Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM HUMANITER

“Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konflik Bersenjata Internasional”

Disusun sebagai pemeniuhan tugas Mata Kuliah Hukum Humaniter

Dosen Pengampuh:

Bapak Fajar Khaifi Rizki, S.H., M.H.

NAMA: GANANG HADI

NIM: 220200018

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2023

i
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………………………….. i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………. ii

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………… 1


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………... 3

BAB II. PEMBAHASAN …………………………………………………………………. 4

1.1 Dampak Konflik Bersenjata Internasonal Terhadap Penduduk Sipil ………….. 4


1.2 Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Internasional. 6

BAB III. PENUTUP ………………………………………………………………….. 8


1.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………. 8
1.2 Saran …………………………………………………………………………... 8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perang memiliki berbagai tujuan, termasuk membela diri untuk melindungi kehidupan,
keluarga, martabat, atau bahkan untuk mempertahankan kepentingan ideologis dan nasional. Dalam
konteks ini, Hukum Internasional menyusun serangkaian peraturan terkait perang dan tindakan
kekerasan lainnya, dengan tujuan agar tindakan tersebut berlandaskan pada prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia, atau disingkat HAM. Ketentuan-ketentuan mengenai hal ini dalam Hukum Internasional
dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional (HHI).

HHI merupakan seperangkat norma dan prinsip yang mengatur perilaku negara-negara dan
pihak-pihak terlibat dalam konflik bersenjata. Tujuannya adalah melindungi mereka yang tak terlibat
dalam pertempuran, termasuk warga sipil, serta meminimalkan penderitaan manusia selama konflik.

HHI membatasi dan menetapkan aturan terkait penggunaan kekuatan militer, perlindungan
bagi korban sipil, dan perlindungan bagi pihak yang tidak lagi berpartisipasi dalam pertempuran,
termasuk tawanan perang. Semua ini bertujuan untuk memastikan bahwa bahkan dalam situasi
konflik, hak-hak asasi manusia tetap terlindungi.

Dalam suatu hubungan antar subjek hukum internasional khususnya negara, sering terjadi
pertentangan yang diakibatkan oleh perbedaan kepentingan. Dan tidak selamanya pertentangan
tersebut dapat diselesaikan melalui penyelesaian damai. Pertentangan kepentingan inilah yang sering
disebut dengan konflik. Konflik antar negara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
politik, ekonomi, ideologi, strategi militer, ataupun perpaduan antara kepentingan-kepentingan
tersebut1

Terdapat dua jenis konflik, yakni eksternal antara negara dengan negara, atau internal yang
terjadi di dalam satu negara. Penyelesaian konflik dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama,
melalui cara damai, di mana pihak-pihak yang terlibat dapat sepakat untuk mencari solusi yang
bersahabat. Kedua, melalui cara paksa atau dengan menggunakan kekerasan, di mana penyelesaian
dicapai melalui tindakan kekerasan.

Selain dikenal sebagai konflik bersenjata internasional antara negara dengan negara, perang
atau konflik bersenjata juga dapat terjadi di dalam satu negara, yang sering disebut sebagai konflik
1
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2006
hlm.1

1
non-internasional. Konflik bersenjata terbagi menjadi dua jenis, yaitu konflik bersenjata internasional
dan konflik bersenjata non-internasional, yang juga dikenal sebagai konflik dalam negeri. Konflik
bersenjata mengakibatkan banyak korban, termasuk dari kalangan militer maupun warga sipil. Oleh
karena itu, terdapat regulasi dalam berbagai Konvensi seperti Konvensi Den Haag 1907, Konvensi
Jenewa 1949, serta Protokol Tambahan I dan II 1977 yang bertujuan untuk mencegah atau melindungi
para korban konflik bersenjata, terutama dari kekerasan yang dapat berakibat serius, terutama bagi
mereka yang lebih rentan. Pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata memiliki tanggung jawab
untuk melindungi anggota militer lawan yang telah ditangkap dan juga warga sipil dari tindakan
kekerasan, termasuk penyalahgunaan, penyiksaan, kekerasan seksual, dan pembunuhan.

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan dalam konflik bersenjata non-
internasional menyatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pertempuran di suatu negara harus
memastikan keselamatan orang-orang yang tidak aktif dalam pertikaian, termasuk anggota militer
atau kombatan yang telah menyerahkan senjata mereka karena alasan seperti sakit, luka, penahanan,
atau alasan lainnya. Mereka harus diperlakukan dengan penuh kemanusiaan, dan dilarang melakukan
kekerasan terhadap jiwa dan tubuh, serta dilarang memberikan hukuman tanpa proses pengadilan
yang sah.

Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari HAM, dalam arti bahwa HAM
merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum
humaniter lahir lebih dahulu daripada HAM. Jadi secara kronologis, HAM dikembangkan setelah
hukum humaniter internasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu
berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara di mana sedangkan HAM berkaitan
dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. 2

Hukum hak asasi manusia bertujuan untuk menjamin bahwa hak-hak dan kebebasan sipil,
politik, ekonomi, dan budaya dari setiap individu dihormati sepanjang waktu. Tujuannya adalah
memastikan bahwa setiap orang dapat berkembang secara penuh dalam masyarakatnya dan dilindungi
dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang bertanggung jawab. Hak-hak ini diakui oleh
hukum nasional dan merupakan prinsip dasar yang tercantum dalam konstitusi berbagai negara. Selain
itu, hukum hak asasi manusia juga mencakup perlindungan internasional terhadap hak-hak individu
dan kelompok, yang merupakan peraturan yang disepakati oleh negara-negara dalam hubungannya
dengan hak-hak individu maupun kelompok masyarakat. Hukum humaniter internasional, khususnya,
ditetapkan untuk menjamin dan menjaga hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, keamanan, kesehatan,
dan lain sebagainya bagi para korban dan non-kombatan dalam situasi konflik bersenjata. Terdapat

2
Mahfud. Munculnya Intervensi Asing Terhadap Pelangaran Ham Dalam Suatu Konflik Bersenjata Di Suatu
Negara (The Emergence of Foreign Intervention Against Human Rights Violations in Armed Conflict in A State).
Jurnal IUS | Vol I | Nomor 2 | Agustus 2013 | hlm, 209-219. hlm. 210.

2
juga hukum darurat yang diberlakukan dalam keadaan tertentu, sementara hak asasi manusia, yang
efektif di masa damai, terutama berfokus pada kemajuan yang serasi bagi setiap individu.

Pada tahun 1968, Konferensi internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan
oleh PBB di Teheran secara resmi menghubungkan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Hukum
Humaniter Internasional (HHI). Resolusi XXIII yang diadopsi pada tanggal 12 Mei 1968 mengenai
"penghormatan terhadap HAM selama pertikaian bersenjata" mengusulkan penerapan yang lebih
efektif dari konvensi-konvensi terkait pertikaian bersenjata, serta menyuarakan kebutuhan untuk
mencapai kesepakatan baru terkait hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk memperhatikan dan
menangani pula isu Hukum Humaniter Internasional.

Indonesia telah bergabung sebagai pihak yang terlibat dalam Konvensi Jenewa Tahun 1949
tentang Perlindungan Korban Perang (International Convention for the Protection Victims of War).
Hal ini dilakukan melalui proses aksesi seiring dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 59
Tahun 1958 yang mengatur partisipasi Negara Republik Indonesia dalam keempat Konvensi Jenewa
yang diadopsi pada tanggal 12 Agustus 1949.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dampak konflik bersenjata internasional terhadap penduduk sipil?

2. Bagaimanakah perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional


menurut hukum humaniter internasional?

3
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Dampak Konflik Bersenjata Internasonal Terhadap Penduduk Sipil

Kemajuan dalam teknologi persenjataan saat ini menyebabkan semakin sulit untuk melindungi
penduduk sipil dari serangan musuh. Karakteristik perang modern yang bersifat total mengakibatkan
hukum perang konvensional yang sebelumnya memberikan perlindungan menjadi kurang efektif.
Hanya mengeluarkan mereka dari area pertempuran tidak lagi cukup. Penduduk sipil membutuhkan
tingkat perlindungan yang lebih kuat dan perlindungan dari tindakan musuh yang bersifat netral. Ini
berarti tidak hanya menghindari serangan langsung, tetapi juga memisahkan mereka dari tindakan
permusuhan. Karenanya, penting untuk membedakan dengan jelas antara penduduk sipil dan pihak
yang terlibat secara langsung dalam konflik. Selain itu, penduduk sipil harus tetap netral dan tidak
terlibat dalam konflik bersenjata. Walaupun pada kenyataannya terdapat situasi di mana penduduk
sipil terlibat, maka solusi lebih lanjut perlu dipertimbangkan untuk mengatasi hal ini. Kombatan
berhak untuk terlibat aktif dalam tindakan permusuhan, dan jika mereka ditangkap oleh musuh,
mereka berhak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang. Selain itu, warga sipil tidak boleh
mengambil bagian secara aktif. Hukum Humaniter memberikan perlindungan bagi individu yang
terlibat dalam konflik, terutama untuk orang sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran dan mereka
seharusnya mendapat perlindungan yang optimal. Namun, ironisnya, dalam realitasnya, orang-orang
sipil adalah kelompok yang paling sering menjadi korban.

Penerapan Hukum Humaniter memaksa para kombatan untuk dengan jelas membedakan target
tembakan mereka. Mereka hanya boleh menyerang kombatan musuh yang masih terlibat dalam
pertempuran. Jika seseorang tidak lagi berpartisipasi karena luka atau sakit, maka mereka harus
diberikan perlindungan sesuai dengan prinsip pembedaan. Hal yang sama berlaku untuk warga sipil,
yang tidak boleh dijadikan target serangan. Jika tindakan yang diambil oleh pihak-pihak dalam
konflik atau kombatan didasarkan pada prinsip kejujuran, kesatria, dan kemanusiaan, yang
mendorong perlakuan yang adil, benar, dan berperikemanusiaan, maka dapat mencegah terjadinya
korban di antara orang-orang yang dilindungi dan mereka yang tidak terlibat.

Prinsip pembedaan (Distinction Principle) adalah prinsip penting dalam hukum humaniter, yaitu
suatu prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang
atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan yaitu Combatant dan Penduduk
Sipil. Combatant adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan
(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam

4
permusuhan. Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta
dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan, dan mereka yang tidak
boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak dijadikan obyek kekerasan. Ini sangat penting
ditekankan karena sebenarnya perang hanya berlaku anggota angkatan bersenjata dari negara-negara
yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam permusuhan itu harus
dilindungi dari tindakan-tindakan tersebut.3

Dalam konteks perlindungan penduduk sipil, Konvensi Jenewa menyarankan pendirian daerah
keselamatan, yaitu wilayah terpencil dari zona pertempuran. Ini bertujuan untuk melindungi warga
sipil yang lebih rentan terhadap dampak perang, termasuk mereka yang sakit, perempuan hamil, ibu
menyusui, anak kecil, dan orang tua. Anak-anak harus diperlakukan secara istimewa dan tidak boleh
terlibat dalam pertempuran, mereka harus mendapatkan bantuan dan perawatan sesuai dengan usia
mereka. Selain itu, anak-anak yatim atau yang terpisah dari orang tua mereka juga harus diberikan
perlindungan dan jaminan keselamatan.

Konvensi Jenewa IV dengan tegas melarang serangan terhadap penduduk sipil dan memberikan
perlindungan kepada orang-orang sipil dari bahaya yang dapat timbul akibat tindakan militer. Dengan
dasar prinsip ini, dapat disimpulkan bahwa:

a. Penduduk sipil dan orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik tidak boleh dijadikan objek
serangan.

b. Tindakan atau ancaman kekerasan yang bertujuan untuk menimbulkan ketakutan di kalangan
penduduk dilarang.

c. Orang sipil akan mendapat perlindungan, kecuali jika mereka terlibat secara aktif dalam
pertempuran.

Dampak dari konflik bersenjata internasional terhadap penduduk sipil memerlukan


perlindungan hukum, dukungan sosial, pelayanan kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Hal ini
termasuk pengungsian dan perlindungan khusus untuk kelompok rentan seperti bayi, balita, anak-
anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat, dan lansia dari wilayah terdampak konflik
bersenjata internasional. Konflik bersenjata internasional berpotensi menimbulkan banyak korban
manusia dan kerusakan harta benda serta infrastruktur, dengan dampak ekonomi dan sosial yang
signifikan pada penduduk sipil.

1.2 Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Internasional

3
Levina Yustitianingtyas. Perlindungan Orang Sipil Dalam Hukum Humaniter Internasional. Jurnal Komunikasi
Hukum.Volume 2, Nomor 1, Februari 2016. hlm. 78

5
Perlindungan terhadap penduduk sipil yang terkena dampak pertikaian bersenjata pada dasarnya
diatur oleh hukum humaniter. Namun, dalam perkembangannya, upaya untuk melindungi mereka dari
konsekuensi pertikaian bersenjata di negara asal dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Contohnya,
dengan memindahkan mereka ke wilayah yang tidak terlibat dalam pertikaian, tetapi masih berada di
negara yang terlibat (disebut sebagai pengungsi internal), atau dengan memindahkan mereka ke
negara lain yang aman (disebut sebagai pengungsi internasional), atau bahkan dengan memfasilitasi
emigrasi.

Bentuk-bentuk perlindungan semacam ini tentu terhubung erat dengan Prinsip Pembedaan dalam
hukum humaniter. Prinsip ini menegaskan bahwa dalam suatu negara yang terlibat dalam konflik
bersenjata atau perang, perlu dibuat perbedaan antara Kombatan (pihak yang terlibat langsung dalam
pertempuran) dan Penduduk Sipil (masyarakat sipil). Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menentukan
siapa yang berhak terlibat secara aktif dalam pertempuran atau perang, dan siapa yang tidak. Setiap
kelompok memiliki hak, kewajiban, dan konsekuensi berbeda terhadap pihak musuh. Meskipun
begitu, mereka semua memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan kemanusiaan. Oleh karena
itu, dalam situasi konflik bersenjata atau perang, seseorang harus memilih untuk menjadi bagian dari
satu kelompok, dan tidak bisa berada di dua kelompok sekaligus.

Dalam memberikan perlindungan kepada penduduk sipil, hukum humaniter mengenal beberapa
prinsip yaitu:

a. Prinsip Kemanusiaan, prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk
bertindak dengan mengutamakan aspek kemanusiaan, yaitu dilarang menggunakan kekerasan yang
dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan.

b. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan
penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang terjadi konflik.

c. Prinsip Proporsional adalah prinsip yang mempunyai tujuan untuk meyeimbangkan antara
kepentingan militer dan resiko yang akan diderita oleh penduduk sipil.

d. Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Berlebihan, pada prinsip ini erat kaitannya
dengan prinsip kemanusiaan.

e. Prinsip Kepentingan Militer, dalam prinsip ini ditentukan mengenai kewajiban para pihak dalam
menggunakan kekuatan militer haruslah sesuai hukum.

Secara garis besar HHI bertujuan: melindungi fisik dan mental, baik pihak kombatan maupun
pihak sipil dari penderitaan yang tidak perlu, menjamin hak-hak asasi manusia tertentu dari orang

6
yang jatuh ke tangan musuh, memungkinkan dikembalikannya perdamaian, membatasi kekuasaan
pihak yang berperang.4

Penduduk sipil, termasuk orang asing di wilayah pendudukan, juga mendapatkan perlindungan.
Hal ini diatur dalam Pasal 35 Konvensi Jenewa IV, yang menyatakan bahwa siapa pun yang termasuk
dalam kategori dilindungi dan ingin meninggalkan wilayah pada awal atau selama sengketa
berlangsung, dapat melakukannya, kecuali jika keberangkatannya bertentangan dengan kepentingan
nasional dari negara tersebut. Permintaan untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan prosedur
yang telah diatur dengan teratur, dan keputusan harus diambil secepat mungkin. Mereka yang
diizinkan untuk berangkat dapat membawa dana yang diperlukan untuk perjalanan mereka dan
membawa jumlah yang wajar dari harta dan barang-barang pribadi.

Setiap individu memiliki hak mendapatkan perlindungan. Jika mereka ingin meninggalkan
wilayah pendudukan, mereka perlu memperoleh izin dari negara terkait karena masih berada dalam
zona perlindungan. Perlindungan diberikan kepada seluruh penduduk sipil yang berada di wilayah
konflik karena tujuannya adalah memberikan bantuan kepada korban perang. Prinsip ini diuraikan
dalam Pasal 50 Konvensi Jenewa IV. Selain itu, ada juga perlindungan bagi interniran sipil, yaitu
penduduk sipil yang ditahan oleh negara penahan dan mendapatkan perlindungan dengan ditempatkan
di lokasi yang telah ditetapkan oleh negara penahan.

BAB III

4
Herman Suryokumoro dan Ikaningtyas. Perlindungan Penduduk Sipil Saat Terjadi Konflik Bersenjata
Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Pertahanan Indonesia. RechtIdee, Vol. 15, No. 2,
Desember 2020. hlm. 56

7
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

2. Dalam konteks konflik bersenjata internasional yang melibatkan warga sipil, negara-negara
telah berusaha untuk menyetujui dan menerapkan Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya bentuk-bentuk
kekerasan dan penindasan terhadap penduduk sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam
pertempuran.
3. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional diamanatkan
oleh Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Republik Indonesia telah
mengakui dan mengadopsi konvensi ini melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 59
Tahun 1958 mengenai partisipasi Negara Republik Indonesia dalam Keempat Konvensi
Jenewa yang diadopsi pada tanggal 12 Agustus 1949. Konvensi Jenewa Keempat secara
khusus membahas perlindungan bagi penduduk sipil selama masa perang.

1.2 Saran

2. Akibat dari konflik bersenjata internasional terhadap penduduk sipil sangat membutuhkan
bantuan dalam bentuk perlindungan hukum, dukungan sosial, dan layanan kesehatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk bagi yang dievakuasi atau
mengungsi. Konflik bersenjata internasional seringkali menghasilkan banyak korban dan
kerugian materiil, termasuk kerusakan pada fasilitas dan infrastruktur. Tambahan pula,
dampak sosial dan ekonomi dari konflik juga mempengaruhi penduduk sipil secara
substansial.
3. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata internasional telah
dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Keempat mengenai Perlindungan Orang Sipil di
Waktu Perang. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi
Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang, diharapkan agar mereka
mematuhi, melaksanakan, dan menaati semua ketentuan yang terkandung dalam Keempat
Konvensi Jenewa yang diadopsi pada tanggal 12 Agustus 1949.

8
DAFTAR PUSTAKA

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit Universitas Indonesia,


Jakarta, 2006 hlm.1.

Mahfud. Munculnya Intervensi Asing Terhadap Pelangaran Ham Dalam Suatu Konflik Bersenjata Di
Suatu Negara (The Emergence of Foreign Intervention Against Human Rights Violations in Armed
Conflict in A State). Jurnal IUS | Vol I | Nomor 2 | Agustus 2013 | hlm, 209-219. hlm. 210.

Levina Yustitianingtyas. Perlindungan Orang Sipil Dalam Hukum Humaniter Internasional. Jurnal
Komunikasi Hukum.Volume 2, Nomor 1, Februari 2016. hlm. 78

Herman Suryokumoro dan Ikaningtyas. Perlindungan Penduduk Sipil Saat Terjadi Konflik Bersenjata
Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Pertahanan Indonesia. RechtIdee, Vol. 15,
No. 2, Desember 2020. hlm. 5

9
i

Anda mungkin juga menyukai