Anda di halaman 1dari 19

POKOK-POKOK AJARAN MADZHAB AQIDAH DALAM ISLAM

(AHLUS SUNNAH, SYIAH, DAN MU’TAZILAH)

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Theosofi
Dosen Pengampu: Achmad Masrur, M.Pd.I

Disusun oleh:

Fatimah Azzahra (220703110001)

Ri’ayatuszava Roliza (220703110007)

Zian Muhaimin (220703110122)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah memberikan bantuan baik materi
maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalahini.

Malang, 27 Februari 2023

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ahlussunnah Wal Jama’ah
1. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa
aliran pemahaman teologis (aqidah) islam. Ungkapan Ahlussunnah wal
Jama’ah ( sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu secara
umum dan khusus. Sunni secara umum adalah lawan kelompok syi’ah.
Sementara sunni secara khusus adalah madzhab yang berada dalam
barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan dari Mu’tazilah.1
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan gabungan dari tiga kata
“ahl, al-Sunnah, dan al-Jama’ah”. Dalam Bahasa arab, kata ahl berarti
pemeluk, penganut, atau pengikut aliran. Seperti ungkapan “ahl
mazhab man yadinu bihi” yaitu ahli atau penganut suatu mazhab
adalah orang yang mengikuti atau menganut mazhab tersebut.
Selanjutnya definisi al-Sunnah secara bahasa adalah jalan.
Secara umum al-Sunnah merupakan sebuah istilah yang menunjuk
kepada jalan Rusulullah SAW dan para sahabatnya, baik dari segi
ilmu, amal, akhlak, serta semua yang meliputi berbagai segi
kehidupan. Menurut Nasir bin Abdul Karim al-Aql, al-Sunnah adalah
petunjuk yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya baik tentang ilmu, keyakinan, perkataan, maupun
perbuatan.2 Maka berdasarkan pengertian diatas Maka, berdasarkan
pengertian di atas, al-Sunnah dapat diartikan dengan orang-orang yang
mengikuti sunah dan berpegang teguh dalam segala perkara yang
Rasulullah SAW dan para shahabatnya (Ma ana ‘alaihi wa ashabi), dan
orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Seseorang
dapat dikatakan mengikuti al-Sunah, jika ia beramal menurut apa yang
diamalkan oleh Nabi SAW berdasarkan dalil syar’i, baik hal itu
terdapat dalam al-Qur’an, hadist, ataupun ijtihad para shahabat.
1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm.119.
2
Fauzi, 2020, Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia: Antara Al-Asy’ariyyah dan Ahli Hadits,
Jurnal Pemikiran Islam, hlm 158.
Al-Jama’ah berasal dari kata jama’a, yajma’u, jama’atan yang
berarti menyetujui atau bersepakat. Al-jama’ah juga berarti berpegang
teguh pada tali Allah SWT secara berjama’ah, tidak berpecah belah
dan berselisih. Pernyataan ini sesuai dengan riwayat Ali bin Abi Thalib
yang mengatakan: “Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang
kamu tetapkan, sesungguhnya aku benci perselisihan hingga manusia
menjadi berjamaah”. Kata al-Jama’ah secara terminologis adalah
generasi sahabat, tabi’in dan generasi generasi sesudahnya yang
mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Kata al-Jama’ah menurut ulama
aqidah berarti mereka yang bersatu di atas kebenaran, tidak mau
berpecah belah dalam masalah agama, berkumpul di bawah
kepemimpinan para imam yang berpegang kepada kebenaran, tidak
mau keluar dari jamaah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan salaf al-ummah. Kata al-jamaah mengecualikan kelompok
menyendiri dalam hal aqidah seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, dan
kelompok-kelompok lainnya.3
Hamad al-Sinan dan Fauzi al-‘Anjazi dalam kitab keduanya,
Ahlussunnah wa al-jama’ah, Shahadatu ‘Ulamai al-ummah wa
adillatahum, mengatakan bahawa Ahlussunnah wa al-Jama’ah
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan atas orang yang
berada di jalan para Salafus al-Salih yang senantiasa berpegang teguh
kepada al-Quran dan al-Sunnah dan atsar-atsar yang diriwayatkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya untuk membedakan dari mazhab
pelaku bid’ah dan golongan pengikut hawa nafsu.
Secara istilah ahlussunnah wal Jama’ah berarti golongan umat
Islam yang dalam bidang tauhid menganut pemikiran Imam Abu
Hasan Al Asy‘ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam
bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi‘i,
Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali
dan Imam Junaid al Baghdadi. Penggunaan istilah Ahlus Sunnah Wal

3
Fauzi, 2020, Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia: Antara Al-Asy’ariyyah dan Ahli Hadits,
Jurnal Pemikiran Islam, hlm 159.
Jama’ah, Az Zabidi dalam Ithaf Sadatul Muttaqin, penjelasan atau
syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali: jika disebutkan
ahlussunnah, maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy‘ari dan Al-
Maturidi. 4
2. Sejarah Lahirnya Ahlussunnah wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah lahir pada sekitar akhir abad
ke-3, dengan munculnya dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Al-
Hasan Al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Mansur Al-Maturidi di
Samarkand. Mereka adalah pembawa aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah yang muncul dimasa puncak perkembangan ilmu kalam
yang ditandai dengan berkembangnya aliran modern dalam teologi
Islam yang dipelopori oleh kaum Mu’tazilah (rasionalisme).
Ahlussunnah wal-Jama’ah muncul sebagai reaksi terhadap paham-
paham golongan Mu’tazilah yang tidak begitu banyak berpegang pada
sunnah atau tradisi. Mu’tazilah menganjurkan kemerdekaan dan
kebebasan manusia dalam berfikir, kemauan dan perbuatan. sikap
mereka ini bukan dikarenakan mereka tidak percaya pada tradisi Nabi
dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu terhadap orisinalitas
hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi tersebut. Faktor
inilah yang menimbulkan istilah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, yakni
golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas,
sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan
tidak kuat berpegang pada sunnah. Oleh karena itu, dalam rangka
mengimbangi aliran Mu’tazilah, maka Imam Abu Hasan al-Asy’ari
maju membela aqidah Islam.5
Menurut pendapat lain penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai
sebelum Al-Asy’ari, yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi
suatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi al-Qur’an dan
Hadits. Dan apabila tidak didapatinya, maka mereka diam saja karena
4
Mohammad Hasan, Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia Tenggara, (Pamekasan:
Duta Media Publishing, 2021), hlm. 6.
5
Fauzi, 2020, Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia: Antara Al-Asy’ariyyah dan Ahli Hadits,
Jurnal Pemikiran Islam, hlm 159.
tidak berani melampauinya. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlul
Hadits yang sudah ada sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan
sampai masa thabi’in. Kebalikan dari mereka adalah Ahlu Ra’yi
(pemegang pendapat pikiran), yang apabila menghadapi keadaan yang
sama, maka tidak berhenti, melainkan berusaha dengan akal pikirannya
untuk menemukan hukum peristiwa yang dihadapinya dengan jalan
qiyas atau istihsan dan lainnya. Dari penggabungan kedua aliran
tersebut, timbullah aliran tengah-tengah “tawassuth” yang dicetuskan
oleh Imam Syafi’i.
Menurut sumber lain menyatakan bahwa sejak aliran
Mu’tazilah muncul dalam bidang aqidah dengan pendapat-
pendapatnya yang rasionalis dan tidak segan-segan menolak hadits
yang berlawanan dengan ketentuan akal pikiran atau mena’wilkan
ayat-ayat mutasyabihat, maka timbullah aliran lain yang tetap
memegangi dan mempertahankan hadits-hadits yang ditolak oleh
aliran Mu’tazilah, aliran tersebut terkenal dengan nama Ahl al-Sunnah
yang ingin mengikuti jejak ulama salaf dalam menghadapi nash-nash
mutasyabihat. Salah satu contoh di antara ulama tersebut adalah Imam
Malik bin Anas, yang mengatakan tentang ayat “ar-rahman
‘alal-‘arsyistawa’ (Tuhan bertempat di Arsy), bahwa arti bertempat
sudah jelas, tetapi caranya tidak diketahui. Iman akan bertempatnya
tuhan wajib, tetapi menanyakannya adalah suatu bid’ah. Pendirian
tersebut juga menjadi pendirian Imam Ahmad bin Hanbal, Sufyan at-
Tsauri, Dawud bin az-Zahiri dan lain-lain. Mereka tidak memperkuat
pendiriannya dengan Ilmu Kalam, sebagaimana yang diperbuat oleh
ulama-ulama salaf berikutnya, seperti al-Harits bin Asad al-Muhasibi,
yang memakai Ilmu Kalam. Setelah mereka muncul, Imam Al-Asy’ari
yang telah mengadakan perdebatan dengan gurunya terkait masalah
tentang Shalah dan Ashihah (baik dan terbaik), menyatakan
penggabungan diri dengan golongan salaf dan memperkuat paham-
paham mereka dengan alasan Ilmu Kalam dalam bentuk yang lebih
nyata. Pikiran Al-Asy’ari tersebut oleh pengikut-pengikutnya disebut
dengan paham “Ahlussunnah wal Jama’ah”. Akan tetapi, oleh sebagian
kalangan lain yang tidak menyukai teologi Imam al-Asy’ari, mereka
menyebutnya dengan Asy’ariyyah atau Asya’irah.6
3. Sumber ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama
dalam pengambilan hukum Islam. Karena Al-Qur’an adalah
kalamullah (perkataan Allah) yang merupakan petunjuk bagi umat
manusia. Manusia diwajibkan untuk berpegang teguh kepada Al-
Qur’an, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
2;
َ‫ذلِ َك ْال ِكت ََب الَ َر ْي َب فِ ْي ِه ُهدًى لِ ْل ُمتَّقِيْن‬
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
Al-Maidah Ayat 44,
َ‫َو َمنْ لَ ْم يَ ْح ُك ْم ِب َما َأ ْن َز َل هللاُ فَُأ ْولِئ َك ُه ُم ْالكفِ ُر ْون‬
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-
orang kafir”.
Dalam hal ini, ayat diatas bersangkutan dengan masalah
aqidah. kebenaran Al-qur’an sebagai kitab yang memberikan
petunjuk bagi manusia. Secara umum, Alqurán memberikan
petunjuk dalam persolan aqidah, syariah dan ahlak dengan jalan
meletakkan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan
tersebut dan Allah menugaskan Rasulullah SAW, Untuk
memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu
b. Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum Islam yaitu
sunnah Rasulullah ٍSAW. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah

6
Fauzi, 2020, Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia: Antara Al-Asy’ariyyah dan Ahli Hadits,
Jurnal Pemikiran Islam, hlm 160.
SAW yang membawa risalah dan yang berhak menjelaskan dan
menafsirkan Al-Qur’an pertama kali. Itu sebabnya Al Hadits
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 sebagai berikut;
َ‫س َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيتَفَ َّك ُر ْون‬
ِ ‫َواَ ْن َز ْلنَا اِلَيْكَ ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلنَّا‬
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44).
Kemudian QS al-Hasyr ayat 7
‫ب‬ َ َ‫ اِنَّ هللا‬,َ‫س ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَ َه ْوا َواتَّقُ ْواهللا‬
ِ ‫ش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬ ُ ‫َو َما َءاتَ ُك ُم ال َّر‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-
Hasyr: 7).
Kedua ayat tersebut menjadi salah satu dasar yag
menguatkan posisi Sunnah sebagai sumber ajaran islam, termasuk
sumber ajaran ahlussunnah Wal jama’ah. Rasulullah SAW di utus
kedunia tujuanya sebagai teladan bagi manusia, yang bisa
dijadikan contoh dan rujukan dalam perkataan, perilaku, dan
perbuatan.7
c. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena selama masih
hidup, Nabi Muhammad Saw sendirilah yang memegang otoritas
tertinggi atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau
ketidakkesepakatan orang lain tidak mempengaruhi otoritas beliau.
Sedangkan setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan
kepada para sahabat dan para mujtahid. Dari penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahawa ijma’ adalah kesepakatan ulama’
tentang suatu persoalan hukum setelah wafatnya Rasulullah SAW.
7
Mohammad Hasan, Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia Tenggara, (Pamekasan:
Duta Media Publishing, 2021), hlm. 7.
Jumhur ulama‘ menyepakati tentang kekuatan hukum Ijma‘
sebagai salah satu sumber hukum setelah Al-qur‘an dan hadits
Rasulullah SAW. Ijma' adalah salah satu dalil syara' yang memiliki
tingkat kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash
(al- Qur'an dan al-Hadits)
d. Qiyas
Secara bahasa Qiyas berasal dari kata Qasa (‫ا س‬MM‫ ) ق‬yang
berarti mengukur. Sedangkan menurut istilah Qiyas ialah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum,
karena adanya sebab atau kesamaan diantara keduanya.
Contoh penggunaan qiyas dalam pengambilan hukum dapat
di lihat pada perkara zakat. Misalnya gandum, seperti disebutkan
dalam suatu hadits sebagai yang pokok al-ashlunya, lalu al-
far’unya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-
Hadits). Maka hukum gandum itu wajib zakatnya, disebabkan
alasan hukumnya karena makanan pokok.8
4. Pokok Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah
a. Aqidah
Secara umum aqidah Ahlussunnah wal jamaáh dibagi menjadi
beberapa rukun yaitu :
 Iman kepada Allah
 Iman kepada malaikat Allah
 Iman kepada kitab-kitab Allah
 Iman kepada rasul-rasul Allah
 Iman kepada hari akhirat
 Iman kepada qada dan qadar
Dalam aspek aqidah, ahlussunnah wal Jamaah mengikuti
aliran yang dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asyári dan Abu
Mansur Al-Maturidi. Kedua aliran ini diyakini sebagai salah satu

8
Mohammad Hasan, Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia Tenggara, (Pamekasan:
Duta Media Publishing, 2021), hlm. 5-40.
aliran yang paling moderat diantara baeberapa aliran lain yang
berkembang pada masa itu, seperti halnya tidak terbawa kepada
arus pemikiran yang dikembangkan oleh jabariah dan qadariah,
tetapi mengambil posisi tawassuth diantara keduanya. Pengikut
aliran abu hasan al-asyrári disebut asyárihah dan pengikut dari Abu
Mansur Almaturidi disebut maturidiyah.
Konsep Aqidah asy ariah dan maturidiah relevan dengan
konsep pemikiran ahlu Sunnah wal jamaah dalam bidang aqidah,
yaitu menggunaka prinsip tasamuh, tawassuth dan I‘tidal. Adapun
prinsip dari aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yaitu :
 Keseimbangan dalam penggunaan dalil aqli dan
dalil naqli.
 Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
 Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan
vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.
b. Fiqih
Dalam bidang fiqih, ahlussunnah wal jamaah mengikuti
pendapat empat madzhab yaitu, Imam Malik, Imam Syafií, Imam
Hambali dan Imam Hanafi, alasan digunakan empat madzhab
dikarenakan :
 Kualitas keilmuan dan peribadian ke empat madzhab
sangat masyahur, dan sudah sangat dikenal dikalangan
ulama besar.
 Keempat imam madzhab merupakan imam mujtahid
mutlaq mustaqil, yaitu imam mujtahid yang mampu secara
mandiri menciptakan manhajul fikri, metode, proses dan
prosedur dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan.
 Keempat imam madzhab mempunyai murid yang secara
konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya dari
sumber induk yang masih terjaga kemurniaannya.
 Keempat madzhab memliki mata rantai dan sanad
keilmuan yang jelas.
Prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah dalam masalah fiqih
adalah sebagai berikut:
 Ahlus Sunnah Wal Jamaah berpegang teguh pada Al-
qur’an dan Hadits dengan menggunakan metode yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
 Ahlus Sunnah Wal Jamaah baru menggunakan akal setelah
tidak ada nash yang jelas (sharih, qoth‘i).
 Ahlus Sunnah Wal Jamaah dapat menerima perbedaan
pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang
multipenafsiran (zhanni).
c. Tasawwuf
Dalam bidang tasawwuf, Ahlussunnah Wal Jama’ah
Mengikuti ajaran Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al- Baghdadi,
yaitu pemikiran tasawwuf yang secara langsung berlandaskan
kepada Al-qur’an dan hadits serta tradisi spiritual para sahabat
rasulullah SAW. Jalan sufi yang telah dicontohkan nabi
Muhammad SAW dan para pewarisnya adalah jalan yang selalu
berpegang teguh kepada syariat, karena itu kaum Ahlussunnah wal
Jama’ah tidak dapat menerima jalan sufi yang melepaskan diri dari
kewajiban-kewajiban syariah dan aqidah. 9
5. Pola Pikir Ahlussunnah wal Jama’ah
a. At-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak
ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
b. At-tawazun atau seimbang dalam segala hal, termasuk dalam
penggunaan dalil aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran
rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Alquran dan Hadis).
c. Al-i‘tidal atau tegak lurus
d. Tasamuh atau toleransi. Yaitu menghargai perbedaan serta
menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama.

9
Mohammad Hasan, Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia Tenggara, (Pamekasan:
Duta Media Publishing, 2021), hlm. 41-48
Namun, bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan
yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.10
B. Syiah
1. Pengertian Syiah
Syiah secara bahasa memiliki arti pengikut, pecintah, pembela,.
Syiah dalam arti kata lain disandingkan dengan kata tasyaiyu yang
memiliki arti patuh/taat secara agama dan mengangkat kepada orang
yang ditaati itu dengan penuh keikhlasan tanpa adaanya keraguaan.
Syiah secara terminologi memiliki banyak pengertian.
Muhammad Husain Thabathaba’i memberikan pengertian
bahwa syiah merupakan suatu aliran dalam islam yang memiliki
sebuah keyakinanan bahwa yang paliung berhak menjadi imam umat
islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw adalah keluarga Nabi Saw
disebut dengan ahlulbai. Dalam hal ini Abbas bin’Abdul Muththalib
yaitu paman Nabi Saw dan Ali Abi Thalib yaitu Saudara sepupuh
sekaligus menantu Nabi Saw.
Menurut Syahrastani Syiah merupakan kelompok masyarakat
yang menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang yang telah
ditetapkan melalui nash dan juga wasiat Rasullah Saw baik secara
eksplisit maupun secara implisit. Imamah harus dari jalur Ali, jika
apaabila terjdi dalam sejara imam bukan dari keturunan Ali menurut
mereka hal itu merupakan kedzaliman daan taqiyah dari pihak
keturunan Ali. Sehingga imamah menurut Syiah bukan sekedar sebatas
maslaahaat agama tetaapi juga aqidah yang menjadi tiang agama.11
2. Sejarah Lahirnya Syiah
Ajaran Syiah berawal dari sebutan yang ditujukan kepada
pengikut Ali yang merupakan pemimpin pertama ahl al-Bait pada
masa hidup Nabi Muhammad . akar permasalahan umat islam,

10
Mudzakkir, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, (Semarang: Wahid Hasyim
University Press, 2009), hlm 39
11
Dewi, O. S. (2016). Syiah: Dari Kemunculannya Hingga Perkembanganya di Indonesia. Jurnal
Studi Al-Qur'an, 12(2), 217-237.
termasuk munculnya mazhab Syi’ah diawali karena terjadinya
perselisihan terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah
Rasulullah Saw wafat. Sebelum dikebumikan kaum Anshar berkumpul
di Bani Sa’idah. Mereka berpendapat bahwa kaum Ansharlah yang
paling layak menjadi pengganti Rasul, lalu menyodorkan Sa’ad bin
Ubadah sebagai pemimpin.
Di waktu yang sama, Umar mengajak Abu Bakar dan Abu
Ubaidah bin Jarrah. Ketiganya berangkat ke pertemuan kaum Anshar.
Di hadapat kaum Anshar Abu Bakar berpidato tentang keistimewaan
kaum Anshar dan kaum Muhajirin, di antaranya bangsa Arab tidak
akan tunduk kecuali kepada kaum Muhajirin, bahkan Allah dalam al-
Qur’an mendahulukan kaum muhajirin daripada kaum Anshar.
Sesudah perdebatan persoalan pemimpin itu, kemudian secara
aklamasi kedua belah pihak memilih Abu Bakar menjadi pemimpin
mereka. Dengan demikian hilanglah perselisihan paham dan umat
Islam kembali bersatu.
Setelah Abu Bakar Wafat, khalifah dipegang oleh Umar bin
Khatab, banyak daerah yang bisa dikuasai pada masa Umar. Munculah
ketidakpuasan atas kepemimpinan Utsman sehingga Utsman akhirnya
terbunuh. Sayyyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum
muslimin, termasuk mayoritas kaum muhajirin, namun pada saat
pembaiatan ada beberapa sahabat nabi yang tidak setuju yaitu Zubair
dan Thalhah, dengan persetujuan Aisyah keduaanya menentang Ali
dan timbullah perang Jamal antara pasukan Ali dan Aisyah. Muawiyah
dari keluarga Bani Umayyah menekan Ali untuk mengusut secara
tuntas dan menghukum muawwiyah melakukan pemberontakan
kepada khalifah Ali. Lalu terjadilah perang shiffin, setelah terdesak
dan hamper saja pasukan Ali menang, Muawwiyah menyuruh salah
satu tentaranya mengangkat mushaf diatas lembing yang tinggi sebagai
symbol menyerah dan perdamaian. Beberapa dari pasukan Ali tidak
puas atas keputusan damai (Tahkim) tersebut sebab mereka merasa
pasukan Ali hamper menumpaskan pasukan pemberontak. Peristiwa
tahkim ini tidak menimbulkan perdamaian justru menimbulkan faksi-
faksi umat islam menjadi tiga kelompok.
a. Kelompok Syiah, yaitu golongan yang memihak pada Ali
serta kerabatnya daan berpendapat bahwa Ali dan
keturunannya yang berhak menjadi khalifah.
b. Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali
daan muawwiyah, mereka meyakini bahwaa tahkim itu
menyalahi prinsip agama.
c. Kelompok Murjiah, yaitu golongan yang menggabungkan
diri kepada salah satu pihak serta menyerahkan hukum
pertengkaran itu kepada Allah Swt.
Kelompok Syiah mula mula adalah kelompok yang mengagumi
Sayidina Ali bin Abi Thalib, sebagai pribadi yang memiliki kedudukan
istimewa di sisi Rsulullah Saw namun kecintaan ini telah berubah menjadi
sikap fanatisme. Merupakan kekelruan besar bagi kaum Syiah yang fanatis
yang menganggap bahwa sahabat-sahabat yang mencintai Ali merupakan
pengikut Syiah. sebagaimana pengikut-pengikut Syi’ah yang sekarang ini
dengan doktrin menghukumi kafir para sahabat lainnya, seperti Abu
Bakar, Umar, Aisyah, Thalhah, Zubair dan lainnya. Sementara para
penganut Syi’ah sekarang telah terjadi selisih pendapat terkait dengan
masalah-masalah madzhab dan aqidah. Mereka telah terpecah belah
menjadi beberapa kelompok, sebagian dari mereka bersikap ekstrim,
sehingga bisa dikatakan doktrin mereka telah keluar dari ajaran Islam.
Sedangkan, sebagian pengikut Syi’ah lain bersikap moderat, hampir
menyerupai kaum ahlussunnah wa al-jama’ah.
3. Aliran-Aliran Syiah
Sekte Syiah memiliki beberapa kelompok, ada yang bersifat
ekstrim (gulat), moderat dan liberal. Diantara kelompok yang ekstrime
ada yang menempatkan Sayyidina Ali pada derajat kenabian, bahkan
ada yang sampai menempatkan sayyidina Ali pada derajat ketuhanan.
Kaum Syiah setelah mengikuti perang Jamal dan Shiffin terpecah
menjadi empat golongan.
a. Kelompok pertama, Syi’ah yang mengikuti Sayyidina Ali.
mereka tidak mengecam para sahabat. Dalam diri mereka
terdapat rasa cinta dan memuliakan para sahabat Nabi Saw.
b. Kelompok kedua, mereka yang mempercayai bahwa
Sayyidina Ali memiliki derajat yang lebih tinggi daripada
para sahabat lainnya. Kelompok ini disebut tafdhiliyah. Ali
memperingatkan mereka dengan keyakinan ini dan akan
menghukumi dera bagi para sahabat yang masih
berkeyakinan tersebut.
c. Kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa semua sahabat
Nabi adalah kafir dan berdosa besar. Mereka disebut
Saba’iyah, mereka adalah para pengikut Abdullah bin
Saba’.
d. Kelompok keempat, kelompok gulat, yaitu mereka yang
paling sesat, paling bid’ah di antara empat kelompok diatas.
Mereka berpendapat bahwa Allah telah masuk pada diri
Nabi Isa.
4. Doktrin Syiah yang Bertentangan dengan Ahlussunnah wal
Jama’ah
a. Kelompok syiah yang ekstrem
Mereka mengkafirkan para sahabat nabi dan semua orang
islam yang mengikuti sahahabat nabi. Hal ini diperkuat oleh
perkataan al-Majilisi, seorang penganut Syi’ah; mereka ( Abu
bakar, umar dan utsman) adalah para perampok yang curang
dan murta, keluar dari agama, semoga Allah melaknati mereka
dan semua orang yang mengikuti mereka dalam melakukan
perbuatan jahat kepada keluarga Nabi, baik pada zaman dahulu
maupun masa sekarang.
b. Pendapat Syi’ah tentang al-Qur’an
Mereka dari golongan syiah memiliki pendapat bahwa al-
Qu’an yang ada sekarang merupakan tidak asli, isi dalam
kandungan al-Qur’an telah ditambah serta dikurangi oleh para
sahabat, sementara al Quran yang asli ada ditangaan Ali yang
kemudian diwariskan kepada putera-puteranya, sekarang
ditangan Imam Mahdi al-Muntadar. Menuriut keyakinan
mereka, tidak ada seorangpun yang telah menghimpun maupun
menghafal al-Qur’an sebagaimana diturunkan kecuali Ali bin
Abi Thalib dan pada imam sesudahnya.
c. Pemikiran kaum Syi’ah terhadap Sunnah
Menurut sebagian kaum Syi’ah, riwayah-riwayah dari
selain orang syi’ah tidak dapat diterima, mereka hanya
menerima hadis-hadis dari jalur Ahl Bait.
d. Konsep Imamah
Ahlussunnah wal jama’ah memiliki keyakinan bahwa rukun
iman ada enam. Kaum Syi’ah menambahi rukun iman menjadi
tujuh, yaitu imamah merupakan salah satu dari rukun iman.
Imamah menurut pendapat ulana Syi’ah memiliki arti
kepemimpinan, spiritual, pendidikan, agama, serta politik atas
seluruh umat islam kepada sistem keturunan yang secara
berturut-turut, kekuasaan dipegang oleh dua belas imam.
Kekuasaan ini terpusat pada Ali yang merupakan suami
Fatimah az-Zahra dan kedua putranya. Kemudian terpusat pada
keluarga Husain yang telah menikahi putri Kaisar Persia
Yazdajird, bernama Syibrhanu, Kemudian pada masa kini,
Republik Islam Iran, sebagai penerus Persia, menyatakan
bahwa agama resmi Iran adalah Islam dan bermadzhab alJa’fari
al-Itsna ‘Asyari.
Dalam persoalan imamah, Imam Ja’far meletakkan dua
landasn penting. Prinsip pertama, nash, ini berarti imamah
adalah suatu prerogatif yang dilimpahkan Allah kepada orang
pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum kematiannya dan
dengan tuntunan Allah, mengalihkan imamah kepada yang lain
melalui pengangkatan dan eksplisit (nash). Intinya, nash yang
diprakarsai oleh Rasul, turun dari Ali ke Hasan, dari Hasan ke
Husain dan kemudian bertahan di garis Husain melalui Nash,
berturut-turut sampai pada Ja’far.
Prinsip kedua, ilm. Menurut Imam Ja’far, seorang imam
harus memiliki pengetahuan agama yang khusus yang
diterimanya secara ilahiah, dan hanya dapat dipindahkan
kepada Imam berikutnya sebelum kematiannya. Prinsip kedua,
ilm menurut Imam Ja’far, seorang imam harus memiliki
pengetahuan agama yang khusus yang diterimanya secara
ilahiah, dan hanya dapat dipindahkan kepada Imam berikutnya
sebelum kematiannya.
e. Konsep Taqiyah
Taqiyah memiliki arti menampakkan ucapan dan perbuatan
yang berlawanan dengan apa yang disimpan dalam hati.
contohnya, ia menampakkan kasih sayang kepada orang,
padahal ia melaknat mereka dalam hati dan di antara orang-
orang terdekatnya, bahkan ketika ia tidak ada sebab yang
memaksa. Konsep dan doktrin taqiyah diberlakukan oleh kaum
Syi’ah untuk melindungi Islam dan madzhab Syi’ah.12

DAFTAR PUSTAKA
Rozak, A., dan Anwar, R. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Fauzi. 2020. Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia: Antara Al-Asy’ariyyah dan
Ahli Hadits. Jurnal Pemikiran Islam, 1 (2), 156-176.

12
Atabik, A. (2015). Melacak Historitas Syi’ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-Alirannya).
Fikrah, 3(2), 325-348.
Hasan, Mohammad. 2021. Perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Asia
Tenggara. Pamekasan: Duta Media Publishing.
Mudzakkir. 2009. Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Semarang:
Wahid Hasyim University Press.

Anda mungkin juga menyukai