Anda di halaman 1dari 9

LEGAL OPINION

“Status Negara Palestina dan Konflik Israel Vs Palestina”

A. Identifikasi Fakta Hukum


Kasus : Konflik Israel vs Palestina, Status Negara Palestina
Jenis : Sengketa Internasional
Para Pihak : Israel dan Palestina

Konflik ini dimulai setelah perang dunia kedua, ketika masyarakat Israel
(yahudi) berpikir untuk memiliki negara sendiri. Menurut sejarah mereka
keluar dari tanah Israel setelah Perang Salib karena dituduh pro- Kristen oleh
tentara Islam, yang kemudian ditinggali oleh orang-orang Filistin atau
Palestine, pikiran berbentuk zionisme yang didorong oleh genosida oleh Nazi
pada perang dunia kedua. Pilihan letak negara itu tentu saja adalah tanah
leluhur mereka yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris karena
secara leluhur mereka memilikinya tapi juga secara religius beberapa tempat
keagamaan Yahudi ada disana.
Meskipun tidak secara terbuka, negara-negara barat setuju dan
mendukung alasannya karena sebelum orang Palestina tinggal disana, tanah
itu adalah milik Israel. sebaliknya negara-negara Arab berargumen bahwa
adalah karena Jerman yang melakukan genosida maka tanah Jerman lah yang
harus disisihkan untuk dijadikan negara Yahudi. Dibalik semua intrik politik
dan keuntungan dan kerugian politik, strategis, dan sebagainya. Inggris secara
sukarela mundur dari negara dan memberikan siapa saja untuk mengklaimnya.
berhubung Isreal lebih siap maka mereka lebih dahulu memproklamirkan
negara.
Sebaliknya orang-orang Palestina yang telah tinggal dan besar disana
tidak mau terima menjadi bagian negara Yahudi (Dalam literatur doktrin Islam
pemimpin negara harus seorang Muslim), sehingga bangsa Israel kemudian
melihat orang Palestina sebagai ancaman dalam negeri, begitu juga dengan
bangsa Palestina yang menganggap Israel sebagai penjajah baru.

B. Identifikasi Masalah Hukum


1. Pada dasarnya, wilayah merupakan komponen utama dari berdirinya suatu
negara. Namun dalam prakteknya, adanya suatu wilayah ternyata tidak
cukup untuk diakuinya wilayah tersebut menjadi suatu negara. Hal ini pula
yang terjadi pada Palestina, di mana negara tersebut memiliki wilayah,
pemerintahan dan penduduk, namun eksistensi dari Palestina ternyata
masih dipertanyakan.
2. Terjadinya penguasaan wilayah oleh Israel atas Palestina didasari beberapa
faktor. Pertama, melihat dari hubungan sejarah yang dimiliki oleh bangsa
Yahudi dan Palestina. Kedua, adanya keyakinan dalam diri bangsa Yahudi
melalui ajaran kepercayaan mereka mengenai tanah air yang dijanjikan.
Ketiga, adanya pernyataan langsung dari negara kolonial khususnya
Inggris melalui deklarasi Balfour sebagai wujud dukungan bagi
kepentingan bangsa Yahudi atas tanah Palestina.
3. Dengan mengetahui prinsip-prinsip dalam hukum humaniter dan prinsip
yang terkandung dalam Piagam PBB, jelas bahwa agresi Israel telah
melanggar prinsip-prinsip dalam hukum humaniter. Agresi Israel ke
Palestina selama ini telah mengakibatkan korban penduduk sipil tewas dan
luka-luka. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Prinsip
kemanusiaan dan perlindungan terhadap penduduk sipil telah lama dikenal
dalam membatasi korban karena peperangan. Israel juga telah melanggar
prinsip pembedaan, dimana dalam serangannya tidak membedakan antara
penduduk sipil dan kombatan serta antara objek-objek militer dan objek-
objek sipil yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. Selain itu
Israel telah menghancurkan objek-objek sipil antara lain, rumah penduduk
sipil, rumah sakit, sekolah-sekolah, gedung PBB, instalasi listrik dan air,
bahkan tempat ibadah. Berkaitan dengan pelanggaran prinsip
perikemanusiaan yang lain yaitu adanya larangan untuk menimbulkan luka
yang berlebihan. Israel telah menggunakan bom fosfor putih yang
menimbulkan luka yang berlebihan bagi penduduk sipil. Bom fosfor putih
mengakibatkan luka bakar yang parah sampai menembus tulang manusia.
Bom fosfor putih merupakan senjata yang telah dilarang digunakan dalam
perang.

C. Inventarisasi Aturan sebagai Dasar Hukum Analisis


Hukum internasional sudah tidak membenarkan adanya akuisisi wilayah
oleh negara dengan sebuah penaklukan atau dalam arti lain memperolehnya
dengan melakukan kekerasan atau peperangan (aneksai).1 Kaitannya dengan
perbuatan Israel, khususnya jika melihat dalam Perang Enam Hari pada tahun
1967, hukum internasional tidak memberikan Israel hak untuk memperoleh
kedaulatan manapun atas wilayah yang didudukinya melalui Resolusi 242
yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB pada tanggal 22 November
pada tahun yang sama dan disepakati sebagai dasar dari misi perdamaian di
Timur Tengah. Bunyinya: “...the inadmissibilityof the acquisition of territory
by war and the need to work for a just and lasting peace in which every state
in the area can live in security." Dapat dimaknai bahwa tidak dapat
diterimanya sebuah tindakan menguasai wilayah yang dilakukan dengan cara
aneksasi, demi kepentingan perdamaian yang adil dan abadi di mana setiap
warga negara di wilayah tersebut dapat hidup dengan tentram dan aman.
Juga dalam Kelllog briand pact 1928 (Pakta Perancis) melarang perang
sebagai instrumen kebijakan suatu negara. Bunyinya: “Persuaded that the time
has, come when a frank renunciation of war as an instrument of national
policy should be made to the end that the peaceful and friendly relations now
existing between their peoples may be perpetuated.” Dapat dimaknai bahwa
era saat ini (modern) adalah waktu untuk menolak dengan tegas terhadap

1
Sir Robert Jennings & Sir Arthur Watts, (Edisi ke-9, 1992),Oppenheim’s International Law,
Oxford: Oxford University Press, hlm.699
perang sebagai instrumen kebijakan nasional, dan memelihara hubungan
damai serta bersahabat antara rakyat dengan negara.”
Pasal 2 ayat (4) piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang tindakan
mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integrasi wilayah atau
kemerdekaan politik negara lain, bunyinya: “All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial
integrity or political independence of any state, or in any other manner
inconsistent with the Purposes of the United Nations.” Dapat dimaknai bahwa
semua anggota dari PBB harus menahan diri dalam hubungan internasional
mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial
atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain yang dianggap
tidak konsisten dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hukum Jenewa yang mengatur mengenai perlindungan korban perang
terdiri dari empat perjanjian pokok, yaitu:
a. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan keadaan tentara yang luka dan sakit
di medan pertempuran darat.
b. Konvensi Jenewa II tentang Perbaikan keadaan Tentara yang luka dan
Sakit di Medan Pertempuran laut
c. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Tawanan Perang
d. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil di Waktu
Perang.
Setelah Perang Dunia II, dunia ditandai dengan proses
dekolonisasi, sehingga banyak peperangan tidak lagi bersifat internasional,
namun tidak sedikit korban akibat konflik bersenjata non internasional ini.
Masyarakat internasional sepakat untuk mengatue masalah-masalah baru
tersebut dan dibentuk-lah Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977
yang dikenal dengan protokol tambahan I dan Protokol Tambahan II tahun
1977 Selain sumber-sumber utama hukum humaniter terdapat sumber-sumber
lain hukum humaniter yang mengatur alat dan metode berperang. Masyarakat
internasional selalau berusaha untuk mengurangi penderitaann yang
berlebihan yang ditimbulkan oleh perang. Beberapa perjanjian yang telah di-
sepakati antara lain :
a. The biological weapons Convention 1972
b. The United Nations Convention on Conventional Weapons and the
Protocols 1980
c. The chemical Weapons 1993
d. Convention on Prohibitions or restrictions on the Use certain Conventional
Weapons Which May be Deemed to Excessively injuries or to Have
Indiscriminate Effects

D. Analisis Hukum
1. Status Negara Palestina
Status Palestina yang hanya merupakan suatu entitas diakui
eksistensinya sebagai gerakan pembebasan (PLO), bukan sebagai negara.
Diakuinya suatu negara secara internasional tidak terlepas dari hubungan-
hubungan yang dapat dilakukannya dengan negara lain, sebagaimana yang
tertulis dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo mengenai karakteristik
negara.2
Status Palestina sebagai entitas pemantau non-anggota membuatnya
tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika
diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk
mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya
disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah
Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima
kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian
secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB.
Status yuridis Palestina kini sudah semakin menemui titik terang ketika
status Palestina ditingkatkan menjadi negara pemantau non-anggota PBB.
Negara pemantau non-anggota memiliki hak untuk berbicara di pertemuan
Majelis Umum PBB, namun tidak bisa memberikan suara pada resolusi
PBB.
Peningkatan status Palestina tidak menutup kemungkinan jika pada
suatu saat nanti Palestina akan masuk menjadi anggota PBB selama
terpenuhinya syarat-syarat yang diajukan oleh Advisory Opinion (AO)
tentang “Syarat-syarat keanggotaan dalam PBB”, yaitu bahwa suatu
negara pelamar harus: (1) sebuah negara; (2) pecinta damai; (3) menerima
kewajiban-kewajiban Piagam PBB; (4) mampu melaksanakan kewajiban-
kewajiban itu; (5) mau melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.3
Mengingat Palestina hanya dianggap sebagai kesatuan yang
menduduki wilayah Gaza yang merupakan bagian dari wilayah Israel,
maka serangan Israel dikategorikan sebagai tindakan polisionil suatu
pemerintahan terhadap wilayah yang diduduki (Hikmahanto Juwana).
Namun, status Palestina yang telah diakui sebagai negara menyebabkan
para petinggi sipil dan militer Israel yang memutus kebijakan penggunaan
kekerasan bisa didakwa melakukan kejahatan internasional yang
menggunakan kekerasan terhadap negara lain.
Berkaitan dengan peperangan yang terjadi antara Palestina dan
Israel, maka dengan status barunya, Palestina berhak meminta
perlindungan kepada negara-negara anggota lain, termasuk kepada DK
PBB dan Mahkamah Internasional. Sebagaimana yang tertera jelas bahwa
tujuan dari PBB adalah untuk menjaga keamanan dunia, maka sepatutnya
negara-negara anggota harus menjunjung tinggi nilai perdamaian,
termasuk Israel yang masuk dalam keanggotaan PBB pada 11 Mei 1949.
Besarnya serangan yang dilancarkan oleh Israel, tidak menutup
kemungkinan bahwa Israel akan mendapat tindakan yang serius dari DK
PBB, mulai dari embargo ekonomi (Pasal 41 Piagam PBB), hingga pada
penyerangan militer (Pasal 42 Piagam PBB), bahkan dikeluarkan dari
keanggotaan (Pasal 6 Piagam PBB). Namun, mengingat peranan Israel
2
Sefriani, 2011, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. II, PT RajaGrafndo Persada, Jakarta,
h. 147
3
URL: news.detik.com/read/2012/11/30/164934/2106333/10/arti-penting-di-balik-
peningkatanstatus-palestina/
yang sangat besar dalam bidang militer, negara-negara dunia masih harus
berpikir seribu kali untuk melakukan serangan kepada Israel. Hal ini
terlihat masih adanya 9 negara yang menolak status baru Palestina, dan 41
negara lebih memilih abstain daripada harus menyatakan setuju atau tidak
atas status Palestina tersebut.

2. Konflik Israel vs Palestina


Peperangan yang berlangsung sampai sekarang ini, telah menelan
banyak korban dan menimbulkan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi
rakyat Palestina. Hal tersebut memicu konflik regional dikawasan Timur
Tengah. Intervensi yang dilakukan oleh Israel tersebut memicu konflik
yang semakin luas yang melibatkan negara-negara tetangganya seperti
Mesir, Yordania, Suriah, Irak, Iran dan negara-negara dikawasan Timur
Tengah lainnya.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami
korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu
sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza.
Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat
dengan dalih ingin melucuti sisa- sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas,
sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan
penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan
udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak
korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan
serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa
melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-
benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan
masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia.
Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang
menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam
berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan
penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan
kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta
obat-obatan.4
Salah satu konflik yang sedang menghebohkan dunia Internasional
sekarang ini adalah penetapan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Yerusalem adalah kota yang terletak di persimpangan Israel dan West
Bank. Lokasinya berada di antara Laut Mediterania dan Laut Mati, kira-
kira 50 km sebelah tenggara ibu kota Israel, Tel Aviv. Wilayah kota ini
luasnya kira-kira 123 km persegi, tetapi batas-batasnya seringkali
diperselisihkan, terutama sejak pengambilalihan oleh Israel. Sementara itu,
wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Jerusalem oleh orang-orang
Palestina dipandang sebagai bagian dari wilayah West Bank.
4
Eko Prihtianto, Peranan Mer-C Indonesia dalam Penangan Konflik Gaza di Palestina selama
2008-2009, dalam http://www.scribd.com/doc/51090344/Peranan-Merci-Proposal
Komposisi Jerusalem dibagi menjadi dua bagian, Jerusalem Barat
dan Timur. Jerusalem Barat hampir semua penduduknya adalah orang-
orang Yahudi, yang merupakan bagian dari Israel sejak didirikan pada
tahun 1948. Jerusalem Timur sebagian besar penduduknya adalah orang-
orang Arab Palestina, yang pada akhir-akhir ini direkonstruksi menjadi
wilayah Yahudi. Jerusalem Timur dikuasai oleh Jordania antara 1949 dan
Perang Enam-Hari tahun 1967. Selama masa peperangan, Jerusalem Timur
dapat diduduki Israel, dan kemudian diklaim sebagai bagian dari
wilayahnya. Israel menyatakan bahwa Jerusalem merupakan ibu kotanya,
tetapi orang-orang Palestina membantah pernyataan itu dan PBB pun tidak
mengakuinya. Orang-orang Yahudi, Kriten, dan kaum Muslimin, yang
merupakan bagian dari Abrahamic religions, mengakui bahwa Jerusalem
merupakan kota suci mereka. Jerusalem memiliki situs-situs suci yang
berhubungan dengan agama mereka. Sampai sekarang, Jerusalem masih
menyimpan artifak-artifak sejarah yang terpelihara dengan baik. Adapun
konsentrasi terbesar dari situs keagamaan dan sejarah ini berada atau
terletak di Kota Tua, yang merupakan bagian dari wilayah Jerusalem
Timur. Klaim atas Jerusalem sebagai kota suci bagi tiga agama, yakni
Yahudi, Kristen, dan Islam, telah membawa konsekuensi terhadap
keberadaannya. Jerusalem telah menjadi ajang persengketaan yang tidak
pernah selesai. Entah kapan akan menjelma kehidupan bersama secara
damai dan harmonis di kota ini.
Bentrok Israel dan Palestina terhadap yerusalem ini menjadi polemik
dikalangan dunia internasional terutama dewan keamanan PBB dan para
anggota OKI.Perbuatan yang di lakukan presiden Amerika serikatDonald
Trump tersebut atas pengakuan kota yerusalem sebagai ibu kota negara
Israel ini membuat hubungan diplomasi dan hubungan dunia internasional
geram,tak terkecuali indonesia. Konflik ini muncul spekulasi intensif
bahwa Donald Trump mengumumkan pengakuan tersebut sebagai bagian
dari janji masa kampaye pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun
2016.
Pada awal pertama resmi Trump menjabat menjadi Presiden
Amerika Serikat menunjukkan dukungan kuatnya terhadap Israel bahkan
juga berjanji akan memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel
Aviv ke Yerusalem tersebut mendapat tentangan banyak pihak di
karenakan akan menimbulkan konflik baru, oleh sebab itu tak heran para
pemimpin dunia dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) protes atas
pengakuan yerusalem sebagai ibu kota israel oleh trump. Konflik yang
melibatkan israel dan palestina pada kota yerusalem ini tak bisa di
pungkiri lagi dikarenakan pemberitaan konflik israel dan palestina di
media sangat cepat dan sangat meluas bahkan menjadi perbicaraan serius
di dunia internasional sehingga muncul penolakan berbagai anggota OKI.
Padahal pada dasarnya hukum internasional melarang penggunaan
kekerasan oleh negara-negara dalam rangka menjaga perdamaian dan
keamanan dunia. Hukum internasional lebih menganjurkan negara yang
berkonflik untuk meyelesaikan konflik tersebut dengan cara-cara damai.
Faktanya, hingga detik ini konflik Israel-Palestina belum dapat
terselesaikan secara keseluruhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh lemahnya
hukum internasional dalam memberikan sangsi bagi negara yang
melanggar ketentuan hukum internasional. Selain itu, hukum internasional
lemah dalam hal suatu negara yang tidak meratifikasi perjanjian
internasional yang telah dijadikan ketetapan hukum internasional oleh
negara-negara dalam rangka pergaulan internasional, sehingga tidak ada
kewajiban bagi negara tersebut untuk tunduk dan patuh pada ketentuan
hukum internasional.
Dimana seharusnya konflik antara Palestina dan Israel dengan
prinsip- prinsip aturan perang internasional atau humaniter law maka dapat
disimpulkan bahwa Israel tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip tersebut dan pelanggaran terhadap prinsip tersebut
dikatakan sebagai kejahatan perang yang harus diadili oleh dunia
Internasional. Namun sayang, seperti yang telah kita ketahui dalam
berbagai doktrin bahwa hukum Internasional itu ada dan berlaku
sepanjang negara mempunyai tanggung jawab sebagai subjek hukum
internasional yang tidak dapat melakukan aktifitas lainnya tanpa adanya
hubungan dengan negara lain artinya sepanjang hukum internasional
tersebut diabaikan oleh negara yang harus mematuhinya maka kekuatan
mengikat dari hukum internasional tersebut menjadi lemah bahkan
dianggap tidak ada sama sekali. Oleh karena, dalam hal ini penulis pesimis
bahwa langkah-langkah penyelesaian konflik tersebut dalam mahkamah
internasional hanya akan buang-buang waktu saja dan menguras tenaga
kecuali oleh negara Israel dan sekutu yang ada dibelakangnya patuh dan
taat dengan hukum internasional sebagai wujud anggota masyarakat
internasional yang tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat
internasional yang lainnya.

E. Kesimpulan
1. Peningkatan status Palestina dari entitas menjadi negara memberikan hak
baru, termasuk mendapatkan perlindungan dari DK PBB dan Mahkamah
Internasional berkaitan dengan serangan Israel yang dianggap sebagai
kejahatan internasional yang menggunakan kekerasan terhadap negara
lain.
2. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang
sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang
Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama,
sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya.
Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang
menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya,
sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan
solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah
Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Jerussalem Timur. Konflik
tersebut terjadi berawal dari keputusan PBB yang mengakhiri mandat
pemerintahan Inggris di wilayah Palestina dan kemudian membagi
wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu wilayah yang diperuntukkan
bagi masyarakat Yahudi Israel dan Arab Palestina. Keputusan PBB
tersebut menimbulkan protes dari rakyat Palestina yang sudah sejak lama
menempati wilayah tersebut. Sementara itu, sikap arogansi Israel yang
ingin menguasai seluruh wilayah Palestina berubah manjadi kerusuhan
yang memicu terjadinya perang dalam skala yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA

Eko Prihtianto, Peranan Mer-C Indonesia dalam Penangan Konflik Gaza di


Palestina selama 2008-2009, dalam
http://www.scribd.com/doc/51090344/Peranan-Merci-Proposal
Sefriani, 2011, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Cet. II, PT RajaGrafndo
Persada, Jakarta.
Sir Robert Jennings & Sir Arthur Watts, (Edisi ke-9, 1992),Oppenheim’s
International Law, Oxford: Oxford University Press.
URL: news.detik.com/read/2012/11/30/164934/2106333/10/arti-penting-di-balik-
peningkatanstatus-palestina/

Anda mungkin juga menyukai