Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ASWAJA IV

QANUN ASASI NAHDLATUL ULAMA

Dosen pengampu
DR. Hj. Aminah, HJS, M. Pd

Disusun Oleh:
Primasari Asa Pratiwi (200204013)
Yesi Anita (200204014)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN KEPENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
KALIMANTAN TIMUR
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qanun
Asasi Nahdlatul Ulama yang dalam bentuk maupun isinya sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca. Harapan penyusun, semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penyusun
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.

Makalah ini penyusun akui masih banyak kekurangan karena pengalaman


yang penyusun miliki sangat kurang. Oleh karena itu penyusun harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini serta penulisan selanjutnya, terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Qanun Asasi NU ............................................................................................ 3
A. Pengertian Qanun Asasi............................................................................ 3
B. Pengertian NU .......................................................................................... 3
C. Pengertian Qanun Asasi NU ..................................................................... 4
2.2 Esensi Qanun Asasi NU ................................................................................. 4
A. Paham Aswaja NU ................................................................................... 5
B. Fikrah Aswaja An-Nahdliyah ................................................................... 5
C. Implementasi Qanun Asasi Bagi Warga Nahdliyin ................................... 6
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................. 7
3.1 Arti Dan Prinsip Pendirian NU .................................................................... 7
A. Arti Nahdlatul Ulama ............................................................................. 7
B. Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama ........................................................ 7
3.2 Pedoman, Aqidah, Dan Asas NU .................................................................. 9
A. Pedoman Nahdlatul Ulama ....................................................................... 9
B. Aqidah Nahdlatul Ulama ........................................................................ 10
C. Asas-Asas Nahdlatul Ulama .................................................................. 12
3.3 Tujuan Dan Usaha Berdirinya NU ............................................................... 13
A. Tujuan Berdirinya NU ........................................................................... 13
B. Usaha-Usaha (Ikhtiar) NU ..................................................................... 14
3.4 Nilai-Nilai Ajaran NU Dalam Perspektif Qanun Asasi ................................ 16
A. Iman Dan Taqwa Sebagai Asas Persatuan ............................................. 16
B. Teologi Kaum Nahdliyin ........................................................................ 19
C. NU dan Kehidupan Bernegara ................................................................ 20

ii
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 22
4.2 Saran............................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi Islam di
Indonesia yang menganut firqoh Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
mengedepankan prinsip Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleransi), Tawazun
(keseimbangan), Ta’addul (keadilan) & Tatharruf (non-ekstrimitas/tidak
beraliran Islam garis keras) dalam usaha menjaga & memelihara kerukunan
umat Islam. Sehingga NU sama sekali bukan organisasi yang merasa paling
benar dalam menentukan hukum Islam. Namun NU akan selalu menunjukkan
fakta dan bukti objektif tentang dalil mana yang paling kuat sebagai sandaran
hukum Islam.
Definisi resmi tentang Nahdlatul Ulama atau ke-NU-an adalah, seperti
tertuang dalam Qanun Asasi, bahwa NU adalah organisasi yang beraqidah
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menempuh manhaj dalam bidang
fiqih salah satu madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i atau
Imam Hambali. Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi manhaj
dalam bidang teologi. Imam Al-Ghazali dan Junaidi Al-Baghdadi manhaj
dalam bidang tasawwuf dan Al-Mawardi manhaj dalam bidang siyasah. 1
Qanun Asasi dirumuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk menegakkan
prinsip-prinsip ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan prinsip dasar organisasi.
Perumusan tersebut dilakukan sebagai dasar utama untuk pengambilan sumber
hukum sebuah organisasi yang diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda
saat itu.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun
Al Asasi Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul
Ulama (NU), antara lain: Persatuan Kebangsaan, Persatuan Keagamaan,
Kebutuhan akan Madzhab, Pelurusan Fenomena Keagamaan, dan Refleksi

1
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 25.

1
Sejarah serta dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik.2
Nahdlatul Ulama (NU) pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural
keagamaan yang dianut mayoritas umat Islam di Nusantara. NU hadir antara
lain sebagai reaksi atas gerakan puritanisme (pemurnian Islam) dari bid’ah,
tahayyul, dan khurafat. Dimana gerakan puritanisme ini adalah gerakan yang
gemar menuding pihak lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.3
Bagi kaum Nahdliyin, perbedaan tafsir, madzhab, atau aliran dalam tiap-
tiap agama adalah cermin dari keluasan makna yang terkandung dalam ajaran
kitab-kitab suci. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari agama Islam harus
diyakini akan mampu menolong dan menyelamatkan umat, serta berbuat demi
kemaslahatan umat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, fokus permasalahan yang
akan menjadi pembahasan dalam penulisan makalah ini, antara lain:
1. Bagaimanakah konsep dasar Qanun Asasi?
2. Apa saja isi pokok dalam Qanun Asasi?
3. Bagaimanakah implementasi isi pokok Qanun Asasi untuk
kemaslahatan?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan
makalah ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui tentang konsep dasar Qanun Asasi;
2. Untuk mengetahui isi pokok dalam Qanun Asasi;
3. Untuk mengetahui implementasi isi pokok Qanun Asasi untuk
kemaslahatan.

2
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim
University Press, 2014, hlm. 245.
3
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.115.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (NU)


A. Pengertian Qanun Asasi
Qanun Asasi adalah konstitusi dasar, aturan dasar, dan prinsip dasar
yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, di dalam
Qanun tersebut dijelaskan bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan
sebuah paham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut
pendapat dari salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut
Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. 4
KH. Hasyim Asy’ari, merumuskan patokan cara beragama dan
bertradisi Islam di Nusantara pada empat dan dua mazhab (dalam tasawuf),
maka hal itu sebagai satu titik masuk “mencari satu tahapan puncak
kemajuan yang dilalui tradisi kita”, sebagaimana yang dikenal dalam
kedelapan mazhab itu.5

B. Pengertian Nahdlatul Ulama (NU)


Secara etimologi, Nahdlatul Ulama terdiri dari dua kata bahasa Arab,
nahdlah artinya “bangkit”, “bangun”, “loncatan”, dan al-ulama’ artinya
“kelompok agamawan”. Sedangkan secara epistemologi, Nahdlatul Ulama
adalah komunitas cendekiawan (ulama) yang mampu menerima,
melestarikan, dan meneruskan tradisi dan budaya generasi sebelumnya serta
mampu melakukan eksplorasi, inovasi dan kreasi yang lebih baik dan
bermanfaat.6

4
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 45.
5
Agus Sunyoto, dkk. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, Jakarta: Dirjen
Kemendikbud RI, 2017, hlm. 19.
6
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.120.

3
Dengan demikian NU secara spesifik mempunyai kesadaran historis
dan kemampuan mereformasi kondisi yang secara kultural maupun
pemikiran yang relevan, artinya sesuai dengan kebutuhan umat di masa
lampau, masa kini, dan di masa yang akan datang. Hal ini diharapkan
menjadi pedoman bagi kaum Nahdliyin dalam berpikir dan bertindak untuk
kemaslahatan umat.

C. Pengertian Qanun Asasi Bagi Nahdlatul Ulama (NU)


Qonun asasi berarti aturan dasar. Bagi Nahdlatul Ulama (NU),
qanun asasi adalah pokok pikiran, pendirian dan pedoman dasar bagi
perjalanan Organisasi NU. Qanun asasi sendiri merupakan Pidato Rois
Akbar NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Naskah Khittah
Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU pertama di Surabaya. Qanun Asasi
merupakan bagian tak terpisahkan dari Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama.7
K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan prinsip dasar organisasi NU.
Rumusan beliau tuangkan dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi
Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul
Ulama (NU), kemudian juga merumuskan Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian direalisasikan dalam Khittah NU,
yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. 8

2.2 Esensi Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (NU)


Sebagai organisasi sosial keagamaaan, AD/ART NU tentulah
mengarah kepada harakah ishlahiyyah (gerakan perbaikan), karena NU
sendiri merupakan jam’iyyah ishlahiyyah/organisasi perbaikan. Gerakan
perbaikan tersebut meliputi langkah penguatan umat secara moderat,
dinamis, dan manhajiy/metodologis. Dan langkah himayatul ummah

7
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. xii.
8
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000,
hlm. 30. 9 Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. vii. 10 Ibid., hlm. 31.

4
(melindungi dan menjaga umat) secara layyin (halus), tathawwu’ (sukarela)
dan tawaddud-tarahum (cinta kasih).9

A. Paham Keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah NU


K.H. Hasyim Asy’ari menegaskan prinsip dasar organisasi NU.
Rumusan beliau tuangkan dalam Kitab Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi
Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama’ yang menjadi prinsip dasar Nahdlatul
Ulama (NU), kemudian juga merumuskan Kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian direalisasikan dalam Khittah NU,
yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. 10
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah NU yang termuat dalam qanun
asasi meliputi aspek aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan satu
kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam
yang didasarkan pada manhaj (pola pikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah
dalam bidang aqidah, empat madzhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan dalam bidang tasawwuf menganut
manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi. 9

B. Fikrah / Pola Pikir Aswaja An-Nahdliyah


Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah,
sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Quran, Sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.10
Penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal
Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial dan bertujuan merumuskan kembali hubungan NU
dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali
pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

9
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim
University Press, 2014, hlm. 240.
10
Ibid., hlm. 245.

5
C. Implementasi Qanun Asasi Terhadap NU / Nahdliyin
Implementasi Qanun Asasi terhadap NU/Nahdliyin adalah
menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa
kini dan masa yang akan datang. Yakni pemikiran dan gerakan konkret ke
dalam semua sektor dan bidang kehidupan baik dalam bidang akidah,
syariah, akhlak, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain
sebagainya. 11

Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia
11

Muda, 2008), hlm. 9.

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Arti Dan Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama


A. Arti Nahdlatul Ulama
Definisi resmi tentang Nahdlatul Ulama atau ke-NU-an adalah, seperti
tertuang dalam Qanun Asasi, bahwa NU adalah organisasi yang beraqidah
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menempuh manhaj dalam bidang
fiqih salah satu madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i
atau Imam Hambali. Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi
manhaj dalam bidang teologi. Imam Al-Ghazali dan Junaidi Al-Baghdadi
manhaj dalam bidang tasawwuf dan Al-Mawardi manhaj dalam bidang
siyasah. 12
Hal tersebut menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan
mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT,
cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tentram, adil dan sejahtera. NU
mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang
didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan, yang membentuk kepribadian
khas Nahdlatul Ulama.

B. Prinsip Pendirian Nahdlatul Ulama


Dalam rumusan Khittah Nadhalatul Ulama ditegaskan bahwa
Nahdlatul Ulama adalah jamiyah (organisasi) keagamaan yang berpaham
Ahlussunah wal Jama’ah, berhaluan salah satu dari madzhab empat yang
terobsesi meningkatkan kualitas manusia bertakwa. 15
Nahdlatul Ulama berarti Jam’iyah Diniyah yang bermotif
keagamaan dan berlandaskan keagamaan sehingga segala sikap, perilaku,
dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan
norma dan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

12
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014,
hlm. 25. 15 Rumusan Khittah NU bagian Muqadimah, doc. Lakpesdam NU.

7
Bagi NU, ranah perjuangan tidak hanya berupa perjuangan simbolis,
tetapi adalah perjuangan nilai-nilai moralitas yang akan memperkokoh
tatanan sebuah negara. Maka, yang harus diperjuangkan adalah nilai-nilai
yang merupakan tegaknya tatanan sebuah negara, seperti:
- Pertama, mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah (al-syura’);
- Kedua, ditegakkannya keadilan (al-‘adl);
- Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-hurriyah) dalam menjalankan
rukun Islam yang lima (al-ushul al-khamsah);
- Keempat, adanya kesetaraan derajat (al-musawah), di mana semua
warga negara memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan
hak dan menjalankan kewajiban.13

Jika prinsip-prinsip tersebut ditegakkan dengan baik, negara akan


mampu menjalankan amanat dan mandatnya untuk melayani rakyat.
Harus diakui bahwa para pendiri NU telah berhasil melestarikan
karakter keindonesiaan dalam keislaman, dan sebaliknya karakter keislaman
dalam keindonesiaan. Bagi NU, kedua entitas tersebut bukanlah sesuatu
yang harus dipertentangkan, tetapi justru bisa disinergikan untuk
kemaslahatan bangsa. NU sejak pra-kemerdekaan sudah meletakkan fondasi
kebangsaan yang sangat penting, sebagaimana dikenal dalam diktum hubbul
wathan minal iman (cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman). Hadits ini
merupakan landasan paradigmatis yang mempunyai kesesuaian antara
paradigma keagamaan dan paradigma kebangsaan. 14
Sebagai sebuah gerakan kultural, NU telah terbukti memberikan
sumbangsih yang sangat berharga bagi bangsa ini, yaitu dalam melahirkan
konstitusi yang egaliter, plural, dan inklusif. Ini tak lain karena sejalan
dengan qanun asasi (pijakan dasar NU), yakni sebagai organisasi yang
toleran, moderat, dan terbuka.
Cara pandang seperti itu semakin memperkukuh posisi NU sebagai
organisasi sosial-keagamaan yang mempunyai kultur intelektualisme yang

13
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 27.
14
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.

8
bersifat dinamis dan kontekstual. Cara pandang ini telah memungkinkan
NU berperan lebih besar dalam isu-isu yang bersifat mondial, seperti
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Sebagai kelompok moderat, NU
tidak merasakan dirinya kehilangan pijakan khazanah keislaman klasik.
Sedangkan di pihak lain, NU mampu beradaptasi dengan realitas
pemikiran kontemporer yang bersifat lintas agama dan lintas batas
nasionalitas. 15
Lebih jauh lagi, dalam hal ini, moderasi NU bukanlah moderasi pasif
yang hanya berhenti pada tataran ide. Moderasi NU pada hakikatnya adalah
sebuah jalan alternatif untuk tujuan penguatan dan pemberdayaan
masyarakat sipil. Komitmen NU pada demokrasi dan kewarganegaraan
membuktikan bahwa moderasi tidak hanya dalam rangka melawan
puritanisme, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menjadikan
umat ini lebih sejahtera, mandiri dan terdidik. Tidak pada tempatnya segala
tanggung jawab diserahkan kepada negara. Masyarakat yang
mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok moderat harus melakukan
sesuatu untuk kemajuan dan kebangkitan bangsa. 16

3.2 Pedoman, Aqidah, dan Asas NU


A. Pedoman NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 4 dinyatakan bahwa:
Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan
Al-Qiyas. 17
Hukum agama dalam Islam bersumber pada kedua sumber tekstual
Al-Qur’an dan Sunnah (tradisi) Nabi, konsensus (ijma’) dan analogi (qiyas).
Dapat juga sumber itu diringkas menjadi kedua sumber tekstual di atas,
karena pada hakikatnya semua upaya mencapai konsensus dan melakukan
analogi hanyalah berfungsi subordinatif kepada kedua sumber tekstual
tersebut. Sumber-sumber hukum tersebut berfungsi dengan cara sangat
sederhana di bidang hukum: melakukan kategorisasi atas semua perbuatan
atau tindakan manusia. Kategorisasi dilakukan dengan jalan menempatkan
perbuatan atau tindakan itu ke dalam salah satu dan lima kategori berikut:

15
Ibid., hlm. 28.
16
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 50.
17
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. 38.

9
wajib atau fardhu, diseyogyakan (sunnah), diperkenankan (mubah), tidak
diseyogyakan (makruh) dan terlarang (haram).
Selain itu, Adapun alasan kenapa NU dalam bidang hukum islam
lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab : 18
- Pertama, Al-Quran sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama
yang bersifat universal, sehingga hanya Nabi Muhammad SAW yang tahu
secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam Al-Quran.
Nabi saw sendiri menunjukan dan menjelaskan makna dan maksud dari al
Quran tersebut melalui sunnah-sunnah beliau, yatu berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir.
- Kedua, Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang berupa perkataan ,
perbuatan dan taqrir yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup
bersama (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa,
menyelidiki, dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-keterangan
para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan
untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk
mendapatkan kepastian dan kemantaban, maka jalan yang ditempuh
adalah merujuk pada ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam
mazhab yang empat, artinya bahwa dalam mengambil dan mengunakan
produk fiqih (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan
bagi Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu
produk fiqih dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum
fiqh yang bisa disebut “Bahsul Masail Ad-Diniyah (pembahasan masalah-
masalah keagamaan)”. Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan
akan digodok dan diutuskan hukumnya yang selanjutnya keputusan
tersebut akan menjadi pegangan bagi Nahdlatul Ulama.

B. Aqidah NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 5 dinyatakan bahwa:
Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah

18
Loc. Cit., Mutawir Abdul, 2007, hlm. 55.

10
dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari
madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); dan dalam bidang
tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-
Ghazali. 19
Pemilihan madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah didasari
pertimbangan bahwa madzhab ini merupakan madzhab mayoritas di dunia
Islam yang menjadi pegangan ulama-ulama salaf shaleh, sehingga kualitas
kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, bertaqlid pada salah
satu madzhab tertentu menjamin pada hakikat kebenaran, lebih dekat pada
ketelitian, dan lebih mudah mendapatkan ajaran islam. Inilah yang telah
dianut oleh para ulama salaf shaleh dikalangan umat Islam.
Adapun masyarakat Islam dianjurkan bertaqwa kepada Allah SWT
dengan sungguh-sungguh, mempertahankan agama Islam hingga akhir
hayat, menjalin persaudaraan, menyambung silaturahmi, berbuat baik
kepada tetangga, kerabat, dan saudara, menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, tolong menolong dalam kebaikan, dan
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dilakukan
para ulama seperti: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan pertimbangan kualitas kebenaran yang dipegangi oleh
mayoritas ulama dan umat Islam inilah maka KH Hasyim Asy’ari mengajak
umat Islam agar mengikuti madzhab mayoritas dunia Islam, serta
merumuskannya dalam Qanun Asasi.
Karena kebenaran madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak
diragukan lagi, maka umat Islam berkewajiban untuk mempertahankan
madzhab ini sebagai pegangan dalam kehidupan beragama. Disamping itu,
secara sosiologis masyarakat Indonesia (Jawa) dalam kesehariannya telah
berpegang pada Ahlussunnah Wal Jama’ah.

19
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. 38.

11
C. Asas NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 6 dinyatakan bahwa:
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama
berasas kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.20
Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila melalui Muktamar
NU ke-27 di Situbondo 1984. Komitmen NU pada finalitas Pancasila dan
UUD 1945 ini merupakan refleksi dari moderasi NU yang memandang
kebhinnekaan sebagai sebuah sunnatullah, yang harus dirayakan, dihargai,
dan digunakan sebagai potensi untuk membangun kekuatan demokrasi yang
melayani dan memberdayakan umat.21
Bagi kalangan yang biasa dikenal dengan sebutan “muslim
tradisionalis” ini, memilih Pancasila merupakan sebuah keniscayaan
teologis dan sosiologis. Secara teologis, tidak ada keharusan untuk memilih
ideologi negara Islam. Sedangkan secara sosiologis, bangsa ini dihadapkan
pada fakta keragaman agama, suku, bahasa, dan ras. Karena itu, Pancasila
sebagai ideologi negara merupakan pilihan terbaik untuk semua kalangan.
Dalam hal ini harus diakui bahwa para pendiri NU telah berhasil
melestarikan karakter keindonesiaan dalam keislaman, dan sebaliknya
karakter keislaman dalam keindonesiaan.
K.H. Sholahuddin Wahid, atau yang diakrab disapa dengan
panggilan Gus Sholah, dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas
Nahdlatul Ulama dan Pancasila, mengisahkan penalaran yang diusulkan
Kyai Achmad Siddiq perihal perlunya menerima Pancasila sebagai dasar
negara. Sebab, jika Islam dijadikan dasar negara, dapat diartikan Islam
sejajar dengan paham-paham lainnya. Padahal, Islam diyakini sebagai
agama yang kedudukannya sangat mulia, bahkan mengatasi paham-paham
lainnya.
Kyai Achmad Siddiq menegaskan, “Pancasila adalah bentuk final
dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia”. Lebih kurang
38 tahun umat Islam menerima Pancasila tanpa ada pihak yang

20
Ibid., hlm. 38.
21
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.

12
mempersoalkan kehalalan dan keharamannya. Jadi, sebenarnya Islam dapat
memperkokoh Pancasila dan mendorong agar sila-sila yang terdapat di
dalamnya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Mendengar
alasanalasan tersebut, sejumlah kyai semakin mantap dengan Pancasila, dan
hingga sekarang ini di dalam internal NU tidak ada lagi pihak yang
mempersoalkan Pancasila.22

3.3 Tujuan dan Usaha Berdirinya NU


A. Tujuan Berdirinya NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab IV Pasal 8 dinyatakan bahwa : 23
1) Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan / jam’iyyah diniyyah
islamiyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan
ketinggian harkat dan martabat manusia;
2) Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham
Ahlusunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat
yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi
terciptanya rahmat bagi semesta;

Kemaslahatan itu hanya muncul kalau orang bersatu, guyub,


mengedepankan titiktemu, dan suka berkumpul termasuk makan-makan.
Ingat tradisi kompolan di Madura, kendurenan dan cangkrukan di Jawa.
Hakikat “kumpulan” ini kemudian dilembagakan oleh para Wali ke dalam
bahasa “hukum adat” sebagai salah satu pilar dari empat pilar hukum Islam
Nusantara: hukum akal, hukum syara’, hukum adat, dan hukum fa’al
(yurisprudensi). Kalau hukum syara misalnya mengajarkan ajaran-ajaran
normatif agama, maka hukum adat mengajarkan bagaimana hukum agama
itu dilaksanakan dalam suasana guyub dan gotong-royong. Muncullah
ijtihad halal bihalal, misalnya, seperti dikenal kini. Di sini ajaran tekstual

22
Ibid., hlm. 22.
23
Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. 39.

13
agama, Quran dan Hadis, tidak dipertentangkan dengan adat, tapi dicari
titik-temu dan penguatannya masing-masing.24
Kembalinya NU kepada Khittahnya 1926, menegaskan kembali
tujuan awal didirikannya mengurusi persoalan agama, pendidikan, sosial
kemasyarakatan saja, artinya NU meninggalkan politik praktis dengan
pertimbangan bahwa selama ini NU terlampau mengedepankan politik yang
kenyataanya bukan semata-mata kepentingan organisasi melainkan untuk
kepentingan pribadi-pribadi daripada urusan sosial keagamaan. 25

B. Usaha-Usaha NU (Ikhtiar NU)


Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab IV Pasal 9 dinyatakan bahwa:
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana Pasal 8 di atas, maka Nahdlatul
Ulama melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut :29
1) Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah;
2) Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan
terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk
membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa
dan negara;
3) Di bidang sosial, mengupayakan dan mendorong pemberdayaan di
bidang kesehatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan
pendampingan masyarakat yang terpinggirkan (mustadl’afin);
4) Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan pendapatan
masyarakat dan lapangan kerja/usaha untuk kemakmuran yang
merata;

24
Ibid., hlm. 20.
25
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992,
hlm. 2. 29 PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-
NU Jatim, 2015, hlm. 48.

14
5) Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan pihak
dalam maupun luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat banyak
guna terwujudnya Khairu Ummah.

Hal-hal yang tertuang dalam Anggaran Dasar NU diatas masih


relevan dengan Qanun Asasi pertama yang dirumuskan oleh KH. Hasyim
Asy’ari. Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama
kegiatan sebagai ikhtiyar untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya,
baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Ikhtiyar-
ikhtiyar tersebut adalah: 26
1) Peningkatan silaturahim, komunikasi, relasi-relasi antar ulama
(Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: mengadakan
perhoeboengan diantara oelama-oelama jang bermadzhab);
2) Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan.
(Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: Memeriksa
kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepadja
diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab assoennah wal djama’ah
ataoe kitab-kitab ahli bid’ah; memperbanjak madrasahmadrasah
jang berdasar agama Islam);
3) Peningkatan penyiaran Islam, membangun sarana-sarana peribadatan
dan pelayanan sosial. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926
disebutkan: Menjiarkan agama Islam dengan djalan apa sadja jang
halal; memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-
masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondokpondok, begitoe djoega dengan
hal ikhwalnya anakanak jatim dan orang fakir miskin);
4) Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan
yang terarah. (Dalam Statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan:
Mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian,
perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh sjara’ agama
Islam).

26
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 46-48.

15
Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal
berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap
pentingnya terus-menerus membangun hubungan dan komunikasi antar para
ulama sebagai pemimpin masyarakat; serta adanya keprihatinan atas nasib
manusia yang terjerat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.
Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai bidang garapan
yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata. Pilihan akan
ikhtiyar yang dilakukan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke
masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan
pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya
masyarakat sendiri. 27
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan
kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah
Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak
bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, bodoh dan
miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan sikap
partisipatif kepada setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat
kepada kehidupan yang maslahat. Sehingga setiap kegiatan Nahdlatul
Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal
ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianutnya.

3.4 Nilai-Nilai Ajaran NU Dalam Perspektif Qanun Asasi


A. Iman dan Taqwa (Tauhid) Sebagai Asas Persatuan
Persatuan umat Islam merupakan konsekuensi logis adanya konsep
persaudaraan yang dibangun berdasar atas keyakinan/iman (ukhuwah
Islamiyah). Atas dasar ini, Rasulullah SAW. melakukan integrasi antara kaum
Ansor (penduduk pribumi Madinah) dengan kaum imigran (Muhajirin)
melalui konsep ukhuwah yang dibangun atas iman. Persaudaran berasas Iman
ini mengikat kelompok-kelompok berbeda di Yatsrib hingga mereka menjadi

27
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 49.

16
satu kesatuan tak terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas pada
garis darah. Di kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu
membawa masyarakat Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui
masyarakat lain di saat itu.28
Dalam konteks berbeda, identitas berdasar agama (Islam) diyakini
memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas
keindonesiaan. Berawal dari identitas keislaman, masyarakat kepulauan
nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa
berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita
sebut sebagai Indonesia.
Gagasan tentang persatuan umat Islam saat ini menjadi sesuatu yang
sangat penting bahkan mendesak dilakukan dan disebarkan ke masyarakat
muslim mengingat kondisi kekinian umat Islam yang semakin terpecah belah
dan terjebak dalam gesekan dan konflik, baik yang berwarna politik, ekonomi
ataupun perbedaan keyakinan.
Fenomena konflik yang semakin menyebar di berbagai negara Islam
(termasuk Indonesia) patut dijadikan bahan refleksi tentang perlunya
penyebaran ide-ide persaudaran dan persatuan di tengah-tengah masyarakat
Muslim. Upaya ini perlu dilakukan mengingat umat Islam merupakan satu
saudara sehingga sesama Muslim merupakan satu tubuh yang saling terkait-
menguatkan. Acuh terhadap konflik dan gesekan yang terjadi dapat merusak
persaudaraan yang berujung pada perpecahan umat Islam. Alhasil, kondisi itu
akan mengakibatkan tidak tercapainya misi Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan realitas dan kebenaran
dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhîd). Pandangan dunia/hidup
Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.
Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya,
doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh
Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan

28
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 25.

17
progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat
jelas (alma'lûm min al-dîn bi al-dharûrah). Pandangan dunia/hidup Islam
terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu,
pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan
serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk
perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan hidup Islam dibangun
atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya,
peradaban dan agama lain. 29
Orientasi tauhid sebagai kekuatan yang menggerakkan persatuan umat
Islam mengindikasikan bahwa tauhid bukan saja berkaitan dengan beriman
kepada Tuhan yang Maha Esa seperti yang diyakini selama ini, melainkan
juga kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan manusia (unity of
mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) dan kesatuan tujuan
hidup (unity of purpose of life). Seluruh pandangan hidup tersebut merupakan
derivasi dari kesatuan Tuhan (unity of Godhead).34
Imperatif persatuan umat yang dibangun atas dasar kesamaan iman
merupakan implikasi jauh dari tauhid juga menjadi cita-cita KH. Hasyim
Asy'ari. Dengan bahasa yang agak serupa, KH. Hasyim Asy'ari menekankan
persatuan umat yang dibangun atas dasar faktor kesamaan agama. Persatuan
akan mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dan menghindarkan dari
bahaya yang mengancam. Persatuan merupakan prasyarat utama untuk
menciptakan kemakmuran sekaligus mendorong terjalinnya moral welas asih
antar sesama umat. Sebaliknya, perpecahan dan memutuskan hubungan
persaudaraan adalah perbuatan dosa besar dan kejahatan yang keji. KH.
Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa, persatuan telah terbukti mendatangkan
kemakmuran negeri, kesejahteraan rakyat, tersemainya peradaban, dan
kemajuan negeri. 30
KH. Hasyim Asy'ari mencoba menggabungkan antara sentimen
keagamaan dengan geografis agar terwujudnya persatuan umat Islam

29
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007,
hlm. 55. 34 Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam, Jakarta: Kemenag RI, 2012,
hlm. 155.
30
Ibid., hlm. 156.

18
Nusantara. Artikulasi pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tersebut menegaskan
bahwa sejak kedatangan dan perkembangan awalnya di Indonesia, Islam,
mengutip Azyumardi Azra, tidak hanya menjadi faktor penting yang
menyatukan masyarakat Nusantara secara keagamaan, tetapi juga
memberikan basis ikatan solidaritas sosial-politik yang kokoh.31

B. Teologi Kaum Nahdliyin


Dengan berpangkal pada doktrin Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja)
yang dianut dan dikembangkan, maka dalam berbagai gerak dan langkahnya,
NU senantiasa memperlihatkan watak yang fleksibel dalam menerjemahkan
dan menerima realitas. Dalam hal ini, selalu terbuka peluang bagi para
pengikutnya untuk menginterpretasikan realitas, baik yang bersifat given,
dalam arti bahwa teks-teks keagamaan yang dirujuk untuk “melegitimasi”
realitas tersebut sudah ada dan dilakukan oleh para ulama yang dalam tradisi
NU berkedudukan sebagai mujtahid.
Pemahaman Aswaja tidak semata pemahaman secara fiqhiyah, tetapi
kini menjadi kerangka manhaj al-fikr (metode berfikir) dengan harapan
memberikan kesempatan yang luas bagi umatnya untuk melakukan kreasi-
kreasi orisinal dan inovatif sesuai dengan perkembangan zaman yang mereka
hadapi. Menjadikan doktrin agama tetap dilihat sebagai pesan suci, dan
berbekal akal pikiran, dengan melakukan eksperimentasi dalam tindakan
sosial warga Nahdlatul Ulama berteologikan faham Ahlussunnah Wal
Jamaah (Aswaja) dengan pandangan yang sederhana, pengertian Aswaja
dibatasi pada mazhabmazhab tertentu, misalnya dalam masalah akidah
mengikuti aliran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi,
dalam fiqh mengikuti faham Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan dalam
bertasawuf mengikuti Abu al-Qosim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid
al-Ghazali. 32

31
Azyumardi Azra, "Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di
Indonesia dan Malaysia," dalam Kalam, edisi 3/1994, hlm. 46.
32
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 30.

19
Mayoritas kaum Nahdliyyin, baru mengenal Aswaja secara sekilas
dan elementer, lalu kemudian tidaklah heran bila Aswaja dalam kelompok ini
mempunyai ciri-ciri praktis, memakai kata sayyidina (yang kami mulyakan)
dalam menyebut nama Nabi Muhammad Saw. Mengamalkan qunut dalam
shalat shubuh, 20 rakaat dalam shalat tarawih, tahlil, marhabanan dalam
upacara syukuran hari kelahiran, membaca manakib dan cenderung
mengakomodir terhadap tradisi lokal.
Motif yang mendorong KH Hasyim Asy’ari menetapkan Ahlussunnah
Wal Jama’ah sebagai pijakan teologis umat Islam di Indonesia berdasarkan
kelakuan fundamental yang sudah ada serta tumbuh dan berkembang
ditengah-tengah masyarakat, antara lain: tradisional (mengikuti kebiasaan
yang sudah lazim), afektif (bersifat emosional), bernilai (didasari
kepercayaan yang penuh kesadaran terhadap nilai-nilai etis, estetis, religius,
atau nilai mutlak tanpa memandang konsekuensi-konsekuensinya), dan
bertujuan (untuk mencapai maksud yang diinginkan).

C. NU Dan Kehidupan Bernegara


Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa
menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Nahdlatul
Ulama secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan
mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam
penyusunan UUD 1945. Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa
menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama
dan segenap warganya selalu aktif mengambil bagian dalam pembangunan
bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Oleh
karenanya, setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang
senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian
tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha
memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwwah), toleransi (at-tasamuh),
kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama warga negara

20
yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan
dinamis. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul
Ulama berusaha secara sadar untuk menciptakan warga Negara yang
menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga
Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang
dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama
menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung
jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang
demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan
mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi bersama. Sesuai kultur NU dengan sikap akomodatif,
kompromatif dan keluwesan yang artinya menaati pemerintah, dengan begitu,
juga merupakan suatu kewajiban sepanjang pemerintah tidak menganjurkan
kepada kekhufuran.

21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Motivasi yang ada di balik keputusan KH. Hasyim Asy’ari ketika
menetapkan pilihan teologis kepada madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah
didasari oleh keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai religius yang bersifat
normatif. Motivasi tersebut diterapkan untuk membentuk sikap keberagamaan
kaum muslimin di Indonesia yang bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan
karakteristik moderasinya.
Makna moderasi (tassamuh, tawassuth, tawazun, dan I’tidal) adalah
suatu sikap yang cenderung menghindari ekstrimisme dan radikalisme dalam
bertindak. Diantara kriteria yang melekat pada moderasi antara lain:
menghindari tindakan radikal, menghormati pluralitas pendapat, menghargai
perbedaan keyakinan, dan menjunjung tinggi toleransi.
Sikap moderat yang mengutamakan jalan tengah dalam menyikapi
perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab inilah yang diteladankan oleh
ulama-ulama madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu kebijakan KH.
Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam Qanun Asasi wajib dilestarikan secara terus
menerus oleh kaum muslimin Indonesia, khususnya kaum Nahdliyin dengan
bimbingan para ulama dan dukungan organisasi Nahdlatul Ulama sehingga dapat
mewarnai dinamika perkembangan umat Islam di Indonesia, karena Nahdlatul
Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.

4.2 Saran
Hendaknya semua warga NU atau kaum Nahdliyin berkomitmen untuk
mempertahankan eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah di tempat berkhidmat
masing-masing dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang tertuang dalam
Qanun Asasi dalam upaya menjaga keutuhan NKRI dan memperjuangkan
terciptanya kehidupan yang damai dan sejahtera adalah merupakan wujud
manifestasi keberislaman ala orang-orang NU.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. 2014. Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid


Hasyim University Press.

Abbas, S. 2000. I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah.

Abdul, M. 2007. Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren.

Azra, A. 1994. "Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan


Agama di Indonesia dan Malaysia," dalam Kalam, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Husna, A. dkk. 2017. Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung:


Universitas Pendidikan Indonesia Press.

Marijan, K. 1992. Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, Jakarta:


Erlangga.

PBNU. 2015. AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33,


Jombang: LTN-NU Jatim.

Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip
Hilmy Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia.

Siradj, S.A. 2008. Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta:
Pustaka Cendikia Muda.

Sunyoto, A. dkk. 2017. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk
Negeri, Jakarta: Dirjen Kemendikbud RI.

Wijaya, A. 2012. Menusantarakan Islam, Jakarta: Kemenag RI.

Thohir, A.M. 2014. Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah.

23

Anda mungkin juga menyukai