NIM : 201910360311086
Kelas : HI-B
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Palestina adalah bangsa yang sampai saat ini berusaha untuk mendapatkan
kedaulatan di ranah dunia internasional. Konflik yang terjadi saat ini menjadikan Palestina
hingga saat ini belum bisa mewujudkan menjadi sebuah Negara yang merdeka dan
berdaulat. Dalam konflik antara Israel dan Palestina telah beberapa kali dilakukan
perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara kedua pihak yang sama-sama
menyatakan dirinya sebagai negara merdeka dan berhak atas wilayah yang menjadi pokok
sengketa antara kedua pihak. Meski telah berkali-kali dilakukan upaya perdamaian sampai
pada tingkat perjanjian Internasional yang telah dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sehingga menghasilkan pembagian wilayah untuk kedua masing-masing pihak yakni
Israel dan Palestina, tetapi pada kenyataannya tidak mampu secara langsung menyelesaikan
permasalahan antara Israel dan Palestina.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan mengapa konflik Palestina-Israel bisa
terjadi, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana konflik ini dari perspektif
realisme.
Konflik Palestina-Israel berawal dari kongres Zionis pertama di Basel pada agustus
1897. Pada kongres itu organisasi zionis mengagendakan yang utama adalah pendirian
negara bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina. Rencana strategis Zionis ini diprakarsai oleh
pelobi top Zionis yang bernama Dr. C. Wheizmann dan mendapatkan dukungan dari Zionis
Inggris. Di bawah komandonya, para kaum Yahudi berhasrat untuk mencapai agenda
utamanya yaitu mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina.
Sejak setelah kongres zionis pertama tersebut, memang banyak imigran yahudi yang
berdatangan ke Palestina sebagai bentuk perjuangan kaum yahudi untuk mewujudkan
mimpi mendirikan negara yahudi di tanah Palestina. Berbagai gelombang imigran
berdatangan ke Palestina. Gelombang imigrasi massal berdatangan dari berbagai negara
seperti Rusia, Rumania, Polandia, Bulgaria, Yugoslavia, Yaman, Jerman dan negara-negara
Afrika.
Deklarasi Balfour adalah surat yang dikirim tanggal 2 november 1917 dari Menteri
Luar Negeri Britania Raya/ Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Rothcschil, pemimpin
komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Surat itu menyatakan
posisi yang disetujui pada rapat kabinet Inggris pada oktober 1917, bahwa pemerintah
Inggris mendukung rencana Zionis untuk membuat tanah air bagi Yahudi di Palestina,
dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hakhak
dari komunitas yang ada disana.
Pada saat itu sebagian besar wilayah Palestina masih berada di bawah kekuasaan
Ottoman Turki. Namun, dengan dikeluarkannya Deklarasi Balfour yang menjajikan
kampung halaman bagi para Yahudi para Zionis menjadi yakin dan menganggap bahwa hal
tersebut merupakan langkah awal bagi mereka untuk mendapatkan pengakuan sebagai
negara Israel di tanah Palestina.
Setelah Dekalarasi Balfour dan mandat dari Inggris diberikan, para imigran Yahudi
dari berbagai penjuru dunia terus berdatangan menuju tanah Palestina yang dijanjikan
sebagai tanah air para Yahudi dan bahkan meningkat setiap tahunnya. Dukungan dari
Inggris membuat Israel semakin leluasa bergerak dalam ekspansi wilayah dan menyebarkan
ajaran Yahudi.
Perselisihan antar penduduk asli Palestina dan para imigran Yahudi yang
berdatangan terus terjadi. Kedatangan para kaum Yahudi menuju Palestina ini secara
otomatis menambah populasi penduduk di Palestina sehingga memicu berbagai konflik
antar penduduk Yahudi dan warga asli Palestina. Hal tersebut menyebabkan sering terjadi
pemberontakan oleh warga asli Palestina terhadap para imigran Yahudi yang berdatangan.
Melihat kejadian tersebut, negara-negara Arab tidak tinggal diam, mereka mulai ikut
campur dalam permasalahan yang melibatkaan Palestina tersebut. Berbagai penolakan
mulai bermunculan dari negara-negara Arab, sehingga mulai terjadi krisis di Palestina.
Melihat kondisi krisis di Palestina, Inggris yang pada saat itu kemudian menyerahkan
mandat teritorialnya kepada PBB setelah berakhirnya Perang Dunia II, karena melihat
permasalahan yang ada di Palestina sudah sangat rumit sehingga lebih baik diserahkan
kepada PBB untuk menemukan solusinya.
PBB melalui UNSCOP atau United Nations Special Committee On Palestine, sebuah
lembaga khusus yang dibentuk PBB yang bertujuan untuk melakukan investigasi yang
kemudian diharapkan dapat memberikan solusi bagi penyelesaian masalah yang terjadi di
Palestina. UNSCOP merekomendasikan pemisahan dan pembagian wilayah untuk kedua
pihak yakni Israel dan Palestina menjadi dua teritori yang berbeda. Akan tetapi, solusi yang
ditawarkan oleh PBB melalui UNSCOP ini mendapatkan penolakan keras dari negara-negara
Arab.Penolakan dilakukan atas dasar bahwa, apabila negara-negara Arab mendukung
pemisahan wilayah untuk Israel dan Palestina maka Israel dapat dengan mudah
mendapatkan legitimasi untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina.
Keputusan PBB untuk membagi wilayah teritori bagi Israel dan Palestina membuat
para kaum Yahudi yang berada di tanah Israel semakin yakin dalam mendirikan tanah air
mereka. Selang beberapa waktu setelah Perang Dunia II berakhir, pada tanggal 14 Mei 1948,
Israel dan kaum Yahudinya yang merasa memiliki kekuatan dan syarat untuk mendirikan
sebuah negara akhirnya mendeklarasikan negara Israel dengan wilayah teritori yang telah
ditentukan oleh PBB dalam Partition Plan (Halliday, 2005, p. 111). Amerika Serikat
memberikan respon dengan mengakui kemerdekaan Israel secara de facto disusul Uni Soviet
yang ikut mengakui kemerdekaan Israel secara de jure pada tanggal 15 Mei 1948.
Pada tanggal 15 Mei 1948, negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir, Lebanon,
Syria, Irak, dan Jordania menggerakan pasukan-pasukannya menuju Palestina. Hal ini
dilakukan untuk merespon tindakan Israel yang mendeklarasikan kemeredekaannya sebagai
sebuah negara. Negara-negara arab setuju untuk menyatakan perang terhadap Israel yang
kemudian ini menjadi lembar baru dalam peperangan di wilayah Timur Tengah. Perang ini
disebut perang Arab-Israel.
Sebelum kita membahas konflik dengan perspektif realisme, kita harus mengetahui
terlebih dahulu apa itu realisme. Realisme dapat dikategorikan sebagai suatu perspektif atau
cara memandang persoalan-persoalan dalam Hubungan Internasional. Perspektif realisme
berbeda dengan perspektif-perspektif lain dalam Hubungan Internasional. Sebagai contoh,
oleh kaum realis masalah dipandang secara transparan, apa adanya, sesuai kenyataan, serta
cenderung pesimis. Sedangkan oleh kaum idealis yang menjunjung perspektif idealisme,
masalah tersebut dijelaskan, dideskripsikan secara mendetail, dan cenderung bersifat
optimis.
Realisme memiliki pandangan bahwa ada dasarnya manusia itu agresif, melakukan
apapun demi memuaskan keinginan, egois, mau menang sendiri, serta homo homini lupus
(manusia itu serigala bagi manusia lain). Hal-hal semacam inilah yang menimbulkan
konfliktual yang terjadi diantara manusia. Bisa dibayangkan jika manusia saja sangat
berpotensi untuk berkonflik dengan manusia lain, apalagi negara-negara. Potensi antar
negara untung saling berkonflik tentulah sangat besar. Fakta bahwa semua negara harus
mengejar kepentingan nasionalnya sendiri berarti bahwa negara dan pemerintahan lainnya
tidak akan pernah diharapkan sepenuhnya.
Realisme berfokus pada aktor negara yang mempunyai identitas dan kepentingan yang
ingin dipertahankan dan ditonjolkan kepada negara-negara lain. Menurut Organski,
hubungan internasional itu seperti hierarki, yaitu jika suatu negara lebih kuat dari negara lain,
maka negara itu akan menjadi negara terkuat dan negara yang lemah akan menjadi negara
dengan power yang lemah. Negara terkuat akan menjadi negara yang mendominasi dan
memengaruhi negara lain. Ini berarti setiap negara mempunyai power yang berbeda dan tidak
merata. Maka dari itu, setiap negara harus ada perimbangan kekuatan agar tidak melakukan
hal yang semena-mena terhadap negara lain.
Konflik antara Israel dan Palestina telah berlangsung sejak lama. Terdapat beberapa
faktor yang membuat konflik ini terus berlanjut seperti keinginan untuk menguasai wilayah,
faktor agama, atau faktor sejarah yang menaungi mereka. Beberapa solusi juga sudah
ditawarkan, namun sampai sekarang tidak ada kesepakatan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Banyak yang prihatin terhadap peristiwa perang ini yang tak kunjung selesai
dan sudah memakan banyak korban, baik korban militer dan masyarakat sipil yang tidak ikut
berperang. Keterlibatan negara-negara lain menuai pro kontra dalam konflik ini.
Dalam hal ini Israel dan Palestina berkonflik karena ego mereka yang menginginkan
tanah yang sama dan untuk satu negara saja. Mereka memperebutkan wilayah itu untuk
menjadi tanah kekuasaan mereka. Mereka merasa tidak aman satu sama lain karena perang
bisa pecah kapan saja dan dimana saja. Bila salah satu dari mereka memenangkan
peperangan ini, maka hasilnya yaitu salah satu negara akan kehilangan wilayahnya. Konflik
ini juga tidak akan ada habisnya kecuali ada tekanan dari luar yang masuk ke dalam atau
salah satu negara mengalah untuk dicarikan resolusi yang tepat dengan pihak ketiga. Mereka
juga saling menyerang satu sama lain agar wilayahnya aman dan tidak dikuasai oleh siapa
pun. Oleh karenanya, pihak ketiga seperti Perserikatan Bangsa-bangsa harus turun tangan
untuk mengatasi permasalahan yang telah berlangsung sejak lama agar bisa diselesaikan
secara damai tanpa merugikan siapa pun.
Dalam klaitannya dengan perspektif realisme konflik ini, kita dapat menggunakan
beberapa asumsi. Yang pertama anarki yaitu tidak adalagi kekuasaan yang lebih tinggi dari
Negara. Dalam kasus Palestina-Israel sebenarnya ada PBB yang merupakan organisasi
tertinggi didunia yang cakupan kekuasaannya sangat besar. Tetapi dalam kenyataannya PBB
seakan-akan menjadi macan ompong dalam menangani kasus ini. Padahal kasus ini
dianggap sebagai kejahatan HAM yang sangat berat. Amerika Serikat membeking penuh
Israel didalam PBB, meskipun PBB menjatuhkan sanksi kepada Israel namun Amerika
Serikat akan memveto keputusan tersebut.
Yang kedua adalah negara merupakan kesatuan dan bersifat rasional. Dalam kata
lain adalah prudence (pengelolaan yang bersifat penuh kehati-hatian), yang artinya adalah
negara akan berhati-hati tidak akan bertindak di luar kemampuannya karena tanggung
jawab negara adalah untuk melindungi rakyat dari negara tersebut. Palestina sebagai sebuah
Negara yang kecil dan tidak memiliki kekuatan militer yang powerful akan sangat sulit
melindungi warga negaranya dari serangan Israel. Dilain pihak Israel dengan persenjataan
canggih plus dibackup Amerika Serikat tidak akan gentar dengan Palestina, Sebagai sebuah
Negara, Israel lebih superior disbanding Paletina.
Ketiga adalah negara sebagai aktor yang utama yang melakukan hubungan dengan
negara lain dengan berbagai tendensi seperti untuk memperoleh kepentingan atau interest-
nya. Jelas kepentingan Israel adalah untuk menguasai sepenuhnya wilayah palestina, untuk
itu Israel akan melakukan segala macam cara untuk mencapai kepentingannya bahkan
dengan cara Genosida sekalipun. Palestinapun jelas kepentingannya adalah
mempertahankan wilayahnya. Hal inilah yang akan membuat konflik ini sulit untuk berhenti
atau sulit terjadi kedamaian.
Yang keempat adalah konsentrasi utama sebuah negara yaitu survival, yang
dimaksud dengan survival adalah kemampuan negara untuk mempertahankan apa yang
menjadi hak-haknya dan untuk mempertahankan eksistensinya. Dari asumsi keempat ini
Palestina sebagai sebuah negara dapat dikatakan tidak mampu untuk mempertahankan apa
yang menjadi hak mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin berkurangnya luas
wilayah palestina dari tahun ketahun. Israel juga mengklaim tanah Palestina adalah milik
mereka sesuai dengan apa yang telah dijanjikan kepada mereka.
Yang kelima adalah moralitas yang dianggap oleh kaum realis memiliki tempat
terbatas atau tidak penting dalam politik internasional. Hal ini sipraktekan oleh Israel yang
tidak mempedulikan moralitas, mereka terus menggempur Palestina, membunuh secara
membabibuta, tidak peduli laki-laki, perempuan, anak-anak, sipil, militer. Mereka hanya
peduli dengan kepentingan mereka.
Kesimpulan
Kita dapat menyimpulkan bahwa Palestina dan Israel saling berperang karena rasa
ego mereka yang tinggi untuk menguasai wilayah yang mereka inginkan. Mereka melakukan
cara kekerasan yaitu berperang untuk mencapai tujuan mereka dan tidak mau diajak bekerja
sama, padahal sudah ada pihak ketiga yang mencarikan resolusi dan mereka tidak mau
menyepakati keputusan itu. Perang ini sudah lama terjadi hingga sekarang dan sudah
banyak korban jiwa dan banyak juga yang meminta kedua negara untuk berhenti berperang.
Asumsi realisme beranggap bila kedua negara tidak akan berhenti sampai keinginan dan
tujuan mereka terpenuhi. Mereka akan terus berperang hingga salah satu dari mereka kalah.
Namun, pada kenyataannya Israel berhasil menekan Palestina hingga wilayah dan jumlah
penduduk Palestina semakin berkurang yang juga merupakan kekuatan fisik dari negara itu.
Solusi dari permasalahan ini bergantung kepada kedua negara itu yang ingin berdamai atau
mengalah dan/atau dengan bantuan pihak ketiga yang bersifat netral. Perimbangan
kekuatan juga perlu dilakukan agar kedua negara tidak melakukan hal yang semena-mena
dan tidak bertanggung jawab. Pihak PBB harus ikut turun tangan untuk menyelesaikan
konflik yang tak berkesudahan ini, untuk mengatasi permasalahan yang telah berlangsung
sejak lama agar bisa diselesaikan secara damai tanpa merugikan siapa pun.
1. Beauchamp, Zack. 2018. What are Israel and Palestine? Why are they fighting?, dalam:
https://www.vox.com/2018/11/20/18080002/israel-palestine-conflict-basics. Vox Media Inc.
Daftar Pustaka
Beauchamp, Zack. 2018. What are Israel and Palestine? Why are they fighting?, dalam:
https://www.vox.com/2018/11/20/18080002/israel-palestine-conflict-basics. Vox Media
Inc.
Marks, Julie. 2018. Gaza: The History That Fuels the Conflict, dalam:
https://www.history.com/news/gaza-conflict-history-israel-palestine. A&E Television
Networks.
Susilo, I Basis. 2016. “Realisme”, dalam: Vinsensio Dugis: Teori Hubungan Internasional:
Perspektif-Perspektif Klasik. Surabaya: Cakra Studi Global Strategis.
Abu Bakar, 2008. Berebut Tanah Palestina, Insan Madani, Yogyakarta, hlm 268-269
M. Hamli, 2013, Konflik Israel Palestina, Kajian Historis Atas Perebutan Tanah Antara Israel
dan Palestina (1920-1993)