Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Khulu’

Khulu’ secara etimologi : menanggalkan atau membuka pakaian.


Menurut fuqaha, khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh
yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan
Di antara dalil adanya Khulu' adalah dalil-dalil berikut ini:

ََ‫خَلهق‬َ‫َثاَبَتهََبَنهََقَيَسََمَاَأَعَيَبهََعليهََفىَ ه‬,َ‫َياَرسولََللا‬:َ‫للاهَعليهََوسلمَفقالت‬ َ َ‫عَنََاَبنََعَبَاسََأَنََامَرَأَةََثَابَتََبَنََقَيَسََأَتَتََالنَبَيََصَلَى‬


‫ه‬
ََ‫َفَرَدَدَتهََعَلَيَه‬,َ‫َنعَم‬:َ‫َفقالت‬,)‫ (أَ تَ هَردَيَنَ َعَلَيَهََحَدَيَقَت َه‬:‫للاهَعليهََوسلَم‬
َ َ‫ل َللاَ َصلى‬ َ‫َفقالَ َرسو ه‬,َ‫َوَلَكَنَىَأَكَرَ َههَالَ هَكفَرَ َفَىَاإلسالم‬,َ‫وَلَ َدَيَن‬
]‫َ(اَقَبَلََالَحَدَيَقَةََوَطَلَقَهَاَتَطَلَيَقَةَ)َ[رواهَالبخارى‬:‫لَللاََصلَىَللاَعليهَوسلم‬ َ‫فَقَالََرسو ه‬
Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw sambil berkata:
"Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais, baik akhlak maupun
agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya kufur, tidak melaksanakan
kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam. Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah
kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan
mengembalikan kebun itu kepadanya". Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit):
"Terimalah kebunnya itu dan ceraikan dia satu kali cerai". (HR. Bukhari).
B. Hukum Khulu'
1. Mubah
Istri boleh mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup
bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan
hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri
dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh
dan sah-sah saja, sebagaimana firman Allah:
)229َ:‫فإنَخفتهمَألَيهقيماَ هحد هودَللاَفالَ هجناحَعليهماَفيماَافتدتَبهَ(البقرة‬
َ
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya (QS. Al-Baqarah: 229).

2. Haram.
Khulu' bisa haram hukumnya apabila:
a. istri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang jelas, padahal
urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh
isteri untuk mengajukan Khulu'. Dalam hadis nabi berbunyi:

ََ‫ َفَحَرَامَ َعَلَيَهَا َرَائَحَة‬,َ‫ َ((أَيَمَا َامَرَأَةَ َسَأَلَتَ َزَوَجَهَا َطَالَقَا َفَى َغَيَرَ َمَا َبَأَس‬:‫للاه َعَلَيهَ َوسلَم‬ َ‫سو ه‬
َ َ ‫ل َللاَ َصلى‬ َ‫عَن َثَوبَانَ َقالَ َقالَ َرَ ه‬
]‫الَجَنَةَ))َ[رواهَأبوَداودَوابنَماجهَوأحمد‬
Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta cerai
kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi surga”
(HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

b. Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan
maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila
Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya
karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah berfirman:
.)19َ:‫ضلهوههنَلتذهبهواَببعضََماَءاتيت ه هموههنَإلَأنَيأتينَبفاحشةَ همبينةَ(النساء‬
‫ولَتع ه‬
"Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata" (QS. An-Nisa: 19).
C. Rukun dan Syarat Khulu’

Khulu' dapat dipandang sah dan jatuh, apabila memenuhi persyaratan rukun-rukunnya. Rukun
Khulu' ada empat, yaitu suami (al-mukhala', yang diKhulu'), isteri (al-mukhtali'ah, yang
mengKhulu'), shigat Khulu' dan iwadh (uang tebusan, uang ganti.)

1. Al-mukhala' (yang diKhulu' yaitu suami)

Para ulama sepakat bahwasannya orang yang diKhulu'' atau suami hendaknya orang yang baligh,
berakal, dan mempunyai hak untuk mentalak. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man
jaza thalaquhu, jaza Khulu' uhu (Barangsiapa yang boleh mentalak, boleh juga untuk
mengKhulu' nya)".

2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri)

Bagi isteri yang hendak mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:

1). Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan
untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru dapat
pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang tidak sah,
maka si istri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.

2). Istri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan
tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat wanita
tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum baligh atau
orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang gila maupun anak
kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma dan menggunakan
hartanya.

3. 'Iwadh (Uang ganti)


'Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya karena si isteri mengajukan
Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak untuk dijadikan sebagai mas kawin.
Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat pula dijadikan sebagai Iwadh dalam
Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna badalal Khulu').

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, Khulu' sah
meskipun tidak memakai 'iwadh misalnya si isteri mengatakan: "Khulu'lah saya ini", lalu si
suami mengatakan: "Saya telah mengKhulu' kamu", tanpa menyebutkan adanya iwadh. Di antara
alasannya adalah:

a. Khulu' adalah pemutus pernikahan, karenanya boleh-boleh saja tanpa iwadh sebagaimana
talak yang tidak memakai iwadh.
b. Pada dasarnya, Khulu' ini terjadi karena Istri sudah sangat membenci suaminya lantaran
perbuatan suaminya itu sehingga ia memintanya untuk menceraikannya. Ketika Istri
meminta untuk diKhulu', lalu si suami mengabulkannya, maka hal demikian sah-sah saja
meskipun tidak memakai iwadh.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, Dhahiriyyah dan yang lainnya, bahwa Khulu' tidak sah
kecuali harus memakai iwadh. Di antara dalil dan alasannya adalah:

a. Dalam firmanNya, Allah mengaitkan Khulu' ini dengan tebusan sebagaimana firmanNya
yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 229: "Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya". Ini menunjukkan
bahwa memang Khulu'' itu harus memakai iwadh.
b. Ketika isteri dari Tsabit bin Qais hendak melakukan Khulu', Rasulullah saw memintanya
untuk mengembalikan kebunnya. Ini sebagai syarat bahwa Khulu' baru sah manakala
memakai iwadh

4. Shigat Khulu'
Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab Qabul dalam
Khulu'. Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak
memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat
dipahami.

D. Masa Iddah Wanita yang mengajukan Khulu’

Menurut jumhur ulama’ masa iddah wanita yang mengajukan khulu’ adalah satu kali haid.
Pendapat ini adalah pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan
yang lainnya. Di antara alasannya adalah:

1. Dalam sebuah riwayat dikatakan:


َ َ‫أَنََامَرَأَةََثَابَتََبَنََقَيَسََاَخَتَلَعَتََمَنَ َههَفَجَعَلََالنَبَيََصلَى‬:ََ‫عنََابَنََعَبَاس‬
]‫للاهَعليهََوسلمَعَدَتَهَاَحَيَضَةََ[رواهَأبوَداود‬
Dari Ibnu Abbas bahwasannya istri Tsabit bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya.
Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya satu kali haid" (HR. Abu Dawud).

2. Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita yang
mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena Iddah itu
dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan untuk rujuk, sehingga
si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah tidak ada kesempatan untuk
rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim saja (bara'atur rahm) dari kehamilan,
dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja".

E. Kedudukan Khulu’
Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak. Pendapat ini merupakan
pendapat Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri, begitu pula
zhahir madzhab Ahmad bin Hanbal dan mayoritas ahli fiqih. Jika seorang isteri telah menebus
dirinya dan dicerai oleh suaminya. Maka ia berkuasa penuh atas dirinya sendiri, sehingga
suaminya tidak berhak untuk rujuk kepadanya. Meskipun dijatuhkan dengan redaksi talak namun
ia adalah perusakan akad nikah demi kemaslahatan istri dengan balasan menebus dirinya kepada
suaminya.
Ibnul Qayyim r.a. menulis sebagai berikut, ”Dan yang menunjukkan khulu’ bukan talak
adalah bahwa Allah SWT telah menetapkan tiga ketentuan yang berlaku pada talak terhadap
(istri) yang telah dikumpuli jika talak tersebut telah mencapai talak tiga. Ketetapan-ketetapan
itu, tidak pada khulu’.
Pertama: Suamilah yang lebih berhak rujuk kepada isterinya dalam masa iddah.
Kedua: Talak maksimal tiga kali, sehingga setelah terjadi talak ketiga, isteri tidak halal bagi
suaminya, terkecuali ia kawin lagi dengan suami kedua dan pernah bercampur dengannya.
Ketiga: Iddah yang berlaku dalam talak terdiri atas tiga kali quru’ (bersih dari iddah).
Sementara itu, berdasarkan nash (ayat Qur-an atau hadits) dan ijma’ (kesepatakan) bahwasanya
tidak sah istilah rujuk dalam khulu’. Dan berdasar sunnah Nabi saw dan pendapat para shahabat
bahwa iddah untuk khulu’ hanya satu kali haidh. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa khulu’
bukanlah talak.

Anda mungkin juga menyukai