Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KESALAHAN-KESALAHAN SEJARAWAN

MATA KULIAH : PENGANTAR ILMU SEJARAH

DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD BASRI, S.PD,M.

Disusun Oleh:

RATIH OKTASARI 1513031019

RIAM SENTYA 15130310

SELVIA ARIANTI 15130310

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat

menyelesaikan tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Sejarah dari dosen Muhammad Basri, S.Pd ,

M. dengan judul tugas nya Kesalahan-kesalahan Sejarawan . Dalam penyusunan tugas dan

materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran

dalam menyelesaikan makalah ini tidak lain berkat bantuan teman-teman yang telah memberikan

dukungan moril sehingga kami mampu menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat waktu.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimilikioleh kami . Untuk itu kritik
dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi kami sebagai penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai, Amin.

Bandar lampung , 08 Oktober 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah


Sejarawan juga manusia biasa. Ia sering melakukan kesalahan, terutama ketika ia
membuat narasi atau melakukan eksplanasi yaitu dalam proses historiografi. Di antara
para sejarawan D.H.Ficher telah menulis buku cukup tebal dengan uraiaan masalah
fallacies atau kesalahan kesalahan dalam sejarah. Para sejarawan banyak melakukan
kesalahan dalam menggunakan argumentasinya. Sudah sangat biasa bahwa tidak semua
sejarawan sadar dan mengakui kesalahannya. Mengikuti metode sejarah, kesalahan
yang dialaminya juga mengikuti urutan penelitian dan penulisan sejarah. Kesalahan-
kesalahan itu meliputi: Pemilihan tema atau topik, heuristik atau pengumpulan sumber,
verifikasi atau pengujiaan, interprestasi atau penafsiran, dan eksposisi atau penulisan.
2. Rumusan masalah
a. Apa sajakah macam-macam kesalahan pemilihan topik?
b. Apa sajakah kesalahan pengumpulan sumber?
c. Apa sajakah macam-macam kesalahan verifikasi?
d. Apa sajakah macam-macam kesalahan interprestasi?
e. Apa sajakah macam-macam kesalahan penulisan?
3. Tujuan Penulisan
1. Dapat memahami kesalahan-kesalahan pemilihan topic pada kesalahan sejarawan .
2. Dapat memahami kesalahan pengumpulan sumber .
3. Dapat mengerti apa saja kesalahan verifikasi pada kesalahan sejarawan .
4. Dapat memahami apa saja kesalahan interprestasi .
5. Dapat memahami apa saja kesalahan penulisan pada kesalahan sejarawan tersebut .
BAB II
PEMBAHASAN
Kesalahan-kesalahan Sejarawan

A. Kesalahan Pemilihan Topik

Memilih topic adalah pekerjaan pertama sejarawan, sebab tanpa topik pekerjaan
selanjutnya tidak akan bias dikerjakan. Akan tetapi dalam pemilihan topik sejarawan
harus hati-hati, tidak hanya senang secara emosional atau intelektual. Ada beberapa
kemungkinan kesalahan :

1. Kesalahan Baconian
Kesalahan ini bermula dari pendapat yang benar, ialah bahwa sejarah itu ilmu
empiris. Sehingga orang menyimpulkan bahwa satu-satunya metode yang tepat
ialah induksi, yaitu dari pengetahuan tentang hal-hal yang khusus akan dapat
disimpulkan pengetahuan yang umum, persis seperti cara kerja ilmu alam. Francis
Bacon (1561-1629) adalah seorang empiris dari Inggris yang percaya bahwa
pengetahuan yang benar hanya mungkin dicapai lewat empiris, atau pengalaman,
atau penginderaan, atau pengamatan. Seorang sejarawan melakukan kesalahan
Baconian bila ia beranggapan bahwa tanpa teori, konsep, ide, paradigm, praduga,
hipotesis atau generalisasi lainnya, penelitian sejarah dapat dikerjakan. Anggapan
yang demikian tidak akan berjalan, apapun jenis sejarah yang akan ditulis.
Apalagi untuk sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial.

2. Kesalahan terlalu banyak pertanyaan


Dalam satu tulisan orang tidak boleh menanyakan sekaligus beberapa hal.
Pertanyaan yang terlalu banyak akan membuat orang kehilangan titik
pembicaraan dan tidak sempat mencapai detil, sehingga sejarah yang ditulis akan
mengemukakan kebenaran umum yang sudah diketahui.
Kesalahan ini bias terjadi (1) kalau sejarawan menanyakan lebih dari dua
pertanyaan sekaligus, (2) sejarawan menanyakan satu masalah, tetapi jawaban
atas pertanyaan itu menimbulkan pertanyaan, dan (3) pertanyaan itu terlalu
kompleks.
Dalam sejarah perkembangan pemerintahProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang ditulis oleh banyak orang, semua ingin memasukkan penetahuannya dalam
buku. Akibatnya, topic dalam buku yang sebenarnya tentang birokrasi jadi
kehilangan fokus.

3. Kesalahan pertanyaan yang bersifat dikotomi


Kadang-kadang sejarawan berfikir hitam-putih seolah-olah peristiwa atau tokoh
sejarah hanya punya dua kemungkianan. Topic seperti, Diponegoro :
pemberontak atau pejuang ?, seolah-olah menyudutkan Diponegoro pada dua
kemungkinan itu. Kalau orang berpihak pada raja pastilah Diponegoro dianggap
sebagai pemberontak, tetapi yang dipihak Diponegoro, Diponegoro itu pejuang.
Demikianlah sastra babat pun terbagi menjadi dua. Dalam sejarah yang lebih
baru, yang masih ada pewaris tokoh-tokohnya. Kesalahan dikotomi bias beresiko
tinggi. Dalam hal yang sangat tinggi resikonya ada baiknya sebisa-bisanya
sejarawan hanya menulis, seperti kata Ranke as it actually bappened atau suatu
technical history, dengan menggandengkan fakta. Perlu diingat, tugas sejarawan
bukanlah mengadili, tetapi melukiskan.

4. Kesalahan metafisik
Yang termasuk kesalhan metafisik ialah topic-topik filsafat, moral dan teknologi.
Bukanlah tugas sejarah sebagai ilmu empiris, untuk membahas persoalan
metafisik. Ketika Ronggowarsito menyebut zamannya sebagai Kaliyuga, zaman
edan ia bertindak sebagai pujangga. Anggapan deterministis atau valuntaristis,
bukanlah makanan sejarawan. Barangkali itu pekerjaan filsuf, penyair dan
agamawan.
Sejarawan tidak bias membuktikan bahwa kemerdekaan adalah suatu rahmat,
meskipun ada fakta bahwa Proklamasi jatuh pada bulan Ramadhan. Sejarawan
hanya dapat membuktikan bahwa kata-kata Berkat, Rahmat, dan Allah
terdapat dalam teks UUD 45. Tentu saja ini tidak berarti bahwa sejarawan itu
pada dasarnya atheis. Bahkan sejarah tidak punya bukti cukup untuk menyatakan
bahwa sejarawan itu pada dasarnya atheis. Ketidakmampuan sejarawan itu harus
dipandang sebagai kerendahhatian, kehati-hatian, dan sekaligus kekuatan serta
keterbatasan ilmu. Sejarawan tidak berhak menulis topic seperti Kemerdekaan
sebagai Rahmat.
Bagaimana dengan pancasila ? kita harus arif dalam mendudukan soal, bahwa
kedua-duanya justru tidak tercemar. Agama, filsafat, ideology, dan moral dapat
mendorong penelitian. Misalnya, untuk sila pertama dari pancasila dapat
dilakukan penelitian tentang, Pesantren X di masa Revolusi. Topic yang sama
dapat dilakukan pada Gereja Katolik, Gereja Kristen, pura Hindu atau vihara
Budha. Akan tetapi, penelitiannya sendiri harus tetap rasional dan empiris, sesuai
dengan wacana ilmu, supaya kita tidak melakukan moralisasi.

5. Kesalahan topik fiktif


Dalam sejarah Amerika ada tulisan Robert W. Fogel, Railroads and economic
growtb: essays in econometric history (1964),yang mengandalkan bagaimana
andaikata tidak ada jalan kereta api di Amerika. Tentu saja itu hanya fiktif, karena
Amerika punya jalan kereta api.
Untuk mengenakan the if dalam sejarah Indonesia tidak mudah, sebab kasus itu
belum terjadi disini. Bagaimana seandainya tidak ada jalan kereta api di Madura,
sehingga jarak dari Barat ke Timur yang hanya 150 km itu mula-mula harus
ditempuh secara berantai dengan kereta berkuda ? sesudah itu ada persaingan
antara kereta api dengan truk dan bis. Ternyata bis lebih efisien dari pada kereta
api, sebab bis tidak perlu menyediakan pemberhentian dan pegawai. Bagaimana
nasib perahu-perahu yang digantikan oleh kereta api?
Kita tidak punya bukti terhadap suatu pengadaian tidak adanya kereta api, karena
faktanya menyatakn bahwa memang kereta api ada. Topic fiktif bukanlah topic
sejarah.
B. Kesalahan Pengumpulan Sumber

1. Kesalahan Holisme
Ialah memiliki satu bagian penting, dan menganggap pemilihan satu bagian itu
sudah dapat mewakili keseluruhannya. Metode ini sering digunakan para ahli
antropologi, yaitu meilih satu tempat yang tepat, dilakukan studi mendalam,
ditulis dengan deskripsi padat, dan kesimpulannya dianggap berlaku umum.
Apa yang sering dikerjakan anropolog tidak dapat dikerjakan sejarawan, karena
sumber sejarah berbeda dengan ilmu sosial. Misalnya, untuk sejarawan Revolusi
orang tidak dapat memilih medan, dan membuat generalisasi seolah-olah apa
yang terjadi di medan juga berlaku untuk daerah lain. Mengapa medan lain
dengan Indonesia secara keseluruhan? Latar belakang medan sekitar proklamasi
lain dengan Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Medan ada kerajaan, tujuan
orang bertransmigrasi, banyak suku, kota besar, disekitarnya banyak perkebunan
asing. Novel HAMKA, Merantau ke Deli, dapat menjadi sumber sejarah pada
waktu itu. Apa yang terjadi di Medan waktu itu bukanlah yang terjadi di
Indonesia, bahkan juga bukan yang terjadi di Medan pada waktu itu.

2. Kesalahan Pragmatis
Kesalhan pragmatis terjadi bila untuk tujuan tertentu kita memilih sumber yang
mendukung tujuan itu. Pengumpulan sumber sering sering tidak tuntas.
Ini terjadi menjelang 1965, ketika PKI mengumpulkan fakta tentang pemilikan
tanah, sebagaimana dikutip dalam buku Margo L. Lyon, Bases Of Conflict in
Rural Java. Untuk membenarkan aksi-aksi sepihaknya, PKI mengeluarkan daftar
pemusatan pemilikan tanah. Ternyata fakta itu telah dengan sengaja dipilih untuk
keperluan itu. Fakta itu menyembunyikan kenyataan-kenyataan sebaliknya,
sehingga menyesatkan anggota PKI sendiri.
Kesalahan pragmatis juga bias terjadi dengan pembangunan. Dengan tujuannya
menyenangkan atasan, dapat dipilih daerah-daerah yang berhasil membangun.
Kesalahan pragmatis, dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi kesalahan ini sering
dikerjakan oleh orsospol yang menghadapi pemilu.
3. Kesalahan ad Hominem
Yaitu merujuk pada seseorang. Kesalahan ini terjadi apabila dalam pengumpulan
sumber sejarah orang memilih orang, otoritas, profesi, pangkat, atau jabatan.
Sering terjadi dalam wawancara simultan orang melihat pada pangkat yang
sekarang atau waktu itu. Seorang polisi memang terlatih untuk melihat kecelakaan
lalu lintas, tetapi bukan seorang direktur bank. Dalam penelitian sejarah selalu
kita temui orang segan memberikan keterangan sebelum orang yang dianggap
mempunyai wewenang lebih memberikan penjelasan, dan sebaliknya orang
merasa tidak dapat menambahkan apa-apa, sebab yang berwenang sudah
menjawab semua yang penting diketahui. Kalau sejarawan hanya melakukan
wawancara dengan seorang, maka mungkin sejarawan itu melakukan kesalahan
ad bominem.
Untuk menghindari yang terakhir, perlu dilakukan pengumpulan dari tiga sumber.
Sumber pertama, dari yang bersangkutan, sumber yang kedua dari pihak lawan,
dan sumber ketiga yang menjadi saksi mata tetapi tidak terlibat sama sekali.

4. Kesalalahan Kuantitatif
Kesalahan kuantitatif sering terjadi karena orang lebih percaya pada dokumen
dengan angka-angka daripada testimony biasa. Padahal, alangkah mudahnya
orang menipu dengan statistik.
Kalau kita mengadakan penelitian, sering petugas hanya duduk dikursi sambil
mengarang angka. Itu terjadi pada angka sepele dan tidak beresiko seperti
populasi ternak. Padahal angka-angka ternak sangat berguna untuk menentukan
kebijakan pengembangan peternakan. Pernah enam orang dari Depdagri pada
tahun 1980 menghabiskan 50 persen ayam di sebuah kabupaten Timor Timur.
Orang yang hanya membaca angka-angka akan menyimpulkan bahwa rombongan
Depdagri itu rakus. Tahu-tahu sebelum terbiasa orang di situ beternak ayam,
sehingga diseluruh kabupaten hanya ada dua ekor ayam.
Orang juga sering terkecoh dengan angka. Pada waktu melihat daftar tanah di
desa sebelum adanya gerakan sertifikat tanah sering hanya terdaftar satu petbuk,
padahal pemiliknya dalah satu keluarga. Angka-angka BPS juga dapat berbeda
dengan angka-angka Depdagri. Misalnya soal status kalurahan ditentukan oleh
luas geografi atau jumlah penduduk. Banyak desa di Sumatera yang tiba-tiba jadi
kelurahan ketika ada bantuan desa yang dihitung berdasarkan kalurahan.
Sebaliknya, banyak DATII yangterkejut didaerahnya banyak desa tertinggal.
Akan tetapi, begitu terdengar ada dana IDT ada daerah yang tiba-tiba diam.
Memang, penentuan status desa tidak mudah. Untuk Timor Timur, tim Dedagri
yang sudah disebut, masih melakukan penelitian, apakah desa akan sama dengan
suco (suku) atau liurai (kepala adat). Kalau itu semua diterjemahkan dalam angka,
bagaimana sejarawan yang akan meneliti?

5. Kesalhan Estetis
Sebenarnya jenis kesalahan ini sama dengan kesalahan pragmatis. Kesalahan
esteis dapat terjadi apabila sejarawan hanya memilih sumber-sumber sejarah yang
sekiranya mempunyai efek estetis. Dalam tulisan Ramadhan KH., Kuantar ke
Gerbang, yang telah membawa penulisnya ke istana, dari sudut sejarah
penulisannya melakukan kesalahan estetis. Sekalipun buku itu bukanlah biografi,
tetapi novel, pembaca tetap menganggapnya sebagai cerita yang sungguh-
sungguh terjadi. Penulisnya memilih momen-momen yang dapat
didramatisasikan dari kisah cinta Sukarno dan Inggit. Inggit yang kesepian karena
suaminya aktif dimasyarakat dan Sukarno yang muda dan kesepian karena
istrinya yang masih terlalu hijau. Maka terjadilah kisah cinta. Kita
mengharapkan tahu lebih banyak masyarakat Bandung waktu itu, stratifikasi
sosial, interaksi sosial antara pedagang, mahasiswa, petani, buruh, pegawai, guru,
advokad, dan seluruhnya yang menjadi latar belakang Sukarno.

C. Kesalahan Verifikasi

Tidak ada sejarawan mengaku tahu seluruhnya, seperti ilmuwan yang lain. Sejarawan
hanya tahu sepotong kebenaran. Tetapi, pengetahuan sejarawan sering terganggu oleh isu
tentang relativisme sejarah. Relativisme itu baik untuk seni dan sastra, bahkan suatu
keharusan tetapi menjadikan orang ragu akan kemampuan dan metode sejarah untuk
mencapai obyektivitas. Diantaranya dengan sungguh-sungguh menerapkan kritiksejarah
dan menghindari kesalahan.

1. Kesalahan Pars Pro Toto


Kesalahan ini terjadi jika orang menggap bahwa bukti yang hanya berlaku untuk
sebagian dianggap berlaku untu keseluruhan.
Misalnya, keluhan Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang bahwa wanita
Jawa selalu dipingit, hanya benar untuk anak-anak gadis bangsawan, tetapi tidak
untuk anak-anak gadis desa dan pesantren yang mungkin justru dilemparkan dari
masa kanak-kanak dengan perkawinan remaja dan kawin siri. Membaca Centbini
mengesankan kehidupan yang mengesankan, yaitu pada awal abad ke-17, atau
pada waktu buku itu ditulis, yaitu pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19,ada
hedonism dan promiskuitas. Padahal, hanya dikalangan bangsawan yang bias
menikmati hidup atau dikalangan orang desa yang tidak mengenal agama yang
punya kehidupan macam itu, tetapi jelas tidak berlaku di dunia santri yang keras.
Demikian juga kalau kita membaca lirik Rinus Suryadi AG., Pengakuan Pariyem,
seolah-olah kehidupan babu itu penuh skandal.

2. Kesalahan Toto Pro Pars


Kesalahan ini adalah kebalikan dari pars pro toto, yaitu bila sejarawan
mengemukakan keseluruhannya, padahal yang dimaksudkan adalah bukti untuk
sebagian.
Misalnya sejarawan menggambarkan seolah-olah kehidupan priyayi pada 1910-an
hanya penuh dengan tari dan klangenan, tanpa mengingat Suwardi Suryaningrat,
pendiri Taman Siswa pada 1922 atau Suryopranoto yang mendapat julukan raja
pemogok. Atau semua orang yang bersekolah di negeri Belanda menjadi orang
Barat yang berpikir dan berbicara seperti orang Belanda, semacam Noto Soeroto
yang menulis puisi dalam bahasa Balnda, tanpa mengingat Sosrokartono yang
kemudian menjadi mistikus dengan semboyan sugih tanpa bandha, nglurug tanpa
bal, menang tanpa ngasorake atau kaya tanpa harta, berperang tanpa tentara,
menang tanpa mengalahkan Hamangkubuwana IX yang menjadi reformer.
Demikian juga dengan angkatan 28, seolah-olah semua pemuda adalah
nasionalisme angkatan 45, seolah-olah semua orang adalah pejuang angkatan
66, seolah-olah semua mahasiswa adalah demonstran. Kita sering berfikir bahwa
semua orang keturunan asing tidak menggap Indonesia adalah tanah airnya,
padahal pada 1930-an sudah berdiri PAI (Partai Arab Indonesia).

3. Kesalhan menganggap pendapat umum sebagai fakta


Sering kita menggap pendapat umum yang menyatakan bahwa Cina itu pandai
berdagang, yang diantaranya mendorong berdirinya koperasi-koperasi S1, tanpa
mengingat Cina di Bangka, dimana bias dilihat Cina sebagai pembantu rumah
tangga. Sebalinya, pendapat umum mengatakan bahwa pribumi itu tidak pandai
berdagang, tanpa mengingat orang Padang. Ada mitos bahwa orang pribumi itu
pemalas, dan dapat hidup secara minimal, seperti banyak dipersangkakan para
pengambil kebijakan kolonial, tanpa melihat petani yang harusbangun pagi. Ada
pendapat umum yang mengatakan keduduka wanita lebih rendah dari pria, tanpa
mengingat peranan wanita sebagi pengusaha, seperti di Laweyan, Surakarta.

4. Kesalahan menganggap pendapat pribadi sebagai fakta


Sejarawan yang melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan
sebagai fakta sejarah. Pada tahun1910-an di Surakarta ada wanita yang pandai
memainkan music Barat, prestasi pribadi semacam itu tidaklah dapat dianggap
sebagai bukti bahwa wanita pada zaman itu sudah pandai memainkan musik.
Demikian juga pada tahun yang sama sudah ada majalah wanita dari kota kecil,
macam Pacitan, Madiun. Seorang antropolog Jepang, lulusan Cornell University,
Mitsuo Nakamura, yang mengamati masalah-maslah islam di Indonesia, yang
menulis bahwa tradisi tasauf yang terdapat pada kaum reformis. Tulisan itu dibuat
setelah dia mendengar ceramah dari A.R Fachruddin.

5. Kesalahan perincian angka yang presis


Banyak data trdisional yang tidak mungkin dirinci angka. Usaha memberikan
rincian hanya akan menimbulkan pertanyaan.
Dalam babad hanya sering disebutkan bahwa bangsawan tersebut mendapat
sekian cacah penduduk sehubungan dengan jasanya. Ukuran ini sering
dikonversikan kedalam angka-angka yang eksak, kalau orangmenghitung cacah
sama dengan rumah tangga maka angka itu dua sampai dengan lima. Akan tetapi,
tidak ada babad yang secara persisi menyebut angka, sehingga menyebutkan
angka yang persis tidak mungkin. Demikian juga dengan patbok,
sanggan,memang tidak ada angka untuk bau, tetapi dalam kenyataan ukuran itu
berbeda dari daerah satu dengan yang lainnya. Apa yang dapat dikerjakan
sejarawan hanya memberikan perkiraan, tetapi bukan angka-angka yang persis.

6. Kesalahan bukti yang spekulatif


Dalam sejarah, sebagai ilmu empiris, tidak boleh ada bukti yang diluar jangkauan
sejarah.
Kalau tidak ada bukti sejarah, sejarawan harus berani mengakui bahwa itu ada
diluar jangkauan ilmu sejarah. Misalnya, tidak ada bukti sejarah bahwa merah
putih sudah berumur 6,000 tahun, seperti dikatakan Mohammad Yamin, meskipun
ada bukti bahwa warna merah gula dan putih kelapa juga dipakai dalam upacar-
upacara. Tidak dapat dibuktikan oleh ilmu sejarah Petilasan Sunan Kalijaga,
bahkan sejarah idak bias berkata apa-apa tentang keberadaan para wali. Sejarah
juga tidak bias menguatkan atas klaim Slamet Mulyono bahwa Raden Patah
berasal dari Cina. Sejarah tidak mempunyai bukti mengapa makam Sultan Pajang
juga berada di desa Butuh, Sragen, Jawa Tengah, meskipun dapat menjelaskan.
Sejarah cukup punya bukti bahwa Diponegoro dimakamkan di Makassar, dan
tidakdi Madura. Bahwa ada keluarga Diponegoro dimana-mana, itu sangat
mungkin, tetapi diluar jangkauan sejarah. Apa yang tidak apat diverifikasikan
oleh ilmu sejarah, sejarawan tidak bias berbicara.

D. Kesalahan Interpretasi

Dalam usaha memberikan penjelasan sejarah, sering sejarawan lupa bahwa ia


terikat oleh logika yang telah diterima oleh semua ilmu. Kemampuan mengumpulkan
sumber sejarah harus disertai dengan kemampuan menjelaskan.
1. Kesalahan tidak membedakan alas an, sebab, kondisi, dan motivasi
Perbedaan antara keempatnya ialah peristiwa. Sebab terjadi lebih dekat lagi.
Kondisi menjadi latar belakang peristiwa. Motivasi ialah tujuan peristiwa.
Dalam revolusi Indonesia, alas an revolusi ialah kekejaman Jepang, dan inilah
yang dirasakan secara langsung oleh rakyat. Alasan itu necessary,tetapi lebih
dekat. Sebab terjadinya revolusi ialah keadaan kekosongan kekuasaan setelah
Jepang menyerah kepada Sekutu karena pemboman Hiroshima dan Nagasaki,
oleh sebab itu hanya sesaat. Kondisinya dapat ditelusuri dalam gerakan
nasionalisme. Kondisi bersifat lebih permanen, tetapi tidak terlalu dekat.
Perbedaan sebab dan kondisi ialah kalau sebab ialah sufficient,sedangkan
kondisi itu necessary. Motivasi bersifat teleologis.
Sekarang marilah kita lihat G-30-S, apa alas an, sebab, kondisi, dan
motivasinya ? mengenai hal-hal ini tertentu ada perbedaan pendapat.
Pandangan militer, politik, ekonomi, sosial, dapat berbeda-beda. Dari sudut
militer, alas an kudeta ialah karena PKI merasa harus membuat sesuatu,
dengan sakitnya Presiden Sukarno ada kemungkinan PKI akan kehilangan
pelindung dan dokumen Gilchrist yang dibuat atau ditemukan Soebandrio
meyakinkan PKI tentang isu adanya Dewan Jenderal. Sebabnya ialah lebih
baik mendahului daripada kedahuluan. Kondisinya, memang ada pertentangan
antara PKI dan angkatan darat, sehingga untuk membentuk angkatan kelima
yang terdiri dari buruh dan tani selalu dicurigai. Motivasinya ialah kekuasaan.
Alas an, sebab, kondisi, dan motivasi bias sangat kompleks, sehingga usaha
untuk menjelaskannya mungkin akan menimbulkan kesalahan yang lain, yaitu
reduksionisme. Untuk peristiwa yang jauh dibelakang, mungkin hanya kondisi
yang dapat dibuktikan.

2. Kesalahan post hoc, propter hoc


Kesalahan disebut post hoc, prpter hoc, kalau sejarawan berpendapat, karena
peristiwaA lebih dulu daripada B, maka B disebabkan oleh A. misalnya
sejarawan yang melihat bahwa setelah dibuka perkebunan, daerahnya menjadi
maju, lalu sejarawan membuat enterpretasi bahwa sebagai akibat
darinpembukaan perkebunan, maka ada kemajuan. Sejarawan lupa
mempertimbangkan bahwa ada factor-faktorlain yang juga mempengaruhi.
Misalnya lapisan sosial yang kreatif, jarak daerah itu dengan kota besar sangat
dekat, dan selain perkebunan juga dibangun rel kereta api, jalan raya, dan
jembatan.
Sebenarnya ada lagi kesalahan yang disebut cum boc,propter boc (bersama-
sama dengan ini, maka ini) yaitu kalau sejarawan menyamakan korelasi
dengan sebab dan kesalahan pro boc, propter boc,yaitu bila sejarawan salah
mengurutkan peristiwa; misalnya, peristiwa B dianggap lebih dahulu dari A,
padahal secara faktual A lebih dulu dari B, jadi kesalahan kronologi.

3. Kesalahan reduksionisme
Kesalahan ini sering dikerjakan oleh sejarawan yang berideologi, yaitu bila
sejarawan menyederhanakan gejala yang sebenarnya kompleks.
Sejarawan marxis selalu mengajukan penjelasan monokausal terhadap semua
persoalan, baik bersifat simbolis maupun aktual selalu dikembalikan ke
ekonomi. Mengembalikan ke ekonomi bias menyesatkan. Misalnya, petani
dengan tanah sedikit alias petani gurem, yang nasibnya tidak lebih baik
daripada buruh tani terpaksa dimasukkan dalam kategori tuan tanah. Tuan
tanah tanah termasuk tujuh setan desa yang harus diberantas. Juga akibat
reduksionisme, kedudukan pedagang Cina mestinya termasuk kaum kapitalis
yang harus diperangi. Kalau ideology ini konsisten, mestinya PkI memusuhi
BAPERKI dsn bukan malah menjadikannya kaki tangan.

4. Kesalahan pluralisme yang berlebihan


Akibat ketakutan pada reduksionisme dan monism, sejarawan sering tidak
menjelaskan apa-apa, sejarawan tidak menyebutkan faktor yang menentukan.
Tema-tema besar dan jangka panjang sering mengidap pluralism yang
berlebihan, sedangkan untuk tema yang kecil dan jangka pendek biasanya
sejarawan dapat menyebut satu factor yang paling dominan.
E. Kesalahan Penulisan

1. Kesalahan narasi
Ialah kesalahan dalam penyajian, ada tiga hal yang harus dihindari dalam penulisan
akademis, yaitu kesalahan periodisasi, kesalahan didaktis, dan kesalahan pembahasan.
Kesalahan dalam periodisasi terjadi bila sejarawan memandang periode sebagai
waktu yang pasti seperti orang membuka dan menutup layar dalam sandiwara Zaman
Kuno di Indonesia tidak berakhir tepat tahun 1499, tidak juga pada bulan Desember
1499. Tetapi, bahkan jauh sebelum itu sudah berdiri kerajaan islam bahkan pada
waktu Majapahit sedang jaya, dan tidak serta merta zaman kuno menghilang. Ada
bangunan islam yang menggunakan gapura Hindu, seperti di Sendang Duwur, dan
menara Masjid yang mirip bangunan Hindu, seperti di Kudus.
Kesalahan didaktis terjadi bila sejarawan menggunakan histiriografi untuk
mengajarkan suatu nilai. Bagaimana dengan pewarisan nilai? Ya, tetapi letaknya tidak
dalam penyajian. Kepahlawanan, kejuangan, dan nilai-nilai luhur lain boleh saja
mempengaruhi sejarah tetapi letaknya dalam pemilihan topik, tidak dalam penyajian.
Penulisan sejarah itu sendiri harus murni ilmiah, dan excellent dengan standar
apapun. Rupanya menulis sejarah akademis pun harus mengingat tempat dan waktu
(empan papan, angon wayah), tetapi dengan cara bijaksana.
Kesalahan pembahasan terdiri dari dua hal yaitu bahasa yang emtif dan kesalahan non
squitur. Pertama penggunaan bahasa yang emosional harus dihindari dalam penulisan
ilimiah. Misalnya, penggunaan predikat-predikat. Kalimat seperti Dengan gagah
berani para pejuang bertempur di Surabaya pada tanggal 10 November 1945,
Panglima besar Soedirman dan para prajurit dengan gigih berjuang diluar kota, dan
Presiden berbicara dengan para petani dengan penuh kebapakan dan pengertian.
Kedua, kesalahan disebut non squitur bila kalimat yang dipakai bukan merupakan
konsekuensi kalimat seblumnya. Misalnya, kalimat Partai-partai politik mendukung
cita-cita kemerdekaan. Demikian juga orang-orang Laweyan. Kalimat-kalimat itu
meloncat, tidak sambung. Tidak ada hubungan antara partaidan orang Laweyan.
Selain itu, mula-mula yang dibicarakan adalah organisasi, tetapi tiba-tiba beralih ke
penduduk. Dalam kalimat ini ada yang terlewatkan, yaitu hubungan antar orang
Laweyan dan partai. Seharusnya kalimat kedua itu diubah, menjadi Orang-orang
Laweyan adalah pedagang islam. Pedagang islam mendukung sarekat islam. Sareka
islam mendukung cita-cita kemerdekaan.

2. Kesalahan argument
Terjadi apabila sejarawan membuat kesalahan dalam menguraikan gagasannya waktu
menyajikan. Ada dua kemungkinan kesalahan, yaitu konseptual dan substantive.
Kesalahan konseptual terjadi bila sejarawan menggunakan istilah yang mempunyai
dua atau lebih makna, sehingga pembaca dapat terkecoh. Biasanya kata mempunyai
arti denotative dan konotatif. Misalnya, kata Maju. Kata itu bias berarti progress,
tetapi juga dapat berarti kelonggaran moral masyarakat. Kalau sejarawan
kontemporer mengatakan bahwa masyarakat sudah maju, apa yang dimaksud?
Sejarawan harus berusaha mengindari predikat-predikat, lebih baik ia berbicara
dengan fakta.
Kesalahan substantif terjadi bila sejarawan mengemukakan argument yang tidak
relevan atau tidak rasional. Salah satu yang sering kita dengar ialah argument dengan
merujuk pada otoritas, atau argument ad verecundiam. Argument ini bersandar pada
otoritas orang, organisasi, budaya, masyarakat, Negara, bahkan Tuhan. Argument
dengan merujuk salah satu ayat dalam kitab suci sering membuat pendengar terdiam;
habis, bagaimana orang berani menentang kebenaran yang dijamin Tuhan? Padahal
itu termasuk argument sejarawan yang salah.

3. Kesalahan generalisasi
Rupanya nenek moyang kita sangat pandai dalam menarik kesimpulan umum. Semua
daerah mempunyai pepatah-pepitih yang menjadi sumber kebijakan. Misalnya,
Menepuk air didulang, tepercik muka sendiri atau Bagai ilmu padi, makin tua
makin menunduk.
Setidaknya ada dua kemungkinan kesalahan sejarawan. Yang pertama ialah
generalisasi sebagai kepastian yang melihat bahwa generalisasi sejarah adalah hokum
universal yang berlaku disemua tempat dan waktu.
Pertama, sejarawan melakukan kesalahan jika generalisasinya harus disertai banyak
pengecualian. Itu artinya ia melampaui wewenang ilmu sejarah. Misalnya, ia hanya
berbicara tentang Yogyakarta yang Sultannya menerima Proklamasi. Kemudian, ia
menyimpulkan bahwa penguasa tradisional mendukung Proklamasi. Tetapi kemudian
hdia harus memberi catatan kecuali Sunan Surakarta, Adipati Mangkunegara.
Kedua, generalisasi sejarah bukanlah hokum universal yang pasti, menganggapnya
demikian adalah suatu kesalahan. Sejarah itu induktif, tidak deduktif. Kalau
sejarawan setelah mempelajari peristiwa Tiga Daerah menyimpulkan bahwa
penguasa-penguasa kolonial itu pasti bertindak sewenang-wenang terhadap
orangkecil, maka dia telah melakukan kesalahan.
Kesalahan-kesalahan diatas dikemukakan supaya sejarawan berpikir sesuai dengan
logika ilmu sejarah.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan sejarawan akan disesuaikan dengan


urutan penelitian. Jadi, ada (1) kesalahan pemilihan topik, yaitu kemungkinan
Kesalahan Baconian, Kesalahan terlalu banyak pertanyaan, Kesalahan pertanyaan
yang bersifat dikotomi, Kesalahan metafisik, dan Kesalahan topik fisik. (2) Kesalahan
Pengumpulan Sumber, yaitu Kesalahan Holisme, Kesalahan Pramatis, Kesalahan Ad
Hominem, Kesalahan kuantitatif, dan Kesalahan estetis. (3) Kesalahan Verifikasi,
yaitu Kesalahan pars pro toto, Kesalahan totem pro porte, Kesalahan menganggap
pendapat umum sebagai fakta, Kesalahan menganggap pendapat pribadi sebagai fakta,
Kesalahan perincian angka yang presis, dan Kesalahan bukti yang spekulatif. (4)
Kesalahan Interprestasi, yaitu Kesalahan tidak membedakan alasan sebab, kondisi, dan
motivasi, Kesalahan post hoc, propter hoc, Kesalahan reduksionisme, dan Kesalahan
pluralisme yang berlebihan. (5) Kesalahan Penulisan, yaitu Kesalahan narasi,
Kesalahan argumen, dan Kesalahan generalisasi.
DAFTAR PUSTAKA

http://13120052.blogspot.co.id/2014/04/kesalahan-sejarawan-dalam-merekontruksi.html

Anda mungkin juga menyukai