Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Hukum Humaniter

Kejahatan Perang (Sejarah,bentuk-bentuk, kejahatan militer menurut kitab undang-undang


hukum pidana militer)

Kiki Febrio : 1713040010

Juniati : 1713040011

Ega Lestari : 1713040047

Kurnia Affandi : 1713030029

Dosen Pembimbing:

H. Eskarni Ushalli, Lc. MA

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (A) FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1440 H/ 2019 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), perang adalah suatu permusuhan
antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) atau pertempuran bersenjata
anta dua pasukan tentara dan laskar. Dalam arti tersebut dapat kita jabarkan pengertian
perang dalam 4 arti, anatara lain:
1. Permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dsb);
2. Pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara,
laskar, pemberontak, dsb.);
3. Perkelahian; konflik;
4. Cara mengungkapkan permusuhan.
Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah kekerasan
terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan
anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga diartikan suatu
kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau serangan terhadap gedung
material, satuan, angkutan dan lain-lain.
Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi

permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia

untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba

dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah pada
surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya
seperti “Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia”, hal ini
menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.
Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran antara
kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya merupakan
salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku
baik dalam pergaulan antara manusia, maupun dalam pergaulan antara bangsa. Karena itu
sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya
mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum
internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimuali dengan
tulisan-tulisan mengenai hukum perang.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah kejahatan perang hukum humaniter?
2. Apa saja bentuk-bentuk kejahatan perang hukum humaniter?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perang dalam Hukum Humaniter Internasional


Dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dijelaskan bahwa perang adalah kekerasan
terhadap kehidupan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan
anggota tubuh, perlakuan kejam, dan penyiksaan. Perang juga diartikan suatu
kesengajaan melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau serangan terhadap gedung
material, satuan, angkutan dan lain-lain.
Perang adalah suatu aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi
permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia
untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba
dimaknai sebagai pertikian bersenjata, di era modern, perang lebih mengarah pada
surperioritas teknologi dan insudtri, hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya
seperti “Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia”, hal ini
menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi.
Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran antara
kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya merupakan
salah satu bentuk perwujudan daripada naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku
baik dalam pergaulan antara manusia, maupun dalam pergaulan antara bangsa.
Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Suatu
kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat
manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Tidaklah mengherankan apabila
perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri
sendiri dimuali dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.
Dalam hukum internasional aturan yang mengatur masalah perang biasa disebut
dengan Hukum Humaniter, dimana menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter
adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.
Haryomataram membagi hukum Humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag/The Hague Laws).

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk


sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana
negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua)
yaitu:

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war). Bagian ini
biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang.


Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.

Dalam melakukan peperangan Hukum humaniter memberikan 3 azas yang harus


dijunjung tinggi oleh pihak-pihak yang berperang, antara lain.

1. Asas Kepentingan Militer (military necessity)


Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan
kebrhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan
kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang
tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu
muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari
sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang
dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untukk
memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam
berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering.
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke
tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini, yang
terpenting adalah asas perikemanusiaan.
G.P.H. Djatikoesoemo mengatakan bahwa sebab-sebab perang terletak dalam
kenyataan bahwa perkembangan manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan
nasional dari negara-negara.
Khusus mengenai sebab-sebab terjadinya konflik bersenjata, dalam paragraf 4
Protocol I tahun 1977, konflik bersenjata digambarkan sebagai perjuangan suatu bangsa
untuk melawan dominasi kolonial dan pendudukan asing dan rezim rasialis dalam
memenuhi hak mereka meentukan nasib sendiri, seprti tercantum dalam Piagam PBB dan
Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang berhubungan dengan
hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara.

Dari Uraian tersebut dapat dilihat bahwa sebab-sebab dari terjadinya konflik
bersenjata antara lain:
1. Perjuangan melawan dominasi kolonial;
2. Melawan penduduk asing;
3. Melawan rezim rasialis;
4. Memenuhi hak untuk menentukan nasib sendiri;
Selain ke 4 sebab diatas, terdapat sebab lain terjadinya perang, antara lain:
1. Perbedaan ideology
2. Keinginan untuk memperluas wilayah kekuasaan
3. Perbedaan kepentingan
4. Perampasan sumber daya alam

B. Bentuk – bentuk kejahatan perang


Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan ilegal atau dilarang
berdasarkan aturan-aturan hukum humaniter yang dilanggar atau berdasarkan
konsekuensinya bagi si pelaku. Beberapa tindakan tersebut melibatkan cara atau metode
peperangan yang dilarang (menurut “hukum Den Haag”, yaitu hukum yang berasal dari
konvensi-konvensi Den Haag thun 1899 dan 1907). Tindakan lainnya adalah tindakan
yang menyakiti orang-orang yang dilindungi yang sakit dan terluka, korban kapal karam
atau rakyat sipil (menurut “hukum jenewa”, yaitu hukum yang berasal dari Konvensi-
konvensi Jenewa).
Tindakan ilegal inilah yang akhirnya disebut suatu kejahatan perang, dimana
kejahatan perang dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Kejahatan perang pada jiwa dan raga, seperti pmbunuhan’ perlakuan kejam dan
penganiayaan kepada tawanan perang (termasuk eksperimen medis); perkosaan;
tindakan sengaja yang menyebabkan penderitaan berat atau luka serius pada
tubuh atau kesehatan; dan mutilasi.
b) Kejahatan perang pada harta dan benda, seperti membakar hasil panen;
perampasan barang-barang publik atau harta milik pribadi; perusakan pada kota-
kota tanpa ada alasan; penghancuran tanpa kepentingan militer; serangan atau
pembombardiran terhadap kota yang tidak dipertahankan, pemukiman, atau
bangunan-bangunan; tindakan perusakan sengaja dilakukan terhadap lembaga-
lembaga kebudayaan tertentu.
c) Kejahatan perang pada kehormatan dan keadilan, seperti deportasi penduduk
sipil dalam wilayah yang telah diduduki; memaksa tahanan perang atau
penduduk sipil untuk masuk angkatan bersenjata dari penguasa musuh; dengan
sengaja menghilangkan hak tawanan perang atau warga sipil yang dilindungi
untuk mendapat pengadilan reguler yang adil; dan eksekusi tanpa pengadilan.
d) Kejahatan perang pada aturan dalam peperangan, seperti berlaku curang dalam
penggunaan lambang Palang Merah Internasional; penggunaan senjata beracun
atau senjata lain yang terhitung menyebabkan penderitaan yang tidak
seharusnya.

Grave Breaches of the Geneva Conventions of 1949 Seperti yang dijabarkan sebelumnya,
kejahatan perang yang merupakan grave breaches of the Geneva Convention of 1949 mempunyai
bermacam-macam bentuk antara lain:
1. Wilful killing
Kejahatan wilful killing terjadi ketika sang korban mati sebagai hasil dari
tindakan yang dilakukan oleh pelaku, dimana tindakan tersebut dimaksudkan
untuk membunuh, atau mencederai secara serius yang dapat secara aman
diasumsikan bahwa ia paham bahwa tindakan mencederai tersebut dapat berakibat
kematian, dan tindakan yang ia lakukan ini dilakukan terhadap orang yang
dilindungi dalam Konvensi Jenewa 1949.Istilah ‘wilful killing’ berasal dari
keempat Konvensi Jenewa, yaitu: Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51 Konvensi
Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi Jenewa IV.
2. Torture or Inhuman treatment, including biological experiments
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dan International
Criminal Tribunal for Rwanda telah mengadopsi definisi dari kejahatan torture
yang sejalan dengan Convention Against Torture (CAT) yang memiliki unsur-
unsur sebagai berikut: menyebabkan penderitaan atau sakit yang parah, dalam
bentuk fisik ataupun mental, melalui suatu tindakan atau omisi; tindakan atau
omisi tersebut memang dimaksudkan (intentional); tindakan atau omisi tersebut
harus terjadi dengan maksud untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, atau
untuk menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga, atau

untuk mendiskriminasi atas dasar apapun, terhadap korban atau pihak ketiga.71
3. Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health
Wilfully causing great suffering or serious injury to body or health terjadi
ketika sebuah tindakan atau omisi yang dimaksudkan (intentional) yang diarahkan
kepada orang yang dilindungi di bawah Konvensi Jenewa 1949. Tindakan ini
menyebabkan penderitaan atau cedera mental atau fisik serius, dengan tingkatan
penderitaan atau cedera yang dibutuhkan untuk memenuhi unsur dapat dibuktikan.
4. Extensive destruction and appropriation of property, not justified by military
necessity and carried out unlawfully and wantonly
Kejahatan ini terjadi ketika unsur-unsur umum dari Grave Breaches of
Geneva Convention 1949 telah terpenuhi, yaitu unsur konflik
bersenjatainternasional dan nexus. Unsur-unsur berikutnya yang harus dipenuhi
adalahkerusakan berlebihan pada benda, dan kerusakan berlebihan ini terjadi pada
bendayang memiliki perlindungan di bawah Konvensi Jenewa 1949 atau
kerusakanberlebihan yang terjadi tidak benar-benar dibutuhkan dan harus
dilakukan dalamoperasi militer terkait dengan benda yang terletak di wilayah
yang dikuasai. Sangpelaku bertindak dengan maksud (intent) menghancurkan
benda ini atau dengantidak hati-hati (reckless) tidak menghiraukan kemungkinan
kehancuran bendatersebut.
5. Compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the forces of a hostile
power
Kejahatan ini terjadi ketika pelaku melakukan pemkasaan terhadap satu orang
atau lebih, melalui tindakan atau ancaman, untuk bergabung dalam operasi militer
terhadap warga negara atau pasukan negaranya sendiri, atau dipaksa melayani
dalam pasukan musuh.
6. Wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the rights of fair and regular
trial
Kejahatan ini terjadi ketika pelaku merampas hak untuk diadili secara fair dan
wajar (fair and regular trial) dari satu orang, yang dilindungi di bawah Konvensi
Jenewa 1949, atau lebih, dengan menolak jaminan yudisial seperti yang
dinyatakan dalam Konvensi Jenewa III dan IV tahun 1949.

7. Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a civilian


Unlawful deportation atau forcible transfer adalah pemindahan individu
dengan tekanan atau paksaan dari tempat tinggal mereka ke tempat yang bukan
pilihan mereka. Unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah unsur umum dari
GraveBreaches of Geneva Conventions 1949, adanya tindakan atau omisi, yang
dilakukan bukan dengan alasan keamanan dari populasi dan bukan atas dasar
kepentingan militer yang memaksa, yang membuat perpindahan seseorang dari
wilayah yang dikuasai atau dalam wilayah yang dikuasai. Tindakan ini dilakukan
dengan maksud (intent) pelaku untuk memindahkan seseorang dari satu wilayah.
Intent ini menggambarkan keinginan dari pelaku untuk orang yang sudah
berpindah tidak kembali.
8. Taking civilians as hostages
Unsur penting dalam taking civilians as hostages adalah penggunaan ancaman
terhadap tahanan yang ditujukan untuk mendapatkan kepatuhan atau mendapatkan
keuntungan. Situasi penawanan terjadi ketika seseorang menguasai atau menahan
dan mengancam untuk membunuh, mencederai, atau meneruskan penahanan
dengan maksud memaksa pihak ketiga untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan sesuatu sebagai kondisi pelepasan. Kejahatan ini dilarang dalam Pasal
3 Bersama Konvensi Jenewa 1949, Pasal 34 dan 147 dari Konvensi Jenewa IV,
dan Pasal 75(2)(c) Protokol Tambahan.
9. Violations of the Laws or Customs of War
Berikut ini adalah macam-macam bentuk violations of the laws or
customs of war dalam hukum humaniter internasional, antara lain:
a. Employment of poisonous weapons or other weapons calculated to cause
unnecessary suffering
Kejahatan penggunaan senjata semacam ini merupakan tindakan penggunaan
senjata yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu. Unsur-unsur ini dapat
dilihat dari Pasal 8(2)(b)(xviii-xix) Elements of Crimes dari Statuta Roma yang
memerlukan pelaku untuk menggunakan senjata yang dilarang dan senjata yang
dilarang itu menyebabkan penderitaan yang tidak perlu, dan sang pelaku
menyadari akan kemungkinan senjata tersebut akan menyebabkan penderitaan
yang tidak perlu. Pelaku mengetahui tindakan ini dilakukan dalam konteks konflik
bersenjata dan terdapat nexus antara tindakan dan konflik bersenjata.
b. Wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by
military necessity
Kejahatan ini terjadi ketika kehancuran benda terjadi dalam skala besar,
kehancuran tersebut tidak dapat dijustifikasi dengan kepentingan militer
(military necessity), dan pelaku melakukan tindakan tersebut dengan keinginan
(intent) untuk menghancurkan benda, atau secara ceroboh (reckless) tidak
menghiraukankemungkinan kehancuran dari benda tersebut. Apabila benda
tersebut terletakdalam wilayah musuh, maka benda tersebut tidak dilindungi
dalam Konvensi Jenewa 1949 dan oleh sebab itu benda tersebut hanya
dilindungi oleh Pasal 3Bersama Konvensi Jenewa 1949.
c. Attack, or bombardment, by whatever means, of undefended towns, villages,
dwellings, or buildings
Pada dasarnya kejahatan ini merupakan violation of the laws or customs of
war. Oleh karena ia adalah violation of the laws or customs of war maka
seranganyang dilakukan harus merupakan suatu sarana atau cara berperang
yangmenyebabkan kematian dan/atau cedera badan yang serius dalam
populasipenduduk sipil atau memberikan kerusakan pada harta benda
penduduk sipil.
d. Seizure of, destruction or wilful damage done to institutions dedicated to
religion, charity and education, the arts and sciences, historic monuments and
works of art and science
Pelarangan terhadap tindakan ini berasal dari Konvensi Hague IV 1907.104
Kejahatan ini merupakan merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai terutama
nilai-nilai yang dilindungi oleh masyarakat internasional.
e. Plunder of public or private property
Tindakan ini adalah semua bentuk apropriasi properti yang tidak sah dalam
konflik bersenjata yang terkait dengan tanggung jawab pidana individu,
termasuk juga apa yang disebut dengan pillage. Berdasarkan pada Konvensi
Jenewa, publicproperty dan private property tidak dibedakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penegakan hukum atas kejahatan perang yang sifatnya internasional bukanlah hal
yang mudah, meskipun sejak zaman Yunani kuno, pemikiran untuk mengadili pelaku
kekejaman dalam perang sudah ada. Perang dunia 1 menjadi awal penuntutan terhadap
pelaku kejahatan perang secara individu terhadap tentara Jerman, meskipun pada
akhirnya mengalami kegagalan. Penuntutan secara nyata dengan dasar Konvensi Den
Haag baru terlaksana pada pengadilan Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia ke II.
Setelah itu dibentuk beberapa tribunal ad hoc yaitu, Internasional Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY) dan Internasional Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR),
pengadilan di beberapa negara seperti majelis luar biasa Kamboja, pengadilan Siera
Lone, Chili dan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Timor Timur. Terakhir dibentuk
Statuta Roma yang menjadi hukum yang represif terhadap kejahatan perang dan
kejahatan kemanusiaan lainya.

Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah


ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma
prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan , atau
sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai untuk mengecoh pihak lawan
sebelum menyerang.

B. Saran

Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca,
terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah
ini yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Alumni Bandung, 2002.

Anda mungkin juga menyukai