Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG

KAIDAH FIQHIYAH
(Pengertian dan Kedudukan, Makna dan Contoh, Al-Umuru Bi Makasidiha,
Al-Yaqinu La Yuzalu Bi Al-Syak, Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir, Ad-Dhoruratu
Yuzalu, dan Al-‘Adatu Muhakkamah)

Disusun Oleh Kelompok 2:


1. Alifa Khairunnisa (21701082090)
2. Lulu’ Vionica (21701082108)
3. Latisha Ananda Rezha (21701082110)

Dosen Pembimbing: Drs. H. ABD Jalil, M.Ag

Fakultas/Prodi : Fakultas Ekonomi dan Bisnis/ Akuntansi


Kelas : A-03

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


MALANG
OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
benar serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai “KAIDAH FIQHIYAH (Pengertian dan Kedudukan, Makna dan Contoh,
Al-Umuru Bi Makasidiha, Al-Yaqinu La Yuzalu Bi Al-Syak, Masyaqqoh Tajlibu Al-
Taisir, Ad-Dhoruratu Yuzalu, dan Al-‘Adatu Muhakkamah)”.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menjumpai hambatan, namun
berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan cukup baik, oleh karena itu melalui kesempatan ini kami menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikannya
tugas ini.
Meski begitu tentu makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, oleh karena itu
segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan
demi perbaikan pada makalah ini. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat
khususnya bagi kami dan bagi pembaca lain pada umumnya.

Malang, 08 Oktober 2018


Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5
2.1 Pengertian dan Kedudukan Kaidah Fiqhiyah ................................... 5
2.2 Makna dan Contoh Kaidah Fiqhiyah ................................................ 8
2.3 Al-Umuru Bi Maqasidiha ................................................................. 10
2.4 Al-Yaqinu La Yuzalu Bi Al-Syak .................................................... 15
2.5 Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir ........................................................... 23
2.6 Ad-Dhorurotu Yuzalu ....................................................................... 30
2.7 Al-‘Adatu Muhakkamah ................................................................... 38
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 44
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 46

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam
macamnya. Tentunya itu mengharuskan kita agar mencari jalan keluar untuk
penyelesaiannya. Maka disusunlah kaidah secara umum yang diikuti cabang-
cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah
tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap penyelesaian masalah-masalah yang munciul ditengah –tengah
kehidupan ini.
Seperti pada pembahasan kali ini terdapat kaidah fiqh (qawaid fiqhiyah)
merupakan kaidah yang bersifat umum dan bisa digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari-
hari. Kaidah ini menggolongkan masalah-masalah yang serupa menjadi satu.
Kaidah fiqh ini tentunya bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah yang
merupakan terciptanya hukum-hukum islam. Dengan adanya kaidah fiqh ini
tentunya memepermudah kita dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia.
Kaidah fiqh mempunyai 5 dasar kaidah umum antara lain yang pertama
kaidah “Al-Yaqin La Bi Syak”. Menurut penulis, bahwa kaidah ini sangat
penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang Al Yaqin
dan Asy-Syak. Kaidah ini mengantarkan kita kepada konsep kemudaahan demi
menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa pada kita, dengan cara
menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Telah
diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka
kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan passti sehingga
terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.
Kedua kaidah “Al-Umuru Bi Maqashidiha” segala perkara tergantung
pada niatnya). Niat menjadi hal utama dalam setiap perbuatan kita, dengan niat
kita akan terarah maksud dan tujuan perbuatan yang dilakukan,. Maka penting

1
bagi kita untuk mengetahui kaidah ini agar kita mempunyai landasan dalam
melakukan suatu hal baik sosial, ekonomi, bahkan ibadah.banyak orang
mengatakan niat terletak dalam hati maupun dengan diucapkan serta
mempunyai fungsi yang penting di antaranya untuk membedakan ibadah dan
kebiasaaan. Oleh karena itu kita harus membedakan bagaimana bentuk niat dan
penerapannya.
Ketiga yaitu kaidah “Al-Masyaqqoh Tajlib Al-Taisir”. Mengingat hukum
Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Quran dan Al-
Hadits dan baru bisa kita ketahui setelah tejadi penggalian lewat ijtihad, maka
dikenallah sebutan dalam fiqh suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad
sehingga berpengaruh terhadap penerapan hukumnya yang harus disesuaikan
denga situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta
kemashlahatan-kemashlahatannya yang menjadi prinsip utama
disyari’atkannya syariah (Al-Masyaqqoh Tajlib Al-Taisir) dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang dijalani oleh mukallaf.kesukaran
daankesulitan yang menjadi problematika daan dilema yang terjadi puda
mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemashlahatan
dan kepastian hukum guan menjawab permasalahan yang terjadi.
Keempat yaitu kaidah “Ad-Dhorurotu Yuzalu” yaitu kaidah yang
membahas tentang kemudaratan itu memang harus dihilangkan, terlebih dalam
kondisi darurat, maka yang haram boleh dilakukan. Yang mana maksud dari
keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara
seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam memperbolehkan untuk meninggalkan
ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat
daarurat.
Kelima yaitu kaidah “Al-‘Adah Al-Muhakkamah” (adat atau kebiasaan
itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari
kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan
nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. dengan menguasai kaidah-
kaidah fiqh kita akan mengetahui segala permasalahan fiqh, karena kaidah fiqh
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh sehingga dapat dengan bijak

2
dalam menerapkan hukum fiqh dalam waktu, tempat, situasi dan kondisi yang
sering kali berubah-ubah.
Kelima kaidah tersebut yang menjadi dasar dari pembuatan makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


Di dalam makalah ini mempunyai beberapa rumusan masalah antara lain:
1) Apa pengertian dan kedudukan kaidah Fiqhiyah?
2) Apa makna dan contoh kaidah Fiqhiyah?
3) Apa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kaidah Al-Umuru Bi
Maqasidiha?
4) Apa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kaidah Al-Yaqinu La Yuzalu
Al-Taisir?
5) Apa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kaidah Masyaqqoh Tajlibu
Al-Taisir?
6) Apa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Kaidah Ad-Dhorurotu
Yuzalu?
7) Apa ketentuan-ketentuan yang terdapat pada kaidah Al-‘Adatu
Muhakkamah?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalh ini adalah:
1) Untuk mengetahui dan memahami pengertian dan kedudukan kaidah
Fiqhiyah.
2) Untuk mengetahui dan memahami makna dan contoh kaidah Fiqhiyah.
3) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha.
4) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada kaidah Al-Yaqinu La Yuzalu Al-Taisir.
5) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada kaidah Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir.
6) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada Kaidah Ad-Dhorurotu Yuzalu.

3
7) Untuk mengetahui dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Kedudukan Kaidah Fiqhiyah


Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam
Bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas
(dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl ayat 26:
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan “ya”
nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqh lebih dekat kepada ilmu sebagaimana yang banya
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah: untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Dan sabda Nabi
Muhammad SA: “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya
diberikan kepadanya kepahaman agama”.
Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa
makna fiqh itu adalah berkisar pada rumusan sebagai berikut:
1) Fiqh merupakan bagian dari syari’ah.
2) Hukum yang dibahas mencakup hukum yang amali.
3) Objek hukum pada orang-orang mukallaf.
4) Sumber hukum berdasarkan Al Qur’an ataupun As Sunnah atau juga bisa
dengan dalil lain yang bersumber pada kedua sumber utamma tersebut.
5) Dilakukan dengan jalan istinbath atau juga dengan ijtihad sehingga
kebenarannya kondisional dan temporer adanya.
Dr. Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ bahwasanya beliau menyimpulkan
bahwa kaidah fiqhiyah yaitu dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’
yang bersifat mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-
teks perundang-undangan yang ringkas yang mengandung penetapan hukum-

5
hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada
permasalahannya.
Menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh
Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
ٍ‫ٍٍم ْن َها ُح ْك ُمٍٍ ُج ْزٍٍىِيَّاتٍٍ َكثِي َْرة‬
ِ ‫احدَة‬
ِ ‫ٍٍو‬ َ َ‫ا َ ْلق‬
َ ‫ضايَاٍاْل ُك ِليَةٍٍُالَّتِىيَ ْندَ ِر ُجٍٍت َحْتٍٍَ ُك ِل‬
”Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum
juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan:
ٍ‫ع ٰلىٍ َج ِميْعٍٍِ ُج ْزىِيَّا ِت ِه‬ َ ‫ُح ْك ُمٍٍ ُك ِلىٍٍيَ ْن‬
َ ٍٍ‫طبِ ُق‬
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian be
sar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu,
sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu:

ِ ‫ِليَتَفَقَّ ُهواٍفِيٍال ِد‬


ٍ‫ين‬
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat:
122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
)‫ىٍالدي ِْنٍٍ(ٍرواهٍالبخارىٍومسلم‬
ِ ِ‫َم ْنٍٍي ُِر ِدللاٍٍُبِ ِهٍٍ َخي ًْرايُفَ ِق ْههٍٍُف‬
"Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman dalam agama".
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-
hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil
yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul
fiqhiyah adalah: ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku
pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang
dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Quran dan sunnah. Kaidah
fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang

6
memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah
fiqh sebagai dalil pelengkap.
2) Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai
dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
Dalam hal ini para ulama berbedaa pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh
sebagai dalil hukum mandiri. Iamam Al-Haramayn Al-Juwayni berpendapat
bahwa kaidah Fiqh boleh dijadiakn dalil mandiri.
Namun Al-Hawani menolak pendapat Imam Al-Haramayn Al-Juwayn
menurutnya berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak diperbolehkan. Al-
Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya,
aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai
pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang
berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul dari
masalah-masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-Syaikh Ahmad Ibnu Al-
Syaikh Muhammad Al- Zarqa berpendapat sebagai berikut: “kalau saya
tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan
tetap bercerai berai.”
Kegunaan Kaidah Fiqhiyah
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa
Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat
suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa
seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya
banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang
pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’-furu’nya.
Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah
sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut:
1) Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah
dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.

7
2) Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-
persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
3) Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
tahkrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.
4) Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-
beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5) Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa
hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan
ataupun menegakkan maslahat yang lebih besar.
6) Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-
Nadwi. Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat
(ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti
menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat
memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan
yang menjadi cakupan fiqh.

2.2 Makna dan Contoh Kaidah Fiqhiyah


Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut:
1) Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan.
2) Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan
yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan
sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang
belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash
tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang,

8
baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh
sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum
dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-
undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi
masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada
kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas
Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-
Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu
maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu.
Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya
dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1) Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah
ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan
unversal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih.
2) Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak
seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-
aghlabiyah.
3) Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah)
bahkan cendrung sangat sedikit.
Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan
yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun
mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara contohnya. Apabila
seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan

9
untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini adalah yang
berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang yang
tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada
pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan sesuai dengan ikatannya
tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat. Apabila seseorang
mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan
perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan
ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.
Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-
anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah
harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Contoh
tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah yang
berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat.”

2.3 Al-Umuru Bi Maqasidiha


1) Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha (‫)االمور بمقاصدها‬
(Segala perkara tergantung pada niatnya) kaidah diatas memberi
pengertian bahwa setiap amal perbuatan, baik berupa perkataan maupun
perbuatan diukur menurut niat orang yang berbuat. Dalam perbuatan ibadah,
yaitu amal perbuatan dalam hubungannya dengan Allah, niat (karena dan
untuk Allah) adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau
tidaknya sesuatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang ada hubungannya
dengan sesama makhluk seperti muamalah, munakahah, jinayah dan
sebagainya. Niat adalah merupakan penentu apakah perbuatan-perbuatan
tersebut mempunyai nilai ibadah, sehingga merupakan perbuatan
mendekatkan diri kepada Allah atau bukan ibadah.
Niat harus sudah ada pada permulaan melakukan perbuatan,
sedangkan tempat niat didalam hati, sehingga untuk mengetahui sejauh
mana niat dari yang berbuat. Harus kita ketahui bukti-bukti yang dapat
dijadikan alat untuk mengetahui macam niat orang yang berbuat. Dalam
amal kemasyarakatan misalnya, dapat diketahui dengan bukti yang ada,
apakah perbuatan tersebut karena Allah atau karena manusia. Demikian juga

10
suatu perbuatan pembunuhan,dengan bukti yang dapat diketahui apakah
perbuatan pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak. Niat
disamping sebagai alat penilai perbuatan, juga dapat merupakan ibadah
tersendiri seperti yang dapat difahamkan dari hadits Nabi: “Niat seorang
mukmin itu lebih baik dari pada amalnya (tanpa niat)”. Artinya seorang
mukmin niat beramal karena allah, kemudian dia tidak dapat
melaksanakannya, dia mendapat pahala. Sedangkan seorang mukmin
beramal saja tanpa ada niat karena Allah, tidak mendapat pahala.
Segala syariat yang ada tidak akan terlepas dari tujuan dibalik
pensyariatannya demikian pula dengan niat di dalamnya ada beberapa
maksud dan tujuan yang melatar belakanginya diantaranya:
a) Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya
bersifat adat (kebiasaan) belaka. Seperti halnya makan, minum, tidur dan
lain-lain. hal ini merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia,
disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu
termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam
aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga
lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita
bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Akan
tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan
amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat
seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dan
juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah
meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
b) Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya.Dengan niat
ini pula kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan
yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’,
mandi besar, shalat dan puasa.
2) Landasan Kaidah Al-Umuru bimaqashidiha (‫)االمورٍبمقاصدها‬
a) QS. AL-Bayyina ayat 5
‫ص ي َن ّللاَ َ لِ ي َ عْ ب ُ د ُوا إ ِ َّل أ ُ ِم ُر وا َو َم ا‬
ِ ِ‫ح ن َ ف َ ا َء الد ِ ي َن ل َ ه ُ ُم ْخ ل‬
ُ ‫ال صَ ََل ة َ َو ي ُ قِ ي ُم وا‬
‫ك ۚ ال َز كَ ا ة َ َو ي ُ ْؤ ت ُوا‬َ ِ ‫الْ ق َ ي ِ َم ةِ ِد ي ُن َو ذَٰ َ ل‬

11
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kcuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama
yang lurus”
b) QS. Ali Imron ayat 145
‫ت أ َ ْن لِ ن َ فْ س كَ ا َن َو َم ا‬ َ ‫ج ًَل ِك ت َا ب ًا ّللاَ ِ ب ِ إ ِذ ْ ِن إ ِ َّل ت َ ُم و‬َ ‫ي ُِر د ْ َو َم ْن ۗ ُم َؤ‬
َ ‫ب ي ُِر د ْ َو َم ْن ِم نْ هَ ا ن ُ ْؤ ت ِ هِ ال د ُّنْ ي َ ا ث َ َو ا‬
‫ب‬ َ ‫اْل ِخ َر ة ِ ث َ َو ا‬ْ ِ‫ۚ ِم ن ْ هَ ا ن ُ ْؤ ت ِ ه‬
‫ال ش َ ا ِك ِر ي َن َو سَ ن َ ْج ِز ي‬
Artinya: “sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu dan kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.
c) “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat” (HR.Anas
Ibn Malik ra.)
d) Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini yang
berarti “keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
3) Cabang kaidah Al-Umuru bimaqashidiha
a) ‫العبرةٍفىٍالعقــودٍللمقاصدٍوالمعانيٍلأللفاظٍوالمباني‬
(pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata
kata-kata dan ungkapannya).
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau
maksud si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus
dianggap sebagai suatu akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang
demikian itu masih dapat diketahui.
Contoh: apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini
untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun
katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut
bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
b) ‫كُلﱡٍمَاٍكَانٍَلهٍُﺃصْلٌٍفَﻼٍَيَنْتَقِلٍُعَنٍْﺃَصْلِهٍِبِمُﺠَرَّدٍِالنﱢيَة‬

12
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi
belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari,
tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang
puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka
hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
c) ِ‫الٍَثَوَاﺐٍَﺇِالٍَّبِالنﱢيَة‬

“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan


perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik
itu ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-
Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan
adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian
diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia
berubah menjadi ibadah yang berpahala

Contoh: seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia


mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana
mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut
dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada
orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala.
Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin
mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah
orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya
memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang
tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena
itulah ia tidak mendapatkan pahala.
d) ٍِ‫ٍنِيَة‬ ‫ٍعَلَى‬ ٍ‫للفظ‬
ِ ‫ٍا‬ ُ‫مَقَاصِد‬
‫الﻼَفِﻇ‬
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.

13
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan
seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu
sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.
Contoh: kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang
tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita
memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok
orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan
tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang
mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah
hanya sekedar bercanda.
e) ٍ‫لَواخْتَلَﻑَ ٍاللِﺳَانُ ٍوَالﻗَلْﺏُ ٍفَالمُعْتَبَرٍُ ٍمَا ٍفِي‬
ٍِ‫الﻗَلْﺏ‬
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang
dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.
Contoh: dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam
hati kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi
pada saat diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita
hanya ingin jalan-jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah
yang ada di dalam hati.
f) ‫ومايشترطٍفيهٍالتعرضٍفالخطأٍفيهٍمبطل‬
“Sesuatu yang (dalam niat) harus dipastikan, maka kesalahan dalam
pemastiannya akan membatalkan perbuatan.”
Contoh: orang menjalankan shalat duhur dengan niat shalat Ashar,
puasa arafah dengan niat puasa asyura, membayar kafarat pembunuhan
dengan niat kafarat Dhihar, kesemuanya tidak sah.
g) ‫ومايﺠﺐٍالتعرضٍلهٍجملةٍوالٍيشترطٍتعيينهٍتفصيﻼاذاعينهٍوﺃخطأٍضر‬
“Seseuatu yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar,
tidak harus terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan
nyatanya salah, maka membahayakan perbuatan.
Contoh: Orang shalat berjamaah dengan niat makmum pada
Umar, kemudian ternyata yang menjadi makmum adalah Zaid, maka
tidak sah makmumnya.

14
Orang shalat jenazah dengan niat menyembayangkan mayit laki-
laki, kemudian ternayata mayitnya perempuan, shalatnya tidak sah.
Demikian pula kalau dalam niatnya disebutkan jumlah mayit, dan
ternyata jumlahnya tidak cocok, maka shalatnya harus diulang.

2.4 Al Yaqinu La Yuzalu Bi Al-Syak


Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti pengetahuan dan tidak ada
keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang
membingungkan.
Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni:
1) As-Syuyuthi Al-Yaqin adalah “sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat
dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
2) Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah “pengetahuan yang besifat tetap
dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab
tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3) Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara ada atau tidak ada”.
4) Imam Al-Jurjani As-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara sesuatu yang berlawanan, tanpa dapat dimenangkan
salah satunya”.
Untuk dapat memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui
bahwa tingkat daya hati dalan menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni:
1) Al-Yakin
Secara bahasa mengetahui dan hilangnya keraguan. Al-Yakin merupakan
kebalikan dari Al-Syakk. Bisa disimpulkan bahwa Al-Yakin adalah bentuk
penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi
keraguan. Keyakinan yang tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru
datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan yang sederajat.
2) Ghalabah al Dzan

15
Ghalabah al Dzan bisa digambarkan ketika seseorangdihadapkan pada dua
kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih
condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih
unggul disebut Ghalabatul al dzan.
3) Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat
dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat
dan enggan juga membuang lainnya yang lemah, maka inilah yang disebut
al-dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salah satunya dan membuang
yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan.
4) Al Syakk
Al-syakk secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al-
syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan
diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salah satunya. Sementara
Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang,
maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut
dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.
Macam-macam Kaidah Cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi al-Syak
1) ٍَ‫علَىٍ َماٍ َكان‬ ْ َ ‫ْاْل‬
َ ٍ َ‫صلٍُ َما َكان‬
(Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah berada pada
suatu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula
selama tidak ada dalil yang menunjukan terhadap hukum lain. Alasan utama
mengapa hukum pertama harus dijadikan pijakan, karena dasar segala
sesuatu adalah tidak berubah dan tetap sepereti sediakala. Sementara
kemungkinan berubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan
bersifat spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum.
Contohnya, seseorang yang ragu apakah sudah berhadats atau belum, maka
maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang sebelumnya. Apabila
dalam kodisi sebelumnya i belum berwudlu, maka ia dihukumi berhadats,
tapi bila sebelumnya ia sudah bersuci maka dihukumi suci.

16
Contoh yang lain adalah seseorang yang ketika shalat jumat
meragukan apakah shalat yang dilaksanakan sudah keluar waktu atau
belum, keraguan semacam ini tidak akan mempengaruhi keabsahan shalat
yang sedang dilaksanakan. Sebab, keluarnua waktu adlah sebuah
kemungkinan yang bersifat baru, padahal kondisi asalnya, waktu shalat
jumat itu masih tetap ada, dan secara otomatis kondisi asal tersebut teap
bertahan hingga shalat selesai dilaksanakan.
Contoh selanjutnya adalah seserorang yang sudah berniat wudlu
sebelum membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudlu. Niat
itu ia laksanakan saat melaksanakan kesunahan wudlu, baik saat berkumur
atau memasukan air ke hidung. Ketika mulai membasuh muka, barulah
timbul keraguan dalam hatinya, apakah niat yang dilakukan sejak berkumur
itu masih ada atau hilang. Dalam kondisi seperti ini, wudlunya tetap
dihukumi sah, karena keraguan itu timbul dan bersifat spekulatif. Padahal
sebelumnya iatelah meyakini bahwa dirinya telah berniat sehingga niat
tersebut dianggap ada dan berlangsung hingga ia membasuh mukanya.[2]
2) ِ ُ ‫صلٍُبَ َرا َءة‬
ٍ‫ٍالد َم ٍِة‬ ْ ‫اْل‬
(Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
"Hukum asal yang dijadikan kaidah oleh para Imam adalah bara'ah adz-
dzimrnah (bebas dari tanggungan), wahai orang yang mempunyai
himmah."
Penjelasan
Termasuk sub kaidah yang dijadikan hukum asal oleh ulama dan
kaidah ke dua adalah bara'ah adz-dzimmali (bebas dari menaggung hak-hak
orang lain ketika hak-hak tersebut tidak menjadi tanggungan
seseorang. Berlandaskan kaidah ini, satu orang saksi saja tidak bisa menjadi
dasar penetapan seseorang harus menanggung hak-hak orang lain, selama
tidak ada bukti pendukung lain atau sumpah dari pihak penuntut. Berdasar
kaidah ini pula, yang ditenma dalam persidangan adalah statemen terdakwa,
karena menetapi kaidah asal. Kaidah mi hanya berlaku bagi orang yang
belum ditetapkan memiliki tanggungan, sehingga tidak berlaku bagi orang

17
yang sudah ditetapkan memiliki tanggungan. Berikut ini beberapa aplikasi
sub kaidah di atas:
Budi mendakwa Rafi, bahwa ia hutang kepadanya, sedangkan Rafi
menolak tuduhan Budi. Dalam kasus ini Rafi yang harus dibenarkan oleh
hakim dengan sumpahnya. Sebab, hukum asalnya adalah. Rafi tidak
mempunyai tanggungan hutang. Lain halnya jika Rafi mengakui punya
hutang kepada Budi, dan menyatakan telah melunasinya. Sebab, dalam
kasus ini sudah ada ketetapan Rafi memiliki tanggungan kepada Budi.
Susi mengakui punya hutang satu juta pada Siti, sedangkan Siti
menyatakan bahwa hutang Susi sejumlah dua juta. Dalam kasus ini yang
dimenangkan adalah Susi, sebab pada prinsipnya Susi terbebas dari
tanggungan melebihi dari yang diakuinya sejumlah satu juta.
Seseorang ragu, apakah punya tanggungan qadha' shalat atau tidak?
Maka ia tidak berkewajiban mengqadha' sbalat, sebab hukum asalnya
adalah terbebas dari tanggungan qadha'. Berbeda bila permasalahannya
apakah hari ini sudah shalat atau belum? Maka ia harus melaksanakan
shalat, sebab sudah ada keyakinan kewajiban shalat pada hari ini yang harus
dilaksanakan, dan ketika ragu apakah teiah melaksanakan kewajiban atau
belum, maka dihukumi belum melaksanakan, sebagaimana kaidah
berikutnya.
3) ٍ‫عدَ ُمٍال ِف ْع ِل‬
َ ٍُ‫صل‬
ْ ٍ‫ٍاْل‬
(Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan)
Kaidah ini menandaskan, bahwaa pada dasranya setiap mukallaf
dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjan sudah benar-
benar wujud secara nyata dan diyakini keberadaaannya,. Bayak masalah-
fasalah fiqhiyah yang termasuk cakupan kaidah ini, diantaranya adalah
seseorang yang meraskan eraguan dalam shalat subuh, apakah ia telah
mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi,
karean hukum asalnya dia tidak melaksanakan qunut.
Selain itu dalam kaidah ini tercakup aidah lain yang memiliki ’nafas’
senada denngan kaidah diatas ayitu, seseorang yang telah yakin
melakukansuatu perbuatan tapi masih ragu, pakah yang dikerjaan adalah

18
ilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia meilih bilangan
yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan. Contoh
seorang suami yang menceraikan istrinya, kemudian timbul keraguan
apakah ia telah menjatukan dua atau tiga talak? Maka yang dijadikan pijaan
hukum adalah bilangan talak yang lebih sedikit, karena yang lebih sedikit
adalah bilangan yang diyakini.
4) ٍ‫ان‬ َّ ‫ٍِرهٍُ ِبأ َ ْﻗ َر ِب‬
ِ ‫الز َم‬ ُ ‫صلٍُفِىٍ ُك ِلٍ َحا ِدثٍِتَقَد‬
ْ ٍ‫الأل‬
(Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang lebih terdekat)
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan
dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat “hukum asala adalah
penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya”
secara substansi sama saja.
Hukum asal perkara yang baru datang adalah dikira-kirakan dengan
waktu terdekat, sebagaimanayangditetapkan."
Penjelasan
Maksud kaidah adalah hukum asal setiap perkara yang baru datang
adalah mengira-ngirakannya terjadi pada waktu yang paling dekat. Lebih
jelasnya, perhatikan beberapa contoh berikut:
a) Orang yang melihat sperma di pakaiannya, padahal tidak ingat bermimpi
basah, maka ia wajib mandi besar menurut pendapat shahih. Ia juga
berkewajiban mengulangi shalat-shalat yang dilakukan setelah tidumya
yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat kemungkinan ia
keluar sperma.
b) Dalam waktu beberapa hari seseorang wudhu di sumur, dan melakukan
shalat. Lalu ia menemukan bangkai yang menajiskan airnya. Dalam
kasus ini, ia tidak wajib mengqadha'shalatnya kecuali shalat yang
diyakininya dengan najis tersebut.
c) Orang memukul perut wanita hamil, lalu bayi di kandungannya lahir
dalam keadaan sehat. Namun dalam jarak beberapa waktu, si bayi
meninggal. Dalam kasus ini, pemukul wanita.
5) َ ٍُ‫ٍاْلبَا َحةٍُ َحتَّىٍيَدُ َّلٍالدَّ ِل ْيل‬
ٍ‫علَىٍالتَّحْ ِري ِْم‬ ِ َ‫ىٍاْل َ ْشي‬
ِ ْ ‫اء‬ ْ ِ‫صلٍُف‬
ْ ٍ‫ٍالأل‬

19
(Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamannya).
Penemuan penemuan baru yang tidak pada mas kini, telah
dipersiaapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh islam . jauh j-jauh
hari islam telah meprediksikan hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan
hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana, yaitu al ashlu al
ibabah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita
menemukan hewan, tumbuhan atau apa sja, yang yang belum diketahui
status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi
halal, sesuai substansi yang terkandung kaidah ini.
Namun perlu dicatat, sebenarnya masih tejadi perbedaan pendapat
diantara kalangan ulam seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama
syafiiya menyatakan bahwa hukum asal segala sesutu adalah halala, selama
belum ada dalil yang mengharamkanya. Sebaliknya beberapa ulamak
hanfiyah berpendapat bahwa hukumasal seala sesuatu adalah haram, selama
tidak ada dalil yang menghalakan.
6) ْ ‫ص ُل ٍفِى‬
ٍ‫ٍال َكلَ ِم‬ ْ ٍ ‫الأل‬
ُ‫ال َح ِق ْيقَ ٍة‬
(Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Makna asal suatu ucapan adalah hakikatnya tidak boleh diarahkan
pada makna majaznya kecuali terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu
harus diarahkan pada majaz, seperti tidak mungkin diarahkan pada makna
hakikatnya. Maksud hakikat adalah lafal atau kata yang digunakan sesuai
dengan maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya. Sedangkan
majaz adalah penggunaan makna ke dua dari asal lafal tersebut
dimunculkan. Berikut beberapa cotoh aplikasi kaidah ini:
a) Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya (5ST,i) maka cucunya
tidak masuk dalam lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak
kandung.
b) Orang bersumpah tidak akan membeli sesuatu, kemudian ia mewakilkan
kepada orang lain untuk membeli barang, maka ia dihukumi tidak

20
melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia tidak melakukan
pembelian.
c) Wakaf kepada orang hafal al-Qur'an, maka tidak memasukan orang yang
pernah hafal al-Qur'an namun lupa. Sebab, meski ia pernah hafal al-
Qur'an, pada hakikatnya sekarang sudah tidak hafal.
d) Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah
tidak dihukumi melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah
menurut syara'. Sebab hakikat pembelian menurut syara' adalah
pembelian yang sah.
e) Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar
sumpah ketika memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan
hakikat dari kambing. Namun ia tidak dihukumi melanggar sumpah jika
memakan kulit atau meminum susunya.[7]
7) َ ‫ىٍاْل َ ْب‬
‫ضاعٍِالتَّحْ ِريْم‬ ْ ِ‫صلٍُف‬
ْ ٍ‫اْل‬
(Hukum asal abdla’ (fajri) adalah haram)
Abdla adlah bentuk jamak dari kata budl’ yang makna sinonimnya
adalah fajr atau vagina. Budl juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti
halnya al nikah yan mempunyai yang mempunyai dua arti; dapat diartikan
bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al nikah) dalam redaksi lain,
kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata; al ashlu fil al nikah al hadzru;
hukum asal pada hal- hal yang berhubungan dengan nikah adalah dilarang.
Perbedaan redaksional pada kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan
dua kata yang berbeda, yakni al budl dan al nikah, yang sebenarnya
memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini sebenarnya hanya
berbeda ungkapan namun memiliki hakikta yang sama.
Secra umum dua kaidah diatas mendasarkan bahwa, hukum asal
perniahan, yang selalu terkait dengan persoalan hubungan intim antara
suami istri, adalah haram. Sementara diperbolehkannya hubungan seksual
diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses pernikahan,
dilatarbelakangi oleh adanya suatu kebutuhan dasar dan mendesak, yaitu
demi menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi
manusia.

21
Dari pokok pikiran semacam in, munculah pemahaman bahwa, bila
hukum haram dan halal berkumpul pada ‘diri’ satu orag wanita maka yang
diunggulkan adalah hukum haramnya. Dengan kata lain, yang dijadikan
pijakan hukum pada diri wanita adalah haram, sebab hukum asal budlnya
haram. Contohnya bila seseorang suami menalak tiga pada salah satu
diantara keempat istrinya, tapi dikemudian hari ia telah lupa siapa istri yang
telah ia ceraikan, maka terdapa dua pendapat hukum dalam hal ini
Pertama, untuk menentuan siapa yang halal atau yang masih sah
sebagai istrinya dan siapa yang haram, maka harus dipilih dengan cara
pengundian (qar’ah). Wanita yang tidak keluar undiannya mempunyai
hukum halal bagi sang suami. Statemen pertama versi imam ahmad bin
hambal ini didasri argumen, bila keadaan sangat mendesak (dlarurat), maka
kedudukan undian sama dengan saksi atau informan (mukhbir) yang mampu
memberi “informasi Hukum” secara valid.
Kedua, utuk menyelesaikan permsalahan diatas tidak dengan
mengundi, namun harus di diamkan (tawaquf) dan menunggu waktu sampai
ada kejelasan, siapakah istri yang ditalak. Statemen terakhi ini di dukung
oleh ibnu qadamah, dan statemen awal di dukung oleh mayorita ualama
mazdhab Hambali.
8) Tidak dianggap, persangkaan yang jelas salahnya
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor,
kemudian wakil debitor atau penanggung jawabnya membayar lagi uang
debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil
debitor atau penanggung jawabnya berhak meminta dikembalikan uang
yang dibayarnya, karena pemabyarannya dilakukan atas dasar prasangka
yang jelas segalanya.
9) Tidak diakui adanya wahan (kira-kira)
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalamnya zhann yang salah itu
prasangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yang salah itu zatnya. Apabila
seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta
warisan dibagikan di antara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.

22
2.5 Masyaqqoh Tajlibu Al-Taisir
1) Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
ُ ْ‫شقَّةُ تَج‬
‫لب الت َّ ْيس ُِر‬ َ ‫ا ْل َم‬
Artinya: “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu
kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-
taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis
Rasulullah saw disebutkan:
ْ ُ‫الد ْينَ ي‬
‫سر‬ ِ َّ‫ِإن‬
Artinya: “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan artinya kesukaran
menyebabkan adanya suatu kemudaha, hukum yang dipraktiknya
menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran,
maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek
hukum), maka syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu
melaksanakannya tanpa tanpa kesukaran dan kesulitan.
Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf,
maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya
diperhatikan tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum.
Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan
karenanya tidak menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah,
seperti digigit semut pada waktu sholat, malas berzakat padahal mencapai
nishab, atau terasa lapar apabila sedang berpuasa, dalam hal ini Dr.Wahbah
az-Zuhaili membagi Al-Masyaqqah (kesukaran) menjadi tiga tingkatan,
yaitu:
a) Al-Masyaqqah al-‘Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti
kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan.
Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa
melakasanakan ibadah dengan sempurna. Kesukaran semacam ini
membawa kemudahan.

23
b) Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak
sangat berat juga tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus
dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada kesukaran yang sangat
berat, maka ada kemudahan di situ. Apabila lebih dekat kepada
kesukaran yang ringan, maka kemudahan di situ. Hal ini tergantung
kondisi seseorang dengan berbagai pertimbangan.
c) Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar
waktu puasa, malas naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dan
lain sebagainya. Kesukaran (masyaqqah) semacam ini bisa
ditanggulangi dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan
ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat, taat kepada perintah
Allah lebih utama daripada kesukaran (masyaqqah) yang ringan ini,
apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.
Dari tiga tingkatan yang penulis kutip berdasarkan pendapat
Dr.Wahbah az-Zuhaili di atas, yang menjadi kategori masyaqqah tajlib at-
taisir (Kesukaran itu dapat menarik kemudahan) adalah kategori yang
pertama, alasannya karena lebih tepat terhadap kaidah kemudharan harus
dihilangkan (al-dharar yuzal), sedangkan pada kategori kedua dan ketiga
adalah apa yang dimaksud masyaqqah tajlib at-taisir(Kesukaran itu dapat
menarik kemudahan).
Adapun dalam hal kemudahan (at-taisir) para ulama juga telah
menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan)
kemudahan (rukhsah), yaitu:
ُ ‫)النَّ ْق‬, Misalnya, orang gila dan
a) Kekurangmampuan bertindak hukum ( ‫ص‬
anak kecil tidak wajib melaksanakan sholat, puasa, bayar zakat dan naik
haji. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan perilaku ini disebut
unsur pemaaf.
b) Kesulitan yang umum (‫ع ُم ْو ُم اَ ْلبَ ْل َوى‬
ُ ), seperti debu yang berserakan di jalan,
maka tidak mungkin seseorang untuk menghindar, atau adanya hama
tikus yang jumlahnya sangat banyak menyerang satu desa kemudian
meninggalkan air kencingnya yang kering.

24
c) Bepergian (‫سفَ ُر‬
َّ ‫)ا‬, Misalnya, boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jumat.
ُ ‫)اَ ْل َم َر‬, Misalnya, boleh bertayamum ketika sulit
d) Keadaan sakit (‫ض‬
memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan
Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat. Ditundanya
pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang
mentruasi.
e) Keadaan terpaksa (ُ‫)اَ ْال ِءك َْراه‬, Seperti di ancam orang lain untuk
membatalkan puasa ramadhan, sehingga membahayakan jiwanya.
ْ ِ‫)اَلن‬, Seperti seseorang lupa makan dan minum pada waktu
f) Lupa ( ُ‫سيَان‬
puasa.
g) Ketidaktahuan (‫)اَ ْل َج ْه ُل‬, Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena
tidak tahu, kemudian berdagang dengan praktik riba.
Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, Allah SWT,
sebagai musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-
Nya itu allah mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambatan itu tidak terjadi kekeliruan
maka dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi
kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan
tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada
dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk
kepentingan manusia sendiri.
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia,
mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda.
Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhshah
yakni kemudahan-kemudahan tertentu dalam kondisi tertentu pula.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan Azimah
seimbang dengan kebolehan melakukan kemudahan (rukhshah). (wahbah
as-Zuhaili 1982 : 40).
2) Dasar Hukum
a) Al-Qur’an

25
Apabila kaidah “Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir” (kesukaran itu
dapat menarik kemudahan) dikembalikan kepada Al-Qur’an, maka
menunjukkan adanya akurasi, di antaranya:
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya”
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”
Artinya: “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan”[8]
b) Hadis
Seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Kaidah “Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir” (kesukaran itu dapat menarik kemudahan) juga
terdapat akurasi dengan Hadis Rasulullah Saw, di antaranya:
)‫اولَ ْم يَجْ َع ْلهُ ض َِيقاا (رواه الطبرانى‬
َ ‫س ْمعا‬ َ ُ‫الد ْينَ فَ َج َعلَه‬
َ ‫سه اًْل‬ ِ ‫ع‬ َ ‫اِنَّ هللاَ ش ََر‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mensyariatkan agama maka dijadikannya
mudah, ringan dan luas dan tidak menjadikannya sempit”. (HR. Tabrani)
َّ ‫الد ْينَ إِلَى هللاِ ا ْل َحنِ ْي ِفيَّةُ ال‬
ُ‫س ْم َحه‬ ِ ‫ب‬ ُّ ‫سر أ َ َح‬
ْ ُ‫ا َ ِلد ْينُ ي‬
Artinya: “Agama itu adalah mudah. Agama yang disenangi Allah yang
benar dan mudah”. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
3) Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir
a) َ َّ ‫ضاقَ األ َ ْم ُر إِت‬
‫س َع‬ َ ‫إِذَا‬
Artinya: “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya
meluas”
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud
dari kaidah ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada
kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan
yang demikian ini “wilayah-wilayah”yang semula dilarang menjadi
diperbolehkan. Contohnya seorang laki-laki dewasa diharamkan
memegang tubuh perempuan dewasa yang bukan mahromnya, namun
apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli dalam urut
tulang dan dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya
harus diurut, maka laki-laki yang bukan mahromnya itu boleh

26
menolong (menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut.
Kebalikan dari kaidah ini adalah:
َ َّ ‫ِإذَا ِإت‬
َ ‫س َع‬
َ‫ضاق‬
Artinya: “Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya
menyempit”
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa
diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya apabila
perempuan yang patah tulang telah sembuh karena mendapat
pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut laki-laki
tersebut tidak boleh lagi menyentuh dan melihat auratnya.
b) ‫ار إِلَى البَ َد ِل‬
ُ ‫ص‬ ْ َ ‫إِذَا تَعَذَّ َر األ‬
َ ُ‫ص ُل ي‬
Artinya: “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada
penggantinya”
Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan
orang yang dikenalnya, (seperti: Kipas angin, kompor, buku, tipe-X,
pulpen, mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut telah rusak
atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya,
maka penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya,
atau diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di pasaran.
Contoh lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka
diperbolehkan bertayamum.
c) ُ‫ع ْنه‬
َ ‫َما َال يُ ْم ِك ْن الت َ َح ُر ْز ِم ْنهُ َم ْعفُو‬
Artinya: “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya),
maka hal itu dimaafkan”
Contohnya: Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai
pedagang, maka seringkali yang membeli dagangannya adalah
perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang
demikian tidak mungkin terhindar.
d) ‫ط بِا ْل َمعَا ِصى‬
ُ ‫ص َال تُنَا‬
ُ ‫الر َخ‬
ُ
Artinya: “Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan
kemaksiatan”

27
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di
dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat
(kejahatan atau dosa). Contohnya seperti orang yang menggunakan
rukhsah puasa dengan membatalkannya dengan niat apabila
staminanya kembali kuat akan membunuh orang lain. Contoh lain
seperti orang yang bepergian ketempat prostitusi, kemudian setelah
itu ia kehabisan uang dan merasa kelaparan, dan tidak ditemukan
makanan yang halal kemudian ia mendapatkan seekor tikus lalu
memakannya. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang
menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging
tikus.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang
dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau
menuntut Ilmu. Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta
tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya
diperbolehkan dengan sekedar menghilangkan rasa lapar yang
membahayakan jiwa.
e) ‫ار إِ َلى الم َج ِاز‬
ُ ‫ص‬َ ُ‫إِذَا تَعَذَّ َرتْ ال َح ِقيقَةُ ي‬
Artinya: “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang
sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti
kiasannya”
Contoh: Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya
kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa
anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada adalah hanyalah
cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus
diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya.
Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah
meninggal.
f) ‫إِذَاتَعَذَّ َر إِ ْع َما ُل الك ًََل ِم يُ ْه َم ُل‬
Artinya: “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan”

28
Contohnya: Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku
saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu
keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan
orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
g) ‫َاء‬ ِ ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي ال َّد َو ِام َما َال يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي‬
ِ ‫اإل ْبتِد‬
Artinya: “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa
dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka
diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak.
Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar
uang muka lagi.
h) ‫َاء َما َال يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي ال َّد َو ِام‬ ِ ‫يُ ْغتَفَ ُر فِي‬
ِ ‫اإل ْبتِد‬
Artinya: “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada
kelanjutannya”
Contohnya: Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu
bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram,
maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena
ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi,
berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus
menghentikan perbuatan haram tersebut.
i) َ ‫يُ ْغتَفَ ُر ِفي الت َّ َوا ِبع َما َال يُ ْغتَفَ ُر ِفي‬
‫غي ِْر َها‬
Artinya: “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak
dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya: Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah
agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena
karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud
tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan
dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik
agen.

29
2.6 Ad-Dhorurotu Yuzalu
“Ad-Dhararu Yuzalu”
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”
Perbedaan Masyaqqot dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan
(hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan
eksistensi manusi. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat
menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan
adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang
dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan
keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak
mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)
Kaidah–kaidah yang berkenaan dengan kondisi Mudharat:
Kaidah pertama: “Kemudlaratan-kemudlaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”
(Wahbah az-Zuhaili, 1982: 225)
َ َ‫علَ ْي ُك ْم َح َر َم َما لَ ُك ْم ف‬
‫ص َل َوقَ ْد‬ ُ ‫ض‬
َ ‫ط ِر ْرت ُ ْم َما ِإ َّل‬ ْ ‫ِإلَ ْي ِه ا‬
“Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-
nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS. Al-
An’am:119)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang
haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar
tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua
yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada
makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi
mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan

30
hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan
tahsiniah. Karena itu terdapat kaidah:
“Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakruhan bagi kebutuhan.”
(Abdul Hamid Hakim, 1956:81)
“Apa yang diperbolehkan karena darurat maka diukur menurut kadar
kemudlaratannya.” (as-Suyuthi, TT: 60)
Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari
Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat
yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada
empat, ialah:
a) Dirnya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat
membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya.
b) Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya.
Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah
berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya.
c) Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan
perbuatan pelanggaran / kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan
menempuh perbuatan yang mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang
masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan
makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian.
d) Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja
(seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah
untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan
ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu
dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a) Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan
sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak
kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka
mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala
yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang
telanjang, dan sebagainya.

31
b) Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini
tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu
berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan
makanan haram.
c) Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang
layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya
hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok seprti
beras, ikan, sayur-mayur, lauk pauk, dan sebagainya.
d) Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih-lebihan,
yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi
semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala
kemungkinan yang mendatangkan kerusakan (Wahbah az-Zuhali, 1982: 246
– 247)
Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika
perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain
dianggap najis, dan sebagainya.
Kaidah kedua: “Kemudharatn yang terjadi tidak dapat dianggap telah
lama terjadinya”.
Kaidah ini adalah membatasi kaidah:
“Yang telah ada dari Tuhan tidak ditinggalkan atas kedahulunya”
Yakni bahwa manfaat dan kegunaan yang dihargai adalah yang tidak
terdapat kemudharatan yang dilarang oleh syara’ yang apabila demikian
halnya, haruslah kemudharatan itu dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan,
berdasarkan telah ada sejak dulu.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh, bahwa dibolehkan seorang guru
yang berpenyakit darah tinggi untuk tidak mengajar, sebab meskipun dengan
mengajar itu ada manfaat, namun disitu terdapat kemudharatan, baik terhadap
murid maupun terhadap guru itu sendiri, seperti apabila guru itu baru naik
darah kemudian memukul muridnya, demikian pula dapat menimbulkan
bahaya yang lebih besar gi si guru, misalnya karena mengajar itu, kambuh
penyakitnya yang mengakibatkan kematian. Lantaran ini tidak bisa dibantah

32
dengan alasan, bahwa sejak semula guru itu telah mengajar dan member
manfaat kepada murid-muridnya.
Kaidah ketiga: “Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan
hanya sekedar kedaruratannya”.
Dimana kebolehan tersebut hanya sekedar untuk menghilangkan
kemudharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemudharatan atau suatu
keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang
didasarkan atas kemudharatan ini menjadi hilang pula, artinya perbuatan itu
kembali ke-asal mulanya yakni telah dilarang.
Ringkasnya, bahwa darurat itu merupakan suatu keadaan yang
dikecualikan. Maka kebolehan yang diberikan itu tentulah tidak mutlak, tetapi
harus diukur dengan kadar yang diperlukan saja. Umpamanya bila boleh
mencuri sepotong roti karena lapar, maka tidaklah boleh dia mencuri sekarung
tepung. Maka karenanyalah orang yang makan bangkai karena lapar
dibolehkan sekedar untuk perlu mempertahankan jiwa. Sedangkan Imam Malik
membolehkan si yang lapar itu makan sampai kenyang bahkan boleh dijadikan
bekalnya sampai dia menemukan yang lain.
Contoh lain, apabila seorang yang dalam keadaan kelaparan hanya
diperkenankan makan daging binatang yang tanpa disembelih atau binatang
yang diharamkan hanya sekedar menutup kelaparannya belaka, tidak boleh
sampai berlebih-lebihan dan terus menerus. Sebab pada saat ia sudah kenyang
pada saat itulah keadaan menjadi normal baginya dan karenanya alasan apapun
untuk menghalalkan sudah tidak ada.
Kaidah Ke-Empat: “Sesuatu yang diperbolehkan karena ‘udzur, batal
lantaran hilangnya ‘udzur.”
Kaidah ini memberika pengertian bahwa apabila kita melaksanakan
suatui perbuatan tetapi perbuiatan itu akhirnya tidak bisa dilaksanakan
disebabkan adanya ‘udzur yang menghalanginya. Maka pada saat itu kita
diperbolehkan untuk melaksanakan perbuatan yang lain sebagai pengganti
perbuatan yang tidak dapat kita laksanakan tersebut. Tetapi setelah ‘udzur
(penghalang) itu hilang maka perbuatan pengganti tersebut juga dianggap
hilang.

33
Misalnya: seseorang yang ingin berwudhu ia tidak bisa menemukan air
untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk tayamum.
Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat
tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut
dianggap batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sembahyang.
Kaidah Kelima: “Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada
menarik kemaslahatan.”
Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat
adanya manfaat atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan
(kerusakan), haruslah haruslah didahulukan menghilangkan mafsadatnya ini,
sebab kemafsadatan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan
mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu diharamkan judi,
minum-minuman yang memabukkan (Khamar). Meskipun pada keduanya
terdapat kemanfaatan, namun bahaya kerusakannya lebih besar. Sebagaimana
firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tttentang khamar dan judi,
katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
(yang sedikit) bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada
manfaatnya”.
Untuk itulah menyangatkan berkumur-kumur dan beristinyaq di waktu
wudhu adalah sunnah, tetapi bagi orang yang sedang berpuasa adalah makruh,
sebab dapat merasakan atau membatalkan puasa.
Begitu pula apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan
kemaslahatan pada perbuatan, dengan kata lain jika suatu perbuatan ditinjau
dari satu segi terlaang karena mengandung kemaslahatan, maka segi
larangannya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah
meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan,
sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Apabila akau memerintahkan kepadamu
suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang kamu
sesuatu perbuatan tinggalkanlah.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan
perintah, sedang dalam meninggalkan larangan di-isyaratkan demikian, ini

34
menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari
pada tuntutan menjalankan perintah.
Berdasarkan kaidah ini pulalah, Syeikh Muhammad Abduh berpendapat,
bahwa poligami dapat dilarang. Manakala dengan poligami itu akan
menimbulkan kerusakan. Seperti kehancuran dan berantakan nya rumah tangga
apabila seorang suami tidak mampu bersifat adil kepada istri-istrinya, yang
akhirnya dapat menelantarkan anak-anaknya.
Kaidah Keenam: “Apabila bertentangan dua mafsadat, maka
perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan dikerjakan yang lebih
ringan kepada Madhatan.”
Maksud kaidah ini, manakal pada suatu ketika datang bersamaan dua
mafsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakala antara mafsadat itu yang
lebih kecil atau lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih
besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan kerjakan yang lebih kecil atau
lebih ringan mudharatnya. Biarpun sebenarnya kemudharatan itu ringan
maupun berat harus dihindarkan. Sesuai dengan firman Tuhan dalam surat Al-
A’raf: 56, sebagai berikut:
ِ ‫ْاْل َ ْر‬
‫ض فِي ت ُ ْف ِسدُوا َو َّل‬
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-A’raf: 56)
Kaidah Ketujuh: “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum, maka
didahulukanlah yang an dilakukan waktunnya sempit dari pada yang longgar
dan dilakukan yang mengehendaki segera daripada yang boleh ditunda”.
Kaidah ini terletak pada waktu pelaksanaannya terbatas (sempit) dan
mana pula yang waktu pelaksanaannya luas, sehingga denga dipilihnya waktu
yang sesuai tersebut tidak akan membawa mudharat kepada kita.
Contoh, Apabila ada seseorang yang diwaktu bulan ramadhan bernadzar akan
puasa, haruslah puasa bulan ramadhan dikerjakan bulan ramadhan tersebut.
Kaidah Kedelapan: “Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan
kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih kuat diantara
keduanya”
Contoh, Bahwa bohong itu adalah sifat tercela lagi berdosa. Tetpi apabila
bohong tersebut dilakukan bertujuan untuk mendamaikan pertengkaran antar

35
seseorang dengan kawan-kawannya atau antara suami dan istri, maka
diperbolehkannya.
Kaidah Kesembilan: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak
orang lain”
Misalnya, seseorang yang dalam kelaparan, dan dia akan mati jika ia
tidak makan, maka jalan satu-satunya dalah mencuri . karena tindakannya ini
maka ia wajib mengembalikan atau mengganti makanan orang lain yang telah
dimakannya.
Kaidah Kesepuluh: “Apabila saling bertentangan ketentuan hukum
yang mencegah dengan yang dikehendaki pelaksanaan sustu perbuatan,
niscaya didahulukan yang mencegahnya”.
Sebagai contoh :dalam suatu sengketa yang terjadi karena seorang
menjual suatu benda yang disewakan tanpa seizing penyewa yang oleh
karenanya jual beli ini hanya berlaku pada pihak penjual dan pembeli saja,
tidak dapat berlaku pada pihak penyewa, artinya pembeli tidak boleh minta
begitu saja agar penyewa menyerahkan benda tersebut, sebelum habis masa
sewanya.
Kaidah Kesebelas: “Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat
baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.”
Menurut kaidah ini kejahatan yang mendesak dapat disamakan dengan
keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan tersebut bersifat umum.
Kaidah Ke-Dua belas: “Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan
dengan mengerjakan kemudaharatan yang lebih ringan”
Seperti wajibnya si kaya untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada
sifakir, sebab pada hakikatnya kemadlaratan yang dijumpai oleh sikaya dengan
menafkahkan sebagian hatanya, lebih ringan daripada si fakir yang tidak
mempunyai sama sekali.
Kaidah Ke-Tiga Belas: ”Kemadlaratan tidak boleh dihilangkan dengan
kemadlaratan yang sebanding”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan yang membawa
kemadlaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan suatu perbuatan yang

36
mendatang kemdlaratan lain yang sebanding. Sebab apabila demikian halnya,
maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia belaka.
Contoh, bahwa tidak boleh bagi seseorang yang sedang dalam kelaparan
mengambil makanan orang lain yang juga akan mati kelaparan, apabila
makananyna hilang. Begitu pula, bagi seorang dokter dilarang mengobati
pasien yang memerlukan darah, dengan mengambil darah orang lain yang
apabila diambil darahnya akan mengalami kekurangan darah.
Kaidah Ke-Empat belas: “Kemudlaratan itu tidak dapat dihilangkan
dengan kemdlaratan yang lain”.
Kaidah ini sebenernya mempunyai kesamaan dengan kaidah diatas, yaitu
sama-samna keduanya adalah menunjukkan adanya larangan menghindarkan
kemadlaratan yang satu tapiu mendatangkan kemadlaratan yang lainnya.
Dari kaidah ini dapat diambil sebuah contoh dua orang yang terapung-
apung di atas lautan akibat kapal yang ditumpanginyya pecah. Salah satu dari
mereka mendapatkan sekeping papan untuk mengapung di atas air sekedar
bertahan sampai ada tim penolong datang. Tetapi juga kawanya uang juga ingin
sekali menyelamatkan jiwanya dari bahaya maut merebut papan tersebut dank
arena papan itu tidak dapat menampung dua orang ia hatrus mengorbanka
kawanya yang sudah berada di atas papan. Maka tindakan orang yang merebut
karana darurat terhadap sesuatu yang dianggap darurat pula oleh kawan yang
direbutnya tidak dibenarkan oleh syari’at.
Kaidah Ke-Lima belas: ”Kemudlaratan itu harus dihindarkan sedapat
mungkin”
Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu
kemadlaratan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan uasah-usaha
perventif agar jangan terjadi suatu kemadlaratan, dengan segala daya upaya
yang mungkin dapat diusahakan. Maksud yang demikian ini sesuai dengan
maksud dalil-dalil mashlahah mursalah, yang dikenal dikalangan ulama Ushul
dan banyak digunakan fiqh Siyasah.
Dari kaidah ini dapat diambil contoh tindakan-tindakan hukum
diantaranya, yaitu tindakan Umar bin Khattab dengan membakar kedai arak,
agar jangan sampai terjadi kemadlaratan-kemadlaratan yang lebih besar.

37
Begitu juga dengan usaha Abu Bakar untuk mengadakan penulisan al-Quran
agar jangan samapai ada yang hilang atau terlupakan. Demikian pula tidakan
Usman bin Affan dalam usahanya mengumpulkan al-Quran dalam mushaf
Dalam pelayaran dengan kapal laut, di mana kapal demikian olengnya dan
besar kemjungkinan akan tenggelam apabila semua barang yang ada
didalamnya tidak dibuang kelaut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan
membuang barang kelaut meskipun tidak seizin yang empunya demi
kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam
keselamatan jiwa mereka.

2.7 Al-‘Adatu Muhakkamah


1) Pengertian Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
‫ا َ ْلعَا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
“’Adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum”
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan, adat bisa
dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari
syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Dan pada
dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh
nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama
sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus
berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu
masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa
dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai.
Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adah (adat atau
kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya. Dan Islam dalam berbagai
ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen
yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan
sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.
Secara bahasa, al-'adah diambil dari kata al-'awud ( ‫ ) العود‬atau al-
mu'awadah ( ‫ )المؤدة‬yang artinya berulang ( ‫) التكرار‬. Oleh karena itu, tiap-
tiap sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan

38
sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum
dinamakan adat.
Adapun definisi al-'adah menurut Ibnu Nuzhaim adalah: “Sesuatu
ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-
ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.
Dalam pengertian dan subtansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-
'adah, yaitu al-'urf, yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan,
perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.sedangkan al-‘urf secara
istilah yaitu: “'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-
ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum".
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi
rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja
hijau. Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat
islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan,
selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara khusus melarang
adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum,
sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja,
karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Tidak bertentangan dengan syari'at.
b) Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
c) Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
d) Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
e) Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
2) Dasar Hukum Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
ِ ‫َوأْ ُم ْر ِبا ْلعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
َ‫ض ع َِن ا ْل َجا ِه ِلين‬

39
“Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah
dari orang-orang bodoh”.(QS. Al-A’raf: 199).
ِ ‫ش ُروهُنَّ ِبا ْل َم ْع ُر‬
‫وف‬ ِ ‫َوعَا‬
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
ِ‫س ْيئ اا فَ ُه َو ِع ْن َدهللا‬
َ َ‫س ِل ُم ْون‬ َ ‫سناا فَ ُه َو ِع ْن َد هللاِ َح‬
ْ ‫سن َو َما َر َءاهُ ال ُم‬ ْ ‫َما َر َءاهُ اْل ُم‬
َ ‫س ِل ُم ْونَ َح‬
‫س ْيء‬
َ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut
Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar,
Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
3) Cabang Kaidah Al-‘Adah Al-Muhakkamah
a) “Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syaratkan
dengan suatu syarat”.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya
ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas
dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal (masyhur) secara ‘urf (adat)
dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati posisi
(hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan (disebutkan
dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad
(tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan
(dihukumi) ada, sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam
sebuah akad haruslah ada atau dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu
yang makruf atau masyhur itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah
yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang
bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran.
Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat
yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia
bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu
atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran. Contoh
selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas, hukumnya

40
tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan
masyarakat , maka ulama membolehkannya.
b) “Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat
di antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih
mengkhususkan adat atau ‘urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang
saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya dengan
kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah segala
sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang,
maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti
sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu
tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan. Namun
aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama
pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli,
selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini yaitu, transaksi jual beli batu bata,
bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah
pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya
angkutan ke lokasi pembeli.
Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah
menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos)
pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggungjawab
penjual.
Sedangkan contoh aplikasi kaidah ini, diantara sesama pedagang
adalah misalnya seorang pedagang kehabisan satu jenis barang
dagangannya, padahal saat itu ada pembeli yang membutuhkan, maka
biasanya pedagang itu akan mengambil (membeli) barang tersebut dari
temannya sesama pedagang. Lalu apakah pedagang itu membeli dari

41
temannya dengan harga pokok (harga kulakan) saja atau dengan harga
laba yang dibagi dua antara dia dan temannya? Maka hal ini harus
dikembalikan kepada kebiasaan yang terdapat diantara mereka, sehingga
jika memang adatnya hanya dengan harga pokok, maka dia boleh
membayar harga pokoknya saja, walaupun saat ini membeli tidak
menyebutkan berapa harga barang tersebut.[8]
c) “Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama halnya dengan yang
sudah tetap berdasarkan nash”.
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda,
namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan)
diganti dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-
‘urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan
kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek
legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada adat
(tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas
hukumnya dengan nash syariat.
Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu sama seperti
ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada
alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika telah diputuskan
hakim dalam sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau
seperti dengan kaidah Tasbitu al-Ma’ruf berikut:
d) “Yang ditetapkan oleh (adat) ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh
nash”.
Contoh dari kaidah ini yaitu dalam adat minangkabau tentang
hubungan kekerabatan, yaitu matrilenial, artinya: keturunan itu hanya
dihitung menurut gasis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami
dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal).
Sekalipun demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh
suami. Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan
dengan nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Contoh lainnya dalam
kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah
memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak

42
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya,
begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.

43
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-
hari ragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan
keluar terhadap jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara
umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan
yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat
membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul
ditengah-tengah kehidupan.
Berdasarkan kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha keyakinan dan keraguan
merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan.
Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung
lemah-kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain. Dalil ‘aqli (akal) bagi
kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat daripada
keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’I yang meyakinkan.
Atas dasar pertimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh
dirusak oleh keraguan.
Berdasarkan kaidah Al-umuru bimaqashidiha yang mempunyai landasan
Alquran dan Sunnah, maka sudah sepatutnya kita aplikasikan di kehidupan
sehari hari baik muamalah maupun ibadah. Dengan berbagai kaidah cabangnya
sangat jelas bahwa segala sesuatu perbuatan yang kita kerjakan hendaknya
dilakukan dengan niat, karena niat menjadi hal yang paling fundamental yang
berada dalam diri manusia, agar perbuatan kita dapat berjalan dengan lancar
dan di kehendaki oleh Allah SWT.
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/‫ٍالمشقهٍتﺠلﺐٍالتيسير‬ialah kaidah yang
bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan ataukesulitan
mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah
meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu
menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran.
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/‫ٍالمشقه ٍتﺠلﺐ ٍالتيسير‬menunjukkan

44
fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan
yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu
menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan
menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada
bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat
berdasarkan kaidah fiqih.
Berdasarkan kaidah Ad-Dhorurotu Yuzalu dapat diambil kesimpulan
bahwa kaidah ini membahas tentang kemudharatan harus dihilangkan.
Kemudharatan itu harus dihilangkan adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan
dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan behwa berbuat
kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Adapun yang berkaitan
dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan ini menimpa seseorang, keduanya
menjadi lain. bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari keimanan terhadap
qadha dan qadarnya Allah AWT.
Berdasarkan kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah dapat disimpulkan bahwa
adat kebiasaan suatu masyarakat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari
hukum islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum islam.
Hukum islam menerima adat yang baik (al-shahihah) selama adat tersebut
membawa maslahat untuk di terapkan.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan
waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk
berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu
berubah.

45
DAFTAR PUSTAKA

http://www.academia.edu/7371782/BAB_I_PENDAHULUAN_I._Latar_Belakang_Masala
h_Qawaidul_fiqhiyah
https://muamalatku.com/arti-qawaid-fiqhiyah/

https://www.slideshare.net/dodykstylee/kaidah-cabang-al-umuru-bi-maqasidiha
https://tafsirq.com/98-al-bayyinah/ayat-5
https://www.slideshare.net/ailifpardianzyah/makalah-al-yakin-la-yuzalu-bi-syak
https://id.scribd.com/doc/144955664/Ushul-Fiqh-al-masyaqqah-at-tajlib-at-taysir
http://www.academia.edu/34766085/Al-
_Adah_Muhakkamah_Implikasi_Dan_Aplikasinya_Dalam_Istinbat_Hukum_Di_Indonesia

46

Anda mungkin juga menyukai