Anda di halaman 1dari 14

PAPER

KONFLIK PALESTINA-ISRAEL DALAM PERSPEKTIF HUKUM


INTERNASIONAL

(Penyelesaian sengketa hukum internasional)

Nama :Diwan Jagad Raya Mohamad

Kelas : L

Nim : 1011422190

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Palestina pada mulanya adalah bagian dari Daulah Islamiyah di bawah Turki ‘Utsmani.
Tetapi dengan dikuasai wilayah ini oleh Inggris (1917), seterusnya dicaplok sebagian besar
(48 %) oleh Yahudi, Palestina yang mayoritas penduduknya Muslim menjadi tidak merdeka.
Tulisan ini bertujuan mengungkapkan perlawanan Muslim-Palestina terhadap Yahudi-Israel.
Untuk maksud tersebut dimanfaatkan pendekatan dan analisis historis dengan library research
dalam pengumpulan data. Dari studi ini ditemukan bahwa Zionis Israel menguasai Palestina
karena mendapat sokongan dari sekutu utamanya yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis.
Sementara Palestina berjuang sendiri, karena negara-negara Islam sekitarnya sudah pernah
ingin membantu pada tahun 1968, tetapi mengalami kekalahan dalam peperangan enam hari.
Akibatnya, Mesir, Suriah, Yordania dan Palestina lepas sebagian wilayahnya. Terakhir,
Palestina semakin terpuruk, dan jika disahkan RUU Yahudi yang diajukan oleh Benyamin
Netanyahu ke Parlemen Israel, Palestina dan Arab Islam akan semakin terdesak.

Konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas,
adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.Konflik Israel-
Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa
Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu
pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang
sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang
menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian
menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan
satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan
Yerusalem Timur.

1.2 Rumusan masalah

1. sejarah awal mula konflik palestina dan israel

2. perang arab-israel

3. rangkaian kesepakatan yang belum bisa mendamaikan

4. situasi israel dan palestina saat ini

5. pelanggaran hukum internasional oleh isreal

6. kedudukan hukum palestina dan israel

7. penegakan hukum internasional

8. Is the Palestine Resistance rendering Israel supremacy useless


9.China’s Envoy: Fundamental way to resolve Palestinian-Israeli conflict is the
implementation of two-state solution and establishment of state of Palestine
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah

Konflik Israel–Palestina bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah
seluruh bangsa Israel memiliki satu pandangan yang sama dan sebaliknya Palestina.
Terdapat kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial komunitas lainnya,
dan sebagian menganjurkan solusi dua negara. Sebagian lagi menganjurkan dua
bangsa dengan satu negara sekuler yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi
Barat, dan Yerusalem Timur. Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina dimulai sejak
akhir abad ke -19. Pada 2 November 1917 Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang
dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum
Yahudi di Palestina. Konflik sengit mulai terjadi karena masalah wilayah teritori. Secara
sepihak, Israel mengumumkan diri sebagai negara yahudi. Sedangkan komunitas arab tidak
bisa menerima. Akibatnya Inggris hengkang dari Palestina, sedangkan negara Arab seperti
Mesir, Suriah, Irak, Lebannon, Yordania, dan Arab Saudi mulai menabuh genderang perang
melawan Israel.Pembantaian orang yahudi yang diklaim mencapai enam juta orang Yahudi di
Eropa sepanjang Perang Dunia II, membuat dorongan mendirikan negara Yahudi (Israel)
menjadi semakin kuat. Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat. Antara
1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga
Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin
panas. Pada 1936-1939 terjadilah konflik terbesar dalam sejarah mandat Palestina, yakni
Revolusi Arab. Faktor lain pemicu penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di
pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini
memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat.

2.2 Perang Arab-Israel

Yerusalem titik lokasi konfrontasi antara orang Yahudi dan Arab selama kurang lebih
seabad dan menjadi salah satu kota yang diperebutkan. Hingga 1948, penyebutan Palestina
biasanya mengacu pada wilayah geografis yang terletak di antara Laut Mediterania dan
Sungai Yordan. Orang Arab menyebut masyarakat di wilayah itu sebagai orang Palestina
sejak awal abad ke-20. Inggris sempat menguasai daerah tersebut setelah Kekaisaran
Ottoman kalah dalam Perang Dunia I. Kemudian, tanah itu dihuni oleh minoritas Yahudi dan
mayoritas Arab. Setelah lebih dari dua dekade pemerintahan Inggris, Pada 1947, PBB
mengusulkan membagi wilayah yang diperebutkan menjadi tiga bagian; satu untuk orang
Yahudi, satu untuk orang Arab, dan satu lagi perwalian internasional di Yerusalem dengan
status khusus.

Orang-orang Arab tidak menerima kesepakatan itu dan mengatakan PBB tidak punya hak
untuk mengambil tanah mereka. Perang pun pecah. Pada 1949, Inggris menarik diri dari
Palestina dan Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka. Perang Arab-Israel
membuat 700.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka. Ini menjadi eksodus massal
yang dikenal sebagai ‘Nakba‘, bahasa Arab untuk ‘malapetaka’. Narasi Palestina mengatakan
Zionis, yang mendukung pembentukan kembali tanah air Yahudi di Israel, mulai memaksa
orang-orang keluar dari rumah mereka. Sedangkan versi Israel, ada pemimpin Arab yang
mendorong orang-orang untuk pergi dan beberapa orang Arab pergi secara sukarela.

2.3 Rangkaian Kesepakatan Belum Bisa Mendamaikan

Setelah bertahun-tahun konflik yang diwarnai kekerasan, kedua belah pihak mencapai
kesepakatan pada 1993. Palestina mengakui negara Israel dan Israel akan mengakui
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan sah rakyat Palestina.
Kesepakatan dalam Perjanjian Oslo ini membuat Otoritas Palestina memiliki beberapa
kekuasaan pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebenarnya ini
hanya kesepakatan sementara, sebelum apa yang seharusnya menjadi perjanjian damai
komprehensif dalam lima tahun. Masalahnya, kesepakatan ini tidak terjadi. KTT perdamaian
yang diselenggarakan AS pun gagal.Kunjungan Ariel Sharon yang saat itu akan menjadi
Perdana Menteri Israel ke Kuil Mount di Yerusalem Timur, oleh Palestina dianggap sebagai
penegasan kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqṣā (situs tersuci ketiga Islam). Ini juga menjadi
salah satu alasan utama yang mengarah pada pemberontakan dengan kekerasan warga
Palestina. Dalam lima tahun setelahnya, konflik terus memanas. Sekitar 3.000 korban dari
warga Palestina dan 1.000 korban Israel. Banyak warga sipil Israel tewas karena aksi bom
bunuh diri warga Palestina. Israel pun mundur dari Gaza, dan pada pertengahan 2000-an
Hamas sebuah faksi fundamentalis muslim Sunni Palestina yang dianggap sebagai organisasi
teroris oleh banyak negara mengambil alih wilayah pesisir. Fatah, organisasi Palestina yang
lebih umum tetap mengendalikan Otoritas Palestina yang diakui secara eksternal yang
berbasisdiTepiBarat.

2.4 situasi israel dan palestina saat ini

Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi
telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang
tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:

 Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup
wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
 Keamanan Israel.
 Keamanan Palestina.
 Hakikat masa depan negara Palestina.
 Nasib para pengungsi Palestina.
 Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk
pemukiman itu.
 Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan
kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi
Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada
1967.Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat
intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya.
Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang
berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-
taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati
dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti
mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada
pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua
belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan:
Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina.
Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya
pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.

Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat


konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan
Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah
terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung
oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang
perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang
diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini
untuk membenarkan serangan-serangan, yang sering kali dilakukan terhadap warga sipil, di
wilayah Israel itu sendiri.

Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-
langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-
tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye
terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al
Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh
kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan
merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu
menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-
pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-
masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.

Sebuah usul perdamaian saat ini adalah peta menuju perdamaian yang diajukan oleh
Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002.
Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang
menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana
Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa
ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang permanen" di Jalur Gaza
(yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan
"mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan
kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di
wilayah laut dari Jalur Gaza." Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan
ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang
lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah
bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat
Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini" [1] [2]
Diarsipkan 2005-12-29 di Wayback Machine..

Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa


rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan
campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya
terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak
orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai Likud—hingga beberapa minggu
sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon—kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer
di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota
Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok
militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan
muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.

2.5 Pelanggaran Hukum Internasional oleh Israel

Adapun norma hukum internasional yang berlaku sejak Perang Dunia II yang relevan
dengan sengketa ini adalah:

Norma self determination, yang memberikan hak pada wilayah yang masih berada dalam
penguasaan kolonial untuk dimerdekakan.

Norma uti possidetis juris, yaitu batas-batas wilayah yang dimerdekakan itu harus identik
dengan batas wilayah kolonial. Prinsip ini diperkuat oleh pendapat Mahkamah Internasional
(ICJ) dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Separation of the Chagos
Archipelago from Mauritius in 1965 (2019). Menurut ICJ, norma self determination juga
mengharuskan wilayah koloni dimerdekakan secara utuh dan tidak boleh di pecah-pecah (hal.
43, paragraf 160).

Norma non-use of force, yaitu penggunaan kekerasan telah diharamkan untuk memperoleh
wilayah. Larangan ini mulai berlaku sejak Piagam PBB 1945[1] dan ditegaskan melalui
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-
operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (“Declaration
on Friendly Relations”).

Selanjutnya norma-norma tersebut diimplementasikan melalui berbagai Resolusi PBB,


dan perjanjian-perjanjian internasional seperti Oslo Accords 1993, di mana Israel mengakui
kekuasaan Palestina atas wilayah Gaza dan West Bank.
Berdasarkan norma-norma tersebut maka penguasaan oleh Israel atas wilayah Palestina
mulai sejak awal sampai saat ini adalah pelanggaran hukum internasional dan pengingkaran
terhadap the right of self determination dari rakyat Palestina atas wilayah yang diokupasi
(Occupied Palestinian Territory). Israel dalam konteks ini adalah sebagai pihak yang
mengokupasi (occupying power). Status pelanggaran hukum ini tercermin antara lain pada:

Putusan ICJ dalam Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a


Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004) (“Advisory Opinion on Wall”) yang
menyatakan bahwa Israel telah melanggar hak atas self determination Palestina dan telah
melakukan de facto annexation (aneksasi) melalui pembangunan tembok di Occupied
Palestinian Territory (hal. 52, paragraf 121-122).

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 (2012) mengafirmasi hak self
determination dalam kaitannya dengan wilayah Palestina yang diokupasi sejak 1967.

Pre Trial Chamber I Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam Situation In The
State Of Palestine (2021) merujuk pada wilayah Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur
sebagai wilayah Palestina yang diokupasi oleh Israel sejak 1967 (hal. 60).

2.6 Kedudukan Hukum Palestina dan Israel

Konflik ini telah berevolusi dan Israel telah diakui sebagai negara dan menjadi anggota
PBB pada tahun 1949 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/273 (III) (1949).
Sedangkan Palestina, melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/43/177 (1988),
deklarasi kemerdekaannya tanggal 15 November 1988 telah diakui oleh PBB.

Saat ini Palestina diakui sebagai negara oleh 138 dari total 193 negara anggota PBB,
termasuk Indonesia dan sejak 2012 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
A/RES/67/19 diberikan status sebagai non-member observer state. Palestina belum secara
resmi menjadi anggota PBB karena untuk menjadi anggota PBB harus mendapat
rekomendasi oleh Dewan Keamanan PBB (“DK PBB”),[2] yang mana hal tersebut hingga
saat ini tidak bisa dilakukan karena rekomendasi dari DK PPB pasti akan di-veto oleh
Amerika Serikat.

Sebagai informasi, hak veto merupakan hak yang dimiliki oleh setiap anggota tetap DK
PBB, di mana apabila salah satu dari anggota tetap DK PBB menolak suatu usulan ketika
pengambilan suara (voting), maka sebuah keputusan atau resolusi DK PPB tidak akan
disetujui.

Dengan demikian, saat ini terdapat dua negara yang diakui oleh masyarakat internasional
namun dengan batas wilayah yang masih dalam sengketa, dan sebagian besar wilayah
sengketa berstatus dibawah okupasi Israel. Dalam hal ini, Israel berada dalam posisi sebagai
pelanggar hukum internasional.

2.7 Penegakan Hukum Internasional


Hukum internasional tidak memiliki institusi penegak hukum sebagaimana layaknya
hukum nasional. Oleh sebab itu, penegakan atas pelanggaran hukum ini diserahkan kepada
negara-negara dalam bentuk reaksi/respon baik secara sendiri maupun maupun kolektif
(melalui PBB atau organisasi regional). Respon negara akan berkarakter persistent objection
(penolakan secara persisten) atau, sebagai lawannya, recognition (pengakuan). Kedua respon
ini akan menentukan keabsahan klaim Israel.

Reaksi mayoritas negara saat ini memperlihatkan persistent objection terhadap


tindakan Israel. Dalam sistem hukum internasional, penolakan semacam ini akan
menghalangi klaim sepihak Israel menjadi sah. Ini berati pendudukan de facto Israel di
wilayah okupasi termasuk kebijakannya memindahkan ibu kota ke Jerusalem tepat dianggap
tidak sah menurut hukum internasional. Inilah yang merupakan akar konflik Palestina-Israel.

Di sisi lain, negara-negara juga dilarang memberikan pengakuan atas situasi yang lahir
dari pelanggaran serius terhadap norma ius cogens (peremptory norm of general international
law). Larangan tersebut merupakan kebiasaan internasional yang terkodifikasi dalam Pasal 40
ayat (2) UN ILC Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts
(2001). ICJ dalam Advisory opinion on Wall misalnya, melarang negara-negara mengakui
situasi illegal yang terlahir dari perbuatan Israel tentang pembangunan tembok di wilayah
okupasi (hal. 70). Pengakuan Amerika Serikat atas kebijakan sepihak Israel yang
memindahkan ibukota ke Jerussalem tahun 2017 lalu juga mendapat penolakan dari 128
negara di Majelis Umum PBB pada saat dilakukan voting terhadap Resolusi Majelis Umum
PBB Nomor A/ES-10/L.22 (2017). Reaksi mayoritas negara ini menegaskan bahwa
penetapan status Jerusalem sebagai ibukota Israel tidak sah menurut hukum.

Dalam hal ini, pelanggaran hukum internasional oleh Israel melahirkan pembatasan
tertentu bagi reaksi negara-negara. Untuk itu, maka sangat keliru jika sebagian publik baru-
baru ini mendesak Indonesia untuk tidak mendukung satu pihak alias bersikap netral. Selain
karena alasan konsistensi politik luar negeri Indonesia, hukum internasional justru
mengharuskan Indonesia untuk melakukan pemihakan terhadap penghormatan atas hukum
internasional, tidak ada pilihan lain. Mendukung Israel dengan statusnya saat ini sebagai
pelanggar hukum internasional justru menempatkan Indonesia sebagai negara ‘turut serta’

2.8 Is the Palestine Resistance rendering Israel supremacy useless

Life is returning to normal in besieged Gaza, but "normal" there is actually abnormal.
Israel accepted the ceasefire after killing some 33 people, including children, injuring over 90
civilians and making nearly 2,000 housing units uninhabitable.

Israel might have succeeded in killing top Palestinian Islamic Jihad (PIJ) fighters but it
clearly failed to break the Palestinians' will to fight for their freedom, independence and end
of occupation. It is true that Israel withdrew from Gaza in 2005, but it is still besieging the
densely populated strip of land in a different kind of occupation. Nothing can go in or out of
the dilapidated area without its approval. The Israeli departure did not mark the end of
occupation but, instead, turned the entire Gaza Strip into a larger prison for over two million
Palestinians.
The latest fighting reveals new Palestinian spirit of resistance, exposing the Israeli
absurdity of total security for its people at the expense of the Palestinians. This is notable in
the wording of the truce document which says both sides will "abide by the ceasefire" that
includes "an end to targeting civilians, house demolition and end to targeting individuals."
While house demolition is a daily Israeli practice, targeting of individuals Palestinians in
Gaza, the West Bank and abroad has been decades-long standard occupation policy. Having
the truce document worded in such way shows that Israel cannot carry on like this, as both
policies have failed, so far, to force the Palestinians to give up – an Israeli long-term goal. It
also demonstrates the fact that the occupation state is clearly worried about the effects the
rockets fired from Gaza Strip have on its wider security policy and population, particularly
around Gaza.

According to Israeli data some 1,234 projectiles (both rockets and mortar rounds) were
fired from Gaza towards Israel, including the Gaza Strip's immediate surroundings. The same
data revealed that, of these rockets, some 976 reached Israel while the rest, Israel claimed,
fell within the parameters of Gaza Strip itself.

Assuming that such figures are accurate, and remembering they are Israeli figures, this
means the success rate of the rockets stand at nearly 80 per cent, regardless of the harm they
caused. This is very significant when it comes to how far the Palestinian Resistance has come
in developing its own security deterrent. Remembering that the entire Gaza Strip has been
under strict Israeli siege for 16 years, this is astonishing development that worries Israeli
policy makers too much.

Some rockets travelled an average of 40 kilometres, with others reaching some 80 km is


a technical development considered a serious threat by the Israeli military.

Palestinian Resistance groups in Gaza do not have effective means to protect the
population against Israeli military might but they have proved that they can also deny Israel
security at any time they want. It is no exaggeration to call this situation the "balance of
horror", because indeed it is.

The wider and long-term military effect of this development is one thing: possessing the
best war machine does not provide you security on your own terms. What does is an end of
occupation.There could be moments when your high-tech army is rendered useless when it
comes to providing security. Furthermore, the wider areas reached by Palestinian rockets
make the Israeli military planners think twice before launching future attacks on Gaza.

However, an important revelation that came out of the latest fighting in Gaza is the
number of rockets PIJ appears to have in its arsenal. A simple calculation would reveal that,
on average, 246 rockets were fired each day during the five day fight; again, this is based on
Israeli information which does not always have to be trusted.The simple question would be
what will happen if all Resistance groups unite their efforts against Israel next time, which is
a question of when, not if another fight will erupt – as long as Gaza is besieged and the
occupation still a daily fact of Palestinian life, fighting will not stop.But the most striking
outcome of the latest fighting is the fact that all rockets PIJ fired were home-made. If we
remember that the entire Gaza Strip has been under siege for nearly two decades, this is a
huge weapons development leap.

The more underlying nightmare for Israel is the accumulated know-how the Palestinians
have gained. Arms development is a difficult, time consuming, innovative and incremental
process. It becomes even more difficult and time intensive when you are under a strict siege,
denying you the simplest daily life items. You have to become, somehow, self-sufficient in
developing your own tools without waiting for others to help you – this is what has been
happening in Gaza for years now.

For the Palestinians, the obvious gain here is that their military decisions are becoming
increasingly independent from any third party. They have achieved much of this despite
Israel's depleting occupation and siege, in the case of Gaza.

When the first known home-made Palestinian rocket, Al-Qassam 1, was launched for
the first time in 2001, it had a range of less than 5 km. In 22 years, in an extremely difficult
environment, today the average range is ten times more. It has been a painful, long and
tedious process for the Palestinians to reach this far, but they had no other choice. Resisting
occupation in all its forms is their right under all laws and norms particularly when their
enemy, Israel, is heavily bankrolled by the United States.

The political lesson for Israel is the more extreme its occupation becomes and
apartheid-like treatment of Palestinians anywhere, the more stiff resistance it faces. This
means the idea of an iron fist and ever expanding occupation adopted by the current fascist
Israeli government is a complete failure.

I can see the moment coming when Palestinian innovation will produce armed drones,
which will completely change the military balance. No peace for Israel, unless the
Palestinians enjoy their freedom first.

2.9 China’s Envoy: Fundamental way to resolve Palestinian-Israeli conflict is the


implementation of two-state solution and establishment of state of Palestine

BEIJING, Friday, April 7, 2023 (WAFA) - Special Envoy Zhai Jun of the Chinese
Government on the Middle East issue said today that the fundamental way to resolve the
conflicts between Palestine and Israel is the implementation of the two-state solution and the
establishment of an independent state of Palestine.

During a group meeting with diplomatic envoys of Arab countries this morning, Zhai
Jun elaborated on China’s position on the escalation of conflicts between Israel and Palestine,
according to the Permanent Mission of the People’s Republic of China to the UN. Zhai Jun
urged relevant sides to act in accordance with relevant UN resolutions, and earnestly respect
and maintain the historical status quo of the holy sites in Jerusalem, stating that the pressing
task now is to keep the situation under control.
Zhai Jun said that the fundamental way to resolve the conflicts between Palestine and
Israel is the implementation of the two-state solution and the establishment of an independent
state of Palestine He urged relevant parties, Israel in particular, to stay calm and exercise
restraint to the greatest extent, avoid taking any actions that may heighten tensions and
prevent further escalation of the situation. Zhai Jun celled on the international community to
act with a stronger sense of urgency, heed the legitimate concerns of Palestine, and take real
steps to fulfill the pledge to the Palestinian people.

“Major countries with influence need to step up to their responsibilities, take a just
position and play their due part in facilitating the resumption of peace talks between Palestine
and Israel on the basis of the two-state solution,” he said. He stressed that China has actively
responded to the call of Arab states and asked the UN Security Council to hold emergency
consultations on the Israel-Palestine situation together with countries including the UAE,
making active efforts for de-escalation. “We stay in close communication with relevant
parties in the international community to facilitate peace talks.”Zhai Jun said that China will
continue to make relentless efforts to facilitate a proper resolution of the Palestinian question
at an early date.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Penyelesaian konflik ini hanya dapat terjadi jika hukum internasional sudah
merestuinya, dalam hal ini negara-negara memberi pengakuan atas setiap apa pun solusi yang
disepakati oleh kedua negara yang berkonflik. Sayangnya kesepakatan ini belum berhasil
dicapai sehingga eskalasi konflik terus terjadi.

Eskalasi konflik yang terjadi belakangan ini bukan merupakan akar konflik melainkan
akibat dari akar konflik yang sudah dan akan terus berlangsung melalui berbagai macam
pemicu, dan hanya akan berhenti jika akar konflik itu terselesaikan. Keperkasaan Israel atas
Palestina yang lemah tidak dengan sendirinya menyelesaikan konlfik ini. Ini membuktikan
bahwa logika hukum internasional bahwa might cannot make right, but right made might,
sulit dibantah.

Indonesia bersama negara-negara lainnya telah menawarkan penyelesaian sengketa ini.


Selain mendorong pengakuan atas Palestina sebagai negara, Indonesia juga mendukung
inisiatif PBB guna menghidupkan kembali perundingan damai Palestina-Israel berdasarkan
“solusi dua negar
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Israel%E2%80%93Palestina#Ideologi_dan_gagasan

https://www.hukumonline.com/klinik/a/konflik-palestina-israel-dalam-perspektif-hukum-
internasional-lt60acf80abc4e9/

https://www.hukumonline.com/klinik/a/konflik-palestina-israel-dalam-perspektif-hukum-
internasional-lt60acf80abc4e9/

https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/60a604a41d824/israel-serang-palestina-bagaimana-
awal-mula-konfliknya

https://media.neliti.com/media/publications/155247-ID-palestina-dan-israel-sejarah-konflik-
dan.pdf

referensi bahasa asing

https://www.middleeastmonitor.com/20230518-is-the-palestine-resistance-rendering-israel-
supremacy-useless

https://english.wafa.ps/Pages/Details/135257

Anda mungkin juga menyukai