidana
tanpa kesalahan (tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini selanjutnya menurunkan asas
lainnya, seperti, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Page | 183
3.4. Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak
pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan
berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang
pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau
tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak
bersalah, dengan segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Dia tidak boleh
diperlakukan secara sewenang-wenang, secara kejam, secara tidak manusiawi, ataupun
diperlakukan di luar batas-batas perikemanusiaan. Bahkan andaikata kesalahan yang
didakwa terhadapnya sudah terbuktipun dan sudah dijatuhi putusan oleh pengadilan
un pp
dengan kekuatan mengikta yang pasti, dia juga harus tetap diperlakukan selayaknya
seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.

3.5. Asas ne/non bis in idem

s
Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman
yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang
k
ha
atau suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan padanya, tidak boleh diadili atau
dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana
tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili diadili atau dijatuhi
l
putusan lebih dari satu kali atas suatu perbuatan yang dilakukannya. Adapun dasar
pertimbangannya mengapa seseorang tidak boleh diadili atau dijatuhi putusan lebih dari
satu kali atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang dilakukannya, disebabkan karena
dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastian hukum.
Perlu ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa
putusan penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan atas dirinya. Jika dia
sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai dilaksanakan, maka
sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada umumnya, dengan segala hak dan
kewajibannya. Demikian juga jika dia dijatuhi putusan pembebasan atau pelepasan dari
tuntutan hukum, maka dia tidak boleh diadili dan diputuskan lagi atas perbuatannya
tersebut untuk kedua kalinya atau lebih, apalagi jika putusan pengadilan yang belakangan
itu berupa penghukuman, sehingga sangat merugikan baginya.

Page | 184
Sebagai contoh, si A pada suatu hari telah membunuh si B. Atas perbuatannya itu
si A diadili dan diputuskan bersalah atas kejahatan atau tindak pidana pembunuhan yang
dilakukannya terhadap si B, dengan hukuman pidana selama 10 (sepuluh) tahun dan
putusan itu sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Si A pun telah menjalani
hukuman itu di lembaga permasyarakatan dan setelah menjalani hukuman itu, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dia dikembalikan ke masyarakat
sebagai anggota masyarakat biasa. Terhadap perbuatannya ini, si A tidak boleh lagi
diadili dan diputuskan oleh pengadilan atas kejahatan atau tindak pidana pembunuhan
terhadap si B tersebut. Dalam hal ini berlakulah asas ne/non bis in idem. Akan tetapi si A
pada suatu waktu setelah kembali sebagai anggota masyarakat biasa, dia melakukan
un pp
pembunuhan terhadap si C, maka terhadap perbuatannya ini, dia diadili dan diputuskan
oleh pengadilan atas perbuatannya membunuh si C. Dalam hal ini tidak berlaku asas
ne/non bis in idem, sebab perbuatan si A membunuh si B dan si C(dalam kurun waktu
yang berbeda) merupakan dua perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri.

s
Pada tataran internasional, asas ne/non bis in idem inipun harus dihormati oleh
negara-negara di dunia. Jika misalnya seorang pelaku kejahatan sudah diadili dan
k
ha
diputuskan atas perbuatannya itu dengan kekuatan mengikat yang pasti, bahkan putusan
itupun sudah dieksekusi, dan dia kemudian kembali sebagai anggota masyarakat biasa.
Jika pada suatu waktu dia berpergian ke suatu negara yang juga memiliki yurisdiksi
l
kriminal atas perbuatannya itu, maka negara tersebut tidak boleh mengadili dan atau
memutuskan perbuatannya itu untuk kedua kalinya. Negara yang belakangan ini wajib
menghormati putusan badan peradilan negara yang duluan. Jika negara yang belakangan
itu ternyata tetap mengadilinya, maka tindakan ini merupakan pelanggaran atas asas
ne/non bis in idem.
Kalau masalah ini diteruskan dalam bentuk persoalan praktis, timbul pertanyaan,
darimanakah suatu negara atau badan peradilannya dapat mengetahui, bahwa atas suatu
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sudah dijatuhi
putusan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan negara
lain? Dalam hal ini, orang yang bersangkutan sendirilah yang harus membuktikan, bahwa
memang benar dia sudah diadili dan dijatuhi putusan dengan kekuatan mengikat pasti
oleh badan peradilan negara lain tersebut. Jika memang sudah terbukti dan dapat diterima

Page | 185
oleh badan peradilan dari negara yang mengadilinya, maka badan peradilan dari negara
itu wajib untuk menghormatinya.
Kewajiban suatu negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati
negara lain (termasuk badan peradilan dan putusannya), berdasarkan pada asas
kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat negara-negara, seperti telah
dikemukakan di atas. Tegasnya, setiap negara wajib menghormati segala apa yang
dilakukan oleh suatu negara di dalam batas-batas wilayahnya, termasuk dalam mengadili
dan memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu,
proses pemeriksaan suatu perkara di hadapan badan peradilan nasionalnya serta putusan
sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya dengan tidak
un pp
menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat antara kedua negara.

4. Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Yang Benar-Benar Mandiri


Di dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional pernah dimunculkan

s
asas-asas hukum pidana internasional yang tampaknya benar-benar mandiri secara
internasional. Asas-asas tersebut dihasilkan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam
k
ha
sebuah konvensi internasional. Asas-asas tersebut dihasilkan melalui kesepakatan yang
dituangkan dalam sebuah konvensi internasional, yakni Perjanjian London 8 Agustus
1945. Perjanjian London inilah yang merupakan Piagam atau Charter dari Mahkamah
l
Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nuremberg 1945 dan Tokyo
1946 maupun yang menjiwai putusannya dalam kasus-kasus pengadilan atas penjahat
perang pada waktu Perang Dunia II. Ada tujuh prinsip atau asas dari hukum pidana
internasional yang ditetapkan di dalam Perjanjian London tersebut, yang jika dipandang
pada kurun waktu tersebut, dapat dipandang sebagai langkah progresif, mengingat
sebelumnya individu atau orang perorangan tidak pernah dimintakan
pertanggungjawaban secara internasional atas kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum
internasional (crimes under international law) yang dilakukannya.
Prinsip-prinsip atau asas-asas hukum dalam Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg ini kemudian diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission) dalam sidangnya yang kedua pada tahun 1950, dan kemudian disampaikan
kepada Majelis Umum PBB sebagai bagian dari laporannya. Hanya saja setelah diterima

Page | 186
oleh Majelis Umum PBB, tidak ada tindak lanjut yang jelas dari Majelis Umum PBB atas
Laporan Komisi ini. Meskipun demikian, prinsip-prinsip atau asas-asas ini kini telah
diakui sebagai prinsip atau asas hukum pidana internasional yang berlaku umum.
Hal ini terbukti dari, kutipan-kutipan para sarjana atas asas-asas ini di dalam
karya-karyanya yang pada dasarnya memperkuat keberadaan dari asas-asas tersebut.
Selain daripada itu, semenjak berlakunya Perjanjian London 1945 ini yang ditindaklanjuti
dengan pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg 1945 dan Tokyo
1946 serta putusan-putusan yang telah dikeluarkannya, kedudukan individu sebagai
subyek hukum internasional secara de jure dan de facto dikukuhkan sebab dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara langsung pada tataran internasional melalui
un pp
badan peradilan pidana internasional (Pengadilan Nurenberg dan Tokyo). Selanjutnya
diperkuat lagi dengan pembentukan badan-badan pengadilan internasional ad hoc, seperti
Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994.
Lebih-lebih lagi setelah berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International

s
Criminal Court) berdasarkan Stauta Roma 1998. Semua badan peradilan pidana
internasional ini, merupakan mata rantai yang berkesinambungan yang pada dasarnya
k
ha
berlandaskan pada prinsip-prinsip atau asas-asas yang ditetapkan di dalam Perjanjian
London 1945.
Adapun ketujuh prinsip atau asas hukum pidana internasional sebagaimana
l
terdapat di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 yang
kemudian diformulasikan oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 1950, adalah:

Principle I:

Any person who commits an act which constitutes a crime under international law is
responsible therefor and liable to punishment. (Setiap orang yang melakukan suatu
perbuatan yang merupakan suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional harus
bertanggungjawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman).

Principle II:

The fact that internal law does not impose a penalty for an act which constitutes a crime
under international law does not relieve the person who commited the act from

Page | 187
responsibility under internastional law. (Suatu kenyataan bahwa seseorang yang
melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum
internasional bertindak sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang
bertanggungjawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggungjawaban
berdasarkan hukum internasional).

Principle III:

The fact that a person who comitted an act which constitutes a crime under internastional
law acted as a Head of State or responsible Government official does not relieve him
from responsibility under international law. (Suatu kenyataan bahwa seseorang yang
un pp
melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan
internasional bertindak sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang
bertanggungjawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggungjawaban
berdasarkan hukum internasional).
hukum

s
Principle IV:
k
ha
The fact that a person acted persuant to order of his Government or of a superior does
not relieve him from responsibility under internastional law, provided a moral choice
was in fact possible to him. (Suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu
l
perbuatan untuk menjalankan perintah dari Pemerintahnya atau dari kekuasaan yang
lebih tinggi, tidaklah membebaskannya dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum
internasional, sepanjang masih ada perimbangan moral yang dapat dipilihnya).

Principle V:

Any person changed with a crime under international law has the right to a fair trial on
the facts and law. (Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan berdasarkan
hukum internasional mempunyai hak atas peradilan yang fair atau tidak memihak atas
fakta-fakta dan hukumnya).

Principle VI

The crimes hereinafter set out are punishable as crimes under international law:

Page | 188
(a). crimes against peace

(i) Planning, preparation, initiation or waging of a war aggresion or a war in


violation of international treaties, aggreements or assurances;

(ii) Partisipation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of


the acts mentioned under (i);

(b) War crimes:

Violations of the laws or customs of war which include, but are not limited to,
murder, ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of
un pp civilian population of or in occupied territory; murder or ill-treatment of prisoners of
war, of persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private property,
wanton destruction of cities, towns, or villages, or devastation not justified by
military necessity.

s
(c) Crimes against humanity
k
ha Murder, extermination, enslavement, deportation and other inhuman acts done
against any civilian population, or persecution on political, racial or religious
grounds, when such acts are done or such persecutions are carried on in execution of
l
or in connexion with any crime against peace or any war crimes.

(Kejahatan-kejahatan di bawah ini yang dapat dihukum sebagai kejahatan yang berdasarkan
hukum internasional, adalah:

(a) Kejahatan terhadap perdamaian:


(i) Perencanaan, persiapan, berinisiatif, atau mengobarkan perang agresi atau
perang yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian, persetujuan-
persetujuan, atau penjaminan-penjaminan internasional;
(ii) Berpartisipasi dalam perencanaan bersama atau berkonspirasi dalam
perbuatan-perbuatan yang ditentukan dalam butir (i);

Page | 189
(b) Kejahatan perang:
Pelanggaran-pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan dalam perang,
yang termasuk di dalamnya, -tetapi tidak terbatas pada pembunuhan, perlakuan
sewenang-wenang atau pendeportasian terhadap tenaga kerja budak atau untuk
tujuan lain dari penduduk sipil dari atau di wilayah pendudukan, pembunuhan atau
perlakukan sewenang-wenang terhadap tawanan perang, orang-orang yang sedang
berlayar di laut, membunuh sandera, pengrusakan atas properti milik pribadi
ataupun umum, perusakan brutal atas kota-kota besar maupun kecil, desa-desa, atau
tindakan pengrusakan yang tidak dibenarkan berdasarkan kebutuhan militer);
(c) Kejahatan terhadap kemanusiaan:
un pp Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pendeportasian, dan perbuatan-perbuatan
lain yang tidak berperikemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau
penyiksaan atas dasar alasan politik, ras, atau agama, apabila perbuatan atau
penyiksaan itu dilakukan dalam hubungan dengan suatu kejahatan terhadap

s
perdamaian atau suatu kejahatan perang.
Principle VII:
k
ha
Complicity in the commision of a crime against peace, a war crime, or a crime against
humanity as set forth in Principle VI is a crime under international law (Keterlibatan
dalam suatu perbuatan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau
l
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditentukan dalam Prinsip VI adalah
merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional).

Prinsip I
Di dalam Prinsip I secara tegas dinyatakan beberapa butir penting yang perlu ditelaah
secara lebih mendalam, yaitu:
a) Orang atau individu sebagai pelaku kejahatan;
b) Kejahatan yang dilakukannya tergolong sebagai kejahatan berdasarkan hukum
internasional;
c) Individu si pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional itu dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya;

Page | 190
d) Sebagai individu yang harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya, maka
individu tersebut dapat dikenakan hukuman.
Mengenai orang atau individu, yang dimaksudkan adalah setiap orang atau individu,
tanpa memandang apapun kedudukannya. Dia bisa saja seorang kepala negara, kepala
pemerintahan, ataupun pejabat tinggi sipil maupun militer, bahkan orang-perorangan
biasapun juga termasuk. Semuanya bisa saja melakukan kejahatan baik secara sendiri-sendiri,
secara bersama-sama, ataupun yang satu sebagai pelaku utama, yang lain sebagai turut serta,
ataupun sebagai pembantu saja.
Sedangkan kejahatan yang dilakukannya, secara tegas adalah kejahatan-kejahatan yang
tergolong sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional. Apa yang dimaksud dengan
un pp
kejahatan berdasarkan hukum internasional, secara lebih rinci ditegaskan di dalam Prinsip
VI, yakni: kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Jika kejahatan yang dilakukannya tidak tergolong ke dalam kejahatan
berdasarkan hukum internasional, tentulah berada di luar Prinsip I dan VI ini dan oleh karena

s
itu sepenuhnya tunduk pada hukum (pidana) nasional.
Selanjutnya, sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, dia dapat
k
ha
dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukannya itu.
Pertanyaannya adalah, pertanggungjawaban apa yang dimaksudkan ini? Oleh karena
perbuatan itu merupakan suatu kejahatan, tentu saja tanggungjawabnya adalah
l
tanggungjawab pidana (kriminal). Prosedur pertanggungjawaban pidana tersebut adalah
dengan mengajukannya sebagai terdakwa di hadapan badan peradilan pidana. Jika atas
perbuatannya (kejahatan berdasarkan hukum internasional) itu sudah diatur di dalam hukum
pidana nasional negara-negara, maka negara yang memang memiliki yurisdiksi atas
perbuatannya itu dan juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerapkan hukum
pidana nasionalnya, dapat mengadili sendiri berdasarkan hukum pidana nasionalnya.
Sebaliknya, jika atas perbuatannya itu negara-negara tidak mengaturnya sebagai kejahatan di
dalam hukum pidana nasionalnya, maka terhadap orang atau individu si pelaku kejahatan
dapat dimintakan pertanggungjawaban di hadapan badan peradilan nasional.
Akhirnya setelah orang atau individu yang bersangkutan dimintakan pertanggungjawaban
di hadapan badan peradilan (nasional ataupun internasional) melalui proses peradilan yang
adil, fair, dan tidak memihak, maka sebagai konsekuensinya jika dia terbukti bersalah, dia

Page | 191
dijatuhi hukuman. Sebaliknya jika dia terbukti tidak bersalah, maka dia akan dibebaskan dari
tuntutan hukum. Dimana dia harus menjalani hukumannya? Jika yang mengadili adalah
badan peradilan pidana nasional suatu negara, maka di negara itulah dia menjalani
hukumannya. Sebaliknya jika dia diadili di hadapan badan peradilan pidana internasional,
maka badan peradilan itulah yang menentukan di negara mana dia harus menjalani
hukumannya.
Akan tetapi uraian di atas ini, masih membutuhkan klarifikasi, khususnya berkenaan
dengan hukum dan badan peradilan tersebut. Di atas sudah dikemukakan, bahwa
kemungkinan dia bisa diadili di hadapan badan peradilan nasional suatu negara dengan
menerapkan hukum pidana nasionalnya, atau di hadapan badan peradilan pidana
un pp
internasional. Walaupun secara teoritis tidaklah salah jika si pelaku diadili di hadapan badan
peradilan nasional dari negara yang memiliki yurisdiksi dan negara itu memiliki kemauan
dan kemampuan untuk melakukannya. Akan tetapi lahirnya ketujuh prinsip ini (Prinsip I-VII)
tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi selama dan sesudah Perang Dunia II (1939-

s
1945), yaitu pihak Poros (Jerman, Italia dan Jepang) sebagai pihak yang kalah dan negaranya
berada dalam keadaan tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerapkan
k
ha
yurisdiksi nasionalnya. Oleh karena itu, maka yang dimaksudkan
pertanggungjawaban dan penghukuman tersebut adalah pertanggungjawaban berdasarkan
dengan

hukum internasional di hadapan badan peradilan pidana internasional. Dalam kenyataannya,


l
memang prinsip ini (disamping keenam prinsip yang lainnya) selanjutnya dijadikan sebagai
landasan hukum dari pembentukan badan peradilan pidana internasional di Nurenberg 1945
dan di Tokyo 1946.
Disamping itu, ada satu hal penting yang perlu dikemukakan, yakni, di dalam Prinsip I ini
secara tersimpul diakui bahwa individu atau orang-perorangan sebagai subyek hukum
internasional. Jelasnya, sang individu dapat dituduh sebagai pelaku kejahatan berdasarkan
hukum internasional, dan karena itu dapat dimintakan pertanggung-jawaban berdasarkan
hukum (pidana) internasional di hadapan badan peradilan internasional. Sebelumnya,
terutama sebelum Perang Dunia II, individu sama sekali belum diakui sebagai subyek hukum
internasional.

Page | 192
Prinsip II

Substansi dari Prinsip II ini menekankan pada usahan untuk menghindari impunitas
(impunity) bagi si pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional. Ada kemungkinan
seseorang pelaku kejahatan, termasuk pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional,
menghindar dari tuntutan hukum dari negara yang memiliki yurisdiksi dengan jalan
meninggalkan wilayah negara tersebut dan bersembunyi di wilayah negara lain. Atau,
negara yang memiliki yurisdiksi ternyata tidak mengatur perbuatan yang merupakan
kejahatan berdasarkan hukum internasional itu di dalam hukum pidana nasionalnya (ingat
asas-asas dalam hukum pidana nasional: asas nullum delictum atau asas legalitas ataupun
asas tidak berlaku surut). Atau jika negara itu sudah mengaturnya di dalam hukum pidana
un pp
nasionalnya, tetapi negara itu tidak mampu dan atau tidak mau mengadili orang yang
bersangkutan, bahkan melindunginya.

Prinsip II ini menegaskan, jika hukum nasional tidak mengancam dengan sanksi pidana

s
(hukuman pidana) atas kejahatan berdasarkan hukum internasional, hal ini tidaklah
membebaskan orang yang bersangkutan dari tanggung-jawabnya atas perbuatannya.
k
ha
Pertanggungjawaban yang harus dihadapinya adalah pertanggungjawaban menurut hukum
internasional. Jadi, jika dia tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan hukum
pidana nasional, tidaklah berarti dia boleh bebas dari pertanggungjawaban atas kejahatan
l
yang dilakukannya itu. Pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional melalui
badan peradilan pidana internasional merupakan benteng terakhir yang lainnya yang masih
harus dilewatinya. Prinsip II ini mempertegas lagi kedudukan individu atau orang-
perorangan sebagai subyek hukum internasional.

Prinsip III

Prinsip III ini berkenaan dengan kejahatan berdasarkan hukum internasional yang
dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai kepala negara atau pejabat
pemerintah yang bertanggung-jawab. Memang menurut hukum internasional ataupun
hukum tata negara, seorang kepala negara atau kepala pemerintah ataupun pejabat
pemerintah sesuai dengan ruang lingkup tugas dan wewenangnya, bertindak untuk dan atas
nama negaranya baik ke dalam maupun ke luar. Oleh karena itu, terutama dalam hubungan

Page | 193
ke luar, negaranya melalui pemerintahnyalah yang harus bertanggungjawab atas perbuatan
kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat negara yang bersangkutan. Jika
negaranya sudah mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu yang mungkin merugikan
salah satu pihak atau lebih (negara, organisasi internasional, ataupun subyek-subyek hukum
internasional lainnya), maka sudah selesailah masalahnya. Bahwa nantinya kepala negara,
kepala pemerintah, ataupun pejabat yang berwenang lainnya dikenakan tindakan ataupun
sanksi berdasarkan hukum nasional negaranya sebagai konsekuensi atas perbuatannya itu,
hal ini sepenuhnya merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

Berbeda halnya jika perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat
negara yang berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana berdasarkan
un pp
hukum internasional (crimes under international law). Sepanjang menyangkut perbuatan
yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional, kepala negara, kepala
pemerintah, ataupun pejabat-pejabat negara yang lainnya tidak bisa menghindarkan diri

s
dari tanggung jawab berdasarkan hukum internasional dengan berlindung di balik
jabatannya maupun negaranya. Dia tetap dapat dimintakan pertanggung-jawaban menurut
k
hukum internasional di hadapan badan peradilan pidana internasional terhadap kejahatan
ha
yang berdasarkan hukum internasional yang telah dilakukannya. Hal ini berdasarkan
alasan, karena dia sebagai individulah yang melakukan kejahatan tersebut (meskipun
l
dengan mengatas-namakan jabatan ataupun negaranya) dan oleh karena itu, maka dia
sebagai individulah yang harus dimintakan pertanggungjawaban atas kejahatan yang telah
dilakukannya itu. Hanya dengan mengadili dan menghukum si pelakunya jika memang
terbukti bersalah , maka kesadaran hukum dan rasa keadilan umat manusia akan bisa
dipulihkan.

Prinsip IV

Dalam situasi perang atau konflik bersenjata, boleh jadi seseorang melakukan suatu
perbuatan (termasuk melakukan suatu kejahatan) disebabkan karena ada perintah dari
atasannya yang tidak dapat ditolaknya. Misalnya, seorang prajurit berpangkat kopral
diperintah oleh atasannya seorang perwira berpangkat kapten, maka si kopral tidak boleh
menolak perintah atasannya, sebab kalau dia sampai berani menolaknya, maka dia dapat
dikenakan sanksi menurut disiplin militer. Demikian juga halnya dalam dunia birokrasi

Page | 194
pemerintahan sipil, masalah seperti inipun bisa terjadi, meskipun tidak sekeras disiplin
militer.

Prinsip IV ini berkenaan dengan perintah atasan terhadap bawahannya untuk


melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional. Menurut Prinsip ini, seorang
pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, tidak boleh berlindung atau berdalih
untuk menghindarkan diri dari pertanggung-jaawaban atas perbuatannya, dengan alasan
bahwa dia melakukan perbuatan tersebut disebabkan karena ada perintah dari
pemerintahnya sendiri atau dari kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya daripada
dirinya sendiri. Namun, dia boleh saja menolak melakukan perintah atasannya itu. Akan
tetapi, penolakan itu harus disertai dengan suatu syarat, yakni, sepanjang berdasarkan atas
un pp
pilihan pertimbangan moral, memungkinkan baginya untuk melakukan penolakan tersebut.

Dalam prakteknya, memang bawahan yang diperintah, terutama berkenaan dengan


perbuatan melakukan kejahatan, apalagi kejahatan berdasarkan hukum internasional,

s
berada dalam posisi dilematis. Jika dia tidak melakukan perintah atasannya (perintah
adalah perintah dan harus dilaksanakan), maka dia akan terkena sanksi yang tentu saja
k
ha
tidak dikehendakinya, sebab akan merugikan dirinya sendiri bahkan anggota keluarganya.
Sebaliknya jika dia melakukannya, dia memang selamat dari sanksi, bahkan mungkin
dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi, meskipun mungkin saja perintah itu
l
bertentangan dengan hati nuraninya. Jadi dia lebih mengutamakan perintah ketimbang hati
nuraninya. Dalam posisi seperti ini, memang dia harus melakukan pilihan. Apakah akan
melaksanakan perintah atasan dengan mengorbankan hati nurani atau pertimbangan moral,
ataukah menolaknya disebabkan karena perintah itu bertentangan dengan hati nurani dan
pertimbangan moral.

Akan tetapi berdasarkan Prinsip IV, apapun alasannya untuk menghindari


tanggungjawab atas perbuatannya, alasan itu tidak dapat digunakan. Artinya, dia harus
mempertanggung-jawabkan kejahatan berdasarkan hukum internasional yang telah
dilakukannya, meskipun apa yang dia lakukan itu adalah karena perintah dari pemerintah
atau dari atasannya. Jika dia ingin menghindarkan diri dari tanggung-jawab tersebut,
sebagai manusia seyogyanya dia mengutamakan suara hati nurani dan nilai-nilai moral

Page | 195
yang luhur, dengan menolak perintah tersebut, meskipun pada sisi lain ada konsekuensi
yang berat yang harus dipikulnya.

Prinsip V

Prinsip V ini merupakan pengakuan atas hak-hak dari individu atau orang yang
didakwa sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional. Hak-haknya tersebut
adalah hak atas peradilan yang fair baik atas masalah hukum maupun fakta-fakta di dalam
proses persidangannya. Sebenarnya masih ada lagi hak-hak dari seorang terdakwa,
termasuk hak-hak seorang terdakwa sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum
internasional, seperti hak untuk dianggap tidak bersalah (presumption of innocent), hak
un pp
untuk tidak dikenakan hukum secara berlaku surut, dan lain-lain yang semuanya sudah
umum berlaku di salam proses peradilan pidana negara-negara demokrasi di dunia ini.

Meskipun Prinsip V ini hanya menegaskan hak seorang terdakwa atas peradilan yang

s
fair saja, tidaklah berarti bahwa hak-hak yang lainnya tidak boleh dinikmati oleh orang
yang bersangkutan. Dia, sebagaimana seorang terdakwa pada umumnya, juga berhak atas
k
hak-hak yang lainnya itu. Jadi, substansi dari Prinsip V ini harus ditafsirkan secara lebih
ha
luas ketimbang apa yang secara tegas dinyatakan di dalam formulasinya.

Prinsip VI
l
Prinsip VI berkenaan dengan rincian lebih lanjut tentang apa saja yang merupakan
kejahatan berdasarkan hukum internasional (crimes under internastional law), yaitu:

a) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace);


b) Kejahatan perang (war crimes);
c) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

yang masing-masing dirinci secara lebih limitatif, seperti dapat dibaca di atas ini.
Kejahatan-kejahatan inilah yang dituduhkan terhadap siapapun yang didakwakan
melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional oleh Mahkamah Militer
Internasional di Nurenberg 1945 dan Tokyo 1946. Demikian juga yang diadopsi dan
diterapkan oleh Mahkamah Kejahatan perang dalam kasus ex-Yugoslavia 1993 dan

Page | 196
Rwanda 1994. Terakhir, kejahatan ini pula yang diadopsi oleh Mahkamah Pidana
Internasional sebagaimana dapat dijumpai di dalam pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998.

Prinsip VII

Prinsip ini memperluas subyek-subyek hukumnya, yakni, tidak saja merek yang
melakukannya, tetapi mereka juga yang terlibat didalamnya. Persoalannya, sejauhmana
seseorang dapat dipandang terlibat atau melibatkan diri di dalam suatu kejahatan
berdasarkan hukum internasional (kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau
kejahatan terhadap kemanusiaan)? Apakah seseorang yang hanya melihat dan membiarkan
saja terjadinya kejahatan, tetapi sikapnya itu dilakukannya disebabkan karena dia tidak
un pp
memiliki kemampuan untuk mencegahnya, dapat dipandang sebagai terlibat atau
melibatkan diri di dalam kejahatan itu? Ataukah keterlibatannya itu terbatas pada
perbuatannya yang secara aktif turut serta dalam melakukan kejahatan? Dalam
prakteknya, tidaklah mudah untuk menentukannya. Oleh karena itu, masalah ini harus

s
ditentukan secara kasus demi kasus.
k
ha
5. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA NASIONAL
INSTRUMEN-INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HAK
NEGARA-NEGARA DAN
l
ASASI MANUSIA
Asas-asas hukum pidana nasional yang sudah dipaparkan secara singkat diatas,
hampir keseluruhannya dapat dijumpai di dalam instrumen-instrumen hukum
internasional tentang hak asasi manusia, seperti di dalam Universal Declaration of
Human Rights 1948; Internastional Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights
1966; International Convenant on Civil and Political Rights 1966; maupun di dalam
instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia yang regional,
seperti dalam European Convention on Human Rights and Fundamental Freedom 1950;
American Convention on Human Rights 1969; dan African Charter on Human and
People’s Rights 1981.
Disamping itu dapat pula dikatakan, bahwa hampir sebagian besar negara-negara di
dunia ini menganut dan menerapkan asas-asas hukum pidana tersebut di dalam hukum

Page | 197
pidana nasionalnya dengan isi dan jiwa yang sama. Ditinjau dari segi pembentukan
hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang sudah lazim
dikemukakan oleh para sarjana di dalam kepusatakaan hukum internasional tentang
kriteria suatu kaidah hukum dapat digolongkan sebagai hukum kebiasaan internasional
ternyata kriteria itu telah terpenuhi. Kriteria tersebut adalah adanya perilaku atau tindakan
yang sama dari negara-negara yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus
dan konsisten (facto), dan perilaku itu dirasakan, diterima, dan ditaati sebagai hukum
(animo) yang antara lain terbukti dari dicantumkannya di dalam peraturan perundang-
undangan nasionalnya masing-masing.
Jika instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia tersebut di
un pp
atas, khususnya ketentuan-ketentuannya yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana
nasional tersebut dihubungkan dengan keberadaan asas-asas hukum pidana nasional
negara-negara itu sebagai hukum kebiasaan internasional, maka akan tampak
hubungannya yang simbiosis mutualistis atau saling menguatkan antara satu dengan yang

s
lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa asas-asas hukum pidana nasional itu
sendiri adalah juga merupakan asas-asas dari hukum pidana internasional yang bersumber
k
ha
dari hukum (kebiasaan) internasional. Pertanyaan yang timbul adalah, bagaimana harus
dipandang kedua asas dari hukum pidana internasional itu, yaitu, asas-asas hukum pidana
internasional yang berasal dari hukum internasional dan asas-asas hukum pidana
l
internasional yang berasal dari hukum (pidana) nasional negara-negara?

6. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL MERUPAKAN PERPADUAN


ANTARA ASAS-ASAS HUKUM INTERNASIONAL DAN ASAS-ASAS HUKUM
PIDANA NASIONAL NEGARA-NEGARA

Asas-asas hukum internasional seperti dipaparkan di atas, menjadi landasan bagi


negara-negara di dalam melakukan hubungan-hubungan internasional, misalnya, dalam
membuat perjanjian-perjanjian internasional pada umumnya, dalam membuat perjanjian-
perjanjian internasional mengenai kejahatan internasional pada khususnya. Dengan
berlandaskan pada asas-asas ini, diharapkan perjanjian-perjanjian internasional tersebut
tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Bahkan secara idealnya, dapat saling

Page | 198
mengisi atau saling melengkapi yang semuanya terjalin di dalam suatu sistem yang
terintegrasi sehingga tampaklah keterpaduannya.

Demikian juga dalam praktek penerapan hukum pidana nasionalnya masing-


masing, terutama dalam menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional,
negara-negara berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas hukum internasional
tersebut. Dengan demikian dapat diharapkan, bahwa suatu negara tidak akan melanggar
asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat, tidak akan melakukan tindakan-
tindakan yang merupakan campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, ataupun
tindakan-tindakan tidak bersahabat yang lainnya, yang bertentangan dengan asas hidup
berdampingan secara damai dan lain sebagainya.
un pp
Berdasarkan asas-asas hukum pidana nasional masing-masing negara yang pada
dasarnya masing-masing hukum pidana nasional negara-negara itu menganut asas yang
sama dan juga ada kewajiban saling menghormati terhadap asas-asas hukum pidana

s
nasional negara-negara tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa asas-asas hukum pidana
nasional negara-negara tersebut sudah merupakan hukum kebiasaan internasional.
k
ha
Secara internasional, berkenaan dengan penerimaan dan penerapan asas-asas hukum
pidana nasional itu, juga dapat dipandang bahwa negara-negara telah bersikap dan
berperilaku sama. Ini merupakan suatu fakta yang nyata. Sikap dan perilaku yang sama
l
inilah yang dapat dijumpai di dalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional
negara-negara, yang juga dapat dipandang sebagai adanya kesadaran dan perasaan
hukum yang sama di kalangan rakyat sebagian besar bahkan semua negara di dunia ini.

Hal ini berarti, bahwa adanya kesadaran atau perasaan hukum yang sama yang
tampak berupa perilaku atau tindakan yang secara sama dan terus menerus, berulang-
ulang, secara luas dan konsisten, menunjukkan bahwa perilaku dan tindakan itu sudah
merupakan hukum kebiasaan internasional. Tegasnya, asas-asas hukum pidana nasional
negara seperti dipaparkan diatas, dari sudut pandang hukum internasional, dapat
dikategorikan sebagai hukum kebiasaan internasional.

Penerapan asas-asas hukum pidana internasional ini dalam kasus-kasus kejahatan


atau tindak pidana internasional , haruslah tetap memperhatikan asas-asas hukum

Page | 199
internasional pada umumnya. Demikian juga penerapan asas-asas hukum internasional
pada umumnya, tetap harus menghormati asas-asas hukum pidana nasional negara-
negara. Keduanya harus saling menunjang, bukan saling bertentangan ataupun saling
meniadakan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, asas-asas dari hukum pidana
internasional yang berasal dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut (hukum
internasional dan hukum nasional negara-negara), tidak dapat dipandang secara terpisah
ataupun berdiri sendiri, melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang
terintegrasi atau terpadu, yakni, sebagai asas-asas dari hukum pidana internasional.

un pp
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-13 dilakukan dalam bentuk tanya jawab di akhir perkuliahan yang dikemas
dalam beberapa pertanyaan:

s
a. Asas-asas hukum pidana internasional mana saja yang berasal dari hukum
internasional?
k
ha
b. Asas-asas hukum pidana internasional mana saja yang berasal dari hukum nasional?
c. Asas-asas hukum pidana internasional yang mana yang benar-benar mandiri?
l
D. Daftar Bacaan
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006.
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2011
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dam Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung,
2003

Page | 200
BAB 15
BAHAN PEMBELAJARAN 14

A. Sasaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-14 (empat belas) adalah
mahasiswa dapat mengenali dan menjelaskan subyek-subyek hukum pidana internasional.
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran
berupa discovery learning dalam bentuk kuliah interaktif dan small group discussion.
un pp
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
partisipasi kelas, kerjasama tim dan penguasaan individual. Pembelajaran ini dilaksanakan
selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan kepada anak didik/
peserta didik.

s
B. Uraian
k
ha
SUBYEK_SUBYEK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
l
1. PENDAHULUAN
Siapakah yang menjadi subyek hukum pidana internasional? Dengan rumusan lain,
siapakah yang menjadi pelaku di dalam suatu kejahatan internasional? Sebenarnya dari
uraian di atas, subyeknya sudah tanmpak jelas, yakni individu atau orang-perorangan.
Apakah hanya individu saja? Tidak adakah subyek hukum pidana internasional yang
lainnya? Apakah negara, organisasi internasional baik yang antar pemerintah (IGO) maupun
non pemerintah (NGO), dan subyek-subyek hukum internasional yang lainnya juga dapat
melakukan kejahatan internasional? Mungkinkah individu itu bekerjasama dengan negara
atau dengan subyek hukum internasional yang lainnya dalam melakukan suatu kejahatan
internasional? Misalnya, negara menjadi penyandang dana bagi seorang atau sekelompok
individu untuk melakukan suatu kejahatan di negara lain, suatu negara sengaja melatih
individu atau kelompok individu didalam wilayahnya dalam rangka melakukan suatu

Page | 201
kejahatan di negara lain, atau pasukan militer dari suatu negara atas perintah dari atasannya
atau perintah dari pejabat negara yang tertinggi melakukan kejahatan di wilayah negara
lain,baik yang ditujukan kepada negara itu sendiri atau ditujukan terhadap individu atau
kelompok individu yang sedang berada di wilayah negara lain?
Di dalam khasanah hukum pidana internasional sendiri memang belum ada kesatuan
pandangan dari ahli hukum pidana internasional tentang siapa sajakah yang merupakan
subjek hukumnya atau pelaku dari kejahatan internasional. Tanpa bermaksud untuk memihak
kepada salah satu pandangan tersebut, dibawah ini akan diuraikan secara umum tentang
sejauhmanakah subyek –subyek hukum yang secara umum sudah dikenal dalam ilmu hukum
pada umumnya, dapat dipandang menjadi subyek hukum pidana internasional. Sudah tentu
un pp
kriterianya adalah, sejauhmana subyek hukum itu dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana. Tegasnya, apakah subyek hukum yang dimaksudkan itu dapat melakukan
kejahatan atau tindak pidana internasional sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana atas perbuatannya itu?

s
2. INDIVIDU
k
ha
Individu atau orang-perorangan sudah pasti dan tidak diragukan lagi, adalah subyek
hukum, bahkan merupakan subyek hukum yang utama dari hukum pidana internasional.
Sebagian besar kejahatan baik dalam skala kecil maupun besar, pelakunya adalah individu,
l
apakah individu itu dalam melakukannya orang-perorangan tanpa terkait dengan siapapun
juga, atau dilakukan secara bekerjasama sesuai dengan perannya masing-masing, maupun
secara berkelompok, bahkan terorganisasikan , ataupundalam rangka melaksanakan tugas
negaranya. Namun dengan cara bagaimanapun kejahatan itu dilakukan,
pertanggungjawabannya tetap terletak pada individu itu masing-masing sesuai dengan
peranan yang dimainkan di dalamnya. Misalnya, dalam kejahatan narkoba yang pelakunya
merupakan suatu jaringan terorganisasikan yang anggotanya terdiri dari individu-individu
dari pelbagai negara, jika berhasil ditangkap oleh negara-negara, mereka akan diadili sebagai
individu di negara-negara itu berdasarkan hukum pidana nasionalnya masing-masing.
Organisasinya sendiri hanyalah sebagai sarana dalam melakukan kejahatan. Siapapun
pelakunya, adalah menjadi kewajiban negara-negara untuk memberantasnya, baik secara
individual atapun melalui suatu kerjasama internasional.

Page | 202
Hukum pidana internasional baik yang bersumber dari hukum internasional seperti
perjanjian-perjanjian internasional dan putusan-putusan badan peradilan internasional,
sebagian besar berkenaan dengan kejahatan yang pelakunya adalah individu. Misalnya,
konvensi-konvensi tentang kejahatan penerbangan (Konvensi Tokto 1963, Konvensi Den
Haag 19670, dan Konvensi Montreal 1976), Konvensi Tunggal Narkotika (Single
Convention of Narcotics ) 1976, konvensi-konvensi tentang ekstradisi, dan lain-lain,
semuanya mengatur kejahatan yang dilakukan oleh individu. Putusan-putusan badan
peradilan criminal internasional seperti putusan Mahkamah Militer Internasional di
Nurenberg 1945 dan Tokyo 1946, putusan Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex-
Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, putusan Mahkamah Pidana Internasional (yang akan
un pp
datang) juga merupakan putusan yang dijatuhkan terhadap individu yang didakwa sebagai
pelaku kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dan kejahatan agresi

s
3. NEGARA
Sudah sangat umum diketahui dan diakui, bahwa negara menjadi subyek hukum
k
ha
internasional tidak perlu dipersoalkan lagi. Akan tetapi negara sebagai subyek hukum pidana
internasional secara teoritis masih dapat diperdebatkan oleh para ahli hukum yang berujung
pada pro dan kontra. Persoalannya yang harus dijawab lebih dahulu adalah:
l
1. Apakah negara dapat melakukan kejahatan seperti halnya individu?
2. Kalau dapat, apakah semua jenis kejahatan yang dapat dilakukan oleh individu juga
dapat dilakukan oleh negara? Kalau jawaban atas dua pertanyaan ini (nomor 1 dan 2)
adalah dapat (positif), tentulah hukum yang mengaturnya juga hukum pidana
internasional yang mengatur tentang kejahatan yang pelakunya adalah individu, dan
dengan demikian tentulah tidak ada persoalan lagi.
3. Kalau atas dua pertanyaan diatas jawabannya adalah dapat tetapi tidak semua jenis
kejahatan dapat dilakukan oleh negara seperti halnya indivisu atau dengan kata lain,
kejahatan yang dapat dilakukan oleh negara berbeda jenisnya dengan kejahatan yang
dapat dilakukan oleh individu, tegasnya, hanya atas kejahatan tertentu saja yang dapat
dilakukan oleh negara, maka pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah, jenis
kejahatan apa saja yang dapat dilakukan oleh negara?

Page | 203
4. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh negara seperti tersebut pada butir 3, hukum
yang mengaturnya juga hukum pidana internasional yang berlaku terhadap individu?
Ataukah diatur oleh hukum internasional pada umunya?
5. Pertanyaan selanjutnya lagi yang dapat dimunculkan adalah bagaimanakah
penyelesaian atas kejahatan yang dilakukan oleh negara, apakah sama ataukah tidak
dengan penyelesaian kejahatan yang dilakukan oleh individu?
6. Pertanyaan terakhir adalah, bagaimanakah sanksi pidananya atas kejahatan yang
dilakukan oleh negara, mengingat negara memiliki karakter yang sangat berbeda dari
individu
Dalam hubungan internasional dari dahulu hingga kini , memang sering terjadi konflik-
un pp
konflik antar negara dan konflik itu kadang-kadang diselesaikan dengan kekerasan, misalnya,
negara yang lebih kuat secara militer dan politik, menyerang/mengagresi negara lawannya
yang lebih lemah dan negara yang belakangan ini tidak bisa melawan sehingga menderita
kerugian cukup besar. Atau suatu negara yang lebih kuat mengintervensi (mencampuri

s
masalah dalam negeri) dengan cara kekerasan terhadap negara yang lebih lemah dan dipaksa
untuk menuruti kehendak dari negara yang melakukan intervensi tersebut. Sebaliknya jika
k
ha
negara yang diserang atau diintervensi itu membalasnya juga dengan menggunakan
kekerasan bersenjata, maka terjadilah konflik bersenjata atau peperangan antara keduanya.
Jika sudah terjadi peperangan maka hukum perang atau hukum humaniterlah yang akan
l
lebih banyak berbicara, yang kaidah-kaidah hukumnya sebagaimana dapat dijumpai dalam
beberapa konvensi, seperti Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban
Perang beserta Protokol I dan II 1977.
Atau suatu negara memata-matai negara lain atau menyadap sumber-sumber informasi
dari negara- negara lainnya, misalnya menyadap telepon kedutaan besar negara lain tersebut,
sehingga hal-hal yang sebenarnya merupakan rahasian ternyata diketahui oleh negara yang
melakukan penyadapan. Contoh lain adalah, suatu negara melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dari seorang atau sekelompok orang yang ada dalam wilayahnya, baik orang atau
kelompok orang itu warganegaranya sendiri, orang asing, atau sebagian warganegara asing
dan sebagian warganegaranya sendiri. Atau, di dalam wilayah negara itu terjadi penyiksaan
dan perlakuan secara tidak manusiawi terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam suatu
kejahatan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara itu sendiri. Perbuatan terakhir ini jelas

Page | 204
bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan 1984 dan negara itu adalah termasuk negara
yang sudah menjadi peserta pada Konvensi tersebut. Perbuatan atau perilaku negara-negara
seperti tersebut di atas yang dalam kenyataannya dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah
negara itu sendiri, dapat dipandang sebagai kejahatan.
Persoalannya adalah, bagaimana pertanggungjawaban criminal dari negara atas perbuatan
(kejahatan) yang dilakukan oleh aparatnya tersebut yang telah menimbulkan kerugian
terhadap negara yang telah menjadi korbannya? Siapakah yang harus dimintakan
pertanggungjawabannya? Apakah negara itu sendiri ataukah individu (pejabat negara) yang
memerintahkannya, ataukah individu yang melakukan perbuatan itu, ataukah semuanya harus
bertanggungjawab? Dalam menjawab persoalan ini haruslah dibedakan tanggung jawab dari
un pp
masing-masing pihak yang bersangkutan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
Pertama, tanggungjawab dari aparat atau pejabat negara yang merencanakan dan
memerintahkan serta yang melaksanakannya di lapangan. Masalah ini lebih tampak sebagai
masalah domestik dari negara yang bersangkutan. Jika terbukti pejabat negara itu

s
melakukannya, baik sebagai perencana maupun sebagai pelaksana, penyelesaiannya adalah
berdasarkan hukum nasional dari negara itu sendiri. Pejabat negara itu dapat dikenakan
k
ha
tindakan administratif atau pidana sesuai derajat kesalahan dan tanggungjawabnya,
berdasarkan hukum nasional dari negara itu sendiri. Dengan kata lain, mereka ini tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban dalam tataran internasional karena yang dilanggar adalah
l
hukum nasional negaranya sendiri. Namun penerapan pertanggungjawaban individu
semacam ini di dalam tataran nasional baru dapat dilakukan apabila sudah ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, dan yang lebih penting lagi adalah, negara itu
sendiri memiliki kemauan dan kemampuan politik untuk menerapkan peraturan perundang-
undangannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya ada negara-negara yang tidak memiliki
kemauan dan atau kemampuan politik untuk menerapkan hukum nasionalnya, sehingga si
pelakunya tetap tidak dimintakan pertanggungjawaban pidananya atau menikmti impunitas.
Jika hal ini terjadi, sepanjang menyangkut kejahatan-kejahatan dalam kategori tertentu,
masyarakat internasional melalu Dewan Keamanan PBB dapat membentuk badan peradilan
pidana internasional ad hoc untuk mengadili sendiri orang yang bersangkutan, sebagaimana
yang sudah ditempuh dalam kasus bekas ex-Yugoslavia dan Rwanda atau mengadilinya

Page | 205
melalui Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) yang
pembentukannya berdasarkan Statuta Roma 1998.
Kedua, tanggungjawab dari negara yang melakukannya terhadap negara yang menjadi
korbannya maupun terhadap masyarakat internasional. Tanggungjawab inilah yang dapat
dipersoalkan, apakah tanggungjawabnya adalah tanggungjawab kriminal atau kontraktual.
Oleh karena perbuatan tersebut telah menimbulkan rasa khawatir dan rasa tidak aman
ataupun telah menimbulkan kerugian materiil di kalangan negara-negara lain, dapatlah
dipandang, bahwa perbuatan itu merupakan kejahatan dan karena itu tanggungjawabnya
adalah tanggungjawab kriminal. Persoalannya adalah, bagaimanakah perwujudan dari
tanggung jawab kriminal suatu negara di dalam hukum internasional? Apakah sama seperti
un pp
tanggungjawab individu di dalam hukum pidana internasional.? Dalam prakteknya, dalam
kasus-kasus semacam ini, negara-negara lebih banyak menyelesaikannya melalui jalan
diplomasi, tegasnya menyelesaikan secara bilateral melalui negosiasi atau meyelesaikannya
dengan mengajukan kasusnya ke hadapan organ dari suatu organisasi internasional dimana

s
para pihak menjadi anggotanya. Misalnya, mengajukan ke hadapan Dewan Keamanan PBB
sepanjang terpenuhinya persayaratan untuk itu sebagaimana diatur di dalam Piagam PBB
k
ha
maupun peraturan-peraturan internasl dari Dewan Keamanan. Jika memang menurut Dewan
Keamanan negara itu benar telah melakukannya, Dewan Keamanan memutuskan resolusi
yang isinya dapat berupa seruan, kutukan, atau kecaman terhadap negara yang bersangkutan.
l
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa negarapun dapat melakukan kejahatan
internasional, hanya saja penyelesaiannya tidak berdasarka ketentuan-ketentuan hukum
pidana internasional yang berlaku terhadap individu, melainkan berdasarkan hukum
internasional pada umumnya, tegasnya, tentang tanggung jawab negara dalam hukum
internasional (responsibility of States in International Law).

4. BADAN-BADAN HUKUM SWASTA


Badan-badan hukum swasta, baik swasta nasional maupun transnasional atau
multinasional dapat menjadi subyek hukum pidana nasional, dan dengan demikian juga dapat
menjadi subyek dari hukum pidana internasional, hanya saja dalam ruang lingkup yang lebih
terbatas dibandingkan dengan individu. Tegasnya, hanya untuk perbuatan-perbuatan tertentu
saja. Misalnya, berkenaan dengan kejahatan dalam bidang lingkungan hidup. Perbuatan dari

Page | 206
suatu subyek hukum seperti badan hukum swasta (nasional maupun transnasional) yang
mencemari lingkungan hidup dinyatakan sebagai kejahatan dan karena itu harus
bertanggungjawab secara kriminal. Misalnya sebuah kapal tanker milik sebuah perusahaan
yang mengangkut bahan bakar minyak bumi dari satu negara ke negara lain, kemudian
menabrak kapal lain atau menabrak batu karang di tengah laut sehingga menumpahkan
minyak bumi yang diangkutnya dan menimbulkan pencemaran atas perairan (laut teritorial)
negara-negara di sekitarnya.
Badan-badan hukum swasta juga dapat menjadi subyek dari hukum pidana nasional
maupun internasional dalam bidang perekonomian, berupa kasus-kasus kejahatan atau tindak
pidana ekonomi. Misalnya, sebuah badan hukum swasta suatu negara secara illegal
un pp
menggunakan teknologi dari badan hukum swasta nasional dari negara lain, sehingga
perusahaan yang belakangan menderita kerugian materiil dan immaterial yang cukup besar.
Demikian juga pembajakan hasil karya cipta dari orang-orang di suatu negara yang dilakukan
oleh badan hukum swasta dari negara lain, sehingga menimbulkan kerugian bagi negara

s
maupun warganegara yang karya ciptanya dibajak itu. Pembajakan karya cipta itu sendiri
merupakan tindak pidana dan karena itu pelakunya, apakah badan hukum itu sendiri maupun
k
ha
individu si pelakunya yang walaupun perbuatan itu dilakukannya demi badan hukum yang
bersangkutan, dapat pula dituntut secara pidana.
Bagaimana prosedur atau mekanisme pertanggungjawabannya, maupun mengenai sanksi
l
pidananya jika badan hukum swasta tersebut harus bertanggungjawab secara pidana? Pada
tataran internasional masalah seperti ini diselesaikan antar negara baik secara multi atau
bilateral, ataupun melakukan upaya preventif dengan pembentukan konvensi internasional.
Pada tataran nasional atau domestik, masing-masing negara itulah yang mengaturnya di
dalam hukum nasionalnya, baik dengan menetapkan perilaku atau perbuatan semacam itu
sebagai tindak pidana disertai dengan sanksi pidananya, juga dengan mekanisme
penerapannya sesuai dengan hukum nasionalnya. Mengenai sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut adalah berupa pidana denda uang atau dibebani
kewajiban untuk membersihkan lingkungan yang telah tercemar sebagai akibat dari
perbuatan badan hukum tersebut. Dalam hal kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh suatu
badan hukum swasta, sanksi pidananya dapat berupa denda yang harus dibayar kepada

Page | 207
negara, ataupun berupa sanksi hukum perdata seperti pemberian ganti kerugian terhadap
terhadap pihak yang dirugikannya.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-14 dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam
pertanyaan:

a. Siapakah yang menjadi subyek hukum pidana internasional?


b. Dapatkah negara, organisasi internasional baik IGO maupun NGO dan subyek-subyek
un pp
hukum internasional lainnya juga dapat melakukan kejahatan internasional?

D. Daftar Bacaan
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006

s
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung,
2003
k
ha
l

Page | 208
BAB 16
BAHAN PEMBELAJARAN 15

A. Sasaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke-15 (lima belas) adalah
mahasiswa dapat menjelaskan tentang tempat hukum pidana internasional dalam kaitannya
dengan hukum pidana internasional dalam kaitannya dengan hukum asasi manusia dan
hukum humaniter. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan
un pp
strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi dalam grup/kelompok-kelompok
kecil.
Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah
pastisipasi kelas, kerja sama tim serta penguasaan individual. Pembelajaran ini dilaksanakan

s
selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.
k
ha
B. Uraian

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL, HUKUM HAK ASASI MANUSIA, HUKUM


l
HUMANITER DAN HUKUM PENGUNGSI
1. PENDAHULUAN
Secara umum sudah dikenal adanya bidang-bidang hukum lain yang dekat dengan hukum
pidana internasional (international criminal law), khususnya bidang-bidang lain dalam ruang
lingkup hukum internasional, seperti: hukum hak asasi manusia (human rights law), hukum
humaniter (humanitarian law) dan hukum pengungsi (refugee law). Persoalan yang dapat
dikemukakan antara lain adalah:
a) Dimana tempat dari hukum pidana internasional dalam kaitannya dengan bidang-
bidang hukum internasional tersebut?
b) Adakah hubungannya antara hukum pidana internasional pada satu pihak dengan
masing-masing bidang hukum tersebut?

Page | 209
c) Masih berkaitan dengan butir b), kalau memang ada hubungannya, bagaimana
hubungannya itu?
Di bawah ini akan dicoba untuk dibahas secara singkat dan garis besar tentang masalah-
masalah tersebut diatas, dengan bertitik pangkal dari hukum pidana internasional, sebagai
pokok bahasan dalam buku ini. Di samping itu, tentu saja juga akan disinggung hubungan
antara masing-masing bidang hukum tersebut satu dengan lainnya, sepanjang dipandang ada
relevansinya.

2. TEMPAT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DALAM KAITANNYA DENGAN


HUKUM HAK ASASI MANUSIA, HUKUM HUMANITER, DAN HUKUM
un pp
PENGUNGSI
Hukum pidana internasional sebagaimana halnya dengan hukum pidana pada umumnya,
merupakan hukum sanksi, yaitu sekumpulan kaidah-kaidah hukum yang disertai dengan
sanksi atau ancaman hukum pidana terhadap pihak-pihak yang melanggarnya. Dengan

s
demikian, peristiwa-peristiwa hukum apapun sepanjang disepakati masyarakat (negara) baik
pada tataran nasional maupun internasional untuk dinyatakan sebagai kejahatan atau tindak
k
ha
pidana yang secara lebih konkritnya diformulasikan dalam suatu undang-undang pidana.
Sedangkan, jika di dalamnya mengandung aspek atau dimensi internasional, atau kejahatan,
atau tindak pidana itu sendiri benar-benar internasional dan bahkan juga sudah diatur dalam
l
suatu konvensi internasional atapun dalam bentuk hukum internasional yang lainnya, seperti
putusan badan peradilan internasional, hukum kebiasaan internasional, ataupun resolusi-
resolusi organisasi internasional, maka dapat digolongkan sebagai hukum pidana
internasional.

2.1 Hubungan antara Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia
atau individu tanpa memandang perbedaan-perbedaan atas dasar etnis, golongan, asal usul,
warna kuliat atau rambut, agama atau kepercayaan, bahasa, paham politik, dan lain
sebagainya. Hak asasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari manusia atau individunya,
dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Jadi, hak asasi manusia itu sifatnya universal.

Page | 210
Supaya apa yang disebut hak asasi manusia itu menjadi jelas dan pasti bagi setiap orang,
maka hak asasi manusia itu perlu dirumuskan dalam bentuk tertulis dalam bingkai hukum
positif. Dengan demikian, terwujudlah kaidah-kaidah dan asas-asas hukum terhadap hak
asasi manusia, atau yang lebih dikenal dengan nama hukum hak asasi manusia. Pada tataran
internasional, kaidah-kaidah hukum tentang hak asasi manusia itu sebagian besar berupa
perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, sedangkan pada tataran
nasional atau domestic berupa peraturan perundang-undangan nasional tentang hak asasi
manusia. Jadi, apa yang dinamakan hukum hak asasi manusia adalah sekumpulan kaidah-
kaidah dan asas –asas hukum yang berkenaan dengan hak asasi manusia.
Dalam prakteknya atau penerapannya, tentu saja ada orang atau individu yang melakukan
un pp
pelanggaran-pelanggaran atas hak asasi manusia tersebut atau dengan kata lain melakukan
pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum tentang hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran
atas hak asasi manusia itu ada yang dipandang sebagai kejahatan atau tindak pidana dan
karena itu dikenakan sanksi pidana baik pada tataran internasional ataupun nasional. Jadi,

s
hukum pidana itu (nasional ataupun internasional) yang pada dasarnya merupakan
transformasi dari pelanggaran atas hak asasi manusia yang digolongkan sebagai kejahatan
k
ha
atau tindak pidana dan karena itu disertai sanksi pidana. Pengaturannya pada tataran
internasional maupun pada tataran nasional berupa peraturan perundang-undangan pidana
nasional, pada hakekatnya adalah dalam rangka menegakkan hak asasi manusia.
l
2.2 Hubungan antara Hukum Pidana Internasional dan Hukum Humaniter
“Hukum humaniter internasional”, (internastional humintarian law) atau lebih sering
disebut,”hukum humaniter” (“humanitarian law”) saja, tanpa kata “internasional” merupakan
nama dari suatu bidang hukum sebagai pengganti dari istilah “hukum perang” (the laws of
war). Istilah “hukum perang” atau disebut juga “hukum konflik bersenjata”, agaknya kurang
bisa diterima belakangan ini terutama setelah Perang Dunia II, karena masyarakat
internasional sudah trauma terhadap peperangan yang terjadi selam Perang Dunia II.
Disamping itu, karena peperangan itu sendiri sudah lama dimasuki dan dipengaruhi oleh
nilai-nilai hak asasi manusia maupun nilai-nilai kemanusiaan universal sehingga perang tidak
lagi dilakukan secara brutal dan biadab, tetapi dengan tetap harus menghormati hak asasi
manusia maupun nilai-nilai kemanusiaan universal.

Page | 211
Jadi, meskipun kini namanya adalah hukum humaniter (tidak lagi:hukum perang) namun
pokok masalah yang diatur dalam hukum humaniter ini adalah tetap masalah perang atau
konflik bersenjata dengan pelbagai masalah turunannya, baik internasional maupun non
internasional.Sudah banyak terdapat kaidah-kaidah hukum humaniter internasional terutama
yang berbentuk perjanjian-perjanjian internasional, baik yang dibuat pada masa sebelum
Perang Dunia II maupun sesudahnya. Salah satu Konvensi dalam bidang hukum humaniter
yang terkenal setelah Perang Dunia II adalah Konvensi Palang Merah Internasional Jenewa
1949 beserta Protokol I dan II 1977.
Meskipun sudah banyak ada instrument-instrumen hukum internasional tentang hukum
humaniter yang dari segi substansinya cukup bagus, tetapi dalam implementasinya di
un pp
lapangan sangat besar kemungkinan untuk terjadinya pelanggaran-pelanggaran, terutama
pelanggaran yang dapat dikategorikan dalam kejahatan atau tindak pidana. Pelanggaran-
pelanggaran yang tergolong sebagai kejahatan, dari yang paling ringan hingga yang paling
berat, seperti apa yang dikenal dengan nama kejahatan perang (war crimes), kejahatan

s
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan agresi (crime of aggression),
kejahatan genosida (genocide), dan lain-lain. Pelaku kejahatan atau tindak pidana yang
k
ha
berkenaan dengan hukum humaniter inipun juga patut dimintakan pertanggungjawaban
pidana atas perbuatannya, baik pada tataran internasional melalui badan-badan peradilan
pidana internasional maupun pada tataran nasional melalui badan-badan peradilan nasional
l
negara-negara. Dengan demikian, melalui kejahatan atau tindak pidana dalam bidang hukum
humaniter inipun juga termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional.

2.3 Hubungan Antara Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pengungsi


Hukum pengungsi (refugee law) juga tidak dapat dilepaskan dengan hukum humaniter .
Masalah pengungsi timbul disebabkan antara lain karena orang atau penduduk di suatu
negara atau di suatu wilayah negara tidak mungkin hidup terus di negara atau di wilayah
negara yang bersangkutan. Ada pelbagai sebab mengapa orang melakukan pengungsian,
terutama pengungsian lintas batas negara. Salah satunya adalah karena terjadi perang atau
konflik bersenjata di wilayah yang bersangkutan. Dewasa ini masalah pengungsi, terutama
yang lintas batas negara (internasional) tidak lagi semata-mata merupakan urusan dari negara
asal maupun negara tujuan dari kaum pengungsi. Lebih-lebih karena pengungsian lintas batas

Page | 212
negara bisa terjadi dimana-mana hampir pada setiap saat. Korban-korban telah banyak
bermunculan sebagai akibat dari tidak atau terlambatnya para pengungsi mendapat
pertolongan ataupun karena terjadinya pelanggaran hak asasi mereka yang antara lain berupa
perbuatan kejahatan yang dilakukan terhadap mereka.
Masalah pengungsi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terutama sekali
melalui PBB masyarakat internasional telah membentuk suatu organ khusus PBB yang
secara khusus menangani pengungsi yakni, United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR). Juga berbagai instrument hukum internasional tentang pengungsi telah dibuat dan
dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB. Beberapa instrument hukum tentang pengungsi
tersebut, antara lain, Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Konvensi
un pp
tentang Status Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan 1954, Konvensi tentang Pengurangan
Orang-Orang yang Tanpa Kewarganegaraan 1961. Kedua Konvensi yang belakangan
memang tidak langsung berkenaan dengan pengungsi, tetapi masalah pengungsi ini erat
hubungannya dengan kehilangan kewarganegaraan, baik terhadap si pengungsi itu sendiri

s
maupun terhadap anak-anaknya yang lahir di pengungsian.
Seperti halnya bidang hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter di atas, bidang
k
ha
hukum pengungsi inipun di dalam implementasinya tidak terlepas dari terjadinya
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan kerugian atau
korban di kalangan para pengungsi maupun negara yang dituju oleh para pengungsi itu
l
sendiri. Diantara pelanggaran-pelanggaran itu ada yang dapat digolongkan sebagai kejahatan
dan karena itu si pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada tataran
internasional maupun nasional dalam konteks yang hampir sama dengan pelanggaran atas
kaidah-kaidah hukum tentang hak asasi manusia maupun hukum humaniter seperti tersebut
diatas. Jadi, sama seperti pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia maupun hukum
humaniter, pelanggaran atau kejahatan terhadap hukum pengungsi internasional inipun juga
termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional.

Page | 213
C. Penutup
Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas materi
pembelajaran ke-15 dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan yang dikemas dalam
beberapa pertanyaan :
a. Apa kaitan antara hukum pidana internasional dengan hukum hak asasi manusia?
b. Apa kaitan antara hukum pidana internasional dengan hukum humaniter?
c. Dimana tempat hukum pidana internasional dalam kaitannya dengan hukum
pengungsi?

D. Daftar Bacaan
un pp
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2006
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta 2011
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung, 2000

s
k
ha
l

Page | 214
BAB 17
BAHAN PEMBELAJARAN 16
(FINAL - SEMESTER)

A. Sasaran
Sasaran pembelajaran pada minggu ke-16 (enam belas) adalah untuk mengukur/menguji
kemampuan peserta didik menyerap bahan pembelajaran mulai dari bahan pembelajaran 9
(sembilan) sampai dengan 16 (enam belas) melalui ujian final semester (final semester)
Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran
berupa pembuatan makalah secara individual tentang salah satu materi pembelajaran yang
un pp
telah dipelajari.

B. Penutup
Evaluasi yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik adalah dengan

s
menilai essay test.
k
ha
l

Page | 215

Anda mungkin juga menyukai