Disusun Oleh :
KELOMPOK VIII
FAKULTAS SYARIAH
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kita semua dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan alam,
Baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing Umat Islam dari zaman jahiliyah
menuju zaman Islamiyyah. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Suharti,
M.Ag. pada mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah. Selain itu makalah ini dapat digunakan
untuk menambah wawasan yang lebih detail mengenai definisi akad, jenis-jenis akad, beserta
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada
pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Dosen Suharti, M.Ag. yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pemahaman dan pengetahuan kami.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
C. TUJUAN MAKALAH.................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
PENUTUP................................................................................................................................ 32
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 32
B. SARAN ......................................................................................................................... 32
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting karena keberlangsungan
kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa baik dan rinci akad yang dibuat
untuk menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan
akad. Akad merupakan perjanjian yang mengikat hubungan kedua pihak itu sekarang
dan yang akan datang. Pemilihan akad akan mencerminkan seberapa besar risiko dan
keuntungan bagi kedua pihak, terutama bagi pihak yang mengeluarkan modal ataupun
Ilmu fikih hadir memberikan gambaran berbagai cara dan metode penetapan dasar-
dasar perjanjian bisnis sehingga dapat mencapai sebuah tujuan dan kepentingan yang
berakad. Selain itu, ilmu fikih khususnya ilmu fikih muamalah akan mampu
sebuah regulasi untuk menerangkan aktivitas bisnis yang sejalan dengan prinsip syariah
serta menghadirkan kaidah-kaidah dan pandangan yang dianut dalam hal transaksi
bisnis yang baru dan yang semakin beragam di era modern. Semakin tepat, cermat,
jelas, serta detail dalam menentukan akad maka semakin kecil prediksi timbulnya
konflik antar kedua belah pihak yang berakad di masa yang akan datang karena
pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pihak sudah tegas. Dengan hadirnya
makalah ini, akan menyajikan dan memaparkan terkait beberapa jenis akad yang
membekali pembaca dalam memahami akad-akad dalam bisnis syariah sebagai upaya
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MAKALAH
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI AKAD
Asal kata akad dari bahasa Arab, yaitu al-‘Aqd. Secara bahasa kata al-‘Aqd, membentuk
masdarnya adalah ‘Aqada dan bentuk jamaknya adalah al-‘Uqud yang memiliki arti
perjanjian (yang tertulis) atau kontrak.1 Di dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, al-‘aqd
menurut kaidah fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan perspektif syariat yang
berdampak kepada objek perikatan sehingga berlaku adanya perpindahan pemilikan dari
Terdapat beberapa pendapat terkait definisi akad secara istilah, diantaranya, Wahbah al-
Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin
Djuwaini bahwa akad didefinisikan sebagai sebuah hubungan/keterkaitan antara ijab dan
qabul atas realitas yang diatur dan diakui oleh syara' serta berimbas dengan adanya hukum
tertentu.4 Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara
ijab dengan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridaan kedua belah pihak.5
Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas, kita dapat memahami bahwa sebuah akad
adalah perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan
masing-masing pihak yang melakukan akad dan berakibat adanya dampak hukum baru bagi
mereka yang berakad. Sehingga apabila perjanjian (akad) tersebut dilanggar ataupun tidak
1 Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015 : 786.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.
3
dipatuhi oleh kedua belah pihak, maka sanksi ataupun akibat hukum yang ditimbulkan akan
berlaku. Landasan hukum akad terdapat pada surah Al-Maidah ayat 1 dan An-Nisa’ ayat
29 :
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
... ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا ا َ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.”
(QS. Al-Maidah ayat 1)
Dari dua ayat yang telah disajikan di atas, menitikberatkan bahwa seorang mukmin
berkewajiban untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan diakadkan olehnya, baik
dituntut adanya kondisi kerelaan diantara keduanya. Meskipun kerelaan tersebut berbentuk
sebuah keikhlasan dan kesetujuan yang tersembunyi di dalam hati, tetapi pelaksanaan dan
prosesnya harus terlihat. Ijab dan kabul atau apapun yang sejalan dan semakna dengan dua
kata di atas, baik dalam adat kebiasaan di masyarakat yang sering dijumpai sebagai serah
kerelaan.6
6 Ibid.
4
B. JENIS-JENIS AKAD DALAM BISNIS SYARIAH
1. AKAD JUAL-BELI
Jual beli dalam ilmu fikih dapat juga dikenal dengan al-bai’ yang bermakna menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai’ dalam bahasa
Arab sering digunakan untuk lawan katanya, yakni kata asy-syira (beli). Oleh
karenanya, kata al-bai’ memiliki arti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli (Haroen,
2000:111). Jual beli atau bisnis menurut bahasa berasal dari kata al-bay'u dan
konjungsinya adalah ba'a - yabi'u – bay'un yang artinya menjual (al-Marbawy, t.th: 72).
Menurut bahasa, jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu (Al-Jaziri,
2003:123).7 Jual-beli diatur dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 275 :
الر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ُّل بَيْع َمب ُْر ْور – رواه َ ب ؟ قَا َل
َّ ع َم ُل ْ َب أ
ُ َطي ِ ي ْال َك ْس
ُّ َسلَّ َم أ َ صلَّى للا
َ علَ ْي ِه َو ُّ ِسئِ َل النَّب
َ ي ُ
االبزار والحاكم
Artinya : “Nabi saw pernah ditanya; usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling
baik (paling ideal) ? Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan
tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim).
Artinya : “Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).”
(HR. Al-Baihaqi).
7 Shobirin, Jual Beli Dalam Perspektif Islam, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, 2015 : 243.
5
Berikut rukun dan syarat jual-beli, diantaranya :
Pertama, Akad (Ijab-kabul), definisi akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada
di antara ujung suatu barang. Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy akad secara bahasa
adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain,
sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong benda (1979 : 21).8
Dan secara istilah, akad adalah perkataan antara ijab qabul dengan cara yang
dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan kedua belah pihak. (Hasby, 1979 : 21).
Pengucapan saat akad adalah bagian dari salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memenuhi unsur akad ini, namun terdapat cara lain yang bisa digunakan untuk
mewakili terpenuhinya akad, para ulama' bersepakat mengenai hal ini, berikut
diantaranya : 1) Dengan cara tulisan, cara ini dapat ditempuh saat kedua orang yang
sedang melakukan transaksi sedang berjauhan, maka ijab kabulnya dapat menggunakan
cara ini. 2) Dengan isyarat, apabila terdapat keterbatasan dengan tulisan dan ucapan
"Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah." (Suhendi, 2007:49). 3) Dengan
cara ta'ahi (saling memberi), contohnya seseorang melakukan pemberian kepada orang
lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang
memberinya tanpa ditentukan besar imbalan. 4) Dengan cara lisan al-hal, oleh sebagian
kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja
hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang
8
Ibid, hlm. 246
9
Ibid, hlm. 247
6
Kedua, orang yang berakad (subyek), subyek dalam jual beli terdiri bai’(penjual)
dan mustari (pembeli). Atau dapat juga dikenal dengan sebutan aqid (orang yang
Ketiga, ma’kud alaih (obyek yang diperjualbelikan), yang menjadi ma’qud alaih
(bukan barang yang najis atau yang diharamkan), ada manfaatnya, milik orang yang
melakukan akad, mengetahui (barang yang akan dijual harus diketahui sifat, zat,
bentuk, dan harganya), barang yang diakadkan berada di tangan (barang yang
Keempat, ada nilai tukar pengganti barang. Terdapat tiga syarat sebagai alat tukar
barang, yakni menyimpan nilai, bisa menghargakan barang, dapat dijadikan alat tukar.
Prinsip-prinsip jual-beli, yaitu larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh
orang lain, sesuatu yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang mubah bukan yang
Berikutnya penjelasan terkait beberapa jenis akad yang berlaku dalam transaksi
Pertama, Akad Murabahah, Murabahah asal katanya dari kata ribh yang memiliki
rabiha yang berarti beruntung, ribhan yang berarti berlaba, warabahan yang artinya
7
Dasar hukum murabahah terdapat di dalam Surah Al-Baqarah ayat 16, di dalam surah
Artinya : “Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat
petunjuk.”
Menurut Imam al-Kasani, murabahah adalah bentuk jual beli dengan diketahuinya
harga pokok dengan adanya tambahan keuntungan tertentu (Kasani, tt: 226). 15
Dijelaskan pula di dalam Undang- undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah pasal 19 ayat (1) huruf d, bahwa murabahah adalah “Akad pembiayaan suatu
barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya
biayanya pada saat akad berlangsung serta sistem penetapan keuntungan yang disetujui.
Di sisi lain, Bai' al-Murabahah adalah menjual barang dengan harga yang disepakati
menggunakan sistem angsuran (cicilan) pada proses pembayaran dan obyek (barang)
akad ini diserahkan di awal. Akadnya berlaku sah jika pembeli mengetahui harga awal,
murabahah, murabahah adalah penjualan barang yang menekankan harga beli kepada
pembeli dan pembeli bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sebagai perolehan
keuntungan penjual. Murabahah dapat diilustrasikan seperti berikut, tiga pihak yang
15
Ibid, hlm. 04.
16
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015, hlm. 788.
8
terlibat dalam murabahah, yaitu A, B dan C. A meminta B untuk membelikannya
beberapa barang (komoditas). B tidak memiliki barang- barang yang dibutuhkan oleh
A tetapi B berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga, yaitu C. Sedangkan dalam
konteks perbankan syariah, akad ini dapat dimaknakan sebagai sebuah perjanjian antara
nasabah dan bank dalam proses transaksi jual beli, dimana bank membelikan produk
sesuai permintaan nasabah, kemudian produk tersebut dijual kepada nasabah dengan
harga lebih tinggi sebagai profit bank. Dalam hal ini, nasabah mengetahui harga beli
produk dan perolehan laba bank. Berikut penjabaran terkait rukun dan syarat
tsaman (harga barang), ijab kabul (pernyataan serah terima). Setelah rukun dipaparkan,
diikuti pula dengan syarat-syarat murabahah sebagai berikut: A) syarat yang berakad
(ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa, B) barang yang
diperjualbelikan (mabi’) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas, C) harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga
pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas,
D) pernyataan serah terima (ijab kabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik
memesan barang terlebih dahulu. Kemudian penjual memproduksi atau membeli dari
supplier, lantas dijual kepada pembeli dengan transparansi harga), kedua, murabahah
murabahah dapat dideskripsikan secara singkat, yaitu adanya kelalaian (sengaja tidak
17
Veithzal Rifai, Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan praktis untuk lembaga keuangan,
nasabah, praktisi, dan mahasiswa (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 146-147.
9
membayar), penolakan oleh pembeli / nasabah (karena barangnya rusak dalam
perjalanan, dsb. setelah dibeli), aset dijual oleh nasabah saat masih memiliki angsuran
utang (dalam konteks perbankan).18 Contoh penerapan akad murabahah adalah Adit
ingin membeli komputer milik Fathul, namun Adit menjelaskan atau menerangkan
terlebih dahulu kepada Fathul bahwa ia membeli komputer tersebut dengan harga Rp
450,000,00/bulan.
Secara bahasa istisna’ bermuara dari kata sana’a menjadi yang kemudian menjadi
istisna’ yang dapat diartikan talab al-sun’ah yang berarti meminta dibuatkan barang
atau meminta untuk dibuatkan sesuatu.19 Istisna' secara istilah adalah akad meminta
seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. 20 Definisi
istisna' merupakan akad yang dilakukan dengan cara menyuruh seseorang untuk
membuat barang tertentu dalam tanggungan dan akad tersebut merupakan akad
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari
perak.
18
Dikutip dari https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/12/akad-murabahah
19
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015, hlm. 788.
20
Ibid.
10
َ ُ ّللا صلى للا عليه و سلم َكانَ أ َ َرادَ أ َ ْن َي ْكت
ب ِإلَى َّ ع ْن أَنَس رضي للا عنه أ َ َّن َن ِب
ِ َّ ى َ
َ ص
ط َن َع خَاتَما ِم ْن ِفضَّة َ ْال َع َج ِم فَ ِقي َل لَهُ ِإ َّن ْال َع َج َم لَ َي ْق َبلُونَ ِإلَّ ِكتَابا.
ْ فَا. علَ ْي ِه خَا ِتم
shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab,
lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel
dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan
Menurut ahli fikih, pengertian istisna' adalah suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahan bakunya) dari pihak
istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
(pembeli/mustashni') dan penjual (pembuat/ shani'). 21 Dalam hal ini, istisna' mirip
dengan salam karena termasuk jual beli ma'dum (barangnya belum ada), tetapi dalam
istishna' tidak diwajibkan melakukan pembayaran di awal. Pada akad ini, semua bahan
baku beserta proses pembuatan merupakan pekerjaan yang ditanggung oleh shani'
disebut ijarah.
Syarat dan rukun istisna' meliputi: pihak-pihak yang berakad yaitu mustashni'
(pemesan) dengan shani' (pekerja), dituntut adanya cakap hukum dan mumayyiz, sighat
adanya lafaz ijab dan kabul yang harus disebutkan secara jelas oleh kedua belah pihak,
21
Dikutip dari 06-Istisna_.pdf - MUI https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/06-Istisna_.pdf
11
obyek yang diakadkan terdiri atas mashnu (barang pesanan) dan tsaman (harga jual),
barang yang akan dibuat perlu dirincikan mengenai bentuk, kadar dan sifat, tipe, jenis,
yang biasa dikerjakan oleh manusia. Berikut dasar hukum yang bersumber dari fatwa
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.
berdasarkan kesepakatan
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
22
Ibid.
12
Ketiga, Akad Salam
Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan di antara pembeli dengan
penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad,
Hanabilah memberitahu bahwa salam adalah akad atas barang pesanan dengan
salam adalah akad jual-beli dimana modal (pembayaran) dibayarkan secara tunai (di
awal) dan obyek pesanan diserahkan di lain waktu dengan jangka waktu tertentu.23
Sedangkan menurut Rozalinda, salam adalah bagian dari implementasi dari jual beli.
Secara bahasa menurut penduduk Hijaz (Madinah), akad tersebut dinamakan dengan
salam, sedangkan menurut penduduk Irak disebut dengan salaf. Secara bahasa salam
jual beli salam merupakan “jual beli sistem pesanan” yakni pembeli membeli barang
dengan kriteria tertentu dengan cara menyerahkan uang terlebih dahulu, sementara itu
Berikut dalil terkait jual-beli salam, di antaranya Surah Al-Baqarah ayat 282 :
ٰٓ
َ ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَيْن اِلى ا َ َجل ُّم
... ُس ًّمى فَا ْكتُب ُْوه
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang
Menurut pendapat Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun
jual beli salam terbagi atas: 1). Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan
atau memesan barang, 2). Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang
23
Saprida, Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli, Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 04, No.1, 2016, hlm. 123.
24 Ibid, hlm. 124.
13
pesanan. 3) Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman), 4). Muslan fiih
adalah barang yang dijual belikan, 5). Shigat adalah ijab dan qabul.
Syarat-syarat jual beli salam, diantaranya : uangnya dibayar di tempat akad (saat
itu juga), barangnya menjadi hutang bagi penjual, barangnya dapat diberikan sesuai
waktu yang dijanjikan (barangnya harus sudah ada saat waktu telah ditetapkan), barang
menerimanya.25
2. AKAD KEMITRAAN
Musyarakah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syaraka, yusyriku, syarkan;
syarikatan; syirkatan yang memiliki makna kerjasama atau kelompok. Bila ditinjau
pembiayaan berdasarkan perjanjian kerjasama antara dua mitra atau lebih untuk suatu
ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Oleh karenanya, kemitraan musyarakah ditekankan peran para mitra yang
14
... ت َ على َب ْعض ا َِّل الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا َو
ٰ ع ِملُوا ال
ِ ص ِلح ُ ط ۤا ِء لَ َي ْب ِغ ْي َب ْع
َ ض ُه ْم َ ََوا َِّن َك ِثيْرا ِمنَ ْال ُخل
kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan
Aspek lain yang harus dicermati dalam bermitra dengan akad musyarakah adalah
rukun musyarakah. Ada beberapa rukun yang harus dilaksanakan saat berkeinginan
melakukan kemitraan dengan akad musyarakah. Kosongnya salah satu dari semua
rukun yang ada, maka akad musyarakah tersebut dapat dianggap rusak. Rukun tersebut
(Syafei, 2001 dan Suhendi, 2002), yaitu: (1) ijab kabul, (2) pihak-pihak yang berakad,
(3) objek akad, dan (3) nisbah bagi hasil (sistem pembagian keuntungan harus diperjelas
dalam kontrak musyarakahnya.27 Jika terjadi kerugian maka kerugian harus dibagi di
antara para mitra berdasarkan proporsi modal yang dikeluarkan masing-masing mitra.
Misalnya, Zul menanamkan modal Rp. 25 juta dan Rizal menanamkan modal Rp. 50
juta, jika terjadi kerugian Zul akan mendapatkan porsi kerugian 25% dan Rizal akan
musyarakah juga harus dipenuhi. Secara umum syarat bermitra dengan akad
musyarakah, yaitu: (1) perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan (hal ini
berarti salah satu pihak dipersilahkan untuk menerima atau mengirimkan wakilnya
guna bertindak hukum terhadap obyek perserikatan sesuai dengan izin mitra lainnya),
haruslah bersifat transparan ketika berlangsungnya akad, (3) keuntungan untuk masing-
15
masing mitra ditentukan secara keseluruhan berdasarkan persentase tertentu sesuai
syirkah inan adalah kerjasama antar dua mitra atau lebih yang menaruh modal dan
kontribusi kerja dalam jumlah berbeda, dan keuntungan dibagi berdasarkan ketentuan
yang menjadi porsi modal masing-masing yang telah disetorkan, 2) Syirkah mufawadah
adalah kerjasama antar dua mitra atau lebih yang meletakkan modal yang sama, 3)
Syirkah a’mal atau abdan adalah kerjasama antar dua mitra dengan profesi yang sama
(tanpa adanya modal awal) guna menerima tawaran proyek pekerjaan tertentu, dan
keuntungan dibagi rata sesuai laba dari pekerjaan yang dilakukan. Pada syirkah ini, para
mitra tidak mengeluarkan uang melainkan skill atau pekerjaan, 4) Syirkah wujuh adalah
kerjasama atau percampuran antar pihak pemilik dana dengan pihak lain yang
mempunyai kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah ini merupakan kerja sama yang
masyarakat.29 Syirkah wujuh dapat juga disebut sebagai syirkah antara dua pihak yang
sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan
Mudharabah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata dharb, yang berarti memukul
atau berjalan. Definisi memukul atau berjalan di sini adalah proses seseorang
didefinisikan sebagai aktivitas kemitraan bisnis diantara dua mitra. Mitra yang
mengelola bisnis disebut dengan mudharib, sementara mitra pemilik modal disebut
16
shahibul maal. Sedangkan pengertian mudharabah menurut DSN-MUI adalah akad
kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal,
LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (amil, mudharib, nasabah)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai
MUI/IV/2000). Contohnya yaitu, jika modal mudharib telah kembali dan memperoleh
ditambah dengan porsi keuntungan bagi shahibul maal sesuai kesepakatan nisbah bagi
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada
Rukun dan syarat akad mudharabah,31 yaitu: pertama, penyedia dana (shahibul
maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum (mampu diakui hukum). Kedua,
pernyataan ijab dan kabul, dilakukan oleh para mitra untuk mengetahui tujuan mereka
penawaran dan penerimaan harus secara langsung memuat tujuan kontrak, (2)
penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak, dan (3) kontrak dituangkan
30
Ibid, hlm. 90.
31
Ibid, hlm. 93.
17
secara tertulis, baik menggunakan korespondensi, atau dengan menggunakan berbagai
cara komunikasi modern. Ketiga, modal, sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan
oleh shahibul maal kepada mudharib yang diperuntukkan untuk tujuan usaha harus
memuat beberapa ketentuan-ketentuan, seperti: (1) modal harus diketahui jumlah dan
jenisnya, (2) modal dapat berupa uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan
dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu kontrak, dan (3) modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara
modal telah kembali dan keuntungan telah didapatkan, maka perlu mengindahkan
beberapa hal, seperti: (1) kedua mitra harus mendapatkannya dan tidak boleh
disyaratkan hanya untuk satu mitra, (2) bagian keuntungan proporsional bagi setiap
mitra harus diketahui dan dinyatakan pada saat kontrak disepakati dan harus dalam
berdasarkan kesepakatan, dan (3) penyedia dana (shahibul maal) menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian
sebagai bentuk keseimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana,
perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) kegiatan usaha adalah hak eksklusif
mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk
melakukan pengawasan, (2) penyedia dana tidak boleh mempersulit atau membatasi
terpenuhinya misi dan visi mudharabah, yaitu keuntungan, dan (3) pengelola tidak
18
boleh melanggar ketentuan syariat dalam membuat aturan yang bersinggungan dengan
mudharabah, dan wajib mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.
wewenang untuk menentukan berbagai hal atau meregulasi bisnis yang berjalan agar
berhasil dan selaras dengan tujuan bisnis yang telah disepakati antar kedua mitra. 2)
memiliki hak untuk mengatur bisnis mudharib. Sehingga saat terdapat kesepakatan
kewenangan untuk meregulasi usaha seratus persen adalah hak dari pengusaha
(mudharib), sedangkan shahibul maal tidak mempunyai bagian untuk mengatur usaha
Muzara’ah merupakan jenis bisnis yang bergerak dan berkecimpung dalam bidang
penggarap lahan dalam pengolahan pertanian, dimana benih dari tanaman ditanggung
pemilik lahan dan hasilnya dibagi dua sesuai kesepakatan (persentase) dari hasil panen.
Secara bahasa, muzara’ah berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata az-zar’u. Kata az-
zar’u yang mempunyai dua makna, yakni: (1) tharh az-zur’ah, artinya melemparkan
benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke
tanah, (2) al-Inbaat, artinya menumbuhkan tanaman. Sedangkan secara istilah para
ulama Malikiyah, Wahbah Zuhaily (2008/5: 482) mengatakan bahwa muzara’ah itu
adalah kerjasama dalam bercocok tanam. Sedangkan menurut ulama Hanabilah bahwa
32
Ibid, hlm. 94.
19
muzara’ah itu adalah pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan
Sementara ulama Syafiiyah mengatakan bahwa muzara’ah itu adalah pengerjaan lahan
dari pemilik kepada penggarap lahan dengan pembagian hasil panennya dan benihnya
mizara’ah terdiri atas, 1) akidain, yakni pelaku akad muzara’ah. Di dalam akidain perlu
diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut: a) baligh (akad ini tidak akan mampu
dilakukan bila pemilik tanah dan penggarap belum baligh, atau akad muzara’ah yang
dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum mumayiz, karena akal merupakan
syarat ahliyah dalam penggunaan harta, (b) tidak murtad. Tidak murtad merupakan
pendapat dari Imam Abu Hanifah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
tidak mensyaratkannya. Menurut Abu Hanifah, tasharruf orang yang murtad dianggap
mauquf, oleh karena itu tasharrufnya dianggap tidak sah. Sedangkan Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan tidak mensyaratkan hal ini dan menganggap tasharruf orang
yang murtad tetap sah. (b) Mahallul aqdi atau ma’qud alaih, merupakan objek akad
33
Ibid, hlm. 101.
20
muzara’ah. Ditemui beberapa perbedaaan pendapat terkait masalah objek ini, pendapat
yang satu mengatakan bahwa objek muzara’ah adalah manfaat tanah (lahan), namun
terdapat pula yang mengatakan bahwa objek yang dimaksud adalah pekerjaan
penggarap lahan. Para ulama Hanafiyah yang mengqiyaskan muzara’ah dengan ijarah
pada awalnya dan syirkah pada akhirnya berpendapat bahwa apabila benih berasal dari
penggarap maka objeknya adalah manfaat tanah yang digarap, namun jika benih berasal
Di dalam akad muzara’ah juga terdapat syarat-syarat atau rules lanjutan yang harus
syarat ini perlu diketahui jenis dan sifat tanamannya. Penggarap disarankan
menjelaskan dengan detail jenis dan sifat tanaman yang akan ditanamnya kepada
pemilik tanah. Hal ini bersifat urgent dikarenakan jenis tanaman akan berdampak
kepada kualitas tanah yang ditanaminya, (a) tanaman yang ditanam adalah tanaman
yang mampu atau dapat diambil manfaatnya dengan jelas, sehingga tidak sia-sia dalam
proses kedepan, dan (b) tanaman yang akan ditanam memang bisa tumbuh di lahan
yang tersedia. 2) Syarat tanah (lahan), dalam hal ini kedua belah pihak harus
memastikan bahwa tanah yang akan digunakan merupakan tanah yang bisa ditanami.
Bukan rawa-rawa ataupun tanah tandus yang tidak memiliki pengaruh terhadap
penanaman , (a) kejelasan letak dan batas tanah yang akan digarap, (b) pemberian
kebebasan lahan dari pemilik tanah kepada penggarap. Hal ini menggambarkan bahwa
pemilik tanah sudah memberikan tanggung jawab dan hak sepenuhnya pengurusan
tanah dan tanamannya kepada penggarap agar lebih leluasa dalam bekerja. 3) Syarat
hasil panen yang akan dibagi, hasil yang akan dibagi nanti harus dijelaskan di awal
akad. Kedudukan hasil di sini setara dengan kedudukan upah dalam suatu pekerjaan.
34
Ibid, hlm. 104.
21
Oleh karena itu jika terjadi perselisihan dalam upah maka rusaklah suatu akad, (a) hasil
yang akan dipanen nanti harus dibagikan kepada kedua pihak sesuai kesepakatan.
Apabila ada salah satu pihak mensyaratkan hasilnya hanya diperuntukkan hanya untuk
salah satu pihak maka rusaklah akad muzara’ah, (b) adanya penentuan persentase
pembagian yang jelas dari awal akad, misalnya 1/4, 1/2atau 1/8. Ketentuan seperti ini
diharuskan penjelasannya dari awal sehingga terhindar dari perdebatan antar pihak, (c)
hasil yang dibagikan kepada kedua mitra merupakan hasil dari kerjasama keduanya. 4)
Syarat alat pertanian, alat pertanian dapat berupa hewan seperti sapi atau kerbau
pembajak ataupun alat-alat modern seperti traktor. Alat-alat ini tidak wajib disebutkan
dalam akad karena hanya merupakan pelengkap bukan bagian utama dari pekerjaan
tidak sah jika waktu ataupun massa berlangsungnya akad sudah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dijelaskan bahwa jenis-jenis akad
muzara’ah terbagi menjadi empat jenis (Nassar, 1971: 58), diantaranya :35
Pertama, tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan
(peralatan) dari pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini dihalalkan dalam Islam. Dalam
muzara’ah jenis ini, pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa
kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan
dari pihak penggarap. Karena hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja. Kedua,
tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari
pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini juga dihalalkan dalam Islam. Dalam
muzara’ah jenis ini, penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan
keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti. Ketiga, tanah, hewan (peralatan)
35
Ibid, hlm. 106.
22
dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua. Jenis
muzara’ah seperti ini juga dihalalkan dalam Islam. Dalam muzara’ah jenis ini, pemilik
pembagian hasil yang disepakati kedua pihak. Keempat, Dalam muzara’ah jenis ini,
tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan
dari pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini tidak diperkenankan dalam Islam, karena
kemitraan dalam bidang agribisnis, yakni kemitraan antara pemilik dengan penggarap
lahan dalam pengolahan pertanian dan perkebunan, namun di sini yang membedakan
adalah bahwa mukhabarah benih tanaman ditanggung penggarap lahan. Secara bahasa,
mukhabarah dapat diartikan sebagai tanah gembur atau lunak. Kata mukhabarah ini
merupakan masdar dari fiil madhi khaabara dan dari fi’il mudhari yukhaabiru
36
(Almunawwir, 1984: 319). Sedangkan menurut istilah, mukhabarah adalah
mengerjakan tanah milik orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan adanya
pembagian hasil di antara para mitra, tetapi biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
penggarap lahan (Rasyid, 1994: 54). Jika dalam muzara’ah pengadaan bibit dilakukan
oleh pemilik lahan, maka dalam mukhabarah, benih atau bibit yang akan ditanam
disediakan oleh penggarap lahan. Penggarap lahan tidak hanya bertugas untuk
menyediakan benih, tapi juga mengurus segala keperluan dalam penggarapan lahan
hasilnya akan dibagi setelah masa panen dengan perbandingan sesuai kesepakatan para
mitra.
36
Ibid, hlm. 111.
23
Menurut pendapat jumhur ulama, Qomarul Huda (2011: 28) mengatakan bahwa
rukun mukhabarah terdiri dari: (1) Aqid, yaitu orang yang melaksanakan kesepakatan
dengan jumlah yang terdiri atas dua orang atau lebih, (2) Ma’qud Alaih, yaitu benda-
benda (objek) yang diakadkan, (3) Maudhu’ al-Aqd, yaitu tujuan pokok diadakannya
akad, dan (4) Shighat al-Aqd, yaitu ijab dan kabul akad.37
Di samping itu, mukhabarah juga memiliki beberapa syarat lain yang perlu
diketahui , seperti : 1) Syarat yang melakukan akad, harus baligh dan tidak murtad
(Menurut Imam Abu Hanifah seperti yang diungkapkan Wahbah az-Zuhaili (2011: 566)
bahwa tindakan orang murtad adalah ditangguhkan (mauquuf), sehingga tidak bisa
langsung sah seketika itu juga. Lebih lanjut diungkapkan bahwa tidak semua rekan
Imam Abu Hanifah setuju dengan pendapat ini. Pendapat lain juga berpendapat bahwa
akad mukhabarah yang dilakukan orang murtad statusnya adalah berlaku efektif
(naafidz). 2) Syarat penanaman, benih yang ditanam tersebut mampu berkembang jika
diolah dan ditanam, yakni mengalami pertambahan dan pertumbuhan. 3) Syarat lahan,
(a) lahan harus layak untuk ditanami dan dijadikan lahan pertanian. Seandainya lahan
tersebut tidak layak untuk ditanami, contohnya lahan mengandung garam atau
berlumpur sehingga sulit ditanami, maka akad menjadi tidak sah, (b) lahan harus
diketahui dengan jelas dan pasti, yaitu milik siapa dan bagaimana status hukumnya.
Jika tidak diketahui dengan jelas, akad tidak sah karena dapat menyebabkan terjadinya
perselisihan, dan (c) lahan yang akan ditanami sepatutnya diserahkan sepenuhnya
kepada pengelola. Jika masih ada campur tangan pemilik lahan, maka akad dianggap
tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat at-takhliyah. 3) Syarat masa mukhabarah,
patokan dari masa disesuaikan dengan masa yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,
tidak diperkenankan apabila masanya tidak wajar, seperti masa yang tidak
37
Ibid, hlm. 113.
24
memungkinkan bagi pengelola untuk menggarap lahan, atau jangka waktu di mana
kemungkinan besar umur salah satu mitra tidak menjangkau masa tersebut. 4) Syarat
hasil panen, (a) hasil panen harus diketahui secara jelas dalam akad, karena nantinya
hasil panen tersebut akan dijadikan upah. Apabila hasil panen tidak diketahui, hal
tersebut dapat menyebabkan rusaknya akad dan menjadikannya tidak sah, (b) status
dari hasil panen adalah milik bersama dari kedua mitra. Tidak diperbolehkan
menyatakan bahwa hasil panen dikhususkan untuk salah satu mitra, karena hal tersebut
dapat merusak akad, (c) pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya, yaitu boleh
dengan cara setengah/separuh, sepertiga, seperempat atau jumlah lainnya sesuai dengan
panen harus ditentukan secara umum dari keseluruhan hasil panen. Maksudnya, jika
disyaratkan bagian satu pihak adalah sekian (dalam jumlah pasti, misalnya empat mud),
maka dianggap tidak sah. Sebab, bisa saja hasil panen dari tanaman hanya
Di era ini banyak orang mempunyai kebun dan sudah ditanami pohon. Namun
karena faktor kesibukan atau karena luasnya area perkebunan yang dimilikinya
sehingga tidak memiliki waktu untuk merawat dan mengelolanya sendiri, maka lahirlah
lain untuk mengelola dan merawat tanaman, namun penggarap tidak punya tanah
sendiri. Hasil panen kemudian dibagi berdua antara dua orang yang bermitra tersebut.
keduanya (al-Nawawy, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa menolong itu tidak selalu
38
Ibid, hlm. 115.
25
dalam bentuk tabarru’ (sukarela), namu terkadang menolong juga dapat berbentuk
sebuah pekerjaan (produktif) kepada penggarap yang lemah secara ekonomi agar
mereka tetap dapat menjaga kehormatannya. Hal ini disampaikan dalam Q.S. al-Isra
(17) ayat 29 :
jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi
muzara’ah. Namun perbedaan keduanya terletak pada jenis tanaman dan model
pelaksanaannya. Pada kemitraan musaqah, tanaman sudah ada di area lahan, namun
pada kemitraan muzara’ah, kondisi tanamannya belum ada sehingga petani penggarap
harus menanamnya sejak dari awal, bahkan menyemaikan benihnya. Pada kemitraan
buahnya tidak sekali petik langsung habis, seperti cabe, tomat, mentimun, semangka,
sebagai tanaman utama, dan bukan sekadar sebagai tanaman sampingan semata.39
Berikut syarat dan rukun akad pada kemitraan musaqah yang harus diketahui.
Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dan rukun musaqah memuat lima hal,
40
yakni: (1) dua orang yang bertransaksi, (2) terdapar shighat (kalimat yang
menyatakan akad), (3) hal yang berhubungan dengan amal (perkebunan), (4) buah atau
yang semakna (menurut qaul qadim Imam Syafii), dan (5) pekerjaan atau amal (Dalam
39
Ibid, hlm. 116.
40
Ibid, hlm. 117
26
bagian amal/pekerjaan (amal) terdapat tiga syarat yang menjadi perhatian utama bagi
si pengelola (amil), yaitu: (1) pekerjaan dilakukan oleh pengelola, tanpa keterlibatan
pemilik, (2) tidak diperkenankan adanya syarat lain yang mengikat pengelola selain
menjaga dan merawat kebun dan pohon yang sudah diserahkan kepadanya, dan (3)
pengelola menjaga dan mengelola kebun itu sendirian. Tidak boleh ada pengelola lain
yang ikut mengelola kebun tersebut (al-Nawawy, 2000/5: 155). (al-Nawawy, 2000/5:
150).
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadu (ganti)
dan oleh sebab itu ath-thawab atau (pahala) dikatakan sebagai ajru (upah). Lafal al-
ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan
salah satu bagian dari bidang muamalah dalam berjasa sebagai peran keberlangsungan
hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-
lain. Ijarah secara bahasa diartikan sebagai balasan, tebusan, atau pahala.41
Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima
dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah
ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula. Secara istilah, ada beberapa definisi al-
ijarah yang dipaparkan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi’iyah, ijarah adalah akad
atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah
akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui dan di sengaja dari suatu
zat yang disewa dengan imbalan. Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah
adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan
pengganti. Selain pendapat di atas terdapat pula pendapat lain yang mampu
41
Dikutip dari http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf
27
mendefinisikan ijarah, yakni menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah-
mengupah), yakni mengambil mengambil manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat
dari barang.42
bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional. Sewa
secara umum digunakan untuk benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar
untuk tempat tinggal selama kuliah, tetapi upah digunakan untuk tenaga, seperti
karyawan yang bekerja di kantor dan kemudian diberikan dibayar gajinya (upahnya)
dalam tempo tertentu, seperti satu kali dalam dua minggu, atau sekali dalam sebulan,
Landasan hukum akad ijarah terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 233 :
...
Artinya : “Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak
Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul,
yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan menurut
jumhur ulama, rukun-rukun dan syarat ijarah terdiri dari empat, yaitu aqid (orang yang
berakad), sighat, upah, dan manfaat. Berikut penjelasan terkait rukun-rukun ijarah: 1)
aqid (orang yang berakad), orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu
mu’jir dan mustajir. mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Bagi yang akan menggunakan akad
42
Ibid, hlm. 24
28
ijarah diharapkan untuk mengetahui terlebih dahulu manfaat barang yang dijadikan
akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang
membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat
membedakan baik ataupun buruk, maka akad menjadi tidak sah. 2) sighat akad, yaitu
suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul adalah awal
terjadinya sebuah akad ijarah, tutur kata yang keluar dari salah satu pihak menandakan
bahwa akad ijarah telah terjadi, dalam hal ini laksana sebuah kesepakatan. Dalam
hukum kontrak secara Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau
penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sedangkan kabul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula
(musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.
3) ujroh (upah), ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang
telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Patutnya memperhatikan beberapa
ijarah akad timbal balik, karena itu ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui,
b) pegawai khusus seperti jaksa tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena
dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari
pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu
pekerjaan saja, c) uang yang diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang
sudah disewa tersebut. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus
lengkap. 4) manfaat, cara ntuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan
jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. Semua harta benda boleh diakadkan
29
ijarah, namun setidaknya perlu mengindahkan beberapa aturan terkait objek akad ini,
seperti :43
a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus dapat dipastikan. Hal ini dilakukan
dengan cara memeriksa atau pemilik memberikan informasi secara transparan tentang
b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga (orang lain).
Contohnya, sewa baju untuk dipakai, motor untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak
Contohnya, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak
e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’mali,
yakni harta benda yang manfaatnya didapatkan berulang kali, tidak hanya sekali atau
tanpa menyebabkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Dan tidak diperbolehkan
menggunakan harta yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau
berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah
diatasnya.44
Macam-macam akad ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut45 :
a) ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini,
43
Ibid, hlm. 25.
44
Ibid, hlm. 26.
45
Ibid, hlm. 28.
30
objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda, b) ijarah atas pekerjaan, disebut juga
upah-mengupah . Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau
pekerjaan seseorang.
Akad ijarah dapat terhenti disebabkan oleh beberapa hal tertentu. Dalam hal ini
para ulama fiqh membenarkan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika: a) objek hilang
atau musnah, seperti motor terbakar atau radio yang dipinjamkan hilang. b) tenggang
waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah sudah selesai. Apabila yang disewakan itu
rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu
adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh
seluruh ulama fiqh, c) wafatnya salah seorang yang berakad, pendapat ini menurut
ulama Hanafiyah. Karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan.
Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan meninggalnya
salah seorang yang berakad, hal ini didasarkan bahwa manfaat, menurut mereka boleh
diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang
berakad, d) menurut ulama hanafiyah, apabila uzur dari salah satu pihak. Seperti rumah
yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka al-ijarah batal.
Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah
adalah salah satu pihak muflis (bangkrut) dan berpindah tempat penyewa. Misalnya,
seseorang digaji untuk membuat selokan di suatu desa, sebelum selokan itu jadi
penduduk desa itu pindah. Namun berdasarkan menurut jumhur ulama, uzur yang
membolehkan batalnya akad al-ijarah itu hanya saat objeknya mengandung cacat atas
46
Ibid, hlm. 30.
31
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa akad adalah perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan masing-masing pihak yang
melakukan akad dan berakibat adanya dampak hukum baru bagi mereka yang berakad.
Apabila kedua belah pihak sudah berakad, maka kedua belah pihak diwajibkan untuk
mematuhi segala hal yang telah disepakati di dalam akad. Akad terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu akad jual-beli (mudharabah, istishna’, dan salam), akad kemitraan (musyarakah,
B. SARAN
dapat memaami sedikit terkait akad-akad dalam bisnis syariah . Dan pembaca diarahkan
32
DAFTAR PUSTAKA
Kalsum, Ummi dan Eka Rizky saputra. 2016. Penyertaan Akad Wakalah Pada Pembiayaan
Redaksi OCBC NISP. 2023. Akad Murabahah: Dasar Hukum, Jenis, Rukun dan Syaratnya.
Saprida. 2016. Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. Jurnal Ilmu Syariah. 4 (1) : 123.
Shobirin. 2015. Jual Beli Dalam Perspektif Islam. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam. 3 (2) :
243
Syaparuddin. 2020. Islam dan Kemitraan Bisnis (Edisi I). Yogyakarta: TrustMedia Publishing.
Veithzal Rifai. 2008. Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan
praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
33