Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MU’TAZILAH

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Dra. Halimah, S.M., M.Ag.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 7

RIFKY ARITAMA (11190340000042)

M. FAKHRI FADHLURRAHMAN (11190340000061)

ROSHIIFAH BIL HAQ (11190340000076)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam memiliki sumber hukum yaitu dari Al-Qurán dan Hadits. Namun dalam
implementasinya/memahaminya, mereka berbeda-beda pendapat hingga muncul lah
aliran-aliran seperti, mu’tazilah asyáriyah dll.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba mengenal
Mu’tazilah dari penamaan hingga ajarannya dan hal-hal lain yang berkaitan
dengannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan penamaan Mu’tazilah?
2. Bagaimana sejarah muncul dan perkembangannya?
3. Apa saja lima pokok ajaran Mu’tazilah dan para tokohnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Mu’tazilah
2. Untuk mengetahui sejarah muncul dan perkembangannya
3. Untuk mengetahui lima pokok ajaran Mu’tazilah dan para tokohnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Penamaan Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah diambil dari kata I’tizal yang berarti memisahkan diri, Adapun
asal usul cerita munculnya kata Mu’tazilah, ketika masalah status dosa besar hangat
diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah, tokoh Washil ibn Átha tampil dengan
pendapatnya sendiri yang berbeda dengan kedua pendapat yang ada sebelumnya.
Washil mengemukakan pendepatnya ini di hadapan majelis gurunya Hasan al-Bashri.
Oleh sang guru Ketika itu, Washil spontan disebut Mu’tazilah. Dalam asal usul kata
Mu’tazilah terdapat beberapa versi yang dikemukakan oleh para ahli ilmu, di antaranya
sebagai berikut:

a. Menurut Al-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi


antara Washil ibn Atha bersama temannya Amr ibn Ubaid dan Hasan al-Bashri
di Basrah. Washil selalu aktif mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan
oleh Hasan al-Bashri di Masjid Basrah. Pada suatu hari salah seorang yang
mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan al-Bashri tentang kedudukan orang
yang berbuat dosa besar. Mengenai orang yang berbuat dosa besar, kaum
Khawarij memandang mereka itu kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang
mereka tetap mukmin. Sementara Hasan al-Bashri sedang berpikir, Washil
mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar
bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu, ia berdiri menjauhkan diri
dari Hasan al-Bashri lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke
tempat lain di masjid itu juga. Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan
mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan al-Bashri berkata: “Washil
menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna). Kemudian mereka disebut Mu'tazilah,
artinya orang yang menjauhkan diri”1.
b. Dalam versi lain menurut versi al-Baghdadi, Washil dan temannya Ámr ibn
Úbaid diusir oleh Hasan al-Bashri dari majelisnya, kerena mereka

1
Hasan Basri, dkk, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran, (Bandung, Azkia Pustaka Utama, 2006).
Hal.38
membicarakan masalah qadar dan pelaku dosa besar. Keduanya meninggalkan
majelis Hasan al-Bashri, lalu mereka beserta para pengikutnya disebut kaum
Mu’tazilah.2

B. Sejarah Muncul dan Perkembangannya


a. Sejarah Awal
Suatu ketika Hasan al-Bashri (W. 728 M) seorang ulama terkemuka asal
Iraq mendapat sebuah pertanyaan dari jama’ahnya mengenai apa hukumnya
seseorang melakukan dosa besar. Namun, belum sempat ia menjawab, ada salah
satu muridnya yang ikut menjawab yaitu Washil ibn Atha (W. 748 M) yang
menyatakan bahwa melakukan sesuatu perbuatan dosa besar tidak mu’min dan
juga tidak kafir. 3
Lalu, Washil ibn Atha meninggalkan majelis gurunya dan membuat
majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya. Ajaran ini kemudian
dikenal dengan nama “al-manzilah bain al-manzilatain”,4 posisi antara mu’min
dan kafir, baik di dunia maupun di akhirat.
Peristiwa itulah yang melatarbelakangi lahirnya kelompok Mu’tazilah.
Awal mulanya Mu’tazilah lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi
yang dikembangkan oleh kelompok Khawarij dan kelompok Murji’ah.
Nama Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti mengasingkan
diri. Menurut suatu pendapat, nama itu diberikan oleh Hasan al-Bashri setelah
melihat Washil memisahkan diri. Mengasingkan diri bisa berarti mengasingkan
diri dari majlis Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murjiah
atau Khawarij. Menurut pendapat lainnya, nama Mu’tazilah bukan berasal dari
Hasan al-Bashri, melainkan ditujukan untuk orang-orang yang memisahkan diri
dari pertikaian politik pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Teori disandarkan kepada riwayat dari ath-Thabari.5
Namun, nama Mu’tazilah sendiri lebih dicondongkan kepada peristiwa
Washil ibn Atha dan gurunya, Hasan al-Bashri. Meski penyebutan ini sudah
lahir sejak zaman para Sahabat. Awal mulanya kelompok Mu’tazilah pun

2
Dr. Suryan A. Jamrah, M.A., Studi Ilmu Kalam (Jakarta, Prenadamedia Group, 2015 Cetakan ke-1) Hlm.127
3
Ibid, hal. 127
4
Ibid, hal. 127
5
Ibid, hal. 127
terlibat masalah-masalah politik pada zaman itu, namun seiring berkembangnya
zaman, Mu’tazilah lebih menonjolkan persoalan kalam dan filsafat ke dalam
ajaran dan pemikiran mereka.
Nama Mu’tazilah sendiri sebetulnya kelompok mereka sendiri lah yang
menamakannya demikian. Selain menyebut diri mereka dengan Mu’tazilah,
kelompok ini juga menyebut diri mereka dengan sebutan Ahl al-Tauhid wa ahl
al-Adl, yang bermakna mempertahankan keadilan tuhan dan kemurnian tauhid.
Selain menyebut diri mereka dengan sebutan di atas, mereka juga
terbiasa disebut dengan al-Jahmiah, karena mereka menganut paham nafyu al-
shifat, nafyu al-ru’yat, dan kemakhlukan al-Qur’an.
b. Mu’tazilah Lahir Karena Masalah Agama
Selain itu, pada abad kedua Hijriah, kota Baghdad yang saat itu menjadi
pusatnya ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, banyak sekali pikiran-pikiran
filsafat banyak mempengaruhi umat Islam. Banyak juga orang-orang muallaf
yang masih menyampurkan kepercayaan terdahulu mereka dengan ajaran Islam.
Adapula yang masuk Islam guna menghancurkan Islam dari dalam. Dari situasi
seperti itu maka lahirlah Mu’tazilah untuk menghalau perpecahan dan
perbedaan pendapat pada masa itu.
Mu’tazilah mengangkat konsep jalan tengah untuk mempromosikan
pendapatnya yang berbeda. Pendapatnya tidak terlalu kerasa seperti Khawarij
dan juga tidak terlalu lemah seper Murji’ah, yaitu bain al-manzilataini, di antara
dua pendapat yang berbeda.
Maka dari itu, tak dapat dipungkiri bahwa lahirnya ilmu kalam oleh para
ahli dinisbatkan atas jasa-jasa dan karya mereka. Karena Mu’tazilah adalah
aliran kalam yang utuh yang lahir dengan metode rasional dan materi yang
menyeluruh serta pembahasan yang mendalam. Ilmu kalam merupakan
perpaduan filsafat dan logika dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga merupakan
gagasan-gagasan baru, konsepsi filsafat mengenai teologi Islam.
Dengan demikian, lahirnya Mu’tazilah adalah karena masalah agama,
bukan bermotif politis. Meski dalam perkembangan selanjutnya menggunakan
unsur politik guna memaksa dan mengembangkan ajarannya.
c. Puncak Kejayaan Kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah mengalami masa kejayaan pada zaman dinasti Abasiyah,
tepatnya di saat khalifah al-Ma’mun memimpin. Pada zaman khalifah ini pula
sekolah Mu’tazilah pertama didirikan. Pendirinya adalah Abu Huzail al-Allaf
(W. 235 H).6 Sekolah ini menekankan pengajaran rasionalisme dalam aspek
pemikiran dan hukum Islam.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun pula mazhab Mu’tazilah dijadikan
sebagai mazhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim semakin
mengokohkan mazhab ini. ilmu pengetahuan pun berkembang pesat pada masa
ini. namun, ada tragedi yang dinamakan mihnah,7 yaitu semacam tes untuk se-
pemahaman atau se-ideologi dengan pemerintahan saat itu. yang tidak
sepemahaman akan dipersekusi dan dieksekusi.
Bahkan salah satu imam mazhab terkenal, yaitu Imam Ahmad bin
Hanbal tak luput dari penyiksaan dan hukuman penjara karena tidak seideologi
dengan pemerintahan saat itu.8 tercatat Imam Ahmad bin Hanbal selalu
dipersekusi, dipenjara, bahkan dicambuk karena kokoh dengan pendiriannya
karena tidak mau mengakui al-Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad bin Hanbal
bebas pada masa al-Mutawakkil, ia resmi menarik dekrit mengenai al-Qur’an
itu makhluk.
d. Mu’tazilah Mengalami Kemunduran
Aliran ini semakin zaman mulai mengalami kemunduran. Faktor yang
menyebabkan kelompok ini mengalami kemunduran yaitu karena mereka
terlalu mengangungkan akal, sehingga seolah-olah mengabaikan al-Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber akidah mereka.9
Lalu, karena kelompok ini sering memenjarakan dan melakukan tindak
kekerasan ke pada ulama-ulama yang tidak seideologi atau sepemahaman
dengan mereka. Sehingga ini menimbulkan kebencian masyarakat terhadap
kelompok ini.

6
Rohidin, “Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal El-Afkaar Vol. 7 Nomor II, Juli-Desember 2008,
hal. 4
7
Fahrudin Faiz, “Kekerasan Intelektual dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), Jurnal
Esensia Vol. XIII No. 1 Januari 2012, hal. 5
8
Marzuki, “Ahmad bin Hanbal (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya), Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005,
Hal. 110
9
Mawardy Hatta, Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 12.
No. 1, 2013. Hal. 102
Pemerintah pada masa itu pula mulai mencabut Mu’tazilah sebagai
aliran resmi negara. Tercatat tiga khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi negara adalah al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq. Maka
tak heran jika penguasa setelah tiga khalifah ini mencabut mazhab Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi negara, bahkan termasuk pelarangan Mu’tazilah pula.
Maka dari itu ini turut melemahkan posisi kelompok Mu’tazilah hingga
akhirnya lenyap dari dunia Islam.
Selain itu, mulai berkembangnya aliran teologi Asy’ari yang dipelopori
dan dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari yang bercorak tradisional dan
moderat. Teologi ini kemudian berkembang pesat bahkan sampai saat ini.
C. Lima Pokok Ajaran Mu’tazilah dan Para Tokohnya
Mu’tazilah memiliki pokok ajaran sistematis yang disebut dengan al-Ushul al-
Khamsah atau lima dasar utama. Abu al-Hasan al-Khayyath mengatakan dalam
kitabnya yang berjudul al-Intishar, bahwa tidak seorang pun berhak disebut penganut
Mu’tazilah sampai Ia mengakui keseluruhan al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Tauhid, al-
‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-‘Amr bi al-Ma’ruf
wa al-Nahy ‘an al-Munkar.10
a. Al-Tauhid
Al-Tauhid telah disepakati oleh seluruh umat Muslim sebagai ajaran pokok
dalam Islam. Akan tetapi bagi Mu’tazilah, tauhid adalah memahami bahwa
Allah merupakan dzat yang unik dan tidak ada sesuatu apapun yang
menyerupai-Nya. Mereka berupaya ketat mempertahankan kemurnian tauhid
dengan prinsip al-tanzih. Hal ini menimbulkan adanya paham nafyu al-shifat,
yakni menolak adanya sifat-sifat pada Allah karena dipandang menimbulkan
banyaknya yang qadim.11
Paham lain yang muncul ketika memelihara kemurnian tauhid ialah tentang
kemakhlukan Al-Qur’an. Hal ini terkenal dengan sebutan mihnah yang terjadi
pada masa pemerintahan al-Makmun.
b. Al-‘Adl
Apabila ajaran al-Tauhid sangat menekankan keesaan Allah pada zat dan sifat,
maka dalam al-‘Adl kaum Mu’tazilah ingin menekankan keesaan Allah dari segi

10
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Juz I, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t). Hal. 119
11
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015). Hal. 132-133
perbuatan. Bagi mereka, Allah pasti adil, segala perbuatan-Nya baik, sepi dari
keburukan dan kezaliman.12
Ajaran ini pun menimbulkan paham al-Shalah wa al-Ashlah yang artinya Allah
wajib berbuat yang baik dan terbaik untuk manusia. Maka dengan demikian,
Allah yang adil tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya.
c. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Kelanjutan dari al-‘Adl, ajaran al-Wa’ad wa al-Wa’id ialah tentang janji dan
ancaman. Artinya sebagai bentuk keadilan Allah, kaum Mu’tazilah meyakini
bahwa Allah pasti dan harus menepati segala janji dan ancaman yang telah
tercantum dalam firman-Nya (Al-Qur’an).13
Dengan demikian, janji Allah tentang pahala atas kebaikan dan siksaan atas
kejahatan pasti akan terjadi. Apabila seseorang berbuat baik akan mendapat
kebaikan, sedangkan seseorang yang berbuat jahat akan dibalas dengan siksaan
pedih.14
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Secara historis, pemikiran ini adalah ajaran pertama yang muncul di kalangan
Mu’tazilah. Ajaran ini berkaitan dengan status mukmin yang merupakan pelaku
dosa besar atau bisa disebut orang fasik. Menurut salah satu tokoh Mu’tazilah
Washil ibn Atha, para orang fasik ini berada di tengah, yakni tidak mukmin dan
tidak pula kafir.15
Orang fasik atau mukmin yang melakukan dosa besar tidak dapat masuk surga
karena tidak termasuk orang mukmin dan tidak masuk neraka karena tidak
tergolong orang kafir. Sehingga yang adil ialah berada di antara keduanya,
namun tidak ada tempat selain surga dan neraka. Maka tempat yang benar ialah
berada di neraka tetapi mendapat siksaan yang ringan.16
e. Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Ajaran Mu’tazilah yang terakhir adalah menyeru berbuat kebaikan dan
mencegah perbuatan buruk. Hal ini berkaitan dengan ajaran pokok lainnya,

12
Ibid, hal. 134
13
Ibid, hal. 136
14
Zuhelmi, Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di
Indonesia, Jurnal Ilmu Agama, Vol. 14. No. 2, 2013. Hal. 131
15
Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu…, Hal. 136
16
Elpianti Sahara Pakpahan, Pemikiran Mu’tazilah, Jurnal Al-Hadi, Vol. 2. No. 2, 2017. Hal. 419
yakni sebagai media dalam menyebarkan dan mengaplikasikan keempat ajaran
pokok sebelumnya.17
Mengenai ajaran ini, penganut Mu’tazilah memiliki pendapat yang sama dengan
golongan umat Islam lainnya. Menurut mereka, menyeru kebaikan dan
mencegah keburukan sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Bagi kaum
Mu’tazilah, orang yang menyalahi ajaran mereka dianggap sesat dan harus
segera diluruskan.

Selain kelima pokok ajaran atau al-Ushul al-Khamsah tersebut, aliran


Mu’tazilah juga memiliki berbagai tokoh yang berperan dalam perkembangan aliran
ini. Tokoh-tokoh penting aliran Mu’tazilah di antaranya sebagai berikut:

a. Washil ibn Atha (80-131 H)


Washil ibn Atha lahir di Madinah dan menetap di Basrah. Ia merupakan
pemimpin sekaligus tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah. Oleh
karena itu, Washil ibn Atha diberi gelar kehormatan Syaikh al-Mu’tazilah wa
Qadimuha.18
b. Al-Allaf (135-235 H)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail Al-Allaf.
Ia merupakan pemimpin Mu’tazilah yang kedua di Basrah. Pengetahuannya
tentang filsafat dan logika memudahkannya menyusun dasar-dasar ajaran
Mu’tazilah dan menjadi ahli debat.19
c. Bisyir Al-Mu’tamar
Bisyir Al-Mu’tamar adalah pendiri sekaligus pemimpin aliran Mu’tazilah di
Baghdad. Ia merupakan tokoh yang membahas konsep tawallud (reproduction),
yakni batas-batas pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya.20
d. Al-Khayyath

17
Hasan Basri, dkk, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran, (Bandug: Azkia Pustaka Utama, 2006).
Hal. 46
18
Mawardy Hatta, Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 12.
No. 1, 2013. Hal. 92
19
Hasan Basri, dkk, Ilmu Kalam: Sejarah…, hal. 40
20
Ibid, hal. 41
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein al-Khayyath. Ia termasuk salah satu
tokoh Mu’tazilah di Baghdad. Bukunya yang berjudul Al-Intishar berisi tentang
pembelaan aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar-Rawandi.21
e. Az-Zamakhsyari (467-538 H)
Nama lengkapnya adalah Jarullah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Ia
terkenal sebagai tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastra. Dalam
karangannya, Ia menonjolkan paham Mu’tazilah secara terang-terangan, salah
satunya dalam kitab tafsir Al-Kassyaf.22

Selain kelima tokoh di atas, ada beberapa tokoh penting lainnya dalam aliran
Mu’tazilah, seperti An-Nazzham, Al-Jubba’i, dan Al-Qadhi Abdul Jabbar.

21
Ibid, hal. 42
22
Ibid, hal. 42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata Mu’tazilah diambil dari kata I’tizal yang berarti memisahkan diri, Adapun
asal usul cerita munculnya kata Mu’tazilah, ketika masalah status dosa besar hangat
diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah, tokoh Washil ibn Átha tampil dengan
pendapatnya sendiri yang berbeda dengan kedua pendapat yang ada sebelumnya.
Washil mengemukakan pendepatnya ini di hadapan majelis gurunya Hasan al-Bashri.
Oleh sang guru Ketika itu, Washil spontan disebut Mu’tazilah

Mu’tazilah awal mulanya lahir karena masalah agama, bukan bermotif politis.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya menggunakan unsur politik guna memaksa
dan mengembangkan ajarannya

Mu’tazilah mengalami puncak kejayaan pada masa khalifah al’Ma’mun, al-


Mutashim, dan al-Watsiq. Bahkan pada masa itu Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab
resmi. Namun pada masa al-Mutawakil mencabut dekrit Mu’tazilah dari mazhab negara
dan juga itu menandakan awal kemunduran dari aliran Mu’tazilah.

Aliran Mu’tazilah memiliki lima pokok ajaran atau biasa disebut al-Ushul al-
Khamsah. Kelima pokok ajaran tersebut adalah al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-
Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-
Munkar.

Tokoh-tokoh penting dalam perkembangan aliran Mu’tazilah di antaranya


adalah Washil ibn Atha, Al-Allaf, Bisyir Al-Mu’tamar, Al-Khayyath, Az-Zamakhsyari,
An-Nazzham, Al-Jubba’i, dan Al-Qadhi Abdul Jabbar.
B. Saran

Menyadari bahwa penyusun masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami
akan berusaha untuk menyusun makalah dengan lebih baik lagi. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami butuhkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

• A. Jamrah, Suryan. 2015. Studi Ilmu Kalam. Jakarta: Prenadamedia Group.


• Basri, Hasan, dkk. 2006. Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran.
Bandung: Azkia Pustaka Utama.
• Faiz, Fahrudin, 2012. “Kekerasan Intelektual dalam Islam (Telaah Terhadap
Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), Jurnal Esensia Vol. XIII No. 1
• Hatta, Mawardy. 2013. Aliran Mu’tazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam.
Jurnal Ilmu Ushuluddin. Vol. 12. No. 1.
• Marzuki, 2005. “Ahmad bin Hanbal (Pemikiran Fikih dan Ushul Fikihnya), Jurnal
Hunafa Vol. 2 No. 2
• Pakpahan, Elpianti Sahara. 2017. Pemikiran Mu’tazilah. Jurnal Al-Hadi. Vol. 2. No. 2.
• Rohidin, 2008 “Mu’tazilah; Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal El-Afkaar Vol. 7
Nomor II
• Zahrah, Muhammad Abu. TT. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Juz I. Mesir: Dar al-
Fikr al-‘Arabi.
• Zuhelmi. 2013. Epistemologi Pemikiran Mu’tazilah Pengaruhnya Terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia. Jurnal Ilmu Agama. Vol. 14. No. 2.

Anda mungkin juga menyukai