Anda di halaman 1dari 15

Bab I

PENDAHULUAN

Agama Islam adalah agama yang dianut oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia. Sehingga Islam dalam kahidupan kaum muslimin menjadi way of life yang
diyakini dapat menjamin dan membimbing untuk meraih kebahagiaan hidup didunia dan
diakhirat kelak. Al-Qur’an sebagai dasar yang pertama dan paling utama menjadi pegangan
umat Islam memiliki satu sendi utama yang essensial: yaitu berfungsi memberi petunjuk ke
jalan yangsebaik-baiknya. Petunjuk-petunjuk yang diberikan
Al-Qur’an dalam bentuk aqidah, syari’ah dan akhlak (Muamalah); dengan jalan
meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut. Dan Allah SWT
menugaskan rasul saw untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar- dasar itu.
Selanjutnya semua keterangan-keterangan yang disampaikan rasulullah itu disebut hadis atau
sunnah. Sementara Hadits atau sunnah Nabi saw telah disepakati oleh mayoritas ulama dan
umat Islam sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Qur’an. Berbeda dengan al-
Qur’an yang semua ayat-ayatnya disampaikan oleh Nabi saw secara mutawatir dan telah ditulis
serta dikumpulkan sejak zaman Nabi saw masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak
zaman khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, sebagian besar hadis Nabi saw tidaklah diriwayatkan
secara mutawatir dan pengkodifikasiannya pun baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin
Abdul Azis, salah seorang khalifah Bani Umayyah. Hal yang disebutkan terakhir, didukung
oleh beberapa faktor lainnya, oleh sekelompok kecil (minoritas) umat Islam dijadikan
sebagai alasan untuk menolak otoritas hadis-hadis Nabi saw sebagai hujjah atau sumber
ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. Dalam wacana ilmu hadis, dikenal dengan
kelompok Inkar al-Sunnah. Kelompok ini dan faham-fahamnya berkembang timbul tenggelam
dalam sejarah umat Islam menjadi kelompok minoritas Untuk membuka wawasan secara
global tentang wacana pengingkaran terhadap sunnah rasulullah saw, maka dalam makalah
singkat ini akan dibahas tema tentang Ingkar Sunnah, mulai dari pengertian, tokoh, sejarah
argumentasi, serta bantahan argumen pengingkar Sunnah.
Bab II
PENGERTIAN

Ingkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa,
artinya “menolak atau mengingkari”, berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah,
menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau
tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif
Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan
dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai
sumber san dasar syari’at Islam.
Jadi, Ingkar sunnah adalah gerakan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak atau
enggan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, mereka hanya berpegang kepada al-Quran saja,
ada juga menyebut inkar sunnah dengan munkir sunnah, jadi inkar sunnah adalah kelompok dari
kalangan umat Islam yang menolak ototritas dan kebenaran sunnah sebagai hukum dan sumber
ajaran Islam.

SEJARAH
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah” sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin
Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu
mengajarkannya, tetapi cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan
tersebut Imran menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat
misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah saw. Mendengar
penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan
argumen pengukuhan baru muncul pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa
Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang
berpandangan tidak percaya terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak
menggunakannya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok
tersebut tampil secara terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah
al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya menggunakan
al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik dalam masalah akidah
maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam tiga kelompok, yaitu :
1. Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan
petunjuk al-Qur’an.
3. Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan hanya menerima Sunnah yang
berstatus Mutawatir.
Dilihat dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan
kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan Sunnah
sebagai hujjah. Para ahli hadits menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar Sunnah.
- Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara totalitas
Banyak alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya,
baik dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan rasio.
Diantara ayat-ayat al-Qur’anyang digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total
adalah surat an-Nahl ayat 89 :

‫ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ‬


“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu….”
Kemudian surat al-An’am ayat 38 yang berbunyi:

...‫ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ‬....


“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
Menurut mereka kepada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup
segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah.
Bagi mereka perintah shalat lima waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah
ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik
dan tentunya al-Qur’an tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
- Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan hanya menerima hadits Mutawatir.
Untuk menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai
dallil yaitu, surat Yunus ayat 36:

‫ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻰﻨ ﻤﻦ ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ‬


“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan
hujjah atau pegangan dalam urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus
didasarkan pada dalil yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh
karena itu hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau
sumber ajaran Islam.
2. Ingkar Sunnah pada Periode Modern
Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20)
yang terkenal adalah :

·Taufik Sidqi (w. 1920) dari Mesir

·Ghulam Ahmad Parvez dari India

·Rasyad Khalifah kelahiran Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan

·Kasasim Ahmad mantan ketua partai Sosialis Rakyat Malaysia

Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan.


Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar sunnah
pada periode klasik.
Tokoh-tokoh “ Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah :

·Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia)

·Dadang Setio Groho (karyawan Inilever)

·Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf Muslim Tanah Tinggi) dan

·Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang Panjang).

Sebagaimana kelompok ingkar sunnah klasik yang menggunakan argumen baik dalil
naqli maupun aqli untuk menguatkan pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah
Indonesia. Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :

‫َﻮﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ‬


Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Siapakah yang benar haditsnya dari pada
Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:

‫ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ‬


Menurut mereka arti ayat tersebut adalah “Maka kepada hadits yang manakah selain
firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
Selain kedua ayat diatas, mereka juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul
kepadaumat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-
ayat al-Qur’an akan dicabut oleh Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul
pendusta dan yang durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan
ayat-ayat al-Qur’an, Nabi
Hanya bertugas menyampaikan.
C. Lemahnya Argumen Para Pengingkar Sunnah
Ternyata argumen yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi para pengingkar sunnah
memiliki banyak kelemahan, misalnya :
Pada umumnya pemahaman ayat tersebut diselewengkan maksudnya sesuai dengan
kepentingan mereka. Surat an-Nahl ayat 89 yang merupakan salah satu landasan bagi kelompok
ingkar sunnah untuk maenolak sunnah secara keseluruhan. Menurut al-Syafi’I ayat tersebut
menjelaskan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global, seperti dalam kewajiban shalat,
dalam hal ini fungsi hadits adalah menerangkan secara tehnis tata cara pelaksanaannya. Dengan
demikian surat an-Nahl sama sekali tidak menolak hadits sebagai salah satu sumber ajaran.
Bahkan ayat tersebut menekankan pentingnya hadits.
Surat Yunus ayat 36 yang dijadikan sebagai dalil mereka menolak hadits ahad sebagai
hujjan dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istilah zhanni adalah tentang keyakinan
yang menyekutukan Tuhan. Keyakinan itu berdasarkan khayalan belaka dan tidak dapat
dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Keyakinan yang dinyatakan sebagai zhanni pada ayat
tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak da kesamaannya dengan tingkat kebenaran
hasil penelitian kualitas hadits. Keshahihan hadits ahad bukan didasarkan pada khayalan
melainkan didasarkan pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.

A. Bantahan atas argumen-argumen pengingkar sunnah


Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Ingkarus Sunnah (penentang As-Sunnah) tidak dapat
dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut Imam al-Au-za’i rahimahullah
bahwa yang dimaksud Al-Qur-an menerangkan segala sesuatu, yakni menerangkan dengan
penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Qur-anul
Karim kepada umat manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ‫الذ ْكَر لِتَُبنِّي َ لِلن‬


‫َّاس َما نُِّز َل ِإلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيَت َف َّك ُرو َن‬ ِّ ‫ك‬َ ‫َأنزلْنَا ِإلَْي‬
َ ‫َو‬
“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu agar engkau jelaskan kepada manusia tentang
apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl/16: 44]

Kata Imam asy-Syafi’i, “Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam Al-Qur-an
mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai sumber yang dijabarkan
dalam berbagai cabang hukum (furu’). Hal ini diterangkan dalam Al-Qur-an oleh Allah kepada
makhluk-makhlukNya yang mengandung berbagai segi:

Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu wudhu’, shalat,
zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji secara terang-terangan atau
tersembunyi, seperti larangan zina, minum-minuman keras, makan bangkai, makan darah, dan
daging babi. Demikian pula disebutkan tata cara wudhu’ dan sebagainya.
Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur-an dijelaskan melalui lisan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya jumlah raka’at shalat, nishab dan waktu
zakat, serta ketentuan lainnya yang belum dijabarkan dalam Al-Qur-an.
Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta selalu berpedoman kepada hukumnya.
Barangsiapa yang telah melaksanakan ketentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti
ia menerima ketentuan Allah.
Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar bersungguh-
sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka dalam berijtihad
sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan firman
Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an sebagai sumber hukum, pasti akan menjadikan As-Sunnah
sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫انت ُهوا‬
َ َ‫ول فَ ُخ ُذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َعْنهُ ف‬
ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫َو َما آتَا ُك ُم‬
“…Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah…” [Al-Hasyr/59: 7]

ِ ِ ِ َ ‫فَاَل وربِّك اَل ي ِمنو َن حىَّت حُي ِّكم‬


ً ‫ت َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسل‬
‫يما‬ َ َ‫يما َش َجَر َبْيَن ُه ْم مُثَّ اَل جَيِ ُدوا يِف َأن ُفس ِه ْم َحَر ًجا مِّمَّا ق‬
َ ‫ضْي‬ َ ‫وك ف‬ ُ َ ٰ َ ُ ‫َ َ َ ُْؤ‬

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka
menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka
menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’/4: 65]

Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil dari
ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang yang disinyalir Allah dalam firman-Nya:

‫الد ْنيَا ۖ َو َي ْو َم الْ ِقيَ َام ِة يَُر ُّدو َن‬


ُّ ‫ي يِف احْلَيَ ِاة‬ ِ ‫ض ۚ فَما جزاء من ي ْفعل َٰذلِ َ ِ ِإ‬
ٌ ‫ك من ُك ْم اَّل خ ْز‬ ُ َ َ َ ُ ََ َ
ِ َ‫ض الْ ِكت‬
ٍ ‫اب َوتَ ْك ُف ُرو َن بَِب ْع‬ ِ ‫َأَفتُْؤ ِمنُو َن بَِب ْع‬

‫اب ۗ َو َما اللَّهُ بِغَافِ ٍل َع َّما َت ْع َملُو َن‬


ِ ‫َأش ِّد الْع َذ‬
َ َ ٰ ‫ِإىَل‬

“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
besar. Dan Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat.” [Al-Baqarah/2: 85]

B. Bantahan dan Tanggapan Dalil Kedua


Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat al-Hijr:

َ ُ‫ِإنَّا نَحْ ُن نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوِإنَّا لَهُ لَ َحافِظ‬


‫ون‬

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti memeliharanya.”


[Al-Hijr/15: 9]

Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur-an saja, melainkan mencakup


peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur-an saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫فَا ْسَألُوا َأ ْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإن ُكنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬

“Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl/16: 43]

Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan syari’at-
Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Dia
menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya
dalam menghafal, menyalin, mempelajari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka
juga tidak lupa mengadakan seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.

Imam Muhammad bin ‘Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, “Di
antara para ahli bahasa dan syari’at tidak terdapat perbedaan faham bahwa wahyu dari Allah
merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya dijamin oleh Allah Ta’ala. Segala
yang termasuk dalam jaminan Allah pasti tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun
selama-lamanya, dan tidak akan pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut”.

Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr/15: 9)
yang hanya diartikan sebagai Al-Qur-an saja. Ia berkata, “Pandangan tersebut hanyalah dusta
yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata
dzikr dalam ayat tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah
kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur-an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah merupakan wahyu
sebagai penjelasan Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫َوَأن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan kepada manusia
apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl/16: 44]

Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk


menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam Al-Qur-an yang hanya
dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada
kita selaku hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau diabaikan begitu saja,
maka sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur, dan kita tidak
mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ayat-ayat
tersebut (bila As-Sunnah tidak dijamin).

Baca Juga  Dalil-Dalil Para Penolak As-Sunnah


Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas
(Al-Hijr/15: 9), ia berkata: “Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari’at Rasu-lullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga Allah.”

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terpelihara ialah Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penutup para Nabi, dan syari’atnya sebagai penutup segala syari’at. Ummat manusia
diperintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari’atnya sampai hari Kiamat, dengan
demikian batallah syari’at yang menyalahi syari’at beliau. Allah tetapkan syari’at beliau serta
memeliharanya, karena suatu hal yang mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya
mengikuti syari’at yang telah lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah
sepakat bahwa rujukan asasi bagi syari’at Islam adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena kita
tidak bisa memahami Al-Qur-an dan menegakkan hujjah Allah dalam mengadili hamba-hamba-
Nya melainkan dengan risalah dan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini sebagai
pertanda bahwa pemeliharaan Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-
Sunnah. Ada satu di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy
menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala

C. Bantahan dan Tanggapan Dalil Ketiga


Dalam beberapa hadits shahih diungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyukai penulisan hadits, di antaranya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang dipakai
hujjah oleh Inkarus Sunnah. Hadits tersebut memang shahih, tetapi kita harus melihat hadits-
hadits lain yang berkenaan dengan masalah ini dan penjelasan dari para ulama. Imam an-Nawawi
menjelaskan hadits Abu Sa’id dengan membawakan beberapa pendapat, di antaranya :

Larangan penulisan yang dimaksud ialah menuliskan hadits dengan Al-Qur-an dalam satu
lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur-an.
Larangan yang dimaksud khusus bagi orang yang kuat hafalannya supaya tidak
mengandalkan tulisan. Adapun orang yang tidak kuat hafalannya, maka ia menulis.
Hadits Abu Sa’id yang melarang menulis hadits sudah mansukh dengan hadits yang
menyuruh untuk menulis.
Menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir: “Jawaban yang benar adalah larangan
penulisan sudah dihapuskan (dimansukh) dengan hadits lain yang menyuruh menulis hadits.

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menulis hadits (As-Sunnah):


1. Pada waktu Fat-hu Makkah (tahun 8 H.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah, kemudian seseorang dari Yaman yang biasa dipanggil Abu Syah berkata, “Ya
Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu beliau bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syah.”[1]

Yang dimaksud, “Tuliskanlah untukku,” kata Imam al-Auza’i ialah: “Ia minta dituliskan
khutbah yang ia dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dan kata Abu
‘Abdirrahman, “Tidak ada satu hadits pun yang paling sah tentang penulisan hadits selain hadits
ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Shahabat) menuliskan
khutbah yang ia dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

2. Kata ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, “Aku pernah menulis segala sesuatu
yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena aku ingin menghafalnya,
kemudian orang-orang Quraisy melarangku sambil berkata, ‘Apakah engkau tulis semua yang
kau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah manusia yang bersabda di kala senang dan marah?’ Lalu aku berhenti
menulis, kemudian aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau mengisyaratkan ke mulut beliau seraya bersabda:

ٌّ ‫ فَ َوالَّ ِذى نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهُ ِإالَّ َح‬، ْ‫ُأ ْكتُب‬
‫ق‬

“Tulislah, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku ini
melainkan yang haq.”[2]

3. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak seorang pun dari Shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hafalan haditsnya selain aku, dan yang hampir
sama banyaknya denganku adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, karena ia menulis.”[3]

Hadits-hadits di atas telah diamalkan oleh para Shahabat, Tabi’in, dan juga ummat yang
telah sepakat sesudah itu tentang bolehnya menuliskan hadits. Semua itu menunjukkan bahwa
hadits Abu Sa’id telah mansukh dan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu terjadi pada
awal Islam, karena dikhawatirkan tercampur antara Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam
penulisannya. Sedangkan hadits Abu Syah terjadi pada Fat-hul Makkah (di akhir-akhir hayat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), demikian juga hadits Abu Hurairah, beliau masuk Islam
pada tahun ke-7 H, kemudian terjadi ijma’ tentang penulisan dan khabar yang demikian berupa
khabar mutawatir ‘amali dari Salafush Shalih yang mudah-mudahan Allah meridhai mereka
semua.

Riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Inkarus Sunnah bahwa para Shahabat tidak
menyukai penulisan hadits, riwayat itu tidak sah, bahkan sebaliknya mereka memerintahkan
untuk menuliskan hadits.

Ada yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melarang penulisan
hadits, menurut Imam adz-Dzahabi tidak sah riwayatnya, karena dalam kenyataannya Abu Bakar
Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula
‘Umar, ‘Ali, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhum yang diriwayatkan bahwa mereka
melarang orang menuliskan hadits, riwayatnya sangat lemah derajatnya. Jika pun seandainya ada
riwayat yang sah dari mereka akan larangan menuliskan hadits, justru dari mereka pula banyak
riwayat yang memerintahkan menuliskan hadits.

Penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para Shahabat dapat
kita lihat dari nukilan riwayat-riwayat berikut ini :

1. Abu Bakar ash-Shiddiqz pernah menulis surat kepada Anas bin Malik yang isinya
memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Anas menjabat sebagai
Amil di Bahrain.

Baca Juga  Kedudukan As-Sunnah Dalam Syari'at Islam


2. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam surat-surat resmi agar kaum muslimin mengamalkannya. Dari Abu
‘Utsman, ia berkata, “Kami bersama ‘Utbah bin Farqad (di Azarbaizan), lalu ‘Umar mengirim
surat kepadanya yang berisikan beberapa hadits yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di antara surat-surat yang dikirimkan isinya ialah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

ِ ْ‫الد ْنيا مَل يْلبسه يِف ا‬


‫آلخَر ِة‬ ِ
ُ ْ َ َ ْ َ ُّ ‫س احْلَ ِر ْيَر يِف‬
َ ‫َم ْن لَب‬

“Orang-orang yang memakai sutera, maka ia tidak akan mendapatkan bagian di


akhirat.”[4]
KESIMPULAN

Dari paparan singkat diatas, maka pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Ingkar sunnah adalah paham atau pendapat perorangan atau kelompok yang menolak sunnah
nabi saw sebagai landasan hukum Islam. Sunnah yang dimaksud mulai dari sunnah yang sahih, baik
secar substansial; yakni sunnah praktis pengamalan (sunnah ‘amaliah), atau sunnah formal yang
dikodifikasikan para ulama yang meliputi perbuatan (qaulan), perbuatan (fi’lan), dan persetujuan Nabi
saw (taqriran).
2. Faham ini muncul sebagai kelompo kecil (sempalan saja) dalam sejarah perekembangannya,
sehingga faham ini tidak dapat berkembang dan tidak dapat memberikan warna.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani Abdul Khaliq, Hujjiyyah as-Sunnah, Daar al-Qur’an, Beirut.


Abdul Majid Khon,Sunnah dan Pengingkarannya diMesir Modern, Disertasi, 2004.
Abdul Majid Khon,Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013.
Abi Hilal al-Askari,Al-Lum’ah Min Al-Furiq, As-Safaqiyah,Surabaya, t.t. hlm. 2.
Ali Mustofa Ya’qub,Kritik Hadis, Cet. I.,Pustaka Firdaus,Jakarta, 1995.
As-Syaukani,Irsyad al-Fuhul ila tahaqiq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushul, Daar Asy-Sya’ab al-Ilmiyyah,
Beirut, 1999.
Ibrahim Anis,Almu’jam al-Washith, juz 3, Daar al-Ma’arif,Mesir, tahun 1972.
Jalaluddin As-Suyuthi,Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah,Daar as-Salam, Cairo, 1999.
Mahmd Abu Rayyah, Adwa’‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah,Daar al-Ma’arif, Cairo, t.t. 250.
Muhammad Abu Zahrah,Asy-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruh:Ara’uh wa Fiqhuh, Mathba’ah Al-Mahadi,
Cairo, 1996.
Muhammad Ajaj al-Khatib,Ushul al-HaditsUlumuhu waMusthalahuhu, Daar al-Fikr, Bairut, Libanon,
1992.
Quraish Shihab,Membumuikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Mizan, Bandung.
Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Djambatan, Jakarta. 1992. Al-Dzikra
Vol.9 No. 1 Januari–Juni Tahun 2015

Anda mungkin juga menyukai