Anda di halaman 1dari 21

KAIDAH FIQIH KUBRA : AL-UMURU BIMAQASHIDIHA

(SEGALA SESUATU TERGANTUNG NIATNYA)

DOSEN PENGAMPU : H. ISLAMUL HAQ

DISUSUN OLEH :

MASNA (19.2500.047)

ADIL WIJAYA (19.2500.072)

AHMAD FAUZAN DHOIFULLAH (19.2500.054)

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT. Kepadanya kita memuji dan bersyukur,
memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon perlindungan dari
keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan kebatilan. Shalawat serta salam
semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, juga pada orang-
orang yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya.

Dengan rahmat dan pertolongan-Nya alhamdulillah makalah yang berjudul “KAIDAH


FIQIH KUBRA : AL-UMURU BIMAQASHIDIHA (SEGALA SESUATU TERGANTUNG
NIATNYA)” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Banyak sekali kekurangan penulis dalam menyusun makalah ini baik menyangkut isi
atau yang lainnya, mudah-mudahan semua itu dapat menjadi suatu pembelajaran bagi penulis
agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan datang.

Parepare, 26 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................v

A. LATAR BELAKANG....................................................................................................v

B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................vi

C. TUJUAN........................................................................................................................vi

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................1

A. Makna dari Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha...............................................................1

B. Landasan/Dalil dari Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha..................................................3

C. Cabang-Cabang Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha........................................................6

D. Penerapan Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha...............................................................11

BAB III PENUTUP...................................................................................................................13

A. KESIMPULAN.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................vii

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ulama-ulama fiqh menggunakan suatu kaidah untuk mengetahui hukum,


memelihara, mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta berbagai permasalahan
hukum kedalam hukum yang bersifat umum. Di dalam sistematika kaidah fiqh yang
dianggap sebagai kaidah utama ialah ‫بمقاصدها األمور‬/ Al-Umuru Bimaqashidiha (Semua
perkara/perbuatan tergantung pada tujuan/niatnya). 1 Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha
merupakan salah satu dari 5 kaedah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam dalam
Qawa’id Fiqhiyyah.

Dengan kita menguasai kaidah-kaidah fiqh, kita mampu mengetahui serta


menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu merupakan acuan dari masalah-masalah
fiqh, dan lebih memahami di dalam menerapkan fiqh pada waktu dan tempat yang
berbeda dalam menangani suatu kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu
juga, pada masa sekarang kaidah fiqh dapat digunakan di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dimana kaidah fiqh mampu memudahkan
dalam mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat saat ini.

Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha ini adalah menegaskan bahwa setiap amal


perbuatan baik yang menyangkut hubugan manusia dengan Allah maupun hubungan
dengan sesama manusia. Landasan dari kaidah fikih ini adalah Al-qur’an dan sejumlah
hadis. Oleh karena itu, di dalam makalah ini membahas bagaimana kita bisa mengetahui
serta memahami kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha.

1
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145. H. 128

v
B. RUMUSAN MASALAH

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini ialah :

1. Apa makna dari kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha?


2. Apa saja landasan/dalil dari kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha?
3. Apa saja cabang-cabang kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha?
4. Bagaimana penerapan kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha?

C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini, ialah sebagai
berikut :

1. Mengetahui serta memahami makna dari kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha.


2. Mengetahui landasan/dalil dari kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha.
3. Mengetahui cabang-cabang kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha.
4. Mengetahui serta memahami penerapan kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha.

vi
BAB II PEMBAHASAN

A. Makna dari Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha

Kaidah ini merupakan kaidah asasiyyah yang pertama, dimana kaidah ini
menjelaskan mengenai niat. Makna dari qa`idah ini adalah bahwa hukum yang menjadi
konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
dari perkara tersebut. Maksudnya ialah bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu
perkara adalah hal yang haram meskipun tampaknya baik maka hukum perkara tersebut
haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah
baik meskipun kelihatan biasa-biasa saja maka hukum perkara tersebut adalah halal.2

Hakikat dari kaidah fiqh yang pertama secara kebahasaan terdiri dari lafad ‫األمور‬
merupakan bentuk jama' dari lafad ‫ األمر‬yang bermakna “perbuatan” atau “tingkah”, baik
perintah berbuat atau berucap. Karena di dalam kaidah itu berbentuk jama’, maka yang
dimaksud adalah perbuatan dalam arti gerakan anggota tubuh dan juga perkataan
sehingga menunjuk terhadap perbuatan empirik.3

Menurut Muhammad Azam, lafad “amr” di dalam kaidah yang pertama


menunjukkan arti yang umum dan luas, mencakup semua amal perbuatan yang bersifat
duniawi dan sekaligus ukhrawi. Begitupun dengan lafad “maqaashidihaa” juga
menunjukkan keumumannya, karena suatu tujuan dari sebuah amal perbuatan dapat
menyangkut sesuatu yang dapat diharapkan pahalanya dan yang tidak didapatkan
pahalanya.4

Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa semua urusan


harus sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫ور بمقـاصدها‬XX‫األم‬ (“segala
perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan kualitas

2
Dr. H. Toha Andiko, M. A. (2011). ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis Dalam Merespon
Problematika Hukum Islam Komtemporer (Zubaedi (ed.); 1st ed.). Penerbit Teras.
3
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145. h. 128-129
4
Ibid

1
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan
niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya.5

Dalam perbuatan ibadah, yaitu amal perbuatan dalam hubungannya dengan Allah,
niat (karena dan untuk Allah) adalah merupakan rukun, sehingga menentukan sah atau
tidaknya sesuatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang ada hubungannya dengan
sesama makhluk seperti muamalah, munakahah, jinayah dan sebagainya. Niat merupakan
menjadi penentu apakah perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah, sehingga
merupakan perbuatan mendekatkan diri kepada Allah atau bukan ibadah.6

Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi. Pertama adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau
pekerjaan tersebut harus sesuai dengan disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh
Rasul-Nya. Ketiga adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah.7

Sementara tujuan dari kaidah tersebut, menurut Ali Ahmad al-Nadwi adalah
untuk menjelaskan semua tindakan dan amal perbuatan manusia yang satu sama lainnya
memiliki hukum yang berbeda-beda, karena perebedaan maksud dari setiap orang dalam
melakukan perbuatannya. Dengan demikian, titik tekan dari kaidah yang pertama adalah
tujuan, niat atau motivasi seseorang dalam berbuat sehingga berimplikasi pada status
hukumnya.8

Para ulama fiqh memandang kaidah fiqh yang pertama tersebut juga sebagai
kaidah yang otentik karena didasarkan kepada nash yang kokoh. Imad ‘Ali Jum‘ah
meletakkan Q.s. al-Nisa’: 100 dan hadits ‫ال انما‬XX‫ات األعم‬XX‫ بالني‬sebagai dasar kaidah yang
pertama. Ia memandang bahwa kedua dalil ini sebagai suatu dasar kaidah yang menunjuk
kepada perbuatan nyata dari manusia dan memiliki implikasi yuridis. Tetapi Ibnu Katsir
5
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.
6
Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha”, diakses dari http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
7
KitabKuning90, “Makalah Kaidah al-umur bi maqashidiha Qawaid Fiqhiyah” diakses dari
https://kitabkuning90.blogspot.com/2019/10/makalah-kaidah-al-umur-bi-maqashidiha.html?m=1, pada
tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.
8
Muhaki, Loc.Cit. H. 129

2
menafsirkannya sebagai ayat yang menunjuk kepada pentingnya berlaku ikhlas dalam
suatu tujuan dan perbuatan.9

Beberapa keterangan di atas menunjukkan betapa pentingnya posisi niat dalam hal
berbuat atau tidak berbuat sesuatu, sehingga berimplikasi pada status hukumnya. Hal ini
dapat kita ketahui dari kecenderungan ulama klasik. Sebagaimana madzhab Shafi‘i, yang
memandang niat sebagai syarat sahnya setiap pekerjaan manusia. Tegasnya, setiap
perbuatan manusia harus disertai dengan niat, karena seluruh ibadah membutuhkan niat,
tanpa niat perbuatan yang tanpak seperti ibadah itu tidak sah sebagai ibadah. Dan tempat
niat di dalam hati dan berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.10

B. Landasan/Dalil dari Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha

Adapun landasaan/dalil dari kaidah Al-umuru Bimaqashiddiha, antara lain :

1. Al-Qur’an surat Al-Bayyinah ayat 5

ِّ َ
‫صي َْن ل ُه الدي َْن ۙە‬ ‫هّٰللا‬
ِ ِ‫َو َمٓا ا ُ ِمر ُْٓوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا َ مُخل‬
ْ
ُ‫الز ٰكو َة َو ٰذلِ َك ِديْن‬
َّ ‫ُح َن َف ۤا َء َو ُي ِق ْيمُوا الص َّٰلو َة َوي ُْؤ ُتوا‬
‫ْال َق ِّي َم ۗ ِة‬
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”11
2. Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 145

9
Ibid
10
Muhaki, Op.Cit, h.130
11
Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. In A. Hadi (Ed.), Journal of Chemical Information and
Modeling (1st ed.). Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) Banjarmasin. H.44

3
َ ‫اب ال ُّد ْن َيا ُن ْؤتِهٖ ِم ْن َه ۚا َو َمنْ ي ُِّر ْد َث َو‬
‫اب‬ َ ‫َو َمنْ ي ُِّر ْد َث َو‬
‫ااْل ٰ ِخ َر ِة ُن ْؤتِهٖ ِم ْن َها ۗ َو َس َنجْ ِزى ال ٰ ّش ِك ِري َْن‬
Artinya : “Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala (dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami
berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.”12
3. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 225

‫اَل ي َُؤا ِخ ُذ ُك ُم هّٰللا ُ ِباللَّ ْغ ِو ِف ْٓي اَ ْي َما ِن ُك ْم َو ٰل ِكنْ ي َُّؤا ِخ ُذ ُك ْم‬


‫ت قُلُ ْو ُب ُك ْم ۗ َوهّٰللا ُ َغفُ ْو ٌر َحلِ ْي ٌم‬ ْ ‫ِب َما َك َس َب‬
Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.”13
4. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 265
‫ت هّٰللا‬
ِ ِ ‫ضا‬ َ ْ‫َو َم َث ُل الَّ ِذي َْن ُي ْن ِفقُ ْو َن اَمْ َوا َل ُه ُم ا ْب ِت َغ ۤا َء َمر‬
‫صا َب َها َو ِاب ٌل‬ َ َ‫َو َت ْث ِب ْي ًتا مِّنْ اَ ْنفُ ِس ِه ْم َك َم َث ِل َج َّن ۢ ٍة ِب َرب َْو ٍة ا‬
‫ُص ْبها واب ٌل َف َط ٌّل ۗوهّٰللا‬ ِ ‫ي‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ْ‫ن‬‫ا‬ِ َ
‫ف‬ ‫ْن‬ۚ ‫ي‬ َ
‫ف‬ ْ‫ع‬‫ض‬ِ ‫ا‬ ‫ه‬ َ
‫ل‬ ُ
‫ك‬ ُ ‫ا‬ ‫ت‬ْ َ
‫ت‬ ٰ
‫ا‬ ‫َف‬
ُ َ ِ َ َ ْ ِ َ
‫ص ْي ٌر‬ِ ‫ِب َما َتعْ َملُ ْو َن َب‬
12
Prof. Dr. Said Aqil al-Munawwar, M. (2019). Qawa’Id Fiqhiyyah Asasiyyah. 13200101010016, 1–11.
13
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.

4
Artinya : “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat.”14
5. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:

ُ ‫سم ِْع‬
‫ت‬ َ : َ ‫ب َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقال‬ ِ ‫ص ُع َم َر ْب ِن ا ْل َخ َّطا‬ ٍ ‫َعنْ أَ ِم ْي ِر ا ْل ُم ْؤ ِم ِن ْينَ أَ ِب ْي َح ْف‬
‫ئ َما‬ ِ ‫ إِ َّن َما ْاألَ ْع َمال ُ ِبال ِّن َّيا‬: ُ ‫هللا صلى هللا عليه وسلم َيقُ ْول‬
ٍ ‫ت َوإِ َّن َما لِ ُكل ِّ ا ْم ِر‬ ِ َ ‫س ْول‬ ُ ‫َر‬
‫ َو َمنْ َكا َن ْت‬،ِ‫س ْولِه‬ ِ ‫س ْولِ ِه َف ِه ْج َر ُت ُه إِ َلى‬
ُ ‫هللا َو َر‬ ِ ‫ َف َمنْ َكا َن ْت ه ِْج َر ُت ُه إِ َلى‬. ‫َن َوى‬
ُ ‫هللا َو َر‬
‫رواه إماما‬. )ِ‫َاج َر إِ َل ْيه‬َ ‫ام َرأَ ٍة َي ْن ِك ُح َها َف ِه ْج َر ُت ُه إِ َلى َما ه‬
ْ ‫ه ِْج َر ُت ُه لِ ُد ْن َيا ُيصِ ْي ُب َها أَ ْو‬
;‫المحدثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة‬
‫البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري; النيسابوري في‬
;‫صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة‬
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu,
dia berkata: Saya mendengar Rasulullah  bersabda : Sesungguhnya setiap 
perbuatan itu (tergantung) niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan
dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan
bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.15
6. Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda:

‫الناس على نهياتهم ُث‬


ُ ‫َّ يب َع‬
Artinya : “Manusia dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing-masing.”16
7. Hadis riwayat Baihaqi dari Salman al-Farisi

‫ِن َية ال ُم رواه الطبرانى‬

14
Azhari, F. Op.Cit. h.45
15
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.
16
Azhari, F. Op.Cit. h.50

5
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong
dari niat)”.17

C. Cabang-Cabang Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha

Cabang-cabang kaidah al-umuru bimaqashidiha, adalah sebagai berikut :

1. ‫كل ما ال بجب التعرض له جملة وتفصيال فإذا عينه وأخطأ لم يضر‬

”Sesuatu yang tidak diwajibkan untuk dijelaskan, baik secara global


maupun secara terperinci, apabila dijelaskan, dan ternyata penjelasannya salah,
maka kesalahan tersebut tidak berakibat hukum apa-apa (tidak membatalkan).”

Sebagai contoh, menentukan waktu dan tempat dalam niat shalat,


hukumnya tidak wajib, begitu pula seorang imam tidak wajib menyebutkan
ma’mum yang ada di belakangnya, baik secara umum atau terperinci. Karena itu,
apabila ada seorang yang shalat menentukan tempat shalat dan waktunya,
kemudian ternyata salah, maka kesalahan ini tidak berakibat hukum apa-apa.
Dalam arti tidak membatalkan shalatnya. Begitu pula jika seorang imam
menentukan makmum yang shalat di belakangnya, dan ternyata salah, maka
shalatnya tidak menjadi batal.18

2. ‫ما يشترط فيه التعرض فالخطأ مبطل‬


”Suatu amal yang disyaratkan untuk dijelaskan, maka kesalahannya bisa
membatalkan perbuatannya.
Misalnya, seseorang melakukan shalat zhuhur, tapi diniati shalat ashar,
atau orang yang shalat diniati puasa, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula,
apabila seseorang berpuasa wajib tapi diniati sunat, dan shalat wajib diniati sunat,
maka shalat dan puasanya tidak sah.19

3. ‫مايجب التعرض له وال يشترط تعيينه تفصيال إذا عينه فأخطأ ضر‬
17
Prof. Dr. Said Aqil al-Munawwar, M. (2019). Qawa’Id Fiqhiyyah Asasiyyah. 13200101010016, 1–11.
18
Dr. H. Toha Andiko, M. A. Op.Cit. h.64
19
Ibid h.65

6
”Suatu amal yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak
disyaratkan dijelaskan secara rinci, jika kemudian disebutkan secara terperinci
dan ternyata salah, maka membatalkan perbuatannya.”
Misalnya, niat bermakmum pada Zaid, ternyata yang jadi imam adalah
Umar, maka shalatnya menjadi batal. Menyebutkan jumlah rakaat dalam shalat
adalah suatu hal yang tidak wajib, karena itu, jika shalat zhuhur diucapkan (dalam
niat) tiga atau lima rakaat, maka menurut sebagian ulama tidak sah shalatnya.
Begitu juga, niat men-shalati mayit dengan menyebutkan nama Zaid, ternyata
mayitnya adalah Umar, Atau diniati men-shalati mayit wanita, ternyata mayitnya
lelaki, maka tidah sah shalatnya.20

4. ‫العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬

(pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata


kata-kata dan ungkapannya).

Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud
si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai suatu
akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat
diketahui.

Contoh : apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu


selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah
hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi
merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.21

ْ َ‫ﺃﺻﻞ ٌ َﻔﻼَ ﻴَﻨْ َﺗﻘِﻞ ُ َﻋﻦْ ﺃ‬


5. ‫ﺻﻟِ ِﻪ ﺒِ ُﻣﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔ‬ ْ ‫ﻜُﻞ ﱡ َﻣﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠ ُﻪ‬
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”

20
Ibid h.65-66
21
Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru Bi
Maqashidiha”, diakses dari http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.

7
Contoh : kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum
selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba
kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin
hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan
dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.22

6. ‫ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬


“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan


perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu
ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi
mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan
niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah
dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala

Contoh : seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari


orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer,
dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat
untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia
mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya
karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah
orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan
imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka
dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan
pahala.23

ِ ‫ َﻣﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟ َﻗ ْﻟ‬ ُ‫ﺏ َﻔﺎﻟ ُﻣ ْﻌ َﺗﺒَﺮ‬


7. ‫ﺏ‬ ُ ‫ﺳﺎﻦُ ﻮَﺍﻟ َﻗ ْﻟ‬ َ ‫َﻟﻮﺍﺨْ َﺗ َﻟ‬
َ ِ‫ﻑ ﺍﻟﻟ‬

“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang


dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.

22
Ibid
23
Ibid

8
Contoh : dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam hati
kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat
diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-
jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.24

8. ‫كل مفرضين فالتجزيهنانية; واحدة اال الحج والعمرة‬  


(setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
'umrah). Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:

         Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru


mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.

         Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib
membayar dam.

         Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan
satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini
lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya
setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan
dengan niat tersendiri.25  

24
Ibid
25
Pejalan Kaki, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”, diakses dari
http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html, pada tanggal 26
september 2021 pukul 15.00.

9
9. ‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ اال فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى‬
‫فانهاعلى نية; القاضى‬

(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan
qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi".

Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar,


shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang
mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu
maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat
fardhu atau shalat sunnah.26

10.  ‫والمقاصد‬ ‫مبنية; على األلفاظ‬ ‫األيمان‬ 


(sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus untuk
sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah
saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan
pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan
tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus
benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah
SWT.27

11. ‫النية فى اليمين تخصص اللفظ العام وال تعمم الخاص‬

(niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz
yang kḣas). Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang
yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan
manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu Umar,
maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula
pada orang yang menerima minuman  dari orang lain. Lalu orang yang menerima

26
Ibid
27
Ibid

10
minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan
untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia
menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan dirinya.28

D. Penerapan Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha

Para yuris klasik memberikan gambaran tentang penerapan kaidah yang pertama
pada beberapa kasus fiqh, seperti pada persoalan memungut barang temuan untuk
mengamankannya. Ia tidak menanggung kerusakan dengan bertambah atau berkurangnya
barang temuan tersebut, jika tujuan dia mengambilnya untuk menjaganya dan akan
mengembalikan kepada pemiliknya. Dihukumi ghashab dan dia harus menanggung
kerusakannya jika dia memungut barang temuan tersebut dengan maksud untuk
memilikinya.

Begitu juga dalam akad jual beli dengan mengunakan fi‘il mudhari dengan
maksud zaman hal bukan istiqbal, seperti perkataan “‫“ )بكذا فرسي أبيعك البائع‬aku jual kudaku
padamu dengan harga sekian)” kemudian si mukhatab menerimanya maka akadnya jadi,
akan tetapi apabila yang dimaksud fi‘il mudhari mustaqbal maka akadnya tidak jadi.

Selain itu Imad Ali Jum’ah memberikan contoh mengenai penerapan kaidah yang
pertama pada masalah berburu. Jika sipemburu mengangkat jaringnya dengan tujuan
untuk mengeringkannya atau membereskannya kemudain ada se-ekor burung nyangkut,
maka burung itu bagi orang yang menemukannya, akan tetapi jika si pemburu
mengangkat jaringnya dengan tujuan berburu, maka burung tersebut untuk yang punya
jaring jika orang lain mengambilnya hukumnya ghashab.

Pada konteks penerapan kaidah yang pertama, menurut para ahli juga memiliki
pengecualian-pengecualian (mustasnayat), khususnya pada tindakan-tindakan yang sudah
tidak multi-tafsir. Pada konteks perbuatan yang tidak multi tafsir, kaidah yang pertama
dianggap tidak berlaku. ‘Imad ‘Ali Jum‘ah mengklasifikasi mustasnayat dari kaidah yang
pertama ini, menjadi tiga: Pertama, bahwa niat tidak membutuhkan niat. Kedua, Bukan

28
Ibid

11
sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan menyerupai yang lain, maka tidak disyaratkan
niat, seperti iman, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir. Ketiga, Mencuci wadah dari
kotoran anjing tidak perlu niat, akan tetapi cukup dengan membersihkannya, sesuai
dengan kaidah maayaf-‘aluhuu fi ghairihii falaa yahtaju ilaa niat. Niat saja tanpa disertai
perbuatan nyata maka tidak dihukumi, seperti lelaki berniat mentalaq istrinya, maka
talaqnya tidak jatuh.29

29
Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM KONTEMPORER. 15(2),
127–145.

12
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari pembahasan diatas, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan


ialah sebagai berikut:

1. Kaidah Al-Umuru Bimaqashidiha merupakan kaidah asasiyyah yang pertama,


dimana kaidah ini menjelaskan mengenai niat. Makna dari qa`idah ini adalah bahwa
hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan
apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut. Maksudnya ialah bila yang menjadi
tujuan atau maksud dari suatu perkara adalah hal yang haram meskipun tampaknya
baik maka hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan
atau maksud dari suatu perkara adalah baik meskipun kelihatan biasa-biasa saja
maka hukum perkara tersebut adalah halal.
2. Adapun landasaan/dalil dari kaidah Al-umuru Bimaqashiddiha, antara lain :
a. Al-Qur’an surat Al-Bayyinah ayat 5

‫هّٰللا‬
‫ص ٰلو َة‬
َّ ‫َو َمٓا ا ُ ِم ُر ْٓوا ِااَّل لِ َي ْع ُبدُوا َ ُم ْخلِصِ ْينَ َل ُه الدِّ ْينَ ەۙ ُح َن َف ۤا َء َو ُيقِ ْي ُموا ال‬
‫الز ٰكو َة َو ٰذلِ َك ِد ْينُ ا ْل َق ِّي َم ۗ ِة‬
َّ ‫َو ُي ْؤ ُتوا‬

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

b. Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda:

‫الناس على نهياتهم ُث‬


ُ ‫َّ يب َع‬
Artinya : “Manusia dibangkitkan sesuai dengan niatnya masing-masing.”
3. Cabang-cabang kaidah Al-umuru Bimaqashiddiha
a. ‫كل ما ال بجب التعرض له جملة وتفصيال فإذا عينه وأخطأ لم يضر‬

13
”Sesuatu yang tidak diwajibkan untuk dijelaskan, baik secara global
maupun secara terperinci, apabila dijelaskan, dan ternyata penjelasannya
salah, maka kesalahan tersebut tidak berakibat hukum apa-apa (tidak
membatalkan).”

b. ‫ما يشترط فيه التعرض فالخطأ مبطل‬

”Suatu amal yang disyaratkan untuk dijelaskan, maka kesalahannya bisa


membatalkan perbuatannya.

c. ‫مايجب التعرض له وال يشترط تعيينه تفصيال إذا عينه فأخطأ ضر‬

”Suatu amal yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak
disyaratkan dijelaskan secara rinci, jika kemudian disebutkan secara
terperinci dan ternyata salah, maka membatalkan perbuatannya.”

d. ‫العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬

(pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata


kata-kata dan ungkapannya).

ْ َ‫ﺃﺻﻞ ٌ َﻔﻼَ ﻴَﻨْ َﺗﻘِﻞ ُ َﻋﻦْ ﺃ‬


e. ‫ﺻﻟِ ِﻪ ﺒِ ُﻣﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔ‬ ْ ‫ﻜُﻞ ﱡ َﻣﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠ ُﻪ‬

“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”

f. ‫ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬

“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.

ِ ‫ َﻣﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟ َﻗ ْﻟ‬ ُ‫ﺏ َﻔﺎﻟ ُﻣ ْﻌ َﺗﺒَﺮ‬


g. ‫ﺏ‬ ُ ‫ﺳﺎﻦُ ﻮَﺍﻟ َﻗ ْﻟ‬ َ َ‫ﻟَﻮﺍﺨْ َﺗﻟ‬
َ ِ‫ﻑ ﺍﻟﻟ‬

“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang


dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.

h. ‫كل مفرضين فالتجزيهنانية واحدة اال الحج والعمرة‬  

14
(setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
'umrah). Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:

i. ‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ اال فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى‬
‫نية القاضى‬

(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di
hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut
niat qadi".
j. ‫مبنية على األلفاظ والمقاصد‬ ‫األيمان‬ 
(sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus untuk
sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi
Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya.)

k. ‫النية فى اليمين تخصص اللفظ العام وال تعمم الخاص‬


(niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz
yang kḣas).

4. Para yuris klasik memberikan gambaran tentang penerapan kaidah yang pertama
pada beberapa kasus fiqh, seperti pada persoalan memungut barang temuan untuk
mengamankannya. Ia tidak menanggung kerusakan dengan bertambah atau
berkurangnya barang temuan tersebut, jika tujuan dia mengambilnya untuk
menjaganya dan akan mengembalikan kepada pemiliknya. Dihukumi ghashab dan
dia harus menanggung kerusakannya jika dia memungut barang temuan tersebut
dengan maksud untuk memilikinya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Muhaki. (2020). URGENSI KAIDAH FIQH DALAM PROBLEMATIKA HUKUM


KONTEMPORER. 15(2), 127–145.

Dr. H. Toha Andiko, M. A. (2011). ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Panduan Praktis Dalam
Merespon Problematika Hukum Islam Komtemporer (Zubaedi (ed.); 1st ed.). Penerbit
Teras.

Pejalan Kaki, 2017, “Qaidah Fiqih Al-Umuru Bi Maqasidiha Dan Penerapannya”,


http://catatansimol.blogspot.com/2017/11/qaidah-fiqih-al-umuru-bi-maqasidiha-dan.html,
diakses pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.

Bagus Sahsetyo, Maskurin Hayati, Zumrotun Nazia, 2016, “Qawaid Fiqhiyah Kaidah Al-Umuru
Bi Maqashidiha”, http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-
maqashidiha.html, diakses pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.

KitabKuning90, 2019, “Makalah Kaidah al-umur bi maqashidiha Qawaid Fiqhiyah”,


https://kitabkuning90.blogspot.com/2019/10/makalah-kaidah-al-umur-bi-maqashidiha.html?
m=1, diakses pada tanggal 26 september 2021 pukul 15.00.

Azhari, F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. In Journal of Chemical Information and


Modeling.

Prof. Dr. Said Aqil al-Munawwar, M. (2019). Qawa’Id Fiqhiyyah Asasiyyah. 13200101010016,
1–11. https://doi.org/10.31219/osf.io/24txd

vii

Anda mungkin juga menyukai