DISUSUN OLEH :
MASNA (19.2500.047)
Banyak sekali kekurangan penulis dalam menyusun makalah ini baik menyangkut isi
atau yang lainnya, mudah-mudahan semua itu dapat menjadi suatu pembelajaran bagi penulis
agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................v
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................v
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................vi
C. TUJUAN........................................................................................................................vi
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................1
A. KESIMPULAN.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................vii
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145. H. 128
v
B. RUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini ialah :
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini, ialah sebagai
berikut :
vi
BAB II PEMBAHASAN
Kaidah ini merupakan kaidah asasiyyah yang pertama, dimana kaidah ini
menjelaskan mengenai niat. Makna dari qa`idah ini adalah bahwa hukum yang menjadi
konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
dari perkara tersebut. Maksudnya ialah bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu
perkara adalah hal yang haram meskipun tampaknya baik maka hukum perkara tersebut
haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah
baik meskipun kelihatan biasa-biasa saja maka hukum perkara tersebut adalah halal.2
Hakikat dari kaidah fiqh yang pertama secara kebahasaan terdiri dari lafad األمور
merupakan bentuk jama' dari lafad األمرyang bermakna “perbuatan” atau “tingkah”, baik
perintah berbuat atau berucap. Karena di dalam kaidah itu berbentuk jama’, maka yang
dimaksud adalah perbuatan dalam arti gerakan anggota tubuh dan juga perkataan
sehingga menunjuk terhadap perbuatan empirik.3
2
Dr. H. Toha Andiko, M. A. (2011). ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis Dalam Merespon
Problematika Hukum Islam Komtemporer (Zubaedi (ed.); 1st ed.). Penerbit Teras.
3
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145. h. 128-129
4
Ibid
1
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan
niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya.5
Dalam perbuatan ibadah, yaitu amal perbuatan dalam hubungannya dengan Allah,
niat (karena dan untuk Allah) adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau
tidaknya sesuatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang ada hubungannya dengan
sesama makhluk seperti muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Niat merupakan
menjadi penentu apakah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah, sehingga
merupakan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah atau bukan ibadah.6
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi. Pertama adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau
pekerjaan tersebut harus sesuai dengan disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh
Rasul-Nya. Ketiga adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah.7
Sementara tujuan dari kaidah tersebut, menurut Ali Ahmad al-Nadwi adalah
untuk menjelaskan semua tindakan dan amal perbuatan manusia yang satu sama lainnya
memiliki hukum yang berbeda-beda, karena perebedaan maksud dari setiap orang dalam
melakukan perbuatannya. Dengan demikian, titik tekan dari kaidah yang pertama adalah
tujuan, niat atau motivasi seseorang dalam berbuat sehingga berimplikasi pada status
hukumnya.8
Para ulama fiqh memandang kaidah fiqh yang pertama tersebut juga sebagai
kaidah yang otentik karena didasarkan kepada nash yang kokoh. Imad ‘Ali Jum‘ah
meletakkan Q.s. al-Nisa’: 100 dan hadits ال انماXXات األعمXX بالنيsebagai dasar kaidah yang
pertama. Ia memandang bahwa kedua dalil ini sebagai suatu dasar kaidah yang menunjuk
kepada perbuatan nyata dari manusia dan memiliki implikasi yuridis. Tetapi Ibnu Katsir
5
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.
6
Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha”, diakses dari http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
7
KitabKuning90, “Makalah Kaidah al-umur bi maqashidiha Qawaid Fiqhiyah” diakses dari
https://kitabkuning90.blogspot.com/2019/10/makalah-kaidah-al-umur-bi-maqashidiha.html?m=1, pada
tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
8
Muhaki, Loc.Cit. H. 129
2
menafsirkannya sebagai ayat yang menunjuk kepada pentingnya berlaku ikhlas dalam
suatu tujuan dan perbuatan.9
Beberapa keterangan di atas menunjukkan betapa pentingnya posisi niat dalam hal
berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sehingga berimplikasi pada status hukumnya. Hal ini
dapat kita ketahui dari kecenderungan ulama klasik. Sebagaimana madzhab Shafi‘i, yang
memandang niat sebagai syarat sahnya setiap pekerjaan manusia. Tegasnya, setiap
perbuatan manusia harus disertai dengan niat, karena seluruh ibadah membutuhkan niat,
tanpa niat perbuatan yang tanpak seperti ibadah itu tidak sah sebagai ibadah. Dan tempat
niat di dalam hati dan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.10
ِّ َ
صي َْن ل ُه الدي َْن ۙە هّٰللا
ِ َِو َمٓا ا ُ ِمر ُْٓوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا َ مُخل
ْ
ُالز ٰكو َة َو ٰذلِ َك ِديْن
َّ ُح َن َف ۤا َء َو ُي ِق ْيمُوا الص َّٰلو َة َوي ُْؤ ُتوا
ْال َق ِّي َم ۗ ِة
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”11
2. Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 145
9
Ibid
10
Muhaki, Op.Cit, h.130
11
Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. In A. Hadi (Ed.), Journal of Chemical Information and
Modeling (1st ed.). Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. H.44
3
َ اب ال ُّد ْن َيا ُن ْؤتِهٖ ِم ْن َه ۚا َو َمنْ ي ُِّر ْد َث َو
اب َ َو َمنْ ي ُِّر ْد َث َو
ااْل ٰ ِخ َر ِة ُن ْؤتِهٖ ِم ْن َها ۗ َو َس َنجْ ِزى ال ٰ ّش ِك ِري َْن
Artinya : “Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala (dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.”12
3. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 225
4
Artinya : “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat.”14
5. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:
ُ سم ِْع
ت َ : َ ب َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقال ِ ص ُع َم َر ْب ِن ا ْل َخ َّطا ٍ َعنْ أَ ِم ْي ِر ا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْينَ أَ ِب ْي َح ْف
ئ َما ِ إِ َّن َما ْاألَ ْع َمال ُ ِبال ِّن َّيا: ُ هللا صلى هللا عليه وسلم َيقُ ْول
ٍ ت َوإِ َّن َما لِ ُكل ِّ ا ْم ِر ِ َ س ْول ُ َر
َو َمنْ َكا َن ْت،ِس ْولِه ِ س ْولِ ِه َف ِه ْج َر ُت ُه إِ َلى
ُ هللا َو َر ِ َف َمنْ َكا َن ْت ه ِْج َر ُت ُه إِ َلى. َن َوى
ُ هللا َو َر
رواه إماما. )َِاج َر إِ َل ْيهَ ام َرأَ ٍة َي ْن ِك ُح َها َف ِه ْج َر ُت ُه إِ َلى َما ه
ْ ه ِْج َر ُت ُه لِ ُد ْن َيا ُيصِ ْي ُب َها أَ ْو
;المحدثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة
البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري; النيسابوري في
;صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu,
dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap
perbuatan itu (tergantung) niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.15
6. Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda:
14
Azhari, F. Op.Cit. h.45
15
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.
16
Azhari, F. Op.Cit. h.50
5
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong
dari niat)”.17
3. مايجب التعرض له وال يشترط تعيينه تفصيال إذا عينه فأخطأ ضر
17
Prof. Dr. Said Aqil al-Munawwar, M. (2019). Qawa’Id Fiqhiyyah Asasiyyah. 13200101010016, 1–11.
18
Dr. H. Toha Andiko, M. A. Op.Cit. h.64
19
Ibid h.65
6
”Suatu amal yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak
disyaratkan dijelaskan secara rinci, jika kemudian disebutkan secara terperinci
dan ternyata salah, maka membatalkan perbuatannya.”
Misalnya, niat bermakmum pada Zaid, ternyata yang jadi imam adalah
Umar, maka shalatnya menjadi batal. Menyebutkan jumlah rakaat dalam shalat
adalah suatu hal yang tidak wajib, karena itu, jika shalat zhuhur diucapkan (dalam
niat) tiga atau lima rakaat, maka menurut sebagian ulama tidak sah shalatnya.
Begitu juga, niat men-shalati mayit dengan menyebutkan nama Zaid, ternyata
mayitnya adalah Umar, Atau diniati men-shalati mayit wanita, ternyata mayitnya
lelaki, maka tidah sah shalatnya.20
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud
si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai suatu
akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat
diketahui.
20
Ibid h.65-66
21
Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha”, diakses dari http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
7
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum
selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba
kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin
hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan
dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.22
22
Ibid
23
Ibid
8
Contoh : dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam hati
kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat
diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-
jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.24
Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib
membayar dam.
Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan
satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini
lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya
setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan
dengan niat tersendiri.25
24
Ibid
25
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.
9
9. مقاصد اللفظ على نية الالفظ اال فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى
فانهاعلى نية; القاضى
(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan
qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi".
(niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz
yang kḣas). Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang
yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan
manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu Umar,
maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula
pada orang yang menerima minuman dari orang lain. Lalu orang yang menerima
26
Ibid
27
Ibid
10
minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan
untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia
menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan dirinya.28
Para yuris klasik memberikan gambaran tentang penerapan kaidah yang pertama
pada beberapa kasus fiqh, seperti pada persoalan memungut barang temuan untuk
mengamankannya. Ia tidak menanggung kerusakan dengan bertambah atau berkurangnya
barang temuan tersebut, jika tujuan dia mengambilnya untuk menjaganya dan akan
mengembalikan kepada pemiliknya. Dihukumi ghashab dan dia harus menanggung
kerusakannya jika dia memungut barang temuan tersebut dengan maksud untuk
memilikinya.
Begitu juga dalam akad jual beli dengan mengunakan fi‘il mudhari dengan
maksud zaman hal bukan istiqbal, seperti perkataan ““ )بكذا فرسي أبيعك البائعaku jual kudaku
padamu dengan harga sekian)” kemudian si mukhatab menerimanya maka akadnya jadi,
akan tetapi apabila yang dimaksud fi‘il mudhari mustaqbal maka akadnya tidak jadi.
Selain itu Imad Ali Jum’ah memberikan contoh mengenai penerapan kaidah yang
pertama pada masalah berburu. Jika sipemburu mengangkat jaringnya dengan tujuan
untuk mengeringkannya atau membereskannya kemudain ada se-ekor burung nyangkut,
maka burung itu bagi orang yang menemukannya, akan tetapi jika si pemburu
mengangkat jaringnya dengan tujuan berburu, maka burung tersebut untuk yang punya
jaring jika orang lain mengambilnya hukumnya ghashab.
Pada konteks penerapan kaidah yang pertama, menurut para ahli juga memiliki
pengecualian-pengecualian (mustasnayat), khususnya pada tindakan-tindakan yang sudah
tidak multi-tafsir. Pada konteks perbuatan yang tidak multi tafsir, kaidah yang pertama
dianggap tidak berlaku. ‘Imad ‘Ali Jum‘ah mengklasifikasi mustasnayat dari kaidah yang
pertama ini, menjadi tiga: Pertama, bahwa niat tidak membutuhkan niat. Kedua, Bukan
28
Ibid
11
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan menyerupai yang lain, maka tidak disyaratkan
niat, seperti iman, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir. Ketiga, Mencuci wadah dari
kotoran anjing tidak perlu niat, akan tetapi cukup dengan membersihkannya, sesuai
dengan kaidah maayaf-‘aluhuu fi ghairihii falaa yahtaju ilaa niat. Niat saja tanpa disertai
perbuatan nyata maka tidak dihukumi, seperti lelaki berniat mentalaq istrinya, maka
talaqnya tidak jatuh.29
29
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145.
12
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
هّٰللا
ص ٰلو َة
َّ َو َمٓا ا ُ ِم ُر ْٓوا ِااَّل لِ َي ْع ُبدُوا َ ُم ْخلِصِ ْينَ َل ُه الدِّ ْينَ ەۙ ُح َن َف ۤا َء َو ُيقِ ْي ُموا ال
الز ٰكو َة َو ٰذلِ َك ِد ْينُ ا ْل َق ِّي َم ۗ ِة
َّ َو ُي ْؤ ُتوا
b. Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda:
13
”Sesuatu yang tidak diwajibkan untuk dijelaskan, baik secara global
maupun secara terperinci, apabila dijelaskan, dan ternyata penjelasannya
salah, maka kesalahan tersebut tidak berakibat hukum apa-apa (tidak
membatalkan).”
c. مايجب التعرض له وال يشترط تعيينه تفصيال إذا عينه فأخطأ ضر
”Suatu amal yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak
disyaratkan dijelaskan secara rinci, jika kemudian disebutkan secara
terperinci dan ternyata salah, maka membatalkan perbuatannya.”
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”
14
(setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
'umrah). Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
i. مقاصد اللفظ على نية الالفظ اال فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى
نية القاضى
(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di
hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut
niat qadi".
j. مبنية على األلفاظ والمقاصد األيمان
(sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus untuk
sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi
Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya.)
4. Para yuris klasik memberikan gambaran tentang penerapan kaidah yang pertama
pada beberapa kasus fiqh, seperti pada persoalan memungut barang temuan untuk
mengamankannya. Ia tidak menanggung kerusakan dengan bertambah atau
berkurangnya barang temuan tersebut, jika tujuan dia mengambilnya untuk
menjaganya dan akan mengembalikan kepada pemiliknya. Dihukumi ghashab dan
dia harus menanggung kerusakannya jika dia memungut barang temuan tersebut
dengan maksud untuk memilikinya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Toha Andiko, M. A. (2011). ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis Dalam
Merespon Problematika Hukum Islam Komtemporer (Zubaedi (ed.); 1st ed.). Penerbit
Teras.
Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, 2016, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru
Bi Maqashidiha”, http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, diakses pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
Prof. Dr. Said Aqil al-Munawwar, M. (2019). Qawa’Id Fiqhiyyah Asasiyyah. 13200101010016,
1–11. https://doi.org/10.31219/osf.io/24txd
vii