Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AL-ASY’ARIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Qalam

Disusun Oleh:
Nurul Hikmah (12505174041)

Dosen Pengampu :
Abdul Latif, S.Pd., M.A.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-GHAZALI BONE TAHUN


2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayahNya makalah yang berjudul “AL-ASY’ARIYAH” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas pada mata kuliah Ilmu Qalam.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang, yakni agama islam.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh untuk dikatakan
sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang
membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata, penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan memberi masukan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin

Watampone, Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................3
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah..........................................................4
B. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikirannya...........................5
C. Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Aliran Al-Asy’ariah.............................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................................12
B. Saran.................................................................................................................12

Daftar Pustaka.......................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup
panjang, semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang
yang menyertai sampai pada para pengikutnya yang memilki loyalitas
terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang
berkembang pada abad ke-4 dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan
salah satu aliran yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham
yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam
beragama. Ketidak sepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut
memunculkan aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau dan para pengikutnya
merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.
Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy’ari,
yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting
dalam Islam, selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama
yang dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari sebagai peletak dasar-dasar
aliran ini. Al-Asy’ari hidup antara tahun 260-324 H. atau lahir akhir abad III
dan awal abad IV H.1
Pada abad ini dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran
Islam, yaitu pertama, Aliran Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad
bin Hanbal. Aliran ini dikenal sangat tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai
satu-satunya poros dan alat dalam memahami aqidah-aqidah Islam. Kedua,
Aliran Filosof Islam yang memahami aqidah-aqidah Islam dan membelanya
harus berdasarkan akal dan naql dengan bertolak pada kebenaran-kebenaran
akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Ketiga, aliran Mu'tazilah,
aliran yang memadukan antara akal dan naql dengan tetap menjadikan akal
sebagai penentu bila lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran-

1
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. (Beirut: Dar al-Fikr. 1996), Cet. I, hal
581
1
2

kebenaran akal (dalil-dalil logika).2


Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan rasio telah menjadi beban. Karena
pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat
Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam
mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang
bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah
metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara
dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang
pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa
mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan
dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Al-Asy’ari pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai
beliau berumur 40 tahun. dan pada akhirnya beliau membentuk corak
pemikiran yang berbeda dari ketiga aliran tersebut, beliau berusaha
memadukan keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk
pada nash.
Metode al-Asy’ari ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan
menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’ariyah, mereka inilah
yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ari dengan
menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan
Mu'tazilah.3 Tokoh tersebut ialah al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali.
Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan ini difokuskan pada keempat
tokoh yang menjadi pelopor aliran Asy’ariyah tersebut yang meliputi riwayat
hidup, peran dan pandangan teologi mereka dalam pengembangan teologi
Asy’ariyah.

2
Muhammad Imarah, Tarayat al-Fikr al-Islamiy, (Cairo: Dar al-Syuruq, 1991), hal 165
3
Ibid, hal 171
3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah?
2. Bagaimana Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikirannya?
3. Apa-apa saja Penyimpangan-Penyimpangan dalam Aliran Al-Asy’ariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah
2. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan
Pemikirannya
3. Untuk mengetahui Penyimpangan-Penyimpangan dalam Aliran Al-
Asy’ariah
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah


Al-Asy’ari telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Al-Subki dan Ibn Asakir, mengatakan
bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi, dalam mimpi itu Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah
yang benar dan mazhab Mu’tazilah salah.4 Menurut pendapat ini al-
Asy’ari berbelok arah dari Mu’tazilah dikarenakan diberikan mimpi tentang
aliran yang benar.
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al-
Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan
gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-
Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga,
karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut
diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan
kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku, sekiranya Engkau memanjangkan
umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin
dewasa”. Jawab al-Jubba’iy, Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus
hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri, Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang
dewasa”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan:
Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa
depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak
menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.5 Karena
perdebatannya sehingga al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah.
Aliran al-Asy’ariyah awalnya muncul setelah kemunduran aliran
Mu’tazilah. Eksistensi aliran ini mempunyai pengaruh besar tatkala

4
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.V,
(Jakarta: UI-Press, 1986), hal 66
5
Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), hal 12
5

Mu’tazilah mengalami degradasi yang berarti dengan implikasi mihnah.


Pergerakan al-Asy’ari mulai pada abad ke 4 H setelah ia terlibat dalam
konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya dengan Mu’tazilah. 6
Aliran al-Asy’ari merupakan bentuk dari pemahaman yang tidak sepihak
dengan aliran pemikiran Mu’tazilah yang dianggap hanya mengandalkan
rasional saja. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan pada umat, karena
orang-orang awam tidak mampu berfikir terlalu rasional seperti kaum
mu’tazilah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar belakang
timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi oleh kekhawatiran Abu al-Hasan
al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.
Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup
kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam
hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu
kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.

B. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari dan Pemikirannya


1. Riwayat Hidup Abu Al-Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan
aliran Asy’ariyah. Nama lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak
Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah
Bin Abu Musa al-Asy’ari.7 Beliau adalah putra Abu Musa al-Asy’ari, salah
seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa antara
Ali dan Mu’awiyah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H
(873 M) dan wafat di Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia
berguru kepada seorang pengikut aliran Mu’tazilah terkenal yaitu al-
Juba’iy, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya terus
sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah,
maka ia pergi ke kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu dan
6
Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teory Filsafat Islam, (Jakart: Bumi Aksara, 1995),
hal 65
7
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986), hal 66
6

meneruskan belajar disana. Ia belajar ilmu Kalam menurut paham


Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang mu’tazilah yang
tangguh.8 Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari
masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah.
Kehidupan al-Asy’ari kecil tidak seberuntung masa kanak-kanak
pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah
kandungnya. Dan ibunya kemudian dinikahi oleh Abu Ali al-Juba’iy,
seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah
al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.9 Bisa dikatakan lingkungan yang
dibawa ayah tirinya membuatnya belajar tentang Mu’tazilah.
2. Pemikiran Abu Al-Hasan al-Asy’ari
Pada dasarnya kaum Asy’ariah merupakan aliran moderat yang
berusaha mengambil sikap penengah antara dua kutub Aqal dan Naql,
antara kaum Salaf dan Mu’tazilah. Asy’ariah bercorak perpaduan antara
pendekatan tekstual dan kontekstual. Awal mula proses pemikiran ajaran
al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya al-Asy’ari di rumah dengan
berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba membandingkan dalil-
dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam rangka
menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah.
Perkembangan selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui masyarakat
dan mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di
Bashrah. Al-Asy’ari berbicara, (saya) pernah mengatakan bahwa al-Qur’an
adalah Makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak
pada hari qiamat. Dan perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik, maka
saya sendirilah yang melakukannya, kini saya bertobat dengan pendapat
itu dan menolak ajaran tersebut (Mu’tazilah).10 Jadi setelah mendapatkan
kemantapan hati maka al-Asy`ari mengumumkan bahwa dia bertobat.

Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:


8
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan..., hal 70
9
Karsidi Diningrat, Sekte-Sekte Islam, (Bandung: Pustaka, 1999), hal 125
10
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
(Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal 189
7

a. Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan
yang mempunyai sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah
adalah kaum Sifatiyah. Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa
dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu (Maha
mengetahui) al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan
lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali dan abadi. Hal ini pula
menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk berbuat atau tidak
berbuat.
b. Keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena
al-Asy’ari memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak.
Jadi Tuhan bertindak semaunya terhadap ciptaannya atas dasar
kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan salah jika seandainya
Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya, semua
tergantung dari Allah.
c. Al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk
termasuk suara dan hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara
dan huruf adalah makhluk dan yang bersifat Qadim hanya esensi al-
Qur’an itu sendiri. Menyangkut tentang Akal dan Wahyu, menurut
Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui
Tuhan. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu,
wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa
ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima
kebenaran itu.11 Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi wahyu
lebih tinggi tingkatannya dibanding akal.
d. Iman, bagi al-Asy’ari Iman adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah
kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Tasdiq artinya
membenarkan sesuatu sebagaimana dengan yang dibenarkan Allah
SWT dan Nabi Muhammad SAW, sedangkan Ikrar artinya dua kalimat
syahadat, yang mana syahadat sendiri bukan merupakan hakikat iman
melainkan hanya sebagai syarat untuk melakukan segala hukum
Islam. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa Iman adalah keyakinan
11
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1996), hal 17
8

bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau secara praktis
(perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa
saja yang beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan
Rasulnya serta dengan ikhlas mempercayai segala apa yang mereka
terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia mati ia akan selamat
dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu dari
kebenaran-kebenaran yang dua itu. Jadi siapa saja yang beriman dalam
hatinya maka jika ia mati maka akan selamat dari neraka. Dengan
demikian kata al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu
mati sebelum bertobat dari dosa itu, maka keputusannya (apakah ia
masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT. Jadi inti dari Iman
adalah meyakini dalam hati keberadaan Allah dan Nabi Muhammad
dan karena keyakinan dalam hati itu suatu hal yang tersembunyi maka
perlu adanya pembuktian keyakinan dalam hati dengan cara diikrarkan
melalui dua kalimat syahadat.
e. Melihat Tuhan, ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat,
Allah juga ada maka dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat
diketahui dari wahyunya bahwa kaum Mukmin akan melihatnya dihari
akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu wajah mereka (yang
beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-Qiyamah/75:
22).12 Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan
ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita),
sebab itu mustahil. Al-Asy’ari juga dikenal karena
doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan manusia.
Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat
ujung jari adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan
kebebasan kehendak manusia, sehingga manusia harus
mempertanggungjawabkannya. Juga sekaligus menyandarkan
sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata.
12
Departemen Agama RI, Mushaf al-Qur’an Terjemah (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2002), hal 579
9

C. Penyimpangan-penyimpangan dalam aliran Asy’ariyah


Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang
berbicara tentang Allah l dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-
Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara
agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-
istidlal (pengambilan dalil).

Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:


1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah
mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah
dalam masalah akidah.
2. Mendahulukan akal daripada dalil
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya
hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan
sifat Allah13

Di antara penyimpangan dalam akidah al-asy’ariyah:


1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan
berbilangnya pencipta, sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat
tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak
ada yang bisa mencipta selain Allah. Mayoritas mereka tidak mengenal
tauhid uluhiyah. Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga:
tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wasifat.Ahlus Sunnah meyakini
bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus
tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan.
2. Dalam masalah iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah
Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran
dengan hati). Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan.
Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis
seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan
anggota badan. Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-
ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah. Adapun Ahlus Sunnah
menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan
lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang.
Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan
sebab perbuatan maksiat.
13
Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah
10

3. Dalam masalah asma wa sifat


Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani
tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh
sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang
ditetapkan Ahlus Sunnah. Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka
yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat
lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak
menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah (seperti istiwa, nuzul, cinta,
ridha, marah, dan lainnya). Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah
menetapkan semua nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan
tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
4. Dalam masalah takdir

Mereka sama dengan jabriyah dalam masalah takdir, hanya


menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah
syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa),
mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika
berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah,
menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.

5. Dalam masalah takwil


Sebagai contoh tokoh mereka ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan
makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya
takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih
menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah
manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab
Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis,
juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-
takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang
tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
6. Dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan
Allah. Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah lakukan
mengandung hikmah yang sangat tinggi.
7. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari
bahwa Allah di atas makhluk-Nya.

8. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa


mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
11

9. Menetapkan Allah dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka
mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di
akhirat)

10. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.

11. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu
terlebih.dahulu.14

14
Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal
Asya’irah
12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini ditarik suatu kesimpulan bahwa secara
histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya
keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran
Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih
menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu
menggunakan kemampuan akal menganalisis nash-nash al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami
wahyu, berangkat dari akal kemudian wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya
mengedepankan wahyu dibanding akal, menggunakan akal seperlunya saja.
Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu
mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum
rasionalis tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok
pemikirannya.
B. Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadikan
kita semua golongan orang-orang yang terus belajar. Karena semakin kita
banyak belajar, maka kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi kita
juga orang lain. Dengan mempelajari dan mengetahui sejarah pemikiran
Islam tentang Al-Asy’ariyah yang ada dalam makalah ini, kita semakin bisa
untuk berfikir lebih maju dalam menyikapinya, karena pengetahuan yang kita
dapat dari makalah ini dapat dijadikan sebagai pegangan dan bahan referensi
dalam kehidupan kita selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Abdullah Musthafa. T.t Al-Fath al Mubin fi Tabaqat al-


Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi

Asmin, Yudian Wahyudi. 1995. Aliran dan Teory Filsafat Islam. Jakart: Bumi
Aksara

Dahlan Abdurrahman dan Ahmad Qarib. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam. Jakarta: Logos Publishing House

Departemen Agama RI. 2002. Mushaf al-Qur’an Terjemah. Jakarta: Pena Pundi
Aksara

Diningrat, Karsidi. 1999. Sekte-Sekte Islam. Bandung: Pustaka

Hanafi, A. 1980. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna

Haq, Hamka. 2000. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam

Hasyim, Umar. 1986. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Surabaya: PT. Bina Ilmu

Imarah, Muhammad. 1991. Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq

Katsir, Ibnu. 1996. al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr

Mudhofir, Ali. 1996. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa


Perbandingan. Cet.V. Jakarta: UI-Press

________. 1996. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan

________. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press

Nasution, Muhammad Yasin. 1988. Manusia menurut al-Gazali. Jakarta: Rajawali

13

Anda mungkin juga menyukai