Konflik ini dimulai setelah perang dunia kedua, ketika masyarakat Israel
(yahudi) berpikir untuk memiliki negara sendiri. Menurut sejarah mereka
keluar dari tanah Israel setelah Perang Salib karena dituduh pro- Kristen oleh
tentara Islam, yang kemudian ditinggali oleh orang-orang Filistin atau
Palestine, pikiran berbentuk zionisme yang didorong oleh genosida oleh Nazi
pada perang dunia kedua. Pilihan letak negara itu tentu saja adalah tanah
leluhur mereka yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris karena
secara leluhur mereka memilikinya tapi juga secara religius beberapa tempat
keagamaan Yahudi ada disana.
Meskipun tidak secara terbuka, negara-negara barat setuju dan
mendukung alasannya karena sebelum orang Palestina tinggal disana, tanah
itu adalah milik Israel. sebaliknya negara-negara Arab berargumen bahwa
adalah karena Jerman yang melakukan genosida maka tanah Jerman lah yang
harus disisihkan untuk dijadikan negara Yahudi. Dibalik semua intrik politik
dan keuntungan dan kerugian politik, strategis, dan sebagainya. Inggris secara
sukarela mundur dari negara dan memberikan siapa saja untuk mengklaimnya.
berhubung Isreal lebih siap maka mereka lebih dahulu memproklamirkan
negara.
Sebaliknya orang-orang Palestina yang telah tinggal dan besar disana
tidak mau terima menjadi bagian negara Yahudi (Dalam literatur doktrin Islam
pemimpin negara harus seorang Muslim), sehingga bangsa Israel kemudian
melihat orang Palestina sebagai ancaman dalam negeri, begitu juga dengan
bangsa Palestina yang menganggap Israel sebagai penjajah baru.
1
Sir Robert Jennings & Sir Arthur Watts, (Edisi ke-9, 1992),Oppenheim’s International Law,
Oxford: Oxford University Press, hlm.699
perang sebagai instrumen kebijakan nasional, dan memelihara hubungan
damai serta bersahabat antara rakyat dengan negara.”
Pasal 2 ayat (4) piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang tindakan
mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integrasi wilayah atau
kemerdekaan politik negara lain, bunyinya: “All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial
integrity or political independence of any state, or in any other manner
inconsistent with the Purposes of the United Nations.” Dapat dimaknai bahwa
semua anggota dari PBB harus menahan diri dalam hubungan internasional
mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial
atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain yang dianggap
tidak konsisten dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hukum Jenewa yang mengatur mengenai perlindungan korban perang
terdiri dari empat perjanjian pokok, yaitu:
a. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan keadaan tentara yang luka dan sakit
di medan pertempuran darat.
b. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan
Sakit di Medan Pertempuran laut
c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang
d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu
Perang.
Setelah Perang Dunia II, dunia ditandai dengan proses
dekolonisasi, sehingga banyak peperangan tidak lagi bersifat internasional,
namun tidak sedikit korban akibat konflik bersenjata non internasional ini.
Masyarakat internasional sepakat untuk mengatue masalah-masalah baru
tersebut dan dibentuk-lah Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977
yang dikenal dengan protokol tambahan I dan Protokol Tambahan II tahun
1977 Selain sumber-sumber utama hukum humaniter terdapat sumber-sumber
lain hukum humaniter yang mengatur alat dan metode berperang. Masyarakat
internasional selalau berusaha untuk mengurangi penderitaann yang
berlebihan yang ditimbulkan oleh perang. Beberapa perjanjian yang telah di-
sepakati antara lain :
a. The biological weapons Convention 1972
b. The United Nations Convention on Conventional Weapons and the
Protocols 1980
c. The chemical Weapons 1993
d. Convention on Prohibitions or restrictions on the Use certain Conventional
Weapons Which May be Deemed to Excessively injuries or to Have
Indiscriminate Effects
D. Analisis Hukum
1. Status Negara Palestina
Status Palestina yang hanya merupakan suatu entitas diakui
eksistensinya sebagai gerakan pembebasan (PLO), bukan sebagai negara.
Diakuinya suatu negara secara internasional tidak terlepas dari hubungan-
hubungan yang dapat dilakukannya dengan negara lain, sebagaimana yang
tertulis dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo mengenai karakteristik
negara.2
Status Palestina sebagai entitas pemantau non-anggota membuatnya
tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika
diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk
mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya
disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah
Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima
kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian
secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB.
Status yuridis Palestina kini sudah semakin menemui titik terang ketika
status Palestina ditingkatkan menjadi negara pemantau non-anggota PBB.
Negara pemantau non-anggota memiliki hak untuk berbicara di pertemuan
Majelis Umum PBB, namun tidak bisa memberikan suara pada resolusi
PBB.
Peningkatan status Palestina tidak menutup kemungkinan jika pada
suatu saat nanti Palestina akan masuk menjadi anggota PBB selama
terpenuhinya syarat-syarat yang diajukan oleh Advisory Opinion (AO)
tentang “Syarat-syarat keanggotaan dalam PBB”, yaitu bahwa suatu
negara pelamar harus: (1) sebuah negara; (2) pecinta damai; (3) menerima
kewajiban-kewajiban Piagam PBB; (4) mampu melaksanakan kewajiban-
kewajiban itu; (5) mau melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.3
Mengingat Palestina hanya dianggap sebagai kesatuan yang
menduduki wilayah Gaza yang merupakan bagian dari wilayah Israel,
maka serangan Israel dikategorikan sebagai tindakan polisionil suatu
pemerintahan terhadap wilayah yang diduduki (Hikmahanto Juwana).
Namun, status Palestina yang telah diakui sebagai negara menyebabkan
para petinggi sipil dan militer Israel yang memutus kebijakan penggunaan
kekerasan bisa didakwa melakukan kejahatan internasional yang
menggunakan kekerasan terhadap negara lain.
Berkaitan dengan peperangan yang terjadi antara Palestina dan
Israel, maka dengan status barunya, Palestina berhak meminta
perlindungan kepada negara-negara anggota lain, termasuk kepada DK
PBB dan Mahkamah Internasional. Sebagaimana yang tertera jelas bahwa
tujuan dari PBB adalah untuk menjaga keamanan dunia, maka sepatutnya
negara-negara anggota harus menjunjung tinggi nilai perdamaian,
termasuk Israel yang masuk dalam keanggotaan PBB pada 11 Mei 1949.
Besarnya serangan yang dilancarkan oleh Israel, tidak menutup
kemungkinan bahwa Israel akan mendapat tindakan yang serius dari DK
PBB, mulai dari embargo ekonomi (Pasal 41 Piagam PBB), hingga pada
penyerangan militer (Pasal 42 Piagam PBB), bahkan dikeluarkan dari
keanggotaan (Pasal 6 Piagam PBB). Namun, mengingat peranan Israel
2
Sefriani, 2011, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. II, PT RajaGrafndo Persada, Jakarta,
h. 147
3
URL: news.detik.com/read/2012/11/30/164934/2106333/10/arti-penting-di-balik-
peningkatanstatus-palestina/
yang sangat besar dalam bidang militer, negara-negara dunia masih harus
berpikir seribu kali untuk melakukan serangan kepada Israel. Hal ini
terlihat masih adanya 9 negara yang menolak status baru Palestina, dan 41
negara lebih memilih abstain daripada harus menyatakan setuju atau tidak
atas status Palestina tersebut.
E. Kesimpulan
1. Peningkatan status Palestina dari entitas menjadi negara memberikan hak
baru, termasuk mendapatkan perlindungan dari DK PBB dan Mahkamah
Internasional berkaitan dengan serangan Israel yang dianggap sebagai
kejahatan internasional yang menggunakan kekerasan terhadap negara
lain.
2. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang
sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang
Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama,
sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.
Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang
menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya,
sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan
solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah
Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerussalem Timur. Konflik
tersebut terjadi berawal dari keputusan PBB yang mengakhiri mandat
pemerintahan Inggris di wilayah Palestina dan kemudian membagi
wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu wilayah yang diperuntukkan
bagi masyarakat Yahudi Israel dan Arab Palestina. Keputusan PBB
tersebut menimbulkan protes dari rakyat Palestina yang sudah sejak lama
menempati wilayah tersebut. Sementara itu, sikap arogansi Israel yang
ingin menguasai seluruh wilayah Palestina berubah manjadi kerusuhan
yang memicu terjadinya perang dalam skala yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA