Abstrak: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang terbentuk dari
keberagaman budaya dan bahasa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke yang dikenal
dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, tidak sedikit segelintir atau sekelompok golongan
masyarakat yang berupaya merongrong kesatuan dan kedaulatan Bangsa ini. Gerakan
separatisme merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk mendapatkan kedaulatan dan
memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia dari satu sama lain. Gerakan ini muncul
dikarenakan ketidakpuasan masyarakat atau segelintir orangterhadap pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam memberikan rasa keadilan.Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh setiap Negara guna menanggulangi gerakan-
gerakan separatisme.Namun tidak sedikit pula OMSP yang dilakukan oleh pihak militer selalu
menimbulkan sebuah polemik dan amino di tengah-tengah masyarakat yaitu berupa pelanggaran
HAM. Atas dasar inilah, tulisan ini bermaksud untuk mengupas persoalan tugas OMSP di
Indonesia yang akan ditinjau berdasarkan konsep Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Nasional.
6 8
Hukum Pidana Internasional dan Perempuan, Buku I, Ibid. Hal 9
Sebuah Acuan Untuk Praktisi, Publikasi Komnas 9
Gerakan Separatisme ditinjau dari Hukum Humaniter
Perempuan, Hal.21 Internasional, Abdul Hamid, Fakultas Hukum Universitas
7
Ibid, Hal. 6 Sumatera Utara, 2001, Hal.8
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 22
3. Perbedaan keyakinan atau agama; tersebut harus dipenuhi secara
4. Perbedaan social dan ekonomi; keseluruhan dan bersamaan agar suatu
5. Diskriminasi politik dari pemerintah peristiwa dapat dikatakan sebagai suatu
yang sah; pertikaian bersenjata non-internasional.
6. Letak geografis.10 Apabila peristiwa didalam negeri tersebut
hanya berupa internal tensions
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, (ketegangan dalam negeri) maka Protokol
dalam pertikaian bersenjata yang bersifat Tambahan II Tahun 1977 tidak berlaku,
non-internasional diatur dalam Pasal 3 melainkan Hukum Nasional negara
common articles Konvensi Jenewa 1949 tersebut yang berlaku.12
dan Protokol Tambahan II Tahun 1977. Suatu peristiwa dikategorikan sebagai
Dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ketegangan dalam negeri, apabila terjadi
memang tidak dijelaskan secara rinci salah satu atau lebih dari keadaan-
mengenai definisi dari “pertikaian keadaan di bawah ini, yaitu :
bersenjata yang tidak bersifat 1. Terjadi banyak penahanan secara
internasional”. Pasal 3 ini hanya massal;
menyebutkan bahwa : 2. Banyak tahanan politik;
“In the case of armed conflict not 3. Adanya penyiksaan atau kondisi yang
an international character tidak manusiawi dalam tahanan;
occurring in the territory of one of 4. Penerapan keadaan darurat oleh
the High Contracting Parties, pemerintah;
each Party to a conflict shall be 5. Meningkatnya jumlah orang-orang
bound to apply, as minimum, the hilang.13
following provisions...”11
Dengan kata lain, pemberontakan atau Kondisi ketegangan dalam negeriini
perang saudara yang terjadi di dalam dapat berubah menjadi kondisi pertikaian
wilayah suatu Negara Pihak Konvensi bersenjata non-internasional apabila pihak
dapatlah dikatakan sebagai pertikaian lawan dari pemerintah yang sedang
bersenjata yang tidak bersifat internasional. berkuasa mulai terorganisir dan intensitas
Sebaliknya, Protokol Tambahan II ketegangannya meningkat cukup tinggi.
Tahun 1977 pada Pasal 1, memberikan Dalam hal ini, kasus-kasus
kriteria-kriteria yang lebih jelas mengenai separatisme yang terjadi di Indonesia
peristiwa pertikaian bersenjata non- sejauh ini tidak dapat dikatakan hanyalah
internasional. Kriteria tersebut adalah : merupakan internal tensions semata,
1. Pertikaian terjadi di dalam wilayah karena intensitas penahanan massal,
Pihak Peserta Agung; perlakuan tidak manusiawi, pertikaian
2. Pertikaian terjadi antara angkatan bersenjata secara terbuka dan orang-orang
bersenjata Pihak Peserta Agung hilang cukup tinggi. Disamping itu apabila
dengan kekuatan bersenjata pihak kita mendasarkan diri pada Pasal 3
yang memberontak (dissident); common articles Konvensi Jenewa 1949,
3. Kekuatan bersenjata pihak maka selama suatu peristiwa bukanlah
pemberontak ini harus berada di merupakan tindakan penggarongan atau
bawah suatu komando yang huru-hara yang bersifat sporadis, maka
bertanggung jawab; separatisme dapat dikategorikan sebagai
4. Pihak pemberontak telah menguasai pertikaian bersenjata yang tidak bersifat
sebagian wilayah Negara, dan; internasional.
5. Pihak pemberontak dapat Oleh karena itu, Hukum Humaniter
melaksanakan ketentuan Protokol Internasional, khususnya Pasal 3 common
Tambahan II Tahun 1977. articles Konvensi-konvensi Jenewa 1949
haruslah ditetapkan.Pasal 3 ini
Kriteria-kriteria tersebut tidak bersifat menyebutkan bahwa apabila terjadi
fakultatif. Dengan kata lain,kriteria-kriteria pertikaian bersenjata yang tidak bersifat
10 12
Ibid. Hal 9-10 Ibid, Hal 43
11 13
Ibid, Hal 42-43 Ibid. Hal 43-45
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 23
internasional maka Negara Pihak Konvensi Pada era reformasi, istilah tugas
dilarang melakukan tindakan kekerasan perbantuan pertama kali muncul pada
terhadap jiwa dan raga, seperti Pasal 4 TAP MPR No.VII/2000 tentang
penganiayaan.Penyanderaan Peran Tentara Nasional Indonesia dan
pembunuhan, pemerkosaan, dan Kepolisian Republik Indoneesia yang
penjatuhan hukuman tanpa adanya menjelaskan:
pengadilan. 1. TNI membantu penyelenggaraan
kegiatan kemanusiaan (civic mission) ;
2.4 DASAR HUKUM BERLAKUNYA 2. TNI memberi bantuan kepada Polri
OMSP DI INDONESIA dalam rangka tugas keamanan, atas
Di Indonesia, istilah OMSP secara permintaan yang diatur dalam Undang-
resmi baru dikenal pada tahun 2002 seiring Undang;
dengan disahkannya Undang-Undang 3. TNI membantu secara aktif tugas
Pertahanan. Meski demikian, konsep tugas pemeliharaan perdamaian dunia
perbantuan sudah dikenal jauh sebelum (peace keeping operation) di bawah
itu. Di era Soekarno, pengaturan mengenai bendera PBB.16
tugas perbantuan pada masa damai diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Selanjutnya, munculah istilah Operasi
Tahun 1954 tentang Permintaan dan Militer Selain Perang (OMSP) pada Pasal
Pelaksanaan Bantuan Militer sebagai 10 UU Pertahanan Nomor 3 Tahun
pengganti dari Keputusan Presiden RI 2002tentang Pertahanan, namun
Nomor 175 dan Nomor 213 Tahun 1952. penjelasan terkait jenis-jenis OMSP baru
Sementara keterlibatan militer dalam muncul pada Pasal 7 Undang-Undang
keadaan darurat, baru muncul pada tahun Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
1959 dan diatur dalam Peraturan Nasional Indonesia. Penjelasan jenis-jenis
Pemerintah Pengganti Undang-Undang OMSP pada Undang-Undang TNI juga
Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan mencakup jenis operasi tugas perbantuan
Bahaya sebagai pengganti Undang- yang sebelumnya ada pada TAP MPR,
Undang Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran namun dijabarkan secara lebih luas. Jenis
Negara No.160 Tahun 1957) dan OMSP ini dibagi dalam 14 jenis operasi,
Penetapan Keadaan Bahaya.14 yang meliputi :
Menyesuaikan dengan Perppu 1. Mengatasi gerakan separatisme
Keadaan Bahaya, peraturan tugas bersenjata;
perbantuan (dalam masa damai) kembali 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata;
disempurnakan melalui Peraturan 3. Mengatasi aksi terorisme;
Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960.Dalam 4. Mengamankan wilayah perbatasan;
perkembangan selanjutnya di era Presiden 5. Mengamankan objek vital nasional
Soeharto, diskursus mengenai tugas yang bersifat strategis;
perbantuan menjadi tidak signifikan.Hal ini 6. Melaksanakan tugas perdamaian
disebabkan oleh sistem pemerintahan dunia sesuai dengan kebijakan politik
otoriter Soeharto dan doktirn dwi-fungsi luar negeri;
ABRI yang melegitimasi militer untuk 7. Mengamankan Presiden dan wakil
terlibat secara dominan pada ranah-ranah presiden beserta keluarganya;
sipil khususnya keterlibatan dalam peran 8. Memberdayakan wilayah pertahanan
sosial dan politik.Dengan jatuhnya rezim dan kekuatan pendukungnya secara
Soeharto dan Indonesia menganut sistem dini sesuai dengan sistem pertahanan
pemerintahan demokrasi, kebijakan dwi- semesta;
fungsi dihapuskan dan agenda Reformasi 9. Membantu tugas pemerintahan di
Sektor Keamanan (RSK) mulai daerah;
dilaksanakan.15 10. Membantu kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam rangka tugas
14
Jurnal Keamanan Nasional, Pusat Kajian Keamanan
Nasional, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Diandra
Megaputri Mengko, Volume I No. 2015, Hal. 181 16
TAP MPR No. VII.2000 tentang Peran Tentara Republik
15
Ibid 180 Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 24
keamanan dan ketertiban masyarakat Gangguan Keamanan Dalam Negeri
yang diatur dalam undang-undang; Nomor 2 Tahun 2013 dan Undang-Undang
11. Membantu mengamankan tamu Nomor 9 Tahun 2003 tentang Terorisme.
negara setingkat kepala dan Bahkan, pengaturan tentang tugas
perwakilan pemerintah asing yang perbantuan militer kepada pemerintah
sedang berada di Indonesia; dalam hal ini kementerian dan instansi
12. Membantu menanggulangi akibat lainnya hanya di atur dalam bentuk
bencana alam, pengungsian, dan memorandum of understanding antara
pemberian bantuan kemanusiaan; Panglima TNI dengan kementerian serta
13. Membantu pencarian dan pertolongan instansi terkait.18
dalam kecelakaan (search and
rescue); 2.5 MENGATASI GERAKAN
14. Membantu pemerintah dalam SEPARATISME DI INDONESIA
pengamanan pelayaran dan MELALUI OMSP
penerbangan terhadap pembajakan, Gerakan separatis masih menjadi isu
perompakan, dan penyelundupan.17 keamanan dalam negeri, baik dalam
bentuk gerakan separatis politik maupun
Namun demikian, pelaksanaan OMSP gerakan separatis bersenjata.Masih
tersebut hanya bisa dilakukan jika ada terdapat pihak-pihak yang berkeinginan
keputusan politik negara sebagaimana di untuk memisahkan diri dari NKRI dengan
tegaskan dalam Pasal 7 ayat 3 Undang- mengeksploitasi kelemahan
undang TNI.Dalam Penjelasan Pasal 5 penyelenggaraan fungsi pemerintahan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Indonesia menempatkan separatisme
tentang Tentara Nasional Indonesia yang sebagai ancaman yang serius karena
dimaksud Keputusan politik negara adalah secara langsung mengancam keutuhan
kebijakan politik pemerintah bersama-sama wilayah NKRI dan mengancam
dewan perwakilan rakyat (DPR) yang keselamatan bangsa.Akar masalah
dirumuskan melalui mekanisme hubungan separatisme terletak pada distribusi hak.
kerja antara pemerintah dengan DPR, Hak politik, ekonomi, dan distribusi
seperti rapat konsultasi dan rapat kerja keadilan yang tidak merata, yang
sesuai dengan peraturan perundang- menyebabkan kelompok tertentu merasa
undangan. tidak nyaman untuk tinggal di dalam
Dalam Buku Putih pertahanan tahun naungan NKRI. Selama akar masalah
2008 juga di jelaskan bahwa pelaksanaan tersebut tidak dipecahkan, potensi
OMSP hanya dapat dilakukan apabila separatisme akan selalu ada. Bangsa
penanganan dengan cara-cara biasa atau Indonesia menyadari dan memiliki
penanganan fungsional sudah tidak efektif komitmen bahwa berada dalam wadah
lagi atau diperkirakan akan menimbulkan NKRI merupakan putusan politik yang tepat
korban yang besar, kerusakan infrastruktur dan final.Sesuai dengan amanat undang-
dan properti yang parah. Namun undang, pertahanan negara berfungsi
sayangnya dimasa Reformasi ini belum untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI.
ada regulasi tentang tugas perbantuan Namun, diakui usaha untuk mengatasi akar
militer dalam kerangka OMSP yang masalah separatisme belum dapat
spesifik dan komprehensif di Indonesia. diwujudkan secara penuh antara lain
Justru pengaturan tentang tugas akibat belum merata dan terpadunya
perbantuan TNI dalam kerangka OMSP pembangunan nasional.19
diatur secara parsial dan sektoral di dalam Adapun gerakan separatisme tentunya
beberapa aturan seperti diatur dalam akan mengancam keutuhan NKRI, oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 karena itu dirasa penting keterlibatan TNI
tentang Penanganan Konflik Sosial, dalam penanggulangan separatisme, yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 melalui Operasi Militer Selain Perang.
tentang Pertahanan, Inpres Penanganan
18
Ibid. Hal 183
17 19
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Buku Putih Pertahanan Indonesia 2014, Departemen
Republik Indonesia Pertahanan Republik Indonesia
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 25
Pemberlakuan OMSP ini, sejalan dengan keraguan dalam pencapaian tugas
tujuan pertahanan negara, sebagaimana pokok.
telah diuraikan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 b. Asas kesatuan komando dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 pengendalian Seluruh kegiatan operasi
tentang Pertahanan Negara berbunyi: yang dilaksanakan dalam kerangka
“Pertahanan negara bertujuan OMSP berada di bawah satu komando
untuk menjaga dan melindungi / penanggung jawab dari institusi
kedaulatan negara, keutuhan Negara yang ditunjuk sesuai peraturan
wilayah negara Kesatuan Republik perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia, dan keselamatan c. Asas Proporsionalitas diartikan bahwa
segenap bangsa dari segala kekuatan, persenjataan dan peralatan
bentuk ancaman". TNI yang dikerahkan dalam
pelaksanaan operasi dilakukan secara
Penjelasan pasal 4 Undang- sepadan, tidak berlebihan, memiliki
Undang Nomor 3 Tahun 2002 prosedur standar operasi yang jelas,
tentang Pertahanan Negara, terhindar dari tindakan diluar batas
yakni: "Yang dimaksud dengan kewajaran.
ancaman adalah setiap usaha dan d. Asas keamanan Tindakan yang tepat
kegiatan baik dari dalam negeri untuk menjamin keamanan,
maupun luar negeri yang dinilai kerahasiaan, keleluasaan bergerak,
membahayakan kedaulatan melindungi satuan sendiri dan
negara, keutuhan wilayah negara, menghindari jatuhnya informasi ke
dan keselamatan segenap tangan lawan. Asas keamanan
bangsa". diterapkan mulai proses perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan
Pasal 5 berbunyi: "Pertahanan pengakhiran operasi dengan tujuan
negara berfungsi untuk untuk menghindari kegagalan dalam
mewujudkan dan pelaksanaan OMSP.
mempertahankan seluruh wilayah e. Asas Legitimasi di artikan bahwa
Negara Kesatuan Republik pelaksanaan OMSP yang
Indonesia sebagai satu kesatuan dilaksanakan oleh TNI sudah berdasar
pertahanan". Penjelasan pasal 5 kepada peraturan perundangan yang
Undang-Undang Nomor 3 Tahun berlaku dan keputusan politik Negara.
2002 tentang Pertahanan Negara f. Asas keterpaduan Mengingat OMSP
yakni : "Yang dimaksud dengan merupakan operasi yang melibatkan
seluruh wilayah Negara Kesatuan institusi di luar TNI, maka diperlukan
Republik Indonesia sebagai satu adanya persamaan persepsi,
kesatuan pertahanan adalah koordinasi yang tepat dan keterpaduan
bahwa ancaman terhadap dalam kesatuan dan dukungan.
sebagian wilayah merupakan g. Asas ekonomis
ancaman terhadap seluruh Dalam OMSP harus di pertimbangkan
wilayah dan menjadi tanggung penggunaan kekuatan secara
jawab segenap bangsa".20 ekonomis.Segala factor harus
diperhitungkan dengan cermat,
Adapun asas-asas yang dipergunakan sehingga pada pelaksanaannya dapat
Tentara Nasional Indonesia dalam rangka dikerahkan kekuatan secara efektif
melaksanakan Operasi Militer Selain dan efisien.21
Perang adalah sebagai berikut :
a. Asas tujuan Keterlibatan pihak militer dalam
Setiap penyelenggaraan operasi harus penanggulangan gerakan separatisme atau
memiliki rumusan tujuan/sasaran yang pemberontakan juga diatur dalam
jelas sehingga tidak menimbulkan penjelasan Pasal 7 Undang-Undang
20 21
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, OMP-OMSP,
Pertahanan Negara Babinkum TNI, 2011, hlm. 85
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 26
Nomor 3 Tahun 2002 yang dan hukum nasional merupakan satu
mengkategorikan pemberontakan sistem hukum pada umumnya.Semua
bersenjata sebagai ancaman militer. Yang ketentuan hukum merupakan kesatuan
dimaksud dengan ancaman militer itu sistem yang terdiri dari ketentuan hukum
sendiri adalah ancaman yang yang mengikat negara, individu maupun
menggunakan kekuatan bersenjata yang kesatuan bukan negara.Hukum nasional
terorganisasi yang dinilai mempunyai dan hukum internasional secara
kemampuan yang membahayakan keseluruhan merupakan dari sistem hukum
kedaulatan negara, keutuhan wilayah universal yang mengikat manusia baik
negara, dan keselamatan segenap bangsa. secara individual maupun secara kolektif.
Lebih lanjut, amanat Undang-Undang Hukum internasional mengikat individu
Nomor 3 Tahun 2002 dan Undang-Undang secara kolektif sedang hukum nasional
Nomor 34 Tahun 2004 mengenai mengikat individu secara perorangan
menanggulangi gerakan separatisme Berlakunya ketentuan-ketentuan
dirumuskan dalam Peraturan menteri hukum internasional ke dalam hukum
Pertahanan Republik Indonesia Nomor 5 nasional dilakukan dengan berlandaskan
tahun 2011 tentang Kebijakan Pertahanan pada teori-teori transformasi dan
Negara Tentang Tugas Tentara Nasional delegasi.Adapun dalam praktik negara
Indonesia Dalam Mengatasi Gerakan dikenal beberapa istilah untuk realisasi
Separatisme, yang kemudian digunakan penerapan hukum internasional ke dalam
sebagai pedoman dan dilaksanakan dalam hukum nasional seperti ratifikasi
mengatasi Separatisme. (ratification) dan aksesi (accession).23
Indonesia telah meratifikasi seluruh
Konvensi Jenewa 1949 dengan adanya
2.6 PENANGGULANGAN Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958
SEPARATISME DI INDONESIA tentang Ikut Serta Negara Republik
DALAM KACAMATA HUKUM Indonesia Dalam Seluruh Konvensi
HUMANITER INTERNASIONAL Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Pasal
Mengenai hubungan sistem hukum 27 Konvensi Jenewa keempat tahun 1949
internasional dengan sistem hukum menyatakan bahwa Hukum Den Haag dan
nasional dikenal paham atau teori dualisme Hukum Jenewa merupakan sumber pokok
dan monisme.Menurut paham atau teori Hukum Humaniter Internasional sehingga
dualisme, hukum internasional dan hukum Indonesia juga harus mematuhi dan
nasional merupakan dua sistem hukum mentaati Hukum Den Haag.
yang berbeda secara intrinsik.Hukum Namun mengenai Protokol Tambahan
internasional bersumber pada kehendak I (mengatur ketentuan-ketentuan tentang
bersama atau kesepakatan negara-negara konflik bersenjata yang bersifat
sementara hukum nasional bersumber internasional) dan II (mengatur ketentuan-
pada kehendak negara dan kekuasaan ketentuan tentang konflik bersenjata yang
negara.Hukum internasional dilandasi bersifat non internasional) Tahun 1977
prinsip dasar pacta sunt servanda, hingga saat ini Indonesia belum
sedangkan hukum nasional dilandasi meratifikasi kedua Protokol Tambahan
prinsip dasar bahwa peraturan perundang- 1977 tersebut. Protokol Tambahan I belum
undangan harus ditaati.Namun hukum diratifikasi karena Indonesia masih merasa
internasional dan hukum nasonal keduanya keberatan mengenai apa yang dimaksud
bertujuan menciptakan ketertiban dan dengan bangsa yang tertera dalam pasal 1
keadilan.22 ayat (4) juncto pasal 96 ayat (3). Protokol
Sedangkan paham monisme Tambahan II belum diratifikasi karena
menganggap bahwa hukum internasioanl masih adanya kekhawatiran bahwa
Protokol Tambahan IIini akan dijadikan alat
22
bagi pemberontak untuk melakukan
Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tuntutan internasional. Sejalan dengan ini,
Tambahan dalam Hukum Nasional Indonesia (Studi tentang
Urgensi dan Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan 1977), tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
Isplancius Ismail, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No 3
23
September 2013, Hal. 368 Ibid. Hal 369
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 27
telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 b. penyanderaan;
tanpa syarat. Oleh karena itu sudah c. perkosaan atas kehormatan pribadi
seharusnya dan selayaknya Indonesia d. menghukum dan menjalankan
menghormati konvensi tersebut.24 hukuman mati tanpa didahului
keputusan yang dijatuhkan oleh suatu
2.7 PENEGAKAN HAM DALAM pengadilan yang dibentuk secara
PENENGGULANGAN GERAKAN teratur.
SEPARATIS OLEH MILITER
Meski telah diamanatkan oleh Hukum Sementara itu Pasca 1998 , TNI mulai
Nasional bahwa militer dalam hal ini memberlakukan pendidikan Hak Asasi
Tentara Republik Indonesia untuk Manusia dan dibekali dengan Buku Saku
menanggulangi segala bentuk gerakan “Pedoman Prajurit Dalam Penerapan Hak
separatis yang merongrong kedaulatan Asasi Manusia” untuk mengetahui batas-
Bangsa Indonesia, sudah seharusnya batas wewenang yang ditetapkan dalam
setiap Operasi Militer Selain Perang tetap perundangan yang berlaku.25Di dalam buku
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. pedoman tersebut secara jelas tertulis
Pasca Reformasi, Indonesia bahwa setiap prajurit TNI dilarang:
mengamandemen konstitusi sebagai itikad 1. Melakukan pembunuhan dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan penyiksaan, jikapun terpaksa
mencegah pelanggaran hak tersebut pembunuhan hanya boleh dilakukan
seperti yang terjadi di masa aman Orde terhadap musuh bersenjata dalam
Baru yang kemudian dikeluarkannya pertempuran;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 a. Bila lawan menyerah atau
tentang Hak Asasi Manusia. Sejalan tertangkap mereka berhak
dengan ini, sebelum lahirnya Undang- memperoleh perlindungan dan
Undang Hak Asasi Manusia di Indonesia, diperlakukan sesuai hukum yang
peraturan mengenai HAM telah diatur berlaku. Mereka tidak boleh
dalam Konvensi Jenewa 1949 yaitu disiksa atau dibunuh.
Konvensi Jenewa Mengenai Perlindungan b. Perkosaan terhadap wanita
Orang Sipil di waktu Perang dan Konvensi bertentangan dengan kode
Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan kehormatan militer dan tindakan
Perang. tersebut melanggar Hak Asasi
Atas dasar inilah, maka Operasi Militer Manusia.
Selain Perang yang dilakukan oleh TNI c. Menggunakan teknik penyiksaan
untuk menanggulangi separatisme di untuk memperoleh pengakuan/
Indonesia sudah seharusnya keterangan. Keterangan yang
memperhatikan Hak Asasi Manusia, didapat melalui penyiksaan
sebagaimana telah diatur dalam Hukum membuat keterangan tersebut
Humaniter Internasional. Ini disebabkan diragukan dan tidak dapat
Indonesia telah meratifikasi Konvensi digunakan untuk menempatkan
Jenewa 1949 dan merupakan konsekuensi seseorang menjadi tersangka.
yuridis untuk setiap Negara yang d. Kepentingan militer, keamanan
menandatangani konvensi tersebut untuk nasional dan dasar-dasar lainnya
mematuhinya. Pasal 3 Konvensi Jenewa bukanlah pembenaran untuk
1949 menegaskan bahwa dalam hal terjadi penyiksaan;
pertikaian bersenjata yang tidak bersifat e. Perlakukan yang salah terhadap
internasional yang berlangsung dalam rakyat akan merugikan
wilayah salah satu Negara yang pelaksanaan tugas dan membuka
mendatangani Konvensi Jenewa, tiap pihak kesempatan untuk
yang bertikai harus memperhatikan aturan- mendiskreditkan institusi TNI.
aturan tentang kemanusiaan, antara lain
larangan:
a. tindakan kekerasan atas jiwa dan raga; 25
Pusat Penerangan TNI, “Prajurit TNI dalam Penerpaan
Hak Asasi Manusia (HAM),”tni.mil.id/view-25111-prajurit-tni-
dalam-penerapan-hak-asasi-manusia-ham.html diakses
24
Ibid. Hal 372 pada 4 Oktober 2017
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 28
2. Menculik/Menghilangkan orang c. Setiap orang tanpa diskriminasi
dengan paksa; agama, suku, ras, etnik, kelompok,
a. Setiap anggota TNI dilarang untuk golongan, status sosial dan
menangkap dan/atau menahan ekonomi, jenis kelamin, bahasa
seseorang di luar ketentuan dan keyakinan politik sama di
hukum yang berlaku. hadapan hukum
b. Orang yang ditangkap/ditahan Dalam Buku Saku Pedoman Hak Asasi
oleh TNI berada dalam Manusia untuk Angkatan Darat (AD) itu
penguasaan sesuai dengan pun tertulis bahwa “Sejuta musuh yang
kewenangan peraturan berhasil kau bunuh dalam pertempuran kau
perundangan dan menjadi adalah pahlawan. Tetapi satu orang rakyat
tanggung jawab komandan satuan terluka karena tindak kekerasan, sejuta
sebagai pejabat negara. musuh yang kau bunuh tidak
c. Penangkapan dan/atau membebaskan dirimu dari jerat hukum atas
penahanan harus diikuti tindakan: pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kau
- Pencatatan identitas, alasan lakukan”.26
penangkapan dan/atau Selain itu TNI mendapat pengenalan
penahanan, hari-tanggalwaktu- mengenai defnisi kesewenangan (abuse of
tempat penahanan dan power), kelalaian dalam melaksanakan
pelepasan, termasuk tugas (violence by omission) dan
pencatatan pemindahan tempat pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
penahanan bila terjadi (gross violation of human rights). Meski
pemindahan; sudah cukup maju dalam aturan hukum
- Pelaporan kepada komando negara dan institusi militer, kemajuan
atas; penghormatan atas Hak Asasi Manusia ini
- Penginformasian kepada tetap memiliki celah karena prajurit TNI,
keluarga orang yang seperti layaknya warga negara lainnya,
ditangkap/ditahan; berhak menggunakan Pasal 49 KUHP
- Pemberian kesempatan untuk untuk dirinya. Pasal ini menyatakan bahwa
berhubungan dengan keluarga setiap orang yang melakukan kekerasan
baik kunjungan maupun melalui terhadap orang lain tidak akan mendapat
surat hukuman jika tindakan tersebut ditujukan
3. Merusak dan mengambil harta benda untuk melindungi nyawa, badan dan/atau
orang lain; harta benda orang lain.
a. Setiap prajurit harus Oleh sebab itu maka TNI masih
menghindarkan diri dari tindakan memiliki sistem peradilan tersendiri , yakni
perusakan harta benda orang lain peradilan militer . Atas dasar inilah maka
yang dapat menimbulkan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh
penderitaan rakyat. pihak militer sudah seyogyanya menjadi
b. Pengambilan/pencurian harta pertimbangan hakim dalam mengambil
benda rakyat merugikan dan setiap keputusan. Hal ini dikarenakan
menyakiti hati rakyat dan penyimpangan atau pelanggaran yang
menambah kesulitan mereka dilakukan oleh salah satu anggota TNI
4. Menghukum diluar keputusan dalam Operasi Militer Selain Perang bisa
pengadilan atau main hakim sendiri. jadi lebih mementingkan perlindungan
a. Setiap prajurit harus menyadari terhadap keutuhan NKRI.27
bahwa hak hidup, hak kebebasan
dan hak atas harta benda
seseorang di negara hukum
26
Indonesia tidak dapat dicabut Buku Saku Pedoman Prajurit TNI AD Dalam Penerapan
kecuali melalui putusan peradilan; Hak Asasi Manusia (HAM)
https://www.scribd.com/doc/59321708/Buku-Saku-Prajurit-
b. Penghukuman seseorang dapat Tni-Ad-Ttg-Ham, diakses pada 4 Oktober 2017
dilakukan setelah proses peradilan 27
Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan
dan penjatuhan putusan; Indonesia 2014, Institute for Defence Security and Peace
Studies, DCAF a centre for security, development and the
rule of la, Fitriani, 2015
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 29
3. PENUTUP TNI harus senantiasa berpedoman pada
Gerakan separatisme hingga saat ini Hukum Humaniter, hukum kebiasaan
masih menjadi ancaman nyata bagi internasional dan Hukum Hak Azasi
persatuan dan kesatuan bangsa. Embrio Manusia Nasional suatu hukum
dari gerakan ini muncul dikarenakan internasional universal, hal ini sesuai
ketidakpuasan elemen masyarakat di dengan Keputusan Menteri Pertahanan
daerah terhadap kebijakan Pemerintah Nomor : Kep/02/M/II/2002 tentang
yang dinilai tidak adil. Oleh karena itu Penerapan Hukum Humaniter dan Hukum
berdasarkan amanat Undang-Undang Hak Azasi Manusia dalam
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Nasional Indonesia, maka salah satu tugas Ini dikarenakan, isu HAM menjadi hal
TNI selain Operasi Militer untuk Perang yang cukup menonjol ketika Negara
(OMP) yakni mengatasi gerakan beserta aparatnya melaksanakan
separatisme berdasakan tugas pokok TNI kewajiban-kewajibannya seperti
OMSP (Operasi Militer Selain Perang). penanggulangan gerakan separatisme,
Menggunakan kekuatan pertahanan sedangkan penanggulangan ancaman
militer dalam) menghadapi ancaman terhadap kedaulatan, integritas dan
separatisme dan pemberontakan keselamatan Negara merupakan tugas dan
bersenjata dilakukan berdasarkan putusan tanggung jawab TNI. Oleh karena itu,
politik pemerintah dan dilindungi oleh untuk menjamin kepastian hukum dan
undang-undang. Penggunaan kekuatan kredibilitas tindakan penanggulangan
TNI melalui OMSP ini dengan ancaman tersebut, maka perlu adanya
mengembangkan strategi operasi pemahaman yang baik dari setiap prajurit
yangtepat dan efektif sesuai dengan situasi mengenai penerapan Hukum Humaniter
dan kondisi yang dihadapi. dan HAM. Setiap prajurit dan satuan TNI
OMSP yang dilakukan oleh pihak berkewajiban untuk mematuhi Hukum
militer tidak lain meruupakan fungsi TNI Humaniter dan HAM tersebut dalam
sebagai alat pertahanan mnegara yaitu melaksanakan tugas yang dibebankan baik
menangkap setidap bentuk ancaman dalam kerangka Operasi Militer Perang
militer dan ancaman bersenjata dari luar maupun Operasi Militer Selain Perang.
dan dalam negeri terhadap kedaulatan, Setiap Prajurit wajib memahami dan
keutuhan wilayah, dan keselamatan mampu melaksanakan kewajiban-
bangsa. Hal ini sejalan dengan dalam BAB kewajibannya sesuai dengan hukum dan
III Doktrin Tentara Nasional Indoensia kebiasaan perang yang terdapat dalam
Tridarma Ekakarma (TRIDEK) Tugas berbagai konvensi internasional yang
Pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan berlaku dan mengikat terhadap Negara
negara, mempertahankan keutuhan Indonesia.
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berdasarkan
Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945, DAFTAR PUSTAKA
serta melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia dari Buku Putih Pertahanan Indonesia 2014,
ancaman dan gangguan terhadap Departemen Pertahanan Republik
keutuhan bangsa dan negara. Indonesia.
Akan tetapi, dalam melaksanakan
mencegah dan menanggulangi Buku Saku Pedoman Prajurit TNI AD
separatisme, pihak militer sudah Dalam Penerapan Hak Asasi
seyogyanya untuk memperhatikan Hukum
Manusia (HAM)
HumaniterInternasional.Hukum Humaniter
yang terdiri dari Hukum DenHaag dan https://www.scribd.com/doc/5932170
Hukum Jenewa, pada prinsipnya 8/Buku-Saku-Prajurit-Tni-Ad-Ttg-Ham
melindungi hak perorangan disaat terjadi download 3 Oktober 2017.
konflik bersenjata. Segala bentuk
pelaksanaan penyelenggaraan pertahanan Fitriani, Almanak Hak Asasi Manusia di
negara baik berupa OMP ataupun OMSP, Sektor Keamanan Indonesia 2014,
Volume 3 Nomor 1, Desember 2017 | 30
Institute for Defence Security and Pusat Penerangan TNI, “Prajurit TNI dalam
Peace Studies, DCAF a centre for Penerapan Hak Asasi Manusia
security, development and the rule of (HAM),” dalam tni.mil.id/view-25111-
law, 2015. prajurit-tni-dalam-penerapan-hak-
asasi-manusia-ham.html diakses
Hamid, Abdul, Gerakan Separatisme pada 4 Oktober 2017.
ditinjau dari Hukum Humaniter
Internasional, Fakultas Hukum Siswanto, Arie, Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara, 2001. Internasional, Andi, Yogyakarta,
2015.
Hiariej, Eddy O.S, Pengantar Hukum
Pidana Internasional, Erlangga, 2009. TAP MPR No. VII.2000 tentang Peran
Tentara Nasional Indonesia dan
Hukum Pidana Internasional dan Kepolisian Negara Republik
Perempuan, Buku I, Sebuah Acuan Indonesia.
Untuk Praktisi, Publikasi Komnas
Perempuan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara.
Ismail, Isplancius, Penerapan Konvensi
Jenewa 1949 dan Protokol Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
Tambahan dalam Hukum Nasional tentang Tentara Nasional Republik
Indonesia (Studi tentang Urgensi dan Indonesia.
Prosedur Ratifikasi Protokol
Tambahan 1977), Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No 3
September 2013.