Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH USHUL FIQH 1

HUKUM SYARA’
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

USHUL FIQH 1

DOSEN PENGAMPU : M.ABDI AL-MAKTSUR,M.Ag


DISUSUN OLEH :

AFNI REHULINA BR GINTING (12020521205)

Kelas L

EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KHASIM RIAU

PEKANBARU

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.


Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT untuk para hamba-Nya, baik dalam bentuk
perintah maupun larangannya mengandung mashlaḥah Tidak ada hukum syara' yang tidak
mengandung mashlahah. Seluruh perintah Allah kepada manusia untuk melakukannya adalah
mengandung manfaat untuk dirinya, baik secara langsung maupun tidak, begitu pula
sebaliknya semua larangan Allah untuk dijauhi manusia terkandung kemaslahatan, yaitu
terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan.Semua ulama sependapat tentang
adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Oleh karena itu mashlahah
menjadi ukuran bagi mujtahid yang berijtihad untuk menetapkan hukum atas suatu masalah
yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur'an Sunnah maupun ijma Dalam hal ini,
mujtahid menggunakan metode mashlahah dalam menggali dan menetapkan hukum.

Pengertian hukum sendiri menurut ulama ushul fiqh ialah "apa yang dikehendaki oleh
Syari (pembuat hukum). Syari di sini adalah Allah, sementara kehendak Syari itu dapat
ditemukan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Usaha pemahaman, penggalian dan perumusan
hukum dari kedua sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbath. Jadi istinbath adalah
usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya.

1.2. Rumusan Masalah.


1.Apa Yang Dimaksud Dengan Hukum?
2. Apa Saja Pembagian Hukum Taklifi?
3.Apa Saja Pembagian Hukum Wadh’i?

1.3. Tujuan
1.Untuk mengetahui apa itu hukum
2.Untuk mengetahui apa saja pembagian dari hukum taklifi
3.Untuk mengetahui apa saja pembagian dari hukum wahdh’i
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Hukum
Secara etimologi,hukum berarti "man'u" yakni "mencegah,".Hukum juga berarti
qadha yang memiliki arti "putusan," seperti ‫حكمت بين الن@@اس‬yang mengandung pengertian
bahwa engkau telah memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.
Di samping itu, ulama ushul fiqh mengatakanbahwa apabila disebut hukum, maka
artinya adalah:
1. Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetap kan terbitnya bulan
dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab Allah, seperti "aqîmû al-shalata (hall)." Dalam hal ini,yang dimaksud dengan
hukum adalah nash yang datang dari Syari'.
3. Akibat dari khithab Allah, seperti hukum ijab yang difahami dari firman Allah, aqîmû al-
shalâta. Pengertian ini digunakan oleh para fuqaha' (ahli fiqh).
4. Keputusan hakim di sidang pengadilan.
Secara terminologi, terdapat dua rumusan hukm yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
yang pada esensi sebenarnya tidak terdapat perbedaan.
Al-Amidi dan 'Abdul Wahhab Khalaf,dalam mendefinisikan hukum mengganti
kalimat dengan kalimat (tuntutan Allah Ta'ala) dalam definisi di atas dengan (tuntutan Syari),
dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan
Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma' para ulama.Akan tetapi, mayoritas ahli ushul
fiqh menyatakan bahwa kalimat "tuntutan Allah Ta'ala" tersebut maksudnya adalah al-Qur'an.
Dalam al-Qur'an itu telah mencakup Sunnah dan ijma'. Dengan demikian, apa yang
dimaksud oleh al-Amidi, telah tercakup pada kalimat "tuntutan Allah Ta'ala" dalam definisi
Jumhur ulama ushul fiqh di atas.
Dari definisi di atas, para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa hukum tersebut harus
bersumber dari syara'. Apabila hukum itu bukan bersumber dari syara', maka tidak
dinamakan hukum. Dari kata Allah Ta'ala, para ahli ushul fiqh juga menetapkan bahwa
sumber hukum tersebut adalah al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas, karena al-Qur'an yang
diturunkan Allah, juga mengandung ajaran agar umat Islam berpedoman kepada Sunnah,
ijma' dan qiyas. Dari pengertian inilah, mayoritas ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
sumber hukum yang disepakati tersebut adalah al-Qur'an, Sunnah, ijma dan qiyas. Namun
demikian, para ulama ushul fiqh kontemporer, seperti 'Ali Hasbullah' dan 'Abdul Wahhab
Khalaf, setelah mengemukakan rumusan hukum menurut ushul fiqh, menyatakan bahwa
sumber hukum yang sebenarnya adalah al-Qur'an dan Sunnah. Adapun ijma' dan qiyas,
adalah metode dalam menyingkapkan hukum dari al-Qur'an dan Sunnah tersebut, karena
ijma' dan qiyas yang shahih adalah yang didasarkan atau disandarkan kepada al-Qur'an atau
Sunnah. Sesuatu yang disandarkan kepada Al-Qur'an dan Sunnah tidak semestinya disebut
sebagai sumber hukum.disamping itu, seperti telah dikemukakan dalam pembahasan qiyas,
para ulama ushul fiqh klasik sepakat bahwa fungsi qiyas adalah:Memunculkan dan
menyingkapkan hukum.
Oleh sebab itu, posisinya lebih tepat dikatakan metode dalam menyingkapkan hukum
Islam.Dari kalimat "perbuatan mukallaf", para ahli ushul fiqh selanjutnya mengatakan bahwa
yang dibebani hukum itu hanya orang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal
sehat. Sikap dan tingkah laku orang orang seperti inilah yang dibebani hukum. Oleh sebab
itu, anak kecil, orang gila, orang yang berbuat dalam keadaan terpaksa, dan orang yang lupa
tidak dikenai pembebanan hukum1.

2.2.Pembagian Hukum Taklifi


2.2.1.Wajib
 Pengertian Wajib
Secara etimologi, wajib berarti "tetap" "mengikat" dan "pasti." Apabila dikatakan, maka
hal itu berarti "jual beli itu pasti, tetap dan mengikat."Secara terminologi, ada dua definisi
wajib yang dikemukakan para ahli ushul fiqh, yaitu:
1) Sesuatu yang dituntut Syâri" (Allah dan atau Rasul-Nya) untuk dilaksanakan mukallaf
dengan tuntutan yang pasti.
Misalnya kewajiban shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji bagi orang yang telah
mampu, apabila ditinggalkan akan diganjar oleli Allah dengan siksa.
2) Yang kedua lebih bersifat sederhana yaitu dilihat dari segi akibatnya ialah:Sesuatu
yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
Apabila definisi pertama dilihat dari segi dituntut atau tidaknya perbuat an yang wajib
tersebut, maka definisi yang kedua dilihat dari segi akibat ang telah melaksanakan atau tidak
melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi yang melaksanakannya diberi imbalan pahala dan
bagi yang meninggalkannya dikenakan siksa.dari kedua definisi di atas, Jumhur ulama ushul
fiqh menyatakan bahwa persoalan perbuatan yang wajib itu sifatnya mengikat dan mesti
dilaksanakan. Orang yang tidak melaksanakannya dikenai siksa dan bagi orang yang
1
Nasrun haroen,ushul fiqh(jakarta:pt logos wacana ilmu,1996),hlm.209.
mengingkari kewajiban tersebut dianggap kafir (keluar dari Islam). Menurut Jumhur ulama,
wajib dan fardhu merupakan dua istilah yang mengandung pengertian yang sama, tanpa harus
melihat kualitas dalilnya, apakah dalil itu qath'i atau zhanni. Apabila seseorang dalam
shalatnya tidak membaca al-Fâtihah, maka shalatnya batal2.

 Cara-cara mengetahui wajib.


ara ulama ushul fiqh mengatakan bahwa Syari' dalam menetapkan suatu kewajiban
menggunakan beberapa lafal dan cara yang intinya menunjukan tuntutan yang mesti
dilaksanakan. Untuk mengetahui apakah suatu titah Allah itu wajib atau tidak, para
ulama ushul fiqh meneliti beberapa redaksi yang digunakan Syari' untuk
menunjukkan hukum wajib. Di antaranya adalah:
1) Melalui lafal amr (perintah),seperti firman allah dalam surat al-baqarah,2:110

Artinya :”Dirikanlah olehmu shalat dan bayarkanlah zakat.”


2) Melalui lafal perintah itu sendiri,seperti

Artinya :”Sesungguhnya allah memerintahkan untuk berbuaat adil dan berbuat baik.”(Q.S.al-
Nahl16:90)
3) Melalui ismu al-fi’li(Noun yang berarti verbal)seperti kalimat “alaikum”(atas
kamu)
4) Lafal yang bertujuan untuk melakukan suatu perbuatan dan diiringi dengan
ancaman dan siksa bagi yang tidak melaksanakannya, baik ancaman di dunia
maupun diakhirat.
5) Redaksi bahasa Arab lainnya yang menunjukkan tuntutan yang mesti dilaksanakan
seperti firman Allah dalam surat Ali Imran 3:97

Artinya :”mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah ,yaitu(bagi)orang yang
sanggup mengadakan perjalanan kebaitullah.”

2
Ibid.,hlm.224.
6) Lafaz yang digunakan itu sendiri berarti kewajiban, seperti lafaz wajaba terja dan
faradha
7) Fi'lu al-mudhari' yang dibarengi dengan lâm al-amr (lafal lâm yang mengandung
perintah),
8) Lafaz mashdar yang berarti fi'il.

 Macam-macam wajib
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari
berbagai segi, yaitu:
1. Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib al-muthlâq dan wajib al mu'aqqat.
Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut Syari'untuk dilaksanakan orang mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi
yang melanggar sumpahnya. Orang yang ber sumpah tanpa dikaitkan dengan waktu, lalu ia
langgar sumpahnya itu, maka kafarat itu boleh ia bayar kapan saja.
Adapun wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf
pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ra madhan. Shalat wajib (subuh, zhuhur,
'ashar, maghrib dan 'isya') harus di vajab kerjakan pada waktunya. Demikian juga puasa
Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila
belum masuk waktunya kewajiban itu belum ada. Wajib al-mu'aqqat terbagi lagi dalam tiga
macam, yaitu:
a. Wajib al-mu'aqqat bi waqtin mudhayyaql (kewajiban yang mempunyai batas waktu
yang sempit)
Yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan pada suatu amalan, dan
waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain. Seperti puasa Ramadhan, harus
dilaksanakan sebulan penuh, sehingga tidak bisa diselingi dengan puasa sunah atau
mengganti puasa yang tertinggal.
b. Wajib al-mu'aqqat bi waqtin mutuassa (kewajiban yang mempunyai batas waktu yang
lapang)
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktunya, tetapi waktunya ini cu Wajib kup lapang,
sehingga dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang an ul sejenis. Misalnya, waktu-
waktu yang ditentukan untuk melaksanakan shalat. Ketika masuknya waktu shalat zhuhur,
seseorang kan shalat zhuhur dan shalat sunat.
c. Wajib al-mu'aqgat dzů al-syibhain/
Yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang tetapi tidak bisa digunakan untuk
amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang
bisa melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang
diperhitungkan syara hanya satu amalan saja. Orang bisa berulang-ulang melaksanakan amal
an haji, tetapi amalan yang berulang itu tidaklah diperhitungkan syara' sebagai suatu
kewajiban. Akan tetapi, ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa waktu untuk ibadah haji
termasuk dalam waktu Wajib al-muth lág, karena seseorang boleh melaksanakan ibadah haji
itu kapan saja ia mau selama ia hidup3.
2. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, hukum wajib terbagi kepada dua, yaitu
wajib al-muhaddad dan wajib ghairu al-muhaddad.
Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang diten tukan ukurannya oleh syara'
dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at
dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
Sedangkan wajib ghairu al-muhaddad adalah kewa jiban yang tidak ditentukan syara'
ukuran dan jumlahnya, tetapi diserah kan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk
menentukannya. Misal nya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zîr (tindak pidana di luar
hudud dan qishash) yang diserahkan kepada para qâdhi (hakim). Dalam penentuan an
beberhukuman ini, para hakim harus berorientasi kepada tercapainya tujuan syara ngkan syan
dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat adil.
3. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi berpenda
kepada wajib al-'aini dan wajib al-kifa'i.
Wajib al-aini maksudnya adalah kewajiban yang ditu jukan kepada setiap pribadi orang
mukallaf. Misalnya, kewajiban melak sanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
Sedangkan wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang di tatus u tujukan kepada seluruh orang
mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah
terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut lagi untuk melaksanakannya4.
4. Dilihat dari segi kandungan perintah, para ulama ushul fiqh membagi wajib kepada
wajib al-mu'ayyan dan wajib al-mukhayyar.
Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan,
seperti shalat, puasa dan harga barang dalam jual-beli. Shalat dan puasa pekerjaan yang pada
dirinya adalah dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan diserahkan.

3
Ibid.,hlm.228
4
Ibid.,hlm.229
Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertent yang bisa dipilih orang mukallaf.
Misalnya, Allah dalam surat al-Ma'idah 89 mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri
atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian mereka, atau memerdekakan budak.
Dalam hal ini, orang yang dikenakan kewajiban ini boleh memilih salah satu dan tiga bentuk
hukuman tersebut.
2.2.2. Mandub
 Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti "sesuatu yang dian jurkan." Adapun menurut istilah,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, di mana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak
dicela orang yang tidak melak sanakannya. Mandub disebut juga sunah, nafilah, mustahab,
tathawwu', ihsan, dan fadilah. Istilah-Istilah tersebut menun jukkan pengertian yang sama.
 Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, mandub terbagi kepada beberapa tingkatan:

(1)Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) yaitu,perbuatan yang


dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya. Misalnya, shalat sunah dua raka‟at
sebelum fajar.

(2) Sunnah ghair al-Muakkaddah (sunnah biasa), yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah saw.namun bukan menjadi kebiasaannya. Misalnya, melakukan shalat sunah dua
kali dua rakaat sebelum shalat zuhur, dan seperti memberikan sedekah sunah kepada orang
yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan terdesak, maka hukum membantunya
adalah wajib.

3) Sunnah al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai


manusia. Misalnya, sopan santunnya dalam makan, minum, dan tidur.Mengikuti Rasulullah
saw.dalam masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun tingkatannya di bawah dua
macam sunnah yang disebut pertama tadi5.
2.2.3.Haram
 Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara
terminologi Ushul Fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan

5
Misbahuddin,ushul fiqh1(Makassar:Allaudin university press,2013)hlm,39.
orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala.Misalnya, larangan berzina
dalam firman Allah QS. Al-Isra (17): 32

Artinya :”‘Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan
suatu jalan yang buruk”.(Q.S.Al Isra 17:32

 Pembagian Haram
Para ulama Ushul Fiqh, antara lain Abdul Karim Zaidan membagi haram kepada beberapa
macam, yaitu:
(1) Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan
itu tidak bisa terpisah dari zatnya.
(2) al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan disebabkan oleh
esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam
kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan
membawa kepadasesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya, larangan
melakukan jual beli pada waktu azan shalat Juma’t.
2.2.4.Makruh
 Pengertian Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah Ushul Fiqh kata
makruh, menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk
meninggalkannya, di mana ketentuan tersebut ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila
dilanggar tidak berdosa. Misalnya,seperti di kemukakan Wahbah az-Zahaili, dalam Mazhab
Hanbali ditegaskan makruh hukumnya berkumur dan memasukkan air kehidung secara
berlebihan ketika akan berwudhu di siang hari Ramadhan karena dikhawatirkan air akan
masuk ke ronggakerokongan dan tertelan.
 Pembagian Makruh
Menurut kalangan Hanafiyah, makruh terbagi kepada dua macam,yaiu
(1) Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang
itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah saw. hanya sampai
ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang
sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam
tawaran orang lain.
(2) Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meniggalkannya,
Misalnya, memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh
diwaktu perang.Menurut sebagian kalangan Hanafiyah, pada dasarnya memakan
daging kuda hukumnya haram karena ada larangan memakannya berdasarkan hadits
riwayat Daruquthni. Namun ketika sangat butuh waktu perang dibenarkan
memakannya meskipun dianggap makruh.
2.2.5.Mubah
 Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan”. Menurut
istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan berarti yang artinya: Yaitu
sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukalaf akan melakukannya atau tidak
melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa atau pahala.Istilah mubah, menurut
Abu Zahrah, sama pengertiannya dengan halal atau jaiz6.
 Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah membagi mubah
kepada tiga macam:
(1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi
untuk mengantarkan seseorang sampai ia mengerjakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepadanya seperti shalat dan berusaha mencari rizki.
(2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya dilakukan sekalisekali, tetapi haram
hukumnya bila dilakukan setiap waktu.Misalnya, bermain dan mendengar nyanyian
hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya
menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
(3) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
mubah pula. Misalnya, membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan, hidup
senang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan
seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena
untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang
dilarang
2.3.Pembagian Hukum Wahdh’i
6
Misbahuddin,ushul fiqh1(Makassar:Allaudin university press,2013)hlm,45.
2.3.1.Sebab
 Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada
sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim al-Zaidan,
sebab berarti: sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum,dan
tidak adanya sebab sebagian tanda bagi tidak adanya hukum.
Misalnya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman
atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan adanya pembimbingnya,
dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang
dirampok kepada pemiliknya.
 Pembagian Sebab
Para ulama Ushul Fiqh membagi sebab kepada dua macam:
(1) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukalaf dan berada di luar
kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang mukalaf.Misalnya, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan)
bagi datangnya waktu shalat zuhur, masuknya bulan Ramadan menjadi sebab (alasan) bagi
kewajiban melakukan puasa Ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya
seseorang memakan yang diharamkan.
(2) Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas kemampuannya.
Misalnya, perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Ramadhan,
pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman qishas atas pelakunya, dan
akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada
pihak pembeli. Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf ini berlaku padanya ketentuan-
ketenuan hukum taklifi.
2.3.2.Syarat
 Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain”
atau “sebagai tanda”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan,
syarat adalah: Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada diluar
dari hakikat sesuatu itu.
Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang lain kepadanya, namun
antara keduanya terdapat perbedaan di mana syarat bagi suatu ibadah misalnya, seperti
dikemukakan di atas, bukan merupakan bagian dari hakikat pelaksanaan ibadah tersebut,
sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya
adalah salah satu rukun shalat, dan keadaan berdiri itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan
shalat.
 Pembagian Syarat
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
(1) Syarat Syar‟i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan
sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh
syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya.
(2) Syarat Ja‟ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu
sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau
memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti
pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si pulan dengan syarat si pulan itu tidak mampu
membayar utangnya itu.
2.2.3. Mani’
 Pengertian mani’
Kata mani‟ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.Secara terminologi,
seperti dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan,kata mani‟ berarti: Sesuatu yang ditetapkan
syarat sebagai penghalang bagi adanya atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan
akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak terdapat padanyasuatu penghalang
(mani‟). Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan rukunnya
adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang disebabkan suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan pembunuhan dalam
contoh tersebut adalah mani‟ (penghalang) bagi hak suami untuk mewarisi istrinya. Dalam
sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
 Pembagian Mani’
Para ahli Ushul Fiqh membagi mani‟ kepada dua macam:
(1) Mani‟ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai
mani‟ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh
karena itu shalat tidak wajib dilakukan waktu haid.
(2) Mani‟ al-Sebab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syarat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi
mempunyai akibat hukum.Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu
nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya
sudah tergolong orang kaya. Namun, jika pemilik harta itu dalam keadaan
berutang di mana utang itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu
nisab, maka dalam kajian fiqhi keadaan berutang itu menjadi mani‟ (penghalang)
bagi wajib zakat pada harta yang dimilikinya itu7.

BAB III
PENUTUP

7
Misbahuddin,ushul fiqh1(Makassar:Allaudin university press,2013)hlm,52.
A.Kesimpulan.
Pembagian ayat hukum dan hadits hukum kepada beberapa kategori tersebut sekaligus
memberikan informasi tentang ciri ayat ahkam dan hadits ahkam. Artinya, untuk
membedakan mana yang ayat ahkam atau hadits ahkam dan mana yang bukan, bisa dengan
menggunakan ciri-ciri tersebut. Dua hal yang perlu digaris bawahi adalah:
Pertama, bahwa dalam pemakaiannya dikalangan ahli Ushul Fiqh, istilah hukum
disamping digunakan untuk menyebut teks-teks ayat atau hadits-hadits hukum, juga
digunakan untuk menyebut sifat perbuatan yang menjadi objek dari hukum itu. Dalam
pembagian diatas, perbuatan yang diperintahkan seperti melakukan shalat sifatnya wajib,
perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan
untuk ditinggalkan sifatnya makruh, dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah.
Maka sifat wajib,haram, mandub, makruh, dan mubah yang merupakan sifat dari perbuatan
itu dikenal dengan hukum syara‟. Dengan demikian hukum shalat, misalnya, adalah wajib
dan meminum khamr adalah haram.
Kedua, seperti dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan hukum adalah teks ayat
ahkam atau hadits ahkam. Dengan demikian bukan berarti bahwa yang disebut hukum hanya
terdapat pada bunyi teks itu sendiri. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya itu ada yang secara langsung
ditunjukkan oleh teks al-Qur‟an dan Sunnah dan ada pula yang secara tidak langsung
ditunjukkan oleh teks, tetapi oleh substansi ayat atau hadits yang disimpulkan oleh ahlinya
(mujtahid) dengan kegiatan ijtihad, seperti hukum yang ditetapkan dengan ijma‟‟, qiyas, dan
dalil-dalil hukum lainnya seperti akan datang penjelasannya. Ketentuan ketentuan seperti itu
adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya juga karena bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah.

Anda mungkin juga menyukai