Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ahlusunnah Wal-Jama’ah dalam sejarah merupakan istilah yang menjadi
nama bagi golongan kaum Muslimin yang memiliki kesamaan dalam
beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa pandangan.
Istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah ini bukan istilah yang datang dari Nabi saw
sebagai nama bagi kelompok tertentu. Tidak pernah ada, hadist shahih yang
menjelaskan bahwa istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah datang dari Nabi saw.
Istilah tersebut datangnya dari kalangan ulama salaf yang saleh, sebagai nama
bagi kaum Muslimin yang mengikuti ajaran Islam yang murni dan asli.

Dewasa ini, kita seringkali mendengar istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah


yang diklaim oleh kelompok tertentu untuk suatu kepentingan. Oleh karena
itu, sebelum menguraikan sejarah Ahlusunnah Wal-Jama’ah, kiranya di sini
perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi dan hakikat Ahlusunnah Wal-
Jama’ah, agar pembaca dapat mengetahui apa dan siapa sebenarnya
Ahlusunnah Wal-Jama’ah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep aswaja ?


2. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan aswaja ?
3. Bagaimanakah pokok-pokok aswaja ?
4. Siapakah tokoh-tokoh aswaja ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep aswaja.


2. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan aswaja.
3. Untuk mengetahui pokok-pokok aswaja.
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh aswaja.

1
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Aswaja

Secara kebahasan, Ahlusunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun


dari tiga kata.

Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.

Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti
al-thariqah (jalan dan prilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau kliru.
Sedangkan secara terminologis, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian
al-sunnah sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing. Misalnya, ulama ahli
hadist mengartikan sunnah dengan,

Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw yang meliputi ucapan, perbuatan,
pengakuan (taqrir) dan sesuatu yang bermaksus dikerjakan oleh Nabi saw.

Ulama ushul fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang berbeda. Menurut
mereka, sunnah ialah,

Sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi saw, bukan al-Qur’an, dan layak
menjadi dalil dalam menetapkan hukum-hukum agama.

Ulama ahli fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang berbeda pula.
Menurut mereka, sunnah ialah,

Sesuatu yang dianjurkan dalam agama, tanpa diwajibkan dan tanpa difardhukan.

Demikianlah istilah al-sunnah menurut para pakar, memiliki pengertian yang


berbeda sesuai dengan perbedaan disiplin keilmuan masing-masing.

Sudah barang tentu pengertian di atas bukanlah pengertian sunnah yang menjadi
maksud dalam istilah Ahlusunnah Wal Jama’ah. Sekarang, apabila pengertian di
atas bukan pengertian yang menjdi maksud dalam istilah Ahlusunnah Wal-

2
Jama’ah, lalu apakah pengertian sunnah yang menjadi maksud dalam istilah
Ahlusunnah Wal-Jama’ah berkaitan dengan perpecahan umat Islam menjadi
beberapa golongan, yang antara lain adalah golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah?
Menjawab pertanyaan ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali mengatakan,

Yang dimaksud dengan kata al-sunnah oleh para ulama yang menjadi panutan
adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi saw, dan para sahabatnyayang selamat
dari keserupaan (syubhat) dan syahwat

Pernyataan Ibn Rajab tersebut memberikan kesimpulan bahwa Ahlusunnah itu


adalah golongan yang yang mengikuti ajaran Nabi saw dan ajaran sahabatnya.
Pengertian demikian ini sebenarnya merupakan pengertian yang baku dalam
istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah di kalangan ulama. Hal ini dapat dilihat dengan
memperhatikan penyataan beberapa ulama, seperti penyataan pakar bahasa, al-
Imam Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-Husaini al-Hanafi (w.1094 H/1683 M),
yang dikutip oleh Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari berikut ini,

Sunnah seperti dikatakan oleh Abu al-Baqa’ dalam kitab al-Kulliyyat,


karangannya, secara kebahasan adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan
al-sunnah menurut istilah syara’ ialah nama bagi jalan dan prilaku yang diridai
dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah saw, atau orang-orang yang dapat
menjadi teladan dalam beragama seperti para sahabat- radhiyallahu ‘anhum-,
berdasarkan sabda Nabi saw, “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku”.

Ketiga kata al-jama’ah. Secara etimologis kata al-jama’ah ialah orang-orang


yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai tujuan, sebagai
kebalikan dari kata al-furqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan
memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, para ulama
berbeda pendapat tentang Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Pendapat tersebut ada lima
macam dan diuraikan oleh al-Syathibi dalam al-I’tisham. Berikut ini rangkuman
dari uraian al-Syathibi tersebut.

Pendapat pertama mengatakan, bahwa maksud al-jama’ah dalam istilah


Ahlusunnah Wal-Jama’ah adalah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-

3
a’zham). Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abu Mas’ud al-Anshari dan
Abdullah bin Mas’ud. Berdasarkan pendapat ini, pendapat yang diikuti oleh
mayoritas kaum Muslimin berarti pendapat yang benar. Sedangkan pendapat yang
menyalahi mereka, berarti menyalahi kebenaran.

Para imam mujtahid, para ulama dan ahli hukum yang mengamalkan hukum-
hukum agama termasuk dalam kelompok al-sawad al-a’zham di atas. Sedangkan
kalangan awam, termasuk pula golongan mereka, apabila mengikuti ajaran para
imam mujtahid dan ulama. Sedangkan kelompok yang keluar dari mainstream, al-
sawad al-a’zham, berarti dianggap kelompok yang syadz (mengucilkan diri) yang
akan mudah tersesat. Oleh karena itu, semua golongan ahli bid’ah seperti Syiah,
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Wahhabi dan lain-lain, tidak termasuk golongan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah, karena mereka keluar dari mainstream. Pendapat
pertama ini diperkuat dengan hadist,

Dari Anas bin Malik , berkata .” Aku mendengar Rasulullah saw


bersabda :”Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh
karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah
kelompok mayoritas.”

Pendapat kedua mengatakan bahwa maksud al-jama’ah adalah para ulama dan
imam yang mencapai tingkatan mujtahid, karena Allah menjadikan mereka
sebagai rujukan dan sandaran umum Muslimin dalam beragama sebagaimana
ditegaskan dalam sebuah hadits:

Ibn Umar-radhiyallahu’anhuma, dia berkata,” Rasulullah SAW bersabda,


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku pada kesesatan.”

Kata “umat” dalam hadist di atas maksudnya adalah para ulama mujtahid, bukan
orang-orang awam, karena para ulama mujtahid yang berkompeten dalam
menetapkan hukum-hukum dalam ijma’. Meski demikian, bukan berarti orang-
orang awam tidak bisa masuk dalam golongan al-jama’ah di atas yang dijamin
tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan beragama. Mereka tetap akan
masuk dalam golongan al-jama’ah tersebut dengan syarat mengikuti ajaran-
ajaran para ulama mujtahid. Di antara ulama yang berpendapat bahwa maksud

4
kata al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah, adalah para ulama
mujtahid, adalah Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin
Hanbal, Ali bin al-Madini, al-Tirmidzi dan lain-lain.

Sedangkan orang-orang ahli bid’ah, tidak dapat masuk dalam kelompok al-
jama’ah, meskipun mereka banyak ilmunya, karena kebid’ahannya menjadikan
mereka tidak boleh diikuti. Sudah barang tentu, ahli bid’ah itu tidak masuk dalam
golongan al-sawad. Al-a’zham (kelompok mayoritas), karena sebab bid’ahnya,
mereka keluar dari ijma’ ulama.

Pendapat ketiga mengatakan maksud al-jama’ah adalah para sahabat Nabi saja,
bukan generasi sesudah mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul
aziz da lain-lain. Pendapat ini diperkuat dengan Hadist,

“Dari Abdullah bin Amr, berkata: “Rasulullah bersabda, “Umatku akan


terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka
kecuali satu golongan yang akan selamat.” Para sahabat bertanya, “siapa satu
golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Golongan
yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.”

Generasi sahabat adalah Ahlusunnah Wal-Jama’ah yang murni dan asli, karena
mereka yang menegakkan tiang-tiang agama dan menancapkan ponadsinya.
Mereka juga belum pernah bersepakat pada ajaran yang keliru.

Pendapat ketiga ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin
Anas. Berdasarkan pendapat ini, kata al-jama’ah berarti seiring dengan hadist di
atas, “mereka yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” Pendapat ini
seakan-akan ini menegaskan bahwa semua hasil ijtihad para sahabat adalah hujjah
secara mutlak dan harus diikuti, berdasarkan hadist-hadist yang mengharuskan
kaum muslimin mengikuti jejak sahabat, seperti dalam hadist, “ikutilah sunnahku
dan sunnah Khulafaur rasyidin.”

Pendapat keempat mengatakan bahwa maksud al-jama’ah. adalah ijma’ kaum


muslimin terhadap suatu hukum dan prinsip, yang harus diikuti oleh pengikut
agama-agama lain, karenaijma’ mereka dijamin oleh Allah tidak akan tersesat,

5
sebagaimana dalam hadst-hadist Nabi. Namun apabila di kalangan mereka terjadi
pendapat, maka harus dicari pendapat yang benar di antara pendapat tersebut.
dalam hal ini, al-Imam al-Syafi’i berkata, “tidak akan terjadi kelalaian dari tujuan
al-qur’an, sunnah dan qiyasndalam hukum yang menjadi kesepakatan umat.
Kelalaian hanya akan terjadi dalam perpecahan.’

Pendapat ini, hampir dekat dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa
maksud al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-jama’ah adalah para ulama
mujtahid, karena kepekatan akan dapat diakui apabila terjadi di kalangan
mujtahid, bukan kalangan awam. Namun agaknya pendapat keempat ini, lebih
dekat dengan pendapat pertama, bahwa maksud al-jama’ah tersebut adalah
mayoritas kaum muslimin, dengan catatan adanya kesepakatan mereka harus
melibatkan ulama mujtahid di kalangan mereka, sehingga kesepakana itu tidak
menjurus pada ajaran bid’ah.

Pendapat kelima adalah pendapat al-imam al –Thabari, bahwa maksud al-jama’ah


tersebut adalah jamaa’ah kaum muslimin apabila bersepakat dalam memilih
seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus di baiat dan disetujui oleh kaum
muslimin yang lain, dan barang siapa yang melepaskan diri dari
kepemimpinannya maka dia keluar dari jama’ah kaum muslimin.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Aswaja

Ketika Nabi wafat, kaum muslimin bersatu dalam agama mereka jalani,
kecuali orang-orang munafik yang luarnya menyakatan islam, sedangkan hatinya
menyembunyikan kemunafikan. Klasifikasi sosial yang ada pada saat itu terdiri
dari tiga golongan.Yaitu kaum muslimin, orang kafir, dan orang munafik. Namun
begitu Nabi wafat, perselisihan di kalangan mereka segera terjadi tentang seorang
pemimpin yanh akan menjadi pengganti Nabi. Kaum Anshar mengingingkan
kepemimpinan berrada di tangan pemimpin mereka, yaitu Sa’ad bin Ubadah.
Sedangkan kaum Muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di tangan Abu
Bakar. Sementara kalangan Bani Hasyim dan Abu Sufyan bin Harb, emnghendaki
kepemimpinannya berada di tangan Ali Bin Abi Thalib. Namun akhirnya,
kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi

6
dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk
memilih Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah.Hal ini terjadi dalam perhelatan
politik pertama mereka di Saqifah Sa’idah.

Dari hasil penyaringan yang seksama terhadap beragam riwayat dalam


sejarah tentang peristiwa di Shadiqah Bani Sa’idah, dapat dibaca bahwa
pembaiatan Khalifah Abu Bakar al-shidiq mengekspresikan tingginya nilai-nilai
keimanan para sahabat Nabi. Hal ini bisa dilihat dengan mempeerhatikan realita
sejarah yang ada, bahwa meskipun Abu Bakar berasal dari Marga paling lemah di
kalangan suku-suku Quraisy, namun secara aklamasi para sahabat membaiatnya
sebagau khalifah, berdasarkan pertimbangan posisi Abu Bakar dalam islam yang
sangat penting dan kedudukannya yang istimewa di sisi Nabi. Unsur-unsur
fanatisme kesukuan, lenyap dan sirna dalam proses pembaiatan Abu BAkar. Yang
ada hanya perwujudan dari nilai-nilai keimanan dan keislaman dari jiwa para
sahabat yang bersih dan tulus.Sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa Saqifah
adalah awal persatuan kaum Muslimin.

Melalui persatuan yang kokoh, antara para sahabat Nabi yang


mendahulukan nilai-nilai keimanan dan keislaman dari jiwa mereka yang bersih
dan tulus, dibawah komando Khalifah abu Bakar al-Shiddiq, mereka bahu-
membahu memperjuangkan islam dengan menumpas beberapa suku Arab yang
menyatakan menolak untuk menyerahkan zakat kepada khalifah. Kemudian
memerangi Thulailah bin Khuwailid al-Saidi yang menyatakan murtad dan
emngaku sebagai nabi di yaman, hingga akhirnya Thulailah menderita kekalaan
dan melarikan diri ke Syam. Dia kembali lagi masuk islam pada masa khalifah
Umar dan mengikuti perang al-Qadisiyah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash,
kemudian mengikuti perang di Nahawand dan meninggal disana sebagai Syahid.

Selesai memerangi Thulaihah, kaum muslimin melanjutkan perjuangannya


dengan memerangi Musailimah al-kadzzab yang mengaku Nabi di negeri
Yamamh, memerangi Sajah binti al-hariti seorang perempuan yang juga mengaku
sebagai Nabi dan menjadi istri Musailimah, dan kemudian memerangi al-Aswad
bin Zaid al-Ansi, dalam meneggakan panji-panji islam belum terhenti hingga

7
akhirnya menumpas semua suku-suku Aran yang menyatan murtad pasca
wafatnya Nabi.

Setelah Abu Bakar al-Shiddiq wafat, khalifah berpindah ke tangan Uamr


bin al-Khatab, sahabat Nabi terbaik setelah abu bakar. Pada masa pemerinyahan
Umar, Islam semakin kuat dan negeri Muslimin semakin luas berkat proses
penyebaran islam yang berjalan dengan efektif dengan di taklukkannya negeri
Persia dan Romawi, dua Negara terbesar di dunia pada saat itu, dan kemudian
ditaklukannya negeri-negeri di sekitarnya ke bawah naungan Daulah Islamiyah
dalam proses sejarah yang dikenal dengan istilah al-futuhat al-Ialamiyah
(penakluk-penakluk Islam).hingga akhirnya khalifah umar menemui ajalnya
setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitu Abu Lu’lu’ah al-Majusi.

Setelah umar wafat, khalifah berpindah ke tangan Utsman bin affan,


menantu Nabi yang menyandang gelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), yaitu
satu-satunya orang yang menikahi dua putri sorang Nabi, Ruqqayah dan Ummu
Kultsum.Dari jalur ibunya, arwa binti kuraiz yang masih sepupu Nabi.

Utsman bin affan di baiat sebagai khalifah berdasarkan hasil rapat tim
formatur yang dibentuk olaeh umar mrenjelang wafatnya. Ti formatur tersebut
beranggotakan enam orang yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurahman bin auf, Sa’ad bin abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin al-awwam. Abdullah bin umar hadir dalam beberapa kali siding tim formatur
tersebut untuk memberikan pendapat tanpa memiliki hak untuk di calonkan
sebagai khalifah dan tidak memiliki hak suara untuk mendukung salah satu calon.
Melalui rapat tim formatur tersebut,Abdurrahman bin auf selaku ketua tim,
akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan setelah menerima
masukan dari kalanga Muhajirin dan anshar serta para perwira tentara yang
kebetulan pada saat itu menunaikan haji bersama khalifah umar.

Setelah di baiat sebagai khalifah, Utsman bin Affan menjalankan roda


pemerintahannya mengikuti jejak dua khalaifah sebelumnya, Abu Bakar dan
Umar. Dia juaga melanjutkan ekspansi Daulah Islamiyah hingga menaklukkan
Armenia di arah timur dan hingga ke Maroko di arah barat. Perlu dikemukakan di

8
sini, bahwa sampai saat itu, kaum muslimin masih dalam suasana harmonis dan
bersatu dalam bidang ideology, seperti menyangkut soal-soal keadilan (al-adlu)
dan tauhid, al-wa’d wa al- wa’id (janji dan ancaman Allah). Dan semua soal-soal
yang dianggap prinsip (ushul al-din) dalam agama.Perbedaan yang terjadi pada
saat itu, hanya seputar hokum-hukum amaliah seperti tentang warisan, halal dan
haram, dan lain-lain yang tidak berakibat pada penilaian sesat dan fasik terhadap
pihak yang berbeda pendapat. Suasana kondusif dan harmonis tersebut berjalan
sekitar selama 18 tahun sejak wafatnya Nabi, yaitu sejak masa pemerintahan Abu
Bakar, Umar dan 6 tahun pertama dari masa pemerintahan Utsman.

Setelah 6 tahundari masa pemerintahan Utsman bin Affan, friksi internal


dan gejolak politik sekitar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul ke
permukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi
tersebut, unsur-unsur majusi dan yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan
suasana, sehingga lahirlah berbagai kekacauan dan beragam propaganda dengan
membawa kepentingan menurunkan Khalifah Utsman dari jabatannya melalui
gerakan yang dibungkus dalam kemasan amar ma’ruf dan nahi munkar.Sehingga
hal tersebut berakhir dengan terbunuhnya khalifah Utsman di tangan kaum
pemberontak.

Kemudian khalifah berpindah ke tangan Ali bin Abi Thalib, menantu dan
sepupu Nabi, serta sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman, namun, beragam
kekacauan yang terjadi pada masa Utsman, sangat berpengaruh terhadap
pemerintahan Ali Bin Abi thalib. Pada msa pemerintahan Ali, terjadi perang
saudara besar-besaran Ali dengan Kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam
perang jamal. Kemudian terjadi perang Shiffin dengan kelompok Muawiyah bin
abi Sufyan, gubernur Syam pada masa dua khalifah sebelumnya. Dan akhirnya
Ali bin Abi Thalib terbunuh di tanagn Abdurrahman bin Muljam al-Muradi pada
tahun 40 H. kemudian kekhalifahan berpindah ke tangan Muawiyah bin Abu
Sufyan, setelah Sayidina hasan bin Ali menyerahkan khalifah kepada muawiyah,
untuk melindungi darah kaum muslimin dan tercapainya persatuan umat.

Pada masa pemerintahan ali bin Abi Thalib,muncul satu kelompok dari
pengikut Ali, yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran

9
Khawarij. Sebenarnya aliran khawarij ini pada awalnya memerankan suatu aliran
politik yang sangat radikal.Hanya saja, persoalan ini mengalami dinamika dan
berubah menjadi persoalan ideologis.Khawarij berpandangan bahwa seorang
khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum muslimin.Seorang khalifah tidak
harus seorang yang berasal dari kalangan suku Quraisy saja. Khalifah tidak boleh
mengundurkan diri atau melakukan proses arbitrase (tahkim). Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengalaman, sehingga
keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengalaman.Oleh karena itu,
khawarij mengkafirkan pelaku dosa.Berangkat dari panfdangan politik mereka
yang radikal ini.Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah,
Muawiyah dan pengikut mereka dalam perang jamal dan Shiffin adalah
kafir.Khawarij hanya mengaku khalifah Abu Bakar dan Umar.

Pada masa sayidina Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah
(Syiah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali
adalah Tuhan.Sehingga Sayidinah Ali membakar sebagian dari mereka hidup-
hidup, dan mendeportasi sisanya ke daerah Sabath di Madain.Kemuadian ajaran
Abdullah bin saba’ ini dilanjutkan oleh golongan Syiah yang terpecah menjadi
tiga golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan ismailiyah. Sebenarnya,
ajaran Syiah ini berangkat dari persoalan politik, bahwa Ali bin Abi Thalib dan
keturunanya lebih berhak menjadi khalifah daripada siapa pun dengan adanya
nash dari Nabi. Kelompok Syiah yang ekstrem seperti Imamiyah dan Ismailiyah,
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali empat orang.

Setelah benturan pemikiran antara aliran Syiah dan Khawarij semakin


keras pasca terjadinya proses arbitrase antara Ali dan Muawiyah, dimana aliran
khawarij mengkafirkan Utsman, Ali, muawiyah dan orang-orang yang menyetujui
arbitrase, sementara aliran Syiah mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman dan
orang-orang yang membela mereka. Kedua aliran tersebut juga mengkafirkan
kelompok Bani Umaiyah dan memandang mereka sebagai kelompok yang
jahat.Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang enggan
mempersoalkan konflik yang telah terjadi. Kelompok ini memiliki identitas
pandanagan tersendiri, dengan satu ide yang tidak memihak sana dan sini, bahwa

10
semua pihak yang bertikai, seperti Utman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair dan
Muawiyah adalah sama-sama beriman meskipun sebagian mereka ada yang salah
danada yang benar.Menrut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan
mana pihak yang salah dan amna pihak yang benar, maka kita harus
mengembalikan perssoalan itu kepada Allah.Menurut mereka bukanlah kelompok
yang bertikai itu telah mengucapkan Syahadat?Dengan pandanagn ini, kelompok
tersebut akhirnya dinamakan aliran Murjiah (kelompok yang mengembalikan
persoalan kepada Allah). Kemudian kajian mereka mengalami dinamika, hingga
memasuki soal-soal keagamaan, seperti mendefinisikan iman dengan mengetahui
Allah dan rasul-Nya. Kemudian mereka sekamin ekstrem dengan berpandangan
bahwa iman itu hanyalah keyakinan saja, sedangkan amaliah tidak memiliki peran
sama sekali dalam iman. Sampai akhirnya mereka mengeluarkan pernyataan yang
sangat popular, la tadhurru ma’a al-iman ma’shiyatun kama la tanfa’u ma’a al-
kufri tha’atun (kemaksiatan tidak akan membahayakan seseorang selama dia
masih beriman, sebagaimana amal baik tidak akan bermanfaat selama dia masih
kafir). Aliran murjiah ini menjadi musnah setelah runtuhnya kekuasaan bani
Umaiyah.Sebenarnya ide aliran ini menjadikan pengikutnya selalu bersikapnetral,
tidak anti dan tidak pro penguasa.Oleh karena itu, aliran Murjiah ini lebih
cenderung toleran terhadap penguasa bani umaiyah dan Abbasiyah.

Termasuk kelompok murjiah adalah sekte Jabariyah dan jahmiyah yang


dipimpin oleh Jahm bin Shafwan (w. 128 H/746 M), sekte Bakriyah yang
dipimpin oleh Bakr keponakan Abdul wahid bin Zaid. Dan sekte Dhirariyah yang
dipimpin oleh Dhirar bin Amr al-kufi (w. 230 h/845 M). ketiga sekte ini lahir
bersamaa dengan lahirnya sekte Mu’tazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’.

Kemudian pada akhirinya generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah yang


membicarakan qada’ dan qadar Allahserta seputar kebebesan manusia(al-jabr wa
al-ikhtiyar). Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena
rencananya sendiri, bukan karena taqdir Tuhan. Kelompok ini dipimpin oleh
Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Damasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Pandangan mereka
pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Malik, Abdullah bin

11
Abbas, Abdullah bin Abi Aufa, Jabir al-Anshari, Anas bin Malik, Abu Hurairah,
Uqban bin Amir dan lain-lain.

Pada masa al-Imam al-hasan al-bashri lahir kelompok Mu’tajilah yang


dirintis oleh Washil bin Atha’ al-Ghazzal yang membawa faham Qadariyah dan
Manzilah baina al-manzilatain (tempat antara dua tempat). Ajaran Washil bin
Atha’ ini diikuti oleh Amr bin Ubaid bib Bab. Sehingga kedua orang ini diusir
oleh al-Hasan al-Bashri dan majlisnya. Aliran ini berpandangan bahwa seseorang
muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir, dan di
akhirat nanti dia akan kekal di neraka bersama denagn orang-orang kafir.

Pada masa khalifah al-makmum, muncul aliran Najjariyah pengikut


Husain bin Muhammad al-Najjar yang mengadopsi sebagian faham Qadariyah
dan faham Ahlusunnah Wal-Jama’ah pada saat itu juga muncul aliran kebatinan
pengikut Hamdan ulama aliran kebatinan ini termasuk golongan Islam, akan tetapi
masuk golongan Majusi.

Pada masa Gubernur Muhammad bin Thahir, di Khurasan muncul aliran


Kammariyah, yang didirikan oleh Muhammad bin Karram al-Sijistani (w.
255H/814 M). yang menyebarkan ideology Tajsim (faham bahwa Tuhan itu
menyerupai makhluk). Menurut para pakar, sebenarnya ideology tajsim dan
tasybih itu berkembang secara bertahap. Orang pertama yang sangat ekstrem
dalam faham tajsim dan tasybih adalah Abdullah bin Saba’. Kemudian sekte
Bayyaniyah, pengikut Bayyan bin Sam’an al-Tamimi (w. 119 H/737 M) yanag
berpandangan bahwa Tuhan itu berupa cahaya, bentuknya seperti manusia,
memiliki organ Tubuh seperti manusia, dan semua organ tubuhnya akan fana
kecuali wajahnya.

Pada pemerintahan Baulah Utsmaniyah, lahir aliran Wahhabi yang dirintis


oleh Muhammad bin abdul Wahab al-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M). aliran
Wahhab ini mengadopsi ajaran-ajaran Ibn Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-
1328M) yang keluar dari mainstream seperti larangan ziarah ke makam Nabi.
Larangan tawasul dengan para Nabi dan wali, pengkafiran kaum muslimin selain

12
golongannya dan lain-lain.Disamping itu, aliran ini juga mengadopsi radikalisme
aliran khawarijj pada masa awal Ialam.

Lahirnya Nama Ahlusunnah Wal-Jama’ah

Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa
khalifah Utsman bin Affan, kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang murni dan asli bermunculan satu demi satu, seperti aliran khawarij,
Murjiah, Saba’iyah (Syiah), dan Qadariyah, maka pada periodeakhir generasi
sahabat Nabi. Istilah Ahlusunnah wal-jama’ah mulai diperbincangkan dan
dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran
Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar
dari mainstream. Hal ini dapat kita buktikan dengan memperhatikan beberapa
riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlusunnah wal-Jama’ah diriwayatkan
dari sahabat Nabi generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn Abbas, Ibn
Umar dan Abi sa’id al-Khudri.

Dalam hadist tersebut, Ibn Abbas (3 SH-68 H/619-688 M) sahabat Nabi


yang terkenal alim dan pakar dalam tafsir al-Quran al-Karim, mengatakan :

“Ibn Abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah: “Pada hari yang di
waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam
muram. “(QS. Ali-Imran : 106). “adapun orang-orang yang wajahnya
putih berseri, adalah pengikut ahlusunnah wal-Jama’ah dan orang-
oranng yang berilmu, sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam
muram, adalah pengikut bid’ah dan kesesatan.”

Pada masa generasi tabi’in dan ulama salaf sesudahnya, istilah


Ahlusunnah wal-jama’ah semakin popular dan diperbincangkan oleh ulama-ulama
terkemuka, seperti khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz (61-110H/681-720
M), al-Imam al-Hasan bin Yasar al-bashri (21-110 H/642-729 M), al-Imam
Muhammad bin Sirin (33-110 H/654-729 M), al-Imam al-Sufyan bin Sa’id al-
Tsauri (997-161 H/715-778 M), al-Imam al-Malik bin Anas (93-179 H/712-795
M), pendiri Mazhab Maliki, dan lain-lain.

13
Di sisi lain, istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah memiliki dua sasaran obyek
yang berbeda. Pertama, istilah Ahlusunnah Wal-Jama;ah dalam konteks yang
bersifat umum, yaitu menjadi nama bagi mereka yang bukan pengikut aliran
Rafidhah (Syiah). Dalam konteks ini,aliran-aliran yang bersangkutan dengan
Syiah dapat dikatakan sebagai pengikut Ahlusunnah Wal-Jama’ah seperrti aliraan
Mu’tazilah,Murjiah, Karramiyah, Wahhabi, dan lain-lain. Kedua, istilah
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dalam konteks ajaran Nabi dan sahabat secara penuh.
Dalam konteks ini, aliran-alirang yang menyimpang dari ajaran Nabi dan sahabat
tidak dapat dikatakan Ahlusunnah Wal-Jama’ah seperti Mu;tazilah, Murjiah,
Karramiyah, Wahhabi, Syiah dan lain-lain. Aliran yang dapat dikatakan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dewasa ini adalah, aliran dalam bidang fiqih mengikuti
salah satu madzab yang empat dan dalam bidang akidah mengikuti Madzab al-
asy’ari dan al-Maturidi.

2.3 Pokok-pokok Aswaja

Pokok-pokok keyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan lain-lain


menurut ahlusunnah wal-Jama’ah harus dilandasi oleh dalil dan argumentasi yang
definitive (qath’i) dari al-qur’an. Hadist, ijma’ ulama dan argumentasi akal yang
sehat. Para ulama yang menulis karangan-karangan dalam membantah aliran-
aliran ahli bid’ah dan kelompok-kelompok yang menyimpang selalu didasarkan
pada dalil-dalil tersebut secara hirarkis. Dalam konteks ini al-imam al-Ghazali
mengatakan :

Ahli Nazhar (nadir) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dengan hadist-hadist Rasul,
terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi
analogis.

Demikian pendapat yang berbeda seputar maksud al-jama’ah dalam istilah


Ahlusunnah Wal-jama’ah. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, sejauh
manakah letak perbedaan antara kelima pendapat tersebut.

Para ulama membagi perbedaan pendapat dalam hal penafsiran teks


menjadi dua macam. Pertama, ikhtikaf tadhad (perbedaan diametral), dimana

14
pendapat yang satu menafikan terhadap pendapat yang lain. Kedua, ikhtikaf
tanawwu’ (perbedaan varian), di mana pendapat yang satu tidak menafikan
terhadap pendapat yang lain bahkan antara pendapat yang satudengan pendapat
yang lain akan saling melengkapi, misalnya beberapa pendapat itu menyebutkan
varian yang berbeda di antara beberapa varian dari satu esensi yang sama.
Kebanyakan, perbedaan dalam penafsiran teks di kalangan ulama salaf adalah
perbedaan yang kedua, yaitu ikhtikaf tanawwu’. Oleh karena itu, berkaitan dengan
lima pendapat yang berbeda tersebut, al-Syathibi sendiri menganggap perbedaan
tersebut masih tergolong bagian yang kedua, yaitu ikhtikaf tanawwu’, di mana
pendapat yan g satu tidak menafikan terhadap pendapat yang lain, bahkan satu
sama lain saling melengkapi, di mana masing-masing pandangan itu, merupakan
bagian dari esensi makna al-jama’ah. Kesimpulan dari pernyataan al-Ayathibi
tentang lima pendapat tersebut adalah sebagai berikut,

Pertama, kata al-jama’ah kembali pada kesepakatan kaum muslimin


tehadap kepemimpinan seorang pemimpin yang sesuai dengan al-Quran dan
sunnah. Sehingga kepemimpinan yang tidak mengikuti sunnah sudah barang tentu
keluar dari esenssi al-jama’ah yang terdapat dalam hadist-hadist Nabi, seperti
kepemimpinan di kalangan khawaraj dan sesamanya.

Kedua, kata al-jama’ah kembali pada ajaran yang diikuti oleh golongan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dalam memegang sunnah dan menghindari bid’ah, baik
al-jama’ah yang ditafsirkan dengan makna kelompok mayoritas (al-sawad al-
a’zham), para imam mejtahid, para sahabat Nabi, mengikuti ij,a’ kaum muslimin
atau mengikuti sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Esensi kelima pendapat
tersebut adalah maksud dengan al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-
Jama’ah.

2.4 Tokoh-tokoh Aswaja

Diantara tokoh-tokoh Ahlusunnah wal-Jama’ah, ialah :

1. Ali binAbi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M). Dia pernah berdebat denagn
Khawarij seputar al-wa’du wa al’-wa’di (janji dan ancaman Allah), dan

15
berdebat dengan Qadariyah seputar Qadha’ qadar (kepastian Allah),dan
kebebasan Allah (al-masyiah wa al-istitha’ah).
2. Abdullah bin Umar (w. 37 H/657 M). Dia pernah membicarakan soal
Qadariyah dan menyatakan memutushubungan dengan pemimpin
Qadariyah, Ma’bad al-Juhani.
3. Abdullah bin Abbas (3 SH-68 SH/619-678 M). Dia pernah berdebat
dengan khawarij dan berhasil mengembalikan 4000 orang dari mereka ke
Ahlusunnah Wal-Jama;ah.
4. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M). Dia telah menulis risalah
rasulullah khusus tentang ajaran Ahlusunnah wal-Jama’ah dalam
membantah ajaran Qadariyah.
5. Amir bin Syarahil al-sya’bi (19-103 H/640-721 M). Dia ulama paling
keras terhadap Qadariyah dan Rafidhah (syiah).
6. Al-hasan bin Yasar al-Basri (21-110H/642-728 M). Dia menulis surat
kepada Umar bin Abdul aziz yang isinya mengecam Qadariyah. Dia juga
mengusir Washil bin Atha’ dan majlisnya setelah menampakkan
bid’ahnya.
7. Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (79-122 H/698-740 M).
Dia menulis kitab bantahan terhadap Qadariyah berdasarkan dalil-dalil al-
Qur’an
8. Muhammad bin Muslim bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri (58-124 H/678-
742 M). Dia berfatwa bahwa kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan
tentang halalnya darah kaum Qadariyah.
9. Ja’far bin Muhammad al-Shadiq ( 80-148 H/699-767 M). Dia menulis
bantahan terhadap Qadariyah, Khawarij dan Rafidhah (Syiah)..
10. Abu Hanifah al-Nu’manmbin Tsabit (80-150 H/699-767 M). Dia menulis
tetntang bantahan terhadap Qadariyah dalam kitab al-fiqih al-akbar
11. Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (97-161 H/716-778 M).
12. Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/712-795 M).
13. Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari (113-182 H/731-798 M). Dia
murid Abu Hanifah yang pernah berfatwa bahwa Mu’tazilah itu termasuk
golongan zindiq.

16
14. Muhammad bin Hasan al-Syahbihi (131-189 H/748-804 M). Dia murid
Abu Hanifah pernah berfatwa bahwa shalat di belakang orang Qadariyah
yang berpendapat al-quran itu makhluk, tidak sah dan harus diulangi.
15. Sufyan bin Uyainah (107-198 H/725-814 M).
16. Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-204 H/ 767-820 M). Dia menulis
kitab berjudul Tashih al-nubuwwah wa al- Radd’ala al-barahima
(pembenaran adanya kenabian dan bantahan terhadapa ajaran Hindu ) dan
kitan al-Radd’ ala ahl al-Ahwu.
17. Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Panutan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dan pernah berdebaddengan Mu’tazilah.
18. Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-251 H/810-870 M). Pengarang
Shahih al-Bukhari
19. Muhammad bin jarir al-Thabari224-310 H/839-923 M).
20. Al-Harits bin asad al-Muhasibi (w. 234H/857M). Dia menulis banyak
karangan dalam bidang teologi hokum, hadist dan tasawuf.
21. Abu Ali al-Husain bin al-Karabisi (w. 248 H/862 M). Pakar ilmu fiqih dan
teolog.
22. Dawud bin Sulaiman al-Asbhihani (201-270 H/816-884 M). Pendiri
Madzab Ahahiri.
23. Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi (w. 245 H/860 M).
24. Abdul Aziz bin Yahya al-Makki al-Kinani (w. 240 H/854 M).
25. Al-Husain bin al-Fadl al-Baghdadi (178-282 H/794-895 M). Murid Ibn
Kullab, pakar Teologi, Tafsir. Ushul dan Ta’wil.
26. Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H/910M). Perumus madzab
tashawuf kaum Sunni, dan termasuk murid Ibn Kullab.
27. Muhammad bin Jarir al-Thabari (224-310 H/839-910 M). Yang memiliki
karangna popular dalam bidang tafsir.
28. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Salami (223-311
H/838-924 M). pakar dalam bidang fiqih.
29. Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tsaqafi (244-328 H/858-940
M). murid Ibn Killab. Dia menulis lebih 100 kitab bantahan terhadap
aliran ahli bid’ah.

17
30. Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Shabghi (258-342 H/872-958 M). murid
Ibn Khuzaimah dan pakar dalam bidang teologi.
31. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti (w. 354 H/965 M), pengarang
shahih Ibn Hibban dan lain-lain.
32. Abu al-Abbas Ahmad bin Abdurrahman al-Qalanisi (wafat sekitar
355H/966 M). murid Ibn kullab dan teolog sebelum abu al-Hasan al-
Asy’ari. Dia menulis lebih dari 150 karanagan dalam bidang teologi.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Ahlusunnah itu adalah golongan yang yang mengikuti ajaran Nabi saw dan
ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini sebenarnya merupakan pengertian
yang baku dalam istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah di kalangan ulama. Hal ini
dapat dilihat dengan memperhatikan penyataan beberapa ulama, seperti penyataan
pakar bahasa, al-Imam Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-Husaini al-Hanafi
(w.1094 H/1683 M), yang dikutip oleh Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari
berikut ini,

Sunnah seperti dikatakan oleh Abu al-Baqa’ dalam kitab al-Kulliyyat,


karangannya, secara kebahasan adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan
al-sunnah menurut istilah syara’ ialah nama bagi jalan dan prilaku yang diridai
dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah saw, atau orang-orang yang dapat
menjadi teladan dalam beragama seperti para sahabat- radhiyallahu ‘anhum-,
berdasarkan sabda Nabi saw, “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku”.

3.2 Saran

Dengan terbentuknya makalah ini diharapkan para pembaca mampu


memahami tentang sejarah terbentuknya NU dan dapat mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ramli, Muhammad Idrus. 2011. Pengantar Sejarah Ahlusunnah Wal-Jama’ah.


Surabaya: Penerbit Khalista

20

Anda mungkin juga menyukai