Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEMIKIRAN ISLAM

“ASY’ARIYAH DAN MUTAZILAH (SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA)”

Dosen Pengampu : Dr. Abbas S. Ag, M.A

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pemikiran Islam

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV

NUR AFNI DWI AULIYAH : 2021010110020

KURNIA AWALIYAH : 2020010110013

ANAS : 19010110036

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa
pun. Penyusunan makalah berjudul “ASY’ARIYAH DAN MUTAZILAH (SEJARAH
DAN PEMIKIRANNYA)” bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Abbas S. Ag,
M.A selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait materi yang diberikan kepada penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan kami
agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah
ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Kendari, 5 Mei 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i

KATA PENGANTAR ...................................................................................ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1


A. Latar Belakang ................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...........................................................................1

C. Tujuan Penulisan Makalah ............................................................1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................2

A. Aliran Asy’ariyah.............................................................................2
1. Pengertian Asy’ariyah.................................................................2
2. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah............................................2
3. Pemikiran/Paham Aliran Asy’ariyah...........................................5
B. Aliran Mu’tazilah...............................................................................7
1. Pengertian Mu’tazilah...................................................................7
2. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah.............................................7
3. Metode Pemikiran Kalam/Teologi Aliran Mu’tazilah..................9

BAB III PENUTUP ........................................................................................12

A. KESIMPULAN ....................................................................................12
B. SARAN ................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................13

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disebut Mu’tazilah karena Washil Ibnu Atha’ memisahkan dirinya, karena berlainan
pendapat dengan gurunya Al-Hasan Al-Basri, tentang orang yang melakukan dosa besar dan
maksiat. Pada saat aliran Mu’tazilah muncul, kalangan pemikir Islam telah melakukan kontak
dengan Filsafat Yunani, yang banyak memakai rasio dalam pemecahan masalah. Dan Kaum
Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika aliran Mu’tazilah banyak berpegang pada rasio. Pokok-pokok ajaran
Mu’tazilah meliputi masalah, Tauhid, Al-Adl, Wa‟ad wal Wa‟id, Al Manzilah Baina
Mazilataini, amar ma’ruf dan nahi munkar. Aliran Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran
yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al- Asy’Ari pada awal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya
ia adalah pengikut Mu’tazilah namun karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia
meninggalkan Mu’tazilah. Beranjak dari mimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad
SAW yang mengatakan kepadanya bahwa Ahlu Hadits yang benar dan Mu’tazilah salah,
maka imam Asy’Ary mengajarkan faham berdasarkan teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut. Faham Asy’Ariyah inilah yang
merupakan cikal bakal Ahlussunnah Wal Jama‟ah “dan aliran Ahli Sunnah jama‟ah muncul
atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’Ary disekitar tahun 300 H”. Pokok-pokok
ajarannya meliputi : Sifat Tuhan, dalil adanya Tuhan, perbuatan manusia, dan pemakaian
aqal.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aliran Asy’ariyah dan Mutazilah?
2. Bagaimana latar belakang munculnya aliran Asy’ariyah dan Mutazilah?
3. Bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah
2. Untuk mengetahui agaimana latar belakang munculnya aliran Asy’ariyah dan
Mu’tazilah.
3. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Asy’ariyah
1. Pengertian Asy’ariyah
Aliran Asy’ariah merupakan salah satu paham teologi Islam yang muncul pada 913
M/330 H. Aliran ini mengembangkan paham teologi Islam yang lebih mengutamakan dalil
naqli (Al-Qur’an dan Al-Hadis) dan membatasi penggunaan logika filsafat. Aliran
Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran yang dipelopori oleh Abdul Hasan Al- Asy’Ari
pada awal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya ia adalah pengikut Mu’tazilah namun
karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia meninggalkan Mu’tazilah.

2. Sejarah Lahirnya Aliran Asy’ariyah


Teologi Asy’ariyah muncul tidak terlepas dari situasi politik yang berkembang
pada saat itu. Teologi Asy’ariyah muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah
yang bercorak rasionil. Aliran Mu’tazilah ini mendapat tantangan keras dari golongan
tradisional islam terutama golongan hanbali. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, Pada tahun 827 M, Khalifah Abasiyah al-Makmun, menerima doktrin
Mu’tazilah secara resmi, dan dilanjutkan pada pemerintahan dua khalifah setelahnya.
Orang-orang yang teguh memegang tradisi, khususnya Ahmad bin Hanbal disiksa bahkan
lebih dari itu, orang-orang yang tidak memahami dogmatis Mu’tazilah yang cerdas atau
menolak menerima mereka dan kadang-kadang sebagian besar dianggap kafir. Serangan
Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhadisin semakin gencar. Tak seorangpun pakar
fiqh yang populer dan pakar hadits yang mashur luput dari gempuran mereka. Serangan
dalam bentuk pemikiran disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk
suasana al-mihnah (inkuisisi), yang dalam sejarah islam dikategorikan sebagai fitnah ke
dua (setelah fitnah pertama dalam perang Jamal dan Siffin). Banyak tokoh dan ulama yang
menjadi panutan umat menjadi korban gerakan mihnah, mulai dari penyiksaan fisik,
pemenjaraan, bahkan sampai pada hukuman mati.
Sebagai akibat dari hal itu, timbul kebencian masyarakat terhadap mu’tazilah dan
berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutanhasutan

2
mereka untuk melakukan mihnah (inkuisisi) terhadap setiap imam dan ahli hadits yang
bertaqwa. Isu sentral yang menjadi topic mihnah waktu itu adalah tentang “Al-quran
sebagai makhluk bukan kalamullah yang qadim.”
Keadaan berbalik setelah al-mutawakil naik menduduki tahtakekhalifahan. Setelah
kurun waktu pemerintahan khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq dari dinasi
Abasiyyah (813-847 M) paham mu’tailah mencapai puncaknya. Akhirnya al-Mutawakkil
membatalkan pemakaian aliran mu’tazilah sebagai madzhab Negara di tahun 848 M.
Dengan demikian selesailah riwayat nihmah yang ditimulkan kaum Mu’tazzilah dan
ketika itu mulailah menurun pengaruh dan arti kaum Mu’tazilah.
Kedua, Selain faktor politik, latar belakang munculnya Asy’ariyah juga
dipengaruhi oleh kamu Mu’tazilah (yang mulai redup dan cenderung di tinggalkan oleh
masyarakat) juga tidak banyak berpegang teguh pada al-Sunnah atau al-Hadits, ini bukan
lantaran mereka tidak percaya pada hadits Nabi dan kata-kata para sahabat, akan tetapi
mereka ragu dengan originalitas sunah, sehingga mereka dipandang sebagai golongan
yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Kelemahan mu’tazilah pada sisi ini kemudian
dimanfaatkan oleh kalangan Asy’ariyah dengan terang-terangan mengusung sunah dan
tradisi sahabat hingga menyebabkan term Ahl Sunnah wa al-Jamaah. Seperti melekat pada
aliran Asy’ariyah dan ini tentunya memunculkan dukungan dari masyarakat.
Ketiga, Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang dulunya penganut Mu’tazilah dan pada
akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang dinisbahkan
pada namanya, yaitu al-Asy’ariyah. Menurut al-Subki dan AlAsakir, seperti dikutip Harun
Nasution, bahwa Abu Hasan al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW dan
dalam mimpinya baginda Rasulullah mengatakan padanya untuk meninggalkan paham
mu’tazilah dan membela sunahnya.
Keemapat, perdebatan yang terjadi antara Abu Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya
al-Jubbai, yang mana dalam perdebatan tersebut gurunya tak dapat menjawab pertanyaan
sang murid. Salah satu perdebatan itu adalah perdebatan mengenai nasib anak kecil di
akhirat, sebagai berikut:
Al-Asy’ari : Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam
keadaan berlainan, Mukmin, kafir, dana anak kecil.
Al-Jubai : Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil
selamat dari neraka.
Al-Asy’ari : Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
3
Al-Jubai : Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai
dengan taat kepada Allah, sedangkan engkau (anak kecil) belum beramal
seperti itu.
Al-Asy’ari : Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. Seandaiannya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang
Mukmin.
Al-Jubai : Allah menjawab: “Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur
dewasa, niscaya engkau bermaksiatdan engkau disiksa. Karena itu, Aku
menjaga kebaikanmu. Aku mematikanmu sebelum engkau mencapai umur
dewasa.
Al-Asy’ari : Seandainya si kafir itu bertanya: “Engkau telah mengetahui keadaanku
sebagaimana juga mengetahui keadaanya, mengapa Engkau tidak menjaga
kemaslahatanku, seperti anak kecil tadi?
Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya. Dari kasus ini (dan
beberapa kasus lainnya), Abu Hasan al-Asy’ari kemudian keluar dari Mu’tazilah. Dalam
rangka mempersiapkan diri untuk menjawab pemikiran aliran Mu’tazilah, al-Asy’ari untuk
sementara mengurung diri di rumahnya selama 15 hari, merenung dan mencoba
membanding-bandingkan dalil-dalil kedua kelompok aliran yang bertentangan. Kemudian
ia keluar menemui masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul. Selanjutnya,
pada hari Jumat di Bashrah ia naik mimbar dan berkata, “Barang siapa yang telah
mengenalku, maka sebenarnya dia telah mengenalku. Dan barang siapa yang belum
mengenalku, maka kini saya memperkenalkan diri, saya adalah fulan bin fulan. Saya
pernah mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, bahwa Allah tidak telihat oleh indra
penglihatan kelak pada hari kiamat, dan bahwa perbuatan-perbuatan saya yang tidak baik,
saya sendirilah yang melakukannya. Kini saya bertobat dari pendapat itu, serta siap sedia
untuk menolah pendapat mu’tazila, dan mengungkap kelemahan mereka. Menurut
pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok itu seimbang. Kemudian saya memohon
petunjuk kepada Allah, maka Allah memberikan saya petunjuk untuk meyakini apa yang
tertera dalam kitab-kitab saya. Saya akan melepaskan apa yang pernah saya percayai,
sebagaimana saya meninggalkan baju ini. Dari sisi lain kita melihat jawaban-jawaban
kaum Mu’tazilah dipandang tidak lagi memuaskan dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi umat saat itu.
Alasan lain adalah kondisi pasca dibekukannya madzhab mu’tazilah sebagai
madzhab Negara yang membuat lawan-lawan mu’tazilah mendapat tempat dan dihormati,
4
seperti ibn Hanbal dan tokoh fiqh yang kebanyakan tidak bermadzhab mu’tazilah. Pada
akhirnya masyarakat tidak lagi terbebani oleh pemikiran dan maneuver kaum mu’tazilah,
dan mereka kemudian berpaling kepada aliran lain, salah satunya adalah Asy’ariyah. Al-
Asy'ari sendiri menganut madzhab fiqh al-Syafi’i. suatu kebetulan pahampaham al-Asy’ari
bersesuaian denagn pendapat imam Syafi’I, sehingga banyak diantara para ulama yang
mengembangkan paham Asy’ariyah, seperti Al-Baqillani, Ibn Faurak, Al-Juwaini, dan al-
Ghazali.

3. Pemikiran/Paham Aliran Asy’ariyah


Secara umum pandangan kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah.
Diantara paham Asy’ariyah, sebagai berikut:
a. Sifat Tuhan. Mengenai sifat Tuhan, Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Sebab jika Tuhan mempunyai sifat, mestilah sifat itu jga kekal
seperti Tuhan. Berbeda halnya dengan Asy’ariyah yang mengemukakan bahwa
Tuhan mempunyai sifat yang menjadi bukti adanya (wujud) Allah. Sifat-sifat
tersebut adalah hidup (hayat), berkuasa (qudrah), mengetahui (‘ilm), berkehendak
(iradah), melihat (bashar), mendengar (sami’), berbicara (kalam). Akan tetapi dalam
pandangannya, sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat
Tuhan adalah dua hal yang berbeda tetapi satu. Sifatsifat tersebut lain dari zat-Nya
atau berada diluar zat-Nya dan bukan zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya karena jika demikian berarti Allah adalah
pengetahuan itu sendiri seperti mu’tazilah, melainkan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifatsifat lainnya.
b. Kekuasaan dan Keadilan Tuhan. Bagi Asy’ari, Allah adalah zat yang Maha kuasa
dan Maha Adil. Akan tetapi pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan ini
ternyata antara satu pihak dengan pihak lain tidak sama. Adil, dalam pandangan
Asy’ari adalah meletekan segala sesuatu pada tempatnya (wadh’u al-syai’ fi
mahallihi). Seseorang yang mempunyai kekuasaan berarti seseorang itu bisa
melakukan apa saja terhadaap apa yang dimiliki. Karena Allah adalah zat yang
Maha kuasa berarti Dia bisa berbuat apa saja terhadap yang dikuasai-Nya. Jika Allah
diakui zat yang Maha kuasa, maka apapun yang dilakukan Allah adalah sebuah
keadilan. Tidak akan pernah ketidakadilan itu terdapat pada diri-Nya.
c. Melihat Allah di Akhirat. Imam al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat
di akhirat kelak dengan mata kepala manusia. Menurut al-Asy’ari sifat-sifat yang
5
tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada
arti diciptakannya Tuhan. Sifat “dapatnya Tuhan dilihat” tidak membawa kepada arti
“diciptakannya Tuhan”. Sebab apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti
bahwa ia bersifat diciptakan.
d. Perbuatan Manusia. Pendapat Asy’ariyah yang paling menyita perhatian adalah
pandangan tentang “pandangan manusia”. Asy’ari meluncurkan teori al-kasb sebagai
jalan tengah diantara pandangan jabariyah dan qadariyah, diantaranya sebagai
berikut:
1. Perbauatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana
mu’tazilah, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
2. Bahwa yang menciptakan pekerjaan “iman” bukanlah orang mukmin (yang tak
sanggup membuat iman bersifat tidak berat dan tidak sulit). Akan tetapi Tuhanlah
yang menciptakannya dan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan
sulit
3. Dalam mewujudkan perbuatan manusia mempunyai usaha (kasb), hanya saja
daya yang ada dalam diri manusia tidak akan berpengaruh terhadap apa-apa
terhadap kegiatannya.
e. Kemampuan Akal Manusia. Keberadaan akal manusia sangat tergantung kepada
pemahaman mengenai kekuasaan dan keadilan Allah serta perbuatan manusia. Bagi
Asy’ari, akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan, tetapi kewajiban untuk
mengetahui Tuhan tidak ditetapkan oleh akal. Wahyu Allah yang mewajibkan
manusia untuk mengetahui Tuhan, yang mewajibkan untuk bersyukur kepada-Nya.
Sekiranya wahyu tidak turun kepada manusia maka tidak wajib mengetahui dan
bersyukur sama sekali kepada-Nya. Akal juga tidak mampu mengetahui baik dan
buruk. Baginya, baik dan buruk tidak melekat pada suatu perbuatan, tetapi
tergantung pada kehendak mutlak Tuhan. Dusta, misalnya adalah jahat karena
dilarang Tuhan. Bila dusta disiruh Tuhan, maka dusta adalah baik.
f. Kebaikan dan Keburukan. Menurut al-Asy’ari yang disebut kebaikan adalah
seluruh yang diperintahkan, dianjurkan maupun diperbolehkan oleh Allah SWT.
Kebaikan bukanlah semata-mata kewajiban atau anjuran, tetapi juga segala sesuatu
yang tidak ada larangan secara tegas (ibahah) dari Allah SWT. Sebaliknya, yang
disebut keburukan adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.16
g. Kebaruan Alam. Bagi Asy’ari, alam ini adalah sesuatu yang baru. Tidak ada yang
qadim selain Tuhan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa terjadi banyak
6
perbedaan antara berbagai benda dan bahwa benda-benda tersebut selalu mengalami
perubahan, yang inilah yang menjadi bukti kebaruan alam.
h. Dosa Besar. Menurut Asy’ari, iman itu akan tetap ada dalam diri seseorang selama
ia masih mengakui dan membenarkan keberadaan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena
itu, orang mukmin yang melakukan dosa besar dalam pandangan Asy’ari tetap
dianggap mukmin. Nabi akan memberi syafa’at kepada umatnya, termassuk kepada
mereka yang melakukan dosa besar selama ia masih beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Adapun mengenai dosa besar diserahkan sepenuhnya kepada Allah,
apakah akan diampuni atau tidak.

B. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian Aliran Mu’tazilah
Kata mu’tazilah berasal dari kata Bahasa Arab yaitu I’tazala yang artinya
“meninggalkan” atau “menjauhkan diri”. Mutazilah adalaha salah satu aliran teologi
dalam agama Islam. Kelahiran Mutazilah oleh lawan-lawanya, biasanya dikaitkan
dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqoh gurunya yaitu Hasan Basri karena
perbedaan status orang Islam dalam melakukan dosa besar.

2. Sejarah Lahirnya Aliran Mutazilah


Persoalan teologis yang cukup hangat diperbincangkan oleh para ulama pada
penghujung abad I hijrah ialah tentang status orang mukmin yang melakukan dosa
besar, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir. Persoalan tersebut kemudian muncul
pula di majelis taklim yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri ( 21-110 H/642-728 M) di
masjid Bashrah. Masalah status mukmin yang berdosa besar tersebut muncul di forum
ketika dipertanyakan oleh seorang peserta kepada Hasan al-Bashri di pengajiannya.
Disaat Hasan al-Bashri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan salah seorang
peserta pengajian yang bernama Washil ibn Atha (80-131 H/699-749 M) memberikan
jawaban. Menurut pendapat saya katanya, orang mukmin yang berbuat dosa besar maka
statusnya tidak lagi mukmin sempurna namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada di
antara dua posisi yang disebutnya al-Manzilah bayn al-Manzilatain (tempat di antara
dua tempat). Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Washil ibn Atha langsung
meninggalkan forum pengajian Hasan al-Bashri dan diikuti oleh temannya yang
bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain di dalam

7
masjid tersebut. Melihat tindakan Washil dan temannya itu, Hasan al-Bashri pun
berkomentar dengan kata : I’tazala ‘Anna Washil, (Washil telah memisahkan diri dari
kita). Semenjak itulah Washil dan kawan-kawannya dinamai dengan sebutan
Mu’tazilah.
Ada pula versi lain sebagaimana dijelaskan oleh al-Baghdadi bahwa Washil dan
temannya ‘Amr ibn ‘Ubaid diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya
perbedaan pendapat antara mereka tentang masalah qadar dan orang mukmin yang
berdosa besar. Keduanya kemudian menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri dan mereka
pun disebut dengan kaum Mu’tazilah karena pendapat mereka memisahkan diri dari
pendapat umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berdosa besar. Menurut
mereka ini bukan kafir dan bukan pula mukmin. Demikian keterangan al-Bagdadi
tentang pemberian nama Mutazilah kepada golongan ini.
Tentang penamaan Mutazilah ini terdapat beberapa versi, namun sebagai tanda
bagi aliran Ilmu Kalam yang rasional dan liberal setelah peristiwa Wasil Ibn Ata, dan
jauh sebelum itu telah terdapat kata I’tazala, Mutazilah. Wasil disebut Syaikhul
Mutazilah wa qadimuha.
Disamping alasan-alasan klasik tersebut, ada teori maju yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah ada sebelum adanya peristiwa Wasil dengan
Hasan al-Basri.dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi.
Kala itu, dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut
ikut campur dalam pertakaian-pertakaian politik yang terjadi di zaman Utsman ibn
Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka menjauhi dari golongan yang sering bertikai. Al-
Tabari impamanya menyebut bahwa mereka sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir
sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertakaian di sana, satu
golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Khartiba (I’tazalat
ila Khartiba). Dalam suratnya kepada Khalifah, Qais menamai mereka “mutazilin”.
Jadi, kata mutazilah dan I’tazalat sudah dipakai kira-kira 100 tahun sebelum peristiwa
Wasil dengan Hasan al-Basri , dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam
pertakaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mutazilah pertama ini memiliki corak politik. Dan
dalam pendapat Ahmad Amin, Mutazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan
Wasil, juga memiliki corak politik, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan Murjiah
juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Utsman , Ali, Muawiyah, dan
sebagainya. Perbedaan antara keduanya ialah bahwa Mutazilah kedua menambahkan
8
persoalan-persoalanya teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran dan pemikiran
mereka.
Pada dasarnya, Mutazilah membangun kerangka pemikiranya secara rasional
dengan bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan
dan kebaikanNya. Untuk itu, jika ada sebuah teks al-Quran atau Sunnah yang dianggap
bisa memberikan pengertian yang menodaai keesaan dan kebaikanNya, mereka
menakwilkan sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.

3. Metode Pemikiran Kalam/Teologi Aliran Mu’tazilah


Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang pada
premis-premis logika, kecuali dalm masalah-masalah yang tidak dapat dijngkau akal.
Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap masalah yang timbul
mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal, mereka terima, dan yang tidak
dapat diterima akal mereka tolak.
Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam
menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya ada dua yaitu:
1. Mereka menemukan di dalam filsafat Yunani keserasian dengan kecenderungan
pikiran mereka. Kemudian mereka jadikan sebagai metode berpikir yang membuat
mereka lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi.
2. Ketika para filosof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasardasar ajaran Islam
dengan argumentasi-argumentasi logis, Mu’tazilah dengan gigih menolak mereka
dengan menggunakan metode diskusi dan debat mereka.
Kaum Mu’tazilah memang banyak mempelajari filsafat untuk dijadikan senjata
mengalahkan serangan para filosof dan pihak lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah adalah filosoffilosof Islam.
Dalam menemukan pemikiran akidahnya, Mu’tazilah menggunakan metode
logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nas-nas al-Quran. Jika
kelihatan adanya pertentangan antara paham mereka dan nash al-Qur’an yang mereka
baca, maka nas itu mereka takwilkan sehingga tidak bertentangan dengan paham
mereka sekaligus tidak bertentangan dengan makna al-Qur’an.
Di dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah merupakan golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dibanding aliran-aliran teologi lainnya. Hal ini sebagaimana dikatakan di atas karena
mereka banyak dipengaruhi filsafat dan logika. Dalam membahas dan memecahkan
9
masalah-masalah teologi mereka lebih banyak menggunkan kemampuan akal..
Karenanya maka teologi yang mereka kembangkan lebih bercorak rasional dan liberal.
Mereka pun dinamakan juga dengan sebutan “kaum rasionalis Islam”.
Adapun pokok pikiran Mu’tazilah ada lima, yakni :
a. Al-Tawhid atau kemahaesaan Tuhan. Tuhan dalam faham mereka, akan betul-
betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang
serupa dengan Dia. Tuhan tidak serupa dengan manusia dan tidak dapat dilihat
dengan pandangan mata. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin
ada pada makhluk-Nya ialah sifat qadim, mereka meniadakan sifat-sifat Tuhan ;
yaitu sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Tuhan dalam
pandangan mereka, tetap yang maha tahu, maha kuasa, maha hidup, maha
mendengar, maha melihat tetapi semua itu tidak dapat dipisahkan zat Tuhan, atau
dengan kata lain bahwa sifat-sifat Tuhan merupakan esensi Tuhan. Selanjutnya
kaum Mu’tazilah membagi sifat Tuhan menjadi dua, yaitu :
1. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut sifat zatiah, seperti wujud,
al-qidam, hayah, al-qudrah dan lainlain.
2. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, yang disebut sifat fi‟liyah, yang
terdiri dari sifat-sifat yanng mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan
makhluknya, seperti iradah, kalam, al-adl dan lain-lain.
b. Al-Adl, dengan al-adl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan
dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil ; Tuhan tidak bisa
berbuat zalim. Pada makhluk ada 8 perbuatan zalim, karena disebut Tuhan itu adil
maka semua perbuatan Tuhan baik, Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan
apa yang wajib dikerjakanNya. Dengan demikian Tuhan tidak berdusta, tidak
bersikap zalim, tidak menyiksa anak-anak orang polytheis karena dosa orang tuanya,
tidak menurunkan mu’jizat bagi pendusta, tidak memberikan beban yang tidak dapat
dipikul manusia. Dan Tuhan memberi daya kepada manusia untuk dapat memikul
beban yang diletakkan Tuhan atas dirinya, menerapkan hakekat beban-beban itu, dan
memberi upah atau hukkuman atas perbuatan manusia. Dan kalau Tuhan memberi
siksaan, maka siksaan itu adalah untuk kemaslahatan.
c. Al-Wa‟ad wa al wa’id, merupakan lanjutan dari ajaran dasar keadilan. Tuhan tidak
akan dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki
supaya orang yang berbuat baik di beri upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
10
d. Al-manzilah Baina Manzilatain, posisi tengah bagi pembuat dosa besar, pembuat
dosa besar bukanlah mu‟min dan bukan kafir, karena ia masih percaya kepada
Tuhan dan nabi Muhammad, tetapi bukanlah mu’min karena imannya tidak lagi
sempurna. Karena bukan mu’min maka ia tidak masuk surga dan karena bukan kafir
ia tidak mesti masuk neraka. Akan tetapi karena di akhirat hanya ada dua tempat
tersebut, maka bagi pelaku dosa besar harus ditempatkan di neraka dan disiksa lebih
ringan dari yang diterima seorang kafir.
e. Al-amru bil Ma’ruf wa Nahyu ‘anil Munkar, perintah berbuat baik dan langan
berbuat jahat. Jika dapat dilakukan dengan seruan saja, tetapi jika terpaksa maka
dapat dilakukan dengan kekerasan.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disebut Mu’tazilah karena Washil Ibnu Atha’ memisahkan dirinya, karena
berlainan pendapat dengan gurunya Al-Hasan Al-Basri, tentang orang yang
melakukan dosa besar dan maksiat. Pada saat aliran Mu’tazilah muncul, kalangan
pemikir Islam telah melakukan kontak dengan Filsafat Yunani, yang banyak memakai
rasio dalam pemecahan masalah. Dan Kaum Mu’tazilah termasuk yang paling tertarik
dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika aliran Mu’tazilah
banyak berpegang pada rasio. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah meliputi masalah,
Tauhid, Al-Adl, Wa‟ad wal Wa‟id, Al Manzilah Baina Mazilataini, amar ma’ruf dan
nahi munkar.
Aliran Asy’Ariyah merupakan aliran pemikiran yang dipelopori oleh Abdul
Hasan Al- Asy’Ari pada aal abad ke III Hijriyah. Pada mulanya ia adalah pengikut
Mu’tazilah namun karena perbedaan pendapat dengan gurunya maka ia meninggalkan
Mu’tazilah. Beranjak dari mimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad SAW yang
mengatakan kepadanya bahwa Ahlu Hadits yang benar dan Mu’tazilah salah, maka
imam Asy’Ary mengajarkan faham berdasarkan teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut. Faham Asy’Ariyah inilah yang
merupakan cikal bakal Ahlussunnah Wal Jama‟ah “dan aliran Ahli Sunnah jama‟ah
muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’Ary disekitar tahun 300 H”.
Pokok-pokok ajarannya meliputi : Sifat Tuhan, dalil adanya Tuhan, perbuatan
manusia, dan pemakaian akal.
B. Saran
Isi dari makalah ini dirapkan dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca
mengenai sejarah dan pemikiran-pemikiran aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ma’rifah, U., & Agama-agama, J. S. AL-ASY’ARIYAH.

HANIFAH, A. H. (2016). ALIRAN MU? TAZILAH DAN ASY-„ARIYAH. At-


Tabligh, 1(1), 1-13.

Awwaliyah, N. PEMIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH.

Hatta, M. (2013). Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam. Ilmu


Ushuluddin, 1.

13

Anda mungkin juga menyukai