Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala limpahan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teologi Islam klasik
Aa Asyariah dan Maturidiyah”. Tanpa pertolongan-Nya, penulis belum tentu
sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam penyusunan makalah ini,
tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan,
dan kerjasama yang dari semua pihak yang telah membantu dalam terselesainya
makalah ini sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga materi ini dapat
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan,
khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Terima kasih.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan pastinya banyak hal yang yang berkembang, entah
berkembang dari segi pemikiran, zaman dan juga aliran. Dalam peradaban ini
sudah banyak munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran
pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama
Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada
beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan
segala pemikiranya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang
telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah,
sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu
munculah golongan-golongan lain sebaga reaksi dari golongan satu pada
golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an
dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran
Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang
menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga
yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H
timbulah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan
Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Lahirnya madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi beragam faham
yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai
persoalan pemikiran umat sehingga Asy’ariyah disebut madzhab Ahl Sunnah
yang mula- mula.
Paham Asy’ariyah dalam sejarahnya dikenal dengan paham yang menjadi
jalan penengah antara golongan rasionalis dengan golongan tekstualis, dan
dalam perkembanganya faham ini banyak diterima oleh masyarakat tidak
terkecuali masyarakat Indonesia. Al-Asy’ariyah pasalnya termasuk pengikut
aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40 tahun dan pada akhirnya beliau
membentuk corak pemikiran yang berbeda, beliau berusaha memadukan
keduanya (akal dan naql) dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk
2
pada nash.
Asy’ariah adalah aliran teologi Tradisional yang disusun oleh Abu Hasan
Al- Asy’ari (935) sebagai reaksi atas teologi Mu’tazilah. Dalam
penggolongan teologi Islam, Asy’ariah disebut Ahli Sunnah wal-Jamaah.
Aliran teologi Asy’ariah pada umumnya dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Sunni.1
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh aliran yang tidak jauh berbeda
dengan aliran al- Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan
terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran
al-Maturidiyah berkembang di Samargand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu kawasan
peradaban yang maju. menjadi pusat perkembangan Mu'tazilah disamping
ditemukannya aliran Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut Adam
Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang
besar. Al-Maturidi saat itu terlihat dalam banyak pertentangan dan dialog
setelah melihat kenyataan berkurangnya pembelaan terhadap sunnah. Hal
ini dapat dipahami karena teologi mayoritas saat itu adalah aliran
Mu'tazilah yang banyak menyerang golongan ahli fiqih dan ahli hadits.
Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.
Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab
Mu'tazilah. Bahkan al-Asy'ary pada awalnya adalah seorang Mu'taziliy
namun terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah
ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah
wal jama'ah. Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah
bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa
Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah,
Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin
Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah
penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama
daripada golongan Muktazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang
dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu
ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu
Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di
Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka,
karena fahamannya disokong oleh pemerintah
1
Ali Mudhofir, Kampus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1996), hal. 17.
3
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sejarah Lahirnya
I. Al-Asy’ariyyah
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,2 seorang sahabat Rasulullah saw.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
2
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal.
120.
3
Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497.
4
Kholil Abu Fataeh, Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy’ariyyah, Pustaka Aswaja,
5
Supriadin, “Asy-ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ariyah dan Doktrin-doktrin
Teologinya), hal. 63.
6
Beti Mulu, “Al-Asy’ariyah (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy’ari dan Pokok-Pokok
Ajarannya), hal 2.
4
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah
menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama
bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang
berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Abu
Al-Jubbai tentang dasar-dasar paham aliran Mu’tazilah yang berakhir
dengan terlihatnya kelemahan paham mu’tazilah. Di antara perdebatan-
perdebatan itu ialah mengenai soal Al-Ashlah (“keharusan mengerjakan
yang terbaik bagi Tuhan”). Al-Asy’ari bertanya bagaimana pendapat tuan
tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil (yang mati)? Jawab al-
Jubbai: “Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang
kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang selamat”. Al-Asy’ari
bertanya: “Kalau anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi,
dapatkah ia?”. Jawab al-Jubbâi: “Tidak dapat karena akan dikatakan
kepadanya: orang mukmin tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia
menjalankan ketaatan. Sedangkan engkau tidak”. Al-Asyari bertanya” Anak
kecil akan menjawab, itu bukan salah saya. Kalau sekiranya Tuhan
menghidupkan aku (sampai besar), tentu aku akan mengerjakan segala
keta’atan seperti orang mukmin tersebut”. Jawab al-Jubbai: “Tuhan akan
berkata, Aku lebih tahu tentang engkau. Kalau engkau hidup sampai besar,
tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan menyiksa engkau. Jadi Aku
mengambil yang lebih baik (lebih menguntungkan) bagimu dan Aku
matikan engkau sebelum dewasa”. Al-Asyari bertanya: “Kalau orang kafir
tersebut berkata: Ya Tuhan, Engkau mengetahui keadaanku dan keadaan
anak kecil tersebut. Mengapa terhadap aku Engkau tidak mengambil
tindakan yang lebih baik bagiku (lebih menguntungkan)?”. Kemudian
diamlah al-Jubbâi dan tidak dapat menjawab lagi.7
7
Yogi Sulaeman, Zinul Almisri, Kerwanto, “Teologi Asy’ariyah: Sejarah dan
Pemikirannya”. hal. 27.
5
Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena
itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada
sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan
Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari
menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.8
8
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta:Penerbit UI Press, 2008), hal 67.
9
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120.
6
Al- Asy’ari juga berpendapat bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata
kepala di akhirat nanti.
D. Metode Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah. Mereka mata
teguh memegangi al-ma’sur. ”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat
bid’ah). Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi,
kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di
10
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, (Medan: Perdana Publishing,
2016), hal. 187-188.
11
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, (Medan: Perdana Publishing,
2016), hal. 189.
7
terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas
(Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan
sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak
bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui
pengertian yang di maksud.
Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional. Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga
mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks
agama). Akal dan naql saling membutuhkan, naql bagaikan matahari
sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias
meneguhkan naql dan membela agama.12
E. Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan
Muktazilah, di antaranya ialah:
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena diciptakan.
12
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam (Bumi Aksara: Jakarta,1995), hal. 66.
13
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal.
283.
8
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan- Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan
terjadi kontradiksi.
14
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Karya Abadi Jaya, 2015),
hal. 127.
9
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman
kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin
mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi,
menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja
yang Dia kehendaki.
15
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991),
hal. 67
10
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah
atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di
jelaskan secara alegoris.
11
Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.16
4. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga
tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan).
Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an
adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah
dan karenanya tidak qadim. Nasution8 mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi
Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab
َّنَم ا َقْو ُلَنا ِلْىَش ٍء َذ ٓا َأَر ْد َٰن ُه َأن َّنُقوَل ُهَلۥ ُكن َفَيُكوُن
ِإ ِإ
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)",
maka jadilah ia.” (Q.S. An- Nahl:40).
5. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim,
terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat
dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak
sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah)
di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6. Keadilan
16
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-
Libanon: Dar al-Kurub al- 'Ilmiyah, 1951), hal. 115
12
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al- Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.
Sumber Usul al-dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al
Qur ’ an dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu. Al Maturidiyah
didirikan dalam rangka mengkounter golongan yang lain (seperti
17
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Cet: I, Yogyakarta,
Gajah Mada Unifersity Press, 1996)., hal. 134
13
Mu’tazillah dan Ash’ari ah), akan tetapi tidak disebut al Maturidiyah
hingga setelah kematiannya.18
14
arena perdebatan antara aliran Fikih hanafiah dengan aliran fikih safiiyah
bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan
semacam itu, sebagai mana terjadi juga perdebatan antara Fukoha dan
ahli-ahli hadis disatu pihak dengan aliran Mu’tazilah di pihak lain dalam
soal-soal Maturidi semasa hidupnya dengan Asy’ari, hanya dia hidup di
Samarkhand, sedang Asy’ari hidup di Basrah. Asy ari adalah pengikut
Syafii dan Maturidi pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan
pengikut Asy’ari adalah orang - orang Syafiiyah, sedangkan pengikut
Maturidi adalah orang-orang Hanafiah, memberikan otoritas yang cukup
besar pada akal, paling tidak bila dibandingkan dengan al-Asy’ari yang
juga dikenal sebagai tokoh yang memadukan antara al-aql dan al-naql
dalam teologinya. Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui akal
meski tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai berdasarkan
substansinya, demikian menurut al-Maturidi. Sedangkan menurut al-
Asy’ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara’. 20Boleh jadi ada
perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya
perbedaan pendapat antara Syafii dan Abu Hanifah sendiri.
15
karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu
tauhid.21
B. Pemikiran-pemikiran Maturidiyah
Untuk mengetahui sistem pemikiran al-Maturidi, kita tidak bisa
meninggalkan pikiran -pikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, sebab ia
tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-Asy’ari maupun al-
Matiridi kedua -duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama,
yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah . Perbedaannya ialah
kalau al -Asy’ari menghadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu
basrah dan Irak pada umumnya, maka al-Maturidi menghadapi aliran
Mu’tazilah negerinya, yaitu Samarkand dan Irak pada umumnya, sebagai
cabang atau kelanjutan aliran Mu’tazilah Basrah dan yang mengulang -
ngulang pendapatnya. Untuk jelasnya, dibawah ini disebutkan pendapat -
pendapat al- Maturidi:
16
2. Kebaikan dan keburukan menurut akaleologi Islam (ilmu kalam).
17
Menurut aliran Asy’ariah, segala perbuatan Tuhan tidak bisa
dikatakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan sedang
menurut aliran Mu’tazilah sebaliknya, karena menurut mereka Tuhan
tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya.
Kelanjutannya ialah bahwa Tuhan harus memperbuat yang baik dan
terbaik. Menurut al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan
mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-Nya
maupun dalam perintah dan larangan-larangannya, tetapi perbuatan
Tuhan tersebut tidak karena paksaan. Karena itu tidak bisa dikatakan
wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dari
iradahnya. Sebenarnya perbedaan antara aliran al-Maturidi dengan
aliran Mu’tazilah hanya perbedaan kata-kata sekitar penggunaan
perkataan”waji b”, sedang inti persoalannya sama, yaitu bahwa kedua
-duanya mengakui adanya tujuan dari perbuatan Tuhan.
18
bahwa sifat - sifat itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat.
Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah, ‘ilm, hayah, sama’,
basher dan kalam pada Dzat Allah. Kata mereka, semua itu merupakan
sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada
sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an
seperti Alim (Maha Megetahui), Khabir (Maha Mengenal), Hakim
(Maha Bijaksana), dan Bashir (Maha Melihat), merupakan nama -
nama bagi Dzat Allah.
23
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Cet: I, Jakarta,
Logod, 1996)., hal. 218
19
5. Melihat Allah SWT
20
kecil sebagai orang kafir. Dalam pandangan mereka, ia tidak diakui
sebagai seorang muslim maupun mukmin. Mu’tazilah mengatakan
bahwa pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang mukmin,
sekalipun ia masih diakui sebagai orang muslim. Hanya saja, ia akan
kekal dalam neraka selama ia belum bertaubat dengan taubat yang
sebenarnya, dan siksannya lebih ringan dibandingkan dengan siksa
orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul -Nya. Kelihatannya,
khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu
komponen iman. Sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak
menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Oleh karena
itu,orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman, sekalipun
amal tetap dihisap dan dia akan mendapat siksa, serta Allah dapat saja
mencurahkan rahmat kepadannya. Itu sebabnya Al-Maturidi
berpendapan bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di neraka, sekalipun
ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Berkenaan dengan hal ini ia
mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa
dia tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan kejahatan yang
serupa. Allah berfirman :
َمْن َج اَء اِب ْلَح َس َنِة َفُهَل َع ُرْش َأْم َثاِلَهاۖ َو َمْن َج اَء اِب لَّس ِّيَئِة َفاَل
ْجُي َز ٰى اَّل ِم ْثَلَها َو ْمُه اَل ُيْظ َلُم وَن
ِإ
Artinya:
C. Golongan-golongan Maturidiyah
21
Salah seorang pengikut Al -Matarudi yang berpengaruh adalah Abu
Al -Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H). nenek Al-Bazdawi adalah
murid Al -Maturidi. Dan Al-Bazdawi mengenal ajaran-ajaran Al-Maturidi
dari orang tuanya.
Seperti Al-Baqillani dan al -Juwaini dikalangan Asy’ariyah, maka
Al -Basdawi tidak pula selalu salah faham dengan al -Maturid. Antara
kedua toko aliran Maturidiyyah ini terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan, bahwa dalam aliran Maturidiyyah terdapat dua golong
an, yakni ; golongan Samarkand, yaitu pengikut-pengukut Abu Manshur
al -Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara, yaitu pengikut-pengikut Al -
Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih
dekat kepada paham Mu’tazilah, maka golongan Bukhara mempunyai
pendapat yang lebih dekat kepada Asy’ariyah. Golongan Bukhara ini
sepeninggalan Al- Bazdawi dilanjutkan oleh salah seorang muridnya
bernama Najmuddin Muhammad al-Nasafi (460-573 H) pengarang buku
“Al -“Aqu ‘ad an -Nasafiyah”
Menurut Al -Mawardi, akal mengetahui tiga persoalan teologis, yakni :
1. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan
2. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan
3. Akal dapat mengetahui baik dan buruk
Sedangkan untuk mengetahui kewajiban berbuat yang baik dan
menjauhi perbuatan yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Pendapat ini dapat diterima oleh pengikut-pengikut Maturidiyah di
Samarkad. Dan Pendapat demikian tidak jauh berbeda dengan pendapat
Mu’tazilah. Tetapi pendapat tersebut sebagian ditolak Maturidiyah
Bukhara. Menurut Maturid iyah Bukhara : “akal hanya dapat mengetahui
adanya Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban untuk
mengetahui Tuhan”. Sebab untuk dapat mengetahui kewajiban tersebut
hanya melalui wahyu (Al -Mujib hanyalah Tu han sendirinya). Demikian
juga “akal hanya dapat megetahui yang baik dan yang buruk. Untuk
mengetahui kewajiban -kewajiban tersebut harus dengan melalui wahyu
22
“. Berangkat dari pandangan tersebut, maka Maturidiyah Bukhara
menganggap : “bahwa orang -orang yang belum mendapatkan dakwah
Rasul tidak berkewajiban beriman kepada Tuhan”. Dan andai kata
mereka melakukan perbuatan buruk (maksiat) mereka tidak berdosa.
Dasarnya menurut Al - Bazdawi, antara lain ayat Al -Qur’an surat Al -
Isra’ ayat 15 :
ٱ
َفِإ َّنَم ا ۡهَيَتِد ي ِلَنۡفِس ِه ۖۦ َو َم ن َض َّل َفِإ َّنَم ا َيِض ُّل َعَلَهۡيۚا َو اَل َتِز ُر َد ۡه
َّمِن َت ٰى
ُأۡخ َر ٰۗى َو َم ا ُكَّنا ُم َع ِّذ ِبَني َح ٰىَّت َنۡب َع َث َر ُس وٗل ِوۡز ةٞ اِز
َو َر َر
Artinya:
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri ; dan
barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesak bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus
seorang Rasul”.24
َو َلْو َأَّنٓا َأْه َلْك َٰن ُهم ِبَع َذ اٍب ِّم ن َقْبِهِل ۦ َلَقاُلو۟ا َر َّبَنا َلْو ٓاَل َأْرَس ْلَت َلْي َنا
ِإ
َر ُس واًل َفَنَّتِب َع َء اَٰي ِتَك ِم ن َقْبِل َأن َّنِذ َّل َو ْخَن َز ٰى
Artinya:
23
Pendukung Maturidiyah ini memang sebagian besar dari pengikut
madzhab Hanafi (dalam masalah fiqih). Bagi pengikut Mazhab Maliki
dan Syafi’i umunnya lebih mendukung Asy’ariyah. Oleh karena itu,
meskipun Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa dalam masalah akidah
mengikuti aliran Asy’ariyah atau Maturidiyah, namun dalam realitas dan
praktiknya warga Nahdliyin di Indonesia hanya mengikuti Asy’ariyah
dan sedikit sekali yang mengikuti Maturidiyah. Hanya pada akhir-akhir
ini dengan munculnya kelompok intelektual di kalangan Nahdliyin yang
banyak menikmati pendidikan akedemis, ketertarikan terhadap paham
Maturidiyah tersebut mulai tumbuh, karena dianggap lebih dapat
mengakomondasikan argumentasi-argumentasi rasional, lebih memberi
peluang aktivitas dan kreatifitas nalar. Gejala ini sejalan dengan mulai
berkembangnya penerimaan madzhab Hanafi (diakui secara terbuka atau
samar) oleh sebagian warga. Nahdliyin, terutama dalam bidang fiqih
Mu’amalah . Tetapi fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang
mayoritas bermadzhab Syafi’i, di Negara -negara lain seperti Maroko dan
Aljazair yang mayoritas bermazhab Maliki juga demikian.
Pluralisme ,adzhab rupanya akan menjadi trends di kalangan masyarakat
muslim di dunia ini.
Sungguhpun demikian terdapat juga perbedaan paham yang samar
-samar sekali mengenai hal ini antara kedua aliran itu. Pendapat
Maturidiah Bukhara bahwa akal dapat sampai kepada sebab kewajiban
mengetahui tuhan mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak hanya
dapat sampai kepada pengetehuan adanya tuhan, tetapi juga kepada sifat
terpujinya pengetahuan demikian. Untuk dapat mengetahui sebab
diwajibkannya sesuatu perbuatan orang harus terlebih dahulu
menegetahui sifat terpujinya perbuatan itu. Bagi Asy’ariah akal dapat
sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari itu.
Sejajar dengan pendirian mereka bahwa akal tak dapat mengetahui baik
dan buruk, mereka berkeyakinan bahwa akal juga tak dapat mengetahui
sifat baik atau terpujinya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dari uraian
24
ini dan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Maturidiyah
Bakhara memberi daya yang lebih besar kepada akal dari pada Asy’ariah.
Berlainan dengan kedua golongan di atas, Mu’tazilah dan
maturidiah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak hanya
kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan
demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui tuhan. Tetapi akal,
dalam pendapat Maturidiah Samarkand, tidak dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan. Di sini
terdapat perbedaan antara Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand.
Bagi kedua aliran ini, sebagaimana dijelaskan al-Bazdawi, akal
merupakan mujib dalam hal kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban
berterimah kasih kepada-Nya. Tetapi dalam hal kewajiban berbuat baik
dan keawajiban menjauhi kejahatan akal merupakan mujib hanya bagi
Mu’tazilah. Mujib dalam hal ini bagi Maturidiah Samarkand ialah
Tuhan.25
Dengan demikian Mauturidiah Samarkand mengadakan perbedaan
antara sifat terpujinya mengetahui tuhan dan berterimah kasih kepada-
Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuatan
menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk mengatakan perbedaan
ini mungkin sekali hal yang berikut ini. Dalam hidup sehari-hari akal
dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat.
Seakan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai petunjuk yang kuat
untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan baik
dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat
Maturidiah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat
memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan mengenai baik
dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan buruk dan tidak
pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Dapatlah kiranya
disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberi daya besar kepada akal.
Maturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah,
25
L Cal Browen, Wajah Islam Politik, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003)., hal. 30.
25
tetapi lebih besar dari pada Maturidiah Bukhara. Di antara semuaaliran
itu, Asy’aria hlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abu
Hasan Al- Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh
kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga
periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah,
dan Salaf.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia, 2006
Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin. Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984
Ahmad Hanafi, Teologi Islam,Cet: 12, Jakarta. PT Bulan Bintang, 2001
Ali Mudhofir, Kampus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1996
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Banduing,
Remaja Rosda Karya, 1999
Beti Mulu, “Al-Asy’ariyah Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy’ari dan Pokok-
Pokok Ajarannya
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor,
1991
Departemen Agama Repoblik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.
Jaya Sakti, Surabaya, 1997
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, Medan: Perdana
Publishing, 2016
Hanafi, Mengantar Theology Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1998
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta:Penerbit UI Press, 2008
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam Bumi Aksara: Jakarta,1995
Kholil Abu Fataeh, Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy’ariyyah, Pustaka
Aswaja,
L Cal Browen, Wajah Islam Politik, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-
Libanon: Dar al-Kurub al- 'Ilmiyah, 1951
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Karya Abadi Jaya, 2015
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992
Supriadin, “Asy-ariyah Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ariyah dan Doktrin-
doktrin Teologinya,
Yogi Sulaeman, Zinul Almisri, Kerwanto, “Teologi Asy’ariyah: Sejarah dan
Pemikirannya”.
28