Anda di halaman 1dari 25

WIDYAMAKNA

untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Bahasa Daerah”

Dosen Pengampu : Erika Puspitasari, M.Pd

Disusun oleh:

Kelas 5D Kelompok 7

1. Naimah (932611919)
2. Zhiya Rihadatul Aisy (932613619)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

TAHUN 2021
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Widyamakna, yang kami susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Bahasa Daerah. Dan juga kami berterimakasih kepada Ibu Erika Puspitasari, M.Pd.
selaku Dosen mata kuliah Bahasa Daerah yang telah memberikan tugas kepada
kelompok kami.

Kami harap makalah ini bisa membantu teman-teman untuk mengenal lebih luas
lagi mengenai "Widyamakna". Kami juga menyadari bahwa dalam makalah ini
terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Untaian terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala
usaha kita.
Aamiin…

Kediri, 31 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................4

A. Latar Belakang......................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................6

A. Sinonim...............................................................................................6
B. Homonim............................................................................................7
C. Homofon.............................................................................................8
D. Homograf..........................................................................................10
E. Antonim............................................................................................11
F. Hiponim............................................................................................14
G. Polisemi.............................................................................................16
H. Ambiguitas........................................................................................17
I. Jinising Makna..................................................................................18
J. Aspek, Kala, lan Modus....................................................................20
K. Arah...................................................................................................21

BAB III PENUTUP.....................................................................................23

A. Kesimpulan.........................................................................................23
B. Saran....................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Jika kita ingin menggunakan bahasa Jawa dengan benar, kita perlu
mempelajari kembali tulisan buku bahasa Jawa, sehingga anak-anak dapat mengerti
mana yang benar dan mana yang salah. Pengajaran bahasa Jawa dewasa ini
memiliki dua keterampilan, yaitu keterampilan berbahasa dan sastra. Pengajaran
keterampilan berbahasa menggunakan pendekatan komunikatif dan dalam
keterampilan sastra pendekatan apresiatif. Menjadi seorang anak tidak belajar teori
bahasa dan sastra yang rumit. Membahas pembelajaran bahasa, ada situasi yang
mengharukan, yaitu tentang Widyamakna.

Bahasa adalah sistem lambang yang terdiri atas rasa, realitas, dan bunyi.
Lambang bahasa adalah lambang bunyi, yang mempunyai makna sehingga bahasa
memiliki bentuk morfem bahasa, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana.
Semuanya memiliki arti. Bahasa adalah alat komunikasi terbaik yang digunakan
manusia untuk bersikap sopan kepada orang lain dan digunakan dalam masyarakat
sesuai dengan situasi. Biasanya kita menemukan bahwa kalimat-kalimat tersebut
saling berhubungan. Hubungan Widyamakna meliputi Dasanama atau Sinonim
seperti sinonim, kebalikan atau antonym, homonym, homofon, homograf, hiponim,
polisemi, ambiguitas.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan mengenai sinonim?
2. Bagaimana penjelasan mengenai homonim?
3. Bagaimana penjelasan mengenai homofon?
4. Bagaimana penjelasan mengenai homograf?
5. Bagaimana penjelasan mengenai antonim?
6. Bagaimana penjelasan mengenai hiponim?
7. Bagaimana penjelasan mengenai polisemi?
8. Bagaimana penjelasan mengenai ambiguitas?
9. Bagaimana penjelasan mengenai jinising makna?

4
10. Bagaimana penjelasan mengenai aspek, kala, lan modus?
11. Bagaimana penjelasan mengenai arah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sinonim.
2. Untuk mengetahui homonim.
3. Untuk mengetahui homofon.
4. Untuk mengetahui homograf.
5. Untuk mengetahui antonim.
6. Untuk mengetahui hiponim.
7. Untuk mengetahui polisemi.
8. Untuk mengetahui ambiguitas.
9. Untuk mengetahui jinising makna.
10. Untuk mengetahui aspek, kala, lan modus.
11. Untuk mengetahui arah.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sinonim
Istilah sinonim (Inggris: Synonymy) berasal dari bahasa Yunani
Kuno, onoma (nama) dan syn (dengan). Dengan kata lain sinonim adalah nama
lain (dengan) untuk benda yang sama atau yang biasa dikenal dengan persamaan
kata. Djajasudarma (2012:55) menyatakan sionimi digunakan untuk menyatakan
sameness of meaning (kesamaan arti). Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa
para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki
makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau
hubungan diantara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya. Pendapat ini
diperkuat dengan gagasan Kridalaksana yang menyatakan bahwa pengertian
sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain;
kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya
yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Chaer (2009:83-84) menyatakan
bahwa hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Pada definisi yang dinyatakan oleh Verhaar di atas menyatakan bahwa “maknanya
kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya
tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak,
sebab terdapat prinsip umum 6enotati yang mengatakan apabila bentuk berbeda
maka makna pun berbeda,
Jenis Sinonim
1. Sinonim Absolut (Mutlak)
Sinonim mutlak mengacu pada identitas makna, merupakan spesifikasi makna.
Pendekatan kontekstual yang digunakan berdasarkan makna adalah sesuatu
yang mempengaruhi teksnormal dari unsur leksikal dalam koteks kalimat yang
apik (well-formed). Sinonim mutlak adalah unsur yang sama, normal dalam
semua konteks.
Contoh : Delok – Endangi
Taplak – Glempo
Sego jagong – Empok

6
Mbecek – Buwoh
Loro – Gereng
Jongkas – Suri
2. Sinonim Berdekatan
Antara sinonim proposisional dengan sinonimi berdekatan dapat dijelaskan
secara prinsip. Dalam hal ini pengguna bahasa benar-benar memiliki intuisi
untuk perangkat pasangan kata yang bersinonim dan yang tidak, dan secara
sederhana ada skala jarak 7enotati, dan kata-kata yang bersinonim adalah kata-
kata yang maknanya 7enotati dekat (memiliki batas lebih rendah dari sinonim
mirip/dekat).
Contoh : Adem – Anyep
Teles – Kebes
Ngelak – Nguelak
3. Sinonim Proposisional
Sinonim proposisional terjadi bila unsur leksikal di dalam suatu ekspresi dapat
disulih dengan unsur truthconditional (benar secara kondisional) tanpa ada
dampak terhadap maujud secara keseluruhan. Sinonim proposisional seolah-
olah lebih lazim digunakan di areal emotif secara signifikan, terutama areal
tabu. Perangkat istilah sering menimbulkan masalah yang berbeda dalam skala
eufimisme-disfemisme. Eufimismedifemisme seolah-olah menjadi lazim
dalam hubungan dengan kata yang dapat ditemukan di dalam konteks.
Contoh : Gak apik – Gak ilok
Sikel tokor – Ceker
Lambe – Thutuk1

B. Homonim
Homonim (dari bahasa latin Homo yang berarti sama dan nomos yang
berarti nama) adalah dua atau lebih yang wujud lahirnya (pelafalan dan penulisan)
sama namun artinya berbeda. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran
yang bentuknya kebetulan sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-
masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Homonim merupakan
1
Dewi Sri Haryati, 2020. Bentuk Sinonim dalam Bahasa Jawa (Kajian Semantik), Jurnal Bahasa dan
Sastra, Vol. 5, No. 4. hlm. 24-29.

7
ungkapan (kata atau frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu
ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna diantara kedua ungkapan tersebut.
Jenis-jenis Homonim :
1) Homonim yang homofon
Adalah bunyi kata yang lafalnya sama tetapi makna dan ejaannya berbeda.
Contohnya :
 Ibu menyang Bank mundhut yotro. (Ibu ke Bank mengambil uang)
 Bang Jarot kui jenenge Bapak e Sari. (Bang Jarot itu Bapaknya Sari)
2) Homonim yang homograf
Adalah kata yang sama ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan
maknanya.
Contohnya :
 Platarane disapu supaya ora bledug (Terasnya disapu agar tidak debu)
 Bledug sing cilik kuwi lagi turu (Anak gajah yang kecil itu sedang tidur)
Bledug pada contoh kalimat pertama mempunyai referen suatu hal yang
menunjukkan debu sedangkan bledug anak gajah pada contoh kalimat
kedua menunjukkan sebutan untuk anak gajah, dengan demikian bledug
mempunyai kegandaan makna atau bermohonimi. Homonimi bledug
merupakan bentuk tunggal sekaligus bentuk bebas karena masing-masing
sudah mempunyai arti dan mampu berdiri sendiri dalam ujaran.2

C. Homofon

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, homofon adalah kata yang sama
lafalnya dengan kata lain, tetapi berbeda ejaan dan maknanya. Secara umum
homofon adalah satuan leksikal yang bunyinya sama, tetapi tidak mempunyai
kesamaan komponen denotative. Bila bunyinya sama, tetapi ejaannya berbeda
seperti rok (pakaian) dan rock (aliran denot) tidak ada kesulitan dalam memilahkan
maknanya, tetapi homofon sering pula menimbulkan kesulitan karena cenderung
terkelabui oleh kesamaan bentuk. Berikut contoh penggunaan homofon.

Contoh 1 :
2
Budi Arianto, https://budiarianto.web.id/2021/01/21/tembung-homonim/. Diakses pukul 12.00, 31
Oktober 2021.

8
A : “Pak, nilai saya apa ya?”

B: “Nilaimu? Yah sesuai nilainya dengan petinggi fakultas ini. Tebak apa?”

A : “Oh, saya tahu. D kan?”

Homofon terdapat pada kalimat upaya menebak jawaban “D kan” yang


terdengar seperti Dekan yaitu pemimpin (kepala) fakultas di perguruan tinggi.

Contoh 2 :

A : “Kau kuliah di jurusan apa?”

B : “Oh, saya di 9enot.”

A : “Buat salah apa kau sampai dihukum?”

Homofon terdapat pada frasa ‘di 9enot’ yang maksudnya mengenai jurusan
kuliah, namun disalah artikan menjadi ‘dihukum’ yang berarti mendapat hukuman.3

Contoh kalimat Homofon :

1. Bank = Bang

Aku tadi pagi pergi ke bank untuk menabung.

Bang Andi ialah orang yang selalu ada buatku.

Bank pada kalimat pertama artinya adalah tempat untuk menabung.

Bang pada kalimat kedua adalah panggilan kakak pada laki-laki.

2. Rock = Rok

Ibu dan Laila berkeliling seharian di Mall dan hanya membeli sebuah rok untuk
Laila.

Garasi adalah band rock asal Bandung yang dahulu digawangi oleh Fedi Nuril,
Aiu Ratna dan Arief Budiman.

Kalimat pertama rok artinya adalah jenis pakaian khusus wanita.

Kalimat kedua rock adalah genre 9enot berirama keras.

3
Verhaar, J.W.M. (2006). Asas-asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah mada university Press.

9
3. Massa = masa

Massa dari apel itu tidak terlalu berat sehingga tidak lebih besar dari kotak
kemasannya.

Jutaan masa menunggu di pinggir jalan menunggu pengumuman dari Wakil


Rakyat.

Kalimat pertama massa artinya adalah ukuran berat yang ada pada suatu benda.

Kalimat kedua menunjukkan masa yang artinya kumpulan atau sekelompok


orang dalam jumlah besar.

D. Homograf

Homograf berasal dari istilah Inggris homografh. Secara harfiah homograf


adalah kata yang ejaanya sama dengan kata yang lain, tetapi asal dan artinya
berbeda. Dalam bahasa Jawa, Homograf yaiku tulisanne padha, pocapane lan
tegese beda.

(Muslich, 1988: 77) berbicara tentang homograf berarti menyoroti homonimi


dari segi tulisan ejaan. Homograf memiliki ejaan yang sama, tetapi lafal dan
maknanya berbeda. Aminudin (2001: 126) menyebutkan homografi ialah hubungan
antar kata-kata yang memiliki perbedaan makna, tetapi cara penulisannya sama.
Simpson (di dalam Pateda, 2010) mengatakan bahwa homograph are written
identically but sound differently.

Dengan kata lain, homograf berhubungan dengan ejaan. Maksudnya adalah


ejaannya sama, tetapi maknanya berbeda. Selanjutnya, Wijana dan Muhammad
Rohmadi (2011: 43) menyatakan homografi terletak pada keidentikan ortografi
(tulisan dan ejaan), misalnya kata sedan (/e/ diucapkan lemah atau pepet) yang
berarti „tangis kecil‟ dan kata sedan (/e/ diucapkan terang) yang berarti „sejenis
mobil penumpang‟ (Chaer, 2002 : 97). Apabila diperhatikan kedua contoh di atas,
maka dapat dikatakan bahwa masalah kehomografan di dalam Bahasa Indonesia
tidak membedakan lambang-lambang untuk fonem /o/ yang diucapkan taling [ə]
dan fonem /e/ yang diucapkan terang di dalam sistem ejaan bahasa Indonesia yang

10
berlaku sekarang. Homograf ini diberi keterangan di belakang setiap kata tersebut
(Poerwadhaminta, 1984). Lebih jelasnya, berikut beberapa contoh homonimi yang
homograf.

1) Apel [apəl] : Buah


Apel [apel] : Upacara
2) Seri [səri] : Cahaya
Seri [seri] : Tidak kalah atau tidak menang
3) Mental [məntal] : Memantul
Mental [mental] : Jiwa
Sementara itu, Chaer (2007:303) mengungkapkan bahwa homograf adalah
mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaanya, tetapi ucapan dan
makananya tidak sama. Berdasarkan bebrapa pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa homograf adalah kata-kata yang dalam bentu tulisanya sama
tetapi beda dalam pelafalanya dan beda pula makananya.
Contoh:
1) Teras : “bagian kayu yang keras intisari”
Teras : “lantai rumah di depanya‟
2) Mental : “terpelanting‟
Mental : “batin, jiwa, dan pikiran”.4

E. Antonim
Dalam Sarwiji, 2011: 129, (Chaer, 1985: 35) menyatakan bahwa kata
antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang berarti ‘nama’ dan anti
yang berarti ‘melawan’. Dengan demikian, denotat berarti ‘nama lain untuk benda
yang lain pula’. Secara sematik antonym sering didefinisikan sebagai ungkapan
(biasannya berupa kata, tetapi dapat pula berupa frasa atau kalimat) yang
maknannya dianggap kebalikan dari ungkapan yang lain. Sementara itu,
Kridalaksana (2001: 15) mengungkapkan bahwa antonimi adalah leksem yang
berpasangan 106 secara denotat. Verhaar (1981: 133) mengatakan: “Antonimi

4
NurLinda, , REPRESENTASI PENGGUNAAN HOMOGRAF DALAM BAHASA MAKASSAR
PADA MASYARAKAT LIMBUNG,2018, Hal 50.

11
adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang
dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan alain”.
Berdasakan pendapat para ahli di atas, penulis mengacu pada pendapat
Chaer yang mengungkapkan bahwa denotat adalah ungkapan (biasanya berupa
kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan lain. Jadi, hanya dianggap kebalikan bukan mutlak
berlawanan. Relasi makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah.
Sejalan dengan pernyataan tersebut menegaskan bahwa denotat tidak saja pada
tataran kata, tetapi juga pada tataran morfem, frasa, dan kalimat. Kata-kata yang
berantonim pada umumnya berupa kata sifat, namun dapat juga berupa kata benda,
kata bilangan, kata ganti, kata kerja, dan kata keterangan. Kata-kata tugas seperti
dan, untuk, tetapi, dan sebagainya merupakan kata-kata yang tidak berantonim.
Dalam Sarwiji, 2011: 129, (Chaer, 1985: 35) disebutkan ragam oposisi makna
(dnotat) yakni;
1. Antonim Mutlak
Antonim mutlak muncul apabila pertentangan antara kata atau bentuk bahasa
yang memiliki hubungan denotatif tersebut bersifat mutlak. Pengertian antara
kedua kata atau bentuk itu terdapat pada batas yang mutlak.
Contoh :

No. Antonim Bahasa Jawa Antonim Bahasa Indonesia


1. Ganjil x Genep Ganjil x Genap
2. Asli x Palsu Asli x Palsu
3. Bener x Luput Benar x Salah
4. Mati x Urip Mati x Hidup
5. Ngisor x Dhuwur Bawah x Atas
6. Mlebu x Metu Masuk x Keluar

2. Antonim Gradasi atau Oposisi Kutub


Kata-kata atau bentuk-bentuk bahasa yang termasuk jenis 12enotat gradasi
mempunyai pertentangan yang tidak mutlak. Ketidakmutlakkkan makna terletak
pada adannya tingkatan pada kata-kata. Suatu 12enotat dapat disebut sebagai

12
13enotat gradasi apabila penegatifan suatu kata tidaklah bersinonim dengan kata
lain. Pada umumnya kata-kata yang termasuk 13enotat gradasi adalah kata sifat
atau adjektif.
Contoh :

No. Antonim Bahasa Jawa Antonim Bahasa Indonesia


1. Adhem x Panas Dingin x Panas
2. Angel x Gampang Sulit x Mudah
3. Adoh x Cedhak Jauh x Dekat
4. Abot x Entheng Berat x Naik
5. Kuwat x Ringkih Kuat x Rapuh

3. Antonim Relasional
Antonim relasional adalah jenis 13enotat yang memperlihatkan kesimetrian
dalam makna anggota pasangannya. Biasanya berupa kata kerja dan kata benda.
Contoh :

No. Antonim Bahasa Jawa Antonim Bahasa Indonesia


1. Bopo x Biyung Ayah x Ibu
2. Kanca x Satru Teman x Musuh
3. Guru x Murid Guru x Murid
4. Lanang x Wedhok Laki-laki x Perempuan
5. Jago x Babon Pejantan x Betina

4. Antonim Hierarkial
Kata-kata yang termasuk dalam 13enotat hierarkial adalah nama satuan waktu
(berat, panjang, isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama satuan
jenjang kepangkatan, dan sebagainya.5

No. Antonim Bahasa Jawa Antonym Bahasa Indonesia


1. Ons x Gram Ons x Gram

5
Paramita Ida Safitri, 2018.“Daya Pragmatik (Pragmatic Force) Pada Perbandingan Antonim Bahasa
Jawa Dan Bahasa Indonesia Serta Korelasi Budaya Masyarakat Penuturnya”, Vol. 7, No. 2. hlm. 106-
111.

13
2. Kilogram x Kuintal Kilogram x Kuintal
3. Gram x Kilogram Gram x Kilogram
4. Meter x Kilometer Meter x Kilometer
5. Detik x Menit Detik x Menit

F. Hiponim
Istilah hiponim yang dalam bahasa Inggris Hypomym berasal dari kata
Yunani kuno, onoma yang berarti “nama” dan hypo yang berarti “dibawah”. Dalam
14enotati, hiponim merupakan suatu kata atau frasa lain yang lebih umum, yang
disebut hiperonim atau hipernim. Suatu hiponim ialah anggota kelompok dari
hiperionimnya dan beberapa hiponim yang memiliki hiperonim yang sama disebut
dengan kohiponim.
Menurut Djajasudarma, hiponim ialah hubungan makna yang mengandung
pengertian hierarki. Hubungan hiponim ini dekat dengan sinonim. Bila sebuah kata
memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka
hubungan itu disebut hiponim.
Relasi makna juga dapat dilihat dari aspek hiponim selain dari aspek
sinonim, antonym, polisem, 14enotat, ambiguity, dan pertindihan makna. Relasi
makna bermaksud hubungan semantic yang terdapat antara satuan bahasa yang
lain. Satuan bahasa mungkin berupa kata frasa dan ayat. Relasi makna dapat
menyatakan :
1. Kesamaan makna
2. Pertentangan makna
3. Jangkauan makna
4. Kegandaan makna
5. Kelebihan makna
Relasi makna ini dapat difahami umpamanya kata mawar ialah hiponim terhadap
kata bunga karena mawar termasuk dalam kata bunga. Mawar memanglah bunga
tetapi bunga bukan hanya mawar, melainkan termasuk matahari, cempaka, rose,
kenanga, dan lain sebagainya.
Contoh ;
 Kucing, serangga, dan merpati adalah hiponim dari hewan

14
 Mawar, melati, dan anggrek adalah hiponim dari bunga6

G. Polisemi

Polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda,
maka polisemi juga mempunyai hubungan makna walaupun sedikit atau hanya
kiasan.

Contoh Polisemi dalam Bentuk Kata Dasar Polisemi berdasarkan bentuk


kata dasarnya, polisemi dalam bahasa Jawa Ngoko yang ditemukan di lapangan
adalah sebagai berikut: Okeh, dan Kerah.

‘Bahasa Jawa Ngoko’ ‘Artinya’ ‘Makna baru’

‘Okeh’ ‘Banyak’ ‘Besar dan Rame’

‘Kerah’ ‘Hitung’ ‘Ukur’

Untuk membuktikan bahwa kata-kata tersebut adalah polisemi yang


berbentuk kata dasar, dapat dilihat dari konteks kalimat berikut:

1) – Okeh kayu bakar neng utan iku

Banyak kayu bakar di hutan itu

Di hutan banyak kayu bakar

- Okeh harapan kami menang de’en

Banyak harapan kami menang dia

Besar harapan kami dia menang

2) – Kerah desek jagong iku!

Hitung dulu jagung itu!

Hitung jagung itu!

- Orah terkerah jeroe danau iku

6
Samhis Setiawan, 2021. ”Hiponim- Pengertian, Makna, Hubungan, Jenis, Contoh, Para Ahli”, diakses
dari https://www.gurupendidikan.co.id /hiponim/, pada 31 Oktober 2021, pukul 15.00.

15
Tidak terhitung dalamnya danau itu

Tidak bisa di ukur dalamnya danau itu

Dari kalimat di atas, pada kalimat (2a) kata Kerah memiliki makna ‘hitung’
sebagai makna dasar dari kata tersebut, sedangkan pada kalimat (2b) kata Kerah
memiliki makna ‘ukur’ yang merupakan makna baru yang timbul setelah makna
dasarnya. Dari kedua kalimat tersebut tampak, bahwa kata Kerah adalah polisemi
berbentuk kata dasar.

3) – Uwes manak anak lembue iku

Sudah lahir anak sapinya itu

Anak sapinya itu sudah lahir

- Uwes manak rumput neng ladang iku

Sudah lahir rumput di sawah itu

Di sawahnya rumput sudah tumbuh

Dari kalimat di atas, pada kalimat (3a) kata Manak memiliki makna ‘lahir’
adalah makna dasar dari kata tersebut, sedangkan pada kalimat (3b) yang bermakna
‘tumbuh’ merupakan makna baru setelah makna dasar. Dari kedua kata tersebut
tampak, bahwa kata manak adalah polisemi berbentuk kata dasar. Kata Manak
yang bermakna ‘lahir’ (sebagai makna dasarnya) masih memiliki hubungan makna
dengan ‘tumbuh’ (makna baru setelah makna dasarnya) walau hanya sedikit atau
pun berupa kiasan dalam konteks pemakaian kalimat.7

H. Ambiguitas

Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva); 1 sifat atau hal yang berarti
dua: kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2 ketidaktentuan;
ketidakjelasan; 3 kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya
sastra; 4 kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata,
atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: hlm.27). Ambiguitas berasal

7
Samsuri, POLISEMI DALAM BAHASA JAWA NGOKO KAJIAN SEMANTIK 2013, hal 24-26

16
dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti suatu konstruksi yang dapat
ditafsirkan lebih dari satu arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan (Alwi,
2002:36). Ketaksaan dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki lebih dari satu
makna akan sebuah konstruksi sintaksis.

Ambiguitas dalam komunikasi dapat terjadi baik menggunakan bahasa lisan


maupun tertulis.Keambiguan (ketaksaan) adalah kegandaan arti kalimat yang
diucapkan si pembicara sehingga meragukan atau sama sekali tidak dipahami si
pendengar. Ambiguitas muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit
menangkap penertian yang 17enotativ atau yang kita dengar. Bahasa lisan sering
menimbulkan ambiguitas dikarenakan apa yang kita dengar belum tentu tepat benar
dengan yang dimaksud oleh si pembicara atausi penulis. Ada beberapa sebab
ambiguitas terjadi. Kegandaan arti dapat disebabkan oleh ucapan-ucapan yang
tidak tepat intonasinya ataupun jedanya. Dapat juga karena penggunaan kata yang
bersifat polisemi ataupun karena struktur kalimatnya. Ambiguitas dapat timbul
dalam berbagai variasi tulisan atau tuturan. Kempson (1977: 38) menyebutkan tiga
bentuk utama ambiguitas (ketaksaan), yaitu yang berhubungan dengan fonetik,
gramatikal, dan leksikal.8

I. Jinising Makna
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon.
Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna.
Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka
leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal
dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau
bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah
makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah
8
Trismanto, AMBIGUITAS DALAM BAHASA Indonesia, Bangun Rekrapima, 2018, vol 04

17
sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus.
Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau
Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Makna leksikal biasanya
dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan
dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna
gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika
seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994).
Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu
terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika
balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal
tidak sengaja.
Contoh :
Makna Leksikal : Rebab kae digawe saka kayu galih
Makna gramatikal : Thokormu apa ra kokanggo? (surasane ngener marang
tumindak ota bener)
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak
adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu
sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata
bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata
itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang
bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah
tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen,
jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Contoh :
Makna Referensial : Ibu nggodhog banyu saperlu 18enot nggawe wedang jeruk
Makna Nonreferensial : Tugase ora sida diklumpukake, kamangka Rini wis
nggarap kanthi tumemen
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna 18enotative pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna
18enotative lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil
observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau

18
pengalaman lainnya. Jadi, makna 19enotative ini menyangkut
informasiinformasi 19enotat objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering
disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kata perempuan
dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia
dewasa bukan laki-laki’. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif
apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun 19enotati. Jika
tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat
juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu
ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi 19enotati karena
berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
Contoh :
Denotatif : Lambeku getihen amarga sariawan
Konotatif : Apa kang diucapake dening Mirna among abang-abang lambe
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna
kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai
makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks.
Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang
keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat
dilihat dari contoh berikut
Makna kata : Bapakku kagungan gamelan alaras slendro lan pelog
Makna istilah :
Bonang pelog duweni 14 pencon
Tumrape wong kang ora mudheng babagan gamelan, sawarnane piranti
gamelan disebut gamelan. Ananging tumrape wong mudheng, saben
gamelan nduweni sesebutan dhewe-dhewe. Dadi, tumrape wong kang
mudheng menawa akon liyan supaya sawijiningnjupuk utawa nabuh piranti
gamelan, mesthi disebutake jenenge dhewe-dhewe.
5. Makna Kias

19
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai
oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata,
frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti 20enotative) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk
bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.

J. Aspek, Kala, lan Makna


Sistem verbal atau sistem kala, aspek lan makna dalam sintaksi klausa tidak
hanya menyangkut kaidah morfologis. Berikut penjelasan tiap sistem:
 Aspek
Pemarkahan morfologis verbal tanpa verba bantu jarang ditemukan tetapi bisa
ditemukan pada predikat perifratis. Terdapat bahasa dengan aspek verbal yang
berciri morfologis pada bahasa-bahasa. Aspek menunjukkan segi arti verba yang
berkaitan dengan permulaan, ketika terjadi, diulang tidaknya/terdapat hasil atau
tidak tindakan tersebut.
 Kala
Terdapat bahasa yang tidak memiliki pemarkahan morfologis yang bersifat
paradigmatik dan bukan derivasional. Kala menunjukkan waktu keadaan/
tindakan yang diungkapkan oleh verba pada saat penuturan.
 Makna
Mengungkapkan sikap penutur terhadap apa yang dituturkan, kepastian,
pernyataan.9

K. Arah

Terdapat ungkapan menarik dalam bahasa Jawa yaitu Aja nganti kelangan
keblat. ‘Jangan sampai kehilangan arah’. Kata keblat di sini diterjemahkan sebagai
arah, yang mempunyai padanan lain dalam bahasa Jawa yaitu ner, dan iring. Kata
keblat kemunculannya lebih kemudian dari kata ner, atau iring, karena kata serapan
dari bahasa Arab qiblat, yang berarti arah yang menunjuk ke Makkah, arah sholat
bagi umat muslim. Sebegitu pentingnya arah bagi orang Jawa sehingga kalau
mereka mengatakan orang yang ‘gak bener’ tanda kutip sering dikatakan Cah ora
9
Budi Suharto, “Kawruh Basa”, Yogyakarta: Pustaka Media. hlm 45.

20
duwe keblat ‘Orang yang tidak punya tujuan hidup’. Bahkan bagi orang Jawa untuk
mengatakan bingung di tempat tertentu, tidak tahu posisi arah mereka mengatakan
ora ngerti keblat ‘tidak mengerti arah’.

patokan arah yang mengacu pada kondisi alam dan benda-benda langit,
terdapat patokan arah lain yang mengacu pada benda-benda yang dibuat atau
dibangun oleh manusia, misalnya bangunan, gedung, tugu, jalan, dan lain
sebagainya. Untuk menunjuk lokasi tertentu, benda-benda tersebut selalu
dilekatkan dengan konsep arah. Misalnya untuk menunjukkan wilayah tertentu
orang Jawa biasanya menggunakan kata Lor tugu, Lor prapatan, Kidul Mirota,
Wetan Gedung Lengkung, dan lain-lain.

Berikut sebuah percakapan yang mengilustrasikan konsep penggunaan arah


terkait dengan hal di atas.

A: Nuwun sewu Pak, kula badhe nyuwun priksa, Fakultas Ilmu Budaya
UGM wonten pundi nggih? ‘Maaf Pak, saya mau tanya, Fakultas Ilmu Budaya
UGM di mana ya?’ (Lokasi bertanya di Bunderan UGM )

B: Nggih, Bapak mang tindak ngaler, mentok, teras samangke ngetan


sekedik, panjenengan ngaler kinten-kintin 50 meter mang mirsani wetan, lha
menika sampun kepanggih tulisan Fakultas Ilmu Budaya. ‘Ya, Bapak jalan saja ke
Utara, kemudian ke Timur sedikit dan jalan ke Utara sekitar 50 meter kemudian
lihat ke arah Timur, di situ terdapat Tulisan Fakultas Ilmu Budaya.’

A: Dados sak Wetanipun, Lapangan ngajeng Graha Shaba Pramana nggih?


‘Jadi sebelah Timur Lapangan depan Graha Shaba Pramana ya?’

B: Inggih leres pak. ‘Iya betul pak.’

Dari contoh percakapan di atas, terlihat masyarakat Jawa sangat kental


menggunakan leksikon arah untuk menunjukkan tempat atau wilayah yang ingin
diketahuinya. Tentu saja, akan berbeda jika yang bertanya tadi penutur di luar
budaya Jawa, maka si penanya akan mengalami kesulitan, atau kebingungan dalam

21
mencari tempat jika penjelasan tentang arah masih digunakan konsep arah
tersebut.10

10
Dwi Cahyono Aji, KONSEPSI ARAH BAGI ORANG JAWA (Tinjauan Antropologi Linguistik),
Adabiyyāt,2010 Vol. 9, No. 1.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sinonim adalah nama lain (dengan) untuk benda yang sama atau yang biasa
dikenal dengan persamaan kata

2. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan
sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau
bentuk ujaran yang berlainan.

3. Homofon adalah satuan leksikal yang bunyinya sama, tetapi tidak mempunyai
kesamaan komponen denotative

4. Homograf adalah kata yang ejaanya sama dengan kata yang lain, tetapi asal dan
artinya berbeda.

5. Secara sematik antonym sering didefinisikan sebagai ungkapan (biasannya


berupa kata, tetapi dapat pula berupa frasa atau kalimat) yang maknannya
dianggap kebalikan dari ungkapan yang lain.

6. Hiponim ialah hubungan makna yang mengandung pengertian hierarki.


Hubungan hiponim ini dekat dengan sinonim. Bila sebuah kata memiliki semua
komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka hubungan itu
disebut hiponim.

7. Polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda, maka
polisemi juga mempunyai hubungan makna walaupun sedikit atau hanya kiasan.

8. Ambiguitas berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti suatu
konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti.

9. Jinising makna terdiri atas: Makna Leksikal dan Makna Gramatikal, Makna
Referensial dan Nonreferensial Makna Denotatif dan Konotatif, Makna Kata dan
Makna Istilah Makna Kias.

23
10. Aspek, Kala, lan Makna, yaitu Sistem verbal atau sistem kala, aspek lan
makna dalam sintaksi klausa tidak hanya menyangkut kaidah morfologis.
Berikut penjelasan tiap sistem.

11. Arah, Terdapat ungkapan menarik dalam bahasa Jawa yaitu Aja nganti
kelangan keblat. ‘Jangan sampai kehilangan arah’. Kata keblat di sini
diterjemahkan sebagai arah, yang mempunyai padanan lain dalam bahasa Jawa
yaitu ner, dan iring.

B. Kritik Dan Saran

Dengan selesainya makalah ini, kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, untuk itu saran yang
membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dan pengembangan makalah
ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Arianto, Budi . https://budiarianto.web.id/2021/01/21/tembung-homonim/. Diakses


pukul 12.00, 31 Oktober 2021.

Dwi Cahyono Aji,2010 Konsepsi Arah Bagi Orang Jawa (Tinjauan Antropologi
Linguistik), Adabiyyāt, Vol. 9, No. 1.

Haryati, Dewi Sri. 2020. Bentuk Sinonim dalam Bahasa Jawa (Kajian Semantik), Jurnal
Bahasa dan Sastra, Vol. 5, No. 4.

Lindanur, , 2018, Representi Penggunaan Homograf Dalam Bahasa Makassar Pada


Masyarakat Limbung , Skripsi
Safitri, Paramita Ida 2018.“Daya Pragmatik (Pragmatic Force) Pada Perbandingan
Antonim Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Serta Korelasi Budaya
Masyarakat Penuturnya”, Vol. 7, No. 2.

Samsuri, 2013, Polisemi Dalam Bahasa Jawa Ngoko Kajian Semantik, Skripsi
Setiawan, Samhis. 2021. ”Hiponim- Pengertian, Makna, Hubungan, Jenis, Contoh,
Para Ahli”, diakses dari https://www.gurupendidikan.co.id /hiponim/, pada 31
Oktober 2021, pukul 15.00.

Suharto, Budi. 2015. “Kawruh Basa”, Yogyakarta: Pustaka Media. hlm 45.

Trismanto, 2018, Ambiguitas Dalam Bahasa Indonesia, Bangun Rekrapima, vol 04


Verhaar, J.W.M. (2006). Asas-asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah mada university
Press.

25

Anda mungkin juga menyukai