Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM ALIRAN AL-ASY’ARIYAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Anindya Aryu Inayati, MPI

Disusun oleh :

Kelompok 07

Ahmad Dimyati Bahrul Atho (1220151)

Ralia Damayanti (1220155)

Kelas : Hukum Ekonomi Syariah D

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

IAIN PEKALONGAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Makalah ini guna memenuhi tugas Ilmu
Kalam di Fakultas Syariah IAIN Pekalongan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pegikutnya, yang senantiasa menjadi
uswatun khasanah bagi umat manusia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Anindya Aryu Inayati, MPI selaku dosen
mata kuliah Ilmu Kalam yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak lain yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Kami menyadari makalah yang kami
tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap makalah ini menjadi salah satu kajian pendukung perkuliahan Ilmu
Kalam untuk mempelajari lebih dalam materi Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy‟ariyah.

Pekalongan, 10 November 2021

Penyusun

Kelompok 07

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah........................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.1 Arti dan Sejarah Munculnya ahlu Sunnah dan Jama‟ah ............................................. 3
2.2 Riwayat Hidup Abu Hasan Al-Asy‟ari ....................................................................... 4
2.3 Sejarah Timbulnya Pemikiran Kalam Aliran Asy‟ariyah .......................................... 5
2.4 Doktrin-Doktrin dalam Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy‟ari ..................................... 7
2.5 Tokoh-Tokoh Penting dalam Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy‟ari .......................... 11
BAB III .................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................ 14
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 14
3.2 Saran .......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16
BUKTI KEHADIRAN KE PERPUSTKAAN......................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal ada dua
corak pemikiran kalam yang kontradiktif. Pemikiran kalam Muktazilah mempunyai
pemikiran bercorak rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan
aliran al-Asy‟ariyah mempunyai pemikiran bercorak tradisional, pemikiran kalam
yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya
yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya,
serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur‟an.
Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta
akan menumbuh suburkan sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini
terdapat dalam aliran Asy‟ariyah dan Maturidiyyh Bukhara.1 Abu al-Hasan al-Asy‟ari
sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy‟ari, pada mulanya adalah pengikut setia
ajaran Muktazilah, oleh karena beberapa hal yang bertentangan dengan hati nurani,
pemikirannya dan kondisi sosial masyarakat (ia merasa perlu meninggalkan ajaran
itu) dan bahkan memunculkan aliran teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap
ajaran Muktazilah.
Dalam memahami teks, kaum Muktazilah mempergunakan akal dan kemudian
memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal.
Kaum Asy‟ariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian
membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu tersebut.
Asy‟ariah adalah aliran teologi Tradisional yang disusun oleh Abu Hasan al-
Asy‟ari (935) sebagai reaksi atas teologi Mu‟tazilah. Dalam penggolongan teologi
Islam, Asy‟ariah dan Maturidiah keduanya disebut Ahli Sunnah wal-Jamaah. aliran
Asy‟ariah pada umumnya dianut oleh umat Islam yang bermazhab Sunni.2

1
Prof. Dr.Yusran Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al_azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka
dalam Teologi Islam, (Cet.II: Jakarta: Penamadani,2003), h.7
2
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), h. 17

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pemakalah mengemukakan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa arti dan sejarah munculnya ahlu Sunnah dan Jama‟ah?
2. Bagaimana riwayat hidup Abu Hasan al-Asy‟ari?
3. Bagaimana sejarah timbulnya aliran al-Asy‟ariyah?
4. Apa saja doktrin-doktrin dalam pemikiran kalam al-Asy‟ari?
5. Siapa saja tokoh-tokoh penting dalam pemikiran kalam aliran al-Asy‟ari?

1.3 Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, beberapa tujuan dalam penyusunan makalah
ini adalah :
1. Untuk mengetahui arti dan sejarah munculnya ahlu sunnah dan jama‟ah.
2. Untuk mengetahui riwayat hidup Abu Hasan al-Asy‟ari.
3. Untuk mengetahui sejarah munculnya aliran al-Asy‟ariyah.
4. Untuk mengetahui doktrin-doktrin dalam pemikiran kalam aliran al-Asy‟ariyah.
5. Untuk mengetahui tokoh-tokoh penting dalam pemikiran kalam aliran al-Asy‟ari.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Arti dan Sejarah Munculnya ahlu Sunnah dan Jama’ah


Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa aliran Kalam.
Adapun ungkapan Ahl al-Sunnah (sering juga disebut dengan sunni) dapat dibedakan
menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum
adalah lawan kelompok Syi‟ah. Dalam pengertian ini, Mu‟tazilah sebagaimana
Asy‟ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sementara Sunni dalam pengertian khusus
adalah madzhab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan dari
Mu‟tazilah.
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan gabungan dari kata ahl assunnah dan
ahl al-jama’ah.3 Dalam bahasa Arab, kata ahl berarti “pemeluk aliran/ mazhab”
(ashab al-mazhabi), jika kata tersebut dikaitkan dengan aliran/ madzhab. Kata al-
Sunah sendiri disamping mempunyai arti al-hadits, juga berarti “perilaku”, baik
terpuji maupun tercela. Kata ini berasal dari kata sannan yang artinya “jalan”.4
Selanjutnya mengenai definisi al-Sunnah, secara umum dapat dikatakan
bahwa al-Sunnah adalah sebuah istilah yang menunjuk kepada jalan Nabi SAW dan
para shahabatnya, baik ilmu, amal, akhlak, serta segala yang meliputi berbagai segi
kehidupan. Maka, berdasarkan keterangan di atas, ahl al-Sunnah dapat diartikan
dengan orang-orang yang mengikuti sunah dan berpegang teguh padanya dalam
segala perkara yang Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Adapun al-Jama’ah, berasal dari kata jama’a dengan derivasi yajma’u
jama’atan yang berarti “menyetujui” atau “bersepakat”. Dalam hal ini, al jama’ah
juga berarti berpegang teguh pada tali Allah SWT secara berjama‟ah, tidak berpecah
dan berselisih. Pernyataan ini sesuai dengan riwayat Ali bin Abi Thalib yang
mengatakan: “Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang kamu tetapkan,
sesungguhnya aku benci perselisihan hingga manusia menjadi berjamaa‟ah”.5

3
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqih, Cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 9
4
Munawir, Kajian Hadits Dua Mazhab, Cet. 1, (Purwokerto: Stain Press, 2013), hlm. 1
5
Munawir, Kajian Hadits Dua Mazhab, hlm. 1

3
Jika Ahl al-Sunnah adalah penganut sunah Nabi SAW dan al-Jama’ah adalah
penganut paham shahabat-shahabat Nabi SAW, maka ajaran Nabi SAW dan para
shahabatnya yang sudah termaktub dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Saw secara
terpencar-pencar dan belum tersusun secara teratur, kemudian dikodifikasikan
(dikonsepsikan secara sistematis) oleh Abu Hasan al-Asy‟ari (lahir di Bashrah tahun
324 H dan meninggal pada usia 64 tahun). Pada periode Ashab alAsy‟ari inilah, Ahl
al-Sunnah wa al-Jama‟ah mulai dikenal sebagai suatu aliran dalam Islam.

2.2 Riwayat Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari


Abu Hasan al-Asy‟ari adalah Ali bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Abi
Bardah bin Abi Musa al-Asy‟ari, 6 dilahirkan di Basrah pada tahun 260 H. dan wafat
pada tahun 324 H/935 M. Dia adalah seorang pendiri mazhab teologi Sunni.7 Abu al-
Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca, menulis dan menghafal al-qur‟an
dalam asuhan orang tuanya, yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadis, Fiqh, Tafsir dan bahasa antara lain
kepada al-Saji, Abu Khalifah al-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, „Abd
al-Rahman Ibn Khalf dan lain-lain.8 Demikian juga ia belajar Fiqih Syafi'i kepada
seorang faqih: Abu Ishaq al-Maruzi (w.340 H./951 M.) seorang tokoh Mu‟tazilah di
Bashrah. Sampai umur 40 tahun ia selalu bersama Abu „Ali al-Jubbai, serta ikut
berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaran Mu‟tazilah.
Al-Asy‟arî adalah murid dan belajar ilmu kalam dari seorang tokoh
Mu‟tazilah, yaitu Abu „Ali al-Jubbai, malah Ibn „Asakir mengatakan bahwa al-Asy‟ari
belajar dan terus bersama gurunya itu, selama 40 tahun, sehingga al-Asy‟ari pun
termasuk tokoh Mu‟tazilah. Dan karena kepintaran serta kemahirannya, ia sering
mewakili gurunya itu dalam berdiskusi. Namun pada perkembangan selanjutnya, al-
Asy‟ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu‟tazilah dan selanjutnya condong kepada
pemikiran para fuqaha‟ dan ahli hadis.9
Al-Asy‟ari sendiri merupakan seorang yang berwawasan luas, berpandangan
teliti, dan sekaligus penulis yang baik sekaligus produktif. Kedua karyanya al-Ibanah
„an Usul al-Diyanah dan al-Luma‟ fi al-Rad „alaAhl al-Zaigh wa al-Bida‟
6
Imam Abu Hasan „Ali bin Isma‟il al-Asy‟ari, Op. Cit., h. 5.
7
0 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, Ed.I. (Cet.II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 41
8
Abu al-Hasan al-Asy'ari. (Fauqiyah Husein Mahmud, Ed) al-lbanah 'an Usul al- Diyanah. (Mesir, 1977), h. 9.
9
Cyril Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam, terj. Ghufron A. Mas‟adi, Ensiklopedi Islam (Cet. III;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 41.

4
membuktikan keterampilan tersebut.10
Kemudian Al-Asy‟ari meninggalkan paham Mu‟tazilah dan membentuk
mazhab baru yaitu Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Faktor yang melatarbelakangi
Asy‟ari meninggalkan Mu‟tazilah dan membangun mazhab baru yaitu karena Al-
Asy‟ari merasa bahwa sudah tidak sepaham lagi dengan ajaran yang dianut oleh
Mu‟tazilah, dan dia juga melihat bahwa aliran Mu‟tazilah tidak dapat diterima oleh
mayoritas umat islam. Dan dari perubahan mazhab Mu‟tazilah menjadi Ahl al-Sunnah
wa al-Jamaaah sebagai cikal bakal munculnya mazhab Asy‟ari, maka kiranya faktor
dan sebab perubahan itu merupakan sebab utama munculnya pemikiran Asy‟ari‟ah.
Adapun karya-karya al-Asy‟ari yang terkenal ada tiga kitab yaitu:
1. Maqalaat al-Islamiyyiin (pendapat-pendapat golongan-golongan Islam). Kitab ini
menguraikan tentang kepercayan-kepercayaan golongan Islam, pendirian ahli
hadis dan sunnah dan bermacam-macam persoalan ilmu kalam.
2. Al-Ibanah „an Ushul Addiyaanah ( Keterangan tentang dasar-dasar agama). Kitab
ini menguraikan tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulai dengan memuji
Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
3. Al-Luma‟ (sorotan). Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-lawannya
dalam beberapa persoalan ilmu kalam.11

2.3 Sejarah Timbulnya Pemikiran Kalam Aliran Asy’ariyah


Asy‟ariyah adalah aliran yang berasal dari nama seorang yang berperan
penting, yakni pendirinya aliran Asy‟ariyah yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy‟ari
keturunan dari Musa al-Asy‟ari.12 Al-Asy‟ari mempelajari ilmu Kalam dari seorang
tokoh Muktazilah yaitu Abu „Ali al-Jubbâi. Karena kemahirannya ia selalu mewakili
gurunya dalam berdiskusi. Meskipun demikian pada perkembangan selanjutnya ia
menjauhkan diri dari pemikiran Muktazilah dan condong kepada pemikiran para
Fuqaha dan ahli Hadis, pada hal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majlis mereka
dan tidak mempelajari „aqidah berdasarkan metode mereka.13
Ada beberpa alasan yang menyebabkan al-Asy‟ari menjauhkan diri dari
Muktazilah seksaligus sebagai penyebab timbulnya aliran teologi yang dikenal dengan

10
1Nukman Abbas. al-Asy‟ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, h. 106.
11
A.Hanafi, M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Op.Cit. 67-68
12
Drs. Bashori, Ilmu Tuhid : Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm. 92.
13
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah Op. Cit., h, 163

5
nama al-Asy‟ari sebagai berikut: Salah satu penyebab keluarnya al-Asy‟ari dari
Muktazilah ialah adanya perdebatan-perdebatan dengan gurunya Abu „Ali al-Jubbâi
tentang dasar-dasar paham aliran Muktazilah yang berakhir dengan terlihatnya
kelemahan paham Muktazilah. Di antara perdebatan-perdebatan itu ialah mengenai
soal al-Ashlah (“keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan”).14
Al-Asy‟ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Muktazilah
akhirnya meninggalkan ajaran Muktazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal
dari al-Subki dan Ibn Asaakir, ialah pada suatu malam al- Asy‟ari bermimpi; dalam
mimpi itu Nabi Muhammad SAW. Mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli
Hadislah yang benar, dan mazhab Muktazilah salah.15
Menurut ibnu Taimiyah, setelah Abu Hasan al-Asy‟ari meninggalkan aliran
Muktazilah,ia menempuh jalan ahlu al-Sunnah wa al-Hadis dan bergabung dengan
Imam Ahmad bin Hanbal16.
Pada masa pemerintahan Khalfah al-Ma‟mun (827M), Muktazilah diakui
sebagai mazhab resmi negara . Muktazilah adalah aliran yang menganjurkan
kemerdekaan dan kebebasan berpikir kepada manusia.. Aliran ini telah berkembang
dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiah, yang banyak
memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio dalam
penerjemahan ilmu-ilmu luar dan memadukan dengan ajaran Islam.17
Dengan diresmikannya aliran Muktazilah sebagai aliran resmi negara , maka
ada yang tidak sepaham dengan khalifah mengakibatkan keresahan di kalangan
masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni, khususnya dengan pelaksanaan
mihnah-nya, suatu ide bahwa al-Qur‟an itu diciptakan. Gerakan Mihnah itu
merupakan kebijaksanaan Khalifah al-Ma‟mun untuk meneliti keyakinan para pejabat
negara maupun ulama. Dekrit khalifah para pegawai dan ulama yang tidak sepaham
dengan pendapat itu akan dipecat dari jabatannya. Ulama yang tetap mempertahankan
pendapat ortodoksnya disiksa, seperti yang dialami Ahmad ibn Hambal dan Abdillah
ibn Nuh. Kebijakan mihnah ini berlangsung hingga pada masa Watsiq memegang
tampuk pemerintahan (842-847 M).14 Dengan kebijakan mihnah tersebut

14
A.Hanafi, M.A., Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th)., h. 104.
15
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Ed. II. (Cet. I; Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press), 2002), h. 66
16
Imam Abu Hasan „Ali bin Isma‟il al-Asy‟ari, al-Ibânah ‘an Ushûl ad- Diyânah, ( Cet.IV; Damaskus:
Maktabah Dâr al-Bayân, 1993M/1413H), h. 30
17
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007), h.173.

6
mengakibatkan timbulnya kebencian masyarakat terhadap mereka yang berkembang
menjadi permusuhan, dan masyarakat melupakan jasa baik dan jerih payah mereka
untuk membela Islam, mereka hanya mengingat hasutan mereka kepada para khalifah
untuk melakukan inkuisisi terhadap setiap imam dan ahli hadits yang bertaqwa.18
Selanjutnya pada masa Pemerintahan Mutawakkil (847- 861), pemikirannya
terbalik dengan pemikiran para pendahulunya dimana mazhab Muktazilah diasingkan
dari negara dan kemudian digantikan dengan mazhab Sunni. Pada masa inilah
Muktazilah menjadi mazhab yang dimusuhi.19 Di masa pemerintahannya, Mutawakkil
mendekati lawan-lawan mereka dan membebaskan para ulama. Para fuqaha dan ulama
yang beraliran Sunni serta orang-orang yang menerapkan metode Sunni dalam
pengkajian „aqidah menggantikan kedudukan mereka. Sebagian ulama yang
menguasai metode diskusi golongan Muktazilah tidak lagi berpegang kepada
pendapat-pendapat mereka. Sementara itu masyarakat awam mendukung kelompok
Sunni. Usaha mereka didukung oleh para ulama terkemuka dan para khalifah.20

2.4 Doktrin-Doktrin dalam Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy’ari


1. Zat dan Sifat Tuhan
Menurut al-Asy‟ari Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan
mengetahui dengan zat-Nya. Tuhan bukan pengetahuan(„ilm) tetapi Yang
Mengetahui („Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti
sifat hidup, berkuasa mendengar dan melihat.21
Mengenai anthropomorphisme, al-Asyari berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak dicantumkan
bagaimana (bilâ kaifa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan ( lâ
yukayyaf wa lâ yûhad).22
Dalam hal sifat-sifat Tuhan, kaum Asy‟ariah menegaskan tetap berada
dalam batas prinsip ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya”, dan
mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuk-Nya saja, dan
bukanlah seperti sifat makhluk-makhluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak seperti
18
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Lo. Cit.h. 162
19
M. Abdul Karim, Op.Cit.h. 174
20
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Lo. Cit. h 162
21
Harun Nasution, Teologi Islan Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Op.Cit., h. 69-70
22
Ibid, h. 71.

7
pendengaran mereka dan penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan mereka. 23
Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syura:11)
Kaum Asy‟ariyah juga meyakini akan sifat-sifat Allah yang bersifat
khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
Dalam hal ini al- Asya‟ariyah mengartikannya secara sombolis serta tidak
melakukan takyif (menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki
Allah), ta't}il (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki ), tams\il
(menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu) serta tahrif
(menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya).24
2. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Menyangkut masalah kekuasaan Tuhan al-Asy‟ariah berpendapat
bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa menghalangi kekuasaan Tuhan dan
menolak keberadaan dari semua penyebab. Kalau siang mengikuti malam,
maka itu hanya karena Tuhan dengan kasih-Nya memudahkan
pengulangannya.
Perbuatan-perbuatan manusia, bagi al-Asy‟ari, bukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri, sebagai pendapat Mu‟tazilah, bahwa manusialah yang
menciptakan perbuatannya sendiri melalui potensi yang diberikan Allah
padanya. tetapi diciptakan oleh Tuhan. Istilah yang dipakai al-Asy‟ari untuk
perbuatan manusia yang diciptakan Tuhan ialah al-kasb.25 Dan dalam
mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia
tak mempunyai efek. Tidak ada suatu kebaikan atau keburukan di bumi ini
kecuali dengan kehendak Allah. Dan sesuatu itu ada karena kehendak Allah,
seseorang tidak akan sanggup berbuat sesuatu sebelum Tuhan melakukannya.
Tidak ada pencipta selain Allah. Perbuatan buruk manusia Allahlah yang
menciptakannya sedang manusia tidak sanggup menciptakan sesuatu
perbuatan.26
3. Akal dan Wahyu
Pada dasarnya golongan Asy‟ary dan Mu‟tazilah mengakui pentingnya

23
Nuhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’an Pendekatan gaya dan tema, Cet. I; Tebuireng: Penerbit
Marja‟, t. 2002, h.15
24
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor, 1991), h. 67-68.
25
Harun Nasution, Op.Cit. h. 70-71
26
Syaikh Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah al-Imama Abu Hasan Ali bin Isma‟il al-Asyari, Op. Cit., h. 345-346.

8
akal dan wahyu. Dalam pandangan al-Asya‟ariyah semua kewajiban agama
manusia hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu. Akal menurut al-
Asya‟ariyah tidak mampu menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah
wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu
hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang mewajibkan mengenal
Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu pulalah untuk dapat
mengetahui ganjaran kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta
ganjaran keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan.27
4. Kalam Tuhan
Pemikiran kalam al-Asy‟ari tentang kalam Tuhan ini dibedakan
menjadi dua, yakni adanya kalam Nafsi dan kalam Lafzi. Kalam Nafsi adalah
kalam dalam artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat qadim dan
azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat.
Maka al-Qur‟an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk.
Sedangkan kalam Lafsi adalah kalam dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia
dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-
Qur‟an yang dapat dibaca sehari-hari.28
5. Ru‟yah kepada Tuhan
Pemikiran kalam al-Asy‟ari tentang ru‟yah kepada Tuhan (melihat
Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman
dalam Q.S. Al- Qiyamah : 22-2
ٌ ‫اض َر ٌۙة‬
ِ َّ‫ُو ُج ْوهٌ ي َّْو َم ِٕى ٍذ ن‬
“Wajah (orang-orang muslim) pada hari itu berseri-seri kepada
Tuhannya mereka melihat”.
Logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-
Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena
sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bisa diakui
adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.29
Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama.

27
Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Manusia), h. 85-86.
28
Dr. K.H. Noer Iskandar al-Barsany, M.A., Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussnnah
Waljamaah, Ed.I, CetI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, h. 22
29
Dr. K.H. Noer Iskandar al-Barsany, M.A., Op.Cit., 22-23.

9
Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman di dalam surga, dan bukan oleh
orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya.30
6. Keadilan
Asyi‟ary tidak sependapat dengan Mu‟tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena Ia adalah penguasa mutlak.
Keadilan dalam pandangan al-Asy‟ariyah sebagaimana dikutip al-
Syahrastani, adalah menempatkan ssuatu pada tempat yang sebenarnya. Oleh
karena alam dan segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia
dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam pandangan
manusia tidak adil. Dengan demikian, jika Allah menambah beban yang telah
ada pada manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-Asya‟ariyah,
Allah tetap adil. Bahkan Dia tetap adil walaupun memasukkan semua orang ke
dalam surga atau nerakanya, baik yang jahat maupun yang taat dan banyak
amalnya.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa keadilan Allah
menurut pemahaman Asy‟ariyah adalah bersifat absolut, Dia memberi
hukuman menurut kehendak mutlak-Nya, tidak terikat pada sesuatu kekuasan,
kecuali kekuasaan-Nya sendiri.
7. Pelaku Dosa Besar
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asyi‟ari terlihat jelas
penolakannya terhadap pemikiran kalam Mu‟tazilah yang menyatakan bahwa
pelaku dosa besar, sekalipun tetap beriman dan taat, tidak akan keluar dari
neraka selama ia belum bertaubat dari dosa besarnya itu. Demikian pula
Murji‟ah mengatakan bahwa orang yang ikhlas dan beriman kepada Allah,
sebesar apapun dosanya, tidak akan membahayakannya.
Tentang pelaku dosa besar, al-Asy‟ari berpendapat bahwa; orang
mukmin melakukan dosa besar selama di hatinya masih ada iman akan
mendapat pengampunan dari Allah.

30
8 Imam Abu Hasan „Ali bin Isma‟il al-Asy‟ari, Op. Cit., h. 47-48.

10
2.5 Tokoh-Tokoh Penting dalam Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy’ari
Salah satu unsur utama kemajuan aliran Asy‟ariyah ialah karena banyak di
antara pengikut-pengikutnya yang terkemuka dan mengonstruksikan ajaran-ajarannya
atas dasar filsafat metafisika , antara lain al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Gazali.
1) Al-Baqillani. (wafat 403 H/1013 M).
Namanya Abu Bakar Muhamman bin Tayyib, ia adalah orang yang
takwa, rajin beribadah, jenius, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan
agama di Duga kota Basharah tempat kelahiran gurunya Asy‟ari. Kitabnya
yang terkenal ialah al- Tahmid.
Al-Baqillani teolog Islam pertama membahas pengantar Ilmu
pengetahuan, syarat-syaratnya, dan sarana-sarana penalaran secara khusus
dalam berbagai karyanya. Al-Baqillani diakui sebagai peletak dasar paradigm
aliran Asy‟ariyah karena dia tidak hanya sekedar menyampaikan pesan-pesan
warisan intelektual kaum Asy‟ariyah dari generasi klasik, tetapi dia juga
dikenal sebagai tokoh yang sanggup memberikan penjelasan-penjelasan lebih
sempurna dan lebih tegas beragam persoalan serta batasan-batasan definisi
berbagai istilah yang digunakan di kalangan Asy‟ariyah pada tingkat yang
lebih seimbang dalam beberapa hal31
2) Abd al-Malik al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M)
Namanya Abd al-Malik al-Juwaini bin Abdullah, dilahirkan di
NisAbur kemudian pergi ke kota Muaskar dan akhirnya sampai dikota
Bagdad. Ia mengikutu jejak al-Baqillani dan Asy‟ariyah dalam menjunjung
setinggi-tinginya kekuatan akal pikiran, suatu hal menyebabkan kemarahan
ahli-ahli hadis. Dan akhirnya dia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad
menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk
memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar Imamal-
Haramain.
Pada masa al-Juwaini, metodologi pemikiran Asy‟ariyah dikemas
dengan kemasan logika lebih dari sebelumnya. Pada masa ini, terjadi
hubungan mesra antara ilmu logika dan ilmu kalam, setelah sebelumnya
terjadi perseteruan di antara keduanya. Ini juga yang menjadi salah satu faktor
metodologi Asy‟ariyah hasil konstruksi al-Juwaini dinilai oleh beberapa pakar,

31
Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 82-83.

11
termasuk Ibn Taimiyah sebagai metodologi yang lebih dekat pada
Mu‟tazilah.32
Al-Juwaini mempunyai beberapa kitab di lapangan ilmu Tauhid, antara
lain:
a. Qowa‟idu. Menguraikan tentang prinsip-prinsip aqidah menurut paham
ahli sunnah wal jama‟ah.
b. Al-Burhan Fi Ushuli Fiqh. Menerangkan pendapat tentang masalah
iman dan ilmu.
c. Nihayatul Mathlub Fi Dirayatil Mazhab. Kitab ini merupakan
pandangan Fiqihnya berdasarkan Mazhab yafi‟i.
3) Al-Gazali (450-505 H)
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Gazali.
Di lahirkan di kota Tus, kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain al-
Juwaini. Jabatan yang pernah dipegang ialah mengajar di Sekolah Nizamiyyah
Bagdad.33 Al-Gazali dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal (pemintal
kain). Hujjah al-Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya, sebab
selain refrentasi kaum Sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap
argumentasi yang mendasari pemikirannya. Al-Gazali menganut dan
membentengi Mazhab al-Asy‟ariyah.
Era al-Gazali merupakan periode sejrarah yang spesifik dlaam
perkembangan Asy‟ariyah. Betapa tidak, era ini menandai awal terjadinya
pertemuan tiga mainstream (pola) metodologi kalam, metodologi filsafat dan
metodologi sufistik dalam diri al- Gazali. Ketiga pola tersebut dapat dilihat
dalam beberapa karya besarnya, antra lain; al-Iqtisad fi al-I‟tiqad Madasid al-
Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Ihya „Ulum al-Din dan lainnya.
Kedudukan al-Gazali dalam aliran Asy‟ariyah sangat penting, karena ia
telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-
pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi ulama-ulama Islam, yang
karenanya ia mendapat gelar “hujjatul Islam” (tokoh Islam).
Al-Gazali merupakan tokoh Asy‟ariyah tulen, ia meyakini aliran
Asy‟ariyah sebgai mazhabnya dan melakukan pengembangan yang sesuai
dengan kecenderungannya. Ia memberi peran akal lebih dari pendahuluan atau

32
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 59-61.
33
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet. X; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993)., h. 66

12
gurunya al Juwaini sesai dengan keperluan zaman.34

34
Hamzah Harun, Trend moderasi Asy’ariyah di Bidang ketuhanan, h. 66.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa aliran Kalam.
Ahlu sunnah waljama‟ah adalah sebuah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Hasan
al-Asy‟ari, teologi ini sering disapa dengan sebutan “Teologi moderat”. Rumusan
teologi al-Asy‟ari selain menggunakan argument tekstual berupa teks-teks suci dari
al-Qur‟an dan al-Sunnah seperti yang dilakukan oleh ahli hadits. Istilah
“Ahlussunnah wal Jama‟ah” tidak dikenal pada zaman Nabi SAW, pemerintahan al-
Khulafa‟ ar-Rasyidi>n, dan pada zaman pemerintahan Bani Ummayah (41-133 H/
611-750 M). Istilah ini pertama kali dipakai pada masa Khalifah Abu Ja‟far al-
Mansur (137-159 H/ 754-775 M) dan Khalifah Harun ar-Rasyid (170-194 H/ 785-809
M), keduanya berasal dari Dinasti Abbasiyah (750 M-1258 M). Istilah Ahlussunnah
wal Jama‟ah semakin tampak pada zaman pemerintahan Khalifah al-Makmun (198-
218 H/ 813-833 M).35
Asy‟ariyah adalah aliran yang berasal dari nama seorang yang berperan
penting, yakni pendirinya aliran Asy‟ariyah yaitu Hasan Ali bin Ismail al Asy‟ari
keturunan dari Musa al-Asy‟ari. Al-Asy‟ari mempelajari ilmu Kalam dari seorang
tokoh Muktazilah yaitu Abu „Ali al-Jubbâi.
Doktrin-Doktrin dalam Pemikiran Kalam Aliran Al-Asy‟ari yaitu antara lain :
zat dan sifat tuhan, kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia, akal dan wahyu, kalam
tuhan, ru‟yah kepada tuhan, keadilan, dan pelaku dosa besar.
Unsur utama kemajuan aliran Asy‟ariyah ialah karena banyak di antara
pengikut-pengikutnya yang terkemuka dan mengonstruksikan ajaran-ajarannya atas
dasar filsafat metafisika , antara lain al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Gazali.

3.2 Saran
Setelah memahami isi makalah tentang pemikiran kalam aliran al-asy‟ariyah
diharapkan kita sebagai mahasiswa Islam dapat menerapkan dan membagikan ilmu
tentang pemikiran kalam aliran al-asy‟ariyah mengingat masih banyak di luar sana
35
Nawawi, Ilmu Kalam…, hlm. 80

14
masyarakat awam yang belum mengerti tentang pemikiran kalam tersebut. Dan
setelah menyusun makalah ini diharapkan kita dapat menambah wawasan bagi
pembaca. Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan saran yang membangun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Mulu, Beti. (2008). AL-ASY‟ARIYAH (Sejarah Timbul, Abu Hasan al-Asy‟ari dan Pokok-
Pokok Ajarannya). Jurnal IAIN Kediri. 2-10.

https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-adl/article/download/816/743

Supriadin. (2014). AL-ASY‟ARIYAH (Sejarah, Abu al-Hasan al-Asy‟ari dan Doktrin-


doktrin Teologinya). Sulesana. Volume 9 Nomor 2 Tahun 2014.

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/download/1301/1269

T. Maghfiroh. (2017). AHLUSSUNNAH WAL JAMA‟AH. Jurnal IAIN Tulungagung.

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/4502/3/BAB%20III.pdf

Prof. Dr.Yusran Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al_azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Cet.II: Jakarta: Penamadani,2003), h.7

A.Hanafi, M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam), Op.Cit. 67-68

Drs. Bashori, Ilmu Tuhid : Ilmu Kalam, Malang, 2001, hlm. 92.

https://www.kompasiana.com/ridwan59537/5baba0dd12ae942a91575625/asy-
ariyyah-yang-dikenal-ahl-al-sunnah-wa-al-jama-ah

16
BUKTI KEHADIRAN KE PERPUSTKAAN

17

Anda mungkin juga menyukai