DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
ANAS : 19010110036
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa
pun. Penyusunan makalah berjudul “ASY’ARIYAH DAN MUTAZILAH (SEJARAH
DAN PEMIKIRANNYA)” bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Abbas S. Ag,
M.A selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait materi yang diberikan kepada penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan kami
agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Aliran Asy’ariyah.............................................................................2
1. Pengertian Asy’ariyah.................................................................2
2. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah............................................2
3. Pemikiran/Paham Aliran Asy’ariyah...........................................5
B. Aliran Mu’tazilah...............................................................................7
1. Pengertian Mu’tazilah...................................................................7
2. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah.............................................7
3. Metode Pemikiran Kalam/Teologi Aliran Mu’tazilah..................9
A. KESIMPULAN ....................................................................................12
B. SARAN ................................................................................................12
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disebut Mu’tazilah karena Washil Ibnu Atha’ memisahkan dirinya, karena berlainan
pendapat dengan gurunya Al-Hasan Al-Basri, tentang orang yang melakukan dosa besar dan
maksiat. Pada saat aliran Mu’tazilah muncul, kalangan pemikir Islam telah melakukan kontak
dengan Filsafat Yunani, yang banyak memakai rasio dalam pemecahan masalah. Dan Kaum
Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika aliran Mu’tazilah banyak berpegang pada rasio. Pokok-pokok ajaran
Mu’tazilah meliputi masalah, Tauhid, Al-Adl, Wa‟ad wal Wa‟id, Al Manzilah Baina
Mazilataini, amar ma’ruf dan nahi munkar. Aliran Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran
yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al- Asy’Ari pada awal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya
ia adalah pengikut Mu’tazilah namun karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia
meninggalkan Mu’tazilah. Beranjak dari mimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad
SAW yang mengatakan kepadanya bahwa Ahlu Hadits yang benar dan Mu’tazilah salah,
maka imam Asy’Ary mengajarkan faham berdasarkan teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut. Faham Asy’Ariyah inilah yang
merupakan cikal bakal Ahlussunnah Wal Jama‟ah “dan aliran Ahli Sunnah jama‟ah muncul
atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’Ary disekitar tahun 300 H”. Pokok-pokok
ajarannya meliputi : Sifat Tuhan, dalil adanya Tuhan, perbuatan manusia, dan pemakaian
aqal.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aliran Asy’ariyah dan Mutazilah?
2. Bagaimana latar belakang munculnya aliran Asy’ariyah dan Mutazilah?
3. Bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Asy’ariyah
1. Pengertian Asy’ariyah
Aliran Asy’ariah merupakan salah satu paham teologi Islam yang muncul pada 913
M/330 H. Aliran ini mengembangkan paham teologi Islam yang lebih mengutamakan dalil
naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadis) dan membatasi penggunaan logika filsafat. Aliran
Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al- Asy’Ari
pada awal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya ia adalah pengikut Mu’tazilah namun
karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia meninggalkan Mu’tazilah.
2
mereka untuk melakukan mihnah (inkuisisi) terhadap setiap imam dan ahli hadits yang
bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topic mihnah waktu itu adalah tentang “Al-quran
sebagai makhluk bukan kalamullah yang qadim.”
Keadaan berbalik setelah al-mutawakil naik menduduki tahtakekhalifahan. Setelah
kurun waktu pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq dari dinasi
Abasiyyah (813-847 M) paham mu’tailah mencapai puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil
membatalkan pemakaian aliran mu’tazilah sebagai madzhab Negara di tahun 848 M.
Dengan demikian selesailah riwayat nihmah yang ditimulkan kaum Mu’tazzilah dan
ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.
Kedua, Selain faktor politik, latar belakang munculnya Asy’ariyah juga
dipengaruhi oleh kamu Mu’tazilah (yang mulai redup dan cenderung di tinggalkan oleh
masyarakat) juga tidak banyak berpegang teguh pada al-Sunnah atau al-Hadits, ini bukan
lantaran mereka tidak percaya pada hadits Nabi dan kata-kata para sahabat, akan tetapi
mereka ragu dengan originalitas sunah, sehingga mereka dipandang sebagai golongan
yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Kelemahan mu’tazilah pada sisi ini kemudian
dimanfaatkan oleh kalangan Asy’ariyah dengan terang-terangan mengusung sunah dan
tradisi sahabat hingga menyebabkan term Ahl Sunnah wa al-Jamaah. Seperti melekat pada
aliran Asy’ariyah dan ini tentunya memunculkan dukungan dari masyarakat.
Ketiga, Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang dulunya penganut Mu’tazilah dan pada
akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang dinisbahkan
pada namanya, yaitu al-Asy’ariyah. Menurut al-Subki dan AlAsakir, seperti dikutip Harun
Nasution, bahwa Abu Hasan al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW dan
dalam mimpinya baginda Rasulullah mengatakan padanya untuk meninggalkan paham
mu’tazilah dan membela sunahnya.
Keemapat, perdebatan yang terjadi antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya
al-Jubbai, yang mana dalam perdebatan tersebut gurunya tak dapat menjawab pertanyaan
sang murid. Salah satu perdebatan itu adalah perdebatan mengenai nasib anak kecil di
akhirat, sebagai berikut:
Al-Asy’ari : Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam
keadaan berlainan, Mukmin, kafir, dana anak kecil.
Al-Jubai : Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil
selamat dari neraka.
Al-Asy’ari : Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
3
Al-Jubai : Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai
dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal
seperti itu.
Al-Asy’ari : Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. Seandaiannya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang
Mukmin.
Al-Jubai : Allah menjawab: “Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur
dewasa, niscaya engkau bermaksiatdan engkau disiksa. Karena itu, Aku
menjaga kebaikanmu. Aku mematikanmu sebelum engkau mencapai umur
dewasa.
Al-Asy’ari : Seandainya si kafir itu bertanya: “Engkau telah mengetahui keadaanku
sebagaimana juga mengetahui keadaanya, mengapa Engkau tidak menjaga
kemaslahatanku, seperti anak kecil tadi?
Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya. Dari kasus ini (dan
beberapa kasus lainnya), Abu Hasan al-Asy’ari kemudian keluar dari Mu’tazilah. Dalam
rangka mempersiapkan diri untuk menjawab pemikiran aliran Mu’tazilah, al-Asy’ari untuk
sementara mengurung diri di rumahnya selama 15 hari, merenung dan mencoba
membanding-bandingkan dalil-dalil kedua kelompok aliran yang bertentangan. Kemudian
ia keluar menemui masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul. Selanjutnya,
pada hari Jumat di Bashrah ia naik mimbar dan berkata, “Barang siapa yang telah
mengenalku, maka sebenarnya dia telah mengenalku. Dan barang siapa yang belum
mengenalku, maka kini saya memperkenalkan diri, saya adalah fulan bin fulan. Saya
pernah mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, bahwa Allah tidak telihat oleh indra
penglihatan kelak pada hari kiamat, dan bahwa perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik,
saya sendirilah yang melakukannya. Kini saya bertobat dari pendapat itu, serta siap sedia
untuk menolah pendapat mu’tazila, dan mengungkap kelemahan mereka. Menurut
pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok itu seimbang. Kemudian saya memohon
petunjuk kepada Allah, maka Allah memberikan saya petunjuk untuk meyakini apa yang
tertera dalam kitab-kitab saya. Saya akan melepaskan apa yang pernah saya percayai,
sebagaimana saya meninggalkan baju ini. Dari sisi lain kita melihat jawaban-jawaban
kaum Mu’tazilah dipandang tidak lagi memuaskan dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi umat saat itu.
Alasan lain adalah kondisi pasca dibekukannya madzhab mu’tazilah sebagai
madzhab Negara yang membuat lawan-lawan mu’tazilah mendapat tempat dan dihormati,
4
seperti ibn Hanbal dan tokoh fiqh yang kebanyakan tidak bermadzhab mu’tazilah. Pada
akhirnya masyarakat tidak lagi terbebani oleh pemikiran dan maneuver kaum mu’tazilah,
dan mereka kemudian berpaling kepada aliran lain, salah satunya adalah Asy’ariyah. Al-
Asy'ari sendiri menganut madzhab fiqh al-Syafi’i. suatu kebetulan pahampaham al-Asy’ari
bersesuaian denagn pendapat imam Syafi’I, sehingga banyak diantara para ulama yang
mengembangkan paham Asy’ariyah, seperti Al-Baqillani, Ibn Faurak, Al-Juwaini, dan al-
Ghazali.
B. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian Aliran Mu’tazilah
Kata mu’tazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mutazilah adalaha salah satu aliran teologi
dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya dikaitkan
dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Basri karena
perbedaan status orang Islam dalam melakukan dosa besar.
7
masjid tersebut. Melihat tindakan Washil dan temannya itu, Hasan al-Bashri pun
berkomentar dengan kata : I’tazala ‘Anna Washil, (Washil telah memisahkan diri dari
kita). Semenjak itulah Washil dan kawan-kawannya dinamai dengan sebutan
Mu’tazilah.
Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Washil dan
temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya
perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang mukmin yang
berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri dan mereka
pun disebut dengan kaum Mu’tazilah karena pendapat mereka memisahkan diri dari
pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berdosa besar. Menurut
mereka ini bukan kafir dan bukan pula mukmin. Demikian keterangan al-Bagdadi
tentang pemberian nama Mutazilah kepada golongan ini.
Tentang penamaan Mutazilah ini terdapat beberapa versi, namun sebagai tanda
bagi aliran Ilmu Kalam yang rasional dan liberal setelah peristiwa Wasil Ibn Ata, dan
jauh sebelum itu telah terdapat kata I’tazala, Mutazilah. Wasil disebut Syaikhul
Mutazilah wa qadimuha.
Disamping alasan-alasan klasik tersebut, ada teori maju yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah ada sebelum adanya peristiwa Wasil dengan
Hasan al-Basri.dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi.
Kala itu, dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut
ikut campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi di zaman Utsman ibn
Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari golongan yang sering bertikai. Al-
Tabari impamanya menyebut bahwa mereka sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir
sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertakaian di sana, satu
golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat
ila Khartiba). Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”.
Jadi, kata mutazilah dan I’tazalat sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa
Wasil dengan Hasan al-Basri , dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertakaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mutazilah pertama ini memiliki corak politik. Dan
dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan
Wasil, juga memiliki corak politik, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan Murjiah
juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Utsman , Ali, Muawiyah, dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mutazilah kedua menambahkan
8
persoalan-persoalanya teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran
mereka.
Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara rasional
dengan bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan
dan kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau Sunnah yang dianggap
bisa memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan kebaikanNya, mereka
menakwilkan sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disebut Mu’tazilah karena Washil Ibnu Atha’ memisahkan dirinya, karena
berlainan pendapat dengan gurunya Al-Hasan Al-Basri, tentang orang yang
melakukan dosa besar dan maksiat. Pada saat aliran Mu’tazilah muncul, kalangan
pemikir Islam telah melakukan kontak dengan Filsafat Yunani, yang banyak memakai
rasio dalam pemecahan masalah. Dan Kaum Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik
dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika aliran Mu’tazilah
banyak berpegang pada rasio. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah meliputi masalah,
Tauhid, Al-Adl, Wa‟ad wal Wa‟id, Al Manzilah Baina Mazilataini, amar ma’ruf dan
nahi munkar.
Aliran Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran yang dipelopori oleh Abdul
Hasan Al- Asy’Ari pada aal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya ia adalah pengikut
Mu’tazilah namun karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia meninggalkan
Mu’tazilah. Beranjak dari mimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad SAW yang
mengatakan kepadanya bahwa Ahlu Hadits yang benar dan Mu’tazilah salah, maka
imam Asy’Ary mengajarkan faham berdasarkan teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut. Faham Asy’Ariyah inilah yang
merupakan cikal bakal Ahlussunnah Wal Jama‟ah “dan aliran Ahli Sunnah jama‟ah
muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’Ary disekitar tahun 300 H”.
Pokok-pokok ajarannya meliputi : Sifat Tuhan, dalil adanya Tuhan, perbuatan
manusia, dan pemakaian akal.
B. Saran
Isi dari makalah ini dirapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca
mengenai sejarah dan pemikiran-pemikiran aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
12
DAFTAR PUSTAKA
13