Anda di halaman 1dari 21

Makalah Kelompok II

KAIDAH PRINSIP DAN KAIDAH-KAIDAH ASASIYYAH


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah : Qawa’id al-Fiqhiyah
Dosen : Dr. Abdul Helim, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh

Ayu Hayati
NIM. 1602130073

Muhammad Rizal
NIM. 16021300

Nurkhalis Majid
NIM. 16021300

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2018 M / 1440 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah
di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya
untuk menegakkan hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan
damai. Berkat pertolongan Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Kaidah Prinsip dan Kaidah-Kaidah Asasiyyah”. Tujuan
dalam pembuatan makalah ini antara lain untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
mata kuliah Qawa’id al-Fiqhiyah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuannya baik secara moral maupun material sehingga makalah ini
dapat diselesaikan. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis terutama pembacanya pada umumnya. Penulis juga menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.
Apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kesalahan,
maka kami sebagai penulis mohon maaf. Segala sesuatu yang benar itu datangnya
dari Allah, dan yang salah berasal dari kami sendiri sebagai penulis. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Palangka Raya, Oktober 2018

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVE

R.....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................2
D. Metode Penulisan...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................3
A. Kaidah Prinsip....................................................................................................3
B. Lima Kaidah Asasiyyah......................................................................................5
C. Kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha......................................10
BAB III PENUTUP..................................................................................................15
A. Kesimpulan.......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penguasai kaidah-kaidah fiqh membuat kita mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang
berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan
lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Diantara kaidah-kaidah fikih, ada kaidah yang menjadi kaidah-kaidah fikih
pokok yang meliputi keseluruhan bidang fikih yang biasanya disebut al-qawa’id
al-khamsah atau kaidah asasiyyah, yang mana dalam kaidah asasiyyah tersebut
terbagi lagi menjadi beberapa sub bab. Diantara sub bab inilah ada pembahasan
mengenai niat.. Ulama salaf maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada
masalah niat. Oleh karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat
merupakan hal yang sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan
kualitas ibadah seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak.
Pentingnya mengetahui kaidah-kaidah pokok beserta sub di dalamnya yang
menjadi dasar kebanyakan hukum-hukum fikih inilah yang membuat penulis
merasa tertarik untuk mengambil judul pembahasan mengenai kaidah prinsip dan
kaidah asasiyyah yang pembahasannya disusun dalam makalah ini secara
sistematis dalam 3 pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Memperlihatkan latar belakang di atas, agar pembahasan makalah ini
terarah, penulis perlu mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah prinsip?

1
2

2. Bagaimana penjelasan mengenai lima kaidah asasiyyah?


3. Bagaimana penjelasan mengenai kaidah asasiyyah tentang al-Umuru bi
Maqashidiha?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjawab dari rumusan
masalah yang tertera di atas, lebih rincinya antara lain.
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian beserta penjelasan
mengenaikaidah prinsip.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang lima kaidah asasiyyah.
3. Untuk mengetahui dan memahami penjelasan mengenai kaidah asasiyyah
tentang al-Umuru bi Maqashidiha?

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah berdasarkan metode telaah
perpustakaan sebagai bahan referensi dan pencarian data lewat internet, kemudian
penulis mengelola kembali menjadi satu kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah Prinsip
ِ ‫َﺪﺮﺀُ ﺍﻟْﻣ َﻔ‬
‫ﺎﺴﺪ‬ ِ ‫جلب ﺍﻟﻣ‬
َ ْ َ ‫ﺻﺎﻟ ِﺢ ﻭ‬
ََ
“Mendapat kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.

Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, Syaikh Izzuddin bin


Abdus-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam
mengatakan bahwa, seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara
menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada
yang membawa kepada kemaslahatan, adapula yang menyebabkan mafsadat.
Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat
dilarang oleh syari’ah.1
Redaksi kaidah ini menjelaskan apabila dalam suatu perkara terlihat adanya
manfaat atau maslahat, namun disitu juga terdapat kemafsadatan (kerusakan),
Haruslah didahulukan menghilangkan kemafsadatannya ini, sebab kemafsadatan
dapat meluas dan menjalar kemana-mana sehingga akan mengakibatkan
kerusakan yang lebih besar. Oleh karenanya diharamkan judi, minum-minuman
yang memabukkan (khamar). Meskipun pada keduanya terdapat kemanfaatan,
namun bahaya kerusakannya lebih besar.2
Tidak hanya itu Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam, juga mengatakan
bahwa segala masalah fiqhiyah itu hanya dikembalikan kepada satu kaidah saja,
yaitu:

‫ﺎﺴ ِﺪ‬
ِ ‫َﺪﺮﺀُ ﺍﻟْﻣ َﻔ‬ ِ ‫ﺍِﻋﺗِﺒاﺮ ﺍﻟﻣ‬
َ ْ َ ‫ﺻﺎﻟ ِﺢ ﻭ‬
َ َ َُ ْ
1
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah Asasiyyah, http://ushulfikih.blog-spot.com/2012/05/
kaidah-prinsip-dan-kaidah-asasiyyah.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada pukul 09.00
WIB.
2
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, h. 74.
4

“Menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.


Jaih Mubarok di dalam bukunya yang berjudul, Kaidah Fiqh: Sejarah dan
Kaidah-kaidah Asasi mengatakan bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya,
dapat dikembalikan pada satu kaidah, yaitu:

‫ﺻﺎﻟِ ِﺢ‬
َ ‫ﺍﻟﻣ‬
َ ‫ﺐ‬ ُ ْ‫َﺠﻟ‬
ِِ
َ ‫ﺍﻟﻣ َﻔﺎﺴﺪ ﻭ‬
َ ‫َﺪ ْﺮ ُؤ‬
“Menolak kemafsadatan dan mendapatkan maslahat”.3
Jika suatu perbuatan ditinjau dari satu segi terlarang karena mengandung
kemaslahatan, maka segi larangnya harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena
perintah meninggalkan larangan lebih kuat daripada perintah menjalankan
kebaikan sesuai dengan sabda Nabi SAW “Apabila aku memerintahkan
kepadamu suatu perintah, kerjakanlah semampumu dan apabila aku melarang
kamu sesuatu perbuatan tinggalkanlah”.4
Demikianlah disyaratkan adanya kesanggupan dalam menjalankan
perintah, sedang dalam meninggalkan larangan tidak disyaratkan demikian, ini
menunjukkan bahwa tuntutan meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat
daripada tuntutan menjalankan perintah.5
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia
mendapat mashlahat. Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-
Kubra atau al-Qawa’id al-khamsah merupakan penyederhanaan (penjelasan yang
lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih
yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum Islam.

3
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002, h. 104.
4
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah,, h. 75.
5
Ibid.
5

B. Lima Kaidah Asasiyyah


Berdasarkan beberapa literatur, didapatkan perbedaan antara ulama
pengikut Abu Hanifah dengan ulama pengikut Imam Syafi’i dalam menentukan
kaidah asasi. Dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir ‘ala madzhab Abi Hanifat
al-Nu’man karya Zain al-‘Abidin Ibn Nujaim (1968) dikatakan bahwa kaidah
asasi ada 6 yang mana kaidah-kaidahnya antara lain:6

‫ب اِال باِ لنية‬


َ ‫ال ثَوا‬
“Tidak ada pahala bagi pekerjaan yang dilakukan tidak dengan niat.”
‫قاص ِد َها‬
ِ ‫األُمور& مِب‬7
ُ
“Setiap perkara bergantung pada niatnya.”

‫ﺍﻞ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙ ﱢ‬
8 ِ
ُ ‫ ُﻴَﺰ‬ َ‫ﺍﻠﻴَﻘ ُﻦ ﻻ‬
“Keyakinan tidak hilang karena keraguan.”

ِ ‫ ﺠَﺗْﻟِﺐ ﺍﻟﺗ‬ ُ‫ﺍﻟﻣ َﺸ ﱠﻘﺔ‬9


‫ﱠﻴﺴ َﺮﻴ‬ ُ َ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan.”

10
‫ﺍﻞ‬ ‫ﺰ‬‫ﻴ‬ ‫ﺍﺮ‬
ُ َُ ُ َ ‫ﱠﺮ‬
‫ﻀ‬ ‫ﺍﻟ‬
“Kesulitan harus dihilangkan”

ٌ‫ﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ‬
11
َ ‫ﺍﻟﻌ‬
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum.”

6
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, h. 113.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid., h. 114.
10
Ibid.
11
Ibid.
6

Kaidah di atas merupakan pendapat ulama Hanafiyah yang diwakili oleh al-
Syaikh Zain al-‘Abidin Ibn Ibrahim Ibn Nujaim. Berbeda dengan itu, Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al Suyuthi (1987) dalam kitab al-Asybah wa al-
Nazha’ir mengatakan bahwa kaidah asasi ada lima, dimana seperti di atas yang

membedakannya hanyalah menurut al-Suyuthi tanpa kaidah ‫ب اِال ب& & ِ&ا لنية‬
َ ‫ال ثَ& &&وا‬,
karena menurutnya kaidah ini merupakan cabang dari kaidah al-umuru
bimaqasidiha.12

Pendapat tersebut diikuti oleh Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu,


Abdullah Ibn Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Lahji al-Hadrami al-Syahari, dengan
urutan yang berbeda.13
1. Kaidah Asasi yang Pertama

َ ‫ﻮﺮ ﺒِمقاصد‬
‫ِﻫﺎ‬ ُ ‫ﺍﻷ ُُﻣ‬ 
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi
atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
perkara tersebut.14
Berdasarkan kesepakatan para ulama’, niat itu adalah kehendak dan tekad
yang terdapat dalam hati. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:
a. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
b. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
c. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.15
Setiap kaidah memiliki pengecualian. Adapun pengecualian dhabith niat
adalah:

12
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007, h. 39.
13
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 115.
14
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Yogyakarta: Teras, 2011, h. 29.
15
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 123.
7

a. Perbuatan yang sudah sendirinya bernilai ibadah dan tidak


mungkin bercampur dengan adat, tidak disyaratkan adanya niat.
b. Seseorang yang bernazar untuk berzikir dan shalawat tidak
memerlukan niat.
c. Azan dan qhamat shalat tidak memerlukan niat.
d. Meninggalkan perbuatan maksiat tidak memerlukan niat, seperti
niat untuk tidak berzina.
e. Keluar dari shalat tidak memerlukan niat.16

2. Kaidah Asasi yang Kedua

‫ﺍﻞ ﺒِﺎﻠ ﱠﺸﻙﱢ‬ ِ


ُ ‫ ُﻴَﺰ‬ َ‫ﺍﻠﻴَﻘ ُﻦ ﻻ‬
        “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
Contoh dari kaidah kedua ini banyak ditemuka dalam kitab-kitab fikih
misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah
sudah batal wudhu atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya
saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui
wudhunya.
Keyakinan yang dimaksud disini adalah keyakinan yang benar-benar dari
hatinya, bukan sekedar pura-pura yakin. Dalam kasus fiqh siyasah kaidah ini
biasa disebut dengan presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah).17

3. Kaidah Asasi yang Ketiga


ِ ‫ ﺠَﺗْﻟِﺐ ﺍﻟﺗ‬ ُ‫ﺍﻟﻣ َﺸ ﱠﻘﺔ‬
‫ﱠﻴﺴ َﺮﻴ‬ ُ َ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
Maksud dari kaidah ini agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh
hamba /Mukallaf kapan dan dimana saja, yakni dengan memberitahukan

16
Ibid., h. 126-127.
17
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, , h. 71.
8

kelonggaran dan keringanan disaat seorang hamba menjumpai kesukaran dan


kesesmpitan.
Berdasarkan kaidah Ini contoh kasus yang bisa di ambil seperti apabila
seseorang dalam perjalanan yang diperbolehkan (bukan untuk maksiat),
kemudian ia kelaparan dan ia tidak mendapatkan makanan lain selain daging
babi lalu ia memakannya. Meskipun hakikatnya makan daging babi adalah
Haram, Namun karena perjalanannya itu bukan untuk maksiat, maka dalam
hal ini ia tidak berdosa. 18
4. Kaidah Asasi yang Keempat

‫ﺍﻞ‬
ُ ‫ﺍﻟﻀَﱠﺮ ُﺍﺮ ُﻴَﺰ‬
“Kesulitan harus dihilangkan”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa: Pertama, bahaya itu harusdihilangkan
yang didasarkan pada hadis nabi “‫رار‬KK‫”الضراوالض‬. Kedua, bahwa keadaan
dharurat dapat memperbolehkan hal yang dilarang. Ketiga, kebolehan( dalam
melakukan hal yang dilarang) itu sekedarnya saja. Keempat, bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan bahaya serupa. Kelima, bahaya khusus ditanggungu
ntuk mencegah bahaya umum.
Berdasarkan kaidah ini contoh Yang kami ambil adalah apabila sesorang
dokter laki-laki untuk membuka/melihat aurat seorang pasien perempuan
sekedar demi pengobatan, yang apabila tidak diobati akan dapat menambah
kemudhratan atau sakit yang lebih parah lagi.19

5. Kaidah Asasi yang Kelima

18
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah.., h. 110
19
Ibid., h.119.
9

ٌ‫ﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ‬
َ ‫ﺍﻟﻌ‬
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan
hukum”.
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus
dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu
manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf  ialah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya
karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya.
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah
“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah
al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang
fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan
tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah
menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.20
Banyak sekali penetapan hukum berdasarkan adat atau urf’ ini, diantaranya
dalam hal ibadah seperti masalah masa minimal, masa kebiasaan dan masa
maksimal haid, nifas serta suci. Dalam kategori muamalat ada masalah
mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohonnya, masalah barang-barang yang
menjadi objek jual beli, dll.

20
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah..., h. 153.
10

C. Kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha


Kaidah asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8
(delapan) kaidah. Sub-sub kaidah tersebut adalah :

1. ‫ٌﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِِﻪ‬
ِ ‫ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧ‬
‫َ ﺮْﻴ‬ ُ
“Niat seseorang mukmin lebih baik daripada amalnya”21
Sehubungan dengan kaidah niat ini adalah dhabith yang ruang lingkup lebih
kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith antara lain:
“pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannnya.”22
Contohnya adalah apabila seseorang berkata, “saya hibahkan barang ini
untuk selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah”, meski pun katanya adalah
hibah, tpi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah(pemberian),
tapi akad jual beli dengan segala akibatnya.

2. ‫ﺍﺐ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬


َ ‫ﻻَ َﺜ َﻮ‬
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat.”23

Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan


perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah
yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan
bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu
perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah
SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala.24

21
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih...., h. 38.
22
Ibid, h. 39.
23
Ibid.
24
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 44.
11

Kaidah ini pun menjelaskan bahwa tujuan niat itu untuk membedakan
tingkatan atau kualitas kebaikan yang dilakukan seseorang, juga untuk
menentukan sah tidaknya ibadah tertentu.25
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh,
yaitu sebagai berikut, seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia
mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan
komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan
berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut
ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya
karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah
orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan
imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam
hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.

3. ِ‫ َﻣﺎ ِﻔﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏ‬ ‫ﺎﻟﻣ ْﻌَﺗَﺒ ُﺮ‬


ُ ‫ﺎﻦ َﻮﺍﻟﻗَﻟْﺏُ َﻔ‬
ِ
ُ ‫ﻮﺍﺨﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟ َﺳ‬
ْ َ‫ﻟ‬
“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di
dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benaradalah apa yang ada dalam
hati”26
Karena hakikat niat adalah bermaksud atau menyengaja dan tempatnya
adalah di dalam hati. Menurut pendapat lai, niat adalah bermaksud di hati dan
dibarengi dengan perbuatan. Oleh karena itu sesuatu yang diniatkan dalam hati
tetapi tidak dilaksanakan oleh indera, tidaklah (belum) termasuk niat. Secara
umum, ulama terbagi dua dalam menentukan tempat niat. Pertama, ulama yang
berpendapat bahwa niat cukup di hati dna kedua, ulama yang mengatakan bahwa
niat harus diucapkan disamping dimaksudkan dalam hati.27

25
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 123.
26
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih...., h. 40.
27
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh..., h. 124-125.
12

Contoh untuk kaidah ini adalah apabila dalam hati niat wudhu, sedang yang
diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudhunya tetap sah.

4. ُ‫ﺎﺪﺓِ ِﻔﻲ ُﻜ ﱠﻞ ُﺠﺯْﺀٍ ِﺇﻨ َﱠﻣﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ِﻔﻲ ُﺠ ْﻣﻟٍَﺔ َﻣﺎ َﻴ ْﻔ َﻌﻟُﻪ‬
َ ِ‫ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌ‬
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan.”28
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh,
yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat
cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.

ِ ‫ُﻜ ﱡﻞ ﻣ َﻔﱢﺮ ﻀ َﻔﻼَ ﺠَﺗْﺯِﻴ ِﻬﻣﺎ ﻨِﻴﱠﺔٌﻮ‬


5. ‫ﺍﺤﺪٌﺇِﻻﱡ ﺍﺤﻟَ ّﺞ َﻮﺍﻟﻌُ ْﻣَﺮﺓ‬ َ َ ْ ‫ُ َﻦْﻴ‬
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
umrah.”29
Berdasarkan kaidah di atas, adapun contohnya, yaitu sebagai berikut,
seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut ingin
berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi wajib, maka
hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak boleh dengan satu
niat saja.30
Untuk permasalahan seperti haji dan umrah seperti diketahui bersama dalam
pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara: Pertama, haji tamatu, yaitu mengerjakan
umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam. Kedua, haji
ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam. Ketiga
haji qiron, ialah mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan
sekaligus. Cara ini wajib membayar dam. Cara ketiga inilah yang dikecualikan

28
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih....
29
Ibid.
30
Abdul Helim, Kaidah Prinsip..., diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada pukul 09.00 WIB.
13

oleh kaidah di atas. jadi, prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih,
masing-masingnya harus dilakukan dengan niat tersendiri.31

6. ‫َﺻﻟِِﻪ ﺒِﺠُﻣَﱠﺮ ِﺪ ﺍﻠﻨﱢﻴَ ِﺔ‬ ِ


ْ ‫َﺻ ٌﻞ َﻔﻼَ َﻴْﻨﺗَﻘ ُﻞ َﻋ ْﻦ ﺃ‬
ْ ‫ﺎﻦ ﻠﻪُ ﺃ‬
َ ‫ ُﻜ ﱡﻞ َﻣﺎ َﻜ‬  
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat.”32
Contoh yang dapat penulis berikan berdasarkan kaidah yang keenam ini
adalah seseorang berniat untuk shalat zuhur, kemudian setelah selesai satu rakaat
dia berpindah kepada niat shalat tahiyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanifah dan mashab Maliki. Dimana
kasus ini berbeda dengan orng yang sejak terbit fajar belum makan dan minum
kemudian tengah hari berniat puasa sunnah, maka sah puasanya, karena sejak
terbit fajar belum makan apa-apa.

7. ‫ﺎﺻ ُﺪ اللفظِ َﻋﻰَﻟ ﻨِﻴَ ِﺔ ﺍﻠﻼَِﻔﻇ‬


ِ ‫ﻣ َﻘ‬
َ
“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan.”33
Dari kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu
dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa
maksud dari perkataannya tersebut.34
Contoh yang dapat penulis berikan misalnya kata-kata seperti hibah, shalat,
nazar, sedekah, dll harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan
kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat
atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardu atau shalat
sunnah.

31
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 40.
32
Ibid., h. 41.
33
Ibid.
34
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 47.
14

8. ‫ﺎﺻ ِﺪ‬ ِ ‫ﺍﻷَﻴﻣﺎﻦ ﻣﺒﻨِﻴﱠﺔٌﻋﻠَﻰ ﺍﻷَﻠ َﻔ‬


ِ ‫ﺎﻇ ﻭَﺍﻟﻣ َﻘ‬
َ َ َْ ُ َْ
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.”35
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu
“wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya.
Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mendapatkan sebuah contoh, yaitu
sebagai berikut, apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah saya akan
memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya
mendapat rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan oleh keluarganya, maka yang
dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi
kepada orang yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari
biasanya.36
Berdasarkan 8 (delapan) sub judul kaidah al-Umuru bi Maqashidiha ini
dapat diketahui bahwa kaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan
sangat dalam maknanya dibanding qaidah yang lainnya. Ini disebabkan sebagian
besar hukum syar’i berputar di sekitar kaidah tentang niat ini.37
Dalam hukum Islam antara niat, cara dan tujuan harus ada dalam garis lurus,
artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik dan tujuannya harus
mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

35
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..., h. 41.
36
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah...., diakses pada tanggal 10 Oktober 2018, pada
pukul 09.00 WIB.
37
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah..., h. 37.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas, dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Kaidah prinsip

ِ ‫َﺪﺮﺀُ ﺍﻟْﻣ َﻔ‬


‫ﺎﺴﺪ‬ ِ ‫جلب ﺍﻟﻣ‬
َ ْ َ ‫ﺻﺎﻟ ِﺢ ﻭ‬
ََ
“Mendapat kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia
mendapat mashlahat.
2. Kaidah-kaidah asasiyyah yang pokok ada lima, yaitu:
a. Kaidah Asasi yang Pertama

َ ‫ﻮﺮ ﺒِمقاصد‬
‫ِﻫﺎ‬ ُ ‫ﺍﻷ ُُﻣ‬ 
    “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b. Kaidah Asasi yang Kedua

‫ﺍﻞ ﺒِﺎﻠ ﱠﺸﻙﱢ‬‫ﺰ‬ ‫ﻴ‬  َ‫ﻻ‬ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﺍﻠﻴ‬


‫ﻘ‬
ُ َ ُ ُ َ
        “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
c. Kaidah Asasi yang Ketiga
ِ ‫ ﺠَﺗْﻟِﺐ ﺍﻟﺗ‬ ُ‫ﺍﻟﻣ َﺸ ﱠﻘﺔ‬
‫ﱠﻴﺴ َﺮﻴ‬ ُ َ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
d. Kaidah Asasi yang Keempat

‫ﺍﻞ‬
ُ ‫ﺍﻟﻀَﱠﺮ ُﺍﺮ ُﻴَﺰ‬
16

“Kesulitan harus dihilangkan”.


e. Kaidah Asasi yang Kelima

ٌ‫ﺎﺪﺓُ ُﻣ َﺣ ﱠﻛ َﻣﺔ‬
َ ‫ﺍﻟﻌ‬
َ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan
menerapkan hukum”.
3. Kaidah asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8 (delapan)
kaidah. Sub-sub kaidah tersebut adalah :

1. ‫ٌﻣ ْﻦ َﻋ َﻣﻟِِﻪ‬
ِ ‫ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣ ْﺆ ِﻣ ِﻦ ﺧ‬
‫َ ﺮْﻴ‬ ُ
“Niat seseorang mukmin lebih baik daripada amalnya”

2. ‫ﺍﺐ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَ ِﺔ‬


َ ‫ﻻَ َﺜ َﻮ‬
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat.”

3. ِ‫ َﻣﺎ ِﻔﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏ‬ ‫ﺎﻟﻣ ْﻌَﺗَﺒ ُﺮ‬


ُ ‫ﻔ‬َ ‫ﺏ‬
ُ ‫ﻟ‬
َْ‫ﻗ‬‫ﺍﻟ‬‫ﻮ‬ ‫ﺎﻦ‬
َُ َ‫ﺳ‬ِ‫ﻟَﻮﺍﺨﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟ‬
ْ
“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di
dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benaradalah apa yang ada
dalam hati”

4. ُ‫ﺎﺪﺓِ ِﻔﻲ ُﻜ ﱠﻞ ُﺠﺯْﺀٍ ِﺇﻨ َﱠﻣﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ِﻔﻲ ُﺠ ْﻣﻟٍَﺔ َﻣﺎ َﻴ ْﻔ َﻌﻟُﻪ‬
َ ِ‫ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌ‬
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan.”

ِ ‫ُﻜ ﱡﻞ ﻣ َﻔﱢﺮ ﻀ َﻔﻼَ ﺠَﺗْﺯِﻴ ِﻬﻣﺎ ﻨِﻴﱠﺔٌﻮ‬


5. ‫ﺍﺤﺪٌﺇِﻻﱡ ﺍﺤﻟَ ّﺞ َﻮﺍﻟﻌُ ْﻣَﺮﺓ‬ َ َ ْ ‫ُ َﻦْﻴ‬
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji
dan umrah.”

6. ‫َﺻﻟِِﻪ ﺒِﺠُﻣَﱠﺮ ِﺪ ﺍﻠﻨﱢﻴَ ِﺔ‬ ِ


ْ ‫َﺻ ٌﻞ َﻔﻼَ َﻴْﻨﺗَﻘ ُﻞ َﻋ ْﻦ ﺃ‬
ْ ‫ﺎﻦ ﻠﻪُ ﺃ‬
َ ‫ ُﻜ ﱡﻞ َﻣﺎ َﻜ‬  
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat.”
17

7. ‫ﺎﺻ ُﺪ اللفظِ َﻋﻰَﻟ ﻨِﻴَ ِﺔ ﺍﻠﻼَِﻔﻇ‬


ِ ‫ﻣ َﻘ‬
َ
“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan.”

8. ‫ﺎﺻ ِﺪ‬ ِ ‫ﺍﻷَﻴﻣﺎﻦ ﻣﺒﻨِﻴﱠﺔٌﻋﻠَﻰ ﺍﻷَﻠ َﻔ‬


ِ ‫ﺎﻇ ﻭَﺍﻟﻣ َﻘ‬
َ َ َْ ُ َْ
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.”
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Andiko, Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, Yogyakarta: Teras, 2011.
Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001

B. Internet
Abdul Helim, Kaidah Prinsip dan Kaidah Asasiyyah, http://ushulfikih.blog
spot.com/2012/05/kaidah-prinsip-dan-kaidah-asasiyyah.html, diakses
pada tanggal 10 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai