Anda di halaman 1dari 27

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Andalas

1. Geni Manisa Bendri (1810851006)


Nama
2. Aditya Kusuma (1810855001)
3. Fiona Fauzia (1810852012)
4. Zona Sri Wahyuni (1810852017)

Mata Kuliah Hukum Humaniter Internasional

Dosen Pengampu Diah Anggraini Austin, S. IP, M. Si

Judul/Topik Tugas Tugas Kelompok 4/ Pelanggaran Hukum Humaniter


Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel - Hezbollah

Jumlah kata
Pernyataan:

Kecuali pada bagian yang sengaja dikutip, seluruh tugas tulisan ini merupakan buah dari
karya dan pemikiran saya sendiri. Tugas ini belum pernah sekalipun diberikan pada
perkuliahan yang lain. Seandainya ditemukan adanya penjiplakan pada tulisan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Ditandatangani oleh: Padang, 5 Desember 2021

Dosen Pengampu Kelompok 4

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam situasi sekarang yang banyak terjadi konflik di berbagai negara ini, menghadapi
konflik adalah salah satu cara untuk mencapai penyelesaian nantinya. Banyaknya permasalahan
yang terjadi berpotensi muncul ditengah-tengah konflik tersebut dan juga dapat memicu adanya
pergerakan yang lebih besar dan memiliki banyak dampak yang cukup kuat seperti terjadinya
peperangan. Adanya peperangan mengharuskan seluruh individu secara tidak langsung
mempertahankan kehidupannya secara individu maupun kelompok. Dengan adanya hak asasi
manusia sebagai hak dasar yang melekat didalam diri seseorang maka dari itu setiap individu
memiliki hak untuk merasa aman dan dilindungi. Dalam peperangan tidak menutup
kemungkinan bahwa akan adanya pelanggaran – pelanggara terhadap hukum yang telah
ditetapkan yang nantinya akan menyebabkan munculnya korban perang yang merupakan salah
satu dampak yang besar dari terjadinya perang.

Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional merupakan kejahatan perang.


Kedua istilah ini selalu diperbincangkan dan dipertukarkan. Kedunya dapat terjadi dalam konflik
bersenjata internasional atau non-internasional. Pelanggaran hukum humaniter internasional
yang merupakan kejahatan perang, jika membahayakan orang yang dilindungi (misalnya warga
sipil, tawanan perang, yang terluka dan sakit) atau benda-benda (misalnya benda-benda sipil atau
infrastruktur) atau jika mereka melanggar nilai-nilai penting. Mayoritas kejahatan perang
melibatkan kematian, cedera, kehancuran atau pengambilan harta benda secara tidak sah.

Tindakan ini dapat dianggap sebagai kejahatan perang karena melanggar nilai-nilai
universal yang penting, bahkan tanpa membahayakan orang atau benda secara fisik secara
langsung. Misalnya, menyalahgunakan badan orang mati dan merekrut anak-anak di bawah usia

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

15 tahun ke dalam angkatan bersenjata. Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional


adalah pelanggaran berat sebagaimana ditentukan di bawah empat Konvensi Jenewa tahun 1949
(Pasal 50, 51, 130, 147 Konvensi I, II, III dan IV masing-masing). Kemudian pelanggaran berat
sebagaimana ditentukan dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 (Pasal 11 dan 85). kejahatan
perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma tentang Pidana Internasional
ppengadilan. Kejahatan perang lainnya dalam konflik bersenjata internasional dan non-
internasional dalam hukum humaniter internasional.

Di bawah hukum humaniter Internasional, pihak dalam konflik dilarang membunuh atau
membunuh warga sipil dengan sengaja. Larangan tersebut erat kaitannya dengan salah satu
prinsip utama hukum humaniter internasional, yaitu pihak yang berkonflikmembedakanantara
tujuan militer dan warga sipil. Pembunuhan yang disengaja terhadap warga sipil merupakan
kejahatan perang baik dalam konflik bersenjata internasional (dalam bentuk pembunuhan yang
disengaja) dan konflik bersenjata non-internasional (dalam bentuk pembunuhan). Ini juga dapat
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil mana pun, atau menjadi elemen
genosida.

Warga sipil adalah orang-orang yang bukan anggota angkatan bersenjata dari suatu pihak
dalam konflik. Warga sipil menikmati perlindungan di bawah hukum humaniter internasional.
Warga sipil individu kehilangan perlindungan ini untuk waktu yang mereka ambil bagian
langsung dalam permusuhan. Pembunuhan atau pembunuhan yang disengaja terhadap warga
sipil terjadi ketika salah satu pihak dalam konflik bersenjata, dalam konteks dan terkait dengan
konflik tersebut.

Sengaja membunuh satu orang atau lebih dan Orang-orang seperti itu adalah warga sipil
yang tidak mengambil bagian langsung dalam permusuhan dan pelakunya adalahsadar akan
keadaan faktual mendirikan status sipil ini. Kematian warga sipil akibat serangan yang

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

diperlukan dan proporsional terhadap tujuan militer bukan merupakan pelanggaran. Negara
memiliki kewajiban untuk menyelidiki semua tuduhan pembunuhan yang disengaja atau
pembunuhan warga sipil yang dilakukan oleh angkatan bersenjata atau warga negara mereka,
atau dilakukan di wilayah mereka. Dimana ada bukti yang cukup tentang dilakukannya
pelanggaran, Negara memiliki kewajiban untukmenuntut mereka yang bertanggung jawab. Suatu
Negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut harus memenuhiganti
rugi atas kerugian yang diderita.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah yang kami gunakan dalam makalah
ini adalah “Bagaimana bentuk pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi pada
suatu negara?”

1.3. Kerangka Konsep


Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada
saat ini dikenal dengan istilah hukum humaniter.1 Menurut Jean-Jadques Rouseau, dijelaskan
bahwa Prinsip-prinsip perang antar Negara diartikan sebagai suatu hubungan perang antar
Negara, dimana secara individual menjadi musuh hanya karena kebetulan, tidak sebagai manusia
atau sebagai warga Negara, tetapi sebagai prajurit. Karena tujuan perang adalah menghancurkan
negara musuh, dan sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan
terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata, tetapi segera setelah mereka meletakkannya
dan menyerah, mereka bukan lagi musuh, menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum
untuk mengambil kehidupan mereka.2 Selain itu, Rouseau dan Martens menyusun prinsip-prinsip

1
Arlina Permanasar, dkk op. Citra hal 117
2
“Delegaai ICRC Jakarta, “hukum himaniter internasional, ICRC Jakarta, Indonesi 2004, hal. 7
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

kemanusiaan dengan memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan


penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa
satu-satunya objek yang paling sah untuk dicapai oleh suatu negara selama masa perang adalah
melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.3 Menurut prinsip ini objek tersebut bisa
dijadikan sasaran dalam perang tanpa perlu memperburuk penderitaan orang-orang yang tidak
berdaya, atau membawa kematian bagi warga sipil.

Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini, khususnya
mengenal prinsip pembedaan, yang berisi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat
harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek
militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan
operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer. 4 Haryomataram membagi hukum
humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :5

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag/The Hague Laws), cara berperang yang tercantum dalam pasal 23 (b)
Hague Regulations 1899 (HR) yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak
musuh secara curang atau berkhianat (treacherously). Larangan membunuh atau melukai
musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 23 (c) serta ketentuan dalam pasal 25 HR mengenai larangan
pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah atau daerah yang tidak
dipertahankan.6

3
Ambawati,dkk “Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubugan Internasional”, RajaGrafindo
Persada, Jakarta 2009, hal. 40
4
Ibid
5
Haryomataram. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter , Sebelas Maret University Press, Surakarta
1994, hal.1
6
Arlina Permanasari dkk, op.cit., hal.23
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil
dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). Berkaitan dengan kedudukan dan
perlakuan orang-orang yang dilindungi dalam konflik, mereka berhak akan :7

a. Penghormatan atas diri pribadi,

b. Hak kekeluargaan, keyakinan, praktek keagamaan,

c. Adat-istiadat dan kebiasaan.

Selanjutnya, dalam pasal 27-34 konvensi Jenewa ditentukan tindakan tindakan yang
dilarang yaitu :8

a. Memaksa baik jasmani maupun rohani, untuk memperoleh keterangan,

b. Menimbulkan penderitaan jasmani,

c. Menjatuhkan hukuman kolektif,

d. Mengadakan intimidasi, terorisme, perampokan,

e. Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil,

f. Menangkap penduduk sipil untuk ditahan sebagai sandera.Sedangkan Pasal 3


Konvensi Jenewa tahun 1949 yang disebut sebagai konvensi Mini,9 pada ayat 1
memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk memperlakukan semua orang
yang tidak aktif atau tidak lagi ikut serta dalam tindakan permusuhan, secara
manusiawi tanpa perbedaan yang merugikan dalam segala keadaan.10

Dan untuk Pasal 3 melarang :

7
Ibid. hal. 96
8
Departemen Hukum dan HAM “Terjemahan Konvensi Jenewa 1949”, Jakarta 2009, hal 15
9
Frits Kalshoven , “Constrain on The Waging of War” , ICRC, 1997, hal. 59
10
Arlina Permanasari dkk, op.cit., hal.114
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

1. Kekerasan terhadap jiwa orang, terutama pembunuhan dalam semua jenisnya

2. Penyanderaan,

3. Merendahkan martabat pribadi, khususnya perlakuan yang bersifat menghina dan


merendahkan martabat,

4. Penghukuman dan pelaksanaan putusan tanpa putusan yang diumumkan terlebih dahulu
oleh pengadilan yang dilakukan secara lazim yang memberikan jaminan hukum yang
diakui karena sangat dibutuhkan oleh semua bangsa yang beradab.

Pasal ini juga mengharuskan pihak-pihak peserta perang memperlakukan korban konflik
bersenjata dalam negeri sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam ayat (1), dan pasal 3
ini bagi Mahkamah Internasional merupakan asas umum Hukum Internasional. Pasal ini
melarang penjatuhan dan pelaksanaan hukuman tanpa proses hukum.11

Perlu ditekankan bahwa di dalam Hukum Humaniter Internasional ada suatu prinsip atau
asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang terlibat konflik
bersenjata ke dalam dua golongan, yakni kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilan).
Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan
(hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam
permusuhan.21 Sedangkan menurut F.Sugeng Istanto, penduduk sipil ialah mereka yang tidak
tergolong kombatan. Penduduk sipil tidak berhak ikut serta dalam permusuhan. Penduduk sipil
juga tidak boleh dijadikan sasaran secara langsung perbuatan perang. Dalam Protokol Tambahan
II diatur dalam bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian ini mengatur tentang perlindungan
umum, bantuan terhadap penduduk sipil, serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah
satu kekuasaan pihak yang bersengketa, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap pengungsi,
orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, anak-anak, wanita dan wartawan. Selain itu

11
Ibid. hal. 115
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

terdapat perlindungan khusus bagi penduduk sipil yaitu mereka yang umumnya tergabung dalam
suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial, membantu penduduk
sipil lainnya pada waktu terjadinya sengketa bersenjata. Mereka terhimpun dalam Perhimpunan
Palang Merah Nasional dan anggota Perhimpunan Penolong Sukarela Lainnya, termasuk anggota
Pertahanan Sipil.

Selain menggunakan teori hukum humaniter, penulis juga menggunakan Doktrin Just
War (Perang yang Sah).12 Doktrin Just War adalah upaya untuk membedakan antara cara-cara
yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan
bersenjata yang terorganisasi. Teori doktrin tentang perang yang sah berupaya untuk memahami
bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan, dilakukan dengan cara yang lebih
manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan
keadilan yang abadi. Tradisi perang yang sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam
dua bagian, yaitu : pertama, kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan
bersenjatanya (keprihatinan tentang Jus ad bellum) dan kedua, cara-cara apa yang harus
dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang Jus in bello).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Hukum Humaniter Internasional


Hukum humaniter internasional (internasional humanitarian law (IHL)) atau biasa juga
dikenal sebagai hukum perang (the law of war) atau juga hukum konflik bersenjata(the law of
armed conflict (LOAC)) merupakan bagian dari hukum public internasional yang mengatur

Agus, Fadillah “Doktrin Tentang Perang Yang Sah” , ELSAM, Lembaga Studi dan Advokasi
12

Masyarakat, Jakarta 200,7, hal. 48


© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

mengenai konflik-konflik bersenjata, baik konflik bersenjata yang bersifat internasional maupun
13
non-internasional. Hukum humaniter internasional (HHI) lahir dari pertimbangan-
pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan. Adanya HHI ini bertujuan untuk meminimalkan
penderitaan pihak-pihak yang tidak atau tidak lagi ikut andil dalam pertempuran atau
peperangan, dan untuk membuat pertemuran atau peperangan menjadi lebih manusiawi
(humane) dengan membatasi penggunaan senjata-senjata yang barbar (biadab, kejam). Dapat
juga dikatakan bahwa HHI dimaksudkan untuk memanusiakan (humanize) kekerasan yang
terorganisasi.14

HHI merupakan hukum yang mengatur konflik bersenjata internasional dan non-
internasional. Dalam HHI terdapat aturan-aturan yang berlaku selama konflik (in time of war)
atau aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan konflik (jus in bello). Aturan-aturan dalam HHI
ini juga berlaku untuk situasi pendudukan (ocvupation) yang timbul dari konflik bersenjta. 15

Aldo Zammit Boda mengatakan bahawa terdapat 2 cakupan bidang dalam HHI yaitu (1)
perlindungan (protection) terhadap orang-orang tertentu, yang diatur dalam seluruh Konvemsi
Jenewa dan Protokol Tambahan; (2) pembatasan (limitation) sarana dan metode dalam
peperangan, yang diatur dalam konvensi Den Haagdan deklarasi tambahannya.16 Konsep
perlindungan mengacu pada aturan-aturan yang dimaksudakn untuk melindungi mereka yang
tidak tahu atau tidak lagi terlibat dalam pertempuran atau peperangan, serta objek-objek tertentu
yang berkemungkinan menjadi korban oleh adanya pertempuran atau konflik bersenjata tersebut.
Kemudian konsep pembatasan mencakup pada berbagai aturan tentang membatasi metode-

13
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019. Hal. 2
14
Daniel Thurer. "International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context." The Hageu: Hague academy of
International Humanitarian Law, 2011: 21
15
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019
16
Aldo Zammit Borda. "Introduction to International Humanitarian Law." Commonwealth Law Bulletin, Vol.
34, No. 4, 2008: 21
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

metode dan taktik-taktik peperangan serta alat-alat perang atau persenjataan yang digunakan
dalam pertempuran atau konflik bersenjata17.

HHI dapat diterapkan dalam situasi sebagai berikut: (1) konflik bersenjata internasional
dan pendudukan; (2) konflik-konflik bersenjata non-internasional, seperti perang pembebasan
nasional, perang saudara, dan konflik-konflik bersenjata non-internasional lainnya; (3)
kerusuhan-kerusuhan domestic. Jadi dapat dikatakan penerapan HHI mensyaratkan adanya
konflik bersenjata internasional maupun non-internasional. Dalam keadaan damai aturan-aturan
HHI tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan. Dan juga HHI tidak berlaku dalam situasi
perselisihan internal atau gangguan sipil (internal strife or civil disturbance) yang tidak naik ke
tingkat konflik bersenjata internasional. 18

Tujuan utama atau main purpose dari HHI adalahmempertahankan kemanusiaan


(maintain humanity), menyelamatkan nyawa (saving lives), dan mnegurangi penderitaan
(reducing suffering) orang-orang yang menjadi korban atau yang terkena dampak dari konflik
senjata yang terjadi. Dapat dikatakan, tujuan dari adanya HHI adalah untuk memberikan
perlindungan kepada penduduk sipil dan objek-objek sipil serta orang-orang yang tidak lagi
mengambil bagian dalam konflik bersenta yang terjadi. Dalam perspektif HHI, selain ditujukan
untuk melemahkan musuh, dalam perang juga semaksimal mungkin harus dapat meminimalkan
penderitaan mereka yang menjadi korban perang atau konflik bersenjata.19

Selain tujuan utama tersebut, HHI secara spesifik mempunyau sasaran sebagai berikut:
(1) melindungi mereka yang tidak ikut berperang (penduduk sipil, tenaga medis, dan petugas
pemberi bantuan); (2) melindungi mereka yang tidak lagi mampu melawan/berperang (tentara
yang terluka, dan para tahanan; (3) melarang menyasar warga sipil (apabila dilakukan
merupakan kejahatan perang); (4) mengakui hak penduduk sipil yang harus dilindungi dari

17
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019
18
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019
19
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019. Hal. 4
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

bahaya perang, serta menerima bantuan yang mereka butuhkan; (5) mengamanatkan bahwa
mereka yang sakit atau terluka memiliki hak untuk dirawat, terlepas dari pihak mana mereka
berasal; (6) menetapkan bahwa tenaga medis, kendaraan medis dan rumah sakit yang
didedikasikan untuk pekerjaan kemanusiaan tidak bisa diserang; (7) melarang penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat tahanan; (8) menetapkan bahwa para tahanan harus
menerima makanan dan air serta diizinkan untuk berkomunikasi dengan orang yang mereka
cintai; (9) membatasi sejata-senjata dan taktik-taktik yang dapat digunakan dalam perang, untuk
menghindari penderitaan yang tidak perlu; (10) secara eksplisit melarang pemerkosaan atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual; (11) melindungi bangunan-bangunan bersejarah, monument,
karya seni, dan kekayaan budaya lainnya. 20

Dalam HHI terdapat prinsip-prinsip umum (igeneral principles) yang dijabarkan dalam
prinsip-prinsip dasar (basic principles) yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan (distinction between civilians
and combatants). Prinsip ini menegasakan bahwa terdapat perbedaan antara sipil dan
kombatan. Dalam peperangan hanya kombatanlah yang boleh diserang atau menjadi
target langsung dalam peperangan atau suatu konflik bersenjata. Dalam hal ini apabila
terdapat penduduk sipil dan/atau objek warga sipil diserang, perbuatan ini dapat
dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crime). Kemudian setiap senjata yang tidak
dapat membedakan antara sipil/ aobjek sipil dan kombatan/objek militer juga dilarang
dalam HHI. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 48 dan 52 Protokol Tambahan I
Konvensi Jenewa 1949
2. Prinsip larangan menyerang orang-orang yang termasuk dalam hors de combat
(prohibition of attacks against those hors de combat). hors de combat merupakan orag-
orang yang tidak lagi terlibat dalam perempuran karena sakit, terluka, terdampar, dan

20
Australian Red Cross. What is internasional Humanitarian Law. n.d. http://www.redcross.org.au/ihl-
geneva-conventions.aspx (accessed Desember 5, 2021).
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

menjadi tawanan perang. Orang-orang ini tidak boleh menjadi objek serangan. Aturan ini
dapat ditemukan dalam Pasal 41 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949
3. Prinsip larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu (prohibition on the infliction
of unnecessary suffering). Dalam HHI pada dasarnya tidak melarang adanya perang atau
konflik bersenjata. Namun penggunaan kekerasan yang tidak perlu, penderitaan yang
berlebihan, dan cedera yang berlebihan juga dilarang dalam HHI.
4. Prinsipproposrsonalitas (the principle of proportionality) merupakan prinsip mengenai
batas proporsionalitas dan melindungi potensi yang membahayakan warga sipil dimana
prinsip ini menuntut sedikit mungkin kerugian yang ditimbulkan untuk warga sipil dan
apabila membahayakan warga sipil, harus sebanding dengan keuntungan militer yang
didapat. Prinsip ini juga ditujukan untuk melindungi lingkungan. Ketentuan ini dapat di
temui dalam Pasal 51 (5) 9b) Protokol Tambahan I.
5. Gagasan kepentingan (the notion of necessity). Konsep kepntingan ini tidak memberikan
Angkatan bersenjata kebebasan untuk mengabaikan pertimbangan kemanusiaan dan
melakukan apapun yang mereka inginkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 52 Protokol
Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.
6. Prinsip kemanusiaan (the principle of humanity). Prinsip ini menekankan bahwa semua
manusia memiliki kapasitas dan kemampuan dalam menunjukan rasa hormat dan
kepedualian untuk semua. Gagasan mengenai kemanusiaan ini penting bagi manusia dan
inilah pembeda manusia dengan binatang. Dalam hal ini HHI tidak dapat menjamin tidak
aka nada bahaya, kehancuran, serta kematian. Disini HHI ditujukan untuk membatasi
kerugian, dan tetap memanusiakan manusia walaupun dalam kondisi berperang atau
konflik bersenjata sekalipun. 21

21
Dr. Umar Suryadi Bakry. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta: KENCANA, 2019
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional


Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang merupakan suatu kejahatan perang
atau war crime. Kejahatan perang hingga saat ini belum memiliki penegrtian yang pasti. Namun
jika dugunakan dalam istilah umum , kejahatan perang merupakan segala pelanggaran hukum
perang atau hukum humaniter yang menimbulkan tanggung jawab criminal secara individual,
namun secara teknis, kejahatan perang dipahami secara terbatas sebagai pelanggaran terhadap
aturan-aturan hukum yang berlaku mengenai pelaksanaan peperangan atau konflik bersenjata. 22

Kejahatan perang diatur dalam berbagai instrument hukum internasional dan hukum
humaniter, yaitu :

1. Peraturan Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat (Hague Regulations
respecting the Laws and Customs of War on Land) tahun 1 907;
2. Konvensi Jenewa I sampai dengan IV tahun 1 949; a. Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan
Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat;
b. Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di Laut
yang Luka, Sakit dan Karban Karam; c. Konvensi Jenewa Ill mengenai Perlakuan
Tawanan Perang; d. Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu
Perang;
3. Protokol Tambahan I mengenai Perlindungan Korban-korban Sengketa Bersenjata l
nternasional tahun 1 977;
4. Protokol Tambahan II mengenai Perlindungan Korban-korban Sengketa Bersenjata Non-
lnternasional tahun 1 977;
5. Protokol Jenewa tentang Larangan Penggunaan Gas Cekik, Beracun dan Gas lainnya,
Cara Peperangan Bakteriologis tahun 1 925;

22
Heru Cahyono. "Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Nasional." jurnal Hukum Humaniter, Vol. 1, No. 1, 2005: 123.
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

6. Konvensi Den Haag mengenai Perlindungan Benda Budaya pada waktu Sengketa
Bersenjata tahun 1 954;
7. Konvensi mengenai Keselamatan Person ii PBB dan Personil yang Menyertainya tahun 1
994;
8. Deklarasi mengenai Peluru yang Mengembang tahun 1 899;
9. Statuta ICTY;
10. Statuta ICTR;
11. Statuta ICC.23
Kejahatan perang adalah tindakan yang di larang dilakukan karena mengganggu
ketertiban masyarakat dan merugikan kepentingan orang. Oleh karenanya, larangan dan ancaman
hukumannya dicantumkan dalam perundang-undangan hukum pidana dari suatu negara.
Kejahatan perang khususnya terjadi pada waktu konflik bersenjata dan biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang sedang melaksanakan tugas berperang. 24

Sanksi bagi pelanggar Hukum Humaniter oleh suatu negara


Dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat sanksi yang diatur terhadap kejahatan
perang dalam pasal-pasal Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan
I dan Statuta Roma 1998. Sanksi-sanksi yang diberikan tersebut dapat berupa pemberian ganti
rugi (Kompensasi), kewenangan pada negara peserta konvensi untuk menciptakan sanksi pidana
efektif untuk menjerat pelaku kejahatan perang dan hukuman penjara dalam selang waktu
tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu negara melakukan pelanggaran terhadap Hukum
Humaniter Internasional adalah sulitnya menerapkan Hukum Humaniter Internasional pada

23
Heru Cahyono. "Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Nasional." jurnal Hukum Humaniter, Vol. 1, No. 1, 2005: 123.
24
Ibid.
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

waktu yang darurat, aturan dalam Hukum Humaniter Internasional yang bersifat kompleks dan
tidak operasionil, sehingga tidak dapat diterapkan secara langsung. 25

Ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan perang, diatur dalam Pasal
49, 50, 51 dan 52. Dimana Pasal 49 berisi ketentuan:

“The High Contracting Parties undertake to enact any legislation necessary to provide
effective penal sanctions for persons committing, or ordering to be committed, any of the grave
breaches of the present Convention defined in the following Article. Each High Contracting
Party shall be under the obligation to search for persons alleged to have committed, or to have
ordered to be committed, such grave breaches, and shall bring such persons, regardless of their
nationality, before its own courts. It may also, if it prefers, and in accordance with the
provisions of its own legislation, hand such persons over for trial to another High Contracting
Party concerned, provided such High Contracting Party has made out a prima facie case. Each
High Contracting Party shall take measures necessary for the suppression of all acts contrary to
the provisions of the present Convention other than the grave breaches defined in the following
Article. In all circumstances, the accused persons shall benefit by safeguards of proper trial and
defence, which shall not be less favourable than those provided by Article 105 and those
following of the Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War of August 12,
194”26

Dalam hal ini, dapat disimpulkan dalam pasal 49 Konvensi Jenewa bahwa kewajiban
bagi Pihak Peserta Agung dalam menetapkan undang-undang yang dapat memberikan sanksi
efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran kejahatan perang. Pasal 50
menyatakan mengenai macam-macam pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman. Kemudian
diperkuat dengan Pasal 51 yang menyatakan bahwa tidak ada Peserta Agung yang diperkenankan
25
Ayu, Kiki Riski Kemala. "Analisis Pengaturan Sanksi Terhadap Kejahatab perang Ditinjau dari Hukum
Humaniter Internasional." Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 2017.
26
Pasal 49 Konvensi Jenewa 1949
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

membebaskandirinya maupun pihak agung lainnya dari tanggung jawab atas pelanggaran
konvensi sekalipun dilakukan pada saat yang sudah berlalu. Kemudian pasal 52 mengenai bahwa
akan diadakannya pemeriksaan menurut cara-cara yang ditentukan antara Pihal-pihak yang
berkepentingan dalam setiap pelanggaran tehadap konvensi Jenewa 1949.27

Jika ditunjau secara umum, terdapat lima bentuk sanksi pelanggaran hukum humaniter
atasu kejahatan perang, antara lain: protes, penyanderaan, kompensasi, resrisal dan
penghukuman pelaku yang tertangkap. Secara khususnya sejumlah bentuk sanksi yang diberikan
terhadap kejahatan perang dapat dikenakan kepada pihal yang berperang, yaitu kompensasi,
sanksi militer, sanksi non-militer.28

Selain dalam artikel 49 Konvensi I Konvensi Jenewa, pengaturan mengenai mekanisme


penegakkan hukum terhadap kejahatan perang diatur lebih terperinci dan mendalam di dalam
Statuta Roma 1998. Statuta Roma adalah sebuah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court) untuk mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan
memutus rantai kekebalan hukum (impunity). Statuta ini berisikan point-point mengenai struktur
mahkamah, jenis pelanggaran, penyelidikan dan penuntutan, persidangan dan hukuman serta
beberapa hal lainnya.29

2.2. Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel -

Hezbollah
Latar belakang konflik Hizbullah-Israle dimulai dari persoalan keamanan di Lebanon dan
Israel yang mana terjadinya atau adanya riwayat yang cukup panjang. Konflik bersenjata di
Lebanon ini terjadi antara kelompok bersenjata Hizbullah dengan israel pada bulan Juli-Agustus

27
Ayu, Kiki Riski Kemala. "Analisis Pengaturan Sanksi Terhadap Kejahatab perang Ditinjau dari Hukum
Humaniter Internasional." Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 2017.
28
Ayu, Kiki Riski Kemala. "Analisis Pengaturan Sanksi Terhadap Kejahatab perang Ditinjau dari Hukum
Humaniter Internasional." Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 2017.
29
ELSAM, Referensi. Referensi ELSAM, Statuta ROma, Mahkamah Pidana Internasional. n.d.
http://referensi.elsam.or.id/2014/09/statuta-roma-mahkamah-pidana-internasional
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

2006 dan berlangsung selama 34 hari, yang kemudian dikenal sebagai “Perang Lebanon 2006”.
Perang ini kemudian mengakibatkan banyak kerusakan dan penghancuran di Lebanon Selatan
dimana merupakan wilayah basis dari kelompok Hizbullah. 30

Hizbullah sendiri merupakan organisasi perlawanan terhadap pendudukan Israel di


perbatasan Lebanon Selatan, karena daerah Sheeba Farm dan juga dataran tinggi Golan diklain
sebagai wilayah Lebanon yang kemudian dikuasai oleh Israel yang akibatnya status Hizbullah
menurut Pasal 13 Konvensi Jenewa 1949 merupakan gerakan bersenjata (Organized resistance
movement), meskipun dalam konflik ini status Hizbullah sebagai subjek dalam hukum
internasional masih dianggap belum ada kejelasan.31

Konflik antara Israel dan pasukan gerilyawan Hizbullah ini dipicu oleh penawanan dua
prajurit Israel yaitu, Ehud Goldwasser dan Eldad Regev, oleh milisi Huzbullah. Israel berupaya
dalammembebaskan kedua tentaranya tersebut dengan melakukan tindakan militer menyerang
lebanon, menghancurkan sarana dan prasaranan umum serta meyerang dan membunuh para
penduduk sipil. Perlawananpun juga dilakukan oleh pihak Hizbullah dengan menyerang wilayah
Utara Israel dengan roket.32

Dampak dari konflik ini sangat besar yang mengakibatkan banyak properti dan bangunan
vital penduduk sipil yang hancur, seperti rumah, jalan raya, rumaj sakit, sekolah, tempat dibadah
dan sebagainya. Termasuk dampak banyaknya korban jiwa dan luka-luka dari kedua belah pihak

30
Ayu Krishna Putri Paramita, I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika. "Analisis Pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel-Hezbollah." Bagian Hukum Internasional fakultas Hukum
Universitas Udayana, n.d.
31
Bratawijaya, Asta. "Penyelesaian Konflik Hizbullah-Israel di Lebanon oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Ditinjau
dari Hukum Internasional." Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, n.d.
32
Bratawijaya, Asta. "Penyelesaian Konflik Hizbullah-Israel di Lebanon oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ditinjau dari Hukum Internasional." Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, n.d.
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

yang berkonflik, juga termasuk para penduduk sipil yang seharusnya tidak seharusnya terkibat
dalam konflik ini.33

Terdapat ambiguitas atas konflik yang terjadi antara kedua belah pihak Israel-Hizbullah
ini, dimana tidaklah dapat secara teras dikatakan sebagai konflik bersenjata internasional yang
mana dalam satu sisi Israel merupakan sebuah negara, sedangkan Hizbullah sendiri bukan
merupakan suatu negara. Namun juga tidak dapat dikatakan sebagai konflik bersenjata non-
Internasional yang mana Hizbullah sendiri bukanlah pemberontak di dalam negara Israel. Namun
dapat dikatakan juga bahwa konflik ini lebih mengarah pada Perang Asimetris (Asymetrical
War/Conflict) dimana dalam kualifiasinya para pihak yang berperang adalah negara melawan
entitas yang bukan merupakan negara.34

Sanksi dalam Konflik bersenjata antara Israel-Hizbullah


Dalam hal Konflik bersenjata antara Israel-Hizbullah ini, sanksi yang kemudian dapat
diberikan adalah dengan pemberian kompensasi terhadap korban perang. Sanksi dalam bentuk
kompensasi ini dapat dilihat pada Pasal 2 dan 35 the International Law Commission’s Draft
Articles on The Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (2001) serta Aturan
149 dan 150 Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan.35 Kemudian sanksi lainnya yang
menjadi sanksi implisit yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB yang tertuang dalam
Resolusi 1701 untuk menindaklanjuti konflik yang terjadi. Dimana dalam paragraf pertama
33
Ayu Krishna Putri Paramita, I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika. "Analisis Pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel-Hezbollah." Bagian Hukum Internasional
fakultas Hukum Universitas Udayana, n.d.
34
Ayu Krishna Putri Paramita, I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika. "Analisis Pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel-Hezbollah." Bagian Hukum Internasional fakultas Hukum
Universitas Udayana, n.d.
35
Ayu Krishna Putri Paramita, I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika. "Analisis Pelanggaran Hukum
Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel-Hezbollah." Bagian Hukum Internasional fakultas Hukum
Universitas Udayana, n.d
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

resolusi ini menyerukan adanya gencatan senjata penuh kepada kedua belah pihak terkhusus
terhadap seluruh serangan yang dilakukan oleh Hizbullah dan semua operasi militer yang ofensif
dilakukan oleh Israel.

Kemudian ditegaskan kembali pada paragraf 7 dengan pernyataan bahwa seluruh pihak
bertanggung jawab atas jaminan bahwa tidak akan ada tindakan yang bertentangan dengan
paragraf 1 yang dapat mengganggu upaya pencarian solusi jangka panjang, akses perlindungan
kemanusiaan terhadap penduduk sipil, juga termasuk perjalanan yang aman bagi rombongan
keanusiaan, atau pemulangan sukarela yang aman untuk pengungsi, dan juga untuk semua pihak
agar bertanggung jawab dalam hal ini serta bekerja sama dengan Dewan Keamanan.

Pasal 8 dari resolusi 1710 kemudian mendesak Israel dan Lebanon dalam mendukung
gencatan senjata yang permanen dan solusi janhka panjang berdasarkan atas sejumlah prinsip
dan elemen yang berlaku. Namun ternyata resolusi ini dapat dikatakan kurang memberikan
sanksi yang secara langsung kepada Israel maupun Hizbullah (Lebanon) terhadap tindakan
pelanggaran yang telah dilakukan oleh kedua pihak tersebut.

Upaya Penyelesaian Konflik bersenjata Israel-Hizbullah


Dalam Konflik bersenjata yang terjadi antara Israel-Hizbullah yang semakin bergejolak,
Perdana Menteri Lebanon Fuoad Siniora menyerukan diadakannya gencatan senjata di bawah
pengawasan PBB, tetapi kedua belah pihak tidak mematuhi dan terus melancarkan serangan.
Pesawat - pesawat tempur Israel menyerang kawasan Beirut tengah. Sebagai balasan, roket -
roket Hizbullah yang menghujani Israel. Sebuah kapal perang Israel dirusak oleh serangan yang
dilancarkan Hizbullah. Tanggal 18 Juli 2006, Sekjen PBB Kofi Annan menyerukan dibentuknya
sebuah pasukan internasional di Lebanon untuk mengakhiri krisis. Upaya-upaya untuk meredam
konflik tidak membuahkan hasil hingga puncaknya ketika Dewan Keamanan PBB gagal

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

mencapai kesepakatan untuk mengutuk tindakan Israel, karena AS memveto setiap upaya-upaya
yang mengkritik Israel atas serangannya terhadap Lebanon. 36

Dewan Keamanan PPB berperan dalam penyelesain konflik yang terjadi, upaya-upaya
gencatan senjata terus dilakukan yang berujung pada Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor
1701 untuk mengakhiri konflik ini. Tanggal 13 Agustus 2006, Kabinet Israel mengesahkan
gencatan senjata dengan 24 suara mendukung, tidak ada yang menentang dan 1 suara abstain.

2.3. Analisis
Perang yang berlangsung antara Israel dan Lebanon dapat ditegaskan bahwa tindakan
penculikan dua tentara Israel oleh Hizbullah dan dibalas dengan serangan membabi buta Israel
ke Lebanon adalah suatu bentuk tindakan dari Israel yang melanggar aturan, karena tindakan ini
tidak perlu dibalas dengan agresi militer tetapi melalui jalur diplomasi yang dapat
menguntungkan kedua belah pihak. Serangan yang dilancarkan Israel sebagai bentuk balasan
terhadap penculikan itu dengan dalih membebaskan kedua tentara yang ditangkap justru berjalan
tidak sesuai dengan tujuan perang unutk melemahkan basis militer Hizbullah, melainkan
berakibat lebih luas yaitu menimbulkan korban sipil baik jiwa maupun material. Serangan Israel
yang menghancurkan bandara internasional dan stasiun televisi ini sangat tidak bisa diterima
oleh semua pihak karena target serangan ini salah dan merugikan masyarakat umum, khususnya
jalur transportasi di Lebanon. Selain itu, kehancuran stasiun televisi menunjukkan Israel juga
ingin menghancurkan obyek-obyek vital yang sangat berpengaruh bagi rakyat dan pemerintah
Lebanon. Selain itu, yang terpenting dalam serangan ini adalah banyaknya korban jiwa, baik sipil
maupun kombatan yang merupakan tindakan melanggar Hukum Humaniter Internasional dan
hak-hak asasi manusia.

Serangan Israel ini tidak membawa keuntungan bagi Israel sendiri tetapi malah
mengalami kekalahan, bahkan tujuan yang sebenarnya untuk membebaskan kedua tentaranya
36
Kazhim , Musa “Hizbullah-sebuah Gerakan Perlawanan atau Terorisme”, Mizan Publika, Jakarta2012, hal.251
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

tidak bisa tercapai. Serangan Israel banyak yang tidak tepat sasaran, sehingga mengakibatkan
banyaknya korban jiwa. Persoalan ini yang kemudian mendapat kecaman masyarakat
internasional.

Selain menyangkut pelanggaran terhadap aturan di dalam Hukum Humaniter yang


berlaku, serangan Israel ke Lebanon memiliki beberapa tujuan politis demi pencapaian
kepentingan nasionalnya (National Interest). Dalam beberapa teori, kepentingan nasional sering
dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers)
masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap
langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada tujuan nasional dan
diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai
”Kepentingan Nasional”. Menurut Morgenthau : ”Kepentingan nasional adalah kemampuan
minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari
gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik
terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik.”37

Serangan Israel ke Lebanon Selatan merupakan langkah kebijakan luar negeri pemerintah
Israel yang dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, faktor internal seperti National
Security menjadi alasan utama Israel menyerang Lebanon demi mempertahankan kedaulatan
mereka di wilayah perbatasan demi menjaga keamanan dan kesejahteraan warganya. Kedua, misi
balas dendam (Revenge) atas kekalahannya pada perang tahun 2000 melawan Lebanon juga
menjadi faktor yang memperkuat alasan mengapa Israel membalas menyerang penculikan dua
tentaranya dengan kekuatan militer penuh.38 Ketiga, alasan dominasi Israel di kawasan Timur
Tengah sebagai negara yang paling berpengaruh turut didukung Amerika Serikat turut menjadi
faktor alasan penyerangan ini. Dengan melakukan serangan ke markasmarkas pasukan Hizbullah
37
T.May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama,
Bandung, 2002, hal 116
38
“Yulianto, Ari “Lebanon Pra dan Pasca Perang 34 Hari Irael-Hizbullah“ ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010,
hal. 225
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

berarti mampu melemahkan salah satu kekuatan gerakan anti- Israel di perbatasan utara mereka
yaitu Kelompok Hizbullah. Israel yakin dengan dilumpuhkannya Hizbullah, Israel akan tetap
menjaga hegemoninya di Timur Tengah atas dukungan Amerika Serikat dengan tujuan
melemahkan kekuatan Iran dan Hamas yang juga merupakan Negara dan kelompok yang anti -
Israel dan Barat di Timur Tengah. Iran, terutama pasca lemahnya kekuatan Irak setelah Sadam
Husein terguling telah menjadi kekuatan terdepan dalam menentang hegemoni AS di Timur
Tengah. Melalui isu nuklir, AS berusaha memojokkan Iran agar Negara tersebut menjadi lemah.
Tetapi dengan berjalannya waktu, setelah terbukti Iran tidak menggunakan nuklir untuk
kepentingan militer, kini AS berusaha menggunakan isu perdamaian Palestina-Israel untuk
mengucilkan pemerintahan negara itu. Iran dan sekutu-sekutunya (Suriah, Hamas, Hizbullah,
Gerakan perlawanan Syi’ah Irak) yang dipersepsikan telah mengganggu perluasan dominasi AS
di Timur Tengah.39

Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, yaitu meliputi: Pertama, pelanggaran pada


metode dan penggunaan alat-alat berperang yang diatur dalam Hague Regulations (HR) tahun
1899 pasal 25 (Hukum Den Haag/Hague Regulations) dengan menggunakan bomb Cluster yang
tidak diperbolehkan dalam perang. Kedua, pelanggaran terhadap perlakuan yang tidak
manusiawi kepada non kombatan yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1949 pasal 3 dengan
menyerang secara membabi buta tanpa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil.
Ketiga, pelanggaran pada prinsip pembedaan dan proporsionalitas yang dilakukan Israel dengan
serangan pada objek publik seperti tempat ibadah, bandar udara, jalan umum, bukan pada objek
militer. Selain itu, beberapa alasan politis menjadi salah satu konsideran penyerangan Israel
secara membabi buta dan terus melakukan pelanggaran selama perang berlangsung seperti alasan

39
“Yulianto, Ari “Lebanon Pra dan Pasca Perang 34 Hari Irael-Hizbullah“ ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010,
hal. 226
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

National Security demi pencapaian kepentingan nasionalnya, dukungan Amerika Serikat dan
misi balas dendam atas kekalahan mereka pada perang tahun 2000.40

Ada beberapa bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada kedua belah pihak , khususnya
terhadap pelanggaran-pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang dilakukan dalam
perang Israel-Hezbollah. Secara umum terdapat 5 bentuk sanksi pelanggaran terhadap hukum
perang, yaitu: Protes, Penyanderaan, Kompensasi, Reprisal, dan Penghukuman pelaku yang
tertangkap. Secara khusus ada sejumlah bentuk sanksi pelanggaran HHI yang dapat dikenakan
kepada pihak yang berperang, yaitu Kompensasi, Sanksi Militer, Sanksi Non militer. Sedangkan
bagi individu yang terlibat dalam perang yang melakukan pelanggaran hukum perang dapat
dikenakan pertanggungjawaban individu dan pertanggung jawaban komandan.41

Berdasarkan analisis ini, salah satu sanksi yang dapat dikenakan dalam konflik bersenjata
Israel-Hezbollah adalah pemberian kompensasi terhadap korban perang. Sanksi dalam bentuk
kompensasi dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 36 the International Law Commission’s Draft
Articles on The Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (2001) serta Aturan
149 dan 150 Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan.42

Bentuk sanksi lain merupakan sanksi implisit yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB
yang tertuang dalam Resolusi 1701 untuk menindaklanjuti konflik yang terjadi. Paragraf pertama
dari resolusi tersebut menyerukan adanya gencatan senjata penuh kepada dua belah pihak,
khususnya terhadap semua serangan yang dilakukan oleh Hizbullah dan seluruh operasi militer
ofensif yang dilancarkan Israel. Paragraf ini kemudian ditegaskan kembali pada paragraf 7 yang
menyatakan bahwa seluruh pihak bertanggung jawab untuk menjamin bahwa tidak akan ada

40
“Studi (kajian) tentang Hukum Human Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahanman dan
penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata, dalam
http://www.icrc.org/web/eng/siteeng0.nsf/htmlall/customary-law-translations res/$File/INDO-irrc 857
Henckaerts.pdf, diakses tanggal 6 Desember 2021
41
Romli Atmasasmita , 2000 , Pengantar Hukum Pidana Internasional , Refika Aditama , Jakarta , h.40.
42
Oliver Rambotsham , at.al , 2005 , “Conflict Resolution” , Second Edition , Cambridge : Polity Press , 2006 , p. 88
© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021
http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

tindakan yang bertentangan dengan paragraf 1 yang dapat mengganggu upaya pencarian solusi
jangka panjang, akses kemanusiaan kepada penduduk sipil, termasuk perjalanan yang aman bagi
konvoi kemanusiaan, atau pemulangan sukarela dan aman bagi pengungsi, dan meminta semua
pihak untuk mematuhi tanggung jawab ini dan bekerja sama dengan Dewan Keamanan. Lebih
lanjut, paragraf 8 dari Resolusi 1701 tersebut mendesak Israel dan Lebanon untuk mendukung
gencatan senjata permanen dan solusi jangka panjang berdasarkan sejumlah prinsip dan elemen.
Dalam analisa penulis, resolusi ini ternyata kurang memberikan sanksi langsung baik kepada
Israel maupun Lebanon sesuai dengan tindakan pelanggaran yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak. Dengan tidak adanya sanksi secara spesifik, resolusi ini juga tidak memberikan
kejelasan mengenai siapa pihak yang salah dan siapa pihak yang benar dalam konflik bersenjata
di tahun 2006 tersebut.

Ada sejumlah kemungkinan mekanisme penegakan yang dapat dilakukan, yaitu melalui
pengadilan nasional, pengadilan internasional ad hoc, dan pengadilan permanen ICC. Pada
dasarnya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan pengadilan nasional masing masing sama-
sama memiliki kewenangan untuk mengadili. Langkah yang paling baik adalah dengan menguji
terlebih dahulu kemampuan daripada pengadilan nasional Israel dan Lebanon. Apabila kedua
pengadilan nasional tersebut tidak mau dan tidak mampu untuk menyelenggarakan pengadilan
yang layak, maka kasus tersebut akan secara otomatis menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana
Internasional.

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter dari serangan Israel kepada Hizbullah di
Lebanon Selatan meliputi pelanggaran terhadap konvensi Jenewa 1949, Konvensi Den Haag
1907 (Hukum The Hague), Protokol Tambahan I dan Statuta Roma 1998 tentang alat dan metode
berperang serta pelanggaran terhadap prinsip-prinsip berperang yaitu prinsip pembedaan dan
proporsionalitas. Pelanggaran Israel terhadap konvensi The Hague dilakukan dengan
menggunakan alat-alat dan cara-cara perang yang dilarang seperti Israel menggunakan bom-bom
yang berhulu ledak besar terlebih pada penggunaan senjata laser dan bom cluster yang dilarang
pengunaannya dalam Hukum Humaniter. Akibatnya banyak korban sipil yang tewas akibat
serangan ini bahkan banyak mengalami cacat tubuh dan penderitaan yang berkepanjangan.
Selain itu, pelanggaran Israel terhadap Konvensi Jenewa 1949 pasal 3 dengan tidak membedakan
antara penduduk sipil dan kombatan serta penyerangan terhadap obyek sipil yang seharusnya
bukan menjadi target serangan.

Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah dikenal sejak
jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran masih saja terus

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

berlangsung hingga jaman sekarang ini. Dengan demikian, persoalan adanya korban sipil yang
diakibatkan oleh perang bukan saja mengalami luka atau cacat, tetapi juga kehilangan fasilitas-
fasilitas umum yang biasa digunakan oleh mereka seperti sekolah, rumah sakit, jembatan, tempat
pemukiman, bandara, serta jalan. Akibatnya, serangan Israel terhadap Lebanon telah
melumpuhkan seluruh komponen yang mendukung kelangsungan hidup rakyat Lebanon. Dalam
hal ini serangan udara yang berlanjut dengan agresi militer Israel ke wilayah Lebanon. Ketentuan
Hukum Humaniter yang secara faktual telah dilanggar oleh Israel adalah pemboman yang
mengakibatkan adanya korban penduduk sipil, menimbulkan derita dan kesengsaraan yang
berkelanjutan bagi penduduk sipil akibat dari serangan tersebut, dan menghancurkan wilayah
Lebanon.

Daftar Pustaka
Australian Red Cross. What is internasional Humanitarian Law. n.d.
http://www.redcross.org.au/ihl-geneva-conventions.aspx (accessed Desember 5, 2021).

Ayu Krishna Putri Paramita, I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika. "Analisis Pelanggaran
Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Israel-Hezbollah." Bagian
Hukum Internasional fakultas Hukum Universitas Udayana, n.d.

Ayu, Kiki Riski Kemala. "Analisis Pengaturan Sanksi Terhadap Kejahatab perang Ditinjau dari
Hukum Humaniter Internasional." Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, 2017.

Bakry, Dr. Umar Suryadi. Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar. Jakarta:
KENCANA, 2019.

Borda, Aldo Zammit. "Introduction to International Humanitarian Law." Commonwealth Law


Bulletin, Vol. 34, No. 4, 2008: 21.

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas

Bratawijaya, Asta. "Penyelesaian Konflik Hizbullah-Israel di Lebanon oleh Perserikatan Bangsa-


Bangsa Ditinjau dari Hukum Internasional." Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Lampung, n.d.

Cahyono, Heru. "Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Nasional." jurnal Hukum Humaniter, Vol. 1, No. 1, 2005: 123.

Cross, Australian Red. What is internasional Humanitarian Law. n.d.


http://www.redcross.org.au/ihl-geneva-conventions.aspx (accessed Desember 5, 2021).

ELSAM, Referensi. Referensi ELSAM, Statuta ROma, Mahkamah Pidana Internasional. n.d.
http://referensi.elsam.or.id/2014/09/statuta-roma-mahkamah-pidana-internasional.

Pasal 49 Konvensi Jenewa 1949

Thurer, Daniel. "International Humanitarian Law: Theory, Practice, Context." The Hageu:
Hague academy of International Humanitarian Law, 2011: 21.

© Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Andalas, 2021


http:/ /fisip.unand.ac.id/hi

Anda mungkin juga menyukai