PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti
al-thariqah (jalan dan prilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau kliru.
Sedangkan secara terminologis, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian
al-sunnah sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing. Misalnya, ulama ahli
hadist mengartikan sunnah dengan,
Segala sesuatu yang datang dari Nabi saw yang meliputi ucapan, perbuatan,
pengakuan (taqrir) dan sesuatu yang bermaksus dikerjakan oleh Nabi saw.
Ulama ushul fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang berbeda. Menurut
mereka, sunnah ialah,
Sesuatu yang secara khusus datang dari Nabi saw, bukan al-Qur’an, dan layak
menjadi dalil dalam menetapkan hukum-hukum agama.
Ulama ahli fiqih mengartikan sunnah dengan pengertian yang berbeda pula.
Menurut mereka, sunnah ialah,
Sesuatu yang dianjurkan dalam agama, tanpa diwajibkan dan tanpa difardhukan.
Sudah barang tentu pengertian di atas bukanlah pengertian sunnah yang menjadi
maksud dalam istilah Ahlusunnah Wal Jama’ah. Sekarang, apabila pengertian di
atas bukan pengertian yang menjdi maksud dalam istilah Ahlusunnah Wal-
2
Jama’ah, lalu apakah pengertian sunnah yang menjadi maksud dalam istilah
Ahlusunnah Wal-Jama’ah berkaitan dengan perpecahan umat Islam menjadi
beberapa golongan, yang antara lain adalah golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah?
Menjawab pertanyaan ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali mengatakan,
Yang dimaksud dengan kata al-sunnah oleh para ulama yang menjadi panutan
adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi saw, dan para sahabatnyayang selamat
dari keserupaan (syubhat) dan syahwat
3
a’zham). Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abu Mas’ud al-Anshari dan
Abdullah bin Mas’ud. Berdasarkan pendapat ini, pendapat yang diikuti oleh
mayoritas kaum Muslimin berarti pendapat yang benar. Sedangkan pendapat yang
menyalahi mereka, berarti menyalahi kebenaran.
Para imam mujtahid, para ulama dan ahli hukum yang mengamalkan hukum-
hukum agama termasuk dalam kelompok al-sawad al-a’zham di atas. Sedangkan
kalangan awam, termasuk pula golongan mereka, apabila mengikuti ajaran para
imam mujtahid dan ulama. Sedangkan kelompok yang keluar dari mainstream, al-
sawad al-a’zham, berarti dianggap kelompok yang syadz (mengucilkan diri) yang
akan mudah tersesat. Oleh karena itu, semua golongan ahli bid’ah seperti Syiah,
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Wahhabi dan lain-lain, tidak termasuk golongan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah, karena mereka keluar dari mainstream. Pendapat
pertama ini diperkuat dengan hadist,
Pendapat kedua mengatakan bahwa maksud al-jama’ah adalah para ulama dan
imam yang mencapai tingkatan mujtahid, karena Allah menjadikan mereka
sebagai rujukan dan sandaran umum Muslimin dalam beragama sebagaimana
ditegaskan dalam sebuah hadits:
Kata “umat” dalam hadist di atas maksudnya adalah para ulama mujtahid, bukan
orang-orang awam, karena para ulama mujtahid yang berkompeten dalam
menetapkan hukum-hukum dalam ijma’. Meski demikian, bukan berarti orang-
orang awam tidak bisa masuk dalam golongan al-jama’ah di atas yang dijamin
tidak akan tersesat dalam menjalani kehidupan beragama. Mereka tetap akan
masuk dalam golongan al-jama’ah tersebut dengan syarat mengikuti ajaran-
ajaran para ulama mujtahid. Di antara ulama yang berpendapat bahwa maksud
4
kata al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah, adalah para ulama
mujtahid, adalah Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih, Ahmad bin
Hanbal, Ali bin al-Madini, al-Tirmidzi dan lain-lain.
Sedangkan orang-orang ahli bid’ah, tidak dapat masuk dalam kelompok al-
jama’ah, meskipun mereka banyak ilmunya, karena kebid’ahannya menjadikan
mereka tidak boleh diikuti. Sudah barang tentu, ahli bid’ah itu tidak masuk dalam
golongan al-sawad. Al-a’zham (kelompok mayoritas), karena sebab bid’ahnya,
mereka keluar dari ijma’ ulama.
Pendapat ketiga mengatakan maksud al-jama’ah adalah para sahabat Nabi saja,
bukan generasi sesudah mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul
aziz da lain-lain. Pendapat ini diperkuat dengan Hadist,
Generasi sahabat adalah Ahlusunnah Wal-Jama’ah yang murni dan asli, karena
mereka yang menegakkan tiang-tiang agama dan menancapkan ponadsinya.
Mereka juga belum pernah bersepakat pada ajaran yang keliru.
Pendapat ketiga ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin
Anas. Berdasarkan pendapat ini, kata al-jama’ah berarti seiring dengan hadist di
atas, “mereka yang mengikuti ajaranku dan ajaran sahabatku.” Pendapat ini
seakan-akan ini menegaskan bahwa semua hasil ijtihad para sahabat adalah hujjah
secara mutlak dan harus diikuti, berdasarkan hadist-hadist yang mengharuskan
kaum muslimin mengikuti jejak sahabat, seperti dalam hadist, “ikutilah sunnahku
dan sunnah Khulafaur rasyidin.”
5
sebagaimana dalam hadst-hadist Nabi. Namun apabila di kalangan mereka terjadi
pendapat, maka harus dicari pendapat yang benar di antara pendapat tersebut.
dalam hal ini, al-Imam al-Syafi’i berkata, “tidak akan terjadi kelalaian dari tujuan
al-qur’an, sunnah dan qiyasndalam hukum yang menjadi kesepakatan umat.
Kelalaian hanya akan terjadi dalam perpecahan.’
Pendapat ini, hampir dekat dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa
maksud al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-jama’ah adalah para ulama
mujtahid, karena kepekatan akan dapat diakui apabila terjadi di kalangan
mujtahid, bukan kalangan awam. Namun agaknya pendapat keempat ini, lebih
dekat dengan pendapat pertama, bahwa maksud al-jama’ah tersebut adalah
mayoritas kaum muslimin, dengan catatan adanya kesepakatan mereka harus
melibatkan ulama mujtahid di kalangan mereka, sehingga kesepakana itu tidak
menjurus pada ajaran bid’ah.
Ketika Nabi wafat, kaum muslimin bersatu dalam agama mereka jalani,
kecuali orang-orang munafik yang luarnya menyakatan islam, sedangkan hatinya
menyembunyikan kemunafikan. Klasifikasi sosial yang ada pada saat itu terdiri
dari tiga golongan.Yaitu kaum muslimin, orang kafir, dan orang munafik. Namun
begitu Nabi wafat, perselisihan di kalangan mereka segera terjadi tentang seorang
pemimpin yanh akan menjadi pengganti Nabi. Kaum Anshar mengingingkan
kepemimpinan berrada di tangan pemimpin mereka, yaitu Sa’ad bin Ubadah.
Sedangkan kaum Muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di tangan Abu
Bakar. Sementara kalangan Bani Hasyim dan Abu Sufyan bin Harb, emnghendaki
kepemimpinannya berada di tangan Ali Bin Abi Thalib. Namun akhirnya,
kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi
6
dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk
memilih Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah.Hal ini terjadi dalam perhelatan
politik pertama mereka di Saqifah Sa’idah.
7
akhirnya menumpas semua suku-suku Aran yang menyatan murtad pasca
wafatnya Nabi.
Utsman bin affan di baiat sebagai khalifah berdasarkan hasil rapat tim
formatur yang dibentuk olaeh umar mrenjelang wafatnya. Ti formatur tersebut
beranggotakan enam orang yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurahman bin auf, Sa’ad bin abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin al-awwam. Abdullah bin umar hadir dalam beberapa kali siding tim formatur
tersebut untuk memberikan pendapat tanpa memiliki hak untuk di calonkan
sebagai khalifah dan tidak memiliki hak suara untuk mendukung salah satu calon.
Melalui rapat tim formatur tersebut,Abdurrahman bin auf selaku ketua tim,
akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan setelah menerima
masukan dari kalanga Muhajirin dan anshar serta para perwira tentara yang
kebetulan pada saat itu menunaikan haji bersama khalifah umar.
8
sini, bahwa sampai saat itu, kaum muslimin masih dalam suasana harmonis dan
bersatu dalam bidang ideology, seperti menyangkut soal-soal keadilan (al-adlu)
dan tauhid, al-wa’d wa al- wa’id (janji dan ancaman Allah). Dan semua soal-soal
yang dianggap prinsip (ushul al-din) dalam agama.Perbedaan yang terjadi pada
saat itu, hanya seputar hokum-hukum amaliah seperti tentang warisan, halal dan
haram, dan lain-lain yang tidak berakibat pada penilaian sesat dan fasik terhadap
pihak yang berbeda pendapat. Suasana kondusif dan harmonis tersebut berjalan
sekitar selama 18 tahun sejak wafatnya Nabi, yaitu sejak masa pemerintahan Abu
Bakar, Umar dan 6 tahun pertama dari masa pemerintahan Utsman.
Kemudian khalifah berpindah ke tangan Ali bin Abi Thalib, menantu dan
sepupu Nabi, serta sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman, namun, beragam
kekacauan yang terjadi pada masa Utsman, sangat berpengaruh terhadap
pemerintahan Ali Bin Abi thalib. Pada msa pemerintahan Ali, terjadi perang
saudara besar-besaran Ali dengan Kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam
perang jamal. Kemudian terjadi perang Shiffin dengan kelompok Muawiyah bin
abi Sufyan, gubernur Syam pada masa dua khalifah sebelumnya. Dan akhirnya
Ali bin Abi Thalib terbunuh di tanagn Abdurrahman bin Muljam al-Muradi pada
tahun 40 H. kemudian kekhalifahan berpindah ke tangan Muawiyah bin Abu
Sufyan, setelah Sayidina hasan bin Ali menyerahkan khalifah kepada muawiyah,
untuk melindungi darah kaum muslimin dan tercapainya persatuan umat.
Pada masa pemerintahan ali bin Abi Thalib,muncul satu kelompok dari
pengikut Ali, yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran
9
Khawarij. Sebenarnya aliran khawarij ini pada awalnya memerankan suatu aliran
politik yang sangat radikal.Hanya saja, persoalan ini mengalami dinamika dan
berubah menjadi persoalan ideologis.Khawarij berpandangan bahwa seorang
khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum muslimin.Seorang khalifah tidak
harus seorang yang berasal dari kalangan suku Quraisy saja. Khalifah tidak boleh
mengundurkan diri atau melakukan proses arbitrase (tahkim). Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengalaman, sehingga
keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengalaman.Oleh karena itu,
khawarij mengkafirkan pelaku dosa.Berangkat dari panfdangan politik mereka
yang radikal ini.Khawarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah,
Muawiyah dan pengikut mereka dalam perang jamal dan Shiffin adalah
kafir.Khawarij hanya mengaku khalifah Abu Bakar dan Umar.
Pada masa sayidina Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah
(Syiah) yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali
adalah Tuhan.Sehingga Sayidinah Ali membakar sebagian dari mereka hidup-
hidup, dan mendeportasi sisanya ke daerah Sabath di Madain.Kemuadian ajaran
Abdullah bin saba’ ini dilanjutkan oleh golongan Syiah yang terpecah menjadi
tiga golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan ismailiyah. Sebenarnya,
ajaran Syiah ini berangkat dari persoalan politik, bahwa Ali bin Abi Thalib dan
keturunanya lebih berhak menjadi khalifah daripada siapa pun dengan adanya
nash dari Nabi. Kelompok Syiah yang ekstrem seperti Imamiyah dan Ismailiyah,
mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali empat orang.
10
semua pihak yang bertikai, seperti Utman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair dan
Muawiyah adalah sama-sama beriman meskipun sebagian mereka ada yang salah
danada yang benar.Menrut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan
mana pihak yang salah dan amna pihak yang benar, maka kita harus
mengembalikan perssoalan itu kepada Allah.Menurut mereka bukanlah kelompok
yang bertikai itu telah mengucapkan Syahadat?Dengan pandanagn ini, kelompok
tersebut akhirnya dinamakan aliran Murjiah (kelompok yang mengembalikan
persoalan kepada Allah). Kemudian kajian mereka mengalami dinamika, hingga
memasuki soal-soal keagamaan, seperti mendefinisikan iman dengan mengetahui
Allah dan rasul-Nya. Kemudian mereka sekamin ekstrem dengan berpandangan
bahwa iman itu hanyalah keyakinan saja, sedangkan amaliah tidak memiliki peran
sama sekali dalam iman. Sampai akhirnya mereka mengeluarkan pernyataan yang
sangat popular, la tadhurru ma’a al-iman ma’shiyatun kama la tanfa’u ma’a al-
kufri tha’atun (kemaksiatan tidak akan membahayakan seseorang selama dia
masih beriman, sebagaimana amal baik tidak akan bermanfaat selama dia masih
kafir). Aliran murjiah ini menjadi musnah setelah runtuhnya kekuasaan bani
Umaiyah.Sebenarnya ide aliran ini menjadikan pengikutnya selalu bersikapnetral,
tidak anti dan tidak pro penguasa.Oleh karena itu, aliran Murjiah ini lebih
cenderung toleran terhadap penguasa bani umaiyah dan Abbasiyah.
11
Abbas, Abdullah bin Abi Aufa, Jabir al-Anshari, Anas bin Malik, Abu Hurairah,
Uqban bin Amir dan lain-lain.
12
golongannya dan lain-lain.Disamping itu, aliran ini juga mengadopsi radikalisme
aliran khawarijj pada masa awal Ialam.
Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa
khalifah Utsman bin Affan, kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran
Islam yang murni dan asli bermunculan satu demi satu, seperti aliran khawarij,
Murjiah, Saba’iyah (Syiah), dan Qadariyah, maka pada periodeakhir generasi
sahabat Nabi. Istilah Ahlusunnah wal-jama’ah mulai diperbincangkan dan
dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran
Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar
dari mainstream. Hal ini dapat kita buktikan dengan memperhatikan beberapa
riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlusunnah wal-Jama’ah diriwayatkan
dari sahabat Nabi generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn Abbas, Ibn
Umar dan Abi sa’id al-Khudri.
“Ibn Abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah: “Pada hari yang di
waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam
muram. “(QS. Ali-Imran : 106). “adapun orang-orang yang wajahnya
putih berseri, adalah pengikut ahlusunnah wal-Jama’ah dan orang-
oranng yang berilmu, sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam
muram, adalah pengikut bid’ah dan kesesatan.”
13
Di sisi lain, istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah memiliki dua sasaran obyek
yang berbeda. Pertama, istilah Ahlusunnah Wal-Jama;ah dalam konteks yang
bersifat umum, yaitu menjadi nama bagi mereka yang bukan pengikut aliran
Rafidhah (Syiah). Dalam konteks ini,aliran-aliran yang bersangkutan dengan
Syiah dapat dikatakan sebagai pengikut Ahlusunnah Wal-Jama’ah seperrti aliraan
Mu’tazilah,Murjiah, Karramiyah, Wahhabi, dan lain-lain. Kedua, istilah
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dalam konteks ajaran Nabi dan sahabat secara penuh.
Dalam konteks ini, aliran-alirang yang menyimpang dari ajaran Nabi dan sahabat
tidak dapat dikatakan Ahlusunnah Wal-Jama’ah seperti Mu;tazilah, Murjiah,
Karramiyah, Wahhabi, Syiah dan lain-lain. Aliran yang dapat dikatakan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dewasa ini adalah, aliran dalam bidang fiqih mengikuti
salah satu madzab yang empat dan dalam bidang akidah mengikuti Madzab al-
asy’ari dan al-Maturidi.
Ahli Nazhar (nadir) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan
dengan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dengan hadist-hadist Rasul,
terakhir dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi
analogis.
14
pendapat yang satu menafikan terhadap pendapat yang lain. Kedua, ikhtikaf
tanawwu’ (perbedaan varian), di mana pendapat yang satu tidak menafikan
terhadap pendapat yang lain bahkan antara pendapat yang satudengan pendapat
yang lain akan saling melengkapi, misalnya beberapa pendapat itu menyebutkan
varian yang berbeda di antara beberapa varian dari satu esensi yang sama.
Kebanyakan, perbedaan dalam penafsiran teks di kalangan ulama salaf adalah
perbedaan yang kedua, yaitu ikhtikaf tanawwu’. Oleh karena itu, berkaitan dengan
lima pendapat yang berbeda tersebut, al-Syathibi sendiri menganggap perbedaan
tersebut masih tergolong bagian yang kedua, yaitu ikhtikaf tanawwu’, di mana
pendapat yan g satu tidak menafikan terhadap pendapat yang lain, bahkan satu
sama lain saling melengkapi, di mana masing-masing pandangan itu, merupakan
bagian dari esensi makna al-jama’ah. Kesimpulan dari pernyataan al-Ayathibi
tentang lima pendapat tersebut adalah sebagai berikut,
Kedua, kata al-jama’ah kembali pada ajaran yang diikuti oleh golongan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dalam memegang sunnah dan menghindari bid’ah, baik
al-jama’ah yang ditafsirkan dengan makna kelompok mayoritas (al-sawad al-
a’zham), para imam mejtahid, para sahabat Nabi, mengikuti ij,a’ kaum muslimin
atau mengikuti sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Esensi kelima pendapat
tersebut adalah maksud dengan al-jama’ah dalam istilah Ahlusunnah Wal-
Jama’ah.
1. Ali binAbi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M). Dia pernah berdebat denagn
Khawarij seputar al-wa’du wa al’-wa’di (janji dan ancaman Allah), dan
15
berdebat dengan Qadariyah seputar Qadha’ qadar (kepastian Allah),dan
kebebasan Allah (al-masyiah wa al-istitha’ah).
2. Abdullah bin Umar (w. 37 H/657 M). Dia pernah membicarakan soal
Qadariyah dan menyatakan memutushubungan dengan pemimpin
Qadariyah, Ma’bad al-Juhani.
3. Abdullah bin Abbas (3 SH-68 SH/619-678 M). Dia pernah berdebat
dengan khawarij dan berhasil mengembalikan 4000 orang dari mereka ke
Ahlusunnah Wal-Jama;ah.
4. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M). Dia telah menulis risalah
rasulullah khusus tentang ajaran Ahlusunnah wal-Jama’ah dalam
membantah ajaran Qadariyah.
5. Amir bin Syarahil al-sya’bi (19-103 H/640-721 M). Dia ulama paling
keras terhadap Qadariyah dan Rafidhah (syiah).
6. Al-hasan bin Yasar al-Basri (21-110H/642-728 M). Dia menulis surat
kepada Umar bin Abdul aziz yang isinya mengecam Qadariyah. Dia juga
mengusir Washil bin Atha’ dan majlisnya setelah menampakkan
bid’ahnya.
7. Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (79-122 H/698-740 M).
Dia menulis kitab bantahan terhadap Qadariyah berdasarkan dalil-dalil al-
Qur’an
8. Muhammad bin Muslim bin Abdullah bin Syihab al-Zuhri (58-124 H/678-
742 M). Dia berfatwa bahwa kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan
tentang halalnya darah kaum Qadariyah.
9. Ja’far bin Muhammad al-Shadiq ( 80-148 H/699-767 M). Dia menulis
bantahan terhadap Qadariyah, Khawarij dan Rafidhah (Syiah)..
10. Abu Hanifah al-Nu’manmbin Tsabit (80-150 H/699-767 M). Dia menulis
tetntang bantahan terhadap Qadariyah dalam kitab al-fiqih al-akbar
11. Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (97-161 H/716-778 M).
12. Malik bin Anas al-Ashbahi (93-179 H/712-795 M).
13. Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari (113-182 H/731-798 M). Dia
murid Abu Hanifah yang pernah berfatwa bahwa Mu’tazilah itu termasuk
golongan zindiq.
16
14. Muhammad bin Hasan al-Syahbihi (131-189 H/748-804 M). Dia murid
Abu Hanifah pernah berfatwa bahwa shalat di belakang orang Qadariyah
yang berpendapat al-quran itu makhluk, tidak sah dan harus diulangi.
15. Sufyan bin Uyainah (107-198 H/725-814 M).
16. Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150-204 H/ 767-820 M). Dia menulis
kitab berjudul Tashih al-nubuwwah wa al- Radd’ala al-barahima
(pembenaran adanya kenabian dan bantahan terhadapa ajaran Hindu ) dan
kitan al-Radd’ ala ahl al-Ahwu.
17. Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164-241 H/780-855 M). Panutan
Ahlusunnah Wal-Jama’ah dan pernah berdebaddengan Mu’tazilah.
18. Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-251 H/810-870 M). Pengarang
Shahih al-Bukhari
19. Muhammad bin jarir al-Thabari224-310 H/839-923 M).
20. Al-Harits bin asad al-Muhasibi (w. 234H/857M). Dia menulis banyak
karangan dalam bidang teologi hokum, hadist dan tasawuf.
21. Abu Ali al-Husain bin al-Karabisi (w. 248 H/862 M). Pakar ilmu fiqih dan
teolog.
22. Dawud bin Sulaiman al-Asbhihani (201-270 H/816-884 M). Pendiri
Madzab Ahahiri.
23. Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Qaththan al-Tamimi (w. 245 H/860 M).
24. Abdul Aziz bin Yahya al-Makki al-Kinani (w. 240 H/854 M).
25. Al-Husain bin al-Fadl al-Baghdadi (178-282 H/794-895 M). Murid Ibn
Kullab, pakar Teologi, Tafsir. Ushul dan Ta’wil.
26. Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H/910M). Perumus madzab
tashawuf kaum Sunni, dan termasuk murid Ibn Kullab.
27. Muhammad bin Jarir al-Thabari (224-310 H/839-910 M). Yang memiliki
karangna popular dalam bidang tafsir.
28. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Salami (223-311
H/838-924 M). pakar dalam bidang fiqih.
29. Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tsaqafi (244-328 H/858-940
M). murid Ibn Killab. Dia menulis lebih 100 kitab bantahan terhadap
aliran ahli bid’ah.
17
30. Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Shabghi (258-342 H/872-958 M). murid
Ibn Khuzaimah dan pakar dalam bidang teologi.
31. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti (w. 354 H/965 M), pengarang
shahih Ibn Hibban dan lain-lain.
32. Abu al-Abbas Ahmad bin Abdurrahman al-Qalanisi (wafat sekitar
355H/966 M). murid Ibn kullab dan teolog sebelum abu al-Hasan al-
Asy’ari. Dia menulis lebih dari 150 karanagan dalam bidang teologi.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ahlusunnah itu adalah golongan yang yang mengikuti ajaran Nabi saw dan
ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini sebenarnya merupakan pengertian
yang baku dalam istilah Ahlusunnah Wal-Jama’ah di kalangan ulama. Hal ini
dapat dilihat dengan memperhatikan penyataan beberapa ulama, seperti penyataan
pakar bahasa, al-Imam Abu al-Baqa’ Ayyub bin Musa al-Husaini al-Hanafi
(w.1094 H/1683 M), yang dikutip oleh Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy’ari
berikut ini,
3.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20