Konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel merupakan salah satu sengketa yang
cukup panjang apabila kita menghitung waktu maupun upaya yang telah dilakukan untuk
menyelesaikan sengketa ini. Hal ini jelas memicu kembali ketegangan tidak hanya di
kalangan negara-negara Timur Tengah tetapi juga ikut menarik perhatian dari dunia. Dalam
konflik antara Israel dan Palestina telah beberapa kali dilakukan perjanjian untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara kedua pihak yang sama-sama menyatakan
dirinya sebagai negara merdeka dan berhak atas wilayah yang menjadi pokok sengketa
antara kedua pihak. Meski telah berkali-kali dilakukan upaya perdamaian sampai pada
tingkat perjanjian Internasional yang telah dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sehingga menghasilkan pembagian wilayah untuk kedua masing-masing pihak yakni Israel
dan Palestina, tetapi pada kenyataannya tidak mampu secara langsung menyelesaikan
permasalahan antara Israel dan Palestina.
Palestina dengan pasukan intifadanya dan Israel dengan kekuatan bersenjata yang cukup
kuat tetap saling menyerang dan bertahan satu sama lain. Sementara solusi riil untuk
menyelesaikan sengketa mencapai pedamaian dunia tidak juga mampu menyelesaikan
permasalahan antara kedua bangsa. Ditinjau dari segi pertanggungjawaban atas perjanjian
internasional yang telah dilanggar berkali-kali tentu harus dicermati kembali masalah
yangmendasari.
Dengan alasan perang budaya, maka merebut kota suci Jerusalem dan menguasai
seluruh barang bersejarah umat Islam dan Kristen di kota itu merupakan kemenangan
budaya Barat atas budaya Arab Islam, dengan keunggulan dan hegemoni politik
Barat mengajak sekutunya untuk mengusik dendam sejarah masa lalu yang berkobar
dalam jiwa dan dada mereka atas budaya Arab Islam yang mengalahkan mereka
dalam perang orang-orang Barat delapan abad yang lalu.
Resolusi PBB
Pada 29 November 1947 PBB mengeluarkan Resolusi 181 berisi rencana pembagian
wilayah Palestina (UN Partition Plan), yang mengalokasikan 56.5% wilayah Palestina untuk
pendirian negara Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional.
Tapi kelak, pada tahun 1967 –setelah terjadinya Perang 6 Hari Arab-Israel—Israel menduduki
Sinai, Golan, dan seluruh wilayah Palestina.
Untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang oleh Resolusi 181 dijadikan ‘jatah’ wilayah
untuk Israel (faktanya, di kawasan didiami oleh orang-orang Palestina, orang-orang Zionis
melancarkan operasi militer (disebut Plan Dalet) dengan dipimpin Ben Gurion. Operasi-operasi
ini dapat dilaksanakan dalam bentuk berikut ini: menghancurkan desa-desa (dengan membakar,
meledakkan, dan menanam ranjau di reruntuhan desa itu)… atau menyisir kawasan pegunungan
dan melakukan operasi pengontrolan dengan mengikuti petunjuk ini: mengepung desa-desa dan
melakukan pencarian di dalam desa-desa itu. Bila ada perlawanan, kekuatan bersenjata harus
dilenyapkan dan penduduk desa diusir hingga keluar dari perbatasan negara.
Tahap pertama operasi (1947-1948), pasukan Zionis mengusir 780.000 warga Palestina
dari tanah mereka, tahap kedua 452.780 warga diusir, selanjutnya, 347.220 lagi diusir, dan
tahap ketiga (1954) 800.000 warga Palestina diusir. Selain pengusiran, dalam operasi Plan
Dalet itu, ratusan desa dan jutaan hektar ladang dihancurkan, pembantaian massal
dilakukan di desa2 yang penduduknya menolak angkat kaki (salah satu yang paling tragis:
pembantaian massal di desa Deir Yassin). Mereka yang lari mengungsi, hidup di tenda-
tenda pengungsian di luar kawasan ‘jatah’ Israel, dan sampai kini, mereka terus hidup di
sana, atau mengungsi lagi ke tempat-tempat lain (termasuk ke luar negeri). Total jumlah
pengungsi Palestina hari ini sudah mencapai lebih dari 5 juta orang!
Dengan melihat sejarah pendirian Israel, siapa yang masih bisa mengatakan bahwa Israel adalah
negara yang legal dan mereka memang berhak memiliki Palestina?