Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala limpahan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teologi Islam klasik
Aa Asyariah dan Maturidiyah”. Tanpa pertolongan-Nya, penulis belum tentu
sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dalam penyusunan makalah ini,
tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan,
dan kerjasama yang dari semua pihak yang telah membantu dalam terselesainya
makalah ini sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga materi ini dapat
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan,
khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Terima kasih.

1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan pastinya banyak hal yang yang berkembang, entah
berkembang dari segi pemikiran, zaman dan juga aliran. Dalam peradaban ini
sudah banyak munculnya berbagai macam golongan-golongan aliran
pemikiran dalam Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama
Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah wafatnya Rosulullah. Ada
beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan
segala pemikiranya. Di antaranya adalah faktor politik sebagaimana yang
telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah,
sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu
munculah golongan-golongan lain sebaga reaksi dari golongan satu pada
golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Ada yang masih dalam koridor Al-Qur’an
dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran
Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang
menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga
yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H
timbulah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang
dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan
Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
Lahirnya madzhab Asy’ariyah yang mencoba mengatasi beragam faham
yang berkembang di kalangan umat Islam dan menjadi penengah berbagai
persoalan pemikiran umat sehingga Asy’ariyah disebut madzhab Ahl Sunnah
yang mula- mula.
Paham Asy’ariyah dalam sejarahnya dikenal dengan paham yang menjadi
jalan penengah antara golongan rasionalis dengan golongan tekstualis, dan
dalam perkembanganya faham ini banyak diterima oleh masyarakat tidak
terkecuali masyarakat Indonesia. Al-Asy’ariyah pasalnya termasuk pengikut
aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40 tahun dan pada akhirnya beliau
membentuk corak pemikiran yang berbeda, beliau berusaha memadukan
keduanya (akal dan naql) dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk

2
pada nash.
Asy’ariah adalah aliran teologi Tradisional yang disusun oleh Abu Hasan
Al- Asy’ari (935) sebagai reaksi atas teologi Mu’tazilah. Dalam
penggolongan teologi Islam, Asy’ariah disebut Ahli Sunnah wal-Jamaah.
Aliran teologi Asy’ariah pada umumnya dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Sunni.1
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh aliran yang tidak jauh berbeda
dengan aliran al- Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan
terhadap sunnah. Bila aliran al-Asy'ariyah berkembang di Basrah maka aliran
al-Maturidiyah berkembang di Samargand.
Kota tempat aliran ini lahir merupakan salah satu kawasan
peradaban yang maju. menjadi pusat perkembangan Mu'tazilah disamping
ditemukannya aliran Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut Adam
Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan Nasrani dalam jumlah yang
besar. Al-Maturidi saat itu terlihat dalam banyak pertentangan dan dialog
setelah melihat kenyataan berkurangnya pembelaan terhadap sunnah. Hal
ini dapat dipahami karena teologi mayoritas saat itu adalah aliran
Mu'tazilah yang banyak menyerang golongan ahli fiqih dan ahli hadits.
Diperkuat lagi dengan unsur terokratis penguasa.
Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab
Mu'tazilah. Bahkan al-Asy'ary pada awalnya adalah seorang Mu'taziliy
namun terdorong oleh keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah
ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar imam ahlussunnah
wal jama'ah. Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa keduanya pernah
bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa
Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah,
Kufah dan Baghdad. Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin
Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al Watsiq adalah khalifah-khalifah
penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya penyokong utama
daripada golongan Muktazilah.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang
dinamakan fitnah ”Al-Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu
ulama yang tidak sefahaman dengan kaum Muktazilah. Pada masa Abu
Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah sangat banyak di
Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka,
karena fahamannya disokong oleh pemerintah
1
Ali Mudhofir, Kampus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1996), hal. 17.

3
BAB II
PEMBAHASAN

B. Sejarah Lahirnya
I. Al-Asy’ariyyah
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah
Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,2 seorang sahabat Rasulullah saw.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abu Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di


Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, 3 ketika
berusia lebih dari 40 tahun. Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar
membaca, menulis dan menghafal al-qur’an dalam asuhan orang tuanya,
yang bertepatan meninggal dunia ketika ia masih kecil. Selanjutnya dia
belajar kepada ulama Hadis, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain kepada al-
Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, ‘Abd
al-Rahman Ibn Khalf dan lain-lain. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-
Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i4 di Masjid Al- Manshur, Baghdad.
Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di
Bashrah.5 Karena kemahirannya ia selalu mewakili gurunya dalam
berdiskusi. Meskipun demikian pada perkembangan selanjutnya ia
menjauhkan diri dari pemikiran Muktazilah dan condong kepada pemikiran
para Fuqaha dan ahli Hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah mengikuti
majlis mereka dan tidak mempelajari ‘aqidah berdasarkan metode mereka. 6

2
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal.
120.
3
Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin (Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984), hal. 497.
4
Kholil Abu Fataeh, Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy’ariyyah, Pustaka Aswaja,
5
Supriadin, “Asy-ariyah (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ariyah dan Doktrin-doktrin
Teologinya), hal. 63.
6
Beti Mulu, “Al-Asy’ariyah (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy’ari dan Pokok-Pokok
Ajarannya), hal 2.

4
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah
menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama
bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang
berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Abu
Al-Jubbai tentang dasar-dasar paham aliran Mu’tazilah yang berakhir
dengan terlihatnya kelemahan paham mu’tazilah. Di antara perdebatan-
perdebatan itu ialah mengenai soal Al-Ashlah (“keharusan mengerjakan
yang terbaik bagi Tuhan”). Al-Asy’ari bertanya bagaimana pendapat tuan
tentang orang mukmin, orang kafir dan anak kecil (yang mati)? Jawab al-
Jubbai: “Orang mukmin mendapat tingkatan yang tertinggi (surga), orang
kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang selamat”. Al-Asy’ari
bertanya: “Kalau anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi,
dapatkah ia?”. Jawab al-Jubbâi: “Tidak dapat karena akan dikatakan
kepadanya: orang mukmin tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia
menjalankan ketaatan. Sedangkan engkau tidak”. Al-Asyari bertanya” Anak
kecil akan menjawab, itu bukan salah saya. Kalau sekiranya Tuhan
menghidupkan aku (sampai besar), tentu aku akan mengerjakan segala
keta’atan seperti orang mukmin tersebut”. Jawab al-Jubbai: “Tuhan akan
berkata, Aku lebih tahu tentang engkau. Kalau engkau hidup sampai besar,
tentu akan mendurhakai Aku dan Aku akan menyiksa engkau. Jadi Aku
mengambil yang lebih baik (lebih menguntungkan) bagimu dan Aku
matikan engkau sebelum dewasa”. Al-Asyari bertanya: “Kalau orang kafir
tersebut berkata: Ya Tuhan, Engkau mengetahui keadaanku dan keadaan
anak kecil tersebut. Mengapa terhadap aku Engkau tidak mengambil
tindakan yang lebih baik bagiku (lebih menguntungkan)?”. Kemudian
diamlah al-Jubbâi dan tidak dapat menjawab lagi.7

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan


Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai

7
Yogi Sulaeman, Zinul Almisri, Kerwanto, “Teologi Asy’ariyah: Sejarah dan
Pemikirannya”. hal. 27.

5
Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena
itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada
sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan
Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari
menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.8

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40


tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah
masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya.

Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari


meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah
bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-
10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
faham yang telah diriwayatkan dari beliau.9

Setelah itu, Al-Asy’ari memposisikan dirinya sebagai pembela


keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase
ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-
Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal. Al-Asy’ari menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah,
Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. dalam hal sifat
tentang sifat Tuhan yang mempunyai sifat-sifat yang disifatkan dalam Al-
Quran: Allah itu mengetahui ilmu-Nya, berkuasa dengan Qudrah, hidup
dengan hayat, berkehendak dengan iradah, berkata dengan kalam,
mendengarkan dengan sama’, melihat dengan Bashar dan lain sebagainya.

8
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta:Penerbit UI Press, 2008), hal 67.
9
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 120.

6
Al- Asy’ari juga berpendapat bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan mata
kepala di akhirat nanti.

Ajaran Al-Asy’ari ini dalam perjalanan selanjutnya mengalami


perkembangan yang cukup pesat dan meluas ke berbagai wilayah muslim
termasuk Indonesia. Perkembangan yang demikian pesat ini dapat
disimpulkan karena dua faktor. Pertama, karena memang pemikiran yang
dimunculkan Al-Asy’ari sesuai dengan tingkat pemahaman mayoritas umat
Islam di wilayah Arab yang tradisional dan fatalistis, serta sesuai pula
dengan hadits-hadits Rasul yang dipegangi secara kokoh oleh umat,
sehingga ajaran ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam. Kedua,
karena kegigihan usaha para tokoh pengikut Al-Asy’ari dalam
mengembangkan umat.10

C. Tokoh dan Ajaran Asy’ariyah


1. Toko-Tokoh Besar Aliran Asy’ariah

a. Abu Hasan Al-Asy’ari

b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)

c. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)

d. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)

e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)

f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M).11

D. Metode Asy’ariah
Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah. Mereka mata
teguh memegangi al-ma’sur. ”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat
bid’ah). Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi,
kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di
10
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, (Medan: Perdana Publishing,
2016), hal. 187-188.
11
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, (Medan: Perdana Publishing,
2016), hal. 189.

7
terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas
(Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan
sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak
bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui
pengertian yang di maksud.

Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan
menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian
rasional. Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga
mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks
agama). Akal dan naql saling membutuhkan, naql bagaikan matahari
sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias
meneguhkan naql dan membela agama.12

E. Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan
Muktazilah, di antaranya ialah:

1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,


seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan
cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.

2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.

3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya
karena diciptakan.

4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan


diciptakan oleh Tuhan.13

12
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam (Bumi Aksara: Jakarta,1995), hal. 66.
13
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hal.
283.

8
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka
menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).

6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu


seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya,
melainkan tidak seperti apa pun.

7. Kebaikan adalah seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun


diperbolehkan oleh Allah SWT. Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban
atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu yang tidak ada larangan secara tegas
dari Allah SWT. Sebaliknya, yang disebut keburukan adalah segala sesuatu
yang dilarang oleh Allah SWT.14

8. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab


tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir.
Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan,


tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.

Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir.


Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau
memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya,
itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.

Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa


Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa
sesuatu yang tidak berawal.

Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan- Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan
terjadi kontradiksi.
14
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, (Karya Abadi Jaya, 2015),
hal. 127.

9
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman
kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin
mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi,
menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja
yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa


orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak
terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar
menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh
memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka
berlaku zalim

F. Ajaran Teologi Al-asy’ari


Formulasi pemikiran Al-asy’ari,secara esensial, menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di
sisi lain. Corak pemikiran yang sintesis ini, menurut watt, barang kali di
pengaruhi teologi ullabiah (teologi sunni yang di pelopori ibn kullab).
Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang terpenting adalah berikut ini: 15

Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:


1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok
mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat,
Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah,
dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harfiyahnya. Di lain pihak, ia

15
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991),
hal. 67

10
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga Allah
atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara harfiah, melainkan harus di
jelaskan secara alegoris.

Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu,


seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara
harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah
dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan- Nya.

2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)


Dalam hal apakah manusia memiliki kemampuan untuk memilih,
menentukan, serta mengaktualisasikan perbuatannya? Dari dua pendapat
yang ekstrim, yakni Jabariah yang fatalistik dan penganut faham
pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham
kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.
Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan
manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang
mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).

3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk


Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya
akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari
mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal. Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-

11
Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah berlandaskan pada akal.16

4. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga
tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan).
Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an
adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling
bertentangan itu Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah
dan karenanya tidak qadim. Nasution8 mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi
Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab

‫َّنَم ا َقْو ُلَنا ِلْىَش ٍء َذ ٓا َأَر ْد َٰن ُه َأن َّنُقوَل ُهَلۥ ُكن َفَيُكوُن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)",
maka jadilah ia.” (Q.S. An- Nahl:40).

5. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim,
terutama Zahiriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akherat
dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di Arsy. Selain itu ia tidak
sependapat dengan mutazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah)
di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi bilamana ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

6. Keadilan

16
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-
Libanon: Dar al-Kurub al- 'Ilmiyah, 1951), hal. 115

12
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al- Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.

7. Kedudukan orang berdosa


Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi
seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh
karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik

II. Al- Maturidiyyah


A. Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya
Nama aliran dari dalam teologi Islam ini diambil dari nama pendiri
nya yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al -
Maturidi, ia lahir di Samarkand pada pertengahan kedua abad 9 Masehi
dan meninggal pada 944 M.17 Tidak banyak diketahui mengenai riwayat
hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya
banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu
Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi ahl al-sunnah dan dikenal dengan nama
al - Maturidiyah.

Sumber Usul al-dien mereka adalah rasio dan mengambil teks (Al
Qur ’ an dan Sunnah) sebagai sumber kedua setelah itu. Al Maturidiyah
didirikan dalam rangka mengkounter golongan yang lain (seperti

17
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Cet: I, Yogyakarta,
Gajah Mada Unifersity Press, 1996)., hal. 134

13
Mu’tazillah dan Ash’ari ah), akan tetapi tidak disebut al Maturidiyah
hingga setelah kematiannya.18

Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran al -


Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran aliran
Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya
hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal
dalam sistem teologinya.

Salah satu pengikut penting dari al -Maturidi ialah Abu al -ysr


Muhammad al- Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid al
-Maturidi, dan al -Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari
orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah
seorang dari mereka ialah Najm al -Din Muhammad al-Nasafi (460-573
H), pengarang buku al-‘Aqa ‘idal -Nasafiah.19

Seperti al-Baqillani dan al -Juaeni, al- Bazdawi tidak pula


selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka al-
Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikata kan
bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan
Samarkand yaitu pengikut -pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan
Bukhara yaitu pengikut -pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan
Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham
Mu’tazilah, Golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat lebih dari
Aliran Maturidiyah adalah teologi yang banyak di anut oleh umat Islam
yang memakai mazhab Hanafi.

Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga


hijrah,dimana aliran Mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran,
dan di antara gurunya ialah Nasr bin Yahya al -Balakhi yang wafatnya
pada tahun 268 H. Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi
18
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Banduing, Remaja
Rosda Karya, 1999)., hal. 54
19
Harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet: V,
Jakarta, Unifersitas Indonesia, 1986,)., hal. 78

14
arena perdebatan antara aliran Fikih hanafiah dengan aliran fikih safiiyah
bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan
semacam itu, sebagai mana terjadi juga perdebatan antara Fukoha dan
ahli-ahli hadis disatu pihak dengan aliran Mu’tazilah di pihak lain dalam
soal-soal Maturidi semasa hidupnya dengan Asy’ari, hanya dia hidup di
Samarkhand, sedang Asy’ari hidup di Basrah. Asy ari adalah pengikut
Syafii dan Maturidi pengikut mazhab Hanafi. Karena itu kebanyakan
pengikut Asy’ari adalah orang - orang Syafiiyah, sedangkan pengikut
Maturidi adalah orang-orang Hanafiah, memberikan otoritas yang cukup
besar pada akal, paling tidak bila dibandingkan dengan al-Asy’ari yang
juga dikenal sebagai tokoh yang memadukan antara al-aql dan al-naql
dalam teologinya. Misalnya, baik dan buruk dapat diketahui melalui akal
meski tak ada wahyu, karena baik dan buruk dinilai berdasarkan
substansinya, demikian menurut al-Maturidi. Sedangkan menurut al-
Asy’ari, baik dan buruk dinilai menurut Syara’. 20Boleh jadi ada
perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya
perbedaan pendapat antara Syafii dan Abu Hanifah sendiri.

Tokoh-tokoh aliran Maturidiyah terdiri dari para pengikut aliran


Fiqh Hanafiah. Mereka tidak sekuat tokoh aliran pada Asy’ariyah.
Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi,
dan Ibnul Hammam. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al-
Bazdawi yang pada perkembangannya menjadi pelopor golongan
Maturidiyah Bukhara.

Dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu Maturidiyah


Samarkand (al-Maturidi) dan Maturidiyah Bukhara (Al-Bazdawi). Al-
Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal kepercayaan
kepada pikiran-pikiran Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya al-
Fikh al- Akbar dan al-Fikh al-Absat dan memberikan ulasan-ulasannya
terhadap kedua kitab tersebut. Al-Maturidi meninggalkan karangan-
20
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), hal. 99-100.

15
karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan ilmu
tauhid.21

B. Pemikiran-pemikiran Maturidiyah
Untuk mengetahui sistem pemikiran al-Maturidi, kita tidak bisa
meninggalkan pikiran -pikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, sebab ia
tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik al-Asy’ari maupun al-
Matiridi kedua -duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama,
yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah . Perbedaannya ialah
kalau al -Asy’ari menghadapi negeri kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu
basrah dan Irak pada umumnya, maka al-Maturidi menghadapi aliran
Mu’tazilah negerinya, yaitu Samarkand dan Irak pada umumnya, sebagai
cabang atau kelanjutan aliran Mu’tazilah Basrah dan yang mengulang -
ngulang pendapatnya. Untuk jelasnya, dibawah ini disebutkan pendapat -
pendapat al- Maturidi:

1. Kewajiban Mengetahui Tuhan

Menurut al-Maturidi, akal bisa mengetahi kewajiban untuk


mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat
-ayat al-Quran untuk menyelidiki (memperkatikan) alam, langit dan
bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui
Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui sendirinya hukum -hukum
taklifi (perintah -perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari
abu Hanifah.

Pendapat al-Maturidi tersebut mirip dengan aliran Mu’tazilah.


Hanya perbedaannya ialah kalau aliran mu’tazilah mengatakan bahwa
pengetahuan Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang
mewajibkan), maka menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban dapat
mengetahui Tuhan dapat diketagui akal , tetapi kewajiban itu sendiri
datangnya dari Tuhan.22
21
Ahmad Hanafi, Teologi Islam,(Cet: 12, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2001)., hal. 78.
22
Hanafi, Mengantar Theology Islam, (Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1998)., hal. 135.

16
2. Kebaikan dan keburukan menurut akaleologi Islam (ilmu kalam).

Al-Maturidi (juga golongan Maturidiah) mengakui adanya


keburukan obyektif (yang terdapat pada suatu perbuatan itu sendiri)
dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian sesuatu
perbuatan. Seolah-olah mereka membagi sesuatu (perbuatan-
perbuatan) kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang tidak dapat
diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian yang tidak
dapat diketahui keburukannya dengan akal semata-mata dan sebagian
lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan
dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan
melalui syara’.

Aliran Mu’tazilah juga mempunyai aliran yang sama seperti


yang dikutip oleh al-jubbai, dimana ia mengatakan bahwa apa yang
diketahui kebaikannya oleh akal, harus dikerjakan berdasarkan
perintah akal dan yang diketahuii keburukannya harus ditinggalkan
menurut keharusan akal. Al Maturidi tidak mengikuti aliran
Mu’tazilah tersebut, tetapi mengikuti pendapat Abu Hanifah, yaitu
meskipun akal sanggup mengetahui, namun kewajiban itu datangnya
dari syara’, karena akal semata -mata tidak dapat bertindak sendiri
dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif
(mengeluarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri.

Pendapat al-Maturidi tersebut tidak sesuai dengan pendapat al -


Asy’ari yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan
atau keburukan obyektif melainkan kebaikan itu ada karena adanya
perintah syara’ dan keburukan itu ada karena larangan syara’. Jadi
kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan. Dengan
demikian ternyata bahwa pikiran-pkiran al- Maturidi berada ditengah -
tengah antara pendapat aliran Mu’tazilah dan aliran Asy’ariah.

3. Hikmat dan Tujuan Perbuatan Tuhan

17
Menurut aliran Asy’ariah, segala perbuatan Tuhan tidak bisa
dikatakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan sedang
menurut aliran Mu’tazilah sebaliknya, karena menurut mereka Tuhan
tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya.
Kelanjutannya ialah bahwa Tuhan harus memperbuat yang baik dan
terbaik. Menurut al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan
mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-Nya
maupun dalam perintah dan larangan-larangannya, tetapi perbuatan
Tuhan tersebut tidak karena paksaan. Karena itu tidak bisa dikatakan
wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dari
iradahnya. Sebenarnya perbedaan antara aliran al-Maturidi dengan
aliran Mu’tazilah hanya perbedaan kata-kata sekitar penggunaan
perkataan”waji b”, sedang inti persoalannya sama, yaitu bahwa kedua
-duanya mengakui adanya tujuan dari perbuatan Tuhan.

Itulah beberapa pendapat al -Maturidi, sekedar untuk


mengetahui letak dan kecenderungan pendapat-pendapatnya di antara
pendapat-pendapat aliran Mu’tazil ah dan Asy’ariah. Ia sering-sering
lebih mendekati aliran Mu’tazilah dan banyak pula pertahanaanya
dengan pendapat Abu Hanifah. Aliran Maturidi menurut pendapat para
pembahas teologi Islam, masih termasuk golongan ahl al- sunnah.
Kalau kita perbandingkan aliran-aliran teologi Islam dan kita urutkan
menurut kebebasan pemikirannya maka dapat diurutkan sebagai
berikut: Aliran Mu’tazilah kemudian aliran Maturidiah, kemudian lagi
aliran Asy’ariah, dan yang terakhir ialah ahl al-hadis.

4. Sifat -sifat Allah

Sebagaimana telah dijelaskan, Mu’tazilah menafikan sifat -sifat


Allah, sedangkan Asy’ariyah menetapkannya. Asy’ariyah mengatakan

18
bahwa sifat - sifat itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat.
Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah, ‘ilm, hayah, sama’,
basher dan kalam pada Dzat Allah. Kata mereka, semua itu merupakan
sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada
sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an
seperti Alim (Maha Megetahui), Khabir (Maha Mengenal), Hakim
(Maha Bijaksana), dan Bashir (Maha Melihat), merupakan nama -
nama bagi Dzat Allah.

Al-Maturidi kemudian muncul dan menetapkan sifat -sifat itu


bagi Allah, tetapi ia mengatakan bahwa sifat -sifat itu bukanlah
sesuatu di luar Dzat-Nya , bukan pula sifat -sifat yang berdiri pada
Dzat -Nya dan tidak pulah terpisah dari Dzat-Nya. Sifat -sifat tersebut
tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat, sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa
kepada banyaknya yang qadim (kekal).23

Dengan pandangan ini, al-Maturidi dekat dengan Mu’tazilah,


atau lebih tegas lagi, ia hampir sependapat dengan mereka.
Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin
bahwa Allah. Maha mengetahui, maha melihat, maha berkehendak,
maha kuasa dan maha mendengar. Perbedaan pendapat di antara
mereka hanya berkisar pada: apakah semua itu merupakan sesuatu
yang bereksistensi di luar Dzat-Nya ataukah tidak ? Mu’tazilah
menafikan semua itu sebagai sesuatu diluar Dzat, sedangkan
Asy’ariyah menetapkan bahwa sifat -sifat itu merupakan sesuatu di
luar Dzat -nya, sekalipun tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan
Dzat itu, sementara Maturidiyah ketika mengakui bahwa ia bukanlah
sesuatu yang berlainan dengan Dzat -nya, nyaris sama dengan
Mu’tazilah.

23
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Cet: I, Jakarta,
Logod, 1996)., hal. 218

19
5. Melihat Allah SWT

Ada beberapa nash Al-Quran yang menegaskan bahwa Allah


dapat dilihat, seperti firman Allah:

٢٢ ‫ُو ُج وٌۭه َيْو َم ِئٍۢذ اَّن َرِض ٌة‬


٢٣ ‫ٰىَل َر َهِّبا اَن ِظ َر ٌۭة‬
Terjemahan:
‫ِإ‬
“Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari kiamat berseri-seri.
Kepada Tuhannya mereka melihat.” (Q.s. Al- Qiyamah: 22-23)

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-


Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-
Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar
manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran
yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak
mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya
Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang
yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

6. Pelaku Dosa Besar

Sesungguhnya orang mukmin tidak akan kekal di neraka. Ini


telah disepakati oleh ulama. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat
mengenai : siapa orang mukmin yang tidak akan kekal di neraka itu.
Khawarij menganggap orang yang mengerjakan dosa besar dan dosa

20
kecil sebagai orang kafir. Dalam pandangan mereka, ia tidak diakui
sebagai seorang muslim maupun mukmin. Mu’tazilah mengatakan
bahwa pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang mukmin,
sekalipun ia masih diakui sebagai orang muslim. Hanya saja, ia akan
kekal dalam neraka selama ia belum bertaubat dengan taubat yang
sebenarnya, dan siksannya lebih ringan dibandingkan dengan siksa
orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul -Nya. Kelihatannya,
khawarij dan Mu’tazilah memasukkan amal sebagai salah satu
komponen iman. Sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak
menganggap amal sebagai salah satu komponennya. Oleh karena
itu,orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman, sekalipun
amal tetap dihisap dan dia akan mendapat siksa, serta Allah dapat saja
mencurahkan rahmat kepadannya. Itu sebabnya Al-Maturidi
berpendapan bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di neraka, sekalipun
ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Berkenaan dengan hal ini ia
mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan dalam al-Qur’an bahwa
dia tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan kejahatan yang
serupa. Allah berfirman :

‫َمْن َج اَء اِب ْلَح َس َنِة َفُهَل َع ُرْش َأْم َثاِلَهاۖ َو َمْن َج اَء اِب لَّس ِّيَئِة َفاَل‬
‫ْجُي َز ٰى اَّل ِم ْثَلَها َو ْمُه اَل ُيْظ َلُم وَن‬
‫ِإ‬
Artinya:

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala)


sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan
jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)
(Q.s Al’An’am:160).

C. Golongan-golongan Maturidiyah

21
Salah seorang pengikut Al -Matarudi yang berpengaruh adalah Abu
Al -Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H). nenek Al-Bazdawi adalah
murid Al -Maturidi. Dan Al-Bazdawi mengenal ajaran-ajaran Al-Maturidi
dari orang tuanya.
Seperti Al-Baqillani dan al -Juwaini dikalangan Asy’ariyah, maka
Al -Basdawi tidak pula selalu salah faham dengan al -Maturid. Antara
kedua toko aliran Maturidiyyah ini terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan, bahwa dalam aliran Maturidiyyah terdapat dua golong
an, yakni ; golongan Samarkand, yaitu pengikut-pengukut Abu Manshur
al -Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara, yaitu pengikut-pengikut Al -
Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham yang lebih
dekat kepada paham Mu’tazilah, maka golongan Bukhara mempunyai
pendapat yang lebih dekat kepada Asy’ariyah. Golongan Bukhara ini
sepeninggalan Al- Bazdawi dilanjutkan oleh salah seorang muridnya
bernama Najmuddin Muhammad al-Nasafi (460-573 H) pengarang buku
“Al -“Aqu ‘ad an -Nasafiyah”
Menurut Al -Mawardi, akal mengetahui tiga persoalan teologis, yakni :
1. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan
2. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan
3. Akal dapat mengetahui baik dan buruk
Sedangkan untuk mengetahui kewajiban berbuat yang baik dan
menjauhi perbuatan yang buruk hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Pendapat ini dapat diterima oleh pengikut-pengikut Maturidiyah di
Samarkad. Dan Pendapat demikian tidak jauh berbeda dengan pendapat
Mu’tazilah. Tetapi pendapat tersebut sebagian ditolak Maturidiyah
Bukhara. Menurut Maturid iyah Bukhara : “akal hanya dapat mengetahui
adanya Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban untuk
mengetahui Tuhan”. Sebab untuk dapat mengetahui kewajiban tersebut
hanya melalui wahyu (Al -Mujib hanyalah Tu han sendirinya). Demikian
juga “akal hanya dapat megetahui yang baik dan yang buruk. Untuk
mengetahui kewajiban -kewajiban tersebut harus dengan melalui wahyu

22
“. Berangkat dari pandangan tersebut, maka Maturidiyah Bukhara
menganggap : “bahwa orang -orang yang belum mendapatkan dakwah
Rasul tidak berkewajiban beriman kepada Tuhan”. Dan andai kata
mereka melakukan perbuatan buruk (maksiat) mereka tidak berdosa.
Dasarnya menurut Al - Bazdawi, antara lain ayat Al -Qur’an surat Al -
Isra’ ayat 15 :
‫ٱ‬
‫َفِإ َّنَم ا ۡهَيَتِد ي ِلَنۡفِس ِه ۖۦ َو َم ن َض َّل َفِإ َّنَم ا َيِض ُّل َعَلَهۡيۚا َو اَل َتِز ُر‬ ‫َد‬ ‫ۡه‬
‫َّمِن َت ٰى‬
‫ُأۡخ َر ٰۗى َو َم ا ُكَّنا ُم َع ِّذ ِبَني َح ٰىَّت َنۡب َع َث َر ُس وٗل‬ ‫ِوۡز‬ ‫ة‬ٞ ‫اِز‬
‫َو َر َر‬
Artinya:
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri ; dan
barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesak bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus
seorang Rasul”.24

Dan dalam surat Thah ayat 134:

‫َو َلْو َأَّنٓا َأْه َلْك َٰن ُهم ِبَع َذ اٍب ِّم ن َقْبِهِل ۦ َلَقاُلو۟ا َر َّبَنا َلْو ٓاَل َأْرَس ْلَت َلْي َنا‬
‫ِإ‬
‫َر ُس واًل َفَنَّتِب َع َء اَٰي ِتَك ِم ن َقْبِل َأن َّنِذ َّل َو ْخَن َز ٰى‬
Artinya:

“Dan sekiranya kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum


Al- Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata : ya tuhan kami,
mengapa tidak engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami
mengikuti ayat -ayat engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah ?”.
Dari paparan tersebut dapat diartikan, bahwa aliran Maturidiyah
Bakhara lebih dekat kepada Asy’ariyah, sedangkan aliran Maturidiyah
Samarkand dalam beberapa hal lebih dekat kepada Mutazilah, terutama
dalam masalah keterbukaan terhadap peranan akal.
24
Departemen Agama Repoblik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (CV. Jaya
Sakti, Surabaya, 1997)., hal.176

23
Pendukung Maturidiyah ini memang sebagian besar dari pengikut
madzhab Hanafi (dalam masalah fiqih). Bagi pengikut Mazhab Maliki
dan Syafi’i umunnya lebih mendukung Asy’ariyah. Oleh karena itu,
meskipun Nahdlatul Ulama menyatakan bahwa dalam masalah akidah
mengikuti aliran Asy’ariyah atau Maturidiyah, namun dalam realitas dan
praktiknya warga Nahdliyin di Indonesia hanya mengikuti Asy’ariyah
dan sedikit sekali yang mengikuti Maturidiyah. Hanya pada akhir-akhir
ini dengan munculnya kelompok intelektual di kalangan Nahdliyin yang
banyak menikmati pendidikan akedemis, ketertarikan terhadap paham
Maturidiyah tersebut mulai tumbuh, karena dianggap lebih dapat
mengakomondasikan argumentasi-argumentasi rasional, lebih memberi
peluang aktivitas dan kreatifitas nalar. Gejala ini sejalan dengan mulai
berkembangnya penerimaan madzhab Hanafi (diakui secara terbuka atau
samar) oleh sebagian warga. Nahdliyin, terutama dalam bidang fiqih
Mu’amalah . Tetapi fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang
mayoritas bermadzhab Syafi’i, di Negara -negara lain seperti Maroko dan
Aljazair yang mayoritas bermazhab Maliki juga demikian.
Pluralisme ,adzhab rupanya akan menjadi trends di kalangan masyarakat
muslim di dunia ini.
Sungguhpun demikian terdapat juga perbedaan paham yang samar
-samar sekali mengenai hal ini antara kedua aliran itu. Pendapat
Maturidiah Bukhara bahwa akal dapat sampai kepada sebab kewajiban
mengetahui tuhan mengandung arti bahwa bagi mereka akal tidak hanya
dapat sampai kepada pengetehuan adanya tuhan, tetapi juga kepada sifat
terpujinya pengetahuan demikian. Untuk dapat mengetahui sebab
diwajibkannya sesuatu perbuatan orang harus terlebih dahulu
menegetahui sifat terpujinya perbuatan itu. Bagi Asy’ariah akal dapat
sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari itu.
Sejajar dengan pendirian mereka bahwa akal tak dapat mengetahui baik
dan buruk, mereka berkeyakinan bahwa akal juga tak dapat mengetahui
sifat baik atau terpujinya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dari uraian

24
ini dan uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Maturidiyah
Bakhara memberi daya yang lebih besar kepada akal dari pada Asy’ariah.
Berlainan dengan kedua golongan di atas, Mu’tazilah dan
maturidiah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak hanya
kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan
demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui tuhan. Tetapi akal,
dalam pendapat Maturidiah Samarkand, tidak dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan. Di sini
terdapat perbedaan antara Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand.
Bagi kedua aliran ini, sebagaimana dijelaskan al-Bazdawi, akal
merupakan mujib dalam hal kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban
berterimah kasih kepada-Nya. Tetapi dalam hal kewajiban berbuat baik
dan keawajiban menjauhi kejahatan akal merupakan mujib hanya bagi
Mu’tazilah. Mujib dalam hal ini bagi Maturidiah Samarkand ialah
Tuhan.25
Dengan demikian Mauturidiah Samarkand mengadakan perbedaan
antara sifat terpujinya mengetahui tuhan dan berterimah kasih kepada-
Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuatan
menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk mengatakan perbedaan
ini mungkin sekali hal yang berikut ini. Dalam hidup sehari-hari akal
dapat mengetahui keharusan berterima kasih kepada pemberi nikmat.
Seakan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai petunjuk yang kuat
untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan baik
dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat
Maturidiah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat
memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan mengenai baik
dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan buruk dan tidak
pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Dapatlah kiranya
disimpulkan bahwa Mu’tazilah memberi daya besar kepada akal.
Maturidiah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Mu’tazilah,

25
L Cal Browen, Wajah Islam Politik, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003)., hal. 30.

25
tetapi lebih besar dari pada Maturidiah Bukhara. Di antara semuaaliran
itu, Asy’aria hlah yang memberikan daya terkecil kepada akal.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abu
Hasan Al- Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh
kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga
periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah,
dan Salaf.

Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan,


di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang
perbuatan manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar,
Rupa Tuhan, dan juga janji Tuhan. Pokok-pokok ajaran Al-Maturidiyah pada
dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad
pendapat-pendapat Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya
dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam masalah cabang.

Pemikiran-pemikiran al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan


didapati bahwa al- Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal
manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan
Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan
pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut- pengikut
al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham
Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi yang condong
kepada Asy’ariyah.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia, 2006
Abdurrahman Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin. Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984
Ahmad Hanafi, Teologi Islam,Cet: 12, Jakarta. PT Bulan Bintang, 2001
Ali Mudhofir, Kampus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1996
Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Banduing,
Remaja Rosda Karya, 1999
Beti Mulu, “Al-Asy’ariyah Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy’ari dan Pokok-
Pokok Ajarannya
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor,
1991
Departemen Agama Repoblik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.
Jaya Sakti, Surabaya, 1997
Hadis Purba dan Salamudin, Theologi Islam: Ilmu Tauhid, Medan: Perdana
Publishing, 2016
Hanafi, Mengantar Theology Islam, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1998
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta:Penerbit UI Press, 2008
Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam Bumi Aksara: Jakarta,1995
Kholil Abu Fataeh, Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy’ariyyah, Pustaka
Aswaja,
L Cal Browen, Wajah Islam Politik, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya
Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014
Muhammad bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-
Libanon: Dar al-Kurub al- 'Ilmiyah, 1951
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam, Karya Abadi Jaya, 2015
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992
Supriadin, “Asy-ariyah Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy’ariyah dan Doktrin-
doktrin Teologinya,
Yogi Sulaeman, Zinul Almisri, Kerwanto, “Teologi Asy’ariyah: Sejarah dan
Pemikirannya”.

28

Anda mungkin juga menyukai