Anda di halaman 1dari 7

Homofon

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, homofon adalah kata yang sama lafalnya dengan
kata lain, tetapi berbeda ejaan dan maknanya. Secara umum homofon adalah satuan leksikal
yang bunyinya sama, tetapi tidak mempunyai kesamaan komponen diagnostik. Bila bunyinya
sama, tetapi ejaannya berbeda seperti rok (pakaian) dan rock (aliran musik) tidak ada kesulitan
dalam memilahkan maknanya, tetapi homofon sering pula menimbulkan kesulitan karena
cenderung terkelabui oleh kesamaan bentuk. Berikut contoh penggunaan homofon.
Contoh 1 :
A : “Pak, nilai saya apa ya?”
B: “Nilaimu? Yah sesuai nilainya dengan petinggi fakultas ini. Tebak apa?”
A : “Oh, saya tahu. D kan?”
Homofon terdapat pada kalimat upaya menebak jawaban “D kan” yang terdengar seperti
Dekan yaitu pemimpin (kepala) fakultas di perguruan tinggi.
Contoh 2 :
A : “Kau kuliah di jurusan apa?”
B : “Oh, saya di hukum.”
A : “Buat salah apa kau sampai dihukum?”
Homofon terdapat pada frasa ‘di hukum’ yang maksudnya mengenai jurusan kuliah,
namun disalah artikan menjadi ‘dihukum’ yang berarti mendapat hukuman.1
Contoh kalimat Homofon :
1. Bank = Bang
Aku tadi pagi pergi ke bank untuk menabung.
Bang Andi ialah orang yang selalu ada buatku.
 
Bank pada kalimat pertama artinya adalah tempat untuk menabung.
Bang pada kalimat kedua adalah panggilan kakak pada laki-laki.
2. Rock = Rok
Ibu dan Laila berkeliling seharian di Mall dan hanya membeli sebuah rok untuk Laila.
Garasi adalah band rock asal Bandung yang dahulu digawangi oleh Fedi Nuril, Aiu Ratna
dan Arief Budiman.

1
Verhaar, J.W.M. (2006). Asas-asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah mada university Press.
 

Kalimat pertama rok artinya adalah jenis pakaian khusus wanita.


Kalimat kedua rock adalah genre musik berirama keras.
3. Massa = masa
Massa dari apel itu tidak terlalu berat sehingga tidak lebih besar dari kotak kemasannya.
Jutaan masa menunggu di pinggir jalan menunggu pengumuman dari Wakil Rakyat.
 
Kalimat pertama massa artinya adalah ukuran berat yang ada pada suatu benda.
Kalimat kedua menunjukkan masa yang artinya kumpulan atau sekelompok orang dalam
jumlah besar.

Homograf
Homograf berasal dari istilah Inggris homografh. Secara harfiah homograf adalah
kata yang ejaanya sama dengan kata yang lain, tetapi asal dan artinya berbeda.
Dalam bahasa Jawa, Homograf yaiku tulisanne padha, pocapane lan tegese beda.

(Muslich, 1988: 77) berbicara tentang homograf berarti menyoroti homonimi dari
segi tulisan ejaan. Homograf memiliki ejaan yang sama, tetapi lafal dan maknanya
berbeda. Aminudin (2001: 126) menyebutkan homografi ialah hubungan antar kata-kata
yang memiliki perbedaan makna, tetapi cara penulisannya sama. Simpson (di dalam
Pateda, 2010) mengatakan bahwa homograph are written identically but sound
differently.

Dengan kata lain, homograf berhubungan dengan ejaan. Maksudnya adalah


ejaannya sama, tetapi maknanya berbeda. Selanjutnya, Wijana dan Muhammad Rohmadi
(2011: 43) menyatakan homografi terletak pada keidentikan ortografi (tulisan dan ejaan),
misalnya kata sedan (/e/ diucapkan lemah atau pepet) yang berarti „tangis kecil‟ dan kata
sedan (/e/ diucapkan terang) yang berarti „sejenis mobil penumpang‟ (Chaer, 2002 : 97).
Apabila diperhatikan kedua contoh di atas, maka dapat dikatakan bahwa masalah
kehomografan di dalam Bahasa Indonesia tidak membedakan lambang-lambang untuk
fonem /o/ yang diucapkan taling [ə] dan fonem /e/ yang diucapkan terang di dalam sistem
ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang. Homograf ini diberi keterangan di
belakang setiap kata tersebut (Poerwadhaminta, 1984). Lebih jelasnya, berikut beberapa
contoh homonimi yang homograf.

1) Apel [apəl] : Buah


Apel [apel] : Upacara
2) Seri [səri] : Cahaya
Seri [seri] : Tidak kalah atau tidak menang
3) Mental [məntal] : Memantul
Mental [mental] : Jiwa
Sementara itu, Chaer (2007:303) mengungkapkan bahwa homograf adalah
mengacu pada bentuk ujaran yang sama otografinya atau ejaanya, tetapi
ucapan dan makananya tidak sama. Berdasarkan bebrapa pendapat di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa homograf adalah kata-kata yang dalam bentu
tulisanya sama tetapi beda dalam pelafalanya dan beda pula makananya.
Contoh:
1) Teras : „bagian kayu yang keras‟ intisari‟
Teras : „lantai rumah di depanya‟
2) Mental : „terpelanting‟
Mental : „batin, jiwa, dan pikiran‟.2

POLISEMI

Polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau
ganda, maka polisemi juga mempunyai hubungan makna walaupun sedikit
atau hanya kiasan.

Contoh Polisemi dalam Bentuk Kata Dasar Polisemi berdasarkan


bentuk kata dasarnya, polisemi dalam bahasa Jawa Ngoko yang ditemukan di
lapangan adalah sebagai berikut: Okeh, dan Kerah.

‘ Bahasa Jawa Ngoko ’ ‘ Artinya ‘ ‘ Makna baru’

‘ Okeh ‘ ‘ Banyak ‘ ‘ Besar dan Rame ‘


2
NurLinda, , REPRESENTASI PENGGUNAAN HOMOGRAF DALAM BAHASA MAKASSAR PADA
MASYARAKAT LIMBUNG,2018, Hal 50.
‘ Kerah ‘ ‘ Hitung ‘ ‘ Ukur ‘

Untuk membuktikan bahwa kata-kata tersebut adalah polisemi yang


berbentuk kata dasar, dapat dilihat dari konteks kalimat berikut:

(1)a. Okeh kayu bakar neng utan iku

Banyak kayu bakar di hutan itu

Di hutan banyak kayu bakar

b. Okeh harapan kami menang de’en

Banyak harapan kami menang dia

Besar harapan kami dia menang

(2). a. Kerah desek jagong iku!


Hitung dulu jagung itu!
Hitung jagung itu!
b. Orah terkerah jeroe danau iku
Tidak terhitung dalamnya danau itu
Tidak bisa di ukur dalamnya danau itu
Dari kalimat di atas, pada kalimat (2a) kata Kerah memiliki makna
‘hitung’ sebagai makna dasar dari kata tersebut, sedangkan pada kalimat (2b)
kata Kerah memiliki makna ‘ukur’ yang merupakan makna baru yang timbul
setelah makna dasarnya. Dari kedua kalimat tersebut tampak, bahwa kata
Kerah adalah polisemi berbentuk kata dasar.
(3). a. Uwes manak anak lembue iku
Sudah lahir anak sapinya itu
Anak sapinya itu sudah lahir
b. Uwes manak rumput neng ladang iku
Sudah lahir rumput di sawah itu
Disawahnya rumput sudah tumbuh
Dari kalimat di atas, pada kalimat (3a) kata Manak memiliki makna
‘lahir’ adalah makna dasar dari kata tersebut, sedangkan pada kalimat (3b)
yang bermakna ‘tumbuh’ merupakan makna baru setelah makna dasar. Dari
kedua kata tersebut tampak, bahwa kata manak adalah polisemi berbentuk
kata dasar. Kata Manak yang bermakna ‘lahir’ (sebagai makna dasarnya)
masih memiliki hubungan makna dengan ‘tumbuh’ (makna baru setelah
makna dasarnya) walau hanya sedikit atau pun berupa kiasan dalam konteks
pemakaian kalimat.3

Ambiguitas
Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva); 1 sifat atau hal yang berarti
dua: kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; taksa; 2 ketidaktentuan;
ketidakjelasan; 3 kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu karya
sastra; 4 kemungkinan adanya makna lebih dari satu di sebuah kata, gabungan kata,
atau kalimat (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990: hlm.27). Ambiguitas berasal dari
bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan
lebih dari satu arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan (Alwi, 2002:36).
Ketaksaan dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki lebih dari satu makna akan
sebuah konstruksi sintaksis.
Ambiguitas dalam komunikasi dapat terjadi baik menggunakan bahasa lisan
maupun tertulis.Keambiguan (ketaksaan) adalah kegandaan arti kalimat yang
diucapkan si pembicara sehingga meragukan atau sama sekali tidak dipahami si
pendengar. Ambiguitas muncul bila kita sebagai pendengar atau pembaca sulit
menangkap penertian yang kita baca atau yang kita dengar. Bahasa lisan sering
menimbulkan ambiguitas dikarenakan apa yang kita dengar belum tentu tepat benar
dengan yang dimaksud oleh si pembicara atausi penulis. Ada beberapa sebab
ambiguitas terjadi. Kegandaan arti dapat disebabkan oleh ucapan-ucapan yang tidak
tepat intonasinya ataupun jedanya. Dapat juga karena penggunaan kata yang bersifat
polisemi ataupun karena struktur kalimatnya. Ambiguitas dapat timbul dalam
berbagai variasi tulisan atau tuturan. Kempson (1977: 38) menyebutkan tiga bentuk
utama ambiguitas (ketaksaan), yaitu yang berhubungan dengan fonetik, gramatikal,
dan leksikal.4
Arah
Terdapat ungkapan menarik dalam bahasa Jawa yaitu Aja nganti kelangan keblat.
‘Jangan sampai kehilangan arah’. Kata keblat di sini diterjemahkan sebagai arah,
yang mempunyai padanan lain dalam bahasa Jawa yaitu ner, dan iring. Kata keblat
kemunculannya lebih kemudian dari kata ner, atau iring, karena kata serapan dari
bahasa Arab qiblat, yang berarti arah yang menunjuk ke Makkah, arah sholat bagi
umat muslim. Sebegitu pentingnya arah bagi orang Jawa sehingga kalau mereka

3
Samsuri, POLISEMI DALAM BAHASA JAWA NGOKO KAJIAN SEMANTIK 2013, hal 24-26
4
Trismanto, AMBIGUITAS DALAM BAHASA Indonesia, Bangun Rekrapima, 2018, vol 04
mengatakan orang yang ‘gak bener’ tanda kutip sering dikatakan Cah ora duwe
keblat ‘Orang yang tidak punya tujuan hidup’. Bahkan bagi orang Jawa untuk
mengatakan bingung di tempat tertentu, tidak tahu posisi arah mereka mengatakan
ora ngerti keblat ‘tidak mengerti arah’.
patokan arah yang mengacu pada kondisi alam dan benda-benda langit, terdapat
patokan arah lain yang mengacu pada benda-benda yang dibuat atau dibangun oleh
manusia, misalnya bangunan, gedung, tugu, jalan, dan lain sebagainya. Untuk
menunjuk lokasi tertentu, benda-benda tersebut selalu dilekatkan dengan konsep
arah. Misalnya untuk menunjukkan wilayah tertentu orang Jawa biasanya
menggunakan kata Lor tugu, Lor prapatan, Kidul Mirota, Wetan Gedung Lengkung,
dan lain-lain.
Berikut sebuah percakapan yang mengilustrasikan konsep penggunaan arah
terkait dengan hal di atas.
A: Nuwun sewu Pak, kula badhe nyuwun priksa, Fakultas Ilmu Budaya UGM
wonten pundi nggih? ‘Maaf Pak, saya mau tanya, Fakultas Ilmu Budaya UGM di
mana ya?’ (Lokasi bertanya di Bunderan UGM )
B: Nggih, Bapak mang tindak ngaler, mentok, teras samangke ngetan sekedik,
panjenengan ngaler kinten-kintin 50 meter mang mirsani wetan, lha menika sampun
kepanggih tulisan Fakultas Ilmu Budaya. ‘Ya, Bapak jalan saja ke Utara, kemudian
ke Timur sedikit dan jalan ke Utara sekitar 50 meter kemudian lihat ke arah Timur, di
situ terdapat Tulisan Fakultas Ilmu Budaya.’
A: Dados sak Wetanipun, Lapangan ngajeng Graha Shaba Pramana nggih? ‘Jadi
sebelah Timur Lapangan depan Graha Shaba Pramana ya?’
B: Inggih leres pak. ‘Iya betul pak.’
Dari contoh percakapan di atas, terlihat masyarakat Jawa sangat kental
menggunakan leksikon arah untuk menunjukkan tempat atau wilayah yang ingin
diketahuinya. Tentu saja, akan berbeda jika yang bertanya tadi penutur di luar budaya
Jawa, maka si penanya akan mengalami kesulitan, atau kebingungan dalam mencari
tempat jika penjelasan tentang arah masih digunakan konsep arah tersebut.5

5
Dwi Cahyono Aji, KONSEPSI ARAH BAGI ORANG JAWA (Tinjauan Antropologi Linguistik), Adabiyyāt,2010
Vol. 9, No. 1.
Referensi
Verhaar, J.W.M. (2006). Asas-asas Linguistik. Yogyakarta: Gadjah mada
university Press.

Lindanur, , 2018, Representi Penggunaan Homograf Dalam Bahasa Makassar


Pada Masyarakat Limbung , Skripsi
Samsuri, 2013, Polisemi Dalam Bahasa Jawa Ngoko Kajian Semantik, Skripsi
Trismanto, 2018, Ambiguitas Dalam Bahasa Indonesia, Bangun Rekrapima, vol
04
Dwi Cahyono Aji,2010 Konsepsi Arah Bagi Orang Jawa (Tinjauan Antropologi
Linguistik), Adabiyyāt, Vol. 9, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai