Anda di halaman 1dari 13

KELOMPOK 6

ASWAJA
ISI KLIPING

Perkenalan Kelompok tokoh aswaja


Latar Belakang Kesimpulan
pengertian aswaja penutup
ilmu kalam dan filsafat
sejarah aswaja
pemahaman aswaja
PERKENALAN KELOMPOK

SHYIFA AN-NIZA SITI MASYITA SYTI NURUL


ARABIA RAMADHANI FADILAH

SUMMA INNA RISKA SITTI


ZAHRAH ANUGRAH RACHMAH
LATAR BELAKANG

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (lahir di Bashrah, 260 H / 873 M, dan wafat di Baghdad, 324 H /
935 M) ialah seorang ahli fiqh terkenal, pemuka teolog Islam pada masanya. Menurut
catatan sejarah, Abu Hasan al-Asy’ari adalah murid dari ayah tirinya yakni Syaikh Abu Ali
Muhammad bin Abdil Wahab al-Juba’I (seorang ulama besar Mu’tazilah), kemudian Abu
Hasan al-Asy’ari keluar dari paham gurunya itu karena menurutnya banyak keyakinan
yang tidak benar. Kemudian beliau membangun paham sendiri yaitu Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyah, karena
dinishbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Juga sering disebut sebagai paham
Ahlussunnah saja, juga sering disebut sunni dan pengikutnya disebut sunniyun.
Seluruh ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari,
dibukukan oleh beliau diantaranya terdapat dalam kitab yang beliau susun seperti : Al-
Ibanah fi Ushuliddiniyyah, Maqalatul Islamiyyin, Al-Mujaz, dan lain-lain.

PENGERTIAN ASWAJA
Kalimat Ahlussunnah wal Jama’ah, terdiri dari dua kata inti yaitu : Ahlussunnah yang artinya : ahli mengamalkan sunnah,
penganut sunnah, atau pengikut sunnah. Dan wal Jama’ah yang artinya : dan jama’ah, maksudnya adalah jama’ah
sahabat-sahabat Nabi[1].
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad
SAW. Dan membelanya[2].
Dari definisi di atas jelas, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri dari satu kelompok aliran, tapi ada
beberapa sub-aliran, ada beberapa faksi di dalamnya.
Dalam kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah ini sudah banyak dipakai sejak masa sahabat, sampai generasi-
generasi berikutnya. Sumber dari istilah tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi SAW. Yang
menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
At-Turmudzi, yang artinya :

“ Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 agama. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan
binasa, kecuali satu. Para sahabat Nabi bertanya : Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab : Yaitu
orang-orang yang berpegang teguh pada i’tiqadku dan yang berpegang teguh pada i’tiqad yang dipegangi oleh sahabat-
sahabatku”

ILMU KALAM DAN FILSAFAT

Ilmu kalam dianggap negatif oleh kalangan agamawan karena identik dengan ilmu filsafat yunani.
Perbedaan ilmu kalam dengan ilmu filsafat meliputi metodologi (manhaj) :
Dari segi metodologi, ilmu filsafat menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa
mempertimbangkan prinsip-prinsip yang dibawa oleh para nabi. Demikian ini berbeda dengan ilmu
kalam yang membicarakan hal-hal dalam konteks akal sebagai satu-satunya perangkat untuk
membuktikan kebenaran ajaran yang datang dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para Nabi.
Dari segi objek (maudhu’). Dalam pandangaan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syariah
itu dianggap menjadi titik permulaan kajiannya. Hal ini berbeda dengan para filosof, karenaa dalam
asumsi mereka kebenaaran itu masih misterius dan belum diketahui secara pasti ketika kejadian
mereka mulai.
Dari segi tujuan, seorang ahli ilmu kalam memiliki tujuan yang kongkret yaitu bertujuan
memperkokoh dan memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama.

SEJARAH

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham
teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat
Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara
turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-
generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan.
Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli. Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja
muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok
ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu
konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan
manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja
juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham
kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan
berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu
dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir
skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.


lanjutan
SEJARAH

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu
Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah
pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya
bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan
mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam
sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah
(nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja
juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas
umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun.
Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham
Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah
pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah
baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi
Aswaja secara lebih luas).

SEJARAH

Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini
sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya
perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi mengenai kepemimpinan setelah
wafatnya Nabi. Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari
ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai
perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah realitas
sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di
dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni)
menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali
RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka
umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.

PEMAHAMAN

munculnya berbagai macam kelompok yang mengatas-namakan pengikut


Aswaja, maka Pemahaman Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya untuk
dilakukan perubahan orientasi dari Aswaja sebagai doktrin menjadi Aswaja
sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna
memberikan pemaknaan konteks kesejarahan yang benar terhadap Aswaja.
Karakter Aswaja yang tawasut, i’tidal, tawazun dan penekanannya pada
stabilitas jama’ah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan.
Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak dikenal dalam sejarah Aswaja, maka aliran
Islam keras yang mengklaim dirinya selaku penganut Aswaja bukan hanya
paradoksal tetapi ahistoris.
TOKOH TOKOH

BIDANG AKIDAH BIDANG


BIDANG FIQIH
AKHLAK/TASAWUF

Abu Hasan Ar Imam al-Ghazali Imam Hanafi


Asyâ ari Imam Junaid al- Imam Maliki
Abu Manshur Baghdadi Imam Syafii
al-Maturidi Imam Hanbali
Imam Abu Hasan
al-Basri
KESIMPULAN

1. Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi
Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jama’ah memiliki arti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam
pengikut sunnah Rasul. Aswaja berarti orang-orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang
mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
2. Aswaja menurut:
a. KH. Hasyim Asyari’ adalah suatu paham berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) dan bertashuwf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Selain itu dalam mengimplementasikan Aswaja adalah dengan prinsip at-Tawazun (keseimbangan), at-
Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hokum/adil), dan amar makruf nahi
mungkar.
b. KH. Said Aqil Siradj memandang Aswaja adalah sebagai Manhaj al Fikr (landasan berpikir). Dalam hal
inilah Aswaja dapat dipahami sebagai sesuatu yang bisa ditafsiri secara kontekstual dan lebih modern.

TERIMA KASIH
tugas kliping dari kelompok 6

Anda mungkin juga menyukai