Anda di halaman 1dari 14

Mengatasi Gerakan Separatis Melalui Operasi

Militer Selain Perang (OMSP)


(Tinjauan Hukum Humaniter Dan Hukum Nasional)

Yuniarti Dwi Pratiwi 1

Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang terbentuk dari
keberagaman budaya dan bahasa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke yang dikenal
dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, tidak sedikit segelintir atau sekelompok golongan
masyarakat yang berupaya merongrong kesatuan dan kedaulatan Bangsa ini. Gerakan
separatisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk mendapatkan kedaulatan dan
memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia dari satu sama lain. Gerakan ini muncul
dikarenakan ketidakpuasan masyarakat atau segelintir orangterhadap pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam memberikan rasa keadilan.Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh setiap Negara guna menanggulangi gerakan-
gerakan separatisme.Namun tidak sedikit pula OMSP yang dilakukan oleh pihak militer selalu
menimbulkan sebuah polemik dan amino di tengah-tengah masyarakat yaitu berupa pelanggaran
HAM. Atas dasar inilah, tulisan ini bermaksud untuk mengupas persoalan tugas OMSP di
Indonesia yang akan ditinjau berdasarkan konsep Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Nasional.

Kata Kunci: Separatisme, OMSP, Ham, Hukum Humaniter, Hukum nasional.

Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 19


1. PENDAHULUAN1 yang mampu mengancam eksistensi
Dalam kehidupan politik negara dan NKRI.Bentuk pencegahan dan
bangsa, gerakan separatis yang ditempuh penanggulangan separatisme di Indonesia,
oleh kelompok kepentingan dapat menjadi dilakukan melalui Operasi Militer Selain
ancaman yang cukup serius terhadap Perang (OMSP) yang diatur dalam
stabilitas nasional dan keutuhan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
NKRI.Gerakan separatis bukan sesuatu tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam
yang tidak mungkin menjadi musuh dan Pasal 7 ayat 2 dijelaskan mengenai
ancaman non-militer negara (non- pemisahan tugas pokok TNI melalui
military/non-traditional security threat) Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan
bilamana pemerintah sebagai pemegang Operasi Militer Selain Perang (OMSP),
mandat penyelenggaraan administrasi serta pelaksanaan operasi militer selain
negara tidak mampu mengelola dan perang yang harus berdasarkan kebijakan
mendistribusikan kewenangannya dengan dan keputusan politik negara. Operasi
tepat. Militer Selain Perang (OMSP) merupakan
Istilah Separatis atau separatisme itu sebuah keniscayaan di sebuah negara,
sendiri ditujukan pada tindakan seseorang karena meskipun tidak ada perang, masih
atau sekelompok orang atau komunitas ada fungsi lain yakni detterent dan
yang berada dalam satu kesatuan besar bargaining.
yang hendak memisahkan diri atau keluar Namun, dalam penanggulangan
dari komunitas atau kesatuan besar, separatisme melalui OMSP tidak jarang
denganmaksud berdiri sendiri sebagai muncul isu-isu pelanggaran HAM. Oleh
negara atau bangsa yang merdeka.Tujuan karena itu perlu mengkaji secara
memisahkan diri untuk menjadi negara hukum/yuridis menurut Hukum
merdeka lepas dari negara induknya dalam Internasional yang berlaku yakni Hukum
berbagai literatur Hukum Internasional Humaniter Internasional yang kemudian
pada hakekatnya hanya merupakan salah diimplementasikan kedalam Hukum
satu tujuan dari pemberontakan yang Nasional, meskipun penulis dirasakan
terjadi di suatu negara. Adapun tujuan kurang memiliki kemampuan dalam hal
pemberontakan yang lain adalah untuk penulisan hukum.
menggulingkan pemerintah yang sah dan
menggantikannya dengan pemerintah baru 2. METODE PENELITIAN
sesuai dengan kaum separatis, ataupun Metode yang digunakan untuk
untuk bergabung dengan negara lain menganalisis permasalahan ini adalah
(integration), atau kemungkinan yang lain yuridis normatif dengan meneliti bahan
adalah untuk menuntut otonomi yang lebih pustaka atau data sekunder baik berupa
luas. bahan hukum primer, sekunder maupun
Apapun maksud dan tujuan kaum tersier. Data yang diperoleh akan dianalisis
separatis, merupakan perbuatan secara kualitatif yakni semua data yang
melanggar hukum nasional negara tempat berhasil dikumpulkan akan diteliti dan
terjadinya pemberontakan tersebut.Hal ini dipelajari secara utuh, selanjutnya data
dikarenakan perbuatan para separatis tersebut akan diuraikan dalam bentuk
merupakan pemaksaan kehendak kepada penyajian deskriptif analisis yaitu
pemerintah yang sah dalam rangka penjabaran dan penggambaran hal-hal
mencapai tujuan yang diyakininya.Di atas yang berkaitan dengan permasalahan.
semuanya itu, tuntutan untuk memisahkan
diri dari negara induknya tentu merupakan 2.1 Dasar Hukum Humaniter
ancaman terhadap integritas suatu negara. Internasional (HHI)
Konsepsi mencegah berkembangnya Hukum perang atau yang sering
separatisme dalam masyarakat Indonesia disebut dengan Hukum Humaniter
pada hakikatnya adalah dengan internasional, atau hukum sengketa
mewaspadai secara terus-menerus bersenjata memiliki sejarah yang sama
fenomena sosial, utamanya radikalisme tuanya dengan peradaban manusia, atau
sama tuanya dengan perang itu sendiri.
1Penulis adalah pemerhati pertahanan di Lembaga Kajian Hukum Humaniter Internasional menjaga
Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI "KERIS". Penulis dapat serangkaian hak asasi manusia yang tidak
dihubungi melalui email yuniartiibbas@gmail.com
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 20
dapat dilanggar sekalipun dalam situasi inilah yang menjadi sumber utama dari
konflik bersenjata. Dalam Hukum hukum humaniter.
Humaniter Internasional sendiri terdapat A. Hukum Den Haag(The Hague Laws)
dua tujuan utama yaitu: memiliki fokus pengaturan terhadap
a. Melindungi orang pada saat perang tata cara peperangan serta jenis
atau tidak sedang berpartisipasi dalam persenjataan yang diperkenankan
kekerasan; untuk dipakai selama masa perang.
b. Membatasi cara dan metode Pembahasan mengenai hukum ini,
2
berperang. berorientasi kepada Konferensi
Perdamaian I pada tahun 1899 dan
Sedangkan dari berbagai kepustakaan Konferensi Perdamaian II pada tahun
tujuan Hukum Humaniter Internasional 1907. Rangkaian konvensi inilah yang
adalah: pada akhirnya dikenal dengan sebutan
1. Memberikan perlindungan terhadap “Hukum den Haag”. Ada 2 prinsip
kombatan maupun penduduk sipil dari penting yang terdapat dalam hukum ini
penderitaan yang tidak perlu yaitu :
(unnecessary suffering); 1. Prinsip ”The right of belligerents to
2. Menjamin hak asasi manusia yang adopt means of injuring the enemy
sangat fundamental bagi mereka yang is not unlimited”yang berarti adalah
jatuh ke tangan musuh. Kombatan berarti ada tata cara tertentu serta
yang jatuh ke tangan musuh harus alat-alat tertentu yang dilarang
dilindungi dan dirawat serta berhak untuk digunakan selama masa
diperlakukan sebagai tawanan perang; perang.
3. Mencegah dilakukannya perang 2. Prinsip yang dikenal dengan
secara kejam tanpa mengenal batas. “Martens Clause”, yang dapat
Di sini, yang terpenting adalah asas ditemukan dalam Pembukaan
perikemanusiaan.3 Konvensi Den Haag. Klausula
Marten ini merupakan suatu
Secara substansi Hukum Humaniter klausula yang memberi ketentuan
Internasional dapat dibedakan menjadi dua apabila Hukum Humaniter belum
kelompok utama yang saling berkaitan, memberi suatu aturan terhadap hal-
yakni Hukum Den Haag (the Law of the hal tertentu, maka ketentuan yang
Hague) dan kelompok Hukum Jenewa ( dapat dipergunakan adalah
The Law of Geneva).Secara substantif, ketentuan yang harus mengacu dan
Hukum Den Haag lebih banyak berisi berpedoman kepada prinsip-prinsip
norma tentang perilaku dalam perang dan Hukum Internasional yang dibentuk
sarana serta cara yang diperbolehkan dari kebiasaan yang ada di antara
dalam perang (conduct of war and negara-negara, hukum
permissible means and methods of war). kemanusiaan serta yang berasal
Sedangkan, Hukum Jenewa lebih banyak dari hati nurani masyarakat.4
mengatur perlindungan terhadap korban
perang (tawanan perang maupun warga B. Instrumen lainnya dari Hukum
sipil) yang berada dalam penguasaan Humaniter Internasional adalah
musuh (protection of war victims in enemy keempat Konvensi Jenewa Tahun
hands). Dengan kata lain, kedua hukum 1949 yang berupa :
1. Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perbaikan Keadaan Anggota
2
Hukum Pidana Internasional dan Perempuan, Buku I,
Angkatan Perang yang Luka dan
Sebuah Acuan Untuk Praktisi, Publikasi Komnas Sakit di Medan Pertempuran
Perempuan, Hal.6 Darat(Geneva Convention for the
3
Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Amelioration of the Condition of the
Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2., yang
menyatakan bahwa : “Hukum Perang bertujuan untuk
membatasi dan menghapuskan sejauh mungkin kekejaman
perang. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum yang dapat 4
Hukum Pidana Internasional dan Perempuan, Buku I,
menyeimbangkan antara kepentingan militer dan Sebuah Acuan Untuk Praktisi, Publikasi Komnas
kemanusiaan”. Perempuan, Hal.17-18
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 20
Wounded and Sick in Armed Forces dengan sengaja diarahkan kepada
in the Field); penduduk sipil dan obek sipil
2. Konvensi Jenewa 1949 tentang (Principles of Distinction atau Prinsip
Perbaikan Keadaan Anggota Pembedaan);
Angkatan Perang di Laut yang 4. Bilamana suatu serangan mungkin
Luka, Sakit dan Korban mengakibatkan korban sipil yang tidak
Karam(Geneva Convention for the disengaja, serangan tersebut hanya
Amelioration of the condition of the dapat dilakukan apabila kerugian
Wounded, Sick and Shipwrecked terhadap warga sipil dan objek sipil
Members of Armed Froces at Sea); tidak terlalu banyak jika dibandingkan
3. Konvensi Jenewa 1949 tentang dengan keuntungan militer yang
Perlakuan Tawanan didapat (Principles of Proportionality
Perang(Geneva Convention atau Prinsip Proposionalitas).
relatiive to the Treatment of
Prisoners of War); Prinsip-prinsip ini menghasilkan
4. Konvensi Jenewa 1949 tentang beberapa ketentuan dasar yang tidak boleh
Perlindungan Orang-orang Sipil di dilanggar dalam konflik bersenjata :
Waktu Perang(Geneva Convention 1. Hors de combat (maksudnya adalah
relative to the Treatment of tentara yang telah meletakkan senjata
Prisoners of War).5 karena terluka atau ditahan) dan
masyarakat sipil yang tidak terlibat
Disamping itu Konvensi Jenewa juga konflik wajib dilindungi dan dihormati,
melahirkan dua Protokol yang disusun khususnya kehidupan serta integritas
Tahun 1977 yakni: moral dan fisikmereka. Tanpa
1. Protokol I, berisikan beberapa aturan terkecuali mereka patut dilindungi dan
mengenai perang atau konflik diperlakukan secara manusiawi tanpa
bersenjata yang bersifat lintas negara pembedaan yang merugikan;
(internasional); 2. Tidak diperbolehkan untuk membunuh
2. Protokol II, berisikan beberapa aturan atau melukai musuh yang telah
mengenai perang atau konflik menyerah atau hors de combat;
bersenjata yang terjadi di wilayah 3. Mereka yang sakit atau terluka harus
salah satu pihak peserta agung antara dievakuasi dan diberi perawatan oleh
pasukannya dengan pemberontak pihak yang berkonflik. Perlindungan
yang ada di wilayah tersebut. Dengan harus diberikan pada pekerja medis,
kata lain, sifat nya non-internasional serta tempat pelayanan, transportasi
serta peralatan yang digunakannya.
Empat Prinsip Dasar Hukum Perang Tanda palang merah atau bulan sabit
1. Kekerasan hanya digunakan sejauh merah adalah symbol yang
diperlukan untuk mencapai tujuan menandakan perlindungan ini, dan
militer yang sah (Principles of Military harus dihormati;
Neccersity atau Prinsip Keperluan 4. Kombatan dan masyarakat sipil yang
Militer); tertangkap oleh pihak musuh harus
2. Semua tindakan yang diambil harus dilindungi kehidupannya, martabat,
sesuai dengan prinsip-prinsip hak-hak pribadi dan kepercayaannya.
kemanusiaan (Principles of Humanity, Mereka dilindungi dari semua aksi
seperti yang tersebut dalam Klausula kekerasan dan balas dendam. Mereka
Martens); mempunyai hak untuk korespondensi
3. Serangan hanya boleh dilancarkan dengan keluarga dan untuk menerima
terhadap sasaran militer, dan dengan bantuan;
cara yang meminimalkan kerugian 5. Semua orang punya hak untuk
pada penduduk sipil dan objek-objek mendapatkan hak-hak dasar dalam
sipil. Serangan sama sekali tidak boleh proses peradilan. Tidak seorang pun
boleh dijadikan bertanggung jawab
5
atas tindakan yang dilakukannya.
Hukum Pidana Internasional, Arie Siswanto, Andi
Yogyakarta, 2015, Hal. 159
Tidak seorangpun boleh mengalami
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 21
penyiksaan fisik dan mental, dan antara penguasa suatu Negara dan
hukuman pemukulan atau perlakuan kelompok bersenjata atau antara
kejam atau merendahkan. kelompok bersenjata.
6. Pihak yang berkonflik dan anggota
angkatan bersenjata tidak mempunyai Definisi pihak bertikai pun mempunyai
pilihan metode dan alat perang tanpa ciri-ciri :
batasan. Tidak diperbolehkan a. Dipimpin oleh seorang komandan yang
menggunakan senjata atau metode bertanggung jawab atas anak
perang yang mengakibatkan kerugian buahnya;
dan penderitaan yang berlebihan; b. Anggotanya memegang senjata
7. Pihak yang berkonflik harus secara terbuka;
membedakan masyakarat sipil dan c. Memakai emblem atau seragam
kombatan untuk melindungi tertentu;
masyarakat sipil dan harta bendanya. d. Melakukan operasi sesuai dengan
Masyarakat sipil, atau perorangan, hukum dan kebiasaan perang.
tidak boleh menjadi sasaran
penyerangan. Serangan hanya boleh Dalam Pasal 1 ayat 2 Protokol
dilakukan pada target militer.6 Tambahan II Tahun 1977, disebutkan
bahwa situasi dan ketegnagan di dalam
Hukum Humaniter Internasional ini negeri, seperti situasi kerusuhan yang
berlaku ketika terjadi (i) konflik bersenjata terisolasi dan tindakan kekerasan sporadis
lintas batas; (ii) konflik bersenjata atau tindakan sejenis lainnya bukanlah
noninternasional seperti perang sipil, yakni merupakan konflik bersenjata non-
konflik yang terjadi dalam batas wilayah internasional.8
Negara.Secara konsisten, subtansi dan
tujuan utama dari Hukum Humaniter 2.3 SEPARATISME MENURUT HUKUM
Internasional, yakni memanusiawikan HUMANITER INTERNASIONAL
perang atau konflik bersenjata.7 Kata separatisme berasal dari bahasa
Inggris yaitu “separate”, yang dalam kata
2.2 Konflik Bersenjata Internasional vs kerja transitip berarti “memisahkan” dan
Non Internasional dalam kata kerja intransitip berarti
Dalam hal ini Hukum Humaniter “berpisah”, sedangkan dalam arti orang
Internasional berlaku untuk konflik yang meisahkan diri disebut dengat istilah
bersenjata internasional maupun internal “separatist”.
(non internasional). Pada umumnya, para separatist
a. Konflik Bersenjata Internasional melakukan tindakan-tindakan yang
Konflik bersenjata Internasional terjadi bertujuan melepaskan suatu daerah atau
di mana sebuah Negara menggunakan wilayah dari satu Negara yang merdeka
kekuatan bersenjata terhgadap Negara dan berdaulat, melalui dengan berbagai
lain, melalui angkatan bersenjatanya macam cara, daya, dan upaya guna
sendiri atau kelompok lain. Hukum mencapai tujuan utama mereka yakni
Humaniter Internasional diterapkan pemisahan daerah atau wilayah tertentu
pada situasi pendudukan sebagian dimaksud agar lepas dari Negara induknya,
atau seluruh daerah; atau biasa dikenal dengan istilah
b. Konflik Bersenjata Internal/ Non- separatism.9
Internasional Gerakan separatisme muncul
Sedangkan konflik bersenjata internal disebabkan beberapa faktor antara lain :
terjadi pada saat konfrontasi 1. Latar belakang sejarah;
bersenjata mengambil tempat di batas 2. Perbedaan etnik, suku, budaya dan
Negara atau melibatkan konfrontasi kultur;

6 8
Hukum Pidana Internasional dan Perempuan, Buku I, Ibid. Hal 9
Sebuah Acuan Untuk Praktisi, Publikasi Komnas 9
Gerakan Separatisme ditinjau dari Hukum Humaniter
Perempuan, Hal.21 Internasional, Abdul Hamid, Fakultas Hukum Universitas
7
Ibid, Hal. 6 Sumatera Utara, 2001, Hal.8
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 22
3. Perbedaan keyakinan atau agama; tersebut harus dipenuhi secara
4. Perbedaan social dan ekonomi; keseluruhan dan bersamaan agar suatu
5. Diskriminasi politik dari pemerintah peristiwa dapat dikatakan sebagai suatu
yang sah; pertikaian bersenjata non-internasional.
6. Letak geografis.10 Apabila peristiwa didalam negeri tersebut
hanya berupa internal tensions
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, (ketegangan dalam negeri) maka Protokol
dalam pertikaian bersenjata yang bersifat Tambahan II Tahun 1977 tidak berlaku,
non-internasional diatur dalam Pasal 3 melainkan Hukum Nasional negara
common articles Konvensi Jenewa 1949 tersebut yang berlaku.12
dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Suatu peristiwa dikategorikan sebagai
Dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ketegangan dalam negeri, apabila terjadi
memang tidak dijelaskan secara rinci salah satu atau lebih dari keadaan-
mengenai definisi dari “pertikaian keadaan di bawah ini, yaitu :
bersenjata yang tidak bersifat 1. Terjadi banyak penahanan secara
internasional”. Pasal 3 ini hanya massal;
menyebutkan bahwa : 2. Banyak tahanan politik;
“In the case of armed conflict not 3. Adanya penyiksaan atau kondisi yang
an international character tidak manusiawi dalam tahanan;
occurring in the territory of one of 4. Penerapan keadaan darurat oleh
the High Contracting Parties, pemerintah;
each Party to a conflict shall be 5. Meningkatnya jumlah orang-orang
bound to apply, as minimum, the hilang.13
following provisions...”11
Dengan kata lain, pemberontakan atau Kondisi ketegangan dalam negeriini
perang saudara yang terjadi di dalam dapat berubah menjadi kondisi pertikaian
wilayah suatu Negara Pihak Konvensi bersenjata non-internasional apabila pihak
dapatlah dikatakan sebagai pertikaian lawan dari pemerintah yang sedang
bersenjata yang tidak bersifat internasional. berkuasa mulai terorganisir dan intensitas
Sebaliknya, Protokol Tambahan II ketegangannya meningkat cukup tinggi.
Tahun 1977 pada Pasal 1, memberikan Dalam hal ini, kasus-kasus
kriteria-kriteria yang lebih jelas mengenai separatisme yang terjadi di Indonesia
peristiwa pertikaian bersenjata non- sejauh ini tidak dapat dikatakan hanyalah
internasional. Kriteria tersebut adalah : merupakan internal tensions semata,
1. Pertikaian terjadi di dalam wilayah karena intensitas penahanan massal,
Pihak Peserta Agung; perlakuan tidak manusiawi, pertikaian
2. Pertikaian terjadi antara angkatan bersenjata secara terbuka dan orang-orang
bersenjata Pihak Peserta Agung hilang cukup tinggi. Disamping itu apabila
dengan kekuatan bersenjata pihak kita mendasarkan diri pada Pasal 3
yang memberontak (dissident); common articles Konvensi Jenewa 1949,
3. Kekuatan bersenjata pihak maka selama suatu peristiwa bukanlah
pemberontak ini harus berada di merupakan tindakan penggarongan atau
bawah suatu komando yang huru-hara yang bersifat sporadis, maka
bertanggung jawab; separatisme dapat dikategorikan sebagai
4. Pihak pemberontak telah menguasai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat
sebagian wilayah Negara, dan; internasional.
5. Pihak pemberontak dapat Oleh karena itu, Hukum Humaniter
melaksanakan ketentuan Protokol Internasional, khususnya Pasal 3 common
Tambahan II Tahun 1977. articles Konvensi-konvensi Jenewa 1949
haruslah ditetapkan.Pasal 3 ini
Kriteria-kriteria tersebut tidak bersifat menyebutkan bahwa apabila terjadi
fakultatif. Dengan kata lain,kriteria-kriteria pertikaian bersenjata yang tidak bersifat

10 12
Ibid. Hal 9-10 Ibid, Hal 43
11 13
Ibid, Hal 42-43 Ibid. Hal 43-45
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 23
internasional maka Negara Pihak Konvensi Pada era reformasi, istilah tugas
dilarang melakukan tindakan kekerasan perbantuan pertama kali muncul pada
terhadap jiwa dan raga, seperti Pasal 4 TAP MPR No.VII/2000 tentang
penganiayaan.Penyanderaan Peran Tentara Nasional Indonesia dan
pembunuhan, pemerkosaan, dan Kepolisian Republik Indoneesia yang
penjatuhan hukuman tanpa adanya menjelaskan:
pengadilan. 1. TNI membantu penyelenggaraan
kegiatan kemanusiaan (civic mission) ;
2.4 DASAR HUKUM BERLAKUNYA 2. TNI memberi bantuan kepada Polri
OMSP DI INDONESIA dalam rangka tugas keamanan, atas
Di Indonesia, istilah OMSP secara permintaan yang diatur dalam Undang-
resmi baru dikenal pada tahun 2002 seiring Undang;
dengan disahkannya Undang-Undang 3. TNI membantu secara aktif tugas
Pertahanan. Meski demikian, konsep tugas pemeliharaan perdamaian dunia
perbantuan sudah dikenal jauh sebelum (peace keeping operation) di bawah
itu. Di era Soekarno, pengaturan mengenai bendera PBB.16
tugas perbantuan pada masa damai diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Selanjutnya, munculah istilah Operasi
Tahun 1954 tentang Permintaan dan Militer Selain Perang (OMSP) pada Pasal
Pelaksanaan Bantuan Militer sebagai 10 UU Pertahanan Nomor 3 Tahun
pengganti dari Keputusan Presiden RI 2002tentang Pertahanan, namun
Nomor 175 dan Nomor 213 Tahun 1952. penjelasan terkait jenis-jenis OMSP baru
Sementara keterlibatan militer dalam muncul pada Pasal 7 Undang-Undang
keadaan darurat, baru muncul pada tahun Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
1959 dan diatur dalam Peraturan Nasional Indonesia. Penjelasan jenis-jenis
Pemerintah Pengganti Undang-Undang OMSP pada Undang-Undang TNI juga
Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan mencakup jenis operasi tugas perbantuan
Bahaya sebagai pengganti Undang- yang sebelumnya ada pada TAP MPR,
Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran namun dijabarkan secara lebih luas. Jenis
Negara No.160 Tahun 1957) dan OMSP ini dibagi dalam 14 jenis operasi,
Penetapan Keadaan Bahaya.14 yang meliputi :
Menyesuaikan dengan Perppu 1. Mengatasi gerakan separatisme
Keadaan Bahaya, peraturan tugas bersenjata;
perbantuan (dalam masa damai) kembali 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata;
disempurnakan melalui Peraturan 3. Mengatasi aksi terorisme;
Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960.Dalam 4. Mengamankan wilayah perbatasan;
perkembangan selanjutnya di era Presiden 5. Mengamankan objek vital nasional
Soeharto, diskursus mengenai tugas yang bersifat strategis;
perbantuan menjadi tidak signifikan.Hal ini 6. Melaksanakan tugas perdamaian
disebabkan oleh sistem pemerintahan dunia sesuai dengan kebijakan politik
otoriter Soeharto dan doktirn dwi-fungsi luar negeri;
ABRI yang melegitimasi militer untuk 7. Mengamankan Presiden dan wakil
terlibat secara dominan pada ranah-ranah presiden beserta keluarganya;
sipil khususnya keterlibatan dalam peran 8. Memberdayakan wilayah pertahanan
sosial dan politik.Dengan jatuhnya rezim dan kekuatan pendukungnya secara
Soeharto dan Indonesia menganut sistem dini sesuai dengan sistem pertahanan
pemerintahan demokrasi, kebijakan dwi- semesta;
fungsi dihapuskan dan agenda Reformasi 9. Membantu tugas pemerintahan di
Sektor Keamanan (RSK) mulai daerah;
dilaksanakan.15 10. Membantu kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam rangka tugas
14
Jurnal Keamanan Nasional, Pusat Kajian Keamanan
Nasional, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Diandra
Megaputri Mengko, Volume I No. 2015, Hal. 181 16
TAP MPR No. VII.2000 tentang Peran Tentara Republik
15
Ibid 180 Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 24
keamanan dan ketertiban masyarakat Gangguan Keamanan Dalam Negeri
yang diatur dalam undang-undang; Nomor 2 Tahun 2013 dan Undang-Undang
11. Membantu mengamankan tamu Nomor 9 Tahun 2003 tentang Terorisme.
negara setingkat kepala dan Bahkan, pengaturan tentang tugas
perwakilan pemerintah asing yang perbantuan militer kepada pemerintah
sedang berada di Indonesia; dalam hal ini kementerian dan instansi
12. Membantu menanggulangi akibat lainnya hanya di atur dalam bentuk
bencana alam, pengungsian, dan memorandum of understanding antara
pemberian bantuan kemanusiaan; Panglima TNI dengan kementerian serta
13. Membantu pencarian dan pertolongan instansi terkait.18
dalam kecelakaan (search and
rescue); 2.5 MENGATASI GERAKAN
14. Membantu pemerintah dalam SEPARATISME DI INDONESIA
pengamanan pelayaran dan MELALUI OMSP
penerbangan terhadap pembajakan, Gerakan separatis masih menjadi isu
perompakan, dan penyelundupan.17 keamanan dalam negeri, baik dalam
bentuk gerakan separatis politik maupun
Namun demikian, pelaksanaan OMSP gerakan separatis bersenjata.Masih
tersebut hanya bisa dilakukan jika ada terdapat pihak-pihak yang berkeinginan
keputusan politik negara sebagaimana di untuk memisahkan diri dari NKRI dengan
tegaskan dalam Pasal 7 ayat 3 Undang- mengeksploitasi kelemahan
undang TNI.Dalam Penjelasan Pasal 5 penyelenggaraan fungsi pemerintahan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Indonesia menempatkan separatisme
tentang Tentara Nasional Indonesia yang sebagai ancaman yang serius karena
dimaksud Keputusan politik negara adalah secara langsung mengancam keutuhan
kebijakan politik pemerintah bersama-sama wilayah NKRI dan mengancam
dewan perwakilan rakyat (DPR) yang keselamatan bangsa.Akar masalah
dirumuskan melalui mekanisme hubungan separatisme terletak pada distribusi hak.
kerja antara pemerintah dengan DPR, Hak politik, ekonomi, dan distribusi
seperti rapat konsultasi dan rapat kerja keadilan yang tidak merata, yang
sesuai dengan peraturan perundang- menyebabkan kelompok tertentu merasa
undangan. tidak nyaman untuk tinggal di dalam
Dalam Buku Putih pertahanan tahun naungan NKRI. Selama akar masalah
2008 juga di jelaskan bahwa pelaksanaan tersebut tidak dipecahkan, potensi
OMSP hanya dapat dilakukan apabila separatisme akan selalu ada. Bangsa
penanganan dengan cara-cara biasa atau Indonesia menyadari dan memiliki
penanganan fungsional sudah tidak efektif komitmen bahwa berada dalam wadah
lagi atau diperkirakan akan menimbulkan NKRI merupakan putusan politik yang tepat
korban yang besar, kerusakan infrastruktur dan final.Sesuai dengan amanat undang-
dan properti yang parah. Namun undang, pertahanan negara berfungsi
sayangnya dimasa Reformasi ini belum untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI.
ada regulasi tentang tugas perbantuan Namun, diakui usaha untuk mengatasi akar
militer dalam kerangka OMSP yang masalah separatisme belum dapat
spesifik dan komprehensif di Indonesia. diwujudkan secara penuh antara lain
Justru pengaturan tentang tugas akibat belum merata dan terpadunya
perbantuan TNI dalam kerangka OMSP pembangunan nasional.19
diatur secara parsial dan sektoral di dalam Adapun gerakan separatisme tentunya
beberapa aturan seperti diatur dalam akan mengancam keutuhan NKRI, oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 karena itu dirasa penting keterlibatan TNI
tentang Penanganan Konflik Sosial, dalam penanggulangan separatisme, yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 melalui Operasi Militer Selain Perang.
tentang Pertahanan, Inpres Penanganan
18
Ibid. Hal 183
17 19
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Buku Putih Pertahanan Indonesia 2014, Departemen
Republik Indonesia Pertahanan Republik Indonesia
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 25
Pemberlakuan OMSP ini, sejalan dengan keraguan dalam pencapaian tugas
tujuan pertahanan negara, sebagaimana pokok.
telah diuraikan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 b. Asas kesatuan komando dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 pengendalian Seluruh kegiatan operasi
tentang Pertahanan Negara berbunyi: yang dilaksanakan dalam kerangka
“Pertahanan negara bertujuan OMSP berada di bawah satu komando
untuk menjaga dan melindungi / penanggung jawab dari institusi
kedaulatan negara, keutuhan Negara yang ditunjuk sesuai peraturan
wilayah negara Kesatuan Republik perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia, dan keselamatan c. Asas Proporsionalitas diartikan bahwa
segenap bangsa dari segala kekuatan, persenjataan dan peralatan
bentuk ancaman". TNI yang dikerahkan dalam
pelaksanaan operasi dilakukan secara
Penjelasan pasal 4 Undang- sepadan, tidak berlebihan, memiliki
Undang Nomor 3 Tahun 2002 prosedur standar operasi yang jelas,
tentang Pertahanan Negara, terhindar dari tindakan diluar batas
yakni: "Yang dimaksud dengan kewajaran.
ancaman adalah setiap usaha dan d. Asas keamanan Tindakan yang tepat
kegiatan baik dari dalam negeri untuk menjamin keamanan,
maupun luar negeri yang dinilai kerahasiaan, keleluasaan bergerak,
membahayakan kedaulatan melindungi satuan sendiri dan
negara, keutuhan wilayah negara, menghindari jatuhnya informasi ke
dan keselamatan segenap tangan lawan. Asas keamanan
bangsa". diterapkan mulai proses perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan
Pasal 5 berbunyi: "Pertahanan pengakhiran operasi dengan tujuan
negara berfungsi untuk untuk menghindari kegagalan dalam
mewujudkan dan pelaksanaan OMSP.
mempertahankan seluruh wilayah e. Asas Legitimasi di artikan bahwa
Negara Kesatuan Republik pelaksanaan OMSP yang
Indonesia sebagai satu kesatuan dilaksanakan oleh TNI sudah berdasar
pertahanan". Penjelasan pasal 5 kepada peraturan perundangan yang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun berlaku dan keputusan politik Negara.
2002 tentang Pertahanan Negara f. Asas keterpaduan Mengingat OMSP
yakni : "Yang dimaksud dengan merupakan operasi yang melibatkan
seluruh wilayah Negara Kesatuan institusi di luar TNI, maka diperlukan
Republik Indonesia sebagai satu adanya persamaan persepsi,
kesatuan pertahanan adalah koordinasi yang tepat dan keterpaduan
bahwa ancaman terhadap dalam kesatuan dan dukungan.
sebagian wilayah merupakan g. Asas ekonomis
ancaman terhadap seluruh Dalam OMSP harus di pertimbangkan
wilayah dan menjadi tanggung penggunaan kekuatan secara
jawab segenap bangsa".20 ekonomis.Segala factor harus
diperhitungkan dengan cermat,
Adapun asas-asas yang dipergunakan sehingga pada pelaksanaannya dapat
Tentara Nasional Indonesia dalam rangka dikerahkan kekuatan secara efektif
melaksanakan Operasi Militer Selain dan efisien.21
Perang adalah sebagai berikut :
a. Asas tujuan Keterlibatan pihak militer dalam
Setiap penyelenggaraan operasi harus penanggulangan gerakan separatisme atau
memiliki rumusan tujuan/sasaran yang pemberontakan juga diatur dalam
jelas sehingga tidak menimbulkan penjelasan Pasal 7 Undang-Undang

20 21
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, OMP-OMSP,
Pertahanan Negara Babinkum TNI, 2011, hlm. 85
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 26
Nomor 3 Tahun 2002 yang dan hukum nasional merupakan satu
mengkategorikan pemberontakan sistem hukum pada umumnya.Semua
bersenjata sebagai ancaman militer. Yang ketentuan hukum merupakan kesatuan
dimaksud dengan ancaman militer itu sistem yang terdiri dari ketentuan hukum
sendiri adalah ancaman yang yang mengikat negara, individu maupun
menggunakan kekuatan bersenjata yang kesatuan bukan negara.Hukum nasional
terorganisasi yang dinilai mempunyai dan hukum internasional secara
kemampuan yang membahayakan keseluruhan merupakan dari sistem hukum
kedaulatan negara, keutuhan wilayah universal yang mengikat manusia baik
negara, dan keselamatan segenap bangsa. secara individual maupun secara kolektif.
Lebih lanjut, amanat Undang-Undang Hukum internasional mengikat individu
Nomor 3 Tahun 2002 dan Undang-Undang secara kolektif sedang hukum nasional
Nomor 34 Tahun 2004 mengenai mengikat individu secara perorangan
menanggulangi gerakan separatisme Berlakunya ketentuan-ketentuan
dirumuskan dalam Peraturan menteri hukum internasional ke dalam hukum
Pertahanan Republik Indonesia Nomor 5 nasional dilakukan dengan berlandaskan
tahun 2011 tentang Kebijakan Pertahanan pada teori-teori transformasi dan
Negara Tentang Tugas Tentara Nasional delegasi.Adapun dalam praktik negara
Indonesia Dalam Mengatasi Gerakan dikenal beberapa istilah untuk realisasi
Separatisme, yang kemudian digunakan penerapan hukum internasional ke dalam
sebagai pedoman dan dilaksanakan dalam hukum nasional seperti ratifikasi
mengatasi Separatisme. (ratification) dan aksesi (accession).23
Indonesia telah meratifikasi seluruh
Konvensi Jenewa 1949 dengan adanya
2.6 PENANGGULANGAN Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958
SEPARATISME DI INDONESIA tentang Ikut Serta Negara Republik
DALAM KACAMATA HUKUM Indonesia Dalam Seluruh Konvensi
HUMANITER INTERNASIONAL Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Pasal
Mengenai hubungan sistem hukum 27 Konvensi Jenewa keempat tahun 1949
internasional dengan sistem hukum menyatakan bahwa Hukum Den Haag dan
nasional dikenal paham atau teori dualisme Hukum Jenewa merupakan sumber pokok
dan monisme.Menurut paham atau teori Hukum Humaniter Internasional sehingga
dualisme, hukum internasional dan hukum Indonesia juga harus mematuhi dan
nasional merupakan dua sistem hukum mentaati Hukum Den Haag.
yang berbeda secara intrinsik.Hukum Namun mengenai Protokol Tambahan
internasional bersumber pada kehendak I (mengatur ketentuan-ketentuan tentang
bersama atau kesepakatan negara-negara konflik bersenjata yang bersifat
sementara hukum nasional bersumber internasional) dan II (mengatur ketentuan-
pada kehendak negara dan kekuasaan ketentuan tentang konflik bersenjata yang
negara.Hukum internasional dilandasi bersifat non internasional) Tahun 1977
prinsip dasar pacta sunt servanda, hingga saat ini Indonesia belum
sedangkan hukum nasional dilandasi meratifikasi kedua Protokol Tambahan
prinsip dasar bahwa peraturan perundang- 1977 tersebut. Protokol Tambahan I belum
undangan harus ditaati.Namun hukum diratifikasi karena Indonesia masih merasa
internasional dan hukum nasonal keduanya keberatan mengenai apa yang dimaksud
bertujuan menciptakan ketertiban dan dengan bangsa yang tertera dalam pasal 1
keadilan.22 ayat (4) juncto pasal 96 ayat (3). Protokol
Sedangkan paham monisme Tambahan II belum diratifikasi karena
menganggap bahwa hukum internasioanl masih adanya kekhawatiran bahwa
Protokol Tambahan IIini akan dijadikan alat
22
bagi pemberontak untuk melakukan
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tuntutan internasional. Sejalan dengan ini,
Tambahan dalam Hukum Nasional Indonesia (Studi tentang
Urgensi dan Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan 1977), tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
Isplancius Ismail, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No 3
23
September 2013, Hal. 368 Ibid. Hal 369
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 27
telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 b. penyanderaan;
tanpa syarat. Oleh karena itu sudah c. perkosaan atas kehormatan pribadi
seharusnya dan selayaknya Indonesia d. menghukum dan menjalankan
menghormati konvensi tersebut.24 hukuman mati tanpa didahului
keputusan yang dijatuhkan oleh suatu
2.7 PENEGAKAN HAM DALAM pengadilan yang dibentuk secara
PENENGGULANGAN GERAKAN teratur.
SEPARATIS OLEH MILITER
Meski telah diamanatkan oleh Hukum Sementara itu Pasca 1998 , TNI mulai
Nasional bahwa militer dalam hal ini memberlakukan pendidikan Hak Asasi
Tentara Republik Indonesia untuk Manusia dan dibekali dengan Buku Saku
menanggulangi segala bentuk gerakan “Pedoman Prajurit Dalam Penerapan Hak
separatis yang merongrong kedaulatan Asasi Manusia” untuk mengetahui batas-
Bangsa Indonesia, sudah seharusnya batas wewenang yang ditetapkan dalam
setiap Operasi Militer Selain Perang tetap perundangan yang berlaku.25Di dalam buku
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. pedoman tersebut secara jelas tertulis
Pasca Reformasi, Indonesia bahwa setiap prajurit TNI dilarang:
mengamandemen konstitusi sebagai itikad 1. Melakukan pembunuhan dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan penyiksaan, jikapun terpaksa
mencegah pelanggaran hak tersebut pembunuhan hanya boleh dilakukan
seperti yang terjadi di masa aman Orde terhadap musuh bersenjata dalam
Baru yang kemudian dikeluarkannya pertempuran;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 a. Bila lawan menyerah atau
tentang Hak Asasi Manusia. Sejalan tertangkap mereka berhak
dengan ini, sebelum lahirnya Undang- memperoleh perlindungan dan
Undang Hak Asasi Manusia di Indonesia, diperlakukan sesuai hukum yang
peraturan mengenai HAM telah diatur berlaku. Mereka tidak boleh
dalam Konvensi Jenewa 1949 yaitu disiksa atau dibunuh.
Konvensi Jenewa Mengenai Perlindungan b. Perkosaan terhadap wanita
Orang Sipil di waktu Perang dan Konvensi bertentangan dengan kode
Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan kehormatan militer dan tindakan
Perang. tersebut melanggar Hak Asasi
Atas dasar inilah, maka Operasi Militer Manusia.
Selain Perang yang dilakukan oleh TNI c. Menggunakan teknik penyiksaan
untuk menanggulangi separatisme di untuk memperoleh pengakuan/
Indonesia sudah seharusnya keterangan. Keterangan yang
memperhatikan Hak Asasi Manusia, didapat melalui penyiksaan
sebagaimana telah diatur dalam Hukum membuat keterangan tersebut
Humaniter Internasional. Ini disebabkan diragukan dan tidak dapat
Indonesia telah meratifikasi Konvensi digunakan untuk menempatkan
Jenewa 1949 dan merupakan konsekuensi seseorang menjadi tersangka.
yuridis untuk setiap Negara yang d. Kepentingan militer, keamanan
menandatangani konvensi tersebut untuk nasional dan dasar-dasar lainnya
mematuhinya. Pasal 3 Konvensi Jenewa bukanlah pembenaran untuk
1949 menegaskan bahwa dalam hal terjadi penyiksaan;
pertikaian bersenjata yang tidak bersifat e. Perlakukan yang salah terhadap
internasional yang berlangsung dalam rakyat akan merugikan
wilayah salah satu Negara yang pelaksanaan tugas dan membuka
mendatangani Konvensi Jenewa, tiap pihak kesempatan untuk
yang bertikai harus memperhatikan aturan- mendiskreditkan institusi TNI.
aturan tentang kemanusiaan, antara lain
larangan:
a. tindakan kekerasan atas jiwa dan raga; 25
Pusat Penerangan TNI, “Prajurit TNI dalam Penerpaan
Hak Asasi Manusia (HAM),”tni.mil.id/view-25111-prajurit-tni-
dalam-penerapan-hak-asasi-manusia-ham.html diakses
24
Ibid. Hal 372 pada 4 Oktober 2017
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 28
2. Menculik/Menghilangkan orang c. Setiap orang tanpa diskriminasi
dengan paksa; agama, suku, ras, etnik, kelompok,
a. Setiap anggota TNI dilarang untuk golongan, status sosial dan
menangkap dan/atau menahan ekonomi, jenis kelamin, bahasa
seseorang di luar ketentuan dan keyakinan politik sama di
hukum yang berlaku. hadapan hukum
b. Orang yang ditangkap/ditahan Dalam Buku Saku Pedoman Hak Asasi
oleh TNI berada dalam Manusia untuk Angkatan Darat (AD) itu
penguasaan sesuai dengan pun tertulis bahwa “Sejuta musuh yang
kewenangan peraturan berhasil kau bunuh dalam pertempuran kau
perundangan dan menjadi adalah pahlawan. Tetapi satu orang rakyat
tanggung jawab komandan satuan terluka karena tindak kekerasan, sejuta
sebagai pejabat negara. musuh yang kau bunuh tidak
c. Penangkapan dan/atau membebaskan dirimu dari jerat hukum atas
penahanan harus diikuti tindakan: pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kau
- Pencatatan identitas, alasan lakukan”.26
penangkapan dan/atau Selain itu TNI mendapat pengenalan
penahanan, hari-tanggalwaktu- mengenai defnisi kesewenangan (abuse of
tempat penahanan dan power), kelalaian dalam melaksanakan
pelepasan, termasuk tugas (violence by omission) dan
pencatatan pemindahan tempat pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
penahanan bila terjadi (gross violation of human rights). Meski
pemindahan; sudah cukup maju dalam aturan hukum
- Pelaporan kepada komando negara dan institusi militer, kemajuan
atas; penghormatan atas Hak Asasi Manusia ini
- Penginformasian kepada tetap memiliki celah karena prajurit TNI,
keluarga orang yang seperti layaknya warga negara lainnya,
ditangkap/ditahan; berhak menggunakan Pasal 49 KUHP
- Pemberian kesempatan untuk untuk dirinya. Pasal ini menyatakan bahwa
berhubungan dengan keluarga setiap orang yang melakukan kekerasan
baik kunjungan maupun melalui terhadap orang lain tidak akan mendapat
surat hukuman jika tindakan tersebut ditujukan
3. Merusak dan mengambil harta benda untuk melindungi nyawa, badan dan/atau
orang lain; harta benda orang lain.
a. Setiap prajurit harus Oleh sebab itu maka TNI masih
menghindarkan diri dari tindakan memiliki sistem peradilan tersendiri , yakni
perusakan harta benda orang lain peradilan militer . Atas dasar inilah maka
yang dapat menimbulkan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh
penderitaan rakyat. pihak militer sudah seyogyanya menjadi
b. Pengambilan/pencurian harta pertimbangan hakim dalam mengambil
benda rakyat merugikan dan setiap keputusan. Hal ini dikarenakan
menyakiti hati rakyat dan penyimpangan atau pelanggaran yang
menambah kesulitan mereka dilakukan oleh salah satu anggota TNI
4. Menghukum diluar keputusan dalam Operasi Militer Selain Perang bisa
pengadilan atau main hakim sendiri. jadi lebih mementingkan perlindungan
a. Setiap prajurit harus menyadari terhadap keutuhan NKRI.27
bahwa hak hidup, hak kebebasan
dan hak atas harta benda
seseorang di negara hukum
26
Indonesia tidak dapat dicabut Buku Saku Pedoman Prajurit TNI AD Dalam Penerapan
kecuali melalui putusan peradilan; Hak Asasi Manusia (HAM)
https://www.scribd.com/doc/59321708/Buku-Saku-Prajurit-
b. Penghukuman seseorang dapat Tni-Ad-Ttg-Ham, diakses pada 4 Oktober 2017
dilakukan setelah proses peradilan 27
Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan
dan penjatuhan putusan; Indonesia 2014, Institute for Defence Security and Peace
Studies, DCAF a centre for security, development and the
rule of la, Fitriani, 2015
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 29
3. PENUTUP TNI harus senantiasa berpedoman pada
Gerakan separatisme hingga saat ini Hukum Humaniter, hukum kebiasaan
masih menjadi ancaman nyata bagi internasional dan Hukum Hak Azasi
persatuan dan kesatuan bangsa. Embrio Manusia Nasional suatu hukum
dari gerakan ini muncul dikarenakan internasional universal, hal ini sesuai
ketidakpuasan elemen masyarakat di dengan Keputusan Menteri Pertahanan
daerah terhadap kebijakan Pemerintah Nomor : Kep/02/M/II/2002 tentang
yang dinilai tidak adil. Oleh karena itu Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum
berdasarkan amanat Undang-Undang Hak Azasi Manusia dalam
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Nasional Indonesia, maka salah satu tugas Ini dikarenakan, isu HAM menjadi hal
TNI selain Operasi Militer untuk Perang yang cukup menonjol ketika Negara
(OMP) yakni mengatasi gerakan beserta aparatnya melaksanakan
separatisme berdasakan tugas pokok TNI kewajiban-kewajibannya seperti
OMSP (Operasi Militer Selain Perang). penanggulangan gerakan separatisme,
Menggunakan kekuatan pertahanan sedangkan penanggulangan ancaman
militer dalam) menghadapi ancaman terhadap kedaulatan, integritas dan
separatisme dan pemberontakan keselamatan Negara merupakan tugas dan
bersenjata dilakukan berdasarkan putusan tanggung jawab TNI. Oleh karena itu,
politik pemerintah dan dilindungi oleh untuk menjamin kepastian hukum dan
undang-undang. Penggunaan kekuatan kredibilitas tindakan penanggulangan
TNI melalui OMSP ini dengan ancaman tersebut, maka perlu adanya
mengembangkan strategi operasi pemahaman yang baik dari setiap prajurit
yangtepat dan efektif sesuai dengan situasi mengenai penerapan Hukum Humaniter
dan kondisi yang dihadapi. dan HAM. Setiap prajurit dan satuan TNI
OMSP yang dilakukan oleh pihak berkewajiban untuk mematuhi Hukum
militer tidak lain meruupakan fungsi TNI Humaniter dan HAM tersebut dalam
sebagai alat pertahanan mnegara yaitu melaksanakan tugas yang dibebankan baik
menangkap setidap bentuk ancaman dalam kerangka Operasi Militer Perang
militer dan ancaman bersenjata dari luar maupun Operasi Militer Selain Perang.
dan dalam negeri terhadap kedaulatan, Setiap Prajurit wajib memahami dan
keutuhan wilayah, dan keselamatan mampu melaksanakan kewajiban-
bangsa. Hal ini sejalan dengan dalam BAB kewajibannya sesuai dengan hukum dan
III Doktrin Tentara Nasional Indoensia kebiasaan perang yang terdapat dalam
Tridarma Ekakarma (TRIDEK) Tugas berbagai konvensi internasional yang
Pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan berlaku dan mengikat terhadap Negara
negara, mempertahankan keutuhan Indonesia.
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945, DAFTAR PUSTAKA
serta melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia dari Buku Putih Pertahanan Indonesia 2014,
ancaman dan gangguan terhadap Departemen Pertahanan Republik
keutuhan bangsa dan negara. Indonesia.
Akan tetapi, dalam melaksanakan
mencegah dan menanggulangi Buku Saku Pedoman Prajurit TNI AD
separatisme, pihak militer sudah Dalam Penerapan Hak Asasi
seyogyanya untuk memperhatikan Hukum
Manusia (HAM)
HumaniterInternasional.Hukum Humaniter
yang terdiri dari Hukum DenHaag dan https://www.scribd.com/doc/5932170
Hukum Jenewa, pada prinsipnya 8/Buku-Saku-Prajurit-Tni-Ad-Ttg-Ham
melindungi hak perorangan disaat terjadi download 3 Oktober 2017.
konflik bersenjata. Segala bentuk
pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan Fitriani, Almanak Hak Asasi Manusia di
negara baik berupa OMP ataupun OMSP, Sektor Keamanan Indonesia 2014,
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 30
Institute for Defence Security and Pusat Penerangan TNI, “Prajurit TNI dalam
Peace Studies, DCAF a centre for Penerapan Hak Asasi Manusia
security, development and the rule of (HAM),” dalam tni.mil.id/view-25111-
law, 2015. prajurit-tni-dalam-penerapan-hak-
asasi-manusia-ham.html diakses
Hamid, Abdul, Gerakan Separatisme pada 4 Oktober 2017.
ditinjau dari Hukum Humaniter
Internasional, Fakultas Hukum Siswanto, Arie, Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara, 2001. Internasional, Andi, Yogyakarta,
2015.
Hiariej, Eddy O.S, Pengantar Hukum
Pidana Internasional, Erlangga, 2009. TAP MPR No. VII.2000 tentang Peran
Tentara Nasional Indonesia dan
Hukum Pidana Internasional dan Kepolisian Negara Republik
Perempuan, Buku I, Sebuah Acuan Indonesia.
Untuk Praktisi, Publikasi Komnas
Perempuan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara.
Ismail, Isplancius, Penerapan Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tambahan dalam Hukum Nasional tentang Tentara Nasional Republik
Indonesia (Studi tentang Urgensi dan Indonesia.
Prosedur Ratifikasi Protokol
Tambahan 1977), Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No 3
September 2013.

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia,


OMP-OMSP, Babinkum TNI, 2011.

Mengko, Diandra Megaputri, Jurnal


Keamanan Nasional, Pusat Kajian
Keamanan Nasional, Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya, Volume I
No. 2015.

Mullinen, de Frederic, Handbook on the


Law of the War for Armed Forces,
ICRC, Geneva, 1987.

Peraturan menteri Pertahanan Republik


Indonesia Nomor 5 tahun 2011
tentang Kebijakan Pertahanan
Negara Tentang Tugas Tentara
Nasional Indonesia Dalam Mengatasi
Gerakan Separatisme.

Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 31

Anda mungkin juga menyukai