Anda di halaman 1dari 10

Nama : Steven Liechardo

Kelas : Kapita Selekta Hukum


NIM : 032114153021

Analisa Pengakuan Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel dan Status Negara
Menurut Hukum Internasional

I. Kasus Posisi

Pada tahun 1917, Deklarasi Balfour mengalihkan kekuasaan wilayah timur


tengah yang dikenal sebagai Palestina ke Kerajaan Inggris sebagai rumah nasional
sementara bagi orang-orang Yahudi. Antara 1917 dan 1948, Palestina dihuni oleh
imigran Yahudi yang mendukung gagasan Zionisme (hak orang Yahudi untuk kembali
ke Tanah Suci) dan orang-orang Muslim dan Kristen berbahasa Arab yang telah
menduduki tanah itu selama berabad-abad.1 Ketegangan mulai terbentuk antara orang-
orang Arab-Palestina dan para imigran Yahudi ketika kedua kelompok mencoba untuk
mengambil klaim atas bagian yang sama dari tanah atau wilayah yang penting bagi
kedua pihak secara agama.
Pada tahun 1948, Deklarasi Balfour dijadwalkan berakhir dan Inggris Raya tidak
akan lagi memerintah Palestina. Pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan
negara yang penuh gejolak itu diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
pada akhirnya akan memutuskan untuk menciptakan negara baru Israel, khususnya
sebagai tanah air yang dijanjikan bagi orang-orang Yahudi. Presiden Amerika Serikat
Harry Truman merupakan kepala negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel
yakni hanya sebelas menit sejak pengakuannya sebagai negara. Namun keputusannya
menuai banyak pro kontra dari anggota cabinet dan staff kenegaraan yang sebagian
mendukung dibuatnya suatu negara Yahudi sebagai respons dari kejadian holocaust dan
yang lainnya berpendapat bahwa pendirian tersebut akan menimbulkan konflik yang
semakin keruh di wilayah yang sudah bergejolak.

1
Truman Presidential Museum & Library, Background Essay on Harry S. Truman and the
Recognition of Israel, https://www.trumanlibrary.gov/public/TrumanIsrael_Background.pdf (diakses pada
tanggal 1 November 2021)
Pada tanggal 29 November 1947, tujuh puluh tahun yang lalu, Majelis Umum
PBB mengeluarkan Resolusi 181 untuk membagi Palestina menjadi dua negara: satu
Yahudi dan satu Arab yang dikenal sebagai resolusi partisi. Sejak pendiriannya,
legitimasi internasional Israel telah terkait erat dengan resolusi partisi ini. Dalam
beberapa tahun terakhir, pertanyaan tentang legitimasi internasional Israel telah menjadi
masalah kontroversi di Israel sendiri dan, tentu saja, di pengadilan opini publik
internasional. Topik utama yang disajikan di sini adalah bahwa, sejak tahun-tahun awal
gerakan Zionis, dari deklarasi Balfour dan seterusnya, gagasan tentang pemerintahan
Yahudi di Palestina secara konsisten terikat di mata komunitas internasional dengan
beberapa bentuk hak bersama atas negara, baik untuk orang Yahudi maupun orang
Arab. Gagasan yang awalnya samar-samar ini secara bertahap berkembang menjadi
gagasan yang lebih konkret dan dirumuskan dengan jelas untuk membagi Palestina
menjadi dua negara. Karena legitimasi internasional Israel dikaitkan dengan partisi,
jarak yang dirasakan dari gagasan solusi dua negara memiliki dampak negatif yang
hampir otomatis pada kedudukan internasional Israel.
Sesaat sebelum pengesahan resolusi PBB, pada 17 November 1947, Golda
Meyerson, atau dikenal dengan sebutan Meir, yang mewakili Departemen Politik Badan
Yahudi, bertemu secara rahasia dengan Raja Abdallah dari Yordania di Naharayim. Dia
menjelaskan bahwa Zionis mengharapkan resolusi PBB yang akan membentuk dua
negara dan bahwa pihaknya “ingin berbicara dengan raja hanya tentang kesepakatan
berdasarkan resolusi seperti itu.”2 Dia tidak keberatan dengan pernyataan bahwa ada
kemungkinan Yordania mungkin merebut bagian Arab-Palestina, asalkan tentara
Yordania tidak akan mengganggu pembentukan negara Yahudi dan bahwa Abdallah
akan menyatakan bahwa tujuan pasukannya adalah untuk menjaga hukum dan
ketertiban sampai PBB bisa mendirikan pemerintahan di daerah itu. 3 Meir sangat
berhati-hati untuk tidak melanggar partisi, jelas bukan demi orang-orang Arab-
Palestina, tetapi dalam kesadaran penuh bahwa resolusi inilah yang akan menjadi
fondasi internasional negara Yahudi.

2
Avi Shlaim, The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists and Palestine, 1921 -1951,
Oxford University Press, 1990, hlm. 95-96.
3
Ibid.
Deklarasi Kemerdekaan Israel pada Mei 1948 tidak hanya didasarkan pada "hak
alami dan historis" orang-orang Yahudi, tetapi juga pada resolusi partisi PBB, yang
mengakui hak mereka yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri,
kedaulatan, dan kenegaraan. Deklarasi tersebut menjanjikan kesetaraan politik dan
sosial yang lengkap bagi semua warga negara Israel, terlepas dari agama, ras, atau jenis
kelamin, dan menjamin kesetiaan Israel pada prinsip-prinsip Piagam PBB. Atas dasar
inilah Israel mengajukan permohonan ke PBB untuk masuk ke dalam keluarga bangsa-
bangsa.4 Jadi, seperti yang diabadikan dalam Deklarasi Kemerdekaannya sendiri,
legitimasi internasional Israel bersandar pada penerimaannya terhadap partisi dan
catatan hak asasi manusianya.
Namun kemerdekaan Israel tidak disetujui oleh Liga Arab sehingga hanya satu
hari setelah deklarasi kemerdekaannya, Liga Arab menyerang Israel dan memulai
perang 1948 (War of 1948) yang kemudian menjadi dasar dari konflik Israel-Arab
hingga 70 tahun kemudian. Ketika perang mendekati akhir pada akhir musim panas
tahun 1948, setelah hampir satu tahun pertempuran, Israel telah memperoleh posisi
unggul. Pada akhir September, David Ben-Gurion (Perdana Menteri pertama Israel dan
salah satu national founder negara) mengusulkan kepada kabinet agar pasukan Israel
memperbarui serangan mereka terhadap Yordania dan mengambil sebagian besar West
Bank (termasuk di wilayah tersebut adalah kota Yerusalem). Pada tahap ini, Pasukan
Pertahanan Israel cukup kuat untuk mengambil semua West Bank jika diperintahkan
untuk melakukannya. Kabinet, bagaimanapun, menolak proposal Ben-Gurion.5 Ben-
Gurion sendiri sebenarnya berpendapat bahwa partisi terhadap kota di antara Israel and
Jordan adalah solusi terbaik yang seharusnya diimplementasikan. 6 Dari resolusi partisi
PBB sendiri dinyatakan bahwa kota Yerusamel tidak akan menjadi bagian dari negara
Yahudi maupun Arab tetapi sebuah bagian khusus yang berada dalam rezim
internasional “a corpus separatum under a special international regime to be

4
Israel’s Declaration of Independence,
https://www.mfa.gov.il/mfa/foreignpolicy/peace/guide/pages/declaration%20of%20establishment%20of
%20state%20of%20israel.aspx. (diakses pada tanggal 1 November 2021)
5
Avi Shlaim, The Iron Wall: Israel and the Arab World, New York, W.W.Norton, 2000, p. 38.
6
Benny Morris, Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, New York, Vintage
Books, 2001, hlm. 242-243
administered by the UN”.7 Dalam Peperangan 6 Hari tahun 1967(1967 6-day War)
Israel mengambil alih sebagian besar area West Bank termasuk Yerusalem, dan
menggabungkan wilayah tersebut sebagai wilayah negaranya yang kemudian menjadi
konflik wilayah hingga sekarang. Pengambilan alih wilayah Yerusalem oleh Israel tidak
didukung oleh PBB, dimana dalam salah satu laporannya dinyatakan bahwa mereka
menganggap hal itu sebagai pelanggaran terhadap aturan hukum internasional yang
diakui yang melarang suatu Negara pendudukan mengubah struktur hukum dan
administrasi di wilayah pendudukan dan pada saat yang sama menuntut penghormatan
atas hak milik pribadi dan hak-hak dan kebebasan pribadi. Berulang kali ditekankan
bahwa penduduk Yerusalem Timur tidak diberi kesempatan untuk menyatakan sendiri
apakah mereka bersedia untuk hidup dalam komunitas Negara Israel ... hak untuk
menentukan nasib sendiri, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, karena itu telah dilanggar.8
Kemudian Presiden Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald John
Trump mengumumkan pada tanggal 6 Desember 2017 bahwa pemerintahannya secara
resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dengan mengarahkan Departemen
Luar Negeri untuk memulai mempersiapkan perpindahan Kedutaan Besar Amerika
Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem. 9 Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yerusalem
tersebut sempat ditutup pada tahun 201910 namun telah di umumkan oleh Amerika
bahwa mereka berencana untuk membuka kembali dalam waktu yang belum
ditentukan.11 Untuk itu makalah ini melihat pengakuan negara-negara lain terhadap
Israel sebagai negara dan juga terhadap klaim Israel terhadap Yerusalem sebagai ibu
kotanya.

7
United Nations General Assembly Resolution 181, 29 November 1947, https://daccess-
ods.un.org/TMP/6143882.87067413.html, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
8
United Nations, The Status of Jerusalem, New York, 1997, hlm. 12,
https://www.un.org/unispal/wp-content/uploads/2016/07/The-Status-of-Jerusalem-Engish-199708.pdf,
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
9
Ruth Margalit, Trump’s Legacy in Israel, https://www.newyorker.com/news/dispatch/donald-
trumps-legacy-in-israel, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
10
The Guardian, Israel Says US Plan to Reopen Jerusalem Consulate is’Bad Idea’,
https://www.theguardian.com/world/2021/sep/01/israel-us-plan-reopen-jerusalem-consulate-bad-idea,
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
11
Jacob Magdid, Dragging Out Consulate Reopening, Biden Does Israel a Favor, But not
Himself, https://www.timesofisrael.com/dragging-out-consulate-reopening-biden-does-israel-a-favor-but-
not-himself/, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
II. Analisa Hukum
Kenegaraan, atau Statehood, dan pengakuan terhadap negara atau recognition
adalah dua hal yang berbeda. Kenegaraan sendiri berbicara mengenai teori hukum
internasional yang tercantum dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban
Negara tahun 1933. Dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo disebutkan bahwa negara
sebagai subyek hukum internasional harus memiliki 4 kualifikasi yakni populasi yang
permanen, wilayah yang telah ditentukan, pemerintahan dan memiliki kapasitan untuk
masuk dalam relasi dengan negara-negara lain, hal ini dikenal sebagai four criterias of
statehood. Kemudian yang kedua adalah pengakuan terhadap negara yakni perilaku
politik yang diberlakukan kepada negara yang sudah ada.12 Pengakuan terhadap nega
sendiri dibagi menjadi dua teori yakni declaratory view dan constitutive view. Teori
konstitutif menyatakan bahwa pengakuan suatu entitas sebagai negara tidak otomatis.
Suatu negara hanyalah sebuah negara ketika diakui keberadaannya dan negara-negara
lain memiliki keleluasaan yang cukup besar untuk mengakui atau tidak. 13 Selain itu,
hanya setelah pengakuan oleh negara-negara lain, negara baru itu ada, setidaknya dalam
arti hukum.
Sedangkan teori deklaratif melihat pada pernyataan negara yang mengaku
kedaulatannya di dalam wilayah yang dikontrolnya secara eksklusif untuk menentukan
apakah ia dapat mengakses pesawat internasional. Ini adalah kebalikan dari teori
konstitutif yang menyatakan bahwa pengakuan hampir tidak relevan karena negara
memiliki sedikit atau tidak ada keleluasaan dalam menentukan apakah suatu entitas
merupakan negara. Status kenegaraan didasarkan pada fakta, bukan pada kebijaksanaan
individu negara. Mayoritas sarjana dan komentator kontemporer mendukung teori ini.14
Namun Konvensi Montevideo sendiri, Pasal 3 menyatakan “The political
existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before

12
Milena Sterio, International Law on Statehood and Recognition: Israeli-Palestinian Conflict
and the South Caucasus, https://ilg2.org/2018/11/12/international-law-on-statehood-and-recognition-
israeli-palestinian-conflict-and-the-south-caucasus/, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
13
William Worster, Sovereignty-Two Competing Theories of State Recognition,
https://exploringgeopolitics.org/publication_worster_willliam_sovereignty_constitutive_declatory_stateh
ood_recognition_legal_view_international_law_court_justice_montevideo_genocide_convention/,
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
14
Ibid.
recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide
for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to
legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and
competence of its courts. The exercise of these rights has no other limitation than the
exercise of the rights of other states according to international law.” Yang berarti
bahwa eksistensi politik sebuah negara tidak bergantung pada negara lain, oleh sebab itu
jika sebuah negara memang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai satu negara dan
telah memenuhi keempat kriteria yang ada dalam Pasal 1 maka dari hari itu statusnya
sebagai negara secara hukum sudah berlaku. Selain Konvensi Montevideo, International
Court of Justice dalam Genocide Convention menyatakan bahwa mereka mendukung
pandangan deklaratif.15
Untuk itu, dalam teori deklaratif pengakuan negara-negara lain hanya dipandang
sebagai aksi politik yang tidak memiliki kaitan dengan unsur-unsur hukum kenegaraan.
Berdasarkan pandangan ini, negara lain dapat memilih untuk mengakui suatu negara
baru atau tidak, namun keputusan untuk mengakui tersebut tidak mempengaruhi
penentuan hukum kenegaraan atau determination of statehood. Sebaliknya, dalam teori
konstitutif pengakuan dipandang sebagai salah satu elemen utama dalam kenegaraan.
Dengan demikian suatu entitas tidak dapat mencapai status kenegaraan kecuali telah
diakui oleh negara-negara lain sebagai suatu negara yang sah. Dalam teori konstitutif
sendiri pengakuan dan kenegaraan berjalan beriringan yakni sebuah entitas yang
berjuang untuk menjadi suatu negara harus menggalang dukungan dari negara-negara
lain yang ada, dan negara-negara tersebut harus mengungkapkan keinginan mereka
secara resmi untuk mengakui entitas ini sbagai negara yang berdaulat.16
Secara praktek sendiri lebih condong mengikuti teori konstitutif, yakni
pengakuan negara lain tidak memiliki dampak pada keberadaan suatu negara yang baru.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengakuan negara-negara lain dan bahkan
membership dalam PBB terhadap negara baru juga sangat penting dalam kenegaraan.
Karena keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa bergantung pada Dewan Keamanan,
maka keanggotaan itu tunduk pada keinginan geo-politik dari lima Kekuatan Besar
15
Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
(Bosn. & Herz. v. Serb. & Mont.) Prelim. Objs., 1996 I.C.J. Reps. 595
16
Milena Sterio, Loc.cit
pemegang hak veto (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina). Keanggotaan
PBB penting karena secara de facto mengangkat negara yang bercita-cita menjadi
negara. Sebaliknya, penolakan keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa mencegah
pencapaian status kenegaraan penuh oleh entitas yang bercita-cita tinggi. Keanggotaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa berbeda dari kriteria hukum kenegaraan (walaupun
keanggotaan tersebut bisa dibilang memungkinkan adanya hubungan internasional) dan
berbeda dari keputusan berdaulat masing-masing negara yang ada untuk mengakui atau
tidak mengakui entitas yang baru muncul. Namun, dapat dikatakan bahwa keanggotaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencerminkan praktik pengakuan kolektif dari lima
anggota tetap Dewan Keamanan, dan bahwa, untuk menjadi negara, setiap entitas harus
menggalang dukungan dari anggota Dewan Keamanan ini – karena memasuki
Perserikatan Bangsa-Bangsa menandakan adanya persetujuan masyarakat internasional
atas anggota baru yang berdaulat.
Hingga December 2019, Israel sendiri sudah diakui oleh 162 dari 193 negara
anggota PBB dan sudah menjadi anggota PBB sejak tahun 1949.17 Terdapat 31 anggota
PBB yang tidak mengakui kenegaraan Israel, dimana 17 darinya adalah anggota Liga
Arab dan 9 adalah anggota Organisasi Kerjasama Islam yang salah satunya adalah
Indonesia. Salah satu alasan mengapa banyak negara-negara timur-tengah tidak
mengakui keberadaan Israel adalah karena konflik wilayahnya dengan Palestina.
Palestina sendiri merupakan negara yang telah diakui oleh 138 dari 193 negara anggota
PBB namun belum menjadi negara anggota secara resmi. Diantara negara-negara yang
tidak mengakui Palestina adalah Amerika Serikat, Jerman, Inggirs, Perancis, Jepang dan
Kanada.18 Kenegaraan Israel dan Palestina sangat terkait dikarenakan hingga saat ini
mereka masih belum mencapai persetujuan mengenai pembagian Yerusalem dan area
West Bank yang dikuasai Israel sejak 1967. Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 242
tanggal 22 November 1967 menekankan tidak dapat diterimanya perolehan wilayah
melalui perang dan menegaskan bahwa pemenuhan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan

17
World Population Review, Countries That Recognize Israel,
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-that-recognize-israel (diakses pada
tanggal 2 November 2021)
18
World Population Review, Countries That Recognize Palestine,
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-that-recognize-palestine (diakses pada
tanggal 2 November 2021)
Bangsa-Bangsa diperlukan, antara lain, penarikan pasukan Israel dari wilayah yang
diduduki dalam perang, dan penghormatan dan pengakuan kedaulatan dan integritas
teritorial dan kemerdekaan politik setiap Negara di wilayah tersebut. Walaupun resolusi
tersebut tidak ditujukan terhadap klaim Israel di Yerusalem, namun prinsip yang sama
tetap berlaku bagi dunia internasional yakni perolehan wilayah dari perang tidak
dibenarkan dan diterima oleh PBB.
Sebagai negara Israel telah mendapatkan pengakuan dari lebih dari 100 negara
dunia, yang menandakan bahwa relasi internasional mereka telah diterima oleh negara-
negara tersebut. Tetapi pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota negara tidak
diakui oleh sebagian besar dunia internasional, malah sebaliknya mereka menyatakan
bahwa Yerusalem seharusnya tidak berada dalam kekuasaan Israel dan masih merujuk
pada resolusi partisi. Selain Amerika Serikat, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota
Israel didukung pula oleh Honduras, Australia, Romania19 dan beberapa negara lainnya.
Tetapi sebagian besar anggota PBB tidak menyetujui hal ini dan merupakan suatu topik
yang menuai kontroversi hingga sekarang. Untuk itu sebagai negara sendiri, Israel telah
mendapatkan pengakuan baik melalui deklarasi maupun konstitutif, tetapi khusus untuk
wilayah Yerusalem sendiri tidak mendapatkan pengakuan deklarasi dari negara-negara
dunia walaupun mereka secara konstitutif telah menyatakan wilayah tersebut sebagai
ibu kota negara. Dengan mengikuti teori konstitutif, seharusnya klaim Israel terhadap
Yerusalem tidak perlu ada pengakuan dari negara-negara lain karena faktanya sejak
tahun 1967 Israel sudah menduduki wilayah Barat Yerusalem walaupun wilayah Timur
belum dikuasai. Tetapi menurut teori deklaratif sebenarnya pengakuan Israel terhadap
Yerusalem belum sah karena tidak mendapat dukungan negara-negara internasional dan
PBB. Disini PBB mengambil posisi bahwa jika Israel mengklaim Yerusalem maka
terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap warga-warga Palestina/Arab yang
tinggal di wilayah tersebut karena akan dipaksa keluar oleh Israel dengan alasan bukan
warga negara mereka. Namun faktanya sejak tahun 1980 ketika Israel pertama kali
mengklaim wilayah Yerusalem, walaupun tidak mendapat dukungan internasional tetap
tidak membuat Israel melepaskan klaim mereka terhadap wilayah tersebut. Untuk itu
19
DW, Romania to Recognize Jerusalem as Israel’s Capital: PM Pledges,
https://www.dw.com/en/romania-to-recognize-jerusalem-as-israels-capital-pm-pledges/a-48046076,
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
dalam konflik di Yerusalem sendiri masih diperlukan adanya titik temu antara Israel dan
Palestina yang diperantarai oleh PBB terkait pembagian wilayah karena sudah terlanjur
tidak mengikuti resolusi partisi.

III. Daftar Bacaan


Buku-Buku

Avi Shlaim, The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists and Palestine,
1921 -1951 Oxford University Press, 1990

Avi Shlaim, The Iron Wall: Israel and the Arab World, New York,
W.W.Norton, 2000

Benny Morris, Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, New


York, Vintage Books, 2001

Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime


of Genocide (Bosn. & Herz. v. Serb. & Mont.) Prelim. Objs., 1996 I.C.J. Reps. 595

Internet

Israel’s Declaration of Independence,


https://www.mfa.gov.il/mfa/foreignpolicy/peace/guide/pages/declaration%20of
%20establishment%20of%20state%20of%20israel.aspx (diakses pada tanggal 1
November 2021)
Truman Presidential Museum & Library, Background Essay on Harry S.
Truman and the Recognition of Israel,
https://www.trumanlibrary.gov/public/TrumanIsrael_Background.pdf (diakses pada
tanggal 1 November 2021)
United Nations General Assembly Resolution 181, 29 November 1947,
https://daccess-ods.un.org/TMP/6143882.87067413.html, (diakses pada tanggal 2
November 2021)
Milena Sterio, International Law on Statehood and Recognition: Israeli-
Palestinian Conflict and the South Caucasus, https://ilg2.org/2018/11/12/international-
law-on-statehood-and-recognition-israeli-palestinian-conflict-and-the-south-caucasus/,
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
William Worster, Sovereignty-Two Competing Theories of State Recognition,
https://exploringgeopolitics.org/publication_worster_willliam_sovereignty_constitutive
_declatory_statehood_recognition_legal_view_international_law_court_justice_montevi
deo_genocide_convention/, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
World Population Review, Countries That Recognize Israel,
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-that-recognize-israel
(diakses pada tanggal 2 November 2021)
World Population Review, Countries That Recognize Palestine,
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-that-recognize-
palestine (diakses pada tanggal 2 November 2021)
United Nations, The Status of Jerusalem, New York, 1997, hlm. 12,
https://www.un.org/unispal/wp-content/uploads/2016/07/The-Status-of-Jerusalem-
Engish-199708.pdf, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
Ruth Margalit, Trump’s Legacy in Israel,
https://www.newyorker.com/news/dispatch/donald-trumps-legacy-in-israel, (diakses
pada tanggal 2 November 2021)
The Guardian, Israel Says US Plan to Reopen Jerusalem Consulate is’Bad Idea’,
https://www.theguardian.com/world/2021/sep/01/israel-us-plan-reopen-jerusalem-
consulate-bad-idea, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
DW, Romania to Recognize Jerusalem as Israel’s Capital: PM Pledges,
https://www.dw.com/en/romania-to-recognize-jerusalem-as-israels-capital-pm-
pledges/a-48046076, (diakses pada tanggal 2 November 2021)
Jacob Magdid, Dragging Out Consulate Reopening, Biden Does Israel a Favor,
But not Himself, https://www.timesofisrael.com/dragging-out-consulate-reopening-
biden-does-israel-a-favor-but-not-himself/, (diakses pada tanggal 2 November 2021)

Anda mungkin juga menyukai