Anda di halaman 1dari 7

FIQH LUGHAH

AL - MUSYTARAK

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 7 :

Nur Zakiyah (19601024)

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITIUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Seluruh makna yang terkandung dalam bahasa sering berhubungansatu sama lain. Relasi
makna dapat berwujud macam-macam.[1] Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin
menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonym), kegandaan makna
(polisemi), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonym), kelebihan makna
(redundasi), dan sebagainya. Pada makalah ini, hanya akan membahas tentang homonim dan
polisemi.
Relasi makna dalam bahasa Indonesia diantaranya: homonim dan polisemi. Polisemi dan
homonym sangat berkaitan dengan kata atau frasa. Kata atau frasa banyak di temukan di dalam
teks-teks klasik, banyak sekali buku bahasa arab yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,
salah satunya yaitu Tafsir As-Saidi  adalah salah satu kitab hasil terjemahan yang di tulis oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

B.            Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa kajian tentang Fiqh al-lughah, yaitu :
1.         Pengertian Musytarak (Homonim)
2.         Perbedaan pendapat tentang Musytarak (Homonim)
3.         Hubungan antara Musytarak (Homonim) dan Mutawathi’(Polisemi)
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Musytarak (Homonim)


Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja ‫اشترك‬ yang berarti
“bersekutu” seperti dalam ungkapan ‫اشترك القوم‬ yang berarti “kaum itu bersekutu”.
Secara etimologi kata, homonim berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang berarti
“nama” dan homo yang berarti “sama”. Secara harfiah homonim diartikan sebagai nama yang
sama untuk benda atau hal lain (Chaer, 2002 : 93). Kata-kata yang berhomonim
memeperlihatkan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik. Hubungan kemaknaan pada
homonim ini menyangkut masalah kelainan makna.
Homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi
maknanya berbeda. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonim senbagai
ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga
berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.[2]
Perubahan Musytarak, meliputi :
1.    Faktor internal meliputi:
a.    Perubahan dari segi pelafalan.
          Perubahan dari segi pelafalan mencakup atas pertukaran posisi huruf  (dari segi morfologi/
shorof ) dan pergantian huruf atau ibdal.
1)      Pertukaran posisi huruf yaitu apabila kita mengambil sighot wazan "‫استفعل‬ " pada lafadz
" ‫دام‬ " maka akan menjadi kalimat " ‫استدام‬  " dan dari kalimat "‫ "دمى‬akan menjadi kalimat "‫استدمى‬ "
akan tetapi dikatakan bahwa fi'il " ‫ "استدام‬yang dapat berarti berkelanjutan namun juga dapat
berarti "  " ‫استدمى‬yang berari berdarah. Hal ini disebabkan kesalahan si penutur namun dapat
dipahami oleh yang lainnya dan kemudian pada akhirnya banyak digunakan oleh penutur
lainnya.
2)      Perubahan pelafalan yang mencakup ibdal, terdapat dua kalimat "‫ "حنك‬dan "‫ "حلك‬keduanya
memiliki makna yang berbeda, namun orang arab memakainya dengan makna yang sama yaitu
hitam. Maka dengan pendekatan pergantian "‫ "ل‬menjadi "‫ "ن‬yang disesuaikan antara kata kedua
dengan kata yang pertama  dalam segi pelafalannya maka keduanya menjadiAl-Musytarak Al-
Lafdzi (Homonimi). Lafadz  "‫حنك‬ bukan hanya dapat berarti "langit-langit mulut" tetapi juga
berarti kegelapan yang seharusnya pengertan dari lafadz ‫"حلك‬.
b.      Perubahan dari segi makna.
          Perubahan dari segi makna mencakup atas beberapa faktor diantannya:
1)      Perbedaan dialek arab terdahulu, sebagian contooh-contoh lafadz Musytarak disebabkan
perbedaan kabilah-kabilah arab dalam menggunakan kata tersebut, serta dibuatkan kamus yang
yang menggunakan makna-makna tanpa memperhatikan keadaan kabilah yang menggunakan
kata tersebut.
2)      Perkembangan bunyi, kadang-kadang bunyi-bunyi asal dari  lafazh tertentu mengalami
perubahan, pengurangan atau penambahan sesuai dengan perkembangan bunyi bahasa, maka
bunyi lafazd seperti ini menjadi satu lafazd sedangakan maknanya berbeda. Contohnya, lafazd (
‫)النغمة‬  jadi (‫النأمة‬ )  karena perkembangan bunyi maka huruf ‫غ‬ diganti dengan ‫أ‬ karena antara dua
huruf tersebut tempat keluarnya berdekatan, begitu juga perubahan dari
kata ‫جذوة‬ menjadi ‫جثوة‬  dan kata  ‫الغشم‬  menjadi ‫الغشب‬ .
3)    Perpindahan sebagian lafazd dari makna asli pada makna majazi karena adanya suatu
hubungan, lalu penggunaan makna majazi itu dilakukan terus menerus sehingga makna majazi
tersebut dianggap sebagai makna hakiki. Seperti lafazd ‫العين‬  sering digunakan untuk arti mata,
air mengalir, sebaik-baik sesuatu, barang emas dan perak.
4)      Fenomena perubahan bentuk kata (tashrif) yang terjadi pada dua lafazd yang berdekatan
dalam satu shigat, seperti tashrif dari lafazd ‫وجد‬ masdarnya menjadi ‫وجودا‬  (ada), ‫وجدانا‬  (emosi)
dan ‫موجدة‬  (marah) dan ‫وجدا‬  (cinta).

B.      Perbedaan Pendapat Tentang Musytarak (Homonim)


Beberapa ahli memberi batasan mengenai homonim. Homonim yaitu kata-kata yang
mempunyai bentuk yang sama tetapi artinya berbeda (Keraf, 1980 : 130). Homonim ialah dua
ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama ejaannya/tulisannya (Parera, 2004).
Sedangkan (Aminudin, 1985 : 24) mengatakan bahwa homonim adalah beberapa kata yang
memiliki ujaran yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda.
Menurut ulama Ushul fiqh, antara lain :
‫اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر داللة على السوأ عند اهل تلك اللغة‬
            Artinya: “Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda,
dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut”
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
‫لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل‬
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda
batasannya dengan jalan bergantian”
Berikut contoh homonim  dalam bahasa Arab:
 Kata dharaba mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak;
(5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba
yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
 Kata tawallâ mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri;
(4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai
sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
  Kata rusyd mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata
rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
  Kata qabadha mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan: (4)
menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang
mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.[3]
Contoh dalam bahasa Indonesia : kata genting dan jarak.
-genting
(1)   Karena perang, kota itu tampak sangat genting (genting = gawat)
(2)   Kakak sedang memperbaiki genting yang bocor (genting = atap)
- jarak
(1)   Ayah sedang menanam pohon jarak di belakang rumah (jarak = pohon)
(2)   Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh (jarak = ukuran)

C.      Hubungan antara Musytarak (Hiponim) dengan Mutawathi’ (Polisemi)


Polisemi menunjukan bahwa satu kata memiliki lebih dari satu makna (Jajasudarma :
2009:64) . Sedangkan menurut Faiza (2008:73) polisemi berkaitan dengan  kata atau frasa yang
memiliki beberapa makna  yang berubungan. Hubungan ini disebut  polisemi. Suatu kata atau
suatu ujaran disebut Polisemi jika satu kata memiliki lebih dari satu makna. Sedangkan
Homonim yaitu relasi makna antara yang ditulis sama dengan yang dilafalkan, tetapi maknanya
berbeda.
Sebuah kata dikatakan polisemi jika kata itu mempunyai lebih dari satu makna. Pendapat
Ninda  dalam Jajasudarma (2009:66) yang dikembangkanya dalam rangka idenfikasi morfem
homofon dapat membntu memisahkan homopon dengan olisemi: “Makna-makna yang saling
berhubugan dari bentuk ang sama dapata dianggap satu morfem dengan makna banyak, jika
perbedaan maknaya sejajar dengan perbedaan disribusi”.
BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
Secara etimologi kata, homonim berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang berarti
“nama” dan homo yang berarti “sama”. Secara harfiah homonim diartikan sebagai nama yang
sama untuk benda atau hal lain (Chaer, 2002 : 93).
Perubahan Musytarak, meliputi :
1.    Faktor internal meliputi:
a.    Perubahan dari segi pelafalan.
Perubahan dari segi pelafalan mencakup atas pertukaran posisi huruf  (dari segi morfologi/
shorof ) dan pergantian huruf atau ibdal.
b.    Perubahan dari segi makna.
            1) Perbedaan dialek arab terdahulu,
            2) Perkembangan bunyi,
            3) Perpindahan sebagian lafazd dari makna asli pada makna majazi 
            4) Fenomena perubahan bentuk kata (tashrif) yang terjadi pada dua lafazd  yang berdekatan dalam
satu shigat,
DAFTAR PUSTAKA

-Aminuddin. 1988. Semantik-Pengantar Studi tentang Makna. Bandung:    C.V.  Sinar Baru.

-Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002)

-Parera, J.D. 2004. Teori Semantik-Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.


-Taufiqurracman. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press, Cet. I 2008
-Verhaar, J.W.M, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gajah Mada Unuversity Press,
1996)

                        1Taufikqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang, UIN-Malang Press,


2008) h. 23
[2] Op. cit. Mansoer Pateda. h. 222
[3] Op. cit. Taufikqurrachman. h. 67

Anda mungkin juga menyukai