Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Adib Kamali Umairy

NIM : 150710101555
Matkul : Hukum Humaniter/ (A)

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pelanggaran Tawanan


Perang berdasarkan Hukum Humaniter Internasional

pendahuluan

Perang adalah sesuatu yang sebenarnya tidak di inginkan oleh setiap orang karena
banyak sekali dampak negatif yang terasa akibat dari perang tersebut mulai dari kerugian
jasmani, kerugian rohani, kerusakan lingkungan dan kehilangan keluarga. Tetapi terkadang
perang menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan konfilk antar negara atau bahkan di
saat ekonomi dunia lesu nantinya, perang menjadi pilihan terakhir atau mungkin satu-satunya
pilihan untuk mengangkat perekonomian dunia. dalam sejarah perang, sebenarnya manusia
pada saat itu sudah menyadari bahwa cara berperang yang tidak memiliki batasan akan
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi umat manusia, tetapi dalam sepanjang
sejarahnya memang kesadaran-kesadaran tersebut tidak lalu semudah itu menciptakan sebuah
perdamaian atau kesepakatan perang bahkan ketika organisasi dunia telah di bentuk yang
bertujuan secara garis besar menjaga perdamaian dunia yang saat ini telah di ubah menjadi
PBB (perserikatan bangsa-bangsa) pernah gagal, hingga terjadilah perang dunia II. hukum
perang atau yang saat ini biasa disebut dengan hukum humaniter mempunyai sejarah yang
hampir sama tuanya dengan perang itu sendiri atau peradaban manusia.

Hukum humaniter merupakan wujud dari kesadaran dan upaya dunia untuk dapat
menimalisir kerugian dari adanya peperangan, prinsip kemanusiaan yang menjadi salah satu
prinsip dasar hukum humaniter internasional memberikan makna agar dapat memberikan
perlindungan terhadap orang yang sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi atau
terluka. Prinsip ini bermaksud agar dapat mengurangi penderitaan manusia, dan dapat
menumbuhkan rasa belas kasih terhadap orang yang sudah tidak mampu melakukan
perlawanan karena luka, menyerah atau meletakkan senjata, terlebih dapat memunculkan
perdamaian di antara semua masyarakat dunia, tanpa adanya diskriminasi ras, agama, atau
perbedaan lainnya. Dalam prinsip hukum humaniter mengharuskan kepada pihak yang
bersengketa agar tetap mengedepankan perikemanusiaan dengan tidak melakukan
penderitaan yang berlebihan terhadap seorang yang sudah tidak berdaya, termasuk tawanan
perang.

J.G starke berdasarkan introduction to international law menerangkan bahwa ketika


terjadi konflik bersenjata dalam hal ini penduduk sebagai pihak-pihak yang bertikai dibagi
menjadi dua status yaitu pertama kelompok yang berstatus sebagai kombatan dan mempunyai
hak untuk turut serta dalam konflik bersenjata secara lansung sehingga boleh di bunuh,
membunuh dan apabila tertangkap oleh pihak musuh maka harus diperlakukan sebagai
tawanan perang (prisoner of war). Dan kelompok yang kedua berstatus civilian yang tidak
ikut campur dalam pertikaian, sehingga wajib dilindungi dan dilarang dijadikan objek
serangan.1

Adanya regulasi terhadap perang pada dunia internasional kususnya perlindungan


terhadap tawanan perang dalam hukum humaniter internasional memang memberikan sebuah
kepastian hukum, tetapi sejauh mana hal tersebut dapat di implementasikan tentu itu menjadi
pertanyaan besar, Efektifitas pemberlakuan hukum humaniter internasional sejauh realita
yang terjadi di dunia belum dapat memberikan dampak yang pasti dan konsisten. perlakuan-
perlakuan pelanggaran hak asasi manusia, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan yang di
lindungi oleh hukum humaniter internasional terus terjadi dan tentu hal tersebut dapat
menimbulkan anggapan dalam sebagian masyarakat internasional bahwa seakan ada atau
tidaknya hukum humaniter tersebut sama saja.

Seperti konflik bersenjata yang terjadi pada negara Irak dan Suriah, munculnya
sebuah kelompok islam yang ekstrim yang di kenal dengan sebutan ISIS yang melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan Irak dan Suriah memberikan dampak kerugian yang
sangat besar, salah satunya bagi tawanan perang baik yang secara lansung ikut serta dalam
konflik bersenjata maupun tidak. ISIS yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai Negara
Islam tersebut melakukan penyiksaan, pembakaran hidup-hidup, penenggelaman,
pembunuhan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah, anak-anak, perempuan serta
pasukan perang yang sudah tidak mampu melakukan perlawanan lagi atau tawanan perang.
hal ini dapat di lihat dan di ketahui dari banyaknya media yang menyebut perlakuan-
perlakuan ISIS tersebut, bahwa betapa kejamnya dan tidak manusiawinya tindakan-tindakan

1
M Si Suharno, “DALAM PERLAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP TAWANAN PERANG DI IRAK” at 2.
yang dilakukan ISIS. Perbuatan yang telah dilakukan Oleh ISIS tentu dapat di kategorikan
sebagai pelanggaran hukum humaniter.2

Kasus lainnya yang terjadi di penjara Guantanamo di daerah Kuba, setelah Amerika
serikat menumbangkan pemerintahan Saddam, Militer Amerika Serikat melakukan
penyiksaan kepada para tahanan Irak dan hal tersebut pada tahun 2004 tesebar dalam media
massa diseluruh dunia. Dalam tayangan Televisi CBS Amerika bahwa terdapat tawanan yang
mengaku di rantai tangan dan kakinya serta dia di telanjangi dan di ancam akan di perkosa,
banyak tahanan lain yang mengaku di paksa meminum air sampai muntah darah, terdapat
pula tahanan yang mengakui bahwa dia perkosa, di pukuli, dan di biarkan telanjang hingga
beberapa hari.3 Dari kasus-kasus tersebut dapat membuktikan bahwa ketentuan yang terdapat
dalam konvensi jenewa III tentang perlindungan terhadap tawanan perang tidak di taati atau
di abaikan. Hal ini dapat timbul akibat dari lemahnya penegakan hukum humaniter
internasional itu sendiri atau terdapat unsur kepentingan politik di era modern dalam
masyarakat internasional ini, sehingga penegakan terhadap pelaku kejahatan perang hampir
tidak ada aksi nyata, hanya sekedar saling kecam sana sini.

Pembahasan

Pietro Verri memberikan pengertiannya terhadap konflik bersenjata internasional


antar negara dan konflik yang di kualifikasikan di dalam war of national liberation. konflik
bersenjata Non-internasional yang dapat di kategorikan sebagai konflik bersenjata
internasional tersebut dapat berupa; dimana di dalam sebuah negara terjadi pemberontakan
dan negara tersebut mengakui pemberontak tersebut sebagai pihak yang berperang
(belligerents), atau adanya bantuan dari Negara Asing satu atau lebih terhadap salah satu
pihak angkatan besenjata yang sedang bertikai. atau terdapat Intervensi dari dua negara asing
dengan angkatan bersenjata dan memberikan bantuan terhadap pihak-pihak yang bertikai.4

Ketentuan-ketentuan yang mengharuskan Pihak-pihak yang bertikai atau bagi negara


penahan dalam memperlakukan tawanan perang pada prinsipnya di dalam konvensi Jenewa
2
VIDRA FEBRIKA, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TAWANAN PERANG ISIS DITINJAU DARI KONVENSI
JENEWA III TAHUN 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN KONVENSI JENEWA I TAHUN 1977” (2017) 5:1 Fatwa Huk
Prodi Ilmu Huk Fak Huk Untan J Mhs S1 Fak Huk Univ Tanjungpura at 12.
3
http://www.mirajnews.com/2014/12/kejamnya-siksaan-tentara-amerika-di-penjara-terbongkar.html
4
FEBRIKA, supra note 2 at 21.
III 1949 dan protokol tambahan I 1977 secara garis besar yaitu mewajibkan kepada pihak
yang menahan untuk menjamin penghormatan tawanan perang, yang berarti bahwa negara
penahan atau pihak yang menahan haruslah memperlakukan tawanan perang secara
manusiawi, memberikan jaminan perlindungan yang artinya para tawanan perang harus di
lindungi dari berbagai ketidakadilan dan bahaya yang dapat muncul akibat dari peperangan,
dan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perkosaan terhadap integritas kepribadian
tawanan perang, serta memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan terhadap tawanan
perang yang artinya negara penahan atau pihak yang menahan memiliki kewajiban terhadap
kesehatan tawanan perang walaupun tawanan perang tersebut adalah musuh.5

Pada saat terjadinya perang saudara antara utara-selatan di Amerika, Abraham lincoln
pada saat itu juga melarang kepada siapa saja untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak
manusiawi terhadap tawanan perang, bahkan Abraham lincoln mengancam bagi siapa saja
yang melakukan penyiksaan terhadap tawanan perang maka akan di pidana, hingga termasuk
pula pidana mati bagi para pelakunya. Pada Tahun 1474 pengadilan Internasional pernah
menghukum mati Peter Von Hagenbach karena menjadi pelaku dari kekejaman pada saat
pendudukan Breisach.6

Dalam mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum humaniter


berdasarkan konvensi jenewa 1949 memberikan kewajiban kepada negara yang mertifikasi
konvensi tersebut untuk membuat kebijakan nasionalnya yaitu dengan menerbitkan undang-
undang nasional suatu negara yang lalu untuk memberikan sanksi pidana bagi orang-orang
yang melakukan pelanggaran berat yang ada dalam ketentuan-ketentuan konvensi. Negara
juga memiliki kewajiban untuk mencari dan menemukan orang yang di sangka telah
melakukan pelanggaran berat atau kejahatan perang, yang mana di dalam konvensi jenewa
1949 negara yang berkewajiban harus mengadili tanpa melihat kebangsaannya atau dapat
menyerahkan pelaku kejahatan perang tersebut kepada negara lainnya untuk dapat di
adili,walaupun pada dasarnya negara tentu akan memilih untuk melindungi warga negaranya
apalagi berkenanaan dengan alat negara.

Namun jika negara yang memiliki kewajiban tersebut tidak melakukan tindakan nyata
terhadap pelaku-pelaku pelanggaran tawanan perang di wilayahnya maka dapat mengajukan
pelaku pelanggaran tawanan perang atau pelanggar hukum humaniter tersebut kepada
5
Suharno, supra note 1 at 6.
6
Danial Danial, “PENGHORMATAN PRINSIP-PRINSIP KEMANUSIAAN TERHADAP TAWANAN PERANG DALAM
KONFLIK BERSENJATA MENURUT KONVENSI JENEWA III TAHUN 1949 (Studi Kasus Penyiksaan Tawanan Perang
AS Di Penjara Guantanamo)” (2015) 1:2 J Idea Huk at 5.
pengadilan internasional, pengadilan internasional merupakan pengadilan yang sifatnya
pelengkap atau komplementer. Ketika suatu negara tidak mampu atau memang tidak mau
mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran tawanan perang atau pengadilan nasional
suatu negara tidak berjalan dengan adil, maka dalam hal ini pengadilan internasional lah
berperan untuk mengadili pelaku tersebut, yaitu dapat di adili oleh Mahkamah pidana
internasional Ad-Hoc atau Mahkamah pidana internasional (Internasional Criminal Court
atau ICC).7

Di dalam statuta mahkamah pidana internasional pasal 8 menyatakan yang di maksud


kejahatan perang adalah suatu tindakan seseorang dalam melakukanya merupakan bagian dari
rencana, kebijakan, ataupun bagian dari skala besar adanya perintah dalam melakukan
tindakan pidana tersebut, suatu pelanggaran termasuk dalam pelanggaran berat jika menurut
konvensi jenewa 1949 adalah perbuatan yang di tujukan terhadap orang atau harta benda
yang oleh konveni di lindungi. Pihak-pihak yang sebenarnya dapat mengajukan kasus
terhadap jaksa penuntut umum di antaranya dewan keamanan PBB, negara pihak statuta, dan
prakarsa jaksa penuntut itu sendiri. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 13 statuta
bahwa yang mengatur tindak pidana yang di nyatakan pada pasal 5 yaitu ketika terdapat satu
atau lebih adanya tindak pidana maka negara pihak dapat melimpahkan perkara tersebut
kepada jaksa penuntut umum, atau ketika terdapat satu atau lebih adanya tindak pidana yang
oleh dewan keamanan lalu melimpahkan hal tersebut kepada jaksa penuntut umum yang
tindakanya berdasarkan piagam PBB Bab VII atau jaksa penuntut berinisiatif untuk
melakukan suatu pengadilan berkenaan dengan adanya tindak pidana tanpa menunggu
pelimpahan atau laporan.8

Selain itu perlu di perhaikan pula beberapa prinsip sebelum mengajukan suatu perkara
kepada mahkamah berdasarkan statuta, prinsip tersebut yaitu prinsip komplementer yang
bermakna bahwa mahkamah hanya sabagai pelengkap dari pada pengadilan nasional apabila
tidak mampu atau tidak mau mengadilinya, prinsip ini sebagai wujud dari pada pengakuan
dan penghormatan kedaulatan suatu negara, prinsip penerimaan bermakna mahkamah dapat
memutuskan dalam hal di terima tidaknya suatu perkara yang diajukan kepada mahkamah
dan perkara tidak dapat di terima jika sedang di jalani pemeriksaan oleh suatu negara, kecuali
suatu negara memang tidak melaksanakan suatu penyidikan atau penuntutan dengan alasan
ketidakmapuan atau ketidakmauan tertentu atau jika perkara tersebut sudah di periksa dan
7
Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hal terjadinya Kejahatan Perang
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949” (2012) 2:01 J Ilmu Huk at 11.
8
Ibid at 14.
ternyata telah di putus oleh suatu negara untuk tidak mengadili pelaku kecuali karena alasan
tersebut karena ketidakmampuan atau ketidakmauan negara yang bersangkutan, atau jika
ternyata perbuatan yang di lakukan oleh pelaku telah diadili dan akan diadili kembali dengan
dasar tuntutan untuk perbuatan yang sama, seperti yang tercantum dalam pasal 20 ayat 3, atau
jika ternyata kasus yang dilakukan tidak cukup berat hingga harus di tangani oleh mahkamah.
Selanjutnya prinsip Ne Bis in idem yang di sebutkan dalam pasal 20 statuta bahwa seseorang
tidak dapat di tuntut kembali dengan perkara yang sama dan telah di putus oleh mahkamah,
selanjutnya prinsip tanggung jawab pidana secara individu pasal 25 statuta yang bermakna
bahwa seseorang bertanggung jawab secara pribadi serta mendapat hukuman sesuai statuta
apabila seseorang melakukan tindak pidana di dalam wilayah yuridiksi mahkamah.9

Kesimpulan

Sebenarnya konvensi jenewa 1949 mengenai perlakuan pada tawanan perang tersebut telah
memuat aturan dengan jelas mengenai kewajiban dan hak tawanan perang, serta tindakan
seperti apa yang dapat di kategorikan sebagai pelanggaran berat. Hanya saja terdapat
kelemahan atau kekurangan yang membahas secara spesifik hukuman atau sanksi seperti apa
yang dapat di berikan oleh pelaku pelanggaran tawanan perang, sehingga hal ini yang
menjadi hambatan dalam penegakan hukum humaniter internasional. Adanya penganiyayaan
yang dilakukan oleh AS dan ISIS tersebut merupakan sebuah contoh yang dapat di jadikan
tolak ukur dari pada sejarah keberhasilan perlindungan terhadap tawanan perang. Adanya
kepastian hukum tapi minimnya pengawasan dan penegakan di tambah lemahnya wilayah
yuridiksi berkaitan dengan kedaulatan negara yang menjadikan mahkamah pidana
internasional hanya sebatas komplementer. Jika pada masa Abraham lincoln secara tegas
mencoba memberikan perlindungan yang maksimal terhadap tawanan perang hingga dapat
mempidana mati pelaku pelanggarannya, maka kenapa tidak jika demi tegaknya prinsip
kemanusiaan dalam masyarakat internasional. Tulisan ini dalam penegakan hanya sebatas
mengenai prosedur dan menitik beratkan pada pembahasan bahwa negara nasional lah yang
sebenarnya dapat menentukan tegak atau tidaknya hukum humaniter dan bagaimana
penegakannya.

9
Ibid at 15.

Anda mungkin juga menyukai