Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah dan

peran yang sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam perumpamaan

sehingga mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid.


Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa yang

menyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih, aman, tenang, khawatir dan

lain sebagainya. Sebagai agama yang rohmatallil alamin, Islam memberikan perhatian

besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Syariat Islam menjaga

sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dan subjek hukum dalam keseluruhan

hukum syari yang diatur dengan kaidah-kaidah baku dan dasar-dasar permanen yang

dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan

dalil syari atau ketika asy-syaari (pembuat hukum syara) berdiam diri mengenai status

perkara tertentu.

Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak,

namun penulis mencukupkan diri dengan membahas kaidah-kaidah cabang dari


kaidah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” sebagai perincian dari kaidah ketiga

dalam pembahasan Qawaid Fiqhiyah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagamana pengertian kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir?

2. Bagaimana dalil-dalil penggunaan kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir?

3. Bagaimana kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir?

1
2

4. Bagaimana aplikasi kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagamana pengertian kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir.

2. Untuk mengetahui bagaimana dalil-dalil penggunaan kaidah al-masyaqqah

tajlib at-taisir.

3. Untuk mengetahui bagaimana kaidah cabang dari kaidah al-masyaqqah tajlib


at-taisir.

4. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi kaidah al-masyaqqah tajlib at-taisir.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

Al-Masyaqqah menurut etimologi adalah al-ta‟ab yaitu kelelahan, kepayahan,

kesulitan, dan kesukaran.1

‫يم‬
‫وو َ ٌف‬ َُ ْ َ ِ ‫َوََْت ِمل أَثْ َقالَ ُك ْم إِ َ َٰل بَلَ ٍد ََلْ تَ ُكونُوا بَالِغِ ِيه إِاَّل بِ ِش ِّق ْاْلَنْ ُف‬
ِ ‫س ۚ إِ ا با ُكم لَ ٌف‬
ُ
Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup

sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (QS.

an-Nahl/16: 7)

Sedangkan al-Taisir berarti kemudahan dalam suatu pekerjaan, tidak

memaksakan diri, dan tidak memberatkan fisik.2 Dengan demikian maka maksud dari

kalimat “al-masyaqqatu tajlibu al-taisir” adalah bahwa jika ditemukan kesulitan

dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar’i yang dibenarkan untuk

mempermudah, meringankan, dan menghapus kesukaran serta kesukaran dari subjek

hukum pada saat melaksanakan aturan-aturan dari segi apapun.3

Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa kaidah kesulitan mendatangkan


kemudahan berarti jika ditemukan kesulitan dan kesukaran dalam sesuatu maka

syariah dapat meringankan sehingga dapat dilakukan dengan mudah.

Contohnya apabila seseorang melakukan perjalanan yang mana perjalanan

tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkan mengqasar shalat, maka

1
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
h. 71.
2
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh h. 71.
3
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh h. 71.

3
4

diperbolehkan mengqasar shalat tersebut. Karena apabila tidak mengqasar

shalat kemungkinan besar tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada

waktunya. Seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu agar

cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pekerjaan yang sulit dilakukan apabila

harus melakukan shalat pada waktu shalat tersebut.

Al-Musyaqqah yang bersifat individual tidak menyebabkan keringanan.

Contohnya bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah.


Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya

tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat

wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa musim panas,

atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah

semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan

kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut

menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan

lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.4

Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah pada kondisi darurat dan kebutuhan

(hajat). Dengan kaidah tersebut diharapkan dalam melaksanakan ibadah itu tidak
ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama

membagi masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:5

1. Al- Masyaqqah Al-„Azhimmah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga

disebut sebagai “kemudaratan”, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau

rusaknya anggota badan.

4
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah: Dalam Perspektif Fiqih (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2004), h. 84.
5
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2007), h. 58-59.
5

2. Al- Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat

berat juga tidak sangat ringan).

3. Al- Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).

Pengecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama, kesulitan-kesulitan yang

diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan yang

muncul, memang satu risiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa.

Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan
tadi membahayakan jiwanya.6

Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya

ada tujuh macam, yaitu:7

1. Tahkfif isqath/ rukhsah isqath (pengguguran kewajiban).

2. Tahkfif tanqish (pengurangan beban kewajiban).

3. Tahkfif ibdal (penggantian).

4. Tahkfif taqdim (mendahulukan).

5. Tahkfif ta‟khir (mengakhirkan).

6. Tahkfif tarkhis (darurat).

7. Tahkfif taghyir (merubah hukum).

B. Dalil-dalil Penggunaan Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

1. Al-Qur’an

a. QS. al-Baqarah/2:185
ِ ِ ِ ‫ِ ا‬
َ ْ ُ ْ‫ُ ُد اللهُ ب ُك ُم الْيُ ْ َ َوََّل ُ ُد ب ُك ُم ال‬

6
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih h. 58-59.
7
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaidh Fiqhiyah h. 102-104.
6

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

bagimu.( QS. al-Baqarah/2:185)

b. QS. al-Baqarah/2:286

‫ف اللاهُ نَ ْف ً ا إِاَّل ُو ْس َ َها‬


ُ ِّ‫ََّل ُ َكل‬
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

(QS. al-Baqarah/2:286)

c. QS. an-Nisa/4:28
‫ض ِي ًفا‬ ِْ ‫ِّف َعْن ُك ْم ۚ َو ُخلِ َق‬
َ ُ ‫اْلنْ َ ا‬ َ ‫ُِ ُد اللاهُ أَ ْ ُُيَف‬
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan

bersifat lemah. (QS. an-Nisa/4:28)

d. QS. al-Hajj/22:78

ٍ َ َ ‫الد ِي ِ ْي‬
ِّ ِ ‫َوَ ا َ َ َل َعلَْي ُك ْم‬
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu

kesempitan. (QS. al-Hajj/22:78)

2. Hadis
ٍ ٍِِِ ِ ِ
َ َْ ‫إ ِّ أُْس ْل ُ َنيفيا‬
Aku diutus dengan (membawa agama) hanifiyyah yang mudah. (HR. Ahmad
No. 25962)
ِ ْ ‫الد‬ ٍِ ِ ِ ِ ِ ‫الد ي أَ ٌفد إَِّلا َلَ ه َ دِّاوا وَا ِبوا وأَب ِش وا و‬ ِّ ‫إِ ا‬
َ ‫اسَ ينُوا بالْغَ ْد َو َوالا ْو َ َو َ ْ َي ُّد‬
ْ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ َُ َ َ ِّ ‫الد َي ُ ْ ٌف َولَ ْي ُ َشاا‬
Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak

menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah,

mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika

sebagian malam tiba. (HR. Bukhari No. 39)


7

Beberapa nas yang berasal dari Alquran maupun Sunah tersebut merupakan

sebahagian kecil dari sekian banyak dalil yang ada, namun dalam hal ini,

memunculkan nas-nas di atas cukup membuktikan bahwasannya pengaplikasian

kaedah ini sangat berperan penting dalam mengatur logika berfikir untuk menemukan

hukum suatu masalah.

Oleh sebab itu, kaedah ini disepakati oleh seluruh ulama mazhab sebagai yang

pengaplikasinnya sebagai analogi dalam menyimpulkan dan menemukan hukum


ketika berijtihad.

C. Kaidah Cabang dari Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

ِ ‫ل و اا تُِي الْم ُو‬


1. ‫اا‬َ ْ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ ُ ‫( اَل ا‬Darurat membolehkan hal yang dilarang)
Darurat dalam pengertian khusus adalah suatu kepentingan esensial yang jika

tidak dipenuhi dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang menyebabkan

kematian. 8 Contohnya memakan daging babi bagi seorang yang sekarat karena

kelaparan dibolehkan atas dasar kebutuhan mendesak. Sebagaimana firman Allah

dalam QS. al-Baqarah/2:173:


ِ ٍ ِ ِ
ْ ‫اْلِن ِز ِ َوَ ا أُه ال بِِه لغَ ِْْي اللا ِه ۖ َ َم ِي‬
َ‫اضطُا َْي َ بَ ٍاغ َوََّل َعاا َ ََل إِ ْْثَ َعلَْيه ۚ إِ ا اللاه‬ َ ‫إِاَّنَا َ ا َم َعلَْي ُك ُم الْ َمْيَ َ َوالد‬
ْ ‫ام َو ََلْ َم‬
‫َ ُفوٌف َّر ِح ٌمي‬

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-
Baqarah/2:173)

8
Muhammad Mansoori, Kaidah-kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis (Bogor: Ulil
Albab Institute, 2010), h. 77.
8

Para ulama fiqih telah memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi

sebelum keringanan diambil atas dasar kebutuhan yang memaksa.

a. Darurat itu harus nyata, bukan spekulatif atau imajinatif. Sifat dan tingkat

urgensitas darirat ditentukan oleh hakim yang benar dan disertifikasi bukan

oleh orang biasanya. Contohnya, tidak dibenarkan mengambil bunga melalui

pinjaman hutang ke bank karena alasan perlindungan harta dibolehkan

syariah.
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi kesulitan kecuali

dengan keringanan tersebut. Aturan ini berlaku saat tidak ada jalan lain

untuk menghilangkan kesulitan kecuali yang haram.

c. Solusi tidak boleh menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan,

pemurtadan, perampasan harta, atau bersenang-senang sesama jenis. Contoh,

tidak boleh membunuh orang lain walaupun dibawah paksaan.

d. Harus ada justifikasi kuat untuk melakukan keringanan. Terpaksa

mengkonsumsi makanan haram/melakukan sesuatu yang haram. Keringanan

ini dilakukan hanya sebatas kadar yang menyelamatkan nyawa.

e. Merupakan satu-satunya solusi yang tersedia.

2. ‫اا تُ َق اد ُ بَِق َد َِها‬


ُ َ‫لُ ْو‬
‫( اَل ا‬Darurat harus diukur seperlunya saja)

Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh

dikonsumsi karena darurat hanya diperbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh

lebih dari itu atau bahkan berpuas-puas dengannya.

Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan darurat

tidak boleh melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai pada kadar
9

yang membuat dia tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui batas dan

makan sampai kenyang, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam ayat.

Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang harus membuka auratnya untuk

kebutuhan pemeriksaan oleh Dokter, maka yang dibuka adalah hanya bagian yang

akan diperiksa saja tidak boleh lebih dari itu.

3. َ َ ‫اا ْاْلَ ْ ُ اِتا‬


َ ‫ض‬َ ‫( إِ َا‬Jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan)
Contohya, disyariatkannya shalat qashar untuk seorang musafir yang sedang
melakukan perjalanan demikian pula shalat khauf ketika perang dengan tata caranya

yang berbeda dengan shalat pada umumnya. Allah berfirman:


ۚ ‫ص ََل ِ إِ ْ ِخ ْفُ ْم أَ َ ْفِنَ ُكم الا ِذ َي َك َف وا‬
‫صُوا ِ َي ال ا‬
ُ ‫اح أَ تَ ْق‬
‫س َعلَْي ُك ْم ُ نَ ٌف‬ ِ ِ َ ‫وإِ َا‬
ُ ُ َ ‫ضَبُْ ْم ْاْلَْ ض َلَْي‬ َ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu

men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. an-

Nisa/4:101)

Contoh lain, seseorang yang tidak sanggup melunasi hutangnnya pada tempo

yang telah ditentukan. Kemudian dia meminta temponya diperpanjang, maka wajib

bagi orang yang menghutanginya untuk menambah tempo waktu pelunasannya, Allah

berfirman:

َ ‫ص اد ُوا َخْي ٌف لا ُك ْم ۖ إِ ُكنُ ْم تَ ْ لَ ُمو‬ ِ


َ َ‫َوإِ َكا َ ُو ُع ْ ٍَ َنَ ٌَف إِ َ َٰل َ ْي َ ٍَ ۚ َوأَ ت‬
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh

sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,

lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah/2:280)

4. ‫( اْلضط ا َّل طل ق الغْي‬Darurat tidak meniadakan hak orang lain)

Kaidah ini menegaskan bahwa kondisi darurat tidak dapat menjadi sebab dan

justifikasi untuk melanggar hak-hak orang lain. Misalnya karena kelaparan maka
10

seseorang mencuri makanan/barang orang lain. Maka dia bertanggung jawab

untuk mengembalikan/membayar ongkosnya di kemudian hari.

D. Aplikasi Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir

Kaedah ini tidak serta-merta dapat diterapkan sekehendak hati melainkan

harus dicermati syarat-syarat yang melegalkan diberlakukan keringanan. Az-Zuhaily

menuturkan, masyaqqah yang diperbolehkan untuk diberikan kemudahan antara lain:


pertama; tidak bertentangan dengan nas, kedua; kadar masyaqqah harus lebih dari

batasan (kemampuan) normal. Ketiga; masyaqqah tersebut bukanlah keadaan yang

biasa terjadi seperti dinginnya air untuk wudhuk atau teriknya matahari pada

saatberpuasa. Keempat, tidak berlaku terhadap sanksi syara’ seperti rajam zina,

pedihnya hudud, derita dalam jihad dan sebagainya.

Hal ini menjadi kesepakatan bagi para ulama terutama ulama mazhab yang 4

(empat), syarat-syarat tersebut harus benar-benar wujud jika hendak mendapatkan

kemudahan atas masyaqqah dan pelanggaran terhadapnya merupakan suatu hal yang

berlebih-lebihan dalam menjalankan syariat.

Salih Sadlan dalam kitabnya al-Qawa‟id al-Kubra menyebutkan setidaknya ada 7

(tujuh) sebab yang dapat diberikan keringanan oleh syarak yaitu karena:9
1. Dalam perjalanan

Syariat Islam sangat toleran terhadap keadaan seseorang layaknya bagi yang

dalam perjalanan diberikan keistimewaan berupa keringanan seperti memendekkan

(qasar) atau mengabungkan (jamak), demikian pula dalam hal berbuka puasa

sebelum waktunya ketika dirasa mendatangkan kecederaan atau mudarat yang besar

9
https://www.academia.edu
11

ketika meneruskannya selama perjalanan, namun harus mengganti (qada)

puasa tersebut pada hari-hari berikutnya setelah bulan Ramadan.

Hal ini sesuai dengan firman Allah (QS. al-Baqarah/2:185):


ِ ِ
َ ‫لا أ َْو َعلَ ٰ َس َف ٍ َ اد ٌف ْي أَا ٍام أ‬
َ‫ُخ‬ ً ِ َ َ ‫َوَ ْي َكا‬
dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka

(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari

yang lain. (QS. al-Baqarah/2:185)


2. Dalam keadaan sakit

Bagi penderita sakit sangat banyak keringanan yang diperkenankan oleh

syariat antara lain sebagaimana orang dalam perjalanan dapat membatalkan puasa

Ramadan dengan catatan menggantinya (qada) pada bulan-bulan setelahnya sejumlah

yang ditinggalkan, atau menggantinya dengan fidyah jika memang diketahui/divonis

tidak berkemampuan untuk menggantinya sama sekali seperti penyakit yang

membawa kematian atau karena penyakit ketuaan.

Orang sakit juga mendapatkan keringanan dalam beberapa hal yaitu

diperbolehkan duduk pada rukun salat yang dituntut berdiri, memakai baju (pakaian

berjahit) bagi laki-laki ketika ihram, mengutus pengganti melempar Jumrah dan
sebagainya atas dasar uzur yang sama sekali tidak mampu dilakukannya secara

lumrah.

3. Keadaan terancam/terpaksa

Keadaan terancam atau terpaksa mendatangkan kemudahan bagi pelaksanaan

beberapa ibadah yaitu apabila ada orang diancam oleh orang lain/karena sebab

adanya paksaaan, maka orang itu diperbolehkan mengucapkan kata- kata kufur asal
12

hati tetap beriman, meninggalkan yang wajib, merusak harta orang lain

memakan dan meminum perkara yang di haramkan. Hal ini sebagaimana sabda

Rasulullah saw:

“Sesungguhnya Allah memfitrahkan umatku atas kesalahan, kelupaan dan

yang dibencinya (terpaksa melakukannya)”.(HR Ibnu Majah)

4. Lupa atau lalai

Jika orang itu lupa, maka baginya tidak ada dosa bagi orang yang
mengerjakan maksiat, makan dan minum di bulan Ramadan apabila ia berpuasa tidak

membatalkan puasanya.

5. Ketidak-tahuan

Para ulama mengelompokkan jenis “ketidak-tahuan” ini kepada 2 (dua

kelompok) yaitu ketidak-tahuan sebab kekafiran dan ketidak-tahuan akan hukum

syariat namun dalam keimanan.

Adapun yang termasuk dalam pembahasan ini adalah jenis ke-2 (kedua) yaitu

ketidak-tahuan akan hukum dianggap dimaafkan dan setelah mengetahui hakikatnya

terus bertaubat atau berazam untuk tidak megulanginya di masa mendatang. al-

Usaimin dalam syairnya menyatakan:


“Hukum syarak tidak dibebankan ketika tidak memiliki pengetahuan

(tentangnya), buktinya pelaku kejahatan dihukum hanya ketika dia mengetahui

(hukumnya)”.

6. Keperitan dan Bala Bencana

Istilah Umum Bala dapat diartikan sebagai marabahaya, musibah atau

bencana yang sifatnya luas dan sulit terelakkan baik dalam kondisi ringan maupun

berat.. Contoh dalam kondisi ringan seperti musim serangga jenis “laron” yang sangat
13

mengganggu untuk mengerjakan salat berjamaah karena kendati berpindah

tempat atau disapu tetap terus datang mengganggu dan hampir tidak mungkin

terelakkan.

Demikian pula seperti pemakaman jenazah secara massal pada peristiwa

Tsunami di mana menurut beberapa mazhab tidak diperbolehkan memakamkan satu

lahat lebih dari satu jenazah.

7. Kekurangan (cacat fisik/mental) di luar kebiasaan


Yang termasuk orang yang kekurangan disini adalah orang yang tidak adanya

pembebanan hukum seperti orang gila dan anak anak kecil.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Al-Masyaqqah (kesukaran) menurut istilah jika suatu perkara ditemukan

kesukaran dalam sesuatu, maka ia menjadi penyebab syar‟i yang dibenarkan untuk

mempermudah, meringankan dan menghapus kesukaran dari subjek hukum pada saat
melaksanakan aturan-aturan hukum dan segi apa pun.

Dasar hukum tentang adanya kaidah-kaidah di atas termaktub dalam al-

Qur’an di antaranya sebagai berikut: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan

tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah/2:185).

Kaidah-kaidah cabang dari al-masyaqqah tajlib at-taisir adalah:

1. Darurat membolehkan hal yang dilarang

2. Darurat harus diukur seperlunya saja

3. Jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan

4. Darurat tidak meniadakan hak orang lain

B. Saran

Demikian makalah tentang “Kesusahan Memunculkan Kemudahan”, semoga

makalah ini dapat menambah wawasan bagi kita. Kritik dan saran sangat kami

harapkan demi kesempurnaan makalah ini pada khususnya,dan makalah selanjutnya

pada umumnya.

14

Anda mungkin juga menyukai