Anda di halaman 1dari 36

AKAD-AKAD DALAM BISNIS SYARIAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi perkuliahan Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu : Suharti, M.Ag.

Disusun Oleh :

KELOMPOK VIII

NAINUL FALKY HAK (220202109)

ZULAIMI ZIKRULLAH (220202106)

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta

karunia-Nya kepada kita semua dan tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan alam,

Baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing Umat Islam dari zaman jahiliyah

menuju zaman Islamiyyah. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada

waktunya. Makalah ini berjudul “AKAD-AKAD DALAM BISNIS SYARIAH.”

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Suharti,

M.Ag. pada mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah. Selain itu makalah ini dapat digunakan

untuk menambah wawasan yang lebih detail mengenai definisi akad, jenis-jenis akad, beserta

contoh dari berbagai jenis akad dalam bisnis syariah.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan

saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan

makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada

pembaca.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Dosen Suharti, M.Ag. yang telah

memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pemahaman dan pengetahuan kami.

Mataram, 4 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB 1 ........................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2

C. TUJUAN MAKALAH.................................................................................................... 2

BAB II........................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3

A. DEFINISI AKAD ........................................................................................................... 3

B. JENIS-JENIS AKAD DALAM BISNIS SYARIAH ...................................................... 5

1. AKAD JUAL-BELI .................................................................................................... 5

2. AKAD KEMITRAAN .............................................................................................. 14

3. AKAD SEWA-MENYEWA DAN JASA................................................................. 27

BAB III .................................................................................................................................... 32

PENUTUP................................................................................................................................ 32

A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 32

B. SARAN ......................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 33

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam dunia bisnis, akad memiliki peranan sangat penting karena keberlangsungan

kegiatan bisnis ke depan akan tergantung seberapa baik dan rinci akad yang dibuat

untuk menjaga dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan

akad. Akad merupakan perjanjian yang mengikat hubungan kedua pihak itu sekarang

dan yang akan datang. Pemilihan akad akan mencerminkan seberapa besar risiko dan

keuntungan bagi kedua pihak, terutama bagi pihak yang mengeluarkan modal ataupun

pihak yang mengatur bisnis atau antara pembeli dengan penjual.

Ilmu fikih hadir memberikan gambaran berbagai cara dan metode penetapan dasar-

dasar perjanjian bisnis sehingga dapat mencapai sebuah tujuan dan kepentingan yang

berakad. Selain itu, ilmu fikih khususnya ilmu fikih muamalah akan mampu

menyuguhkan solusi atas persoalan masyarakat terkait ekonomi, serta membentuk

sebuah regulasi untuk menerangkan aktivitas bisnis yang sejalan dengan prinsip syariah

serta menghadirkan kaidah-kaidah dan pandangan yang dianut dalam hal transaksi

bisnis yang baru dan yang semakin beragam di era modern. Semakin tepat, cermat,

jelas, serta detail dalam menentukan akad maka semakin kecil prediksi timbulnya

konflik antar kedua belah pihak yang berakad di masa yang akan datang karena

pemahaman hak dan kewajiban masing-masing pihak sudah tegas. Dengan hadirnya

makalah ini, akan menyajikan dan memaparkan terkait beberapa jenis akad yang

membekali pembaca dalam memahami akad-akad dalam bisnis syariah sebagai upaya

untuk menghadapi berbagai kegiatan bisnis syariah yang berhubungan atau

bersinggungan pada kehidupan di masyarakat.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan definisi akad ?

2. Bagaimanakah jenis-jenis akad dalam ekonomi syariah ?

3. Bagaimanakah implementasi akad dalam realitas ekonomi masyarakat ?

C. TUJUAN MAKALAH

1. Untuk memahami definisi akad

2. Untuk mengetahui jenis-jenis akad dalam bisnis syariah

3. Untuk mengetahui implementasi akad dalam realitas ekonomi masyarakat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI AKAD

Asal kata akad dari bahasa Arab, yaitu al-‘Aqd. Secara bahasa kata al-‘Aqd, membentuk

masdarnya adalah ‘Aqada dan bentuk jamaknya adalah al-‘Uqud yang memiliki arti

perjanjian (yang tertulis) atau kontrak.1 Di dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, al-‘aqd

dapat diartikan sebagai perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). 2 Sedangkan

menurut kaidah fikih, akad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan

ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan perspektif syariat yang

berdampak kepada objek perikatan sehingga berlaku adanya perpindahan pemilikan dari

satu pihak kepada pihak yang lain.3

Terdapat beberapa pendapat terkait definisi akad secara istilah, diantaranya, Wahbah al-

Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh yang dikutip oleh Dimyauddin

Djuwaini bahwa akad didefinisikan sebagai sebuah hubungan/keterkaitan antara ijab dan

qabul atas realitas yang diatur dan diakui oleh syara' serta berimbas dengan adanya hukum

tertentu.4 Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa akad adalah perikatan antara

ijab dengan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridaan kedua belah pihak.5

Berdasarkan definisi yang dipaparkan di atas, kita dapat memahami bahwa sebuah akad

adalah perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan

masing-masing pihak yang melakukan akad dan berakibat adanya dampak hukum baru bagi

mereka yang berakad. Sehingga apabila perjanjian (akad) tersebut dilanggar ataupun tidak

1 Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015 : 786.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.

3
dipatuhi oleh kedua belah pihak, maka sanksi ataupun akibat hukum yang ditimbulkan akan

berlaku. Landasan hukum akad terdapat pada surah Al-Maidah ayat 1 dan An-Nisa’ ayat

29 :

‫ع ْن ت ََراض ِم ْن ُك ْم‬ َ ‫ِل ا َ ْن تَ ُك ْونَ ِت َج‬


َ ‫ارة‬ ِ ‫ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا َل تَأ ْ ُكلُ ْٰٓوا ا َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْال َب‬
ٰٓ َّ ‫اط ِل ا‬
‫ّللا َكانَ ِب ُك ْم َر ِحيْما‬ َ ٰ ‫س ُك ْم ا َِّن‬ َ ُ‫َو َل تَ ْقتُلُ ْٰٓوا ا َ ْنف‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku

atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.

Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ ayat 29).

... ‫ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا ا َ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.”
(QS. Al-Maidah ayat 1)

Dari dua ayat yang telah disajikan di atas, menitikberatkan bahwa seorang mukmin

berkewajiban untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan diakadkan olehnya, baik

berupa perkataan maupun perbuatan. Pelaksanaan akad dalam lingkup perdagangan

dituntut adanya kondisi kerelaan diantara keduanya. Meskipun kerelaan tersebut berbentuk

sebuah keikhlasan dan kesetujuan yang tersembunyi di dalam hati, tetapi pelaksanaan dan

prosesnya harus terlihat. Ijab dan kabul atau apapun yang sejalan dan semakna dengan dua

kata di atas, baik dalam adat kebiasaan di masyarakat yang sering dijumpai sebagai serah

terima merupakan bentuk-bentuk yang dipergunakan hukum untuk menunjukkan

kerelaan.6

6 Ibid.

4
B. JENIS-JENIS AKAD DALAM BISNIS SYARIAH

1. AKAD JUAL-BELI

Jual beli dalam ilmu fikih dapat juga dikenal dengan al-bai’ yang bermakna menjual,

mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-bai’ dalam bahasa

Arab sering digunakan untuk lawan katanya, yakni kata asy-syira (beli). Oleh

karenanya, kata al-bai’ memiliki arti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli (Haroen,

2000:111). Jual beli atau bisnis menurut bahasa berasal dari kata al-bay'u dan

konjungsinya adalah ba'a - yabi'u – bay'un yang artinya menjual (al-Marbawy, t.th: 72).

Menurut bahasa, jual beli berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu (Al-Jaziri,

2003:123).7 Jual-beli diatur dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 275 :

ِ ‫ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬


... ‫الربوا‬ ٰ ‫ َوا َ َح َّل‬...
Artinya : “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

‫الر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ُّل بَيْع َمب ُْر ْور – رواه‬ َ ‫ب ؟ قَا َل‬
َّ ‫ع َم ُل‬ ْ َ‫ب أ‬
ُ َ‫طي‬ ِ ‫ي ْال َك ْس‬
ُّ َ‫سلَّ َم أ‬ َ ‫صلَّى للا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫سئِ َل النَّب‬
َ ‫ي‬ ُ

‫االبزار والحاكم‬

Artinya : “Nabi saw pernah ditanya; usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling

baik (paling ideal) ? Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan

tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim).

َ ‫إِ َّن َما ْال َب ْي ُع‬


‫ع ْن ت ََراض – رواه البيهقي‬

Artinya : “Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).”

(HR. Al-Baihaqi).

7 Shobirin, Jual Beli Dalam Perspektif Islam, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, 2015 : 243.

5
Berikut rukun dan syarat jual-beli, diantaranya :

Pertama, Akad (Ijab-kabul), definisi akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada

di antara ujung suatu barang. Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy akad secara bahasa

adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain,

sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong benda (1979 : 21).8

Dan secara istilah, akad adalah perkataan antara ijab qabul dengan cara yang

dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan kedua belah pihak. (Hasby, 1979 : 21).

Pengucapan saat akad adalah bagian dari salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

memenuhi unsur akad ini, namun terdapat cara lain yang bisa digunakan untuk

mewakili terpenuhinya akad, para ulama' bersepakat mengenai hal ini, berikut

diantaranya : 1) Dengan cara tulisan, cara ini dapat ditempuh saat kedua orang yang

sedang melakukan transaksi sedang berjauhan, maka ijab kabulnya dapat menggunakan

cara ini. 2) Dengan isyarat, apabila terdapat keterbatasan dengan tulisan dan ucapan

maka dapat menggunakan isyarat. Sehingga muncullah kaidah yang mengatakan,

"Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah." (Suhendi, 2007:49). 3) Dengan

cara ta'ahi (saling memberi), contohnya seseorang melakukan pemberian kepada orang

lain, dan orang yang diberi tersebut memberikan imbalan kepada orang yang

memberinya tanpa ditentukan besar imbalan. 4) Dengan cara lisan al-hal, oleh sebagian

ulama mengatakan, jika seseorang meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain

kemudian orang itu pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja

hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang

titipan dengan jalan dalalah al hal.9

8
Ibid, hlm. 246
9
Ibid, hlm. 247

6
Kedua, orang yang berakad (subyek), subyek dalam jual beli terdiri bai’(penjual)

dan mustari (pembeli). Atau dapat juga dikenal dengan sebutan aqid (orang yang

melakukan aktivitas jual-beli). Berikut syarat seorang aqid: beragama Islam,

berakal/mumayiz, dengan kehendaknya sendiri, baligh, harta itu milik sendiri.10

Ketiga, ma’kud alaih (obyek yang diperjualbelikan), yang menjadi ma’qud alaih

adalah barang-barany yang memenuhi kriteria sebagai berikut : bersih barangnya

(bukan barang yang najis atau yang diharamkan), ada manfaatnya, milik orang yang

melakukan akad, mengetahui (barang yang akan dijual harus diketahui sifat, zat,

bentuk, dan harganya), barang yang diakadkan berada di tangan (barang yang

diperjualbelikan harus berada dalam kekuasaan penjual), mampu diserahkan.11

Keempat, ada nilai tukar pengganti barang. Terdapat tiga syarat sebagai alat tukar

barang, yakni menyimpan nilai, bisa menghargakan barang, dapat dijadikan alat tukar.

Prinsip-prinsip jual-beli, yaitu larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh

orang lain, sesuatu yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang mubah bukan yang

haram, menghindari praktik perjudian.12

Berikutnya penjelasan terkait beberapa jenis akad yang berlaku dalam transaksi

jual-beli dalam bisnis syariah :

Pertama, Akad Murabahah, Murabahah asal katanya dari kata ribh yang memiliki

makan perolehan, keuntungan, atau tambahan.13 Murabahah juga dapat didefinisikan

rabiha yang berarti beruntung, ribhan yang berarti berlaba, warabahan yang artinya

keuntungan dan warabaahan yang artinya laba (Munawir,1997: 463).14

10 Ibid, hlm. 248


11
Ibid, hlm. 251
12
Dikutip https://muhammadiyah.or.id/jual-beli-dalam-islam/
13
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015, hlm. 787
14
Ummi Kalsum dan Eka Rizky saputra, Penyertaan Akad Wakalah Pada Pembiayaan Murabahah, Jurnal Li Falah (Studi
Ekonomi dan Bisnis Islam), Vol. 01, No.01, 2016, hlm. 4

7
Dasar hukum murabahah terdapat di dalam Surah Al-Baqarah ayat 16, di dalam surah

tersebut terdapat kata, “tidak beruntung” :

... َ‫ارت ُ ُه ْم َو َما َكانُ ْوا ُم ْهتَ ِديْن‬ ْ ‫ فَ َما َر ِب َح‬...


َ ‫ت ِت َج‬

Artinya : “Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat

petunjuk.”

Menurut Imam al-Kasani, murabahah adalah bentuk jual beli dengan diketahuinya

harga pokok dengan adanya tambahan keuntungan tertentu (Kasani, tt: 226). 15

Dijelaskan pula di dalam Undang- undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah pasal 19 ayat (1) huruf d, bahwa murabahah adalah “Akad pembiayaan suatu

barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya

dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.”

Pelaksanaan jual beli dengan akad murabahah, penjual diharuskan memberitahu

biayanya pada saat akad berlangsung serta sistem penetapan keuntungan yang disetujui.

Di sisi lain, Bai' al-Murabahah adalah menjual barang dengan harga yang disepakati

dengan tambahan keuntungan yang diketahui. Pada akad murabahah dapat

menggunakan sistem angsuran (cicilan) pada proses pembayaran dan obyek (barang)

akad ini diserahkan di awal. Akadnya berlaku sah jika pembeli mengetahui harga awal,

biaya tambahan jika tercantum, dan jumlah keuntungan yang diterima.16

Merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/2000 perihal

murabahah, murabahah adalah penjualan barang yang menekankan harga beli kepada

pembeli dan pembeli bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sebagai perolehan

keuntungan penjual. Murabahah dapat diilustrasikan seperti berikut, tiga pihak yang

15
Ibid, hlm. 04.
16
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015, hlm. 788.

8
terlibat dalam murabahah, yaitu A, B dan C. A meminta B untuk membelikannya

beberapa barang (komoditas). B tidak memiliki barang- barang yang dibutuhkan oleh

A tetapi B berjanji untuk membelikannya dari pihak ketiga, yaitu C. Sedangkan dalam

konteks perbankan syariah, akad ini dapat dimaknakan sebagai sebuah perjanjian antara

nasabah dan bank dalam proses transaksi jual beli, dimana bank membelikan produk

sesuai permintaan nasabah, kemudian produk tersebut dijual kepada nasabah dengan

harga lebih tinggi sebagai profit bank. Dalam hal ini, nasabah mengetahui harga beli

produk dan perolehan laba bank. Berikut penjabaran terkait rukun dan syarat

murabahah: Ba’iu (penjual), musytari (pembeli), mabi’ (barang yang diperjualbelikan),

tsaman (harga barang), ijab kabul (pernyataan serah terima). Setelah rukun dipaparkan,

diikuti pula dengan syarat-syarat murabahah sebagai berikut: A) syarat yang berakad

(ba’iu dan musytari) cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa, B) barang yang

diperjualbelikan (mabi’) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun

jumlahnya jelas, C) harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara transparan (harga

pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas,

D) pernyataan serah terima (ijab kabul) harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik

pihak-pihak yang berakad.17

Jenis-jenis murabahah : pertama, murabahah dengan pesanan (pembeli

memesan barang terlebih dahulu. Kemudian penjual memproduksi atau membeli dari

supplier, lantas dijual kepada pembeli dengan transparansi harga), kedua, murabahah

tanpa pesanan (transaksi murabahah langsung dilakukan tanpa menunggu

produk/barang dikarenakan produk/barang sudah ada). Kelemahan dari akad

murabahah dapat dideskripsikan secara singkat, yaitu adanya kelalaian (sengaja tidak

17
Veithzal Rifai, Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan praktis untuk lembaga keuangan,
nasabah, praktisi, dan mahasiswa (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 146-147.

9
membayar), penolakan oleh pembeli / nasabah (karena barangnya rusak dalam

perjalanan, dsb. setelah dibeli), aset dijual oleh nasabah saat masih memiliki angsuran

utang (dalam konteks perbankan).18 Contoh penerapan akad murabahah adalah Adit

ingin membeli komputer milik Fathul, namun Adit menjelaskan atau menerangkan

terlebih dahulu kepada Fathul bahwa ia membeli komputer tersebut dengan harga Rp

10.000.000,00 dan akan menjualnya Rp 11.000.000,00 kepada Fathul, sehingga Adit

mendapatkan keuntungan sebesar 1 juta, namun Fathul melakukan penawaran agar

keuntungan yang diterima Adit sebesar Rp 800.000,00 sehingga harga jualnya

Rp10.800.000,00. Adit menerima tawaran tersebut dengan cicilan angsuran Rp

450,000,00/bulan.

Kedua, Akad Istihsna’

Secara bahasa istisna’ bermuara dari kata sana’a menjadi yang kemudian menjadi

istisna’ yang dapat diartikan talab al-sun’ah yang berarti meminta dibuatkan barang

atau meminta untuk dibuatkan sesuatu.19 Istisna' secara istilah adalah akad meminta

seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu. 20 Definisi

istisna' merupakan akad yang dilakukan dengan cara menyuruh seseorang untuk

membuat barang tertentu dalam tanggungan dan akad tersebut merupakan akad

membeli sesuatu yang akan dibuat oleh seseorang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari

perak.

18
Dikutip dari https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/12/akad-murabahah
19
Eka Nuraini Rachmawati dan Ab Mumin bin Ab Ghani, Akad Jual Beli Dalam Perspektif Fikih Dan Praktiknya Di Pasar
Modal Indonesia, Jurnal Al-Adalah, vol. XII, no. 4, 2015, hlm. 788.
20
Ibid.

10
َ ُ ‫ّللا صلى للا عليه و سلم َكانَ أ َ َرادَ أ َ ْن َي ْكت‬
‫ب ِإلَى‬ َّ ‫ع ْن أَنَس رضي للا عنه أ َ َّن َن ِب‬
ِ َّ ‫ى‬ َ
َ ‫ص‬
‫ط َن َع خَاتَما ِم ْن ِفضَّة‬ َ ‫ ْال َع َج ِم فَ ِقي َل لَهُ ِإ َّن ْال َع َج َم لَ َي ْق َبلُونَ ِإلَّ ِكتَابا‬.
ْ ‫فَا‬. ‫علَ ْي ِه خَا ِتم‬

ُ ‫قَا َل َكأ َ ِنى أ َ ْن‬


ِ ‫ظ ُر ِإلَى َب َي‬
‫رواه مسلم‬. ‫اض ِه ِفى َي ِد ِه‬
Artinya : “Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab,

lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima

surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel

dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan

kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim).

Menurut ahli fikih, pengertian istisna' adalah suatu permintaan untuk mengerjakan

sesuatu yang tertentu menurut cara tertentu yang materinya (bahan bakunya) dari pihak

pembuat (tukang). Berdasarkan fatwa DSN-MUI NO 06 Tahun 2000 Tentang Istishna,

istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu

dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan

(pembeli/mustashni') dan penjual (pembuat/ shani'). 21 Dalam hal ini, istisna' mirip

dengan salam karena termasuk jual beli ma'dum (barangnya belum ada), tetapi dalam

istishna' tidak diwajibkan melakukan pembayaran di awal. Pada akad ini, semua bahan

baku beserta proses pembuatan merupakan pekerjaan yang ditanggung oleh shani'

(pekerja/pembuat). Jika, bahan baku disediakan oleh mustashni' (pemesan), maka

disebut ijarah.

Syarat dan rukun istisna' meliputi: pihak-pihak yang berakad yaitu mustashni'

(pemesan) dengan shani' (pekerja), dituntut adanya cakap hukum dan mumayyiz, sighat

adanya lafaz ijab dan kabul yang harus disebutkan secara jelas oleh kedua belah pihak,

21
Dikutip dari 06-Istisna_.pdf - MUI https://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/06-Istisna_.pdf

11
obyek yang diakadkan terdiri atas mashnu (barang pesanan) dan tsaman (harga jual),

barang yang akan dibuat perlu dirincikan mengenai bentuk, kadar dan sifat, tipe, jenis,

kualitas beserta kuantitasnya, pekerjaan yang dilakukan merupakan jenis pekerjaan

yang biasa dikerjakan oleh manusia. Berikut dasar hukum yang bersumber dari fatwa

DSN-MUI adalah fatwa DSN-MUI No. 06 yaitu bahwa transaksi istishna

diperbolehkan, namun perlu memerhatikan beberapa ketentuannya, sebagai berikut:22

Pertama, terkait pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau

manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua, ketentuan perihal barang :

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya

3. Penyerahannya dilakukan kemudian

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan

berdasarkan kesepakatan

5. Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan

memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

22
Ibid.

12
Ketiga, Akad Salam

Jual beli salam adalah akad jual beli barang pesanan di antara pembeli dengan

penjual. Spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad,

sedangkan pembayaran dilaksanakan di awal secara penuh. Ulama Syafi’iyah dan

Hanabilah memberitahu bahwa salam adalah akad atas barang pesanan dengan

kualifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana

pembayaran dilakukan secara tunai di majelis akad. Ulama malikiyyah menyatakan,

salam adalah akad jual-beli dimana modal (pembayaran) dibayarkan secara tunai (di

awal) dan obyek pesanan diserahkan di lain waktu dengan jangka waktu tertentu.23

Sedangkan menurut Rozalinda, salam adalah bagian dari implementasi dari jual beli.

Secara bahasa menurut penduduk Hijaz (Madinah), akad tersebut dinamakan dengan

salam, sedangkan menurut penduduk Irak disebut dengan salaf. Secara bahasa salam

atau salaf bermakna: “Mendahulukan modal dan mengembelakangkan barang”. Jadi

jual beli salam merupakan “jual beli sistem pesanan” yakni pembeli membeli barang

dengan kriteria tertentu dengan cara menyerahkan uang terlebih dahulu, sementara itu

barang diserahkan kemudian pada waktu tertentu.24

Berikut dalil terkait jual-beli salam, di antaranya Surah Al-Baqarah ayat 282 :

ٰٓ
َ ‫ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِبدَيْن اِلى ا َ َجل ُّم‬
... ُ‫س ًّمى فَا ْكتُب ُْوه‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang

untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Menurut pendapat Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun

jual beli salam terbagi atas: 1). Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan

atau memesan barang, 2). Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang

23
Saprida, Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli, Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 04, No.1, 2016, hlm. 123.
24 Ibid, hlm. 124.

13
pesanan. 3) Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman), 4). Muslan fiih

adalah barang yang dijual belikan, 5). Shigat adalah ijab dan qabul.

Syarat-syarat jual beli salam, diantaranya : uangnya dibayar di tempat akad (saat

itu juga), barangnya menjadi hutang bagi penjual, barangnya dapat diberikan sesuai

waktu yang dijanjikan (barangnya harus sudah ada saat waktu telah ditetapkan), barang

tersebut hendaklah jelas ukurannya ; baik takaran ; timbangan ; ukuran ; ataupun

bilangannya, diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya, disebutkan tempat

menerimanya.25

2. AKAD KEMITRAAN

Pertama, Akad Musyarakah

Musyarakah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata syaraka, yusyriku, syarkan;

syarikatan; syirkatan yang memiliki makna kerjasama atau kelompok. Bila ditinjau

dari definisi dari DSN MUI (No: 08/DSN-MUI/IV/2000), musyarakah adalah

pembiayaan berdasarkan perjanjian kerjasama antara dua mitra atau lebih untuk suatu

usaha tertentu, dimana masing-masing mitra memberikan kontribusi dana dengan

ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan. Oleh karenanya, kemitraan musyarakah ditekankan peran para mitra yang

saling memberikan kontribusi berupa dana. Apabila mengalami kerugian, maka

pembagian atas kerugian tersebut ditentukan berdasarkan porsi modal. Sedangkan

pembagian atas laba yang dihasilkan sesuai dengan kesepakatan.26

Landasan hukum musyarakah adalah surah As-Sad ayat 24 :

25 Ibid, hlm. 125.


26
Syaparuddin, Islam dan Kemitraan Bisnis, Edisi I (Yogyakarta, TrustMedia Publishing, 2020), hlm.81.

14
... ‫ت‬ َ ‫على َب ْعض ا َِّل الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا َو‬
ٰ ‫ع ِملُوا ال‬
ِ ‫ص ِلح‬ ُ ‫ط ۤا ِء لَ َي ْب ِغ ْي َب ْع‬
َ ‫ض ُه ْم‬ َ َ‫َوا َِّن َك ِثيْرا ِمنَ ْال ُخل‬

‫ َوقَ ِليْل َّما ُه ْم‬..


Artinya : “Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim

kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan

hanya sedikitlah mereka yang begitu.”

Aspek lain yang harus dicermati dalam bermitra dengan akad musyarakah adalah

rukun musyarakah. Ada beberapa rukun yang harus dilaksanakan saat berkeinginan

melakukan kemitraan dengan akad musyarakah. Kosongnya salah satu dari semua

rukun yang ada, maka akad musyarakah tersebut dapat dianggap rusak. Rukun tersebut

(Syafei, 2001 dan Suhendi, 2002), yaitu: (1) ijab kabul, (2) pihak-pihak yang berakad,

(3) objek akad, dan (3) nisbah bagi hasil (sistem pembagian keuntungan harus diperjelas

dalam kontrak musyarakahnya.27 Jika terjadi kerugian maka kerugian harus dibagi di

antara para mitra berdasarkan proporsi modal yang dikeluarkan masing-masing mitra.

Misalnya, Zul menanamkan modal Rp. 25 juta dan Rizal menanamkan modal Rp. 50

juta, jika terjadi kerugian Zul akan mendapatkan porsi kerugian 25% dan Rizal akan

mendapatkan porsi kerugian sebanyak 50%.

Selain rukunnya yang harus dilaksanakan, syarat bermitra dengan akad

musyarakah juga harus dipenuhi. Secara umum syarat bermitra dengan akad

musyarakah, yaitu: (1) perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan (hal ini

berarti salah satu pihak dipersilahkan untuk menerima atau mengirimkan wakilnya

guna bertindak hukum terhadap obyek perserikatan sesuai dengan izin mitra lainnya),

(2) persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing mitra yang berserikat

haruslah bersifat transparan ketika berlangsungnya akad, (3) keuntungan untuk masing-

27 Ibid, hlm. 83.

15
masing mitra ditentukan secara keseluruhan berdasarkan persentase tertentu sesuai

kesepakatan, tidak boleh ditentukan dalam jumlah tertentu di luar kesepakatan.28

Jenis-jenis musyarakah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Syirkah inan

syirkah inan adalah kerjasama antar dua mitra atau lebih yang menaruh modal dan

kontribusi kerja dalam jumlah berbeda, dan keuntungan dibagi berdasarkan ketentuan

yang menjadi porsi modal masing-masing yang telah disetorkan, 2) Syirkah mufawadah

adalah kerjasama antar dua mitra atau lebih yang meletakkan modal yang sama, 3)

Syirkah a’mal atau abdan adalah kerjasama antar dua mitra dengan profesi yang sama

(tanpa adanya modal awal) guna menerima tawaran proyek pekerjaan tertentu, dan

keuntungan dibagi rata sesuai laba dari pekerjaan yang dilakukan. Pada syirkah ini, para

mitra tidak mengeluarkan uang melainkan skill atau pekerjaan, 4) Syirkah wujuh adalah

kerjasama atau percampuran antar pihak pemilik dana dengan pihak lain yang

mempunyai kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah ini merupakan kerja sama yang

didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah

masyarakat.29 Syirkah wujuh dapat juga disebut sebagai syirkah antara dua pihak yang

sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan

konstribusi modal (mal).

Kedua, Akad Mudharabah

Mudharabah berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata dharb, yang berarti memukul

atau berjalan. Definisi memukul atau berjalan di sini adalah proses seseorang

memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara praktis, mudharabah

didefinisikan sebagai aktivitas kemitraan bisnis diantara dua mitra. Mitra yang

mengelola bisnis disebut dengan mudharib, sementara mitra pemilik modal disebut

28 Ibid, hlm. 85.


29
Ibid, hlm. 86

16
shahibul maal. Sedangkan pengertian mudharabah menurut DSN-MUI adalah akad

kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal,

LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (amil, mudharib, nasabah)

bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai

kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak (Fatwa DSN-MUI No: 07/DSN-

MUI/IV/2000). Contohnya yaitu, jika modal mudharib telah kembali dan memperoleh

keuntungan maka ia akan mengembalikan modal tersebut kepada shahibul maal

ditambah dengan porsi keuntungan bagi shahibul maal sesuai kesepakatan nisbah bagi

hasil di awal kontrak.30

Berikut landasan hukum bagi akad mudharabah

‫ّللا َربَّه َو َل تَ ْكت ُ ُموا‬


َٰ ‫ق‬ ِ َّ‫ض ُك ْم َب ْعضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِى اؤْ ت ُ ِمنَ ا َ َما َنتَه َو ْل َيت‬ ُ ‫فَا ِْن ا َ ِمنَ َب ْع‬
َ َ‫ّللاُ ِب َما تَ ْع َملُ ْون‬
‫ع ِليْم‬ ٰ ‫ش َهادَة َ َو َم ْن َّي ْكت ُ ْم َها فَ ِا َّن ٰٓه ا ِثم قَ ْلبُه َو‬
َّ ‫ال‬
Artinya : “Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang

dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada

Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang

siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan.”

Rukun dan syarat akad mudharabah,31 yaitu: pertama, penyedia dana (shahibul

maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum (mampu diakui hukum). Kedua,

pernyataan ijab dan kabul, dilakukan oleh para mitra untuk mengetahui tujuan mereka

dalam mengadakan kontrak (akad), sembari memperhatikan hal-hal berikut: (1)

penawaran dan penerimaan harus secara langsung memuat tujuan kontrak, (2)

penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak, dan (3) kontrak dituangkan

30
Ibid, hlm. 90.
31
Ibid, hlm. 93.

17
secara tertulis, baik menggunakan korespondensi, atau dengan menggunakan berbagai

cara komunikasi modern. Ketiga, modal, sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan

oleh shahibul maal kepada mudharib yang diperuntukkan untuk tujuan usaha harus

memuat beberapa ketentuan-ketentuan, seperti: (1) modal harus diketahui jumlah dan

jenisnya, (2) modal dapat berupa uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan

dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu kontrak, dan (3) modal

tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara

bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Keempat,

keuntungan mudharabah, jumlah yang diperoleh setelah modal kembali. Apabila

modal telah kembali dan keuntungan telah didapatkan, maka perlu mengindahkan

beberapa hal, seperti: (1) kedua mitra harus mendapatkannya dan tidak boleh

disyaratkan hanya untuk satu mitra, (2) bagian keuntungan proporsional bagi setiap

mitra harus diketahui dan dinyatakan pada saat kontrak disepakati dan harus dalam

bentuk nisbah dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus

berdasarkan kesepakatan, dan (3) penyedia dana (shahibul maal) menanggung semua

kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian

apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran

kesepakatan. Kelima, kegiatan usaha yang dijalankan oleh pengelola (mudharib),

sebagai bentuk keseimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana,

perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) kegiatan usaha adalah hak eksklusif

mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk

melakukan pengawasan, (2) penyedia dana tidak boleh mempersulit atau membatasi

tindakan pengelola seketat / sekesktrim mungkin yang mengakibatkan tidak

terpenuhinya misi dan visi mudharabah, yaitu keuntungan, dan (3) pengelola tidak

18
boleh melanggar ketentuan syariat dalam membuat aturan yang bersinggungan dengan

mudharabah, dan wajib mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu.

Jenis-jenis mudharabah : 1) Mudharabah mutlaqah, berikut ciri spesifik dari

mudharabah mutlaqah, yaitu: pemilik dana/modal (shahibul maal) mempunyai

wewenang untuk menentukan berbagai hal atau meregulasi bisnis yang berjalan agar

berhasil dan selaras dengan tujuan bisnis yang telah disepakati antar kedua mitra. 2)

Mudharabah muqayyadah, mudharabah jenis ini, ciri-cirinya : shahibul maal tidak

memiliki hak untuk mengatur bisnis mudharib. Sehingga saat terdapat kesepakatan

akad mudharabah antara shahibul maal dengan mudharib (pengusaha) maka

kewenangan untuk meregulasi usaha seratus persen adalah hak dari pengusaha

(mudharib), sedangkan shahibul maal tidak mempunyai bagian untuk mengatur usaha

yang ia berikan bantuan modal.32

Ketiga, Akad Muzara’ah

Muzara’ah merupakan jenis bisnis yang bergerak dan berkecimpung dalam bidang

agribisnis, kemitraan muzara’ah merupakan kemitraan antara pemilik dengan

penggarap lahan dalam pengolahan pertanian, dimana benih dari tanaman ditanggung

pemilik lahan dan hasilnya dibagi dua sesuai kesepakatan (persentase) dari hasil panen.

Secara bahasa, muzara’ah berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata az-zar’u. Kata az-

zar’u yang mempunyai dua makna, yakni: (1) tharh az-zur’ah, artinya melemparkan

benih (dalam istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr), yakni melemparkan benih ke

tanah, (2) al-Inbaat, artinya menumbuhkan tanaman. Sedangkan secara istilah para

ulama mazhab memiliki perbedaan di dalam mendefinisikannya. Berdasarkan pendapat

ulama Malikiyah, Wahbah Zuhaily (2008/5: 482) mengatakan bahwa muzara’ah itu

adalah kerjasama dalam bercocok tanam. Sedangkan menurut ulama Hanabilah bahwa

32
Ibid, hlm. 94.

19
muzara’ah itu adalah pemindahan pengelolaan tanah kepada orang yang akan

menanaminya atau mengerjakannya, adapun hasilnya akan dibagi kedua pihak.

Sementara ulama Syafiiyah mengatakan bahwa muzara’ah itu adalah pengerjaan lahan

dari pemilik kepada penggarap lahan dengan pembagian hasil panennya dan benihnya

berasal dari pemilik tanah.33

Landasan hukum akad muzara’ah adalah Surah Al-Waaqia ayat 63-64 :

َ‫ع ْون‬ ٰ ‫ع ْون َٰٓه ا َ ْم نَحْ ُن‬


ُ ‫الز ِر‬ ُ ‫اَفَ َر َء ْيت ُ ْم َّما تَحْ ُرث ُ ْونَ • َءا َ ْنت ُ ْم ت َْز َر‬
Artinya : “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang

menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?”

Dan hadis Rasulullah SAW,

ُ‫ع َها فَإِ ْن لَ ْم َي ْز َر ْع َها فَ ْل َي ْز َر ْع َها أَخَاه‬


ُ ‫َت لَهُ أ َ ْرض فَ ْل َي ْز َر‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
Artinya : “Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau

hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (hadis Riwayat Bukhari)

Selanjutnya membahas terkait rukun muzara’ah, menurut jumhur ulama rukun

mizara’ah terdiri atas, 1) akidain, yakni pelaku akad muzara’ah. Di dalam akidain perlu

diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut: a) baligh (akad ini tidak akan mampu

dilakukan bila pemilik tanah dan penggarap belum baligh, atau akad muzara’ah yang

dilakukan oleh orang gila atau anak kecil yang belum mumayiz, karena akal merupakan

syarat ahliyah dalam penggunaan harta, (b) tidak murtad. Tidak murtad merupakan

pendapat dari Imam Abu Hanifah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan

tidak mensyaratkannya. Menurut Abu Hanifah, tasharruf orang yang murtad dianggap

mauquf, oleh karena itu tasharrufnya dianggap tidak sah. Sedangkan Abu Yusuf dan

Muhammad bin Hasan tidak mensyaratkan hal ini dan menganggap tasharruf orang

yang murtad tetap sah. (b) Mahallul aqdi atau ma’qud alaih, merupakan objek akad

33
Ibid, hlm. 101.

20
muzara’ah. Ditemui beberapa perbedaaan pendapat terkait masalah objek ini, pendapat

yang satu mengatakan bahwa objek muzara’ah adalah manfaat tanah (lahan), namun

terdapat pula yang mengatakan bahwa objek yang dimaksud adalah pekerjaan

penggarap lahan. Para ulama Hanafiyah yang mengqiyaskan muzara’ah dengan ijarah

pada awalnya dan syirkah pada akhirnya berpendapat bahwa apabila benih berasal dari

penggarap maka objeknya adalah manfaat tanah yang digarap, namun jika benih berasal

dari pemilik tanah maka objeknya adalah pekerjaan penggarap tanah.

Di dalam akad muzara’ah juga terdapat syarat-syarat atau rules lanjutan yang harus

diketahui, berikut syarat-syarat tersebut diantaranya 34 : 1) syarat tanaman, di dalam

syarat ini perlu diketahui jenis dan sifat tanamannya. Penggarap disarankan

menjelaskan dengan detail jenis dan sifat tanaman yang akan ditanamnya kepada

pemilik tanah. Hal ini bersifat urgent dikarenakan jenis tanaman akan berdampak

kepada kualitas tanah yang ditanaminya, (a) tanaman yang ditanam adalah tanaman

yang mampu atau dapat diambil manfaatnya dengan jelas, sehingga tidak sia-sia dalam

proses kedepan, dan (b) tanaman yang akan ditanam memang bisa tumbuh di lahan

yang tersedia. 2) Syarat tanah (lahan), dalam hal ini kedua belah pihak harus

memastikan bahwa tanah yang akan digunakan merupakan tanah yang bisa ditanami.

Bukan rawa-rawa ataupun tanah tandus yang tidak memiliki pengaruh terhadap

penanaman , (a) kejelasan letak dan batas tanah yang akan digarap, (b) pemberian

kebebasan lahan dari pemilik tanah kepada penggarap. Hal ini menggambarkan bahwa

pemilik tanah sudah memberikan tanggung jawab dan hak sepenuhnya pengurusan

tanah dan tanamannya kepada penggarap agar lebih leluasa dalam bekerja. 3) Syarat

hasil panen yang akan dibagi, hasil yang akan dibagi nanti harus dijelaskan di awal

akad. Kedudukan hasil di sini setara dengan kedudukan upah dalam suatu pekerjaan.

34
Ibid, hlm. 104.

21
Oleh karena itu jika terjadi perselisihan dalam upah maka rusaklah suatu akad, (a) hasil

yang akan dipanen nanti harus dibagikan kepada kedua pihak sesuai kesepakatan.

Apabila ada salah satu pihak mensyaratkan hasilnya hanya diperuntukkan hanya untuk

salah satu pihak maka rusaklah akad muzara’ah, (b) adanya penentuan persentase

pembagian yang jelas dari awal akad, misalnya 1/4, 1/2atau 1/8. Ketentuan seperti ini

diharuskan penjelasannya dari awal sehingga terhindar dari perdebatan antar pihak, (c)

hasil yang dibagikan kepada kedua mitra merupakan hasil dari kerjasama keduanya. 4)

Syarat alat pertanian, alat pertanian dapat berupa hewan seperti sapi atau kerbau

pembajak ataupun alat-alat modern seperti traktor. Alat-alat ini tidak wajib disebutkan

dalam akad karena hanya merupakan pelengkap bukan bagian utama dari pekerjaan

yang akan dilakukan. 5) Syarat waktu berlangsungnya muzara’ah, akad muzara’ah

tidak sah jika waktu ataupun massa berlangsungnya akad sudah disepakati oleh kedua

belah pihak.

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dijelaskan bahwa jenis-jenis akad

muzara’ah terbagi menjadi empat jenis (Nassar, 1971: 58), diantaranya :35

Pertama, tanah dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dan hewan

(peralatan) dari pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini dihalalkan dalam Islam. Dalam

muzara’ah jenis ini, pemilik tanah dan benih seakan-akan bertindak sebagai penyewa

kepada si penggarap. Adapun hewan (peralatan) adalah bagian yang tak terpisahkan

dari pihak penggarap. Karena hewan (peralatan) adalah wasilah untuk bekerja. Kedua,

tanah dari pihak pertama sedangkan hewan (peralatan), benih dan pengerjaan lahan dari

pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini juga dihalalkan dalam Islam. Dalam

muzara’ah jenis ini, penggarap tanah seakan-akan menjadi penyewa tanah dengan

keuntungan pembagian hasil yang akan dipanen nanti. Ketiga, tanah, hewan (peralatan)

35
Ibid, hlm. 106.

22
dan benih dari pihak pertama sedangkan pengerjaan lahan dari pihak kedua. Jenis

muzara’ah seperti ini juga dihalalkan dalam Islam. Dalam muzara’ah jenis ini, pemilik

tanah seakan-akan bertindak sebagai penyewa pekerjaan si penggarap dengan

pembagian hasil yang disepakati kedua pihak. Keempat, Dalam muzara’ah jenis ini,

tanah dan hewan (peralatan) dari pihak pertama sedangkan benih dan pengerjaan lahan

dari pihak kedua. Jenis muzara’ah seperti ini tidak diperkenankan dalam Islam, karena

termasuk akad yang fasid (rusak).

Keempat, Akad Mukhabarah

Laksana seperti muzara’ah, mukhabarah juga bagian dari sebuah bentuk

kemitraan dalam bidang agribisnis, yakni kemitraan antara pemilik dengan penggarap

lahan dalam pengolahan pertanian dan perkebunan, namun di sini yang membedakan

adalah bahwa mukhabarah benih tanaman ditanggung penggarap lahan. Secara bahasa,

mukhabarah dapat diartikan sebagai tanah gembur atau lunak. Kata mukhabarah ini

merupakan masdar dari fiil madhi khaabara dan dari fi’il mudhari yukhaabiru
36
(Almunawwir, 1984: 319). Sedangkan menurut istilah, mukhabarah adalah

mengerjakan tanah milik orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan adanya

pembagian hasil di antara para mitra, tetapi biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung

penggarap lahan (Rasyid, 1994: 54). Jika dalam muzara’ah pengadaan bibit dilakukan

oleh pemilik lahan, maka dalam mukhabarah, benih atau bibit yang akan ditanam

disediakan oleh penggarap lahan. Penggarap lahan tidak hanya bertugas untuk

menyediakan benih, tapi juga mengurus segala keperluan dalam penggarapan lahan

tersebut, seperti pengadaan pupuk dan pembersihan lahan. Sedangkan pembagian

hasilnya akan dibagi setelah masa panen dengan perbandingan sesuai kesepakatan para

mitra.

36
Ibid, hlm. 111.

23
Menurut pendapat jumhur ulama, Qomarul Huda (2011: 28) mengatakan bahwa

rukun mukhabarah terdiri dari: (1) Aqid, yaitu orang yang melaksanakan kesepakatan

dengan jumlah yang terdiri atas dua orang atau lebih, (2) Ma’qud Alaih, yaitu benda-

benda (objek) yang diakadkan, (3) Maudhu’ al-Aqd, yaitu tujuan pokok diadakannya

akad, dan (4) Shighat al-Aqd, yaitu ijab dan kabul akad.37

Di samping itu, mukhabarah juga memiliki beberapa syarat lain yang perlu

diketahui , seperti : 1) Syarat yang melakukan akad, harus baligh dan tidak murtad

(Menurut Imam Abu Hanifah seperti yang diungkapkan Wahbah az-Zuhaili (2011: 566)

bahwa tindakan orang murtad adalah ditangguhkan (mauquuf), sehingga tidak bisa

langsung sah seketika itu juga. Lebih lanjut diungkapkan bahwa tidak semua rekan

Imam Abu Hanifah setuju dengan pendapat ini. Pendapat lain juga berpendapat bahwa

akad mukhabarah yang dilakukan orang murtad statusnya adalah berlaku efektif

(naafidz). 2) Syarat penanaman, benih yang ditanam tersebut mampu berkembang jika

diolah dan ditanam, yakni mengalami pertambahan dan pertumbuhan. 3) Syarat lahan,

(a) lahan harus layak untuk ditanami dan dijadikan lahan pertanian. Seandainya lahan

tersebut tidak layak untuk ditanami, contohnya lahan mengandung garam atau

berlumpur sehingga sulit ditanami, maka akad menjadi tidak sah, (b) lahan harus

diketahui dengan jelas dan pasti, yaitu milik siapa dan bagaimana status hukumnya.

Jika tidak diketahui dengan jelas, akad tidak sah karena dapat menyebabkan terjadinya

perselisihan, dan (c) lahan yang akan ditanami sepatutnya diserahkan sepenuhnya

kepada pengelola. Jika masih ada campur tangan pemilik lahan, maka akad dianggap

tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat at-takhliyah. 3) Syarat masa mukhabarah,

patokan dari masa disesuaikan dengan masa yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,

tidak diperkenankan apabila masanya tidak wajar, seperti masa yang tidak

37
Ibid, hlm. 113.

24
memungkinkan bagi pengelola untuk menggarap lahan, atau jangka waktu di mana

kemungkinan besar umur salah satu mitra tidak menjangkau masa tersebut. 4) Syarat

hasil panen, (a) hasil panen harus diketahui secara jelas dalam akad, karena nantinya

hasil panen tersebut akan dijadikan upah. Apabila hasil panen tidak diketahui, hal

tersebut dapat menyebabkan rusaknya akad dan menjadikannya tidak sah, (b) status

dari hasil panen adalah milik bersama dari kedua mitra. Tidak diperbolehkan

menyatakan bahwa hasil panen dikhususkan untuk salah satu mitra, karena hal tersebut

dapat merusak akad, (c) pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya, yaitu boleh

dengan cara setengah/separuh, sepertiga, seperempat atau jumlah lainnya sesuai dengan

kesepakatan. Tidak ditentukannya kadar pembagiannya ini dikhawatirkan dapat

mengakibatkan munculnya perselisihan di kemudian hari, dan (d) pembagian hasil

panen harus ditentukan secara umum dari keseluruhan hasil panen. Maksudnya, jika

disyaratkan bagian satu pihak adalah sekian (dalam jumlah pasti, misalnya empat mud),

maka dianggap tidak sah. Sebab, bisa saja hasil panen dari tanaman hanya

menghasilkan sebanyak yang ditentukan untuk satu mitra.38

Kelima, Akad Musaqah

Di era ini banyak orang mempunyai kebun dan sudah ditanami pohon. Namun

karena faktor kesibukan atau karena luasnya area perkebunan yang dimilikinya

sehingga tidak memiliki waktu untuk merawat dan mengelolanya sendiri, maka lahirlah

kemitraan musaqah. Ia memberikan kesempatan bagi petani penggarap sebagai pihak

lain untuk mengelola dan merawat tanaman, namun penggarap tidak punya tanah

sendiri. Hasil panen kemudian dibagi berdua antara dua orang yang bermitra tersebut.

Besarnya bagian masing-masing tergantung pada kesepakatan yang dibuat antara

keduanya (al-Nawawy, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa menolong itu tidak selalu

38
Ibid, hlm. 115.

25
dalam bentuk tabarru’ (sukarela), namu terkadang menolong juga dapat berbentuk

sebuah pekerjaan (produktif) kepada penggarap yang lemah secara ekonomi agar

mereka tetap dapat menjaga kehormatannya. Hal ini disampaikan dalam Q.S. al-Isra

(17) ayat 29 :

‫س ْورا‬ ِ ‫ط َها ُك َّل ْال َبس‬


ُ ْ‫ْط فَتَ ْقعُدَ َملُ ْوما َّمح‬ ْ ‫س‬ ُ ‫َو َل تَجْ عَ ْل َيدَكَ َم ْغلُ ْولَة اِلى‬
ُ ‫عنُقِكَ َو َل تَ ْب‬
Artinya : “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi

tercela dan menyesal.”

Kemitraan musaqah sejatinya dilakukan hampir mirip dengan kemitraan

muzara’ah. Namun perbedaan keduanya terletak pada jenis tanaman dan model

pelaksanaannya. Pada kemitraan musaqah, tanaman sudah ada di area lahan, namun

pada kemitraan muzara’ah, kondisi tanamannya belum ada sehingga petani penggarap

harus menanamnya sejak dari awal, bahkan menyemaikan benihnya. Pada kemitraan

musaqah, objek tanamannya merupakan tanaman jangka panjang (tahunan), kecuali

mazhab Hanafi membolehkan tanaman jangka pendek (tanaman musiman), jika

buahnya tidak sekali petik langsung habis, seperti cabe, tomat, mentimun, semangka,

dan lain-lain. Namun, keberadaan tanaman-tanaman ini harus tetap diprioritaskan

sebagai tanaman utama, dan bukan sekadar sebagai tanaman sampingan semata.39

Berikut syarat dan rukun akad pada kemitraan musaqah yang harus diketahui.

Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dan rukun musaqah memuat lima hal,
40
yakni: (1) dua orang yang bertransaksi, (2) terdapar shighat (kalimat yang

menyatakan akad), (3) hal yang berhubungan dengan amal (perkebunan), (4) buah atau

yang semakna (menurut qaul qadim Imam Syafii), dan (5) pekerjaan atau amal (Dalam

39
Ibid, hlm. 116.
40
Ibid, hlm. 117

26
bagian amal/pekerjaan (amal) terdapat tiga syarat yang menjadi perhatian utama bagi

si pengelola (amil), yaitu: (1) pekerjaan dilakukan oleh pengelola, tanpa keterlibatan

pemilik, (2) tidak diperkenankan adanya syarat lain yang mengikat pengelola selain

menjaga dan merawat kebun dan pohon yang sudah diserahkan kepadanya, dan (3)

pengelola menjaga dan mengelola kebun itu sendirian. Tidak boleh ada pengelola lain

yang ikut mengelola kebun tersebut (al-Nawawy, 2000/5: 155). (al-Nawawy, 2000/5:

150).

3. AKAD SEWA-MENYEWA DAN JASA

Pertama, Akad Ijarah

Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwadu (ganti)

dan oleh sebab itu ath-thawab atau (pahala) dikatakan sebagai ajru (upah). Lafal al-

ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan

salah satu bagian dari bidang muamalah dalam berjasa sebagai peran keberlangsungan

hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-

lain. Ijarah secara bahasa diartikan sebagai balasan, tebusan, atau pahala.41

Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima

dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah

ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula. Secara istilah, ada beberapa definisi al-

ijarah yang dipaparkan para ulama fiqh. Menurut ulama Syafi’iyah, ijarah adalah akad

atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah

akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang di ketahui dan di sengaja dari suatu

zat yang disewa dengan imbalan. Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah, ijarah

adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan

pengganti. Selain pendapat di atas terdapat pula pendapat lain yang mampu

41
Dikutip dari http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf

27
mendefinisikan ijarah, yakni menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah-

mengupah), yakni mengambil mengambil manfaat tenaga manusia, yang ada manfaat

dari barang.42

Terdapat perbedaan di dalam menerjemahkan kata ijarah dari bahasa Arab ke

bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional. Sewa

secara umum digunakan untuk benda, seperti seorang mahasiswa menyewa kamar

untuk tempat tinggal selama kuliah, tetapi upah digunakan untuk tenaga, seperti

karyawan yang bekerja di kantor dan kemudian diberikan dibayar gajinya (upahnya)

dalam tempo tertentu, seperti satu kali dalam dua minggu, atau sekali dalam sebulan,

dalam bahasa arab upah dan sewa disebut ijarah.

Landasan hukum akad ijarah terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 233 :

ِ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّما ٰٓ اتَ ْيت ُ ْم ِب ْال َم ْع ُر ْو‬


... ‫ف‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم اِذَا‬ ِ ‫َوا ِْن ا َ َر ْدتُّ ْم ا َ ْن تَ ْست َْر‬
َ ‫ضعُ ْٰٓوا ا َ ْو َلدَ ُك ْم فَ َل ُجنَا َح‬

...
Artinya : “Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak

ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.”

Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan kabul,

yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan menurut

jumhur ulama, rukun-rukun dan syarat ijarah terdiri dari empat, yaitu aqid (orang yang

berakad), sighat, upah, dan manfaat. Berikut penjelasan terkait rukun-rukun ijarah: 1)

aqid (orang yang berakad), orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu

mu’jir dan mustajir. mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang

menyewakan. Sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk

melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Bagi yang akan menggunakan akad

42
Ibid, hlm. 24

28
ijarah diharapkan untuk mengetahui terlebih dahulu manfaat barang yang dijadikan

akad sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang

melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat

membedakan. Jika salah seorang yang berakal itu gila atau anak kecil yang belum dapat

membedakan baik ataupun buruk, maka akad menjadi tidak sah. 2) sighat akad, yaitu

suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul adalah awal

terjadinya sebuah akad ijarah, tutur kata yang keluar dari salah satu pihak menandakan

bahwa akad ijarah telah terjadi, dalam hal ini laksana sebuah kesepakatan. Dalam

hukum kontrak secara Islam, ijab diartikan dengan suatu pernyataan janji atau

penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sedangkan kabul adalah suatu pernyataan yang diucapkan dari pihak yang berakad pula

(musta’jir) untuk penerimaan kehendak dari pihak pertama yaitu setelah adanya ijab.

3) ujroh (upah), ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang

telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Patutnya memperhatikan beberapa

hal sebelum penerimaan ujroh: a) sudah jelas/sudah diketahui jumlahnya. Disebabkan

ijarah akad timbal balik, karena itu ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui,

b) pegawai khusus seperti jaksa tidak boleh mengambil uang dari pekerjaannya, karena

dia sudah mendapatkan gaji khusus dari pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari

pekerjaannya berarti dia mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu

pekerjaan saja, c) uang yang diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang

sudah disewa tersebut. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus

lengkap. 4) manfaat, cara ntuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan

menjelaskan manfaatnya, batas waktu peminjaman, atau menjelaskan jenis pekerjaan

jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang. Semua harta benda boleh diakadkan

29
ijarah, namun setidaknya perlu mengindahkan beberapa aturan terkait objek akad ini,

seperti :43

a. Manfaat dari objek akad sewa-menyewa harus dapat dipastikan. Hal ini dilakukan

dengan cara memeriksa atau pemilik memberikan informasi secara transparan tentang

kualitas manfaat barang.

b. Objek ijarah dapat diserahterimakan dan dipergunakan secara langsung dan tidak

mengandung cacat yang dapat mengurangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi

ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga (orang lain).

c. Objek ijarah dan manfaatnya tidak berlawanan dengan syariat. Contohnya,

penyewaan rumah untuk dosa atau maksiat, maka tidak sah.

d. Objek yang disewakan sekaligus membawa sebuah manfaat langsung darinya.

Contohnya, sewa baju untuk dipakai, motor untuk dikendarai, dan sebagainya. Tidak

diperbolehkan sewa-menyewa manfaat suatu benda yang sifatnya tidak langsung.

Contohnya, sewa pohon mangga untuk diambil buahnya, atau sewa-menyewa ternak

untuk diambil keturunannya, telurnya, bulunya ataupun susunya.

e. Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’mali,

yakni harta benda yang manfaatnya didapatkan berulang kali, tidak hanya sekali atau

tanpa menyebabkan kerusakan zat dan pengurusan sifatnya. Dan tidak diperbolehkan

menggunakan harta yang bersifat istihlaki adalah harta benda yang rusak atau

berkurang sifatnya karna pemakaian. Seperti makanan, buku tulis, tidak sah ijarah

diatasnya.44

Macam-macam akad ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut45 :

a) ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa. Dalam ijarah bagian pertama ini,

43
Ibid, hlm. 25.
44
Ibid, hlm. 26.
45
Ibid, hlm. 28.

30
objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda, b) ijarah atas pekerjaan, disebut juga

upah-mengupah . Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau

pekerjaan seseorang.

Akad ijarah dapat terhenti disebabkan oleh beberapa hal tertentu. Dalam hal ini

para ulama fiqh membenarkan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika: a) objek hilang

atau musnah, seperti motor terbakar atau radio yang dipinjamkan hilang. b) tenggang

waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah sudah selesai. Apabila yang disewakan itu

rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu

adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh

seluruh ulama fiqh, c) wafatnya salah seorang yang berakad, pendapat ini menurut

ulama Hanafiyah. Karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan.

Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan meninggalnya

salah seorang yang berakad, hal ini didasarkan bahwa manfaat, menurut mereka boleh

diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang

berakad, d) menurut ulama hanafiyah, apabila uzur dari salah satu pihak. Seperti rumah

yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka al-ijarah batal.

Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah

adalah salah satu pihak muflis (bangkrut) dan berpindah tempat penyewa. Misalnya,

seseorang digaji untuk membuat selokan di suatu desa, sebelum selokan itu jadi

penduduk desa itu pindah. Namun berdasarkan menurut jumhur ulama, uzur yang

membolehkan batalnya akad al-ijarah itu hanya saat objeknya mengandung cacat atas

manfaat yang dituju, seperti kebakaran dan dilanda banjir.46

46
Ibid, hlm. 30.

31
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa akad adalah perbuatan yang

sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan masing-masing pihak yang

melakukan akad dan berakibat adanya dampak hukum baru bagi mereka yang berakad.

Apabila kedua belah pihak sudah berakad, maka kedua belah pihak diwajibkan untuk

mematuhi segala hal yang telah disepakati di dalam akad. Akad terbagi menjadi tiga bagian,

yaitu akad jual-beli (mudharabah, istishna’, dan salam), akad kemitraan (musyarakah,

mudharabah, muzara’ah, mukhabarah, musaqah), dan akad sewa-menyewa/jasa (ijarah).

B. SARAN

Berdasarkan penjabaran terkait akad-akad dalam bisnis syariah, diharapkan pembaca

dapat memaami sedikit terkait akad-akad dalam bisnis syariah . Dan pembaca diarahkan

untuk kembali memperkaya pengetahuan, khususnya mengenai akad-akad dalam bisnis

syariah, hal ini dikarenakan kekurangan yang melekat pada makalah.

32
DAFTAR PUSTAKA

Kalsum, Ummi dan Eka Rizky saputra. 2016. Penyertaan Akad Wakalah Pada Pembiayaan

Murabahah. Jurnal Li Falah (Studi Ekonomi dan Bisnis Islam). 1(1) : 4.

Redaksi OCBC NISP. 2023. Akad Murabahah: Dasar Hukum, Jenis, Rukun dan Syaratnya.

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2021/07/12/akad-murabahah Diakses pada

tanggal 31 Agustus 2023 pukul 12.00 WITA.

Saprida. 2016. Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. Jurnal Ilmu Syariah. 4 (1) : 123.

Shobirin. 2015. Jual Beli Dalam Perspektif Islam. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam. 3 (2) :

243

Syaparuddin. 2020. Islam dan Kemitraan Bisnis (Edisi I). Yogyakarta: TrustMedia Publishing.

Veithzal Rifai. 2008. Islamic Financial Management: teori, konsep, dan aplikasi: panduan

praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Yuliana, S. 2017. Ijarah. http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf. Diakses pada

tanggal 2 September 2023 pukul 19.33 WITA.

33

Anda mungkin juga menyukai