Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasca meninggalnya Rasulululloh SAW banyak diantara kaum

Muslimin dan Muslimat kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya

semula, ini menjadi keprihatinan sendiri bagi sahabat Nabi, termasuk sahabat

Nabi, seperti Abu Bakr as-Sidhiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-lain, sampai

generasi pasca sahabat Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk

memberi keyakinan kepada orang-orang yang kembali pada agama semula,

tidak mudah, tapi itu harus dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan

Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara dilakukan untuk memberi

keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh,- halaqoh, diskusi dan lain-lain,

maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh – firqoh atau sekte –

sekte yang bermunculan, ada yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung

ta’asup/assobiyah (fanatisme yang berlebihan), seperti kelompok yang

mendukung Ali yang disebut syiah, menurut mereka adalah yang berhak

untuk menduduki jabatan sebagai Khalifah/ Amir al-Mu’minin dengan alasan

nasabnya langung nyambung dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juaga

dengan kelompok yang lain seperti kelompok diskusi, selalu mengedepankan

kelompok kajian dengan berdiskusi, sehingga bisa dikelompokan rasionalis

yang mengedepankan pola pikir ilmiah. Kemudian ada kelompok / aliran


2

tengah (midleway) ini diwakili oleh Abu Hasan al-Basri. Semua pengikut

firqoh/sekte merasa bahwa kelompok atau aliran mereka yang paling benar,

sesuai dengan keyakinan dan penafsiran serta penalaran (ra’yi) mereka.

Tentu itu juga tidak salah karena yang namanya penafsiran tentu tergantung

latar belakang seorang penafsir, kalau seorang penafsir yang sudah kedoktrin

Syi’ah maka baginya syiah adalah yang paling benar, kalau sudah kedoktrin

kelompok yang lain pula maka sang penafsir juga kelomoknya yang paling

benar, yang menjadi tidak menarik adalah ta’asup pada kelompok yang

berlebihan sampai – sampai mengalahkan Allah dan rasulNya, ini yang

kurang bagus bagi perkembangan Islam.

Diantara berbagai macam kelompok atau aliran ini penulis mencoba

mengurai salah satu diantara aliran yang ada, yaitu kelompok rasionalis

(Mu’tazilah) yang mengedepankan akal pikiran manusia untuk kita kaji kita

dalami, sebagai suatu sejarah perjalanan Islam yang dimiliki oleh kaum

Muslimin seluruh Dunia, ciri utama dari aliran ini dibandingkan dengan aliran

yang lain adalah, pandangan-pandangan theologisnya lebih banyak ditunjang

dengan dalil-dalil ‘aqliyah (akal) dan bersifat filosofis yang dipengaruhi

filosofis Yunani, sehingga disebut aliran rasionalis, tentunya kami memakai

referensi kitab – kitab yang penulis miliki, seperti kitab Maqoolat al-

Islamiyin Wakhtilaafu al-Musolin karangan Abu Hasan Ismail al-Asy’ari.

Karena keterbatasan penulis baik secara ilmu maupun secara pengalaman dan

cara penulisan harapan dari penulis adalah mohon saran – saran kritik yang

membangun baik teknik penulisan, maupun yang lainnya.


3

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Mu’tazilah?

2. Bagaimana Asal-Usul Aliran Mu’tazilah?

3. Siapa Pencetus Mu’tazilah?

4. Apa Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah?

5. Bagaimana Perlawanan Mu’tazilah?

6. Bagaimana Penyandaran Mu’tazilah Kepada Filsafat Yunani?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian Mu’tazilah

2. Mengetahui Asal-usul Aliran Mu’tazilah

3. Mengetahui Pencetus Mu’tazilah

4. Mengetahui Prinsip-Prinsip Dasar (Ajaran) Mu’tazilah

5. Mengetahui Perlawanan Mu’tazilah

6. Mengetahui Penyandaran Mu’tazilah Kepada Filsafat Yunani


4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’tazilah

Pengertian Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab I’tazala yang berarti

meninggalkan/menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu’tazilah bersama kawan-

kawannya biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dalam

pengajian/halaqoh yang diadakan bersama Gurunya Hasan Basri, juga kaum

Syi’ah dan Khawaij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum Muslimin)

dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke dua

hijriyah dan juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat

Keagamaan yang dipegang mayoritas Muslimin pada saat itu. Kedua buku

tersebut adalah ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin

Ubaid (80-144 H) seorang tokoh (syaikh) dan Zahid muktazilah dan buku

Asnaf al- Murjiah yang disusun oleh Washil bin ‘Atho (80-181 H) seorang

budak bani Dhiyyah, sering juga dikatakan seorang budak bani Makzum yang

dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka dan pemuka

madzhab Muktazilah.

Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij

telah dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang

mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni Neraka

secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan: mereka

masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu
5

Khudaifah Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan

oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa

besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al – Basri apa yang dipegang

oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia

berkata: “Komentar dan pendapatku mengenai pelaku dosa besar ini adalah

bahwa Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, ia berada dalam

suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baena manjilatain).”

Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya dari

majelis pengajianNya dan Washil bin “Atha mengasingkan diri dan memilih

mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar

bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al –

Mu’tazilun atau Mu’tazilah.1

B. Asal usul Aliran Mu’tazilah

Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada

masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah

berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti

memisahkan diri. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang

memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri. Ada sebagian pendapat

bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan

pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan

bin Ali dari kursi kholifah. Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada

persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang

1
Aliran Teologi Islam, Abu Hasan Ismail al-Asya’ari (pencetus Aliran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
6

beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab

mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.

Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah

“murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan

dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama Wasil bin Atha

berada dimajelis kuliah gurunya bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil

berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu

posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga

tidak kafir.

Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu waktu datang menanyakan

suatu soal yang memerlukan jawaban dari sang guru. Pertanyaan itu ialah bila

seorang beriman meninggal dunia sedangkan ia pernah melakukan satu dosa

besar/kabirah, maka dimana ia ditempatkan oleh Allah diakhirat nanti? Apakah

didalam surga karena ia seorang yang beriman atau dineraka karena ia melakukan

satu dosa yang besar?

Sang murid mendengar soal ini bangkit semangatnya untuk menjawab. Secara

spontan ia mengatakan manusia yang demikian bukan ditempatkan di surga atau

neraka, tetapi ia ditempatkan diantara kedua tempat ini. Yakni disuatu tempat

ditengah-tengah antara surga dan neraka. Pendapatnya ini berlainan secara drastis

dengan pendapat gurunya. Karena pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan

mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena

pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah

sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah.


7

Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya,

oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil, artinya

Washil telah memisahkan diri dari kita. Menurut kaum Mu’tazilah sumber

pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi

mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara

ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang ditamakan adalah ketetapan akal.

Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan

mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan

eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan

manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup

ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi

kekuasaan.2

Menurut A.hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar

dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia

islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:

1. Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.

2. Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.

Banyak kholifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-

tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :

1. Yazid bin Wahid Bani Umayah

2. Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas

3. Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid

4. Al Watsiq bin Al Mu’tashim


2
Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
8

Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas

hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari

mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-

masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :

1. Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak

2. Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’

3. Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak

4. Qur’an itu makhluk atau tidak

5. Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan

6. Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak

7. Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak

8. Alam ini qadim atau baru

9. Syurga dan neraka itu kekal atau tidak

10. Arwah itu pindah-pindah atau tidak

11. Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik

12. Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak

13. Dan lain-lain3

C. Pencetus Mu’tazilah

Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran

Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha. Dia adalah salah seorang sastrawan

terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu menukar huruf ra dengan

huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad berkata: “Washil

bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf
3
Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
9

ra, oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata

pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya. Hal ini

karena rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair

muktazilah. Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang

khutbah-khutbahnya serta kemampuannya menghindari dari keseringan

menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan sehingga nampak hampir tidak

pernah sama sekali dalam kalimat – kalimatnya, sebagaimana dilukiskan

dalam syair :

‫كل خطيب يغلب الحقباطله‬ :‫عليم باءبداك الحروف وقامع‬

Artinya: Seorang Alim yang pandai menukar huruf penakluk setiap

rival diskusinya kebatilannya sanggup mengalahkan kebenarannya.

Ulama lain mengomentarinya dengan bersyair :

‫وخالف الراءحتى احتا ل للشعر‬: ‫ويجعل ابرقمحافى تصرفه‬

‫فعاذ بالغيث اشفا فا من المطر‬ : ‫ولم يطق (مطر ) والقول يعجله‬

Artinya: Dia jadikan kebajikan bagi hiasan kehidupannya

menghindari huruf ra hingga syair pun tercela jadinya. Tidaklah pernah

berucap “ mathara “ dan semisalnya namun menjadikan “ al-Ghaits ”

sebagai gantinya.

Washil bin ‘Atha sebenarnya bukanlah sesorang sastrawan, namun ia

menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud


10

mempunyai prestise dimata para wanita shalehah; sehingga ia dapat

mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya

adalah: Ashnaf al-Murji’ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena al-Manzilatain,

Ma’ani l-Qur’an, alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena

‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-Haq, al-Dakwah dan Kitab

Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.4

Washil bin ‘Atha lahir di Madinah pada tahun 80H. Dan meninggal

Dunia pada tahun 181 H.

Selain Washil bin ‘Atha ada juga ‘Amr bin Ubaid. yang dimaksud

“Amir bin ‘Ubaid adalah Abu ‘Usman ‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab budak Bani

‘Aqil seorang theolog dan Zahid. Kakeknya dari Sabi Kabil, salah satu

didaerah di Shind. ‘Amr bin ‘Ubaid adalah merupakan tokoh Mu’tazilah

pada zamannya. Diantara kedua matanya terdapat tanda-tanda bekas sujud.

Hasan al-Bisri pernah dimintai komentarnya, seraya berkata : Aku ditanya

tentang seorang tokoh yang seolah-olah dididik oleh Malaikat, seolah-olah

dibina oleh Nabi, jika terjadi sesuatu hal (masalah) ia langsung bertindak

menyelesaikannya, jika memerintahkan sesuatu maka dialah yang paling

komitmen terhadapnya, dan jika melarang sesuatu dialah yang gigih

menghindarinya, berdiri dikarenakan oleh sesuatu masalah maka langsung

duduk, jika duduk karena sutu masalah maka langsung berdiri. Aku tidak

pernah melihat seorang pun selainnya yang keadaan lahirnya selaras dengan

keadaan rohaninya dan keadaan rohaninya selaras dengan keadaan lahirnya.

4
Ibid.
11

Suatu hari Amr bin ‘Ubaid masuk ke dalam istana Khalifah Abu

Ja’far al- Mansur untuk memenuhi undangannya sebelum menjadi Khalifah,

Abu Ja’far al – Mansur adalah sahabatnya, keduanya mempunyai suatu majlis

untuk berdiskusi lalu Abu Ja’far al – Mansur duduk didekatnya lalu berkata

kepadanya, berilah aku nasehat , Lalu ia memberi nasehat yang diminta oleh

Khalifah, diantara nasehatnya ia mengatakan : sesungguhnya kekuasaan yang

kamu pegang tidak akan pernah kamu peroleh jika orang sebelummu tidak

melepaskannya, maka hindarilah untuk menyibukkan malam hari dengan

urusan siang hari. Ketika ia bangkit hendak berdiri untuk pulang, Khalifah

berkata: Kami menyediakan 10.000 dirham untuk anda, ambilah, ia

menjawab : Aku tidak membutuhkannya. Khalifah berkata, atas nama Allah,

ambilah, ia menjawab atas nama Allah aku tidak mau menerimanya. Ketika

itu hadir pula Mahdi bin Abu Ja’far seraya berkata : Amirul Mu’minin

bersumpah atas nama Allah dan engkau juga? Amr bin ‘Ubaid

berpalingkepadanya dan bertanya kepada Khalifah : Siapakah pemuda ini ?

Khalifah menjawab : Ia adalah calon pewaris Mahkota, anak seorang al –

Mahdi. Amr bin ‘Ubaid berkata demi Allah, kau telah berikan kepadanya

bukan pakaian orang – orang yang shaleh, kau namai Dia bukan yang bukan

haknya, kau serahkan kepadanya urusan yang dapat disia – siakan dan

membuatnya kuwalahan, kepada al Mahdi ia berkata : benar Nak ? jika

ayahmu bersumpah , itu membuat aku merasa berdosa karena kifarat yang

harus ditebusnya lebih besar lagi ketimbang Pamanmu ini. Al Manshur

berkata kepadanya : apakah ada yang diperlukan ? Ia menjawab : Aku belum


12

menemukan sampai menjumpaimu sekalipun. Khalifah berkata: kalau begitu

jangan kau temui Aku lagi, kata Amr bin ‘Ubaid, itulah sebenarnya

keperluanku, lalu ia pulang diantar oleh al – Manshurdengan syairnya :

‫كلم يمشى رويد كلكم يطلب صيد‬

‫غيرعمروبن عبيد‬

Artinya : Semua Orang berjalan berbungkuk, Mengharap yang,

buruannya tertangkap, Kecuali Amr bin ‘Ubaid

Amr bin ‘Ubaid lahir pada tahun 80 H. Dan wafat di Marran di

makamkan di Mekkah pada tahun 144 H.

Sepeninggal dua tokoh ini, baru Mu’tazilah menjadi sekte ( Madzhab)

yang memiliki dasar ajarannya yang tersusun secara hirarki, ditambah lagi

Tuhan berkehendak untuk memberikan kepada golongan ini pada setiap

zamannya sekelompok manusia yang terpelajar yang menguasai ilnu

pengetahuan. Lewat merekalah paham-paham madzhab ini diajarkan dan

tersebar secara meluas, argumentasi-argumentasinya yang melampaui

argumentasi pendapat lainnya dan mereka juga membuat jaringan relasi

dengan pihak Penguasa, yang dimanfaatkan untuk membeakarab

dipanggilrikan kekuatan politik sehingga akhirnya rakyat menerima apa yang

mereka jadikan sebagai pandangan keagamaan.

Basyar ibn al – muktamar dan Abu al – Hudzail Muhammad ibn al –

Hudzail ibn Abdullaah ibn al – Makhul, yang masyur dengan panggilan al –

‘Alafᶟ, berguru kepada Umar ibn ‘Ubaid dan sahabat-sahabat dekatnya.


13

Kepada Abu al – Hudzail bergurulah kepada anak keponakannya dari saudara

perempuan, Ibrahim ibn sayyar yang masyhur dengan panggilan an –

Nidlam , Hisyam ibn Umar asya-Syaebani yang al – Fuwathi dan Abu Yusuf

ibn Ya’kub ibn Abdullah asy-syaham al- Bisriy. Al – Nidlam mempunyai

murid diantaranya, Abu ‘Utsman ibn bahr ibn Mahbub, al – Kinaniy, al –

Bisriy yang terkenal dengan nama al – Jahidz dan Qodli Abu Abdullah ibn

Farh ibn Jarir al – Iyadiy yang lebih dikenal dengan panggilan Ibn Abu

Du’ad⁴. Kepada Abu Yusuf bergurulah Muhammad ibn Abdul Wahab ibn

Salam ibn Khalid ibn Humran ibn Abban yang dikenal dengan julukan al -

Jubair⁵. Kepada Jahid bergurulah Ja’far ibn Mubasyar dan Ja’far ibn Harb

yang kemudia keduanya mempunyai murid bernama Muhammad ibn

Abdullah al – Iskafi.

Abu Ali al – Juba’i menyebarkan ajaran sekte ini lewat murid-

muridnya diantaranya, abu Hasyim Abdus Salam ibn Muhammad ibn Abdul

Wahab al – Juba’i dan Abu Hasan al – Asya’ri yang kemudian menjadi tokoh

pendiri Madzhab Ahlu sunnah Wal Jama’ah. Mengenai kisah dan diskusi dan

debat antara al – Juba’i dengan al – Asy’ari ini dianggap oleh Ulama sebagai

keberakhiran bergurunya al – Asy’ari kepada al – Juba’i.5

D. Prinsip-Prinsip Dasar ( Ajaran ) Mu’tazilah

Prinsip dasar Mu’tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:

1. Tahuhid ( keesaan Tuhan )

5
Mahan Al-Juba’iy dalam wafiyat al-A’yan 3/398
14

Para pengikut Mu’tazilah ini bersepakat bahwa Allah SWT. Itu

Maha Esa, tanpa sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha

Mendengar, dan Maha Melihat, dan Diapun tanpa jisim, tanpa bayang-

bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging , tanpa darah, tanpa

karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa dimensi

panjang, tanpa lebar,tanpa dalam, tanpa tanpa unsur tergabung ataupun

terpisah, tanpa gerak, tanpa panas,tanpa dingin, tanpa diam, tanpa

terbagi,tanpa bagian,tanpa anggota, tanpa arah kiri, atau kanan, tanpa

depan , belakang, tanpa atas atau bawah, tanpa ruang atau waktu, tanpa

terdekat atau terjahui, tanpa sifat-sifat makhluk, tanpa permulaan, tanpa

kesudahan, tanpa jarak atau hitungan, tanpa dilahirkan atau melahirkan,

tanpa terhalang atau terindra, tanpa tersamakan tanpa terkena terpengaruh

musibah, tanpa berfikir atau terduga, yang Maha terdahulu yang senantiasa

ada, yang Maha Tahu, Yang kuasa, Yang Maha Hidup, yang tidak terlihat,

Yang tidak terdengar, Yang tidak Terbayangkan, yang tidak terpadankan,

dan tertirukan, dan Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segenap sesuatu,

Yang tahu tetapi tidak selayaknya orang tahu,Yang kuasa, tidak layaknya

orang kuasa, yang hidup tapi tidak selayaknya hidup, yang kekal dan

dahulu sendiri, dan tidak ada tuhan selain Nya, dan tidak ada sekutu Nya,

dan tidak ada pemimpin Nya ataupun pembantuNya, tidak ada teladan

Nya, ataupun tiruan Nya, dalam penciptaan selain Nya, tidak

membutuhkan kebahagiaan dan kelezatan dan tiada kepedihan dan

kesaktian menimpa diri Nya, tiada kesudahan dan kehabisan , tiada lenyap
15

dan tiada sifat lemah dan kurang, dan Dia pun terbatas dari kehendak

beristri dan berputra.

Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan

dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan

dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional

cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah

mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut

dengan wajah dan sebagainya.6

Sungguh itulah anggapan – anggapan para pengikut Aliran

(Madzhab) Mu’tazilah tentang tahuhid dan lain – lainnya. Sehingga

banyak pula pengikut aliran yang lain seperti halnya aliran Khawarij,

Murj’iah, dan Syi’ah yang mengikuti maupun menyetujui anggapan –

anggapan para pengikut Aliran Mu’tazilah ini diikuti ataupun disetujui

mereka.

2. Keadilan Tuhan

Prinsip ini didifinisikan semua perbuatan Allah baik, tidak

mungkin Allah meninggalkan kewajibanNya, Dikataka al-Khayat tokoh

Mu’tazilah, seseorang tidak berhak atas nama I’tizal kecuali perpegang 5

prinsip dasar.

3. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du wal wa’id)

Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan

siksa kepada manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak

mendapat pahala, sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak


6
Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
16

mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali

melaksanakan janji-Nya.

Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak

ada pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat,

sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi

menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan

tidak disebut adil jika ia tidak member pahala kepada orang yang berbuat

baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah

mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan

prinsip janji dan ancaman.

Didefinisikan bahwa Allah berjanji memberikan Ganjaran / pahala

kepada orang yang taat pada Allah, dan Allah mengancam / menyikasa

orang-orang yang durhaka

4. Posisi diantara dua posisi (Manzilah bainal Manzilatain)

Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah

maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat

penting. Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurungya.

Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan

tidak kafir pula tatapi fasiq. Kefasikan ini berada diantara iman dan kafir.

Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-

qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110,

dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang

tengah-tengah.
17

Bahwa pelaku dosa besar ( Muslim ) menduduki dua posisi dan

menduduki dua hukum diantara dua hukum, yaitu Fasiq dia tidak

dihukumi kafir, karena kenyataannya masih beriman pada Allah. Dia tidak

dilarang melakukan perkawinan, pewarisan, kubur secara Muslim, namun

tidak bisa dihkumi sebagai Muslim dan Mu’min yang “ baik “ karena

telah melakukan dosa besar.

5. Perintah mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar

Bahwa yang diperintahkan adalah hal yang baik, dan mencegah

sesuatu yang mungkar ( buruk ).

Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat

golongan lainnya. Perbadaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan

berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau

dengan kekerasan. Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahyi

munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-

waktu jika diperlukan bias dengan kekerasan. Bagi kaum Mu’tazialh,

orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus

diluruskan.

Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian

mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang

diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :

1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.

2. Kewajiban mengetahui Tuhan.


18

3. Mengetahui baik dan jahat.

4. Kewajiban mengatahui baik dan jahat.7

E. Perlawanan Mu’tazilah

Diantara sekte (Madzhab) yang muncul kepermukaan adalah

Mu’tazilah lah yang paling banyak mendapatkan tekanan, akan tetapi mereka

tertolong oleh tiga hal dalam menghadapi tekanan-tekanan ini. Ketiga

penolong tersebut adalah :

1. Tuhan akan menganugerahkan kepada setiap generasi penganutnya

pemuka-pemuka yang pandaidan ahli debat. Washil bin ‘Atha adalah

seorang yang cerdas dan genius, penguasaan akan kemampuan berdebat

dan berdiskusidan dia yang paling cepat mengungkapkan hafalan-hafalan

ayat-ayat Al-Qur’an baik makna lahirnya maupun melalui takwil-

takwilnya selama mendukung pendapat-pendapat Madzhabnya, dalam

posisi seperti ini, dia berada pada garda paling depan dalam memahami

dan mengetahui arti perkataan-perkataan filosofis Madzhab Syi’i dan apa

yang dilontarkan oleh Madzhab Khawarij, Perbincangan madzhab

Mur’jiah Zindik dan naturalis dan penentang-penentang lainnya sekaligus

dialah dapat mengcaunter pendapat=pendapat mereka. Adapu Abu

Hudza’il al – Allaf satu-satunya orang yang menguasai pemahaman arti

kata dan mampu berbicara baik. Dialah yang dimaksud oleh al –

Mubarrad ketika berkata “ Aku belum pernah melihat orang yang fasih

berkomunikasi melebihi kemampuan Abu Hudzai’l dan Zahid “ Abu

7
Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-
185
19

Hudza’il sangat baik dan mahir berdiskusi. Kusaksikan hal itu dalam

kuliahnya yang kala itu p[embicaraannya diisi lebih dari tiga ratus bait

syair. Hidupnya dipenhui dengan diskusi dan berdebat dengan penganut

Zindiq, Sofis, Majusi, dan paganis. Dikabarkan bahwa dia telah

mengislamkan lebih dari tiga ribu orang. Musuh-musuhnya berdiskusi dan

berdebat dengannya tidak terungguli, padahal ketika itu umurnya baru 15

tahun. Ibrahim bin Sayyar adalah Guru Abu ‘Utsman al – Zahidz,

pemuka/tokoh sastrawan yang paling cemerlang. Dia merupakan salah

satu bukti diantara bukti-bukti kekuasaan Tuhan dalam menyatukan hati,

kesucian jiwa, keleluasaan menelaah, dan kedalaman menyelami makna-

makna yang dalam dan rumit lalu menyusunnya dalam ungkapan dan

penjelasan yang prima dan hal-hal lainnya yang tak terhitung jumlahnya.”

2. Adanya hubungan baik dengan pihak penguasa, kemampuan mereka

dalam melobi dan menanamkan pengaruhnya terhadap penguasa, mampu

menjaga rumah-rumah mereka dari tekanan Pemerintah minta pertolongan

dari kekuatan Negara, dalam menyerang lawan-lawannya jia mereka mau,

Amr bin ‘Ubaid salah satu tokoh madzhab ini, adalah teman-teman dan

sahabat dekat Khalifah Abu Ja’far al – Mansur, hanya saja Amr bin ‘Ubaid

menolak tawaran Khalifah. Malah ia meminta Khalifah untuk tidak

mengundangnya lagi. Walaupun demikian , ia dengan beraninya berbicara

dihadapan Khalifah mengkritik apa yang telah dilakukannya mengenai

Wali al – Ahad. Andaikata bukan Amr bin Ubaid yang berbicara

demikian , tentu Khalifah tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi


20

dengan yang satu ini, ia membiarkannya bahkan menghormatinya,

sedangkan Abu Hudzail adalah guru Khalifah al – Makmun. Mengenai

orang ini, Abu Hanifah al-Dainuri berkata : Khalifah al-Makmun

menyelenggaraka majlis untuk berdiskusi mengenai permasalahan-

permasalahan lainya, dan yang menjadi Guru pembimbingnya adalah al-

Huzdail al-Alaf. An Nidham berhubungan erat dengan Muhammada bin

Ali ibn Sulaiman, salah seorang pejabat dinastiy Abbasiyah dan dengan

Ahmad ibn Abu Dawud, seorang Hakim Agung Khalifah al-Mu’tasim dan

adalah yang dituju surat al-Makmun kepada saudaranya, al-Mu’tasim,

ketika berwasiat menjelang kematiannya Abu Abdullah bin Abu Dawud

tidak boleh anda lupakan dalam setiap musyawarah urusan-urusan kamu

karena disanalah tempatnya yang sangat tepat.

3. Kerja sama yang antara pengikutnya, kuatnya tali persaudaraan dan

persahabatan yang mereka bangun dan membangun hubungan

persahabatan diatas kasih sayang. Mengenai gambaran tentang ini, telah

banyak sastrawan yang membuat permisalan untuknya Abu Muhammad

al-Alawi mengirim surat kepada Abu Bakar al-Khawaijimi yang diantara

isinya dia berkata : Sungguh kasih sayang mereka bagaikan kasih sayang

orang Syi’i terhadap Ali AR. Akibat dari kesemua ini adalah terjalinnya

hubungan yang erat pengikut madzhab Mu’tazilah dengan Khalifah al-

Makmun disetiap daerah kekuasaannya dan setiap orang pada zaman

kekuasaan Khalifah ini menganut faham Al-Qur’an itu diciptakan

( Makhluk ). Untuk menyebarkan faham ini, Khalifah mengirim surat


21

edaran kepda setiap penguasa daerah untuk menyebarkan sehingga

menjadi faham resmi bagi rakyat. Surat edaran dikrimkan ke Mesir

sampai bulan Jum’at al-Tsani tahun 218 H. Menanggapi surat ini penguasa

Mesir melakukan mihnah ( inquisi / pengadilan faham yang dianut

sesorang ) sehingga mengakui faham kemakhlukan AlQur’an yang dimulai

dari Hakim, para saksi dan para ahli Hadihtnya lalu mereka itu.

Malapetaka ini terus berlanjut pada masa kekuasaan al-Makmun dan

Khalifah sesudahnya sampai tidak terlewatkan untuk ( Mihnah ) mulai dari

ahli fiqih, ahli hadith, muadzin, sampai seluruh tenaga pengajar sehingga

masyarakat banyak yang melarikan diri dari penjara penuh dengan orang-

orang yang menolak eruan pemerintah, ketika itu juga Ibnu Abu al-Laits

diperintahkan untuk mengirim surat ke setiap Masjid la ilah illa Allah

Rabb Al-Qur’an al-Makhluk. ( Tidak ada Tuahn selain Allah Rabb Al-

Qur’an yang diciptakan) dan ia menulis surat-surat ke Masjid-Masjid

Fustat, Mesir. Pada zamanini pula para Fukaha penganut Madzhab Syafi’i

dan Maliki dilarang untuk memasuki Masjid.

Sebelum terjadinya malapetaka ini, Washil bin ‘Atha, ia sukses dalam

meraih tokoh yang menjadi pengikutnya lalu mereka dikirim menjadi Da’i ke

setiap daerah dan Negarauntuk menyebarkan faham i,tizalinya kepada

masyarakat. Abdullah ibn al-Harist dikirim ke wilayah barat, Hafidz bin

Salim di kirim ke wilayah Khurasan dan Tarmudz, juga di utus untuk berdebat

dengan Jahm ibn Shafwan sampai akhirnya Jahm kalah olehNya. Al-Qosim

dikirim ke daerah Yaman, Ayub ke daerah semenanjung arab, Hasan ibn


22

Dakwan ke Kuffah dan mengutus Utsman ath-Athawil ke Armenia. Seluruh

Da’i ini sangat bertanggung jawab keberhasilan misi masing-masing. Dalam

menjalankan tugasnya, mereka banyak mendapatkan serangan yang sengit,

terutama dari para Ulama setempat sehingga misi mereka hampir tidak

berhasil dan barulah mereka mendapatkan banyak pengikut setelah masa

inkuisi ( dukungan ) yang diintruksikan Khalifah al-Makmun. Pada zaman

inilah kekuatan mereka semakinmkokoh, kekuasaan mereka makin meluas

sampai Yakut berkata : “Pengikut Washil ibn ‘Atha sangat banyak jumlahnya.

Mereka hampir mencapai 30.000 orang dalam setiap halaqohnya”. Hal yang

senada juga diungkapkan oleh ash-Safadiy seraya berkata : Barang siapa yang

menelusuri rangkaian pengikutnya lewat jalur Abdul Jabbar, maka ia akan

mengetahui sejumlah pengikutnya yang sangat banyak.

F. Penyandaran Mu’tazilah Kepada Filsafat Yunani

Mu’tazilah Adalah yang pertama kali menyandarkan kekuatan kepada

filsafat Yunani, dengan filasafat mereka memperkuat argumentasi-

argumentasinya : cukup banyak perkataan –perkataan an-Nidlam, Abu

Hudzail, Zahidz dan selainnya mengutip ungkapan –ungkapan Yunani,

sedangkan tokoh yang lainnya menjadikan sebagai metode dalam dialog dan

memberitakan penilaian. Merekalah mereka pertama kali

memperkenalkan,berinteraksi dan menjadikannya sebagai metode ilmu dan

dialog mereka dengan rivalnya. Mereka menuduh para teolog, khususnya

yang bermadzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, bersikap ta’ashub ( fanatik )


23

taklid, dan memusuhi, pintu kebimbangan menanti para teolog ini dan pintu

keyakinan telah tertutup dari mereka dan bukanlah merupakan takdir Allah

terlahiirnya seorang tokoh dalam Agama ini yang terpercaya baik dalam

keadaan sunyi maupundalam keadaan ramai, yang berpegang teguh pada Al-

Qur’an dan Ash-Shunnah RasulNya sahabat-sahabatnya yang suci dan baik

terhadab hal yang menjadi pegangan para pendahulu yang shaleh ( Salaf As-

Shaleh ) seperti tokoh – tokoh ahli Hadit, seorang yang kemudian menguasai

ilmu debat dan diskusi, memahami penyimpangan-penyimpangan yang

terjadi dalam Agama ( Islam ) mampu melepaskan diri dari cengkeraman dan

kungkungan orang – orang yang berada di jalur yang bathil serta mampu

keluar tipu daya mereka. Itulah Dia Abu Hasan Asy’yari yang mereka

maksud.

Al-Asy’ariy tampil didepan publik seraya memproklamirkan teolog

yang mereka anut dengan pidatonya : “ sandaran otoritas pendapat kami dan

keyakinan ke Agamaan yang kami anut adalah berpegang teguh pada Al-

Qur’an dan Ash-Sunnah RasulNya, Atsar sahabat perkataan tabi’in, para

pembela Hadith dan terhadap apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hambal,

semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya dan melipat

gandakan pahalanya. Barang siapa yang menyalahi perkataan, maka ia jauh

dari agama yang benar karena dia adalah seorang imam yang paripurna,

lewatnyalah Allah menampakkan kebenaran diatas kebathilan, “ Penegasan

lebih lanjut mengenai masalah yang sama dapat kita temukan buku karyanya

yang berjudul, Maqalat al-Islamiyyin, yaitu buku yang di tangan pembaca.


24

Setelah ia membahas tentang Ahlu Ash-Shunnah dan Hadit, ia menulis

Dengan Ilmu dari yang telah disebutkan itulah kami berkata dan bermadzhab.

Tak ada yang memberikan pertolongan kecuali Allah. Cukuplah Ia sebaik-

baik Penghisap dan sebaik-baik Wakil Kami: KepadaNya kami memohon

pertolongan, bertawakal dan kembali.” Sebenarnya Ahlu Hadith, mula-mula

tidak mengakui dan menerima usaha Asy’ariy untuk memadukan madzhab

AHLUSUNNAH dengan madzhab RASIONALIS baik dengan alasan

prasangka (Prejudice ) bahwa sia-sia faham i’tizali belum sirna dalam jiwa

Asy’yari maupun dengan alasan penolakan mereka terhadap metode berfikir

Kalami yang pada gilirannya melahirkan keengganan mereka untuk

menggunakan idiom-idiom dan jargon-jargon yang digunakan para teolog

( Mutatakillm ). Bukti penolakan Ahlu al-Hadit terhadap ini bisa di temukan

dalam tulisan Ibn al-Jauzi. “ Asy’ariy itu hidup dalam faham Mu’tazilah

dalam rentang waktu yang cukup panjang, lalu ia menawarkan faham baru

terhadap Masyarakat”. Akan tetapi pada kurun berikutnya banyak juga yang

menerima faham Asya’ariy ini dapat mereka yakini bahwa apa yang mereka

lakukan berdasarkan motif yang baik, hal itu dapat dibuktikan dari komentar

ibn Thaimiyah dalam buku Muwafaqat shahih al-Manqul; Ia berkata Ketika

al-Asy’ariy konversi dari Madzhab Mu’tazilah, Ia menempuh cara Ibn

Kullab, membela sunnah dan Hadith dan menyadarkan pendapat-pendapatnya

kepada Imam Ahmad ibn Hambal sebagaimana dikemukakannya sendiri

dalam seluruh buku, karangan seperti dalam al-Ibanah, al-Mujaz, al-Maqalat

dan lain-lain. Ia bergaul pada pembela sunah dan Hadith sebagaimana halnya
25

ia bergauldengan para teolog (Mutakallim ) seperti Ibn Aqil seorang Ulama

mutakhir penganut Madzhab Hanbali. Akan tetapi Asy’ariy dan Imam-imam

sahabatnya mengikuti madzhab Hanbali lewat imam-imam Ahlis Shunah dan

Hadith, seperti dari Ibn Aqil dan murid-muridnya, diantaranya Ibn al-Faraj al-

Jauzi. Sedang para pendahulu pengikut Ahmad ibn Hanbal seperti Abu Bakar

Abdul Azis dan Abu Hasan At- Thaimiy dalam karya-karyanya mereka

secara keseluruhan mengungkapkan dalil-dalil hayan yang bersesuaian

dengan sunnah dan mereka menganggap apa yang dikatakan oleh asy’ariy

merupakan penentangan seorang ikti’jali. Lebih lanjut ibn Thaimiyah juga

mrngungkapkan sebab-sebab berpalingnya sebagian Ahli Hadith ar faham

Asy’yariy . Tentang hal in mengatakan “ Adapu dalam masalah Iktiyariyah

(kebebasan memilih / free will ) maka ibn kullab dan Asy’ariy serta orang-

orang sependapat dengannya menafikan juga membangun pendapat yang

berbeda menyikapinya masalah Al-Qur’an. Oleh sebab itu mereka menjadi

perbincangan masyarakat karena bertentangan dengan mereka apa yang

didapatkannyadalam buku-buku yang mereka pelajari dari tulisan Ulama

pendahulunya tidak hanya sampai disitu , Al-Asy’ariy juga dituduh

melakukan bid’ah dan masih adanya sisa-sisa Kemu’tazilahannyadan

pendapat ini sangat ersebar diantara pengikut Madzhab Hanbali sebagaimana

dalam madzhab-madzhab lainnya.

Jika demikian duduk persoalanya maka perbedaan antara Asy’ariy

dengan Ahmad ibn Hanbal sebagai madzhab anutan, sebenarnya bukan hanya

dilakjukan olehnya , melainkan hampir seluruh pengikut imam-Imam ini


26

mempunyai perbedaan pendapat dengan pendiri tokoh Madzhab, diantara

qadli Abu Ya’la dan pengikutnya, Ibn Aqil , Abu Hasan Azzaquni dan

lainnya. Oleh karena perbedaan pendapat antara Asy’ariy bukanlah

merupakan Bid’ah dan bukan pula adanya sisa-sisa pengaruh I’tizali

( mu’tazilah ) dalam dirinya. Hal itu semata-mata terdorong oleh kecintaanya

yang tulud dan jujur untuk memadukan anatara penganut RASIONALIS dan

penganut SUNNAH8.

8
Aliran Theologi Islam, Karangan abul Hasan al-Asyhari, buku I
27

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I’tazala) yang artinya

“meninggalkan“ atau “menjauhkan diri“. Mu’tazilah adalah salah satu madzhab

Theologi dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya

dikaitkannya dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh GuruNya, Hasan

Basri, karena perbedaan tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar.

Diantara Doktrin aliran Mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka adalah

mengenai kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam 5 (lima) prinsip pokok yang

disebut “al – Ushul al – Khamsah“ yaitu:

1. Tauhid

2. Keadilan Tuhan

3. Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)

4. Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)

5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat

jahat)
28

DAFTAR PUSTAKA

Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif

Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas

Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6

Drs. Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas

Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163

Drs. Supiana, M. Ag. Dan M. Karman, M. Ag. Materi Pendidikan Agama Islam.

2004. Hal 181-185

Anda mungkin juga menyukai