Anda di halaman 1dari 18

AHLUSSUNNAH WA AL-JAMA’AH

(Sejarah Timbulnya Paradigma Teologi Islam Tradisional dan Moderat)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah

“Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Mujamil, M.Ag

Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag

Disusun Oleh:

Siti Nurlailil Fauziah


NIM.1880507220044

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah swt Atas Rahmat, Hidayah dan Karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik. Sholawat serta
salam tidak lupa kami junjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Makalah ini
membahas mengenai “Ahlussunnah wa al-Jama’ah : sejarah timbulnya paradigma teologi
Islam tradisional dan moderat”. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah “Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam”. Penulis juga berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung
2. Bapak Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag., selaku Direktur Pascasarjana UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung
3. Bapak Dr. Agus Zaenul Fitri, M.Pd., selaku Kaprodi Jurusan Pendidikan Agama Islam
4. Bapak Prof. Dr. H. Mujamil, M.Ag dan Bapak Prof. Dr. H. Imam Fuadi, M.Ag., selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
5. Semua pihak Civitas Academica UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan yang tidak dapat
disebutkan semua

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
makalah ini menjadi lebih sempurna. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Tulungagung, 26 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan Pembahasan Masalah...............................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2
A. Sejarah Timbulnya Khalaf Ahlussunnah wa al-Jama’ah....................2
1. Pengertian dan Sejarah Timbulnya................................................2
2. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah secara garis besar.....3
B. Al-Asy’ari dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam Tradisional.......4
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari...............................................4
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari..............................................5
3. Pengaruh Asy’ariyah dalam Dunia Islam Tradisional...................8
C. Al-Maturidi dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam Tradisional.....8
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi.............................................8
1. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari..............................................9
BAB III PENUTUP............................................................................................14
A. Kesimpulan.......................................................................................14
B. Saran.................................................................................................14
DAFTAR RUJUKAN........................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap masalah ketuhanan.
Namun disisi lain, hal itu juga menunjukkan bahwa munculnya teologi Islam
tampaknya tidak disiapkan secara matang sejak awal. Justru politiklah yang memicu
munculnya keilmuan tersebut. Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam berarti ilmu yang
berisi alasan-alasan untuk mempertahankan kepercayaannya dengan menggunakan
dalil-dalil pikiran yang berisikan bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan aliran golongan salaf dan ahli sunnah. 1 Ada beberapa
alasan kenapa dalam Islam disebut dengan Ilmu kalam, diantaranya adalah karena salah
satu masalah yang paling sering dibahas dalam ilmu tersebut adalah kalam Tuhan atau
firman Tuhan. Mu’tazilah dan Asy’ariyah adalah dua aliran yang paling sengit dalam
mempertahankan pendapatnya tentang ilmu kalam.
Masyarakat membenci Mu’tazilah sejak terjadinya mihnah. Hal ini disebabkan
masyarakat mengingat hasutan Mu’tazilah kepada para khalifah untuk melakukan
inkuisisi terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertakwa. Sementara itu, orang
awam sulit untuk menerima faham-faham Mu’tazilah yang rasional. Mereka
menginginkan ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan dengan sunah Nabi
SAW dan tradisi para sahabat. Oleh karena itu, aliran Ahlus sunnah wa al-Jama’ah ini
lahir abad ke-3 H dipelopori seorang ulama terkemuka bernama Abu Hasan Al-Asy’ari
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Timbulnya Khalaf Ahlussunnah wa al-Jamaah ?
2. Bagaimana Al-Asy’ari dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam Tradisional ?
3. Bagaimana Al-Maturidi dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam Moderat ?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk Mendeskripsikan Sejarah Timbulnya Ahlussunnah wa al-Jamaah.
2. Untuk Mendeskripsikan Al-Asy’ari dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam
Tradisional.
3. Untuk Mendeskripsikan Al-Maturidi dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam
Moderat.

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2012), hal 1091

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Khalaf Ahlussunnah wa al-Jama’ah


1. Pengertian dan Sejarah Timbulnya
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir
setelah abad ke-III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang
dimiliki salaf. Karakteristik yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan
terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang
sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya. Adapun ungkapan Ahlussunnah
(sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu umum
dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Adapun
Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan
Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang
digunakan dalam pembahasan ini. 2
Arti Ahlussunnah ialah Penganut Sunnah Nabi. Arti wal Jama’ah ialah
penganut i’tiqad sebagai i’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang
dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Sahabat-sahabat beliau. I’tiqad Nabi dan
Sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul
secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian
dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang
besar, yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali Al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H , wafat
tahun 324 H dalam usia 64 tahun).
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal
Jama’ah dengan kaum ‘Asy’ariah jama’ dari Asy’ari dikaitkan kepada Imam Abu
Hasan Ali Al Asy’ari tersebut. Selanjutnya terma Ahlussunnah banyak digunakan
sesudah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dua aliran yang menentang
ajaran-ajaran Mu’tazilah. Dalam hubungan ini, Harun Nasution menjelaskan
bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari sekitar tahun 300 H.3

2
Jalal Muhammad Musa, Nasy’ah Al-Asya’irah wa Tathawwuruha, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnani,
1975), hal.15
3
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.64

2
Pada Negara Indonesia, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah disingkat
Aswaja yang dijabarkan oleh K.H Bisyri Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi
NU. Menurutnya, Aswaja adalah golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti
salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaidi Al-
Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali di bidang tasawuf. Semuanya itu menjadi
rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Contoh generasi muda NU seperti
Said Aqil, Masdar F. Masudi, Nurhadi Iskandar,dll.4
2. Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah secara garis besar

Doktrin-doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan hasil pemikiran Al-


Asy’ari dan Al-Maturidi. Keduanya mempunyai hasil yang hampir sama, karena
berlandaskan dasar pemikiran yang sama pula yaitu mengutamakan petunjuk-
petunjuk agama dan menggunakan akal fikiran sebagai alat pelaksana. Doktrin-
doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu
doktrin dalam bidang akidah dan doktrin dalam bidang politik sebagai berikut:5

a. Imam yang bertugas (pemerintah) yang bertugas untuk memperbaiki dan


mengatur masyarakat. Selain itu bertugas untuk melaksanakan pidana,
mengumpulkan zakat dan membagikan kepada yang berhak menerimanya,
mempertahankan negara dan kehormatan atau kedaulatan rakyat, memberi
keputusan terhadap sengketa rakyat, melaksanakan hukum-hukum agama,
berusaha melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran negara, menuju
kepada Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (Istilah yang
dipopulerkan oleh K.H Ahmad Dahlan).
b. Meyakini dan percaya kepada sifat-sifat Ma’ani bagi Allah, tetapi tidak
mempersamakan Allah dengan makhluk. Selain itu percaya kepada sifat
wajib, mustahil dan jaiznya para Rasul, percaya kepada datangnya kiamat
dan kehidupan akhirat seperti hisab, mizan, syiroth, surga neraka, siksa
kubur dan bangkit dari kubur.
c. Manusia memerlukan pertolongan Allah untuk dapat melaksanakan amal
perbuatannya, karena kekuasaan manusia itu pelaksanaannya tidak dapat

4
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal.189
5
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, (Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 1978), hal. 88

3
berdiri sendiri dan segala sesuatu tergantung kepada Qudrat dan Iradat
Allah.
d. Semua kewajiban ditentukan menurut sabda Allah, tidak menurut
pertimbangan akal fikiran, karena akal tidak dapat menentukan mana yang
baik dan mana yang buruk kecuali atas bimbingan wahyu.
e. Iman adalah kepercayaan dalam hati. Adapun pernyataan dalam lisan dan
amal perbuatan ddalam menunaikan kewajiban adalah sebagai
penyempurna dan pelengkap iman.
f. Orang yang menjalankan dosa besar dan meninggal sebelum bertaubat
urusannya adalah pada Allah. Allah mengampuni atau menyiksa tersesar
kepada Allah,dll.
B. Al-Asy’ari dan Paradigma Pemikiran Teologi Islam Tradisional
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari

Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq
bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
Musa Al-Asy’ari. 6 Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada
tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad
dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.7

Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang
berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil,
sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama
Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan
seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M),
ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/ 932 M). Berkat didikan ayah
tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah
ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan
Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya. 8

Menurut Ibn ‘Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan


paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan

6
Muhammad ‘Imarah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islami, (Beirut: Dar Asy-Syuruq, 1911), hal.163
7
Abdurrahman Badawi, Madzahib Al-Islamiyyin, (Dar ’Ilm li Al-Malayin, 1984), hal.497
8
Hammudah Gurabah, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Al-Hai’at Al-Ammah li Syu’un Al-Mathabi’ (Al-
Amiriah: Kairo, 1973), hal.60

4
Rasulullah SAW, sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30
bulan Ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW memperingatkannya
agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah
diriwayatkan dari beliau. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai
usia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah
Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan
menunjukkan keburukan-keburukannya. 9

2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari


Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu’tazilah pada
sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks.
Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap
Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa menghindarinya.10
Pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat
Allah tidak dapat dihindarkan, meskipun mereka setuju bahwa mengesakan
Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem.
Pada satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Sifatiah (pemberi sifat),
kelompok Mujassimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang
berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-
Quran dan Sunnah, bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya.
Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain ensensi-Nya dan tangan, kaki, telinga
Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi harus
dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah)
dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan
secara harfiah, tetapi secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat

9
Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Al-Husna, 1992), hal.104
10
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Kairo: Dar Al-Misriyah, 1946), hal.92

5
manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah, berbeda dengan Allah, tetapi
sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya. 11
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta
mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah
di antara dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistik dan
menganut paham pra-determinisme semata-mata dan Mu’tazilah yang
menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia
perbuatannya sendiri.
Untuk menengahi dua pendapat di atas, Al-Asy’ari membedakan antara
khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia,
sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah
yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). 12

c. Akal Wahyu dan Kriteria Baik Buruk


Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu,
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara
mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal. 13

d. Qadimnya Al-Quran

Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal


qadimnya Al-Quran. Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Quran diciptakan
(makhluk) dan tidak qadim. Serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah
yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak
diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata dan
bunyi Al-Quran adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan

11
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor), hal. 67
12
Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Setia Pustaka, 2016), hal. 148
13
Muhammad bin Abdul Karim, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dar Al-Ma’arifah, 1990), hal.115

6
yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-
Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada
esensi Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-
Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat.14

e. Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem,
terutama Zaahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan
memercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatulllah (melihat Allah)
di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang
menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya. 15
f. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil
sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki
keharusan apa pun, karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah
mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-
Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemiliki Mutlak. 16
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi
seseorang harus satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.17

14
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1972), hal. 69
15
Abdul Hye, Ash’arism dalam History of Muslim Philosophy, (Wiebaden: Otto Haras, 1963), hal.234
16
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,...,hal. 150
17
Ibid, hal. 150

7
3. Pengaruh Asy’ariyah dalam Dunia Islam Tradisional
Sebagai teologi yang dikembangkan oleh Al-Asy’ari, di tengah konsolidasi
faham sunni telah mendapat angin segar oleh masyarakat dan oleh penguasa,
terlebih setelah tampilnya para pengikut Al-Asy’ari yakni al-Gazali sekitar dua
abad setelah Al-Asy’ari. Secara umum Al-Asy’ari membuat penalaran tunduk
kepada wahyu dan menolak kehendak bebas manusia dalam kebaikan yang
dilakukan secara sukarela dan menghilangkan kehendak bebas manusia yang
kreatif dan menekankan kekuasaan Tuhan dalam semua yang terjadi di belakang
ayat-ayat Al-Quran, sehinggga dapat disederhanakan bahwa keberadaan manusia
tetap bertanggung jawab terhadap amal perbuatan mereka.
Seiring dengan perkembangannya ajaran para tokoh di atas telah tersebar
dan banyak dijadikan figur umat muslim, tidak terlepas muslim Indonesia bahkan
karya mereka dijadikan rujukan, sebut saja misalnya di pesantren-pesantren yang
diajarkan disana adalah kitab-kitab yang berhaluan Asy’ari misalnya Tafsir
Jalalain, Ihya Ulumuddin. Tentu sedikit banyaknya memberikan pengaruh terhadap
bangunan pemikiran para penganut ajaran Asy’ari 18
C. Al-Maturidi (w.944 M)
1. Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/ 944
M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi.
Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa Khalifah Al-Mutawakil yang
memerintah tahun 232-274 H/ 847-861 M.
Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk
menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat
Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan akidah yang benar menurut akal dan
syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di
antaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Quran, Ushul fi Ushul Ad-Din,dll. Selain

18
Seyyed Hossein, Intelektual Islam Teologis, Filsafat dan Gnosis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerja
sama CIIS, 2009), hal.13

8
itu, ada pula karangan-karangan yang dikatakan dan diduga ditulis oleh Al-
Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.
2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran
dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari, akan tetapi porsi yang
diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan
dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut
sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang mengandung perintah agar manusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap
Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh
iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari
wahyu. 19
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa
penentu baik dan buruknya sesuatu terdapat pada sesuatu itu sendiri, sedangkan
perintah atau larangan syariah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik
dan buruknya sesuatu. Al-Maturidi mengakui bahwa akal tidak selalu mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk dan terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruk. Dalam kondisi demikian, wahyu
diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada tiga
macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan
petunjuk ajaran wahyu

19
Harun Nasution,op. cit, hal.87

9
Mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi
sependapat dengan Mu’tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengakatan
bahwa perintah kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang
buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi berbeda bendapat
dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat
pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena perintah syara’
dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi yang baik itu karena
perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah
dan Al-Asy’ari. 20
b. Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, karena
segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai
perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan
manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya agar dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, Al-
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan
qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya
(kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya
tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia.
Kemudian karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, sehingga daya
itu daya manusia. Berbeda dengan Al-Maturidi, Al’-Asyari mengatakan bahwa
daya tersebut adalah daya Tuhan, karena ia memandang perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang
daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya, Al-Maturudi membawa paham Abu
Hanifah yaitu adanya masyi’ah (kehendak dan rida (kerelaan). Kebebasan
manusia dalam melakukan baik atau buruk, tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi
memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manusia berbuat baik

20
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,...,hal. 152

10
atas kehendak dan kerelaan Tuhan dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan,
tetapi tidak atas kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-
Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu
dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi,
pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti Tuhan berkehendak dan
berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan
tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan
antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar dan
sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai
sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat. Menurut Al-Maturidi,
sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya.
Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah. Menetapkan
sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme, karena
sifat tidak berwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak
akan membawa pada berbilangnya yang qadim.
Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-
Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak
adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat
Tuhan ini diberitakan oleh Al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-
Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat
dapat ditangkap dengan penglihatan, karena Tuhan mempunyai wujud,
walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak memperkenalkan
bentuknya karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

11
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi. Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis). Al-
Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu
(hadis). Kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah
bersifat dengannya dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya,
kecuali dengan perantara.
Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang
tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandangnya
dari segi makna abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah
menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya. Al-
Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan
Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi,
tetapi Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti makhluq
untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada
kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari
dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-
Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan.
g. Perbuatan Manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini
kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang
memaksa atau membatasinya, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib bagi-Nya
berbuat Ash-Shalah wa Al-Ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap
perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :

1). Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di


luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan dan
manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuannya dan
perbuatannya.

12
2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.

h. Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta
kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi
berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal
niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran
wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada
sesuatu yang berada di luar kemampuannya.
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tegah-tengah
umatnya adalah kewajiban Tuhan, agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik
dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul.
i. Pelaku Dosa Besar (Murtakib al-kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak
kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini
karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia
sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang
yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di
dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup
dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal ibadah adalah penyempurnaan iman.
Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman,
kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.21

21
Abdul Rozak, Ilmu Kalam,...,hal. 153-156

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi
dua pengertian yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah
lawan kelompok syiah. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada
dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah.
2. Doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari antara lain: Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
kebebasan dalam berkehendak, akal dan wahyu serta kriteria baik dan buruk,
qadimnya Al-Quran, melihat Allah, keadilan, kedudukan orang berdosa.
3. Doktrin-doktrin teologi Al-Maturidi antara lain: akal dan wahyu, perbuatan
manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan,
kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar
B. Saran
1. Diharapkan untuk pendidik memberikan motivasi dan saran yang membangun
terhadap materi, khususnya makalah dengan judul “Ahlussunnah wa al-Jama’ah”:
sejarah timbulnya paradigma teologi Islam tradisional dan moderat” agar makalah
bisa menjadi yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Diharapkan untuk semua Mahasiswa perkuliahan memberikan masukan kritikan
yang membangun dan partisipasinya terhadap materi yang dipaparkan.

14
DAFTAR RUJUKAN

Abdul Hye, Abdul Makkah. 1963. Ash’arism dalam History of Muslim Philosophy,
(Wiebaden: Otto Haras, 1963)

Abdul Karim bin Muhhammad, 1990. Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dar Al-Ma’arifah,
1990), hal.115

Amin, Ahmad. 1946. Dhuha Al-Islam, (Kairo: Dar Al-Misriyah)

Badawi, Abdurrahman. 1984. Madzahib Al-Islamiyyin, (Dar ’Ilm li Al-Malayin)

Bagus, Lorens. 2012. Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum)

Gurabah, Hammudah. 1973. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Al-Hai’at Al-Ammah li Syu’un Al-
Mathabi’ (Al-Amiriah: Kairo)

Hanafi, Ahmad. 1992. Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Al-Husna)

Hasyim, Umar. 1978. Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah wal Jama’ah,
(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset)

Hossein, Seyyed. 2009. Intelektual Islam Teologis, Filsafat dan Gnosis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Bekerja sama CIIS)

Marah,Muhammad. 1911. Tayyarat Al-Fikr Al-Islami, (Beirut: Dar Asy-Syuruq)

Rozak, Abdul. 2016. Ilmu Kalam, (Bandung: CV Setia Pustaka)

Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor)

Zahrah, Abu. 1996. Aliran Politik dan Aqidah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996),
hal.189

15

Anda mungkin juga menyukai